PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI
SURYA WIJAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI
SURYA WIJAYA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NIM
: Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. : Surya Wijaya : P 051034011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua
Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc
Tanggal Lulus: 20 Juni 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
ABSTRAK SURYA WIJAYA. Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. Dibimbing oleh SUMARDJO dan PANG S. ASNGARI. Penelitian dilakukan di Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI dengan tujuan untuk: (1) Menganalisis pengaruh kepemimpinan, karakteristik pegawai, dan budaya organisasi terhadap motivasi kerja; dan (2) Menganalisis pengaruh motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai. Penelitian dirancang sesuai dengan eksplanatory research. Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI yang pada saat kajian tidak sedang tugas belajar. Penelitian dilakukan secara sensus terhadap 60 orang pegawai. Data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Motivasi kerja pegawai pada saat ini masih belum tinggi; (2) Prestasi kerja pegawai pada saat ini belum maksimal baik dalam konsistensi bekerja maupun dalam perilaku bekerja. (3) Budaya organisasi yang terdiri atas nilai (value), keyakinan (belief) dan sistem merit terbukti berpengaruh secara nyata terhadap motivasi; dan (4) Motivasi kerja pegawai belum mendasari prestasi kerjannya. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Perlu mengembangkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik melalui kepemimpinan dan kejelasan budaya organisasi dan penerapan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan. Kata kunci: Kepemimpinan (Leadership), Motivasi kerja (Job motivation), Prestasi kerja (Work performance).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 11 Agustus 1954 dari pasangan Bapak H. Abusakim (Alm) dan Ibu Hj. Maryani. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Riwayat pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Rakyat 1 Kepahyang, Kecamatan Kepahyang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu; Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTPN) no. 1 Kepahyang , kemudian melanjutkan pada Sekolah Menengah Atas (SMAN) no.1 Bengkulu. Pada
tahun
1973
setelah
menamatkan
SLTA,
penulis
sempat
melanjutkan pada Akademi Tekstil Berdikari (ATB) Bandung Jurusan Tekstil hingga Semester II namun tidak selesai, Tahun 1974 penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung dengan
Jurusan Jurnalistik, sambil bekerja di Harian Umum ”Pikiran Rakyat
Bandung” mulai pada tahun 1975 sampai dengan 1984. Kemudian masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Sosial RI Jakarta dari tahun 1984 hingga saat ini. Jabatan di PNS yang pernah penulis pegang: tahun 1986 sebagai Kasubag Bagian Gaji dan Perjalanan Dinas Departemen Sosial sampai tahun 1994, kemudian pada tahun 1994 sampai tahun 1996 menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan dan tahun 1996-1998 Kepala Bagian Pemberitaan dan Perag aan Biro Humas Depsos. Pada tahun 1998 penulis diangkat menjadi Kepala Bidang Bina Program Kantor Wilayah (Kanwil) Depsos
Jawa Barat
sampai tahun 2000. Ketika Depsos Bubar diangkat menjadi Kepala Dinas Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dari tahun 2000-2003. Pada tahun
2003 penulis ditarik
kembali Departemen Sosial menjadi tenaga fungsional Widyaiswara di Pusdiklat Pegawai Depsos RI hingga saat ini dengan pangkat Pembina Utama Muda Golongan IV/c.
PERNYATAAN
Saya menyatakan Tesis ”Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI” merupakan karya nyata pribadi dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi atau institusi lainnya.
Bogor, 20 Juni 2006 Surya Wijaya
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... iv PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................. 1 Masalah Penelitian........................................................................................ 4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 6 Definisi Istilah ............................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA Prestasi Kerja ............................................................................................... 10 Motif dan Motivasi ........................................................................................ 12 Kepemimpinan ............................................................................................. 23 Karakteristik Pegawai ................................................................................... 38 Budaya Organisasi ....................................................................................... 39 Tugas Pokok dan Fungsi Pusdiklat Pegawai .............................................. 42 Program Pusdiklat Pegawai .......................................................................... 45 Kelembagaan Pusdiklat Pegawai................................................................. 46 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir.......................................................................................... 47 Hipotesis ..................................................................................................... 50 METODE PENELITIAN Populasi dan Responden ............................................................................. 51 Rancangan Penelitian .................................................................................. 51 Data dan Instrumentasi ................................................................................ 51 Data ......................................................................................................... 51 Instrumentasi ............................................................................................ 52 Definisi Operasional ..................................................................................... 52 Uji Validitas.................................................................................................... 55 Analisis Data ................................................................................................ 56 HASIL DAN PEMBAHAS AN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 57 Gambaran Umum Responden ..................................................................... 58 Kepemimpinan Pusdiklat Depsos ................................................................ 60 Budaya Organisasi ....................................................................................... 63 Motivasi Kerja ............................................................................................... 66
Halaman Prestasi Kerja ............................................................................................... 67 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja ..................................... 69 Pengaruh Karakteristik Pegawai terhadap Motivasi Kerja .......................... 72 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja .............................. 73 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Prestasi Kerja ..................................... 74 Pengaruh Karakteristik Pegawai terhadap Prestasi Kerja .......................... 79 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Prestasi Kerja ............................... 82 Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja ....................................... 83 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................................ 86 Saran ............................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis telah dapat menyelesaikan Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Tesis ini melihat aspek Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi pegawai. Penelitian dilaksanakan pada pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos RI di Jakarta, mulai dari bulan Januari sampai bulan Maret 2006. Penelitian ini merupakan suatu upaya penulis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, di Pusdiklat Pegawai Depsos RI, melalui perbaikan kepemimpinan, motivasi kerja, dan prestasi kerja pegawai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat: (1) Bapak Dr. Ir. Sumardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing. (2) Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari, selaku anggota komisi pembimbing. (3) Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. (4) Bapak Prof. Dr. Djoko Susanto, SKM, APU, selaku penguji luar komisi. (5) Bapak Kapusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI beserta staf. (6) Ibunda Hj. Maryani dan kakak dan adik-adik penulis yang telah memberikan dukungan yang tidak terhingga. (7) Isteri dan anak-anak tercinta penulis yang dengan sabar telah memberikan semangat hingga dapat menyelesaikan studi ini hingga selesai. (8) Rekan-rekan yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian. Semoga amal dan budi baik Bapak/Ibu mendapat balasan dari Allah SWT, serta semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi Departemen Sosial RI khususnya kepada pegawai Pusdiklat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bogor, 20 Juni 2006
Surya Wijaya
DAFTAR TABEL Halaman Tabel: 1. Karakteristik responden .............................................................................. 58 2. Distribusi responden berdasarkan penilaian terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan ............................................................................................... 61 3. Distribusi responden berdasarkan budaya organisasi ................................ 63 4. Distribusi responden berdasarkan motivasi kerja ........................................ 66 5. Distribusi responden berdasarkan prestasi kerja ......................................... 68 6. Pengaruh prinsip-prinsip kepemimpinan terhadap motivasi kerja ............... 70 7. Pengaruh unsur-unsur karakteristik pegawai terhadap motivasi kerja ...... 72 8. Pengaruh unsur-unsur budaya organisasi terhadap motivasi kerja ............ 72 9. Pengaruh motivasi kerja terhadap prestasi kerja ......................................... 73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Berpikir Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pega wai Depsos RI...........................50
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Variabel dan Indikator Penelitian ............................................................ 81 2. Angket untuk responden .......................................................................... 98
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Ruky (2004:14-15), istilah kinerja atau prestasi sendiri sebenarnya adalah pengalihbahasaan dari kata Inggris "Performance". Dalam Kamus The New Webster Dictionary memberi tiga arti bagi kata "performance " yang akan disebut di bawah ini: (1) Performance adalah "Prestasi" yang digunakan dalam konteks atau kalimat misalnya tentang "mobil yang sangat cepat" ("high performance car"). (2) Performance adalah "pertunjukan" yang biasanya digunakan dalam kalimat "Folk Dance Performance, " atau "Pertunjukan Tari-tarian Rakyat". (3) Performance adalah "Pelaksanaan Tugas" misalnya dalam kalimat "in performance his / her duties”. Dalam bahasa Inggris sendiri sebenarnya ada sebuah kata atau istilah lain yang lebih menggambarkan "prestasi'" dalam pengertian bahasa Indonesia yaitu kata ''achievement”. Kata itu berasal dari kata " to achieve" yang berarti "mencapai" atau "apa yang dicapai." Hasibuan (1992: 105) memberi pengertian prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Prestasi kerja ini adalah gabungan dari tiga faktor penting yaitu (1) kemampuan dan minat seorang pekerja, (2) kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran (3) serta tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi faktor di atas, maka semakin besar prestasi kerja pegawai bersangkutan. Menurut Hasibuan (1992: 97), definisi dari penilaian prestasi kerja adalah kegiatan manajer/pemimpin untuk mengevaluasi perilaku
2
dan prestasi kerja pegawai serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya. Penilaian perilaku yaitu menilai kesetiaan, kejujuran, kepemimpinan, kerja sama, loyalitas, dedikasi dan partisipasi pegawai. Istilah-istilah yang sama artinya dikemukakan oleh penulis buku mengenai manajemen sumber daya manusia tentang penilaian prestasi sering kita temui seperti konduite, employee rating, performance appraisal,
employee evaluation, personel review, service rating
dan atau behavioral asessment. Untuk menilai perilaku ini agak sulit untuk dilakukan karena tidak ada standar fisiknya. Berbeda dengan menilai hasil kerja, yang relatif agak lebih mudah disebabkan standar fisik yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk mengukurnya seperti meter, liter, kilogram dan lain-lain. Penilaian prestasi kerja adalah menilai ratio hasil kerja nyata dengan standar baik kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan oleh setiap individu pegawai. Penilaian prestasi kerja pegawai ini mutlak harus dilakukan karena untuk mengetahui seorang pegawai memiliki prestasi kerja atau tidak dan sekaligus dapat mengetahui kelebihan-kelebihan maupun kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Bagi pegawai yang memiliki prestasi kerja yang tinggi, memungkin dirinya untuk diberikan promosi, sebaliknya pegawai yang prestasinya rendah dapat diperbaiki prestasi kerjanya dengan memindahkan kejabatan atau posisi yang sesuai dengan kecakapannya ataupun melalui pendidikan dan latihan dalam rangka pengembangan pegawai. Singkatnya penilaian prestasi kerja pegawai harus memberikan manfaat bagi pegawai dan berguna untuk instansi/lembaga dalam menetapkan kebijakan-kebijakan program kepegawaian pada masa yang akan datang, sehingga diperoleh kepuasan dan harmonisasi dalam instansi/lembaga. Penilaian prestasi berarti para bawahan/staf mendapat perhatian dari atasannya sehingga mendorong mereka bergairah bekerja; asalkan proses penilaian secara jujur, obyektif serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian
3
ini memungkinkan pegawai dipromosikan, didemosikan, dikembangkan, dan atau balas jasanya dinaikkan. Dimensi peningkatan prestasi kerja dalam suatu instansi/lembaga sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perlu suatu pengamatan yang cermat terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Situasi dan kondisi yang ada dari instansi/lembaga tempat pegawai itu bekerja akan sangat mempengaruhi prestasi kerjanya, termasuk kondisi internal dan eksternal dari pegawai yang bersangkutan. Dalam penelitian ini penulis menggambarkan dan menganalisis prestasi kerja dari dimensi pengaruh kepemimpinan, karakteristik pegawai, budaya organisasi dan motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai. Berdasarkan hasil pengamatan sement ara, prestasi kerja pegawai pada Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai Departemen Sosial Rl secara umum dapat dikategorikan
masih belum maksimal. Hal ini ditandai dengan
belum berkembangnya nilai-nilai budaya kerja secara konsisten yang dapat merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia (SDM) untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Bagi para pegawai penilaian prestasi kerja ini sangat dibutuhkan sekali dan ditindaklanjuti dengan fakta yang ada, sehingga pegawai akan termotivasi untuk
melakukan sesuatu pekerjaan yang
menjadi
tanggung
jawabnya,
tentunya diikuti pula dengan hak dan kewajiban yang harus diterima pegawai. Belum berfungsinya secara maksimal penilaian prestasi kerja ini dapat menimbulkan perasaan kurang puas dalam diri, merasa bahwa hasil kerja belum
dinilai
oleh instansi/lembaga
dengan
sewajarnya dan
sekaligus
kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri individu pegawai belum dapat diketahui.
Sehingga
menimbulkan
kesan
bahwa
produktivitas pegawai
4
rendah, berdampak kepada seluruh aspek dan sistem yang berlaku di lembaga/instansi tersebut. Bagi pimpinan hasil ini merupakan masukan yang berarti dalam rangka mengambil langkah-langkah ke depan untuk memajukan instansinya dengan berpegang pada hasil akhir yang diterimanya dari penilaian prestasi tersebut dan ini akan memberikan manfaat bukan saja pimpinan tetapi juga bagi instansi sehingga dapat diwujudkan semboyan penempatan orang yang tepat pada jabatan yang tepat, sehingga dapat meminimalkan terjadinya kesalahan
yang
akan
menimbulkan
kerugian
yang
lebih
besar
bagi
lembaga/instansi tersebut.
Masalah Penelitian Kinerja (performance) sebagai kata benda (noun) mengandung arti "thing done " (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang
dan
tanggung jawab
masing-masing, dalam rangka
mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan
sesuai
dengan
moral
dan
etika
(Prawirosentono, 1999: 2).
Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2000: 3), kinerja diartikan sebagai gambaran meng enai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/kebijakan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi,
organisasi. Masalah pengukuran kinerja terkait erat dengan akuntabilitas dari kinerja institusi yang bersangkutan. Untuk melihat derajat akuntabilitas birokrasi, diperlukan standar kinerja (performance), yang harus disepakati terlebih dahulu mengenai informasi kinerja dan standar pelaporan informasi tadi. Dengan demikian agar bisa melihat derajat kemajuan yang telah dicapai birokrasi dalam
5
menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, harus ditetapkan standar ukuran kinerja dan ini mendapat persetujuan atau kesepakatan terlebih dahulu antara birokrasi dengan pihak yang memberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab tersebut. Di Pusdiklat Pegawai Depsos RI diduga belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari fenomena bahwa mekanisme, prosedur yang ada belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Semangat budaya kerja dan budaya disiplin masih relatif rendah, sehingga keluaran (output) yang dihasilkan belum seimbang dengan asupannya sehingga lulusan Pusdiklat kurang kompeten dalam bidang tugasnya. Diduga ada masalah-masalah di sekitar kinerja ini, yang ditandai dengan kurangnya konsistensi antara tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan dalam rangka mencapai tujuan, visi dan misi organisasi, dan didukung komunikasi yang ada di lingkungan kerja organisasi untuk mensosialisasikan program/kegiatan belumlah tersosialisasi secara baik. Berdasarkan dengan masalah dan kondisi di atas, peneliti merumuskan masalah penelitian tentang pengaruh kepemimpinan dan motivasi terhadap prestasi kerja pada pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI Jakarta dengan permasalahan penelitian yang ingin diketahui yaitu: (1) Seberapa jauh aspek kepemimpinan,
karakteristik pegawai,
budaya
organisasi berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai di Pusdiklat. (2) Seberapa jauh motivasi kerja pegawai berpengaruh terhadap prestasi kerjanya.
6
Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Menganalisis
pengaruh
kepemimpinan,
karakteristik pegawai, budaya
organisasi terhadap motivasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos Rl. (2) Menganalisis pengaruh motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos RI.
Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan, dan para praktisi yang berkecimpung langsung dalam lembaga organisasi formal. Secara umum: Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumber bagi instansi terkait dalam membina pegawai sehingga dapat memperbaiki kualitas kinerja lembaga. Secara khusus: (1) Penelitian ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan prestasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos RI. (2) Penelitian ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam memperbaiki budaya organisasi. (3) Terhadap Ilmu Penyuluhan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam penyuluhan (orientasi) pegawai dalam meningkatkan prestasi kerja sebagai pelayan masyarakat.
7
Definsi Istilah Definisi beberapa istilah dan menjadi peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Kerja adalah karya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya (Anoraga, 2001: 11).
Seseorang
bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan dari pada keadaan sebelumnya. (2) Prestasi kerja/kinerja adalah merupakan suatu hasil ker ja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Prawirosentono Suyadi. 1999:2). Sedangkan menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2000: 3) kinerja diartikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi, organisasi. (3) Motif adalah suatu pernyataan batin yang berwujud daya kekuatan untuk bertindak atau bergerak baik secara langsung ataupun melalui saluran perilaku yang mengarah kepada sasaran (Soewarno, 1980: 81). Gerungan (1991: 140) mendefinisikan motif sebagai suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak,
alasan-alasan
atau
dorongan-dorongan dalam diri
manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Definisi itu menjelaskan betapa semua tingkah laku manusia pada hakekatnya mempunyai motif karena motif itu memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia.
8
(4) Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi yang dikondisikan dengan kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individu ( Robbins, 1994). (5) Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja (Anoraga, 2001:35). Oleh sebab itu motivasi kerja dalam
psikologi
karya biasa disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya. (6) Kepemimpinan merupakan
adalah
kemampuan dan keterampilan mengarahkan,
faktor (aktivitas) penting dalam efektivitas
manajer/pemimpin
(Nevertheless, leadership abilities and skill in directing are important factor in managers effectiveness) ( Nawawi, 2003:18). Dalam kenyataannya banyak organisasi
yang
tidak
cukup
hanya
dikendalikan
oleh
seorang
manajer/pemimpin. Organisasi itu terutama yang berskala besar dan menengah, bahkan yang berskala kecil, memerlukan juga pemimpin-pemimpin untuk membantu pimpinan puncak dengan menjadi pimpinan-pimpinan pada unit-unit kerja yang jenjangnya lebih rendah. Para pimpinan/manjer unit kerja itu bertugas membantu pimpinan puncak, agar dapat menjalankan kepemimpinannya secara efektif dan efisien. Volume dan beban kerja yang banyak, berat dan kompleks, merupakan sebab seorang pimpinan puncak tidak dapat melaksanakan
kepemimpinannya tanpa bantuan pimpinan
pada
rendah.
jenjang
yang
lebih
seseorang untuk mempengaruhi
Kepemimpinan adalah kemampuan
orang
lain untuk
bertingkah
laku
sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin (Soekanto, 2002). (7) Karakteristik Pegawai yaitu sifat-sifat yang ditampilkan seseorang pegawai yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dunia atau lingkungannya sendiri.
9
(8) Budaya
Organisasi
organisasi,
falsafah
adalah
nilai -nilai dominan yang didukung oleh
yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap
pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, dan asumsi
dan
kepercayaan
dasar
yang
terdapat
di antara anggota
organisasi ( Robbins, 1994). (9) Merit
Sistem
seseorang untuk
adalah
sistem
kepegawaian
dengan
pengangkatan
menduduki suatu jabatan didasarkan atas kecakapan
orang yang diangkat (Ensiklopedi Admimstrasi, 1989). Kecakapan tersebut harus dibuktikan dengan lulus dalam ujian jabatan. Selanjutnya tidak hanya pengangkatannya saja yang berdasarkan ujian jabatan, melainkan juga kenaikan gaji, kenaikan tingkat dan pangkat. Sistem ini tidak memberikan penghargaan kepada masa kerja, karenanya tidak memberikan kepuasan bagi mereka yang sudah lama bekerja. Dalam praktek, masa kerja memang dapat memberikan kemahiran, sehingga karenanya orang dapat menjadi cakap karena bertambah masa kerjanya.
TINJAUAN PUSTAKA Prestasi Kerja
Salah satu kebutuhan manusia yang terkuat adalah kebutuhan untuk merasa berprestasi (sense of achievement), untuk merasa bahwa ia melakukan sesuatu, bahwa pekerjaannya itu penting (Anoraga, 2001: 20). Seseorang yang merasa, bahwa pekerjaannya itu tidak penting, sering tidak bersemangat dalarn menjalankannya dan sering mengeluh tentang pekerjaannya. Demikian juga pekerjaan yang menuntut keterampilan yang tinggi, sering lebih memuaskan karyawan dari pada pekerjaan yang hampir tidak membutuhkan keterampilan apa-apa.
Mereka memperoleh kepuasan setelah
berhasil menyelesaikan pekerjaan yang mungkin dapat merenggut nyawa mereka. Kepuasan yang mereka peroleh adalah kepuasan yang lebih bersifat egoistik. Kinerja (performance) sebagai kata benda (noun) mengandung arti "thing done" (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Prawirosentono, 1999: 2). Menurut Nawawi (2003), Penilaian Kinerja (Job Performance Appraisal) yang disebut juga Penilaian Prestasi Kerja, Penilaian Karya atau Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan adalah salah satu kegiatan manajemen sumber daya manusia. Pengukuran kinerja pegawai merupakan metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
11
Pengukuran
ini
digunakan
untuk
penilaian
atas
keberhasilan/kegagalan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Untuk melakukan pengukuruan kinerja pegawai diperlukan indikator kinerja, yang bersifat kuantitatif dan yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan. Karena indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat dihitung dan diukur untuk digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Penilaian Kinerja/Prestasi Kerja pegawai yang efektif harus mampu memberikan umpan balik untuk kepentingan pekerja/anggota organisasi yang dinilai, para pemimpin (manajer) unit kerja, pengelola personalia/SDM, dan organisasi secara keseluruhan. Selain itu, Penilaian Kinerja/Prestasi Kerja pegawai juga diartikan sebagai proses pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan seseorang karyawan/ anggota organisasi atau tim (team) kerja. Nantinya dari hasil observasi itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai yang menunjukkan kelemahan/k ekurangan atau kelebihan serta keberhasilan atau kegagalan
seorang
karyawan/anggota
organisasi
dalam
melaksanakan
pekerjaan/ tugas pokoknya. Berpijak pada konsep di atas, maka indikator kinerja tidak saja dari aspek inputs, outputs, tapi juga sampai pada outcomes. Benefit dan impact dari kegiatan organisasi publik. Indikator inputs (masukan), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran (outputs). Indikator
ini
dapat
berupa
dana,
sumber
daya
manusia,
informasi,
12
kebijakan/peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator outputs, adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau nonfisik. Indikator outcomes, adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator benefits (manfaat) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator Impacts, adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pad a setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah digunakan. Hasil penilaian kinerja/prestasi kerja pegawai juga dapat digunakan sebagai umpan balik bagi pimpinan (manajer) unit kerja, untuk melakukan pemberian konsultasi cara mengatasi kelemahan/kekurangan karyawan/anggota organisasi sebagai anak buahnya agar berusaha meningkatkan kinerjanya. Umpan
balik
ini
juga
dipergunakan
untuk
mengoreksi
kegiatan
kepemimpinan/manajerialnya, karena kelemahan/kekurangan karyawan/anggota organisasi dalam bekerja, tidak mustahil bersumber dari kepemimpinan yang kurang efektif. Hal ini dapat terlihat pada konsistensi bekerja dan perilaku bekerja pegawai dalam suatu organisasi.
Motif dan Motivasi Padanan motif dalam bahasa Inggris "motive" yang mempunyai arti suatu pernyataan batin yang berwujud daya kekuatan untuk bertindak atau bergerak baik langsung ataupun melalui saluran perilaku yang mengarah kepada sasaran (Soewarno, 1980: 81). Gerungan (1991: 140) mendefinisikan motif sebagai suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongandorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Definisi itu menjelaskan betapa semua tingkah laku manusia pada hahekatnya mempunyai
13
motif karena motif itu memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia. Hampir serupa dengan pendapat Moekijat (1995) dengan pernyataannya bahwa dalam situasi motivasi menggambarkan motif dan tujuan membenluk perilaku yang memperlihatkan aktivitas yang terarah pada tujuan dan aktivitasnya. Dharma (1992) mengartikan motif sebagai kebutuhan,
keinginan,
dorongan ataupun gerak hati dalam diri seseorang, motif inilah kemudian yang akan menentukan seberapa besar tingkat motivasi seseorang. Dengan kata lain motivasi seseorang akan tergantung pada kuat lemahnya motif. Morgan dan King (1996: 204) menjelaskan bahwa motif muncul dari beberapa penyebab yaitu dari adanya kebutuhan yang disebabkan oleh kekurangan sesuatu untuk kelangsungan hidup, kesehatan atau kesejahteraan seseorang dan dari adanya rangsangan baik dari dalam maupun dari luar tubuh. Scott (1964:82) mengemukakan bahwa motif adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Handoko (1995:9) mengatakan motif sebagai suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Dalam motif tersebut dua unsur pokok yaitu dorongan dan tujuan yang
ingin dicapai.
Selanjutnya terjadilah proses interaksi antara keduanya unsur ini (dorongan dan tujuan yang ingin dicapai) dalam diri ma nusia dipengaruhi oleh faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal) diri manusia sehingga menimbulkan motivasi untuk melakukan sesuatu. Ditinjau dari sudut asalnya, motif pada diri manusia digolongankan ke dalam tiga bagian (Gerungan, 1991: 142-143), yakni: (1) Motif Biogenesis Motif biogenesis adalah motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme orang demi kelanjutan kehidupannya secara biologis. Motif biogenesis ini bercorak universal dan kurang terikat pada lingkungan
14
kebudayaan tempat manusia itu kebetulan berada dan berkembang. Motif ini merupakan motif yang asli berada di dalam diri manusia dan berkembang dengan sendirinya. (2) Motif Sosiogenetis Motif ini berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang itu berada dan berkembang. Motif ini tidak berkembangan dengan sendirinya, tetapi berdasarkan pada interaksi sosial dengan orang-orang atau hasil kebudayaan orang. (3) Motif Teogenesis Motif teogenesis adalah motif yang berasal dari interaksi antara manusia dengan Tuhan, seperti yang nyata dalam ibadahnya dan dalam kehidupannya sehari-hari di mana ia berusaha merealisasikan norma -norma agama tertentu. Kekuatan motif pada manusia berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Dengan pengaruh dari beberapa faktor itulah menyebabkan
motif pada manusia dapat diukur. Handoko (1992: 59) dalam hal ini menjelaskan untuk mengetahui kekuatan relatif motif-motif yang berada pada diri seseorang dapat dilihat melalui lima hal. Kelima hal itu antara lain: (1) kuatnya kemauan untuk berbuat, (2) jumlah waktu yang disediakan, (3) kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain, (4) kerelaan untuk mengeluarkan biaya demi perbuatan itu, dan (5) ketekunan dalam mengerjakan tugas tersebut. Gerungan (1991: 140) mendefinisikan motif sebagai suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Definisi itu menjelaskan betapa semua tingkah laku manusia pada hakekatnya mempunyai motif karena motif itu memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia. Asnawi (2002) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata "motive" yang berarti sesuatu pernyataan batin yang berwujud daya kekuatan untuk
15
bertindak atau bergerak, baik secara langsung maupun melalui saluran perilaku yang mengarah kepada sasaran. Dari kata dasar motive inilah lahir kata "motivasi" yang berarti dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk berbuat dalam rangka mencapai tujuannya. Padmowihardjo (1994) menyatakan bahwa motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dan asi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha, sehingga motivasi berarti usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi itu tidak dapat dilihat akan tetapi hanya dapat diamati dari perilaku yang dihasilkannya, yaitu dari cara atau pola pemenuhan kebutuhan atau pencapaian yang dikehendaki (Keller, 1984). Motivasi dapat menjelaskan tentang alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan,
karena motivasi
merupakan daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat (maupun tidak berbuat) sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan. Handoko (1992) menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu tindakan. Motif terdapat dua unsur pokok yaitu dorongan dan tujuan yang ingin dicapai. Proses interaksi antar kedua unsur ini dalam diri manusia dipengaruhi oleh faktor dalam diri (internal) dan faktor dari luar (eksternal) diri manusia sehingga menimbulkan motivasi untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Perubahan motivasi dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, apabila motivasi yang pertama mendapat hambatan atau tidak mungkin dipenuhi. Kekuatan relatif motif-motif yang sedang menguasai seseorang pada umumnya dapat dilihat melalui: (1) kuatnya kemauan untuk berbuat, (2) jumlah waktu yang tersedia, (3) kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain,
16
(4) kerelaan untuk mengeluarkan biaya demi perbuatan itu, dan (5) ketekunan dalam mengerjakan tugas tersebut (Handoko, 1995). Selanjutnya mengatakan bahwa pada umumnya ada dua cara untuk mengukur motivasi, yaitu: (1) mengukur faktor-faktor luar tertentu yang diduga menimbulkan dorongan dalam diri seseorang, dan (2) mengukur aspek tingkah laku tertentu yang mungkin menjadi ungkapan dari motif tertentu.
Ada tidaknya motivasi dalam diri
seseorang dapat juga dilihat dari beberapa segi tingkah lakunya, antara lain : kekuatan tenaga yang mengeluarkan (usahanya), kecepatan reaksinya, dan yang menjadi perhatiannya. Selanjutnya sesuatu yang diterima itu diberi oleh orang yang bersangkutan menurut minat dan keinginannya. Lebih la njut dikemukakan Handoko (1995) terdapat beberapa kajian teori yang dikemukakan oleh para ahli berkenaan dengan motivasi, diantaranya adalah teori kognitif, teori hedonistis, teori insting, teori psikoanalistis, teori keseimbangan dan teori dorongan. Berdasarkan teori-teori tersebut terjadinya tingkah laku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh manusia yang mana kebutuhan ditimbulkan oleh adanya suatu dorongan tertentu Handoko (1995: 9) mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya.
Definisi
lain
tentang
motivasi
diungkapkan oleh Brata (1971: 72) menurutnya motivasi adalah keadaan dalam diri pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
guna
mendefinisikan
mencapai motivasi
suatu sebagai
sasaran. daya
Schifrman
gerak
dalam
dan diri
Kanuk individu
(1992) yang
mendorongnya untuk melakukan tindakan yang disebabkan oleh adanya tegangan yang diakibatkan oleh belum terpenuhinya suatu kebutuhan. Terry (1997) menjelaskan bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu untuk melakukan tindakan-tindakan.
17
Motivasi terdiri: atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang. Selanjutnya motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar diri seseorang sehingga melakukan sesuatu hal ( Reece dan Brandt, 1981: 126). Kajian terhadap motivasi yang dilakukan oleh para ahli pada akhirnya membawa kepada terbentuknya beberapa teori motivasi. Berdasarkan pada siapa yang mempolulerkannya terdapat beberapa teori motivasi sebagaimana dikemukakan oleh Sutarto (1998: 311-325) sebagai berikut: (1) Teori Motivasi "Klasik" dan Frederick W Taylor Menurut teori motivasi klasik, seseorang akan bersedia bekerja apabila ada imbalannya. Konsepsi dasar teori motivasi klasik adalah seseorang akan bersedia bekerja dengan baik apabila orang itu berkeyakinan akan memperoleh imbalan yang ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan kerjanya. Lebih lanjut teori ini mengemukakan bahwa pemberian imbalan yang paling tepat yang dapat menumbuhkan semangat untuk bekerja lebih baik adalah apabila diberikan pada saat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Teori Motivasi "Kebutuhan" dari Maslow Teori ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku karena adanya dorongan untuk
memperoleh
pemenuhan
dalam
bermacam-macam kebutuhan.
Berbagai kebutuhan itu bermacam-macam dan menurut teori ini seseorang akan membutuhkan jenjang kebutuhan itu bermacam-macam dan menurut teori ini seseorang akan membutuhkan jenjang kebutuhan selanjutnya bila kebutuhan sebelumnya sudah tercapai. Sedikitnya ada lima macam kebutuhan yang berjenjang dari kebutuhan dasar sampai kepada kebutuhan lanjutan, yaitu physiological needs, safety needs, love needs, esteem needs dan
self actualization needs. Landasan dari teori ini menyatakan
18
bahwa manusia adalah makhluk yang berkeinginan yang selalu ingin lebih lagi dalam suatu proses yang tiada henti. Selain itu, suatu kebutuhan yang telah terpuaskan tidak akan menjadi motivator perilaku, tetapi akan menjadi motivator perilaku hanyalah kebutuhan-kebutuhan yang belum terpuaskan. (3) Teori Motivasi "Dua Faktor" dari Frederick Herzberg Teori motivasi ini menyatakan bahwa dalam setiap pelaksanaan pekerjaan akan terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi pekerjaan akan dilaksanakan dengan baik atau tidak, yaitu syarat kerja dari faktor pendorong. Apabila kedua faktor tersebut diperhatikan dengan baik, maka pelaksanaan pekerjaan akan berjalan dengan baik pula. (4) Teori Motivasi "HumanRelation" dari Rensis Likert Sesuai dengan istilah human relation, maka teori ini berkaitan erat dengan hubungan kemanusiaan. Inti dari teori ini adalah mengatakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu jika dianggap penting atau berguna. (5) Teori Motivasi "Preference Expectation " dari Vroom Konsep dasar dari teori ini adalah bahwa seseorang akan terdorong untuk bekerja dengan baik apabila akan memperoleh sesuatu imbalan yang pada saat itu sedang sebagai kebutuhan pokok yang harus segera dipenuhi. (6) Teori Motivasi "X dan Y" dari McGregor Teori motivasi "X dan Y" mulai muncul sejak adanya pendapat bahwa ada dua kelompok sifat orang, yaitu kelompok orang yang bersifat baik dan kelompok orang bersifat buruk. Sehubungan dengan adanya orang yang bersifat buruk ditumbuhkan oleh teori X dan sehubungan dengan adanya orang yang bersifat baik ditumbuhkan teori Y. Secara singkat teori X berbunyi bahwa orang pada umumnya akan bekerja sedikit mungkin, mereka tidak memiliki ambisi untuk maju, tidak menyukai
19
tanggung jawab, mereka juga melakukan pekerjaan dengan mengutamakan imbalan materi. Teori Y berbunyi pada dasarnya orang senang bekerja karena menganggap pekerjaan mereka sebagai hobi, sehingga akan bekerja dengan penuh pengabdian, maka pengarahan yang dilakukan menjadi lebih longgar dan dapat menerapkan cara demokratis. (7) Teori Kebutuhan "Existence, Relatedness dan growth " dari Alderfer Manusia memiliki tiga macam kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan keberadaan, kebutuhan berhubungan dan kebutuhan keberadaan
berkaitan
dengan
pertumbuhan. Kebutuhan akan
kebutuhan
akan
kelangsungan
hidup
seseorang. Kebutuhan berhubungan bertalian dengan kebutuhan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain baik berupa hubungan antar pribadi maupun hubungan sosial. Sedangkan kebutuhan
pertumbuhan berkaitan
dengan kebutuhan untuk mengembangkan diri. (8) Teori Kebutuhan "Berprestasi" dari McClelland Teori ini mengatakan bahwa individu memiliki tiga macam kebutuhan yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan untuk berkuasa. Dengan demikian menurut teori ini seseorang akan terdorong berbuat dengan sungguh-sungguh apabila merasa akan memperoleh kesempatan untuk dapat menunjukkan sepenuh kemampuan yang dimilikinya hingga dapat diperoleh hasil terbaik. Seseorang juga akan terdorong berbuat dengan sungguh-sungguh apabila merasa bahwa dari hasil kerjanya akan diperoleh persahabatan dengan orang lain. Terakhir seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuatu apabila merasa akan memperoleh kedudukan yang diinginkan. (9) Teori Motivasi "keadilan" dari Adams
20
Teori ini menyatakan bahwa orang akan cenderung bekerja dengan baik apabila akan memperoleh keadilan. Dengan demikian ketidakadilan akan melemahkan semangat kerja seseorang. Ada beberapa kajian teori yang dikemukakan oleh para ahli berkenaan dengan motivasi, diantaranya adalah teori kognitif, teori hedonistis, teori insting, teori psikoanalitis, teori keseimbangan dan teori dorongan (Handoko, 1995: 10-23).
Teori Kognitif Teori ini mengatakan bahwa tingkah laku seseorang tidak digerakkan oleh motivasi tetapi oleh rasio. Teori ini memiliki kelemahan yaitu tidak menyadari bahwa kadang-kadang tindakan manusia berada di bawah kontrol rasio, sehingga teori ini sukar untuk dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, hal ini akan terjawab bila konsep motivasi mendapat tempat di belakang setiap tingkah laku, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Teori Hedonistis
Teori Hedonistis menyatakan bahwa setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai suatu tujuan untuk mencari hal-hal yang menyenangkan serta menghindari hal-hal yang menyakitkan. Teori ini memiliki kelemahan dan dipandang kurang ilmiah karena hanya melandasi diri pada pengalaman subjektif saja. Masalah keadaan menyenangkan dan menyakitkan yang dialami seseorang akan sangat tergantung pada adaptasi seseorang dengan rangsangan yang mendahuluinya.
Teori Insting
Teori insting berpendapat bahwa setiap orang telah membawa potensi biologis sejak ia dilahirkan. Dengan demikian potensi inilah yang menuntun
21
seseorang untuk bertindak. Teori ini mempunyai kelemahan karena sangat sukar untuk membuat daftar-daftar insting dasar yang mencakup segala bentuk tingkah laku manusia.
Teori Psikoanalitis
Teori Psikoanalitis (Freud) merupakan pengembangan dan teori insting. Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh dua faktor dasar yaitu insting kehidupan yang mendorong seseorang untuk tetap hidup dan insting kematian yang mendorong seseorang untuk menghancurkan dirinya sendiri. Selain itu, teori ini juga melihat bahwa motif tidak sadar dapat menampakkan diri dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk mimpi dan salah ucap. Kritik terhadap teori ini berkisar pada keraguan bahwa mimpi dan salah ucap merupakan akibat dan motif yang tidak disadari.
Teori Keseimbangan
Teori keseimbangan berpendapat bahwa tingkah laku manusia terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam diri manusia. Prinsip teori ini adalah diawali dan keadaan tidak seimbang kemudian menemukan keseimbangan, setelah
itu
menimbulkan
ketidakseimbangan
baru
yang
diikuti
dengan
keseimbangan yang baru dan begitu seterusnya.
Teori Dorongan
Teori dorongan memberi tekanan pada hal yang mendorong terjadinya tingkah laku. Teori keseimbangan sebenarnya merupakan penyokong teori dorongan. Dorongan merupakan suatu tenaga dari dalam diri kita yang
22
menyebabkan kita melakukan sesuatu. Teori dorongan ini semakin diakui setelah muncul teori keseimbangan karena dorongan merupakan salah satu usaha untuk dapat mengembalikan kepada keadaan seimbang dalam diri seseorang. Melihat kepada berbagai teori di atas, dapat diketahui bahwa tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan ditambah dengan adanya dorongan tertentu. Dengan adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap itu mengarah kepada suatu kegiatan kongkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku kongkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi. Manusia akan termotivasi bila didahului dengan adanya suatu keinginan. Keinginan tersebut muncul melalui proses persepsi yang diterima dan dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, pengalaman dan harapan seseorang untuk kemudian sesuatu yang diterima tersebut diberi arti oleh orang yang bersangkutan menurut minat dan keinginannya. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut pendorong semangat kerja. Kuat lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya. Dengan demikian
"Motivasi Kerja"
berarti dorongan atau kehendak
seseorang untuk melaksanakan tindakan atau kegiatan dalam lingkup tugastugas yang merupakan pekerjaan/jabatannya di lingkungan sebuah organisasi (Nawawi, 2003: 328).
23
Kepemimpinan Setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) dan/atau manajer tertinggi (top manager) yang harus menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) dan/atau manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan (Nawawi, 2003: 18). Robbins
(1992:
354)
mengatakan
bahwa
kepemimpinan
adalah
kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian (tujuan). Pendapat ini memandang semua anggota kelompok/organisasi sebagai satu kesatuan,
sehingga
kepemimpinan
diberi
makna
sebagai
kemampuan
mempengaruhi semua anggota kelompok/organisasi agar bersedia melakukan kegiatan/bekerja untuk mencapai tujuan kelompok/organisasi. Owens (1991:132) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar suatu pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin. Pendapat ini menyatakan juga bahwa kepemimpinan merupakan proses dinamis yang dilaksanakan melalui hubungan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan tersebut berlangsung dan berkembang melalui interaksi antar pribadi yang saling mendorong dalam mencapat tujuan bersama. Dengan kata lain kepemimpinan adalah hubungan interpersonal berdasarkan keinginan bersama. Kepemimpinan bukan suatu sebab tetapi akibat atau hasil dari perilaku kelompok, sehingga tanpa ada anggota (pengikut), maka tidak ada pimpinan. Pimpinan yang kuat adalah yang diakui dan didukung seluruh anggota organisasinya. Sebagai suatu kemampuan, menurut Slamet (Mardikanto, 1993: 205) " kepemimpinan" bukanlah sekedar bakat atau sesuatu yang hanya dapat
24
diperoleh sebagai faktor keturunan atau bawaan, tetapi dapat dimiliki oleh setiap orang melalui proses belajar: artinya, kepemimpinan itu dapat dipelajari. Suatu usaha mempengaruhi orang antar perseorangan (interpersonal) lewat proses komunikasi untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan (Ivancevich dan Gibson. 1993: 263). Suatu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas / kemampuan pribadi: yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. ( Kartono, 1991: 163). Dari beberapa pengertian tentang kepemimpinan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk memprakarsai tindakan anggota kelompok dalam upaya memecahkan masalah kelompok atau mencapai tujuan kelompok. Kepemimpinan adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan dalam suatu organisasi, sebab kepemimpinan itulah yang setiap kali mengambil keputusan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh organisasi atau kelompok. (Slamet, 2003). Mengingat kepemimpinan bukan merupakan sifat bawaan atau turunan, maka setiap orang mempunyai peluang untuk dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan dapat dilakukan setiap orang, namun orang
yang
memiliki
hak
dan
wewenang
untuk
menjalankan
tugas
kepemimpinan disebut pimpinan. Meskipun demikian tidak sedikit pemimpin yang kurang mampu menjalankan tugas kepemimpinan dengan baik, sebaliknya seseorang yang bukan pemimpin dapat menjalankan fungsi kepemimpinan secara baik. Menurut Sutarto (1991), kepemimpinan adalah suatu rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
25
Andrews yang dikutip oleh Fiedler (1967) menyatakan bahwa dalam mendeskripsikan kepemimpinan senantiasa terdapat variabel-variabel: (1) adanya seorang pemimpin, (2) adanya kelompok yang dipimpin, (3) adanya tujuan yang ingin dicapai. (4) adanya aktivitas, (5) adanya interaksi, dan (6) adanya otoritas. Slamet (2003) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orangorang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikemukakan oleh Slamet (2003) bahwa kepemimpinan penting dalam kehidupan bersama dan kepemimpinan itu hanya melekat pada orang dan kepemimpinan itu harus meng ena kepada orang yang dipimpinnya. Hal ini berarti harus diakui secara timbal balik, misalnya sasaran yang dipimpin harus mengakui bahwa orang tersebut adalah pemimpinnya. Berkait
dengan
soal
kepemimpinan
organisasi
dan
kemampuan
memotivasi, sangat tergantung pada potensi keupayaan dan kemampuan seorang pemimpin membentuk arah, wawasan, tujuan, prinsip, dan membina budaya.
Kemampuan memotivasi juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan
pernimpin dalam menimbulkan motivasi dalam dirinya, sehingga dapat dijadikan tcladan dalam memotivasi orang lain atau pengikutnya. Hubungan pemimpin dengan anggota berkaitan dengan derajat kualitas emosi dari hubungan tersebut, yang mencakup tingkat keakraban dan penerimaan anggota terhadap pemimpinnya. Semakin yakin dan percay a anggota kepada pemimpinnya, semakin efektif kelompok dalam mencapai Tujuannya. Dalam hubungan pemimpin dengan anggotanya perlu diperhatikan antisipasi kepuasan anggota dan harus dipadukan dengan tujuan kelompok, motivasi anggota dipertahankan tinggi, kematangan anggota dalam pengambilan keputusan dan adanya tekad yang kuat dalam mencapai tujuan (Slamet, 2003).
26
Faktor-faktor penting yang terdapat dalam pengertian kepemimpinan: (1) pendayagunaan pengaruh, (2) hubungan antar manusia, (3) proses komunikasi dan (4) pencapaian suatu tujuan. Kepemimpinan tergantung pada kuatnya pengaruh yang diberikan serta intensitas hubungan antara pemimpin dengan pengikut (Ginting, 1999). Berdasarkan uraian-uraian di atas berarti setiap dan semua pemimpin dan calon pemimpin perlu memahami pengertian kepemimpinan, sebelum melakukan usaha meningkatkan efektivitas organisasinya. Untuk itu pada giliran berikutnya seorang pemimpin dan calon pemimpin perlu pula mengetahui dan memahami berbagai teori kepemimpinan dan teori-teori pendukungnya, agar memiliki wawasan sejalan dengan orientasi baru dalam kepemimpinan. Wawasan sebagai orientasi baru itu selain perlu dipahami juga harus dapat
diimplementasikan
dalam
mewujudkan
kepemimpinannya
untuk
inengefektifkan organisasi, agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemimpin, anggota orga-nisasi yang dipimpin, masyarakat khususnya pihak yang dilayani organisasinya, bahkan juga untuk bangsa dan negaranya.
Gaya Kepemimpinan Gaya kepimpinan adalah merupakan cara-cara orang memimpin (Slamet, 1978).Sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas. (Kartono,1991:29). Sebagai gaya yang diterapkan oleh seorang pemimpin pada situasi tertentu, demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Fiedler dalam Mardikanto. 1993: 208). Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara-cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
27
(1) Gaya Kepemimpinan Autocratic Mardikanto (1993) menyebutkan bahwa otokrasi merupakan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan tergantung kepada pemimpinnya sendiri. Kartono (1991) mengatakan, kepemimpinan otokratis mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal (one-man show). Dari kedua pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otokrasi merupakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pemimpin, di mana segala keputusan dilakukannya sendiri, tanpa mau berkonsultasi dengan anggotanya. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa konsultasi dengan bawahannya. Pemimpin otokrasi senantiasa ingin berkuasa absolut, tunggal dan merajai keadaan. Pemimpin mau bersikap "baik" sepanjang bawahannya patuh secara mutlak terhadap dirinya. (2) Gaya Kepemimpinan Autoritarian Gaya kepemimpinan autoritarian pada hakekatnya sama dengan gaya kepemimpinan otokratis. Prinsip dan gaya ini adalah segala keputusan terpusat pada pemimpin. Anggota atau bawahan hanya menjalankan segala sesuatu yang diputuskan pemimpin tanpa pernah mengajak untuk berkonsultasi. Hubungan antara pemimpin dan anggotanya pada gaya ini sangat kaku. (3) Gaya Kepemimpinan Task Oriented Slamet,
(2003)
mengatakan
bahwa
gaya
kepemimpinan
yang
sepenuhnya berorientasi pada tugas yang harus diselesaikan oleh organisasi disebut dengan gaya kepemimpinan task oriented. Gaya kepemimpinan ini sangat mengutamakan terlaksananya tugas dengan baik, dengan mengabaikan perasaan tidak senang anggotanya. Dengan
28
kata lain, hubungan antara pimpinan dengan anggotanya bukan merupakan sesuatu yang penting. Ivancevich, Gibson. (1993: 269) menyebutkan bahwa pemimpin yang memusatkan perhatiannya pada pekerjaan dengan melakukan pengawasan yang ketat sehingga bawahan menjalankan tugas mereka dengan menggunakan prosedur khusus, merupakan gaya kepemimpinan job-centered. Selanjutnya dikatakan, bahwa tipe pemimpin ini mendasarkan diri pada paksaan, imbalan, dan kekuasaan yang sah untuk mempengaruhi perilaku dan hasil karya anggotanya. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa task oriented merupakan suatu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas. Dalam hal ini pemimpin menekankan pentingnya penyelesaian tugas. Sehubungan itu, pengawasan menjadi faktor penting dalam gaya ini. (4) Gaya Kepemimpinan Initiating Ivancevih,
dan
Gibson.
(1993:
271)
mengatakan
bahwa
gaya
kepemimpinan initiating menyangkut perilaku pemimpin untuk mengorganisasi dan menentukan hubungan dalam kelompok, menetapkan pola dan saluran komunikasi yang jelas dan menguraikan secara rinci cara menyelesaikan pekerjaan. Dari definisi di atas penulis memberikan pengertian gaya kepemimpinan initiating merupakan gaya yang digunakan pemimpin untuk mengorganisasi suatu kelompok, di antaranya menentukan struktur kelompok, sistem komunikasi, dan rincian tugas kelompok dalam upaya mencapai tujuan kelompok. (5) Gaya Kepemimpinan Supervisory Lundin dalam Ivancevich dan Gibson. (1993: 271) menyebutkan bahwa kemampuan supervisory merupakan penggunaan secara efektif dan apa saja
29
yang diperlukan untuk melakukan praktek supervisi sebagaimana ditentukan secara khusus oleh situasi. Dari definisi di atas penulis memberikan pengertian gaya kepemimpinan I supervisory sebagai gaya kepemimpinan yang
menitikberatkan pada
pengawasan proses kerja bawahan atau anggotanya. (6) Gaya Kepemimpinan Democratic. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan sebagai keputusan bersama dan seluruh anggota sistem sosial yang bersangkutan. Kartono (1991) menyebutkan, kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dengan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu: mau mendengarkan nasihat dan usulan bawahannya. Oleh karena itu kekuatan kepemimpinan demokratis terletak pada partisipasi aktif dari setiap anggota kelompok. (7) Gaya Kepemimpinan Considerate. Ivancevicsh dan Gibson.
(1993: 271)
menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan considerate menyangkut perilaku pemimpin yang menunjukkan persahabatan, saling mempercayai, rasa hormat, kehangatan dan hubungan antara pimpinan dan pengikut. Dari
definisi
tersebut
penulis
memberi
pengertian
bahwa
gaya
kepemimpinan considetare adalah gaya kepemimpinan yang menekankan terjalinnya hubungan baik dengan anggotanya. (8) Gaya Kepemimpinan Partisipalory. Mardikanto (1993) mengatakan, kepemimpinan partisipatif merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan kesediaan pemimpin untuk membuka
30
pintu lebar-lebar bagi bawahannya untuk berkomunikasi dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Dari definisi di atas penulis memberi pengertian bahwa kepemimpinan partisipatif merupakan gaya kepemimpinan yang mengajak anggotanya untuk memberi saran dan gagasan dalam setiap pengambilan keputusan. Menurut Siagian (1999) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang telah dikenal secara luas yaitu : (a) Demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan sebagai keputusan bersama dan seluruh anggota sistem sosial yang bersangkutan. (b) Otokrasi, yaitu kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan tergantung kepada pemimpinnya sendiri. (c) Laissez faire, yaitu gaya kepemimpinan yang menyerahkan pengambilan keputusan kepada masing-masing anggota sistem sosial itu sendiri. Gaya kepemimpinan yang ada dalam suatu kelompok atau masyarakat tergantung pada situasi yang terdapat pada kelompok masyarakat tersebut. Dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan cenderung gaya kepemimpinannya bersifat otoriter.
Pada situasi di mana
hubungan antara anggota dengan pemimpinnya sedang-sedang saja atau anggota kelompok sangat dipentingkan maka gaya kepemimpinan lebih diarahkan pada gaya kepemimpinan yang demokratis. Posner (1987: 7-I3) mengungkapkan lima prinsip yang memungkinkan pemimpin bisa menyelesaikan banyak hal yang luar biasa. Kelima prinsip tersebut adalah: (1) Menantang proses Pemimpin harus berani menantang proses yang berjalan secara alami. Pemimpin adalah pelopor. orang yang bersedia melangkah ke luar dan
31
memasuki apa yang belum diketahui. Mereka bersedia mengambil resiko, melakukan inovasi dan percobaan supaya bisa menemukan cara baru dan lebih baik untuk melakukan banyak hal. Pemimpin adalah pengguna awal. Pemimpin adalah orang yang sanggup belajar, mereka belajar dari kegagalan mereka di samping dan keberhasilan mereka. (2) Menghadirkan wawasan bersama Untuk mencapai tujuan bersama, pemimpin harus mampu memberi ilham bagi munculnya wawasannya sebagai wawasan orang yang dipimpin. Pemimpin harus memahami kebutuhan, impian, harapan, aspirasi orang yang dipimpin. Pemimpin harus menempa kesatuan tujuan dengan menunjukkan bagaimana impian dapat dicapai dan membangkitkan antusiasme bagi anggotanya. (3) Memungkinkan orang lain bisa bertindak. Seorang pemimpin akan berhasil jika mampu membuat anak buah merasa kuat, mampu, dan memiliki keyakinan. Pemimpin memungkinkan orang yang dipimpin bisa bertindak dengan berbagi kepemimpinan. Kepemimpinan sebaiknya terjadi akibat adanya hubungan yang berdasarkan kepercayaan dan keyakinan. (4) Menjadi penunjuk jalan. Seorang pemimpin akan berhasil jika mampu memberi contoh dan membina komitmen melalui tindakan sehari-hari, yang menciptakan kemajuan. Pemimpin harus dapat menjadi penunjuk jalan melalui contoh pribadi dan pelaksanaan yang penuh pengabdian tanpa pamrih atau mengharapkan adanya imbalan. (5) Membesarkan hati. Pemimpin akan berhasil jika mampu membesarkan hati anak buah untuk berjalan terus,
menunjukkan kepada anak buah bahwa mereka bisa
32
menghadapi segala masalah dan rintangan, dan memberikan pengakuan terhadap keberhasilan individual dan kelompok.
Komitmen Pemimpin Secara etimologis, komitmen (commitment) dapat diartikan sebagai janji atau tanggungjawab. Dengan demikian seorang pemimpin yang baik harus memiliki
tanggungjawab
dalam
melaksanakan
tugas
kepemimpinannya.
Tanggungjawab merupakan salah satu bentuk manifestasi dari kewenangan yang diberikan anggota sistem sosialnya kepada pemimpinnya. Yuki (1998: 76-77) menguraikan beberapa pedoman untuk mendefinisikan tanggungjawab tugas seorang pemimpin: (a) Bertemu dengan bawahan untuk bersama-sama mendefinisikan pekerjaan; kapanpun tugas seorang bawahan atau anggota organisasi atau tim diubah maka
pertemuan
harus
segera
dilakukan
untuk
bersama-sama
mengembangkan deskripsi tugas bagi para bawahan. (b) Menetapkan prioritas bagi berbagai tanggungjawab, tidak ada formula yang sederhana untuk menentukan prioritas, namun ia harus mencerminkan pentingnya sebuah kegiatan bagi unit kerja organisasi. Bila persetujuan mengenai
prioritas
tak
dapat
diselesaikan,
maka
pemimpin
harus
menyatakan dengan jelas apa yang diharapkan agar bawahan atau anggota dapat mengerti. (c) Menjelaskan jangkauan kewenangan bawahan (anggota); tanggungjawab dan
tugas yang dibebankan kepada bawahan harus diuraikan dengan jelas.
namun juga memberi peluang kepada anggota untuk memeriksa pengertian tentang kebijaksanaan dan peraturan yang berkaitan dengan tindakan para anggota.
33
Posner (1987: 13-276) mengungkapkan dan menguraikan 10 komitmen pemimpin, yang merupakan petunjuk cara pemimpin menyelesaikan banyak hal yang luar biasa dalam organisasi. Kesepuluh komitmen pemimpin tersebut adalah: (1) Mencari kesempatan yang menantang untuk mengubah, mengembangkan, dan melahirkan inovasi; komitmen ini dapat dilakukan dengan: -
Memperlakukan setiap tugas sebagai petualangan,
-
Memperlakukan setiap tugas baru sebagai permulaan, bahkan seandainya
bukan,
-
Mempertanyakan status quo,
-
Mendorong orang mencari gagasan,
-
Memasukkan pengumpulan gagasan sebagai agenda pemimpin,
-
Pergi ke luar dan menemukan sesuatu yang perlu diperbaiki,
-
Menugaskan orang untuk memanfaatkan dan meraih kesempatan,
-
Memperbaharui tim atau anggota,
-
Menambah petualangan dan kesenangan kepada seti ap orang (bawahan).
-
Mempelajari keahlian baru dan mengikuti pelajaran tambahan.
(2) Melakukan eksperimen, mengambil resiko, dan belajar dari kesalahan yang menyertai; -
Melakukan eksperimen (percobaan) dalam skala kecil,
-
Menciptakan suasana aman bagi orang lain untuk melakukan eksperimen,
-
Menyingkirkan tindakan yang dapat memunculkan amarah.
-
Bekerja bahkan dengan gagasan yang mula-mula kedengaran aneh,
-
Menghargai orang yang berani mengambil resiko,
-
Melakukan debrifing tentang setiap kegagalan seperti setiap sukses,
34
(3)
-
Memberikan teladan mengambil resiko,
-
Mendorong pemikiran adanya peluang atau kemungkinan,
-
Memaksimalkan kesempatan untuk berbagai pilihan,
-
Membuat jabatan resmi sebagai pilihan.
Membayangkan masa depan untuk meningkatkan semangat, hal ini ditempuh dengan : -
Memikirkan lebih du!u masa lalu.
-
Menetapkan tujuan yang diinginkan.
-
Menulis artikel tentang bagaimana membuat perbedaan,
-
Menulis pernyataan wawasan secara singkat,
-
Bertindak berdasarkan intuisi (bisikan hati),
-
Menguji pengandaian,
-
Menjadi pakar masa depan,
-
Berlatih dengan visualisasi dan pengukuhan.
(4) Mengajak orang lain dalam wawasan bersama dengan menghimbau nilai nilai, perhatian, harapan dan impian mereka; dengan cara-cara berikut: -
Mengenali pengikut,
-
Menemukan sesuatu landasan bersama,
-
Mengembangkan kecakapan antarpribadi,
-
Menghembuskan nafas kehidupan ke dalam wawasan pemimpin,
-
Bicara secara positif,
-
Membuat apa yang tidak nyata menjadi nyata,
-
Mendengarkan lebih dahulu dan sering meminta penjelasan lebih jauh.
(5) Menganjurkan kerja sama dengan mengemukan tujuan dengan penuh kerjasama dan membina kepercayaan; -
Selalu mengatakan kita, bukan 'aku' atau "kami",
-
Meningkatkan interaksi,
35
-
Berfokus pada perolehan, bukan kehilangan,
-
Membuat daftar alat pembayaran alternatif,
-
Membentuk kemitraan perencanaan dan pemecahan masalah,
-
Melakukan pemeriksaan kerjasama,
-
Berjalan lebih dahulu atau di depan anggota.
(6) Memperkuat orang dengan memberikan kekuasaan, menyediakan pilihan, mengembangkan kecakapan, memberikan tugas penting, dan menawarkan dukungan yang kelihatan; dengan cara: -
Memperbesar lingkup pengaruh orang lain.
-
Memastikan bahwa tugas yang didelegasikan relevan,
-
Mendidik dan mendidik.
-
Melangsungkan pertemuan,
-
Membuat dan menjalin hubungan-hubungan dengan pihak lain,
-
Menjadikan orang lain sebagai pahlawan.
(7) Memberikan teladan dengan berperilaku secara konsisten dengan wawasan bersama; hal ini dapat dilakukan dengan: -
Instrospeksi diri,
-
Menulis kegiatan kepemimpinan,
-
Menulis pujian pribadi dan pujian kepada organisasi,
-
Membuka dialog tentang nilai-nilai pribadi dan bersama,
-
Memeriksa tindakan,
-
Bertukar tempat,
-
Bersikap dramatis,
-
Menceritakan kisah (pengalaman) saat memberi pelajaran.
(8) Mencapai kemenangan kecil yang dapat meningkatkan kemajuan secara konsisten dan membina komitmen; -
Mengambilnya secara pribadi,
36
-
Membuat rencana,
-
Menciptakan model,
-
Memecah-mecah dan menurunkan,
-
Menghimbau sukarelawan,
-
Menggunakan papan pengumuman,
-
Menjual keuntungan,
-
Mengajak orang lain makan malam (atau makan pagi).
(9) Menghargai sumbangan individu kepada keberhasilan setiap proyek (kegiatan); -
Bersifat kreatif tentang imbalan dan penghargaan serta memberikannya secara pribadi,
-
Memberikan penghargaan di muka umum,
-
Merancang imbalan dan penghargaan sistem peranserta,
-
Memberikan umpan balik sambil berjalan,
-
Menciptakan Pygmalion,
-
Menemukan orang yang melakukan banyak hal dengan benar,
-
Melatih anak buah.
(10)
Merayakan keberhasilan tim secara teratur, dengan cara: -
Jadwalkan perayaan,
-
Memberi pujian,
-
Menjadi bagian orang yang memberi penghargaan,
-
Bersenang-senang,
-
Menetapkan jaringan sosial dan mendukungnya,
-
Tetap mencintai,
-
Merencanakan perayaan sekarang juga. Menurut Robinson (Ginting, 1999), para ahli mengemukakan bahwa
peranan yang perlu ditampilkan pemimpin adalah: (1) mencetuskan ide atau
37
sebagai seorang kepala, (2) memberi informasi, (3) sebagai seorang perencana, (4) memberi sugesti, (5) mengaktifkan anggota, (6) mengawasi kegiatan, (7) memberi semangat untuk mencapai tujuan, (8) sebagai katalisator, (9) mewakili kelompok, (10) memberi tanggung jawab, (11) menciptakan rasa aman dan (12) sebagai ahli dalam bidang yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin kelompok seseorang harus berperan mendorong anggota beraktivitas sambil memberi sugesti dan semangat agar tujuan dapat tercapai. Segala masukan yang datang dari luar, baik berupa ide atau gagasan, tekanan-tekanan, maupun berupa materi,
semuanya harus diproses di bawah koordinasi pemimpin. Untuk ini,
perlu berperan: (1) sebagai penggerak (aktivator), (2) sebagai pengawas, (3) sebagai martir, (4) sebagai pemberi semangat/kegembiraan, dan (5) sebagai pemberi tanggung jawab kepada anggota. Menurut Covey (Yuliani, 2002), ada tiga peranan pemimpin dalam kelompok/organisasi antara lain: (1) Pencarian alur (Pathfinding), mengandung sistem nilai dan visi dengan kebutuhan pelanggan melalui suatu perencanaan strategis yang disebut the strategic pathway (jalur strategi). (2) Penyelarasan (Aligning), upaya memastikan bahwa struktur, sistem dan operasional organisasi memberi dukungan pada pencapaian visi dan misi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan pemegang saham lain yang terlibat. (3) Pemberdayaan (Empowerment), suatu semangat yang digerakkan dalam diri orang-orang yang mengungkapkan bakat, kecerdikan dan kreativitas laten, untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati untuk mencapai nilai, visi dan misi bersama dalam melayani kebutuhan pelanggan dan pemegang saham lain terlibat.
38
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan ciri-ciri aktivitas seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan "kepemimpinan " adalah ciriciri kegiatan dari seorang pemimpin atau atasan langsung dari unit terendah sampai yang paling tinggi di dalam instansi/lembaga tersebut (jabatan struktural/eselonering dan jabatan fungsional).
Karakteristik Pegawai Karakteristik individu ialah sifat-sifat yang ditampilkan seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dunia atau lingkungannya sendiri (Reksowardoyo, 1983: 4). Menurut Yusuf (1989: 37), keberhasilan dari suatu program pendidikan ditentukan antara lain oleh karakteristik pengajar dan pelajarnya, dan karakteristik itu berbeda-beda pada setiap warga belajarnya. Seorang pegawai tidak dilahirkan ke muka bumi mi, tetapi dibentuk oleh dirinya sendiri melalui proses interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik yang dialami sepanjang kehidupan. Kecerdasan pegawai dimiliki sebagai kemampuan dasar oleh semua individu, namun dalam perkembangannya melalui interaksi dengan lingkungan, menjadi tidak sama antar setiap individu yang satu dengan individu lainnya. Dengan demikian berarti juga setiap dan semua individu mungkin dapat meningkatkan kemampuan mendayagunakan kecerdasan yang dimilikinya. Kapanpun waktunya atau berapapun usianya seseorang tidak pernah terlambat untuk mengubah dan mengembangkan diri agar menjadi orang yang memiliki dan mampu mendayagunakan kecerdasannya untuk mencapai sukses. Menurut Slamet (1978: 396), perbedaan-perbedaan individu yang mempengaruhi cepat
39
lambatnya proses adopsi adalah: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan (localite vs cosmopolite), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme (tidak adanya kemampuan untuk mengontrol masa depannya sendiri), dan diagnotisme (sistem kepercayaan yang tertutup). Jadi karakteristik pegawai yaitu ciri-ciri pegawai yang berhubungan dengan
kepemimpinan
dan
motivasi
kerja
yang
pada
akhirnya
akan
meningkatkan prestasi kerja pegawai yang bersangkutan
Budaya Organisasi Budaya Organisasi, menurut Barry Cushway dan Derek Lodge (1995: 2425), adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi falsafah utama yang dipegang
teguh
oleh
anggota
organisasi
dalam
menjalankan
atau
mengoperasio-nalkan kegiatan organisasi. Schein (Schermerhorn, Hurn dan Osborn, 1995:253) mengatakan budaya organisasi adalah suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai-nilai yang dikembangkan di dalam sebuah organisasi sebagai pedoman perilaku anggotanya. Gureth
(1994:
13-14)
mendefinisikan
budaya
organisasi
adalah
sekumpulan nilai-nilai yang mengendalikan interaksi antar anggota organisasi dan interaksi dengan sistem dan lingkungan organisasi lainnya. Budaya organisasi dibentuk oleh semua orang yang terlibat dengan organisasi (pemilik, pimpinan dan karyawan) yang mengacu pada etika organisasi, peraturan kerja dan tipe struktur organisasi. Budaya organisasi melalui struktur organisasi membentuk dan mengendalikan perilaku organisasi dan anggota organisasi. Orang-orang yang terlibat di dalam organisasi merupakan sumber utama budaya organisasi, karena seseorang hanya akan
40
bergabung pada organisasi yang dirasakan sesuai, demikian pula sebaliknya organisasi hanya akan sesuai dan menerima orang-orang yang sesuai dengan nilai-nilai di dalam organisasi. Semakin lama seseorang berada dalam organisasi berarti telah terjadi interaksi timbal balik, orang tersebut akan merasa semakin sesuai dengan nilai-nilai di dalam organisasi, sebaliknya organisasi akan semakin membutuhkan orang tersebut. Namun harus diterima kenyataan bahwa sejalan dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi yang dapat dikelola dan dapat diubah atau berubah. Sehubungan dengan itu Robbins (1996: 681) mengatakan ada kecenderungan yang luas bahwa organisasi mengarah pada suatu sistem milik bersama (meskipun diawali dengan didirikan oleh satu orang) yang budaya organisasinya juga dikembangkan untuk menciptakan kebersamaan antar seluruh anggota organisasi. Sejalan dengan pendapat itu Kotter dan Haskett (1992: 3) mengatakan bahwa dari proses terwujudnya budaya organisasi, sumber utama dan pertama budaya organisasi pasti berasal dari pemilik atau pendiri dan/atau pemimpin yang pertama, sebagai orang-orang yang pertama menentukan visi, strategi, filosofis dan nilai-nilai yang diterima dan dianut dalam organisasi. Suatu
peninjauan
yang
lebih
mendalam
dan
sederet
defenisi
memperlihatkan sebuah tema sentral-budaya organisasi merujuk pada suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama. Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktek-praktek yang telah berkembang sejak beberapa lama. Kesemua itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya harus berperilaku.
41
Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen. Kebanyakan peneliti tidak berusaha merinci karakteristik tersebut. Sebaliknya, mereka berbicara budaya sebagai "milieu" yang abstrak. Jika budaya itu memang ada, dan kita menyatakan bahwa memang demikian adanya, maka budaya harus mempunyai dimensi mencolok yang dapat didefenisikan dan diukur. Untuk itu ada 10 (sepuluh) karakteristik yang jika dicampur dan dicocokkan akan mengambil esensi dan sebuah budaya organisasi. Seluruh budaya organisasi mungkin sedikit berbeda dan penjumlahan bagian-bagiannya, yang disebut di bawah ini merupakan karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi. (Robbins, 1990) (1) Inisiatif Individual. Tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dipunyai individu. (2) Toleran terhadap tindakan beresiko. Sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif inovatif, dan mengambil resiko. (3) Arah. Sejauhmana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi. (4) Integrasi. Tingkat sejauhmana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. (5) Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauhmana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan,
serta dukungan terhadap bawahan
mereka. (6) Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai. (7) Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional.
42
(8) Sistem imbalan. Tingkat sejauhmana alokasi imbalan (misalnya, kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. (9) Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauhmana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. (10) Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauhmana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kesepuluh karakteristik tersebut mencakup dimensi struktural maupun perilaku, misalnya, dukungan dari manajemen adalah ukuran mengenai perilaku kepemimpinan. Kebanyakan dimensi tersebut berkaitan erat dengan desain organisa si. Untuk menggambarkannya, makin rutin teknologi sebuah organisasi dan makin disentralisasi proses pengambilan keputusannya, maka makin kurang pula inisiatif individual para pegawainya. Demikian pula, strukrur fungsional menciptakan budaya yang mempunyai lebih banyak pola komunikasi formal dari pada struktur sederhana atau yang matriks. Analisis yang lebih mendalam akan memperlih atkan bahwa integrasi pada dasarnya adalah sebuah indikator tentang tingkat interdependensi horizontal. Maksudnya adalah bahwa budaya organisasi bukan hanya refleksi dari sikap para anggota serta kepribadiannya. Sebagian besar budaya organisasi dapat dilacak langsung pada variabel-variabel yang berhubungan secara struktural.
Tugas Pokok dan Fungsi Pusdiklat Pegawai Depsos Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 06/HUK/2001 pasal 538 menegaskan bahwa Pusdiklat Pegawai mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan teknis serta koordinasi pelaksanaan di bidang pendidikan dan pelatihan pegawai.
43
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut Pusdiklat Pegawai mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) Penyiapan perumusan kebijakan teknis diklat pegawai. (2) Penyusunan program diklat pegawai. (3) Pemberian pelayanan pelaksanaan diklat pegawai. (4) Koordinasi pelaksanaan diklat pegawai. (5) Pelaksanaan diklat pegawai berskala nasional dan internasional. (6) Penyusunan standar mutu diklat pegawai. (7) Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan diklat pegawai. (8) Pelaksanaan Tata Usaha dan rumah tangga diklat.
Visi, Misi, Nilai, dan Sasaran Pusdiklat Pegawai Depsos
Mewujudkan Pusdiklat Pegawai sebagai pusat unggulan peningkatan dan pengembangan pegawai kesejahteraan sosial yang berkualitas, profesional dan berkarakter. Pusat unggulan, artinya bahwa perangkat hardware (sarana prasarana), perangkat software, perangkat brainware dan perangkat kelembagaan harus dapat menjadi yang paling prima di antara atau dibandingkan dengan yang lainnya serta berupaya membangun suatu masyarakat belajar (learning society). Profesional, artinya bahwa analisis kebutuhan diklat, sistem dan mekanisme pelaksanaan diklat, kriteria peserta diklat, penguasaan dan pengembangan profesi pekerjaan sosial serta penugasan dan penempatan kembali
(mutasi)
profesionalisme.
para
alumni
harus
didasarkan
pada
pertimbangan
44
Berkarakter, artinya bahwa setiap alumni pegawai diklat harus memiliki kemampuan profesionalisme, nilai moral keagamaan, nilai moral etika, nilai pendidikan disiplin dan nilai pendidikan outward bound. Dalam upaya mewujudkan visi dimaksud perlu direalisasikan dengan melaksanakan misi, sebagai langkah operasional yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang lebih terarah. Misi Pusdiklat Pegawai dalah: (1) Menyelenggarakan, mengkoordinasikan dan membina diklat pegawai kesejahteraan sosial; (2) Melaksanakan pengkajian dan pengembangan diklat pegawai kesejahteraan sosial; dan (3) Memberikan pelayanan dan konsultasi diklat pegawai kesejahteraan sosial. Nilai-nilai yang ada pada Pusdiklat Pegawai Depsos adalah: (1) Berorientasi pada mutu pelayanan yang berkualitas; (2) Mengutamakan kepentingan pelanggan di atas kepentingan lainnya; (3) Menjunjung tinggi nilainilai profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial; (4) Dalam memberikan pelayanan harus tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat orang yang dilayani; (5) Bersikap jujur, objektif, dan tidak membeda-bedakan para pelanggan; (6) Pelayanan yang diberikan harus tuntas sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya; (7) Berusaha secara terus menerus dalam usaha-usaha perbaikan pelayanan; dan (8) Mengembangkan nilai-nilai keagamaan, moral dan etika pelayanan kesejahteraan sosial. Pada dasarnya sasaran diklat pegawai adalah pegawai negeri sipil (PNS). Oleh karena itu sesuai dengan namanya, yang dimaksud dengan sasaran diklat pegawai adalah pegawai negeri sipil baik di lingkungan Deprtemen Sosial RI maupun di luar departemen yang terkait, khusus di luar departemen/instansi terkait adalah pegawai dari Dinas Sosial kabupaten/kota maupun provinsi serta instansi lainnya, dan ini biasanya diselenggarakan di B2P2KS yang ada di daerah menurut regional masing-masing balai.
45
Seiring dengan perkembangan era otonomi daerah saat ini keberadaan Pusdiklat Pegawai tidak hanya menyelenggarakan diklat bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan departemen sendiri, akan tetapi dinas-dinas sosial provinsi maupun diklat provinsi, sehingga eksistensi diklat pegawai di dalam mengembangkan kemampuan tenaga kesejahteraan sosial secara profesional.
Program Pusdiklat Pegawai Depsos Sesuai dengan kewenangan yang ada Pusdiklat Pegawai melaksanakan program diklat dan non diklat sebagai berikut: a. Diklat: (1) Kegiatan kediklatan seperti: Training of Trainer (TOT), Management of Trainer (MOT). (2) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan pimpinan tingkat III. (3) Diklat-diklat lain yang bersifat nasional. (4) Uji coba diklat skala nasional. (5) Diklat internasional. (6) Diklat yang bersifat strategis. (7) Diklat Manajerial (yang ditujukan pada pimpinan unit) (8) Diklat Pejabat Fungsional. (9) Diklat standarisasi / akreditasi diklat. b. Non Diklat: (1) Kajian / analisis kebutuhan diklat skala nasional. (2) Penyusunan dan pengembangan kurikulum diklat berskala nasional. (3) Pengembangan model pengkajian, monitoring, dan evaluasi diklat skala (4) nasional. (5) Penyusunan modul dan pedoman diklat skala nasional.
46
(6) Pengembangan metodologi dan teknologi diklat. (7) Lokakarya skala nasional. (8) Sosialisasi program diklat skala nasional.
Kelembagaan Pusdiklat Pegawai Depsos Struktur Organisasi Berdasarkan keputusan Menteri Sosial Nomor 06/HUK/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial bahwa struktur organisasi Pusat Pendidikan dan latihan Pegawai Departemen Sosial adalah sebagai berikut: (a) Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai. (b) Bagian Tata Usaha, yang terdiri dari: (1) Sub Bagian Umum. (2) Sub Bagian Rumah Tangga. (c) Bidang pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai, yang terdiri dari: (1) Sub Bidang Diklat Teknis Pegawai. (2) Sub Bidang Diklat Fungsional dan Profesi. (d) Bidang Mutu Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yang terdiri dari: (1) Sub Bidang Standarisasi dan Akreditasi diklat pegawai. (2) Sub Bidang Metodologi dan teknologi diklat pegawai.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Prestasi
adalah
hal-hal
yang
mendatangkan
kepuasan,
pengakuan, tanggung jawab dan kemajuan dan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kepuasan dan prestasi kerja sering dihubungkan, tetapi sebenarnya pengaruh keterkaitan satu sama lain tergantung kepada situasi kerja orang di dalamnya. Orang akan termotivasi baik jika mereka memiliki sesuatu untuk dicapai. Perasaan ketidakpuasan dan keinginan untuk berprestasi atau berkuasa lebih banyak menjadi motivator bagi beberapa orang. Semuanya akan tergantung kepada orang-orang yang bersangkutan dan lingkungan kerja mereka. Setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pemimpin tertinggi (pimpinan puncak) dan/atau manajer tertinggi (top manager) yang harus menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) dan/atau manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan (Nawawi, 2003: 21). Dalam kenyataan kepemimpinan merupakan suatu proses dinamis yang dilaksanakan melalui hubungan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan tersebut berlangsung dan berkembang melalui transaksi antar pribadi yang saling mendorong dalam mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan bukan suatu sebab tetapi akibat atau hasil dari perilaku kelompok, sehingga tanpa ada anggota (pengikut), maka tidak ada pemimpin. Pemimpin yang kuat adalah yang diakui dan didukung seluruh anggota organisasinya. Budaya kerja dalam suatu organisasi merupakan nilai-nilai dominan yang didukung oleh seluruh anggota organisasi, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, dan asumsi dasar yang terdapat diantara anggota organisasi; merujuk pada
48
suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama. Kesemuanya itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama diantara para anggota organisasi mengenai bagaimana sebenarnya pekerjaan itu, dan bagaimana anggotanya harus berperilaku dalam bekerja. Dengan kata lain budaya kerja yang baik adalah bagaimana suatu pekerjaan yang ada di suatu organisasi dilakukan oleh anggotanya se cara terus menerus dan ini diakui sebagai sesuatu yang baik oleh seluruh anggota organisasi. Motivasi kerja yang baik adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja, baik dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Walaupun ada hambatan at au halangan dalam bekerja akan tetapi motivasi kerja yang ada dalam diri seseorang tetap konsisten menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan target yang diharapkan. Termasuk apabila terjadi kegagalan dalam pelaksanaannya, orang yang bersangkutan tetap konsisten melaksanakan pekerjaan, sambil mencari solusi untuk mengurangi dampak negatif yang akan ditimbulkan. Prestasi kerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Artinya yang dinilai adalah kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan pegawai yang relevan dengan pekerjaannya (job relevant strengths and weaknesses). Maka apa yang disebut dengan prestasi kerja yang baik adalah suatu hasil a khir pekerjaan yang terukur diperoleh individu atau kelompok kepada organisasi tempat mereka bekerja, serta diperoleh suatu gambaran sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dengan pekerjaan dari seseorang atau satu kelompok. Dalam rangka mencapai tujuan organisasinya, seorang pemimpin harus memberikan keteladanan bagi anggotanya sehingga mampu membangkit motivasi kerja secara maksimal efisien dan efektif.
49
Disamping itu pula dalam suatu organisasi yang terdiri dari bermacammacam karakteristik pegawai yang harus dikelola oleh para pemimpin sehingga karakteristik akan menjadi suatu kekuatan yang mampu pula memotivasi anggota untuk bergerak mencapai tujuan organisasi. Untuk itu diperlukan suatu keahlian
seorang pemimpin untuk mengelolanya, sehingga karakteristik ini
menjadi sinergi dengan motivasi kerja. Untuk dapat mencapai tujuan organisasi sesuai dengan sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama, organisasi ini mempunyai kepribadian atau budaya organisasi. Bagaimana budaya diciptakan dan dipertahankan serta mempertimbangkan dampak terhadap keefektifan organisasi, sehingga dapat dilihat berapa besar pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi kerja. Dalam budaya organisasi ini dijelaskan, misalnya sebagai "nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi," falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi (Robbins, 1994: 479). Hubungan kepemimpinan, karaktenstik pegawai, budaya organisasi dan motivasi kerja sangat mempengaruhi terhadap prestasi kerja pegawai yakni antara satu dengan yang lainnya mempunyai kekuatan yang berbeda dan berfungsi mendukung tercapainya tujuan suatu organisasi. Oleh karena itu secara keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan prestasi kerja pegawai dapat dilihat dalam Gambar 1.
50
X.1. Kepemimpinan X1.1. Menantang Proses X1.2. Mengilhamkan wawasan bersama X1.3. Memungkin orang lain bertindak X1.4. Menjadi Petunjuk jalan` X1.5. Membesarkan hati A
X2 Karateristik Pegawai X2.1 Umur X2.2 Pendidikan X2.3 Pangkat/Golongan X2.4 Masa Kerja.
Y1. Motivasi Kerja Y1.1 Motivasi Instrinsik. Y1.2 Motivasi Ektrinsik
Y2. Prestasi Kerja Y2.1 Konsistensi Bekerja Y2.2 Prilaku Bekerja
X3 Budaya Organisasi X3.1 Value X3.2 Belief X3.3 Sistem Merit
Gambar 1.
Kerangka Berpikir Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi KerjaTerhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos RI.
Hipotesis
(1)
Terdapat pengaruh yang nyata antara aspek kepemimpinan, karakteristik pegawai, budaya organisasi terhadap motivasi kerja pegawai.
(2)
Terdapat pengaruh yang nyata antara motivasi kerja, terhadap prestasi kerja pegawai.
(3)
Terdapat pengaruh yang nyata antara aspek kepemimpinan dan budaya organisasi, terhadap prestasi kerja pegawai.
METODE PENELITIAN Populasi dan Responden
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Dep[artemen Sosial di Jl. Margaguna Raya No.1 Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilaksanakan selama tiga bulan sejak Bulan Januari 2006 hingga Bulan Maret 2006. Penelitian ini dilaksanakan secara sensus kepada 60 orang pegawai aktif. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa Departemen Sosial pernah mengalami rekontruksi kelembagaan termasuk pergantian
kepemimpinan,
sehingga
penting
untuk
dianalisis
pengaruh
kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian eksplanatori dengan menganalisis pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos.
Terdapat lima peubah/variabel yaitu variabel tak
bebas berupa prestasi kerja pegawai dan variabel bebas yang berupa kepemimpinan, karakteristik pegawai, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai.
Data dan Instumentasi Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Data primer yang dikumpulkan meliputi data yang berhubungan
dengan variabel utama seperti karakteristik pegawai, kepemipinan, budaya
52
organisasi dan motivasi kerja pega wai. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data penunjang seperti struktur organisasi, aturan-aturan organisasi, surat-surat keputusan dalam organisasi dan data lain yang mendukung penelitian ini. Instrumentasi
Instrumen yang digunakan dalam penelitianini berupa kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan untuk mengukur peubah penelitian yang diteliti. Kuesiner disusun atas lima bagian yaitu: (1) kepemimpinan, (2) karakteristik pegawa i, (3) budaya organisasi, (4) motivasi kerja, dan (5) prestasi kerja pegawai. Definisi Operasional Keberanian menantang proses adalah tingkat keberanian pemimpin dalam mengambil keputusan di luar proses yang berjalan alami, diukur menggunakan skala interval dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Mengilhamkan wawasan bersama adalah banyaknya pandangan/pemikiran tentang bayangan masa depan (visi) dengan meningkatkan semangat dan memuliakan misi, serta mengajak orang lain dalam pandangan/pemikiran bersama dengan mengimbau nilai-nilai, perhatian, harapan, dan impian mereka, diukur menggunakan skala interval dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Memungkinkan orang lain bisa bertindak adalah frekuensi pemimpin menganjurkan kerja sama dengan mengemukakan kejelasan sasaran yang penuh kerjasama dan membina kepercayaan. Pendelegasian pada orang dengan
memberikan
kekuasaan,
menyediakan
pilihan,
mengembangkan
kecakapan, memberikan tugas penting dan menawarkan dukungan yang
53
kelihatan, diukur
dengan menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan
menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2), sedang, dan (3) tinggi. Menjadi petunjuk jalan adalah
memberikan
teladan, diukur dengan
menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2), sedang, dan (3) tinggi. Membesarkan hati adalah frekuensi menghargai sumbangan individu kepada keberhasilan setiap proyek, serta menghargai keberhasilan secara teratur, diukur menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (I) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Karakteristik Pegawai adalah sifat-sifat
yang ditampilkan seseorang
pegawai yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dunia atau lingkungannya sendiri yang terdiri dari: Umur adalah jumlah terlamanya usia pegawai / responden yang dihitung satuan tahun sejak lahir sampai dengan wawancara dilakukan, diukur menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi empat klasifikasi yaitu: (1) 28-37 tahun, (2) 38-47 tahun, (3) 48-57 tahun, dan (4) 58-65 tahun. Pendidikan adalah jenjang sekolah formal yang pernah diikuti oleh pegawai / responden sampai dengan penelitian ini dilakukan, diukur menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi empat klasifikasi yaitu: (1) < SLTA, (2) Diploma – S1 (3) S2 dan (4) S3. Pangkat/Golongan adalah jenjang yang sudah dicapai dalam hierarki hingga hierarki kepegawaian saat penelitian ini dilakukan, diukur menggunakan skala interval dan dikelompokkan menjadi empat klasifikasi yaitu: (1) Golongan I, (2) Golongan II, (3) Golongan III, dan (4) Golongan IV Masa Kerja adalah lamanya menjadi pegawai yang dihitung tahun sejak masuk pegawai sampai dengan saat penelitian ini dilakukan, diukur menggunakan skala
54
ordinal dikelompokkan menjadi empat klasifikasi yaitu: (1) 1-11 tahun, (2) 12-22 tahun, (3) 23-33 tahun, dan (4) 34-44 tahun. Budaya Organisasi
adalah nilai-nilai dominan yang didukung staf dan
kepemimpinan diklat,
falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi
terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, dan asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi, yang terdiri dari: Nilai (Value) adalah nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam organisasi seperti inisiatif individu, toleransi terhadap tindakan beresiko dan pengarahan yang ditaati oleh seluruh pegawai diukur dengan frekuensi berhubungan dengan menggunakan skala ordinal dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak jelas, (2) kurang jelas, dan (3) jelas. Keperayaan (Belief) adalah kepercayaan yang berkaitan erat dengan desain organisasi seperti integrasi, dukungan manajemen, pengawasan/kontrol dan identitas pribadi diukur dengan interval dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak yakin, (2) kurang yakin dan (3) yakin. Sistem Merit
(Merit System)
adalah pengangkatan seseorang untuk
menduduki suatu jabatan berdasarkan atas kecakapan dan kemampuan dengan melalui ujian kepatutan diukur dengan klasifikasi (1) tidak baik, (2) kurang baik dan (3) baik. Motivasi Kerja adalah sesuatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk bertindak atau berbuat sesuatu, karena ada hal-hal yang ingin ia peroleh dengan tindakan tersebut dikur dengan klasifikasi (1) rendah, (2) sedang dan (3) tinggi. Motivasi Instrinsik adalah dorongan yang datangnya dari dalam diri sendiri untuk berbuat sesuatu agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan diukur dengan klasifikasi (1) tidak termotivasi, (2) kurang termotivasi dan (3) termotivasi.
55
Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan yang ditimbulkan dari orang-orang lain di dalam organisasi diukur dengan klasifikasi (1) tidak termotivasi, (2) kurang termotivasi dan (3) termotivasi. Prestasi Kerja adalah hasil usaha yang diperoleh seseorang di dalam ia bekerja sehingga ia memperoleh penghargaan diukur dengan klasifikasi (1) rendah, (2) sedang dan (3) tinggi. Konsistensi Bekerja adalah ketekunan/ketahanan bekerja di dalam bidang tugas yang dibebankan kepada pegawai tersebut dikur dengan klasifikasi (1) tidak konsisten (2) kurang konsisten dan (3) konsisten. Perilaku Bekerja adalah sikap dan tingkah laku seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaan yang diberikan kepadanya diukur dengan klasifikasi (1) tidak baik, (2) kurang baik dan (3) baik.
Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mendapatkan intrumen yang dapat mengukur sesuatu yang seharusnya dapat diukur dengan tepat. Uji validitas instrumen meliputi isi (content validity) dan validitas kerangka (construct validity). Uji validitas ini dilakukan dengan cara mencermati tingkat isi instrumen yang mewakili seluruh aspek yang merupakan kerangka konsep.
Semakin
lengkap aspek yang merupakan kerangka konsep penelitian dapat terkandung dalam instrumen penelitian, maka akan semakin tinggi pula validitas instrumen tersebut. Dalam menguji validitas kerangka (content validity) dapat dengan menetapkan kerangka-kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian, kemudian atas dasar konsep-konsep itulah disusun tolok ukur operasionalnya. Usaha untuk mendapatkan instrumen penelitian yang sahih, maka dalam
56
penyusunan kuesioner berpedoman kepada: (1) menyesuaikan ini pertanyaan dengan keadaan responden penelitian, (2) mempertimbangkan teori-teori dan kenyataan empiris sebagai rujukan, (3) mempertimbangkan hasil penelitian sebelumnya sebagai rujukan dan (4) memperhatikan pendapat tanggapan dan saran-saran dari para pembimbing.
Analisis Data Data yang dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan perlakuan prosedur sebagai berikut: (1) Penyuntingan data, yang meliputi: (a) Memeriksa kelengkapan pengisian daftat pertanyaan (b) Memeriksa kesesuaian jawaban satu dengan yang lainnya. (2) Mengadakan tabulasi data yang kemudian dipindahkan dalam tabel kerja yang telah disediakan dan selanjutnya dianalisis dengan bantuan Software. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif adalah melakukan analisis deskriptif terhadap data dan hasil pengamatan. Untuk melihat pengaruh hubungan variabel-variabel yang diamati, dianalisis dengan menggunakan analisis regresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Eksistensi Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Sosial RI, sebenarnya bukan hal yang baru. Unit kerja ini sudah ada sejak tahun 1975 yang pada saat itu masih beralamat di Jl. Ir. H. Juanda 36 Jakarta, kemudian tahun 1984 dikukuhkan dengan nama Pusdiklat Pegawai Depsos yang didukung dengan surat keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 12/HUK/1984 tentang kebijakan pelaksanaan pendidikan dan latihan pegawai di lingkungan Departemen Sosial. Pada awal kegiatannya Pusdiklat Pegawai melaksanakan programprogram ujian kedinasan, pendidikan dan pelatihan penjenjangan untuk dapat memenuhi formasi kepegawaian di lingkungan Depsos RI. Perkembangan selanjutnya Pusdiklat pegawai bukan hanya melaksanakan program diklat penjenjangan dan ujian dinas saja akan tetapi lebih mengarah pada kediklatan teknis, fungsional dan profesi bagi jajaran pegawai Departemen Sosial. Pelaksanaannyapun bukan hanya di pusat, namun dilaksanakan juga pada sejumlah Balai Kesejahteraan Tenaga Sosial (KTS) di daerah. Pada tahun 1995, Pusdiklat Pegawai digabung dengan Pusdiklat Tenaga Sosial dengan nomenklatur Pusdiklat Pegawai dan Tenaga Sosial (Pusdiklat Pegnagsos) dengan program dan kegiatan yang sama berlangsung hingga tahun 1999. Ketika Departemen Sosial RI dibubarkan pada tahun 2001, maka berubah nomenklatur menjadi Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) dan merger dengan
Departemen
Kesehatan
menjadi
Departemen
Kesehatan
dan
Kesejahteraan Sosial (Depkes Kesos). Demikian pula Pusdiklat Pegawai Tenaga Sosial (Pegnasos) berubah nama menjadi Pusdiklat Kesejahteraan Sosial.
58
Ketika Departemen Sosial RI dihidupkan kembali nomenklatur Pusdiklat Kesejahteraan Sosial kembali muncul dengan nama Pusdiklat Pegawai yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Sosial RI nomor 06/HUK/2001.
Gambaran Umum Responden Pegawai yang diteliti pada Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai Departemen Sosial RI berjumlah 60 orang, terdiri dari jabatan fungsional sebanyak 20 orang (33,3 persen), jabatan struktural sebanyak 10 orang (16,7 persen) dan sisanya staf sebanyak 30 orang (50 persen). Seluruh pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos menjadi responden yang dianalisis dalam penelitian ini. Secara rinci menurut umur, pendidikan, pangkat/golongan, dan masa kerja disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik responden No
X2 Karakteristik Pegawai
1
X21 Umur
2
X22 Pendidikan
3
4
5
X23 Pangkat/ Golongan
X24 Masa Kerja
Jabatan Klasifikasi
Fungsional
Jumlah
Struktural
Staf
Orang
(%)
28- 37 th
0
1
9
10
16,7
38- 47 th 48- 57 th 58- 67 th
4 10 6
4 5 0
16 5 0
24 20 6
40,0 33,3 10,0
< SLTA Diplo – S1
0 16
0 5
15 15
15 36
25,0 60,0
S2
3
4
0
7
11,7
S3 Gol II
1 0
1 0
0 7
2 7
3,3 11,7
Gol III
1
6
23
30
50,0
Gol IV 1-11 th
19 0
4 1
0 4
23 5
38,3 8,3
12- 22 th 23- 33 th 34- 44 th
5 10 5
5 4 0
18 8 0
28 22 5
46,7 36,7 8,3
20
10
30
60
100,0
Jumlah
59
Rata-rata umur responden adalah 46 tahun dengan kisaran 28 – 65 tahun; 40 persen pegawai tergolong berusia antara 38-47 tahun. Sekitar tujuh tahun ke depan terdapat 16 orang pegawai akan pensiun, terdiri sebanyak 6 orang pejabat fungsional, dan 10 orang di luar pejabat fungsional. Tingkat pendidikan formal responden sebagian besar (60 persen pegawai) telah berpendidikan Diploma - S1. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Ini berarti pegawai berpotensi dapat memahami tugas-tugas pokok yang harus dilaksanakannya. Sebagian besar responden (50 persen pegawai) berada pada Golongan III, ini dikarenakan masa kerja rata-rata pegawai sudah cukup lama bagi mereka yang memulai kariernya dengan pendidikan SLTA dan program diploma. Bagi pegawai yang mulai kariernya dengan pendidikan S1 secara otomatis masuk pada pangkat dan golongan III. Syarat yang harus dipenuhi bagi staf untuk dapat diangkat setingkat di atas pangkat/golongannya adalah: sekurang-kurangnya mereka telah menduduki pangkat dan golongan minimal selama empat tahun dan pangkat/golongan tersebut masih memungkinkan untuk naik sesuai dengan peraturan yang berlaku serta telah memenuhi syarat untuk diusulkan kenaikan pangkatnya dengan mempertimbangkan Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai (DP3). Bagi pegawai yang berada pada jabatan struktural, dapat naik pangkat istimewa setiap dua tahun sekali apabila ketika menduduki jabatan belum memenuhi pangkat minimal
pada jabatan tersebut.
Khusus untuk jabatan
fungsional dapat diusulkan kenaikan pangkat setingkat di atas dua tahun sekali, apabila telah memenuhi persyaratan yaitu angka kredit yang telah ditetapkan. Malahan apabila jumlah kredit yang dikumpulkan melebihi dari target yang ada, maka angka kredit tersebut menjadi tabungan dan dapat dipakai untuk kenaikan pangkat berikutnya.
60
Rata-rata masa kerja pegawai telah bekerja selama 20 tahun dengan kisaran 1–44 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Pegawai telah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di bidang tugas pokoknya. Di samping itu, sejak tahun 1995 pemerintah menetapkan kebijakan ”zero growth” yaitu tidak menerima pegawai baru bagi seluruh instansi pemerintah kecuali ada beberapa instansi yang diberi izin untuk merekrut pegawai baru. Baru
pada tahun 2003 dengan berlakunya Undang-
undang 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, diadakan kembali penerimaan pegawai baru.
Berdasarkan distribusi responden terlihat bahwa
sebesar 46,7 persen pegawai memiliki masa kerja dari 12-22 tahun.
Kepemimpinan Pusdiklat Depsos
Kepemi mpinan pemimpin di Pusdiklat Depsos yang dianalisis terdiri dari kemampuan pemimpin dalam: menantang proses, mengilhamkan wawasan bersama, memungkinkan orang lain bertindak, menjadi penunjuk jalan dan membesarkan hati para follower-nya (Konsep Posner, 1989: 7-13).
Hasil
penelitian disajikan pada Tabel 2.
Menantang Proses
Sebagian pegawai (50 persen) menyatakan bahwa kepemimpinan yang ada tergolong kurang berani menantang proses.
Hal ini berarti bahwa para
pemimpin yang ada kurang berani mengkritisi dari kebiasaan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Selain itu, kenyataan yang ada di lapangan para pimpinan yang ada dapat dinilai masih kurang berani mengambil resiko; untuk melakukan inovasi dan terobosan supaya bisa menemukan cara baru dan lebih baik untuk
61
melakukan perubahan-perubahan untuk kemajuan lembaga/organisasi. Ini menunjukkan bahwa pemimpin bekerja hanya pada aturan-atruan baku yang ditetapkan untuk dapat menyelamatkan diri dari status quo (jabatan). Dengan prinsip asal pimpinan yang di atas “senang”, tanpa mau mengambil resiko yang penting tetap pada kedudukan jabatannya, walaupun mengorbankan organisasi dan staf.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan penilaian terhadap Prinsip-prinsip kepemimpinan No
1
2
3
4
5
X1 Prinsip Kepemimpinan
Klasifikasi
Jabatan (%) FungStrukStaf sional tural 35,0 40,0 63,3
X11 Menantang Proses
Rendah (skor 15-20) Sedang (skor 21- 26) Tinggi (skor 27-32)
65,0 0,0
50,0 10,0
X12 Mengilhamkan wawasan bersama X13 Memungkinkan orang lain bertindak
Rendah (skor 11-16)
80,0
Sedang (skor 17- 22)
10,0
Tinggi (skor 23-28)
Jumlah Orang
(%)
30
50,0
36,7 0,0
29 1
48,3 1,7
40,0
43,3
33
55,0
40,0
53,4
22
36,7
10,0
20,0
3,3
5
8,3
Rendah (skor 11-15)
55,0
50,0
20,0
22
36,7
Sedang (skor 16- 20)
35,0
20,0
50,0
24
40,0
Tinggi (skor 21-25)
10,0
30,0
30,0
14
23,3
X14 Menjadi petunjuk jalan
Rendah (skor 8- 13) Sedang (skor 14- 19)
25,0 70,0
50,0 40,0
0,0 90,0
10 45
16,7 75,0
5,0
10,0
10,0
5
8,3
X15 Membesarkan Hati
Rendah (skor 104-141) Sedang (skor 142-179)
25,0 55,0
20,0 40,0
43,3 33,3
20 25
33,3 41,7
Tinggi (skor 180- 217)
20,0
40,0
23,4
15
25,0
Tinggi (skor 20-25)
Mengilhamkan Wawasan Bersama Pemimpin harus mampu memberi ilham bagi munculnya wawasannya sebagai wawasan orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama. Para pemimpin yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos dalam hal menghadirkan wawasan bersama tergolong dalam kategori rendah, hal tersebut dinyatakan 55 persen pegawai. Hal ini mengindikasikan bahwa para pimp inan kurang mampu
62
untuk memahami kebutuhan, impian, harapan dan aspirasi para pegawai yang dipimpinnya, sehingga perasaan memiliki “sense of belonging” dari staf/bawahan kurang tercemin, ini membuat pemimpin tidak mampu untuk bertindak secara tegas.
Memungkinkan Orang lain Bertindak
Para pemimpin yang ada tergolong cukup baik dalam memberikan kepercayaan atau pendelegasian wewenang kepada para pegawainya untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai unit kerjanya masing-masing tanpa melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan hal tersebut dinyatakan oleh 40 persen pegawai.
Hal ini berarti
para pemimpin
cukup memberikan kebebasan
(keleluasaan) kepada bawahannya untuk mengeluarkan ide, pendapat/gagasan demi kemajuan organisasi.
Selain itu data ini dapat pula
mengindikasikan
bahwa para pimpinan yang ada tergolong cukup baik dalam membuat bawahannya merasa kuat, mampu, dan memiliki keyakinan terhadap nilai yang ada dalam organisasi.
Menjadi Penunjuk Jalan Pemimpin yang dapat menjadi penunjuk jalan pada bawahannya adalah pemimpin yang mampu memberikan wawasan untuk memecahkan masalah yang dihadapi para bawahannya dalam penyelesaian tugas-tugas. Sebagian besar (75 persen pegawai) menyatakan bahwa para pemimpin yang ada tergolong cukup baik dalam memberikan penunjuk jalan bagi para bawahannya. Hal terlihat dari kenyataan di lapangan bahwa para pimpinan memiliki cukup kepedulian terhadap masalah-masalah yang dihadapi para bawah annya dan tetap konsisten pada keputusan yang telah menjadi kesepakatan bersama,
63
walaupun situasi dan kondisi dapat mengubah semua keadaan ini, dengan alasan yang bermacam-macam.
Membesarkan Hati Membesarkan hati adalah freku ensi pimpinan untuk menghargai setiap usaha individu dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Se besar 41,7 persen
pegawai menyatakan bahwa para pemimpin yang ada tergolong cukup baik dalam membesarkan hati para bawahannya. Hal ini terlihat dari usaha pimpinan untuk
menghargai
keberhasilan
hasil
kerja
para
bawahannya
dengan
memberikan “uang lelah” dan rasa terima kasih walaupun sifatnya insidental dalam bentuk pengakuan, tetapi sudah dapat memberikan dorongan bagi staf dan bawahan untuk bekerja lebih baik.
Budaya Organisasi Budaya organisasi yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri atas: nilai (value), kepercayaan (belief), dan sistem merit (merit system) . Hasil penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan budaya organisasi No
X3 Budaya Organisasi
1
X31 Nilai (value)
2
X32 Kepercayaan (belief)
3
X33 Sistem Merit
Klasifikasi Tidak jelas (skor 8- 12) Kurang jelas (skor 13- 17) Jelas (skor 18-22)
Jabatan (%) FungStruksional tural 40,0 60,0 55,0 30,0
Jumlah Staf
Orang
(%)
40,0 56,7
26 31
43,3 51,7
5,0
10,0
3,3
3
5,0
Tidak yakin (skor 8-10)
50,0
80,0
56,7
35
58,3
Kurang yakin (skor 11-13) Yakin (skor 14-16)
40,0 10,0
20,0 0,0
40,0 3,3
22 3
36,7 5,0
Tidak baik (skor 7-12) Kurang baik (skor 13-18)
45,0 45,0
20,0 60,0
43,3 53,3
24 31
40,0 51,7
Baik (skor 19- 24)
10,0
20,0
3,4
5
8,3
64
Nilai (Value) Nilai (Value) adalah nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam organisasi seperti inisiatif individu, toleran terhadap tindakan yang berisiko dan pengarahan yang ditaati oleh seluruh pegawai. Nilai ini dimanifestasikan dalam bentuk norma-norma/aturan-aturan. Norma adalah pedoman perilaku standar yang dapat diterima oleh orang-orang yang ada dalam organisasi. Nilai yang dianut masing-masing organisasi berbeda-beda. Nilai adalah suatu ketentuan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Bila tidak ada nilai dan norma maka kehidupan organisasi kacau balau. Sebagian besar 51,7 persen pegawai menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam organisasi tergolong pada kategori kurang jelas.
Kenyataan yang ditemukan di lokasi
penelitian, nilai-nilai yang dianut oleh para pegawai di antaranya nilai-nilai gotong royong, nilai toleransi yang sudah menjadi pola yang ditaati bersama , walaupun sering muncul ego individualis dari seluruh anggota organisasi.
Kepercayaan (Belief)
Keyakinan adalah segala sesuatu yang dianggap benar oleh sistem sosial. Keyakinan tertent u harus dimiliki oleh anggota-anggota yang ada dalam organisasi. sama.
Sedapat mungkin organisasi direkatkan dalam keyakinan yang
Keyakinan berfungsi sebagai perekat sistem sosial.
Makin banyak
keyakinan bersama dalam suatu organisasi, maka semakin kompak organisasi tersebut. Sebagian besar (58,3 persen pegawai) tergolong tidak yakin terhadap sesuatu yang dianggap benar oleh orang-orang yang ada dalam organisasi. Karena segala sesuatu yang diyakin benar itu, dapat dilihat oleh staf kepada para pemimpin yang di sekitarnya, sehingga contoh dan keteladanan itu tergantung bagaimana sang pemimpin bertindak.
65
Sistem Merit (Merit System) Sistem merit
tergolong kurang baik (51,7 persen pegawai) .
Hal ini
menunjukkan bahwa belum berjalannya secara baik mekanisme pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh sistem merit tersebut. Apalagi segala sesuatu ditentukan oleh kantor pusat, walaupun usulan yang datangnya dari unit kerja kadangkala belum mendapat perhatian sepenuhnya. Pengangkatan seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu didasarkan atas kecakapan dan kemampuan (kompetensi) yang dimiliki dengan melalui uji kepatutan/kelayakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Belum berubahnya secara baik paradigma lama, yang dianut oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan perkoncoan dan sebagainya. Selain itu diperlukan persyaratan lain seperti berdasarkan pada daftar urut kepangkatan (DUK) yang sudah menjadi suatu ketentuanpun belum pula berjalan dengan baik.
Seringkali pengangkatan seseorang dalam suatu
jabatan didasari atas keinginan kelompok orang yang “memilki” kewenangan atau dengan cara KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sehingga seseorang yang diangkat dalam suatu jabatan tertentu tanpa melalui seleksi sebagaimana yang disyaratkan. Kalaupun ada persyaratan yang ditetapkan ini merupakan formalitas saja, untuk membuktikan pada khalayak bahwa mekanisme/prosedur sudah dijalankan sebagaimana yang telah ditentukan. Dengan demikian apabila sudah dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku, diharapkan pejabat tersebut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik, sehingga memberikan kontribusi terhadap kemajuan organisasi.
66
Motivasi Kerja Motivasi kerja adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk bertindak atau berbuat sesuatu, karena ada hal-hal yang ingin ia peroleh dengan tindakan tersebut. Dalam penelitian ini yang dianalisis tentang motivasi kerja adalah motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Tidak ada satupun staf yang memiliki motivasi kerja yang baik. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian dan
penghargaan
yang
diberikan
pimpinan
kepada
stafnya. Data ini
mengindikasikan bahwa pimpinan harus lebih memberikan perhatian yang lebih pada stafnya agar dapat menumbuhkan motivasinya untuk bekerja lebih baik dengan cara menerapkan sistem ganjaran dan hukuman yang tegas. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan motivasi kerja No
1
2
3
Y1 Motivasi Kerja
Y11 Motivasi Intrinsik
Y12 Motivasi Ekstrinsik
Y1 Motivasi Kerja
Jabatan ( % ) Klasifikasi Tidak termotivasi (Skor 15- 21) Kurang termotivasi (Skor 22- 28) Termotivasi (Skor 29-35) Tidak termotivasi (Skor 15- 25) Kurang termotivasi (Skor 26- 36) Termotivasi (Skor 37- 47) Tidak termotivasi (Skor 30- 45) Kurang termotivasi (Skor 46- 61) Termotivasi (Skor 62- 87)
Fungsional
Struktural
Jumlah Staf
Orang
(%)
25,0
10,0
20,0
12
20,0
70,0
90,0
80,0
47
78,3
5,0
0,0
0,0
1
1,7
25,0
10,0
20,0
12
20,0
70,0
80,0
76,7
45
75,0
5,0
10,0
3,3
3
5,0
15,0
10,0
20,0
10
16,7
80,0
80,0
80,0
48
80,0
5,0
10.0
0,0
2
3.3
67
Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri pegawai untuk bekerja.
Pegawai Pusdiklat , kurang memiliki motivasi intrinsik untuk
bekerja hal ini dinyatakan oleh 78,3 persen pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk bekerja sudah berasal dari dalam dirinya kurang sehingga hal ini dapat dijadikan bahan pemikiran para pimpinan dalam rangka mencapai prestas i kerja yang baik. Apabila dianalisis berdasarkan jabatan, pada masing-masing jabatan baik struktural, fungsional maupun staf, motivasi kerja masih perlu untuk ditingkatkan karena seluruhnya berada pada kategori kurang termotivasi.
Motivasi Ekstrinsik Berdasarkan hasil penelitian dorongan yang berasal dari luar diri responden untuk bekerja juga tergolong kurang termotivasi
(75,0 persen
pegawai). Dorongan untuk bekerja lebih baik berasal dari aturan-aturan yang ada dalam organisasi. Selain itu peran pimpinan juga menentukan dorongan untuk bekerja sesuai dengan unit kerjanya. Pegawai menyadari bahwa lingkungan tempat bekerja yang kondusif juga mendorong untuk bekerja lebih baik.
Hal lain yang bisa mendorong juga karena adanya imbalan yang
ditawarkan bagi pegawai yang berprestasi. Hukuman yang ketat terhadap para pegawai yang melanggar aturan juga menjadi dorongan untuk bekerja lebih baik.
Prestasi Kerja
Prestasi kerja yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi konsistensi bekerja dan perilaku pegawai dalam bekerja.
Prestasi kerja staf lebih baik
dibandingkan dengan jabatan struktural dan fungsional.
Hal ini disebabkan
68
karena staf terikat oleh perintah atasan dan aturan-aturan yang mewajibkan para staf untuk bekerja lebih baik. Disamping itu, staf tidak memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan dengan jabatan struktural dan fungsional. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan prestasi kerja No
1
2
3
Jabatan (%)
Y2Prestasi Kerja
Y21 Konsistensi Bekerja
Y22 Perilaku bekerja
Y2 Prestasi Kerja
Klasifikasi Tidak konsisten (Skor 5-10) Kurang konsisten (Skor 11- 16) Konsisten (Skor 17- 22) Tidak baik (Skor 12- 16) Kurang baik (Skor 17- 21) Baik ( Skor 22-26) Rendah (Skor 22-27) Sedang (Skor 28-33) Tinggi (Skor 34- 39)
Fungsional
Struktural
Jumlah Staf
Orang
(%)
65,0
80,0
13,5
25
41,7
35,0
10,0
16,7
25
41,7
0,0
10,0
30,0
10
16,6
35,0
0,0
3,3
8
13,6
45,0
60,0
80,0
39
65,0
20,0 20,0 70,0 10,0
40,0 10,0 80,0 10,0
16,7 6,7 56,7 36,6
13 7 39 14
21,7 11,7 65,0 23,3
Konsistensi Bekerja Konsistensi bekerja adalah ketekunan/ketahanan bekerja di dalam bidang tugas yang dibebankan kepada pegawai tersebut.
Tingkat tidak konsistensi
bekerja pegawai berada pada pegawai yang menduduki jabatan struktural (80,0 persen) hal ini disebabkan karena para pejabat struktural bekerja yang merasa memiliki ”power”, untuk bertindak tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sehingga yang harus menyesuaikan diri terhadap perintah pimpinan atau atasan, adalah para staf. Seringkali kebijakan yang telah ditetapkan berubah-ubah disesuaikan dengan kebutuhan sang pemimpin tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dengan perubahan tersebut. Sehingga yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan pimpinan adalah staf, walaupun seringkali terjadinya konflik kepentingan antara pimpinan dan staf.
69
Secara keseluruhan jumlah pegawai yang konsistensi bekerja sebanyak 16,6 persen, ini menunjukkan bahwa masih terdapat permasalahan yang serius, harus dicarikan jalan keluarnya oleh para pimpinan yang menjadi panutan bagi bawahannya. Demikian pula dengan perilaku bekerja secara keselurahn baru mencapai 21,7
berbuat sesuai dengan keinginannya.
Apalagi pada jabatan
fungsional, yang bebas untuk bekerja secara mandiri tanpa harus tergantung pada perintah atasan.
Perilaku Bekerja Perilaku bekerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong kurang baik (65,0 persen pegawai).
Hal ini berarti pegawai tetap memprioritaskan
pekerjaan kantor walaupun sedang menghadapi masalah pribadi. Pe rilaku yang tergolong tinggi juga ditunjukkan dari adanya kerjasama dengan pimpinannya, sesama pegawai, maupun dengan bawahannya. Biasanya target penyelesaian pekerjaan dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Apabila dilihat berdasarkan jabatan maka pegawai yang menduduki jabatan struktural menunjukkan perilaku bekerja yang paling baik dibandingkan dengan jabatan fungsional dan staf. Hal ini disebabkan jabatan struktural dianggap ”lahan basah” yang memiliki banyak aktivitas yang mendapatkan imbalan materi yang lebih baik dibandingkan dengan jabtan fungs ional dan staf.
Pengaruh Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Terdapat pengaruh yang nyata antara variabel kepemimpinan menantang proses dengan motivasi kerja.
Semakin sering pemimpin berani menantang
proses yang berjalan secara alami, maka para bawahan akan berusaha terus
70
untuk mengikuti pimpinannya sehingga timbul dorongan untuk menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik.
Tabel 6. Pengaruh prinsip-prinsip kepemimpinan terhadap motivasi kerja No
Prinsip-prinsip Kepemimpinan
1 2 3 4 5
Menantang proses Mengilhamkan wawasan bersama Memungkinkan orang lain bertindak Menjadi petunjuk jalan Membesarkan hati
Motivasi Kerja Koefisien regresi 0,600** 0,651** 0,701** 0,606** 0,649**
Nilai-p 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Pengaruh variabel mengilhamkan wawasan bersama terhadap motivasi kerja menunjukkan angka 0,651 dengan taraf signifikansi sangat nyata (α = 0,01). Semakin sering pimpinan mampu menjadi penunjuk atau instruksi atau menginternalisasikan tugas-tugas yang ada di dalam unit kerja masing-masing maka motivasi pegawai itu semakin meningkat.
Paling tidak staf akan
mengetahui atau menguasai apa yang seharusnya ia lakukan. Hal ini terjadi karena setiap staf mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan.
Selain itu,
setiap staf juga akan mengetahui apa yang akan ia dapatkan dari apa yang telah ia kerjakan, hal ini akan lebih memperjelas tugas-tugas dan peranan masingmasing staf pada unit kerjanya. Terdapat pengaruh yang nyata variabel kepemimpinan memungkinkan orang lain bertindak dengan motivasi kerja . Semakin sering kesempatan yang diberikan pimpinan kepada stafnya untuk melaksanakan tugas, maka semakin tinggi motivasi kerja staf untuk melaksanakan pekerjaan. Selain itu, pimpinan yang mampu membuat stafnya merasa mampu dan yakin dapat melaksanakan pekerjaan akan meningkatkan motivasi kerjanya. Hubungan
yang terjalin
71
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan antara pimpinan dan stafnya akan semakin me ningkatnya motivasi kerja staf. Menjadi penunjuk jalan juga berpengaruh secara nyata dengan motivasi kerja. Apabila seorang pemimpin sering menyalahkan staf dalam pelaksanaan tugas-tugasnya maka dapat menurunkan motivasi kerja staf yang bersangkutan. Sebaliknya, apabila pimpinan sering memberikan arahan atau pencerahan dan menginternalisasikan tugas-tugas yang ada maka motivasi kerja stafnya akan meningkat. Kenyataan di lapangan sering ditemukan bahwa apabila pimpinan dalam melaksanakan fungsi supervisi (pembinaan) dalam pelaksanaan tugas yang hanya menyalahkan saja akan menurunkan motivasi kerja stafnya. Sebaiknya apabila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan bawahannya maka pimpinan tidak boleh menuding secara langsung pada kesalahan bawahannya tetapi seharusnya dapat memberikan solusi cara pemecahan masalah yang sedang dihadapi para bawahannya tersebut. Apabila langsung disalahkan begitu saja maka bawahan akan takut berbuat sehingga tidak ada menurunkan motivasi kerjanya. Variabel kepemimpinan membesarkan hati berpengaruh secara sangat nyata dengan motivasi kerja. Hal ini berarti pimpinan akan dapat meningkatkan motiasi kerja stafnya jika mampu membesarkan hati stafnya. Apabila pimpinan sering memberikan pengakuan (recognition) terhadap keberhasilan kerja staf nya maka hal ini dapat menumbuhkan motivasi kerja para bawahannya.
72
Pengaruh Karakteristik Pe gawai terhadap Motivasi Kerja Matrik regresi antara variabel kepemimpinan yang terdiri atas: umur (X21), pendidikan (X22), pangkat/golongan (X23) dan masa kerja (X24) dengan motivasi kerja (Y1) seperti disajikan pata Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh unsur-unsur karakteristik pegawai terhadap motivasi kerja No 1 2 3 4
Karakteristik pegawai Umur Pendidikan Pangkat/golongan Masa kerja
Motivasi kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,126 0,169 0,069 0,299 0,152 0,123 0,202 0,061
Keterangan: n = 60 orang; n ilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara variabel karakteristik pegawai dengan motivasi kerja. Data ini berarti karakteristik pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos tidak berpengaruh terhadap motivasi kerjanya. Hal ini terjadi karena karakteristik pengawai yang mendekati homogen (seragam) ditambah lagi usia rata-rata pegawai yang sudah cukup tua membuat mereka sudah semakin monton dalam pekerjaan nya. Selain itu pegawai yang sudah lama berada pada satu tempat unit kerja sudah semakin jenuh dengan tugas-tugas rutin yang ia hadapai. Walaupun di satu sisi semakin meningkatnya keterampilan dalam bidang tugasnya, di sisi lain menimbulkan kejenuhan bagi pegawai yang bersangkutan. Jarangnya terjadi rotasi atau perputaran di lingkungan kerja ini juga sebagai penyebab tidak langsung belum cukup kuat dapat mempengaruhi motivasi kerjanya. Dari segi pendidikan yang mayoritas berpendidikan sarjana S1 ditambah dengan pangkat yang sudah cukup tinggi dan masa kerja yang lama membuat kurang termotivasi untuk dapat meningkatkan prestasi kerja.
73
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Tabel 8. Pengaruh unsur-unsur budaya organisasi terhadap motivasi kerja No 1 2 3
Budaya Organisasi Nilai (Value) Kepercayaan (belief) Sistem merit (Merit system)
Motivasi Kerja Koefisien regresi 0,386** 0,474** 0,632**
Nilai-p 0,001 0,000 0,000
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Nilai (Value) mempengaruhi secara sangat nyata motivasi
kerja.
Ini
berarti semakin banyak nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang yang ada dalam organisasi akan meningkatkan motivasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos.
Hal ini didukung oleh kenyataan di lapangan bahwa nilai-nilai yang
dianut seperti: organisasi yang membutuhkan inovasi baru dalam rangka mengikuti perkembangan lingkungan sekitar, organisasi mendukung ide-ide baru yang dapat lebih meningkatkan mutu baik anggota maupun organisasi itu sendiri, organisasi mendukung kreatifitas dari orang-orang yang ada dalam organisasi sehingga kebutuhan pasar dapat terpenuhi dan pengguna jasa pusdiklat ini merasa memperoleh nilai tambah, organisasi mendukung tindakan pegawai yang menginginkan perubahan sistem kerja yang lebih baik dan setiap pegawai diberikan kewenangan yang proporsional sesuai dengan kemampuan masingmasing staf sehingga tidak selalu harus tergantung pada orang lain ini cukup kuat mempengaruhi motivasi kerja pegawai. Kepercayaan (belief) mempengaruhi secara sangat nyata motivasi kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos.
Ini berarti kepercayaan yang dianut
dalam organisasi yang meliputi: kepercayaan organisasi pada pegawai untuk mengambil bidang pekerjaan yang menjadi tugas pokoknya dan tugas tambahan lainnya, kepercayaan organisasi pada setiap pegawai untuk dapat bebas
74
mempertanggungjawabkan pekerjaan yang telah
dilaksanakannya dengan
berdasar pada akuntabilitas publik, dan kepercayaan organisasi pada pegawai untuk menduduki posisi jabatan sesuai kompetensinya dengan melalui uji kepatutan dan kelayakan sangat kuat mempengaruhi motivasi kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos. Sistem merit (merit system) berpengaruh secara sangat nyata terhadap motivasi kerja pegawai. Ini berarti sistem merit yang terdiri atas: pengangkatan jabatan berdasarkan kecakapan yang dimiliki pegawai, kejelasan karir pegawai untuk menduduki suatu jabatan tertentu, prestasi yang luar biasa dari pegawai akan dijadikan dasar dalam pengangkatan suatu jabatan tertentu cukup kuat mempengaruhi motivasi kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos. Sehingga menjadi pemicu bagi staf untuk bekerja sesuai dengan kemampuan yang ada, dengan keyakinan bahwa apa yang mereka kerjakan tersebut akan menjadikan bahan pertimbangan bagi pimpinan dalam pengangkatan atau promosi jabatan tertentu. Inilah yang menjadikan kenapa sistem merit berpengaruh secara nyata terhadap motivasi kerja.
Pengaruh Kepemimpinan terhadap Prestasi Kerja Pemimpin harus berani menantang proses yang berjalan secara alami. Pemimpin adalah pelopor. orang yang bersedia melangkah ke luar dan memasuki apa yang belum diketahui. Mereka bersedia mengambil resiko, melakukan inovasi dan percobaan supaya bisa menemukan cara baru dan lebih baik untuk melakukan banyak hal. Pemimpin adalah pengguna awal. Pemimpin adalah orang yang sanggup belajar, mereka belajar dari kegagalan mereka di samping dari keberhasilan mereka. Namun, tabel 9 menunjukkan bahwa prinsipprinsip kepemimpinan yang mampu menimbulkan inisiatif bagi para bawahan
75
untuk berbuat dan bertindak yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja pegawai, ternyata belum cukup kuat untuk mempengaruhi prestasi kerja pegawai. Kepemimpinan inilah yang mungkin perlu untuk dikaji ulang secara bersama -sama oleh seluruh anggota organisasi. Tidak mustahil belum tingginya prestasi kerja yang dicapai oleh staf berasal dari kurang efektif dan efisiennya suatu kepemimpinan, akan tetapi mungkin sebaliknya berasal dari staf yang memang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Tabel 9. Pengaruh prinsip-prinsip kepemimpinan terhadap prestasi kerja No 1 2 3 4 5
Prinsip-prinsip kepemimpinan Menantang proses Mengilhamkan wawasan bersama Memungkinkan orang lain bertindak Menjadi penunjuk jalan Membesarkan hati
Prestasi kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,747 0,279 0,447 0,521 0,157 0,818 0,254 0,721 0,181 0,546
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Prinsip menantang proses tidak berpengaruh nyata terhadap prestasi kerja pegawai. Hal ini disebabkan dengan kurangnya inisiatif pimpinan untuk berani keluar dari tradisi yang ada dalam organisasi, dengan segala konsekuensi yang akan ditimbulk. Selain itu, pimpinan juga kurang berani mengambil risiko untuk melakukan suatu inovasi dan terobosan supaya dapat menemukan cara baru yang lebih baik untuk melakukan perubahan-perubahan organisasi dalam dengan disesuaikan kebutuhan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Prinsip mengilhamkan wawasan bersama juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan prestasi kerja pegawai. Hal ini bisa berasal dari kepemimpinan yang ada, tetapi juga tidak menutup kemungkinan dari anggota staf yang kurang mampu menterjemahkan apa yang menjadi keinginan dari
76
pimpinan. Walaupun ada beberapa prestasi yang sudah dicapai oleh individuindividu dalam organisasi seperti: beberapa pegawai telah mencapai gelar pendidikan pascasarjana baik magister maupun doktoral, akan tetapi masih banyak ditemukan pegawai yang hanya berpendidikan sarjana (S1) yang belum mau meningkatkan kompetensi diri dengan berinisiatif untuk mengikuti proses belajar baik formal maupun non formal. Padahal untuk mengilhamkan wawasan bersama dituntut kemampuan intelektual yang baik agar dapat
mencapai
prestasi yang lebih baik. Peningkatan kemampuan intelektual ini hanya dapat dicapai dari proses belajar sepanjang hayat. Ke depan, pimpinan dituntut dapat mengilhamkan wawasan bersama untuk merangsang para pegawainya untuk mau terus belajar karena tidak ada cara lain meningkatkan kualitas sumberdaya manusia selain dengan proses belajar (learing process). Proses belajar tidak hanya melalui pendidikan formal akan tetapi bisa ditempuh melalui jalur pendidikan non-formal maupun dari pengalaman empiris dalam interaksi dengan sesama pegawai, maupun masyarakat di sekitarnya. Sebagai suatu lembaga pendidikan formal di lingkungan Depsos, sudah seharusnya pemimpin-pemimpin yang ada di Pusdiklat Pegawai ini mampu menerapkan prinsip mengilhamkan wawasan bersama dengan keteladanan dalam proses belajar. Prinsip memungkinkan orang lain bertindak tidak berpengaruh secara nyata dengan prestasi kerja pegawai. Hal ini terjadi karena pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya kurang mampu memberikan apresiasi bagi staf untuk dapat berinisiatif sehingga timbul dalam dirinya untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa harus diinstruksikan oleh atasannya terlebih dahulu. Demikian pula dengan pendelegasikan kewenangan kepada staf pimpin belum secara penuh memberikan kepercaya an, sehingga dalam pengambilan keputusan yang sifatnya segera staf belum berani untuk memutuskan sendiri, karena adanya kekhawatiran akan terjadi kesalahan, maka keputusan yang diambil selalu
77
memperoleh persetujuan dari pimpinan. Dengan demikian keputusan yang diambil oleh staf selalu ada intervensi dari pihak pimpinan. Inilah yang menjadi kendala bagi staf untuk meningkatkan prestasi kerjanya, sehingga kreativitas yang ada tidak dapat berkembang secara alami. Prinsip menjadi penunjuk jalan tidak berhubungan secara nyata dengan prestasi kerja pegawai. Hal ini disebabkan pemimpin kurang memberikan perhatian secara penuh terhadap permasalahan yang dihadapi oleh staf, karena rentang kendali yang begitu luas dengan tidak memberikan kepercayaan kepada staf secara penuh dan dan kalaupun ada pendelegasian kewenangan ini hanya merupakan ”simbolis” saja, sehingga menjadikan banyaknya masalah-masalah yang dihadapi oleh staf tidak diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan proporsianal yang terutama tugas-tugas yang sifatnya mendesak (emergency). Sebagai pemegang kewenangan tertinggi di unit kerjanya, seharusnya sebagai pemimpin ia harus mampu menjalankan fungsi-fungsi dari kepemimpinan sehingga menjadi penunjuk jalan bagi staf dalam melaksanakan tugas. Kemampuan
manage seluruh komponen yang ada dalam unit kerjanya,
sekaligus mampu memberikan apresiasi terhadap bawahan untuk melakukan sesuatu yang dapat menunjang tercapainya tujuan organisasi. Inisiasi
inilah
yang kelihatannya belum berjalan secara maksimal ditubuh kepemimpinan Pusdiklat Depsos ini. Prinsip membesarkan hati adalah pemimpin akan berhasil jika mampu membesarkan hati anak buah untuk berjalan terus, menunjukkan kepada staf bahwa mereka bisa menghadapi segala macam masalah dan rintangan, dan memberikan pengakuan terhadap keberhasilan individu atau kelompok. Para pemimpin yang hebat dapat menemukan keseimbangan antara mendapatkan hasil dengan bagaimana cara me ndapatkannya. Banyak orang membuat
78
kesalahan dengan berpikir
bahwa mendapatkan hasil adalah segalanya bagi
suatu pekerjaan. Mereka mengejar hasil tanpa membangun sebuah tim atau tanpa membangun sebuah organisasi yang memiliki kapasitas untuk berubah. Pekerjaan pemimpin yang sebenarnya adalah mendapatkan hasil dan untuk melakukannya dengan cara yang dapat membuat organisasi menjadi sebuah tempat yang hebat untuk bekerja --- sebuah tempat di mana staf merasa senang untuk datang bekerja, bukan hanya sekedar menerima perintah dan mencapai angkat target yang ditetapkan. Kinerja dapat meingkat ketika diberikan semangat Pengakuan pribadi dan perayaan kelompok menciptakan semangat dan momentum yang dapat membawa kelompok atau unit kerja untuk terus maju, bahkan pada saat menghadapi tantangan terberat. Pada saat yang sama, fokus yang konstan terhadap siapa yang perlu diberi pengakuan (regocnition) dan kapan perlyu dirayakan walaupun secara sangat sederhana. Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangatlah jauh berbeda, sehingga inilah membuat prinsip membesarkan hati tidak berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja pegawai. Memang menyenangkan menjadi seorang pemimpin, memiliki pengaruh amat memuaskan, dan menggairahkan memiliki begitu banyak
orang yang
menyambut setiap katanya. Dalam banyak cara yang terlalu halus, amat mudah tergoda oleh kekuasaan dan arti penting dirinya. Semua pemimpin ”jahat” telah terinfeksi oleh penyakit kebanggaan diri, mereka menggelembung akibat rasa bangga yang terlalu berlebihan, dan menuju akhir kehancuran mereka sendiri. Untuk menghindari hal ini terjadi adalah salah satunya memiliki rasa malu yang yang tinggi. Rasa malu adalah salah satu-satunya cara untuk mengatasi konflik dan kontradiksi kepemimpinan. Pemimpin dapat menghindari rasa bangga yang berlebihan hanya jika menyadari bahwa ia hanyalah manusia yang masih
79
membutuhkan bantua orang lain. Miliki rasa malu agar muncul kesediaan untuk mengambil langkah mundur dan mengoreksi diri. Fenomena ini yang mungkin menggejala di lingkungan kepemimpinan pusdiklat pegawai Depsos di masa lampau.
Pengaruh Karakteristik Pegawai terhadap Prestasi Kerja
Karakteristik
pegawai
terdiri:
umur
pegawai,
tingkat
pendidikan,
pangkat/golongan, dan masa kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pegawai tidak berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja pegawai sebagaimana terlihat dalam tabel 10. Tabel 10. Pengaruh Karakteristik Pegawai terhadap prestasi kerja No 1 2 3 4
Karakteristik Pegawai Umur Pendidikan Pangkat/Golongan Masa Kerja
Prestasi kerja Koefisien regresi Nilai-p -0,263 0,222 0,116 0,953 0,014 0,995 0,318 0,127
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Umur pegawai sebagian besar berada pada tingkat umur 38 - 57 tahun yang berarti sudah mencapai pada tahap mendekati pensiun, hal ini sangat mempengaruhi sekali tingkat motivasinya dalam mencapai prestasi kerja. Di samping itu kenyataan di lapangan kepemimpinan dari pemimpin yang ada di pusdiklat belum mampu membuat para staf untuk bekerja lebih giat lagi agar menghasilkan prestasi yang
baik. Kondisi ini juga ditunjang dengan berbagai
aspek yang tidak mendukung ke arah peningkatan prestasi kerja tersebut sebagai contoh; kurangnya penghargaan pimpinan terhadap hal-hal yang seharusnya patut untuk diberikan penghargaan sebaliknya malah diabaikan saja.
80
Belum meratanya perhatian pimpinan terhadap seluruh anggota organisasi, dikarenakan masih adanya sifat pilih kasih, yang membuat anggota yang alain merasa kurang memperoleh perhatian tersebut. Sebaliknya perhatian ini hanya diberikan kepada ”teman-teman” dekat pimpinan saja. Demikian pula dengan beban tugas yang tumpang-tindih, walaupun sudah ada kejelasan di dalam tupoksi masing-masing unit. Ini menimbulkan saling lepas tangan apabila terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya. Demikian pula dengan tugas-tugas yang ”ada uang
lelahnya”
masing-masing
ingin
dapat
melaksanakannya
walaupun
sebenarnya bukan menjadi tanggungjawab dari unit kerjanya. Belum berjalannya secara konsekuen peraturan pemerintah nomor 30 tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS) serta sistem ”reward and funishmen” belum dijalankan secara tegas bagi siapa saja yang berprestasi atau
yang melanggar, akibat tidak
perbedaan yang nyata antara pegawai berprestasi dengan yang biasa-biasa saja. Masalah lainnya adanya rasa sungkan ”ewuh pakeruh” terhadap sesama teman sejawat terutama bagi mereka yang lebih senior, sehingga aturan yang ada menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya yang ini mengakibatkan terganggunya seluruh aspek kehidupan organisasi. Tingkat pendidikan juga belum dapat mempengaruhi tingkat prestasi kerja pegawai, walaupun hampir 85 persen pegawai berpendidikan antara SLTA sampai pada sarjana (S1). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti usia yang sudah mendekati masa purna bakhti sehingga kurang adanya dorongan bagi staf untuk bekerja lebih maksimal. Di samping itu bagi pegawai atau staf yang sudah terlalu lama di suatu tempat di mana mulai ia diterima menjadi pegawai sampai akan memasuki masa pensiun belum pernah dimutasikan ke bidang tugas lainnya, mulai dirasuki oleh rasa jenuh, dan ini kurang mendapat perhatian dari pihak pimpinan. Oleh sebab itu perlu suatu kearifan pemimpin untuk melihat masalah-masalah ini secara mendasar, sehingga dapat diambil
81
langkah-langkah yang kongkrit dan ini akan mengakibatkan adanya semangat bagi staf untuk bergairah bekerja yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerjanya. Pangkat/golongan pegawai yang ada di Pusdiklat Depsos ini hampir 85 persen sudah menduduki pada level pangkat dan golongan III dan IV, ini juga yang menjadi permasalahan yang ada di lapangan. Terutama masalah sedikitnya jumlah jabatan struktural yang tersedia, sedangkan jumlah pangkat pegawai yang dapat menduduki jabatan tersebut cukup banyak, sehingga dapat menimbulkan persaingan di antara pegawai. Tidak jarang dapat menimbulkan prustasi bagi mereka yang memiliki ambisi untuk menduduki jabatan tersebut, yang dianggap memiliki peluang lebih banyak untuk menghasilkan ”uang”. Sedangkan jabatan fungsional yang ada masih kurang mendapatkan perhatian dari sebagian pegawai, ini disebabkan jabatan fungsional bukan merupakan ”lahan basah”, di samping itu memerlukan suatu ketekunan tersendiri bagi mereka yang menduduki jabatan fungsional ini. Karena pejabat fungsional bekerja tidak harus diperintah oleh pimpinan, mereka lebih banyak kerja mandiri dan harus kreatif untuk mencari lahan pekerjaan untuk menghasilkan ”point” dan sekaligus ”koin”,
ini tidak mudah bagi mereka yang belum terbiasa bekerja
secara mandiri. Masa kerja sebagian besar pegawai (50 persen) di Pusdiklat ini sudah mencapai masa kerja antara 12 – 33 tahun yang berarti sudah cukup lama, bergelut dengan pekerjaan kediklatan. Ini juga sering menjadi masalah tersendiri dalam peningkatan prestasi kerja, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya kejemuan bagi pegawai yang sudah mancapai masa kerja lebih dari 20 tahun berada pada lingkungan yang sama. Sehingga bekerja sudah dianggap hanya melepas ”kewajiban” saja, tidak terpacu untuk meningkatkan prestasi kerja yang maksimal, bekerja merupakan cara yang terbaik bagi mereka yang hampir
82
mencapai usia pensiun. Datang ke kantor hanya untuk menghabiskan waktu sambil menunggu datangnya masa pensiun. Bekerja bukan lagi menjadi sesuatu yang menantang untuk menghasilkan sesuatu prestasi, sehingga di sinilah diperlukan seorang pemimpin yang mampu memberikan ”suntikan” motivasi agar staf
tetap
bergairah
menghadapi
pekerjaannya,
dengan
memberikan
penghargaan yang layak bagi suatu prestasi kerja.
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Prestasi Kerja
Budaya organisasi terdiri dari: nilai (value), kepercayaan (belief) dan sistim merit (merit system), tidak pengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja, sebagaimana yang disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Pengaruh budaya organisasi terhadap prestasi kerja No 1 2 3
Budaya organisasi Nilai (Value) Kepercayaan (Belief) Sistem Merit (Merit System)
Prestasi kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,357 0,864 0,272 0,372 0,179 0,185
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Nilai (value) dalam organisasi Pusdiklat Pegawai pada kenyataan empiris sudah lama berkembang di sini, dan nilai-nilai ini dianggap sudah menjadi bagian dari kehidupan organisasi serta diakui dan ditaati oleh seluruh anggota organisasi. Namun pada kenyataannya nilai-nilai yang berkembang ini belum mampu memberikan konstribusi terhadap peningkatan prestasi kerja pegawai. Hal ini disebabkan belum sepenuh seluruh anggota
organisasi merasakan
manfaat yang ada dari nilai-nilai tersebut. Saat ini nilai-nilai itu hanya merupakan
83
aturan-aturan yang tidak tertulis secara formal, sehingga makna yang terkandung di dalamnya tidak dilaksanakan dengan
kesadaran yang mendalam. Maka
hasilnya pun tidak berdampak positif terhadap peningkatan prestasi kerja para staf. Hal ini belum dapat dimanfaatkan oleh pimpinan yang ada sehingga nilainilai tadi tidak memiliki arti penting bagi kehidupan para anggota organisasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi kerja. Oleh sebab itu dibutuhkan pemimpin yang mampu menterjemahkan arti dari nilai-nilai yang ada dalam organisasi, sekaligus mampu mensosialisasikan makna yang terkandung dalam nilai tersebut dan apa manfaat yang dapat diperoleh oleh setiap anggota organisasi dengan memahami nilai organisasi ini. Kepercayaan (beleif) pegawai di Pusdiklat tidak berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja, ini disebabkan kepercayaan yang ada dalam organisasi hanya merupakan pelengkap saja, dengan demikian belum mempunyai kekuatan untuk dapat dapat memberikan suatu dorongan yang terhadap pegawai untuk meningkatkan presatasi kerjanya. Kepercayaan ini juga tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian pimpinan dalam menjalankan kepemimpinannya untuk terciptanya suatu prestasi kerja.
Pengaruh M otivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara variabel motivasi kerja pegawai dengan prestasi kerja.
Hal ini disebabkan oleh motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik yang tergolong sedang dan prestasi kerjanya juga tergolong sedang maka belum cukup kuat motivasi kerja berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja pegawai. Sebagaimana hasil penelitian disajikan seperti dalam tabel 12.
84
Tabel 12. Pengaruh motivasi kerja dengan prestasi kerja No 1 2
Motivasi kerja Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik
Prestasi kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,072 0,293 - 0,057 0,332
Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Motivasi instrinsik tidak berpengaruh nyata terhadap prestasi kerja, ini disebabkan apa yang dikerjakan oleh staf atau pegawai tidak memiliki suatu daya tarik tersendiri bagi dirinya, sehingga tidak berdampak terhadap peningkatan prestasi kerjanya. Seandainya sesuatu apa yang ia kerjakan itu dengan senang hati atau ada hal-hal yang dapat memperoleh hasil dan dirasakan manfaatnya, maka ia berusaha bekerja keras untuk menyelesaikannya. Inilah merupakan tugas dari seorang pemimpin untuk dapat memacu motivasi kerja para pegawainya yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerjanya. Demikian pula hal dengan motivasi ekstrinsik tidak berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja pegawai, hal ini disebabkan karena kurangnya penguatan oleh pimpinan yang dimulai dari hal-hal yang kecil seperti memberikan pujian sampai memberikan hadiah sebagai hadiah. Seharusnya tugas-tugas yang ada dikantor harusnya mempertinggi motivasi instrinsik sebanyak mungkin. Ini secara sederhana berarti bahwa
pimpinan harus
mencoba agar pegawai mereka tertarik dengan materi pekerjaan yang disampaikan oleh pimpinannya. Di samping itu ada hal lain yang mungkin juga dapat meningkatkan motivasi ekstrinsik, yaitu berupa imbalan yang layak bagi mereka yang mampu menyelesaikan tugas-tugas mereka secara baik , apalagi tugas tersebut di luar dari tugas rutinnya.
Prinsip Kepemimpinan
Menantang Proses
0,600**
Mengilhamkan Wawasan Bersama
0,651**
Memungkinkan Org Lain Bertindak
0,747 0,447
0,157
0,701** 0,606**
Penunjuk Jalan
0,254
E
0,649** Membesarkan Hati
0,126 Karakteristik Peg
Umur
0,069
Pendidikan
Motivasi Kerja
Intrinsik
Ekstrinsi k
0,072 -0,263
0,116
0,202
Masa Kerja
0,318
P
0,014
0,179
B. Organisasi
0,386** 0,357
Nilai (Value)
Prestasi Kerja
- 0,057
0,152 Pangkat/Golongan
0,181
0,474**
0,272
Kepercayaan (Belief)
0,632** Sistem Merit
85
Gambar 2. Pengaruh Antar Variabel Penelitian
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Motivasi kerja pegawai pada umumnya relatif dipengaruhi
oleh
relatif
masih
rendahnya
belum tinggi , hal ini
penerapan
prinsip-prinsip
kepemimpinan, juga masih kurang jelasnya unsur-unsur budaya organisasi bagi sebagian pegawai. 2. Prestasi kerja pegawai pada saat ini masih belum maksimal baik dalam konsistensi bekerja ma upun dalam perilaku bekerja,
ini dipengaruhi oleh
masih kurang tingginya motivasi kerja baik motivasi intrinsik maupun ekstrinsik. Belum tingginya tingkat prestasi ini, disebabkan oleh masih rendahnya
kemampuan
pemimpin
untuk
menerapkan
prinsip-prinsip
kepemimpinan. 3. Karakteristik pegawai tidak terbukti secara nyata mempengaruhi motivasi kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos karena karakteristik pegawai yang homogen satu dengan yang lainnya. 4. Budaya organisasi yang terdiri atas nilai (value), keyakinan (belief) dan sistem merit terbukti berpengaruh secara nyata dengan motivasi. 5. Motivasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos belum cukup kuat untuk mempengaruhi prestasi kerjanya.
76
Saran Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Perlu untuk terus mengembangkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik melalui penerapan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan dan kejelasan budaya organisasi. (2) Perlu diperjelas budaya organisasi terutama menyangkut kejelasan tentang sistem nilai (value), keyakinan (belief) dan di dalam menerapkan sistem merit.
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Pandji, 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Armstrong, M., 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. Seri Pedoman Manajemen. Cikmat Sofyan, Alih Bahasa. Jakarta: Elex Media Komputindo, Gramedia Asnawi, S. 2002. Teori Motiva si dalam Pendekatan Psikolog Industri Organisasi Jakarta: Studia press.
dan
Berlo, David.K, 1960. The Process of Communication. New York: Holt Renehart and Winston. Brata, S. 1971. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Brigham, J.C, 1991. Social Psychology, 2nd Edition. New York: Harper Collins Publishers Inc. Dharma, A. 1992. Manajemen Prilaku Organinasi, Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga. Donnely. Ivancevich dan Gibson. 1993. Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses. Jakarta: Erlangga. Etzioni, A. 1985. Organisasi-organisasi Modern. Jakarta: Universitas Indonesia. Fandy, T., dan D. Anastasia. 1998. Total Andi.
Quality Management. Yogyakarta:
Fiedler, F E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. Mc Graw Hill Book Company, New York. Gerungan WA. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: Erlangga. Gibson, et al, 1993. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur. Proses. Penerjemah: Djoerban Wahid. Jakarta: Erlangga. Hasibuan, Melayu S.P. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia: Dasar dan Kunci Keberhasilan, Jakarta: Haji Masagung. Handoko, M, 1992. Motivasi: Daya Penggerak Tingkah Laku. Jogjakarta: Kanisius. Kartono. K, 1991. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers. Keller, J.F. 1984. Principles of Voc ational Education. Dc Heat and Company Boston.
78
Kerlinger, F.N, 2000. Azas-Azas Penelitian Behavioral. Ed Ke-3. Cet. Ke-7. Penerjemah L.R. Simatupang dan Koesmanto HJ, Terjemahan: Foundation of Behavioral Research. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kris, Y, 2002. Penilaian Anggota Terhadap Gaya Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok” Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Kornblum, William, 1989. Social Problem. Englewood Cliffs: Prentice-Hall. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2000. “ Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta: LAN dan BPKP. Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembanguan Pertanian. Semarang: Sebelas Maret University Press. Moekijat. 1995. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Morgan, CT, King. 1996. Introduction to Psychology. New York: mc. Graw Hill. Nazir, M, 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia. Nawawi, H., 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisas i. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ndraha, T. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. Owens, G. Robert. 1991. Organizational Behavior in Education. Manchester: Ally and Bacon. Padmowihardjo, S, 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Prawirosentono Suyadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan: Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia. Yogyakarta: BPFE. Poerwadarminta, W.J.S, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Posner, Z. Barry, 1999. Leadership The Challenge: Tantangan Kepemimpinan. Alih Bahasa Adiwinoto Anton. Bamtam Centre: Inter Aksara ________, 1987. The Leadership Challenge: How to Get Extraordinary Things Done in Organization. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. Reece L.B. Brandt R. 1981. Effective Human Relation in Business. Boston: Houghton Miflin Compsny. Robbins P. Stephen. 1994. Teori Organisasi. Struktur, Desain dan Aplikasi. Jusuf Udaya Alih Bahasa. Jakarta: Arcan.
79
________, 1992. Essentials of Organizational Bahavior. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta. Rosa E, 2001. Analisa Organisasi dan Kepemimpinan pada Organisasi Instalasi Penelitian Pengkajian Teknologi Pertanian Padang. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Ruky, S Achmad. 2004. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Salkind, Neil. J, 1985. Theories of Human Development. New York: John Willey and Sons. Scott G.W. 1964. Human Relation in Management A Behavioral Science Approach Philosophy Analysis and Issue. Illionis: Richard D Irwin. Slamet, Margono, 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press. Slamet, M. dan Sumardjo. 2004. Kumpulan Materi Kuliah Kelompok, Organisasi dan Kepemimpinan. Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soedijanto. 1980. Kelompok, Organisasi dan Kepemimpinan. Pendidikan Guru Pertanian. Bogor: IPLPP Ciawi. Soewarno, H. 1980. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajeman. Jakarta: Gunung Agung. Sutarto. 1998. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Singarimbun, M., dan Sofyan E, LP3ES.
1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta:
Siagian, SP. 1997. Organisasi, Kepemimpinan & Perilaku Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. ________, 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Terry, GR. 1997. Principles of Management. Illionis: Richard D Irwin. Toha, M. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Grafindo Persada. Udaya Jusuf. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Arcan. Winardi, J. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Grafindo Persada.
Jakarta: Raja
80
Yuki, G. Kepemimpinan dalam Organisasi: Leadership in Organizations 3 e (edisi bahasa Indonesia). Alih bahasa: Yusuf Udaya. Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd. PT. Buana Ilmu Populer. Yusuf, Y. 1989. Dinamika Kelompok. Bandung: Armico