PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI PADA INDUSTRI KARYA DAN PADAT MODAL Joko Susanto Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta Jl. Lingkar Utara, Condong Catur, Depok, Sleman E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research investigates the influence of institutional factors on wage levels of the production workers in the labor-intensive and capital intensive industries. The institutional factors include the provincial minimum wage and the union law. The data published by BPS is used in this study. This study use regression analysis based on error correction model. The results show that in the labor-intensive industries, the provincial minimum wage significantly influence the wages level of production workers, while in the capital-intensive industries the provincial minimum wage does not have effect. Meanwhile, the enforcement of union laws have no effect on the wages of production workers both in the labor-intensive and capitalintensive industries. Keywords: Minimum Wage, Union Law, Labor and Capital-Intensive Industries.
PENDAHULUAN Masalah pengupahan telah menjadi masalah rumit dan berkepanjangan. Selama ini sebagian besar pekerja merasa belum sejahtera. Untuk itu, seringkali pekerja menuntut kenaikan upah agar kesejahteraannya meningkat. Tuntutan kenaikan upah berpotensi menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Perselisihan tersebut menyebabkan kegiatan perusahaan terganggu. Apabila perselisihan tersebut tidak bisa diselesaikan, maka kedua pihak menghaapi risiko kerugian. Pengusaha merugi karena proses produksi tidak berjalan sehingga tidak ada penerimaan, sedangkan pekerja merugi karena tidak dapat bekerja sehingga tidak ada pendapatan bagi pekerja tersebut (Barutu, 2003). Hal ini justru berlawanan dengan tujuan hubungan
industrial yang berupa peningkatan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Ketidakserasian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha kebanyakan disebabkan oleh ketidakpuasan pekerja terhadap sistem pengupahan yang ada. Masalah hubungan industrial menjadi lebih kompleks karena beberapa perusahaan masih menggunakan perjanjian kerja (PK), akibat belum memiliki kesepakatan kerja bersama (KKB) atau perjanjian kerja bersama (PKB) (Rahayu, 2002). Kompleksitas masalah hubungan industrial di Indonesia juga disebabkan faktor kelebihan jumlah pasokan tenaga kerja relatif terhadap permintaannya (labor surplus). Kelebihan pasokan tenaga kerja ditandai dengan kelebihan jumlah pencari kerja di atas jumlah lapangan kerja tersedia (Tjiptoherijanto,1993:417). Kelebihan pasokan tenaga kerja menyebabkan 31
JRMB, Volume 6, No. 1 Juni 2011
rendahnya tingkat upah yang diterima pekerja. Pemerintah berupaya mengatasi masalah tesebut dengan pemberlakuan ketentuan upah minimum guna meningkatkan kesejahteraan pekerja (Suryahadi et al., 2003:31). Upah minimum ini besarnya melebihi tingkat upah pasar. Ketentuan upah minimum merupakan suatu faktor kelembagaan dan diujudkan dalam peraturan upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten (UMK). Ketentuan upah minimum mengakibatkan upah nominal sulit untuk turun di bawah tingkat upah minimum. Perubahan faktor kelembagaan yang lain adalah perubahan sistem hubungan industrial seiring dengan pengesahan Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undang-undang tersebut menunjukkan perubahan pada sisi kelembagaan dalam wujud pemberian kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu : 2004). Sistem penentuan upah terdesentralisasi cenderung mengutamakan perbaikan upah sehingga dapat meningkatkan utilitas pekerja. Desentralisasi hubungan industrial memberikan kekuatan tawar lebih besar bagi serikat pekerja pada saat berunding dengan pengusaha. Kenaikan kekuatan tawar serikat pekerja memungkinkan adanya kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Tawar-menawar upah yang terdesentralisasi cenderung mengarah kepada stuktur upah egalitarian (Barth dan Zweimuller, 1995). Kondisi ini berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya terdapat satu organisasi pekerja yang dikontrol oleh pemerintah sehingga
32
tidak ada kekuatan tawar pekerja dalam penentuan tingkat upah (Masyhuri, 1998). Selanjutnya penelitian ini akan mengkaji pengaruh faktor kelembagaan yang meliputi upah minimum propinsi dan pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja produksi terhadap tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat karya dan padat modal. Obyek penelitian ini dibatasi pada upah nominal pekerja produksi karena sebagian besar pekerja pada industri manufaktur baik padat karya maupun padat modal merupakan pekerja produksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor kelembagaan yang meliputi upah minimum propinsi dan pengesahaan undang-undang serikat pekerja terhadap upah nominal pekerja produksi pada industri padat karya dan padat modal.
TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penentuan Tingkat Upah Nominal Pelaku ekonomi lebih menyukai penentuan upah dalam nominal daripada riil (Shafir et al., 1997). Upah nominal menunjukkan besarnya pemberian pengusaha kepada pekerja. Sementara itu, tingkat upah riil sering kali bergantung pada faktor-faktor yang berada di luar kemampuan pekerja dan pengusaha. Tingkat upah nominal ditentukan berdasar produktivitas pekerja. Produktivitas pekerja mencerminkan kemampuan pekerja untuk menghasilkan output. Perusahaan yang memaksimumkan laba akan menentukan tingkat upah nominal setinggi penerimaan produk marjinal tenaga kerja (Marginal Revenue Product of Labor). Penerimaan produk marjinal tenaga kerja menggambarkan produktivitas pekerja. Fungsi penerimaan produk marji-
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
nal tenaga kerja juga merupakan fungsi permintaan tenaga kerja. Sementara itu fungsi penawaran tenaga kerja dihasilkan dari penentuan alokasi waktu antara bekerja dan leisure (McConnell, et al., 2003: 27). Upah nominal ditentukan melalui suatu mekanisme di pasar tenaga kerja. Pasar tenaga kerja merupakan pertemuan antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja. Mekanisme pasar tenaga kerja melalui interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja menentukan tingkat upah nominal dan employment (McConnell, et al., 2003: 169). Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada saat kurva permintaan tenaga kerja berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja. Jumlah pekerja diminta sama dengan jumlah pekerja yang bersedia bekerja. Apabila tidak ada campur tangan (intervensi) dari luar, maka keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai. Pada kondisi ini tidak terdapat kecenderungan tingkat upah nominal dan employment untuk berubah. Upah Minimum Seringkali upah nominal yang dihasilkan melalui mekanisme pasar dipandang terlalu rendah. Untuk itu, pemerintah memberlakukan ketentuan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan tingkat upah pasar agar kesejahteraan pekerja dapat meningkat. Peraturan upah minimum ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja (Hillier,1991:21). Ketidakseimbangan pasar tenaga kerja akibat pemberlakuan upah minimum ditandai dengan adanya kelebihan penawaran tenaga kerja. Jumlah pekerja yang bersedia bekerja lebih besar dibandingkan jumlah pekerja yang diminta. Dengan demikian terdapat sejumlah pekerja yang bersedia bekerja pada tingkat upah minimum tersebut,
tetapi tidak mendapatkan pekerjaan yang dicarinya (Pindyck dan Rubinfield, 2001: 300). Hal tersebut menyebabkan sejumlah pencari kerja terpaksa menjadi penganggur. Peranan Serikat Pekerja Serikat pekerja berperan memperjuangkan perbaikan kesejahteraan pekerja antara lain melalui peningkatan upah (Bosworth et al., 1996:346). Upaya serikat pekerja untuk meningkatkan upah pekerja dilakukan antara lain melalui tawarmenawar dengan pengusaha agar upah yang dibayarkan melebihi upah pasar. Kekuatan tawar serikat pekerja bergantung antara lain pada jumlah pekerja yang menjadi anggotanya. Semakin besar jumlah anggota suatu serikat pekerja, maka semakin besar pula kekuatan serikat pekerja tersebut, dan sebaliknya. Sistem hubungan industrial di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan pengesahan UndangUndang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undangundang tersebut mem-berikan kemudahan dalam membentuk serikat pekerja. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya jumlah serikat pekerja terutama pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu,2004). Di sisi lain, kenaikan jumlah serikat pekerja setelah pengesahan undangundang serikat pekerja ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah anggota, sehingga sejumlah serikat pekerja mengalami kekurangan anggota. Kurangnya jumlah anggota merupakan masalah besar yang dihadapi serikat pekerja. Serikat pekerja yang hanya memiliki anggota kurang dari separo jumlah pekerja dalam 33
JRMB, Volume 6, No. 1 Juni 2011
tempat kerja akan sangat lemah (Apindo, 2006). Hal ini menyebabkan perjuangan serikat pekerja tidak efektif. Penelitian Terdahulu Rama (2001:864-881) mengkaji dampak pengenaan upah minimum pada tingkat upah dan employment di Indonesia. Rama (2001) menggunakan alat analisis ekono-metri dengan variabel mencakup upah minimum, produk domestik bruto, jumlah penduduk dan tingkat employment. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengenaan upah minimum mengakibatkan kenaikan upah dan penurunan tingkat employment. Kenaikan upah minimum pada awal 1990 mengakibatkan kenaikan upah nominal sebesar 5 sampai 15 persen disertai dengan penurunan employment di perkotaan sebesar 1 sampai 5 persen. Hasil penelitian yang dilakukan Pedro Portugal (2006: 89-100) di Portugal memperoleh temuan adanya peraturan ketenagakerjaan di negara itu yang melarang penurunan upah nominal. Hal ini mengakibatkan upah nominal bersifat tegar untuk turun. Sementara itu, penelitian Holden dan Wulfsberg (2007) pada beberapa industri manufaktur di negara-negara kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa intensitas serikat pekerja dan undang-undang tenaga kerja berpengaruh pada penentuan upah. Kenaikan intensitas serikat pekerja dan semakin ketatnya penerapan undang-undang tenaga kerja menjadikan upah nominal sulit untuk turun.
METODA PENELITIAN Sumber Data Penelitian ini menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) periode 19972005. Data penelitian ini meliputi upah 34
nominal pekerja produksi, produktivitas pekerja, dan upah minimum propinsi. Dalam penelitian ini, data industri padat karya mencakup seluruh industri besar dan sedang yang termasuk dalam kelompok industri pakaian jadi. Sementara itu, data industri padat modal mencakup seluruh industri besar dan sedang yang termasuk dalam kelompok industri kimia. Definisi Variabel Operasional Berikut akan dijelaskan definisi operasio-nal dari masing-masing variabel. Pertama, upah Nominal Pekerja Produksi (W) adalah keseluruhan pengeluaran upah untuk pekerja produksi industri padat karya maupun padat modal dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pekerja per bulan. Kedua, produktivitas pekerja (Y) adalah nilai riil barang yang dihasilkan oleh industri padat karya maupun padat modal dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan produktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja per bulan. Ketiga, upah Minimum Propinsi (UMP) adalah upah minimum propinsi DKI Jakarta. Hal ini berdasar pertimbangan bahwa sebagian besar industri yang menjadi obyek penelitian berlokasi di Jakarta dan sekitarnya. Penggunaan variabel upah minimum propinsi (UMP) dikarenakan pada periode penelitian belum ada ketentuan upah minimum sektoral propinsi (UMSP). Satuan Upah Minimum Propinsi adalah ribu rupiah per pekerja per bulan. Keempat, Undang-Undang Serikat Pekerja (UUSP) adalah pengesahan UndangUndang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Untuk variabel ini digunakan variabel dummy. Variabel UUSP bernilai 1 untuk periode 2001-
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
2005, dan bernilai 0 untuk periode 19972000. Cakupan Jenis Industri Padat Karya dan Padat Modal Sesuai dengan publikasi Statistik Industri dari BPS, cakupan industri padat karya meliputi industri pakaian jadi dari tekstil, industri pakaian jadi lainnya dari tekstil, industri pakaian jadi dari kulit, dan industri pakaian jadi lainnya dari kulit. Sementara itu, industri padat modal meliputi industri kimia dasar anorganik khlor dan alkali, kimia dasar anorganik gas industri, kimia dasar anorganik pigmen, kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain, kimia dasar organik, bahan baku zat warna dan pigmen, kimia dasar organik bersumber minyak bumi, gas bumi dan batu bara, kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus, damar buatan dan bahan plastik, pestisida, cat, pernis dan lak, bahan farmasi, farmasi, kosmetik, perekat dan tinta. Karena obyek penelitian mencakup berbagai macam industri selama periode 1997-2005, maka data penelitian merupakan data panel. Alat Analisis Penelitian ini menggunakan model regresi dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square). Hal ini dikarenakan jumlah sampel industri padat karya (pakaian jadi) relatif kecil sehingga tidak dimungkinkan bagi penggunaan metode estimasi lain seperti misalnya GMM (Generalized Method of Moment). Selanjutnya model penelitian diujudkan dalam model koreksi kesalahan (Error Correction Model= ECM) berikut. k
k
j 1
j 0
dWit i ij dYit ijUMPit k
j 1
ij
UUSPit j
it ECTt 1 uit
(1) Keterangan: W adalah upah nominal pekerja produksi, Y adalah produkivitas pekerja, UMP adalah upah minimum propinsi, UUSP adalah pengesahan undang-undang serikat pekerja Koefisien , dan diharapkan bertanda positif, sedangkan koefisien λ diharapkan bertanda negatif. Dengan melakukan estimasi terhadap persamaan ECM dengan lag yang tepat, koefisien parameter estimasi jangka pendek dapat diketahui. Begitu juga koefisien kecepatan penyesuaian (λ = speed of adjustment). Nilai λ menunjukkan besarnya kecepatan nilai upah nominal menuju kondisi equilibrium jangka panjang.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Kuantitatif Salah satu konsep penting dalam teori ekonometri adalah anggapan stasioneritas variabel-variabel yang diestimasi. Data yang stasioner memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Sementara itu, data yang non-stasioner tidak memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Apabila dua atau lebih variabel tidak stasioner, maka regresi yang menggunakan data tersebut menghasilkan estimator yang bias dan tidak konsisten. Untuk mengetahui apakah variabel yang diobservasi tidak stasioner atau stasioner digunakan uji akar-akar unit. Selanjutnya uji akar-akar unit dalam penelitian ini menggunakan model Im et al. (1997). Pengujian ini dilakukan berdasar rata-rata ADF statistik yang dihitung untuk setiap group dalam panel yang dikenal sebagai t-bar test. Pengujian akar-akar unit Im et al. memiliki small sample properties yang lebih baik daripada 35
JRMB, Volume 6, No. 1 Juni 2011
pengujian Levin dan Lin pada saat N melebihi T (Im et al., 1997). Hasil uji akar-akar unit model Im et al. menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model tidak stasioner pada level. Untuk itu, pengujian dilanjutkan dengan
uji derajat integrasi guna mengetahui pada derajat integrasi ke berapa variabelvariabel tersebut stasioner. Hasil uji derajat integrasi menunjukkan bahwa seluruh variabel stasioner pada derajat integrasi pertama (Tabel 1 dan Tabel 2).
Tabel 1 Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya Berdasar Model Im et al. Variabel
Aras (level) Differensi Pertama t-statistik Nilai kritis t-statistik Nilai Kritis 1,782 -1,645 -4,214)* -1,645 W1i,t 5,177 -1,645 -6,392)* -1,645 Yi,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645 UMPi,t *) menunjukkan signifikansi pada tingkat (α=5% ) Tabel 2 Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal Berdasar Model Im et al. Variabel
Aras (level) Differensi Pertama t-statistik Nilai kritis t-statistik Nilai Kritis 1,642 -1,645 -2,409)* -1,645 W2i,t -1,523 -1,645 -2,851)* -1,645 Yi,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645 UMPi,t *) menunjukkan signifikansi pada tingkat (α=5% ) Tahapan selanjutnya setelah pengujian akar-akar unit dan derajat integrasi adalah uji kointegrasi. Melalui uji kointegrasi akan diketahui apakah suatu set variabel berkointegrasi ataukah tidak. Pendekatan ini berkaitan dengan kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel ekonomi seperti yang dikehendaki dalam teori ekonomi. Pengujian kointegrasi mengacu pada model pengujian yang dikembangkan Pedroni (1999).
36
Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan adanya penolakan terhadap hipotesis H0 yang menyatakan tidak adanya kointegrasi untuk model panel Philips-Perron statistik dan panel ADF statistik (Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa residual regresi kointegrasi adalah stasioner I(0), sehingga variabel-variabel dalam model berkointegrasi atau memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang.
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
Tabel 3. Hasil Uji Kointegrasi Pedroni No.
Panel Statistik
Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya 1. Panel V-stat -0,016 2. Panel Rho-stat 0,803 3. Panel PP-stat -2,313)* 4. Panel ADF-stat -1,732)* 5. Panel Rho-stat 1,810 6. Panel PP –stat -2,139)* 7. Panel ADF-stat -2,003)* *) signifikan pada (α = 5% ) Selanjutnya untuk menghindari kesalahan spesifikasi model akibat lag terlalu pendek dan pengurangan derajat kebebasan akibat lag terlalu panjang, maka perlu ditentukan panjang lag yang tepat. Penentuan panjang lag dilakukan berdasar
Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal -1,174 2,043 -2,615)* -2,208)* 3,931 -2,782)* -2,954)*
Nilai Kritis Pedroni -1,645 1,645 -1,645 -1,645 1,645 -1,645 -1,645
kriteria Akaike. Hal ini dikarenakan kriteria Akaike lebih unggul dibandingkan kriteria lain (Liew, 2004:1-9). Berdasar kriteria tersebut, panjang lag optimum adalah 2 tahun (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil Penentuan Panjang Lag Berdasar Kriteria Akaike Panjang Lag
Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya Industri Padat Modal 1 1 10,687 14,873 1 2 10,385)* 14,821)* 1 3 10,483 14,853 2 2 11,222 15,103 2 3 10,986 15,074 *) panjang lag optimum Hasil Analisis Kualitatif Model koreksi kesalahan (ECM) memiliki keseimbangan yang tetap dalam jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi. Apabila dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan, maka ECM akan melakukan koreksi pada periode berikutnya. Mekanisme koreksi kesalahan merupakan penyelaras perilaku jangka pendek dan jangka panjang. Melalui mekanisme ini masalah regresi lansung dapat dihindari dengan penggunaan
variabel-variabel difference, tanpa menghilangkan informasi jangka panjang akibat penggunaan data difference. Selanjutnya untuk memilih model yang baik apakah Fixed Effects atau Random Effects perlu dilakukan pengujian Hausman. Hasil pengujian Hausman pada model upah nominal industri padat modal menunjukkan nilai F-hitung melebihi nilai F-tabel pada signifikansi (α = 5%), sehingga model yang baik adalah model Fixed Effects (Tabel 5). Sementara itu, persama37
JRMB, Volume 6, No. 1 Juni 2011
an upah nominal pekerja produksi industri padat karya hanya bisa diestimasi dengan model Fixed Effects. Hal ini dikarenakan
jumlah paramater yang diestimasi melebihi jumlah unit belah silang. .
Tabel 5. Hasil Pengujian Hausman Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal
F-hitung 5,140
Hasil estimasi model ECM diperoleh melalui estimasi terhadap Persamaan (1). Selanjutnya dilakukan reduksi terhadap paramater-paramater yang tidak signifikan dengan mengaplikasikan uji redundant coefficient sehingga diperoleh hasil estimasi yang sederhana. Hasil tersebut dipergunakan sebagai dasar analisis (Tabel 6 dan Tabel 7) Nilai R2 yang dihasilkan baik model upah nominal pekerja produksi industri padat karya maupun padat modal relatif tinggi. Hal ini mengingat model regresi didasarkan pada variabel diferensi pertama dan bukan variabel-variabel pada level. Dengan demikian variasi upah nominal pekerja produksi industri padat karya dan
F-tabel 5% 3,41
Keterangan F-hitung signifikan
Model dipilih Fixed Effects
padat modal yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel penjelas masingmasing sebesar 59,5 persen dan 43,5 persen. Variabel produktivitas pekerja (DYi,t) berpengaruh positif terhadap upah nominal pekerja produksi. Dalam jangka pendek, kenaikan produktivitas pekerja masingmasing sebesar 1 ribu rupiah per pekerja per bulan mengakibatkan kenaikan upah nominal pekerja produksi sebesar 1 rupiah (untuk pekerja produksi industri padat karya) dan 6 rupiah (untuk pekerja produksi industri padat modal). Kenaikan produktivitas pekerja menunjukkan kenaikan kontribusi pekerja sehingga mereka berhak atas upah lebih tinggi.
Tabel 6 Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya (Fixed Effects) Nomor.
Koefisien (ribu rupiah) 1. -32.412 C 2. 0,518 DW1i,t-1 3. 0,001 DY i,t 4. 0,001 DY i,t-2 5. 1,533 DUMPi,t 6. 0,594 DUMPi,t-2 7. -6,928 UUSP 8. -0,801 ECT1i,t-1 Variabel dependen: DW1i,t , R2 = 0,595
38
Variabel
t-statistik -0,665 1,560 1,813)* 0,641 2,282)* 0,849 -0,256 -2,674)*
t-tabel (α =5%) -1,645 1,645 1,645 1,645 1,645 1,645 -1,645 -1,645
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
Tabel 7 Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal (Fixed Effects) Nomor.
Variabel
1. C 2. DW2i,t-2 3. DY i,t 4. DY i,t-2 5. DUMPi,t 6. DUMPi,t-1 7. UUSP 8. ECT2i,t-1 Variabel dependen: DW2i,t R2 = 0,435
Koefisien (ribu rupiah) 144,600 0,169 0,006 -0,001 0,792 -0,793 -4,866 -0,528
Selanjutnya, variabel upah minimum propinsi (DUMPi,t) pada model upah nominal pekerja produksi industri padat karya bertanda positif dan signifikan. Hal ini diduga karena tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat karya lebih rendah daripada upah minimum propinsi. Kenaikan upah minimum propinsi menyebabkan pengusaha pada industri padat karya menaikkan tingkat upah nominal pekerja produksi. Sementara itu, variabel upah minimum propinsi (DUMPi,t) pada model upah nominal pekerja produksi industri padat modal tidak signifikan. Hal ini diduga karena tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat modal telah melebihi upah minimum propinsi. Variabel undang-undang serikat pekerja (UUSP) tidak signifikan baik pada model upah nominal pekerja produksi industri padat karya maupun upah nominal pekerja produksi industri padat modal. Hal tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi hubungan industrial tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Serikat pekerja lemah. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan, pasca pengesahan undang-undang serikat pekerja, justru kontra produktif bagi kepenting-
t-statistik 1,383 1,499 3,011)* -0,258 0,564 -0,255 -0,094 -4,476)*
t-tabel (α =5%) 1,645 1,645 1,645 -1,645 1,645 -1,645 -1,645 -1,645
an perjuangan serikat pekerja (Apindo, 2006 ).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pada industri padat karya, upah minimum propinsi berpengaruh positif terhadap upah nominal pekerja produksi. Sementara itu, upah minimum propinsi tidak berpengaruh terhadap upah nominal pekerja produksi industri padat modal. Kedua, Pengesahan undang-undang serikat pekerja tidak berpengaruh terhadap upah nominal pekerja produksi baik pada industri pada karya maupun padat modal. Saran Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang menjadi saran. Pertama, pemerintah daerah, khususnya yang belum memberlakukan peraturan upah minimum sektoral propinsi, perlu menetapkan upah minimum sektoral propinsi sehingga ketentuan upah minimum dapat 39
JRMB, Volume 6, No. 1 Juni 2011
mencerminkan kondisi setiap industri yang ada di daerah tersebut. Kedua, jumlah serikat pekerja perlu dibatasi agar serikat pekerja tersebut mampu berperan efektif.
Pembatasan jumlah serikat pekerja dapat dilakukan antara lain berdasar jumlah pekerja yang menjadi anggotanya.
DAFTAR REFERENSI Apindo, 2006. Serikat Pekerja : Perspektif Pengusaha, www.apindo.com. Barth,
E. dan Zweimuller, J.1995. “Relative Wage Under Decentralized and Corporatist Bargaining Systems”. Scandinavian Journal of Economics, 97: 369-384.
Barutu, C. 2003. “Hak Mogok Buruh dan Implikasinya Bagi Investasi Asing di Indonesia”, DPN Apindo, Jakarta. Bosworth, D., Dawkins, P. dan Stromback, T. 1996.The Economics of the Labor Market, Addison Wesley Longman. Feridhanusetyawan, T. dan Pangestu, M. 2004. “Indonesia in Crisis: An Macroeconomic Perspective”. Working Pape., CSIS, Jakarta. Hillier, B. 1991. The Macroeconomic Debate: Model of the Closed and Open Economy.Basil Blackwell. Holden, S. dan Wulfsberg, F. 2007. “Downward Nominal Wage Rigidity in the OECD”.Working Paper. European Central Bank, No: 777. Im, K.S., Pesaran, S.C., dan Shin, Y. 1997. “Testing for Unit Roots in Heterogeneous Panel”. Working Paper, University of Cambridge. 40
Liew, V. K. 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should We Employ?." Economics Bulletin, 33:1−9. Masyhuri.1998. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Aneka Industri: Perspektif Sosial, www.ekonomi. lipi.go.id McConnell, C., R., Brue, S. L., dan Macpherson, D. A 2003. Contemporary Labor Economics. New York : McGraw-Hill, Pedroni, P. 1999. “Critical Values For Cointegration Tests in Heterogeneous Panels with Multiple Regressors”, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Special Issues, 563-70. Pindyck, R.S., dan Rubinfeld, D. L. 2001. Microeconomics. New Jersey: Prentice Hall Portugal, P.2006. “Wage Setting In The Portuguese Labor Market: A Microeconomic Approach”. Economic Bulletin, 78: 89-100. Rahayu, S. 2002.“Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada Era Kebebasan Berserikat”, SMERU, Jakarta. Rama, M. 2001. “The Consequences of Doubling Minimum Wage: The
PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH…………………………………………………………...(Joko Susanto)
Case of Indonesia”.Industrial and Labor Review, 54: 864-81. Shafir E., Diamond, P. dan Tversky, A. 1997. “On Money Illusion”, Quarterly Journal of Economics, 112 : 341-74. Suharyadi, A., Widyanti, W., Perwira, D. dan Sumarto, S. 2003.“Minimum
Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Sector”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39: 29-50. Tjiptoherijanto, P. 1993. “Perkembangan Upah Minimum dan Pasar Kerja”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 4: 409-424.
41