PENGARUH KEJADIAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS TERHADAP PRODUKSI SUSU SAPI PERAH Studi kasus di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur
SKRIPSI
SABTO AGUNG KURNIAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PENGARUH KEJADIAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS TERHADAP PRODUKSI SUSU SAPI PERAH Studi kasus di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur
SKRIPSI
SABTO AGUNG KURNIAWAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul
: Pengaruh Kejadian Retensio Sekundinae dan Endometritis Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Studi kasus di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Sabto Agung Kurniawan
NRP
: B04103125
Telah diperiksa dan disetujui Oleh
Dosen Pembimbing
Drh. R. Kurnia Achjadi, MS NIP : 130 536 668
Mengetahui Wakil Dekan
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP : 131 129 090
Lulus Tanggal :
ABSTRAK SABTO AGUNG KURNIAWAN. Pengaruh Kejadian Retensio Sekundinae dan Endometritis Terhadap Produksi Susu Sapi Perah. Studi Kasus di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur. Di bawah bimbingan R. KURNIA ACHJADI. Endometritis adalah peradangan pada selaput lendir uterus (endometrium), pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik jahat yang masuk secara kontak langsung, lewat vulva, vagina, serviks, uterus dan secara hematogen. Umumnya terjadi setelah proses partus yang abnormal, seperti abortus, retensio sekundinae, prematur, distokia, kelahiran kembar dan kelanjutan radang dari serviks, vagina, vulva (Achjadi 2005). Sedangkan retensio sekundinae adalah tertahannya selaput fetus dalam kandungan selama 8-12 jam atau lebih setelah fetus lahir, baik pada kelahiran normal maupun abnormal. Studi kasus ini dilaksanakan di KPSP Sidodadi Ponco Kusumo yang bertujuan melakukan analisa pengaruh kejadian retensio sekundinae (RS), endometritis (E) dan retensio diikuti endometritis (RE) terhadap produksi susu sapi perah dan mengetahui seberapa besar faktor penyebab terjadinya RS dan E. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisis of Variance), lalu dilanjutkan dengan Uji Duncan (SAS Institute, 1997). Hasil studi kasus menunjukkan bahwa penurunan produksi susu pada RS sebesar 3.6 liter atau 25 % dari produksi susu normal (14.267 Liter), E sebesar 5.433 liter atau 35 % dari produksi susu normal (15.3 liter) dan RE sebesar 5.867 liter atau 36 % dari produksi susu normal (16.167 liter), dengan rata-rata penurunan produksi susu 4.967 liter atau 32 % dari produksi susu normal (15.244 liter). Penurunan produksi susu secara statistik jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RS berbeda nyata pada penurunan produksi susu pada E dan RE, sedangkan penurunan produksi susu pada E tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RE. Menurut (65 responden) faktor- faktor penyebab terjadinya RS di KPSP Sidodadi disebabkan oleh 55 % distokia, 20 % kekurangan nutrisi, 10 % hipocalcemia, dan 5 % sapi umur > 5 tahun, sedangkan penyebab kejadian E disebabkan oleh 55 % Distokia dan 40 % RS.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 06 Mei 1985 dari Bapak Imam Solikhin dan Ibu Suparmi. Penulis merupakan putera terakhir dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Kapas 1 pada tahun 1997. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah di SLTP Negeri 1 Balen dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi dari SMU Negeri 3 Bojonegoro. Pada tahun yang sama lulus seleksi IPB melalui jalur Undagan Seleksi Masuk IPB (USMI). Program studi yang dipilih adalah Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama studi di IPB, penulis aktif di Resimen Mahasiswa (Menwa) menjadi anggota biro II Operasi tahun 2003-2004, Kepala biro II Operasi tahun 2004-2005 dan Wakil Komandan Menwa tahun 2005-2007. Selain itu penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa FKH sebagai Ketua Devisi Soskemas tahun 2005-2006, Ketua Devisi Pelatihan di Himpro Ruminansia tahun 2005-2006, Ketua Beasiswa Gerakan Kakak Asuh tahun 2005-2006 selanjutnya aktif juga kegiatan di luar kampus yaitu Wakil Ketua Omda Bojonegoro tahun 2005-2006, Ketua Omda Bojonegoro tahun 2006-2007 dan kegiatan kerjasama dengan masyarakat dalam kemitraan usaha. Selama studi di IPB, penulis juga mendapatkn bantuan beasiswa institusi maupun keluarga. Baik beasiswa PPA tahun 2003, Beasiswa Perumka tahun 2004-2007 dan Genesis FKH tahun 2004, beasiswa GAKA tahun 2005-2007, beasiswa Persada tahun 2006 dan beasiswa BBM tahun 2007 lalu beasiswa keluarga selama aktif menjadi mahasiswa.
KATA PENGANTAR Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kenikmatan yang begitu besar dalam menimbang ilmu pengetahuan. Karena hanya segala karunia-Nya dan Ridho-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak dan ibu yang selalu mendoakan, mendidik dan mendukung penulis, selama menjadi mahasiswa sampai penyelesaikan Skripsi ini. 2. drh. R. Kurnia Achjadi, MS, sebagai pembimbing pertama yang telah dengan sabar memberikan bimbingannya kepada penulis dalam proses penyelesaian Skripsi ini. 3. drh. Endang Rachman, MS, sebagai penilai yang bersedia menyempatkan waktunya untuk menilai dan memberikan masukan dalam skripsi ini. 4. drh Dedy Ananto, sebagai petugas Keswan yang selama pengambilan data selalu dibimbing dan dibantu dalam studi kasus ini. 5. Staf KPSP Sidodadi ( bapak kesno, siswanto dll ) yang telah menfasilitasi penulis dan membantu penulis dalam pengambilan data. 6. Mas wahid, mas yosi, mbak dwi, mbak tini, mbak sari dan almarhumah mbah sumoharjo sebagai keluarga penulis yang sangat mendukung dan memberikan motivasi, semangat, bimbingan dan doanya. 7. Teman-teman FKH 40, Menwa, Omda Bojonegoro, Himadika dan setiap insan yang telah singgah dalam hati, yang telah menjadikan hidup ini menjadi penuh warna warni. Terimakasih atas motivasi dan dukungannya. Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam studi kasus ini maupun penulisan skripsi, walaupun demikian penulis berharap semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007 Penulis
DAFTAR ISI Abstrak .................................................................................................................
i
Lembar Pengesahan ............................................................................................. ii Riwayat Hidup .................................................................................................... iii Kata Pengantar .................................................................................................... iv Daftar Isi .............................................................................................................. v Daftar Tabel ........................................................................................................ vii Daftar Grafik ....................................................................................................... vii Daftar Lampiran ................................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan ...................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3 2.1 Retensio Sekundinae ...................................................................................... 3 2.1.1 Etiologi .................................................................................................. 3 2.1.2 Gejala Klinis .......................................................................................... 3 2.1.3 Diagnosa ................................................................................................ 3 2.1.4 Pencegahan dan Penanganan ................................................................
4
2.2 Endometritis ..................................................................................................
4
2.2.1 Etiologi .................................................................................................
4
2.2.2 Gejala Klinis .........................................................................................
4
2.2.3 Diagnosa ..............................................................................................
4
2.2.4 Pencegahan dan Penanganan ...................................................................... 5 2.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi susu ....................................... 5
III. BAHAN DAN METODE .............................................................................. 6 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ...................................................................
6
3.2 Materi dan Metode ........................................................................................
6
3.3 Parameter yang diamati .................................................................................
6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
7
4.1 Keadaan Umum .............................................................................................
7
4.1.1 Lokasi ................................................................................................... 7 4.1.2 Struktur Organisasi ............................................................................... 7 4.1.3 Sejarah Berdiri ...........................................................................................
8
4.1.4 Jumlah Sapi dan Produksi susu ..............................................................
9
4.1.5 Pelayanan Kesehatan Hewan KPSP Sidodad ...................................... 10 4.2 Wilayah Kerja ........................................................................................ 11 4.2.1 Wilayah dan Jumlah Anggota ............................................................. 11 4.3 Gambaran Umum Potensi Peternakan .......................................................... 12 4.4 Kejadian Gangguan Reproduksi ................................................................... 13 4.4.1 Retensio Sekundinae ............................................................................ 13 4.4.2 Endometritis ......................................................................................... 18 4.5 Pengaruh Kejadian Retensio Sekundinae, Endometritis dan Retensio Diikuti Endometritis Terhadap Produksi Susu .......................................................... 20
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 23 VI. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 23 LAMPIRAN ....................................................................................................... 26
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Populasi Sapi Perah KPSP Sidodadi April 2006 .................................... 9 Tabel 2. Perkembangan Produksi Susu Tahun 2004, 2005 hingga Mei 2006 ..... 9 Tabel 3. Jumlah Produksi susu 1 Januari 2006 – Mei 2006 ................................ 10 Tabel 4. Pelayanan kesehatan hewan KPSP Sidodadi Tahun 2005 – 2006 ........ 11 Tabel 5. Identitas Peternakan Responden di KPSP Sidodadi .............................. 13 Tabel 6. Pengetahuan Responden Terhadap Kejadian Retensio Sekundinae ..... 15 Tabel 7. Pengetahuan Responden Terhadap Kejadian Endometritis .................. 19 Tabel 8. Penurunan produksi susu ....................................................................... 20
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Pengaruh Kejadian Retensio sekundinae, Endometritis dan Retensio diikuti Endometritis Terhadap Produksi Susu Tahun 2005-2006 ........ 21
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengetahuan Peternak Terhadap Retensio sekundinae dan Endometritis di KPS Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur. Lampiran 2. Penurunan Produksi Susu Akibat Kejadian Retensio_Endometritis Lampiran 3. Penurunan Produksi Susu Akibat Kejadian Retensio Sekuninae, Endometritis dan Retensio_Endometritis. Lampiran 4. Analisis of variance procedure Lampiran 5. Populasi Sapi Perah KPSP Sidodadi Poncokusumo Pabrian Lampiran 6. Total Produksi dan Produktifitas April 2005 Lampiran 7. Total Produksi dan Produktifitas Ap ril 2006
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan asal hewani yang mengandung nilai gizi tinggi. Kebutuhan akan susu meningkat terus seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kebutuhan unsur gizi terutama protein. Permintaan susu di Indonesia terus meningkat sedangkan produksi susu dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 380 ribu ton atau 42,5 % dari jumlah permintaan, selebihnya didatangkan dari luar negeri dalam bentuk bubuk (Sukada 1996). Penyebab tidak dapat dipenuhinya kebutuhan susu dalam negeri tersebut, antara lain karena populasi sapi perah yang terbatas jumlahnya dan gangguan reproduksi sapi perah. Terjadinya gangguan reproduksi akan mempengaruhi terhadap kualitas dan kuantitas produksi susu sapi. Rendahnya tingkat kesuburan pada sistem reproduksi hewan terutama sapi perah disebabkan oleh adanya beberapa faktor gangguan reproduksi, sehingga menimbulkan kasus infertilitas seperti hipofungsi ovarium, corpus luteum persisten, sistik ovari, endometritis, retensio sekundinae, gangguan hormonal dan tingkat gizi yang rendah akibat makanan kurang bermutu. Disamping itu faktor manajemen dan penanganan ternak juga menunjang peranan dalam kasus terjadinya gangguan reproduksi. Optimalisasi proses produksi susu masih menghadapi berbagai kendala. Kendala terbesar dalam usaha produksi susu adalah hal- hal yang berkaitan dengan kesehatan hewan khususnya pencegahan dan penanggulangan penyakit. Pencegahan dan penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian, karena didasari bahwa penyakit dapat merubah proses produksi, menimbulkan kerugian ekonomi terutama bila ditimbulkan penyakit menular. Penyakit reproduksi yang sering terjadi di perternakan rakyat adalah endometritis dan retensio sekundinae. Endometritis adalah peradangan pada selaput lendir uterus (endometrium), pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik jahat yang masuk secara kontak langsung, lewat vulva, vagina, serviks, uterus dan secara hematogen. Umumnya terjadi setelah proses partus yang
abnormal, seperti abortus, retensio sekundinae, prematur, distokia, kelahiran kembar dan kelanjutan radang dari serviks, vagina, vulva (Achjadi 2001). Sedangkan retensio sekundinae adalah
tertahannya selaput fetus dalam
kandungan setelah fetus lahir, baik pada kelahiran normal maupun 8-12 jam atau lebih. Berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh perternakan agar dapat mencapai keuntungan maksimum diantaranya adalah penggunaan bibit yang baik, ketersediaan pakan yang cukup secara kuantitas dan kualitas, penerapan tata laksana reproduksi yang optimal dan pengetahuan zooteknik yang tepat serta pencegahan dan penge ndalian (Subronto dan Tjahajati 2000). Sehingga kesalahan dalam pemenuhan syarat tersebut akan berdampak langsung terhadap reproduksi.
1.2 Tujuan 1. Mengetahui tingkat kejadian endometritis dan retensio sekundinae pada sapi perah. 2. Mengetahui faktor- faktor penyebab terjadinya endometritis dan retensio sekundinae. 3. Melakukan analisa pengaruh kejadian endometritis, retensio sekundinae dan retensio_endometritis terhadap penurunan produksi susu. 4. Memberikan saran perbaikan dalam pengelolaan Sapi Perah di KPSP Sidodadi, Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retensio Sekundinae Retensio sekundinae terjadi apabila selaput fetus menetap lebih lama dari 8-12 jam (Manan 2001; Partodiharjo 1982; Toelihere 1985), 12 jam (Hafez 2000; Subroto dan Tjahajati, 2001) post partus. Pada partus yang berjalan normal secara fisiologis, selaput lendir akan keluar dalam waktu 3-8 jam (Artur 1975; Toelihere 1985), 8 jam (Portodiharjo 1982), 3-5 jam (Manan 2001) post pastus. 2.1.1 Etiologi Toelihere (1985) mengemukakan bahwa terjadinya retensio sekundinae ini terjadi akibat gangguan pemisahan dan pelepasan villi fetalis dari kripta maternal koronkula. Kejadian retensio sekundinae merupakan suatu proses yang komplek meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh pengecilan struktur plasenta maternal dan fetalis, perubahan-perubahan degeneratif dan kontraksi uterus. Anonimous (2003) menyatakan kejadian retensio sekundinae pada peternakan kurang dari 5 %. Meskipun kesulitan melahirkan atau distokia dihubungkan dengan penyebab retensio sekundinae, penyebabnya lebih sering dikarenakan kekurangan nutrisi. Diantaranya Se, Vitamin A, Vitamin E, Ca dan protein utama merupakan nutrisi yang berperan dalam kelahiran. 2.1.2 Gejala Klinis Kejadian retensio sekundinae berhubungan erat dengan faktor lingkungan, fisiologis dan nutrisi. Menurut Manan (2001) 75-80 % penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tanda-tanda sakit dan hanya 20-25 % yang menunjukkan gejala sakit. Komplikasi retensio sekundinae dengan metritis memperlihatkan gejala klinis yang bervariasi tergantung dari derajat penyakitnya. Gejala yang terjadi berupa peningkatan pulsus, respirasi, temperatur meningkat, anoreksia, diare ( Arthur 1975), depresi, produksi susu dan berat badan menurun ( Manan 2001; Toelihere 1985).
2.1.3 Diagnosa Menurut Hardjopranjoto (1995) diagnosa retensio sekundinae dapat dilakukan berdasarkan adanya plasenta yang keluar dari alat kelamin. Kejadian retensio sekundinae didiagnosa melalui pemeriksaan pervaginal dalam waktu 2436 jam post partus. Apabila pemeriksaan dilakukan lebih dari 48 jam akan mengalami kesulitan karena serviks sudah mulai menutup (Toelihere 1985). 2.1.4 Pencegah dan Penanganan Menurut Erb (1985) untuk mencegah retensio sekundinae dapat dilakukan dengan mencukupi energi, protein, Se, Vitamin D dan E dalam pakan. Sedangkan tujuan penanganan adalah untuk menjaga atau mengembalikan tingkat kemampuan reproduksi pada kondisi yang normal (Manspeaker 1992). Penanganan retensio sekundinae dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pengupasan secara manual, secara terapi dan tanpa penanganan (Arthur 1975; Subroto dan Tjahajati 2001). 2.2
Endometritis Endometritis merupakan gangguan reproduksi yang biasanya dalam waktu
dua minggu (Subroto dan Tjahajati 2001), dua puluh hari (Achjadi 2001) post partus khususnya partus yang abnormal. Kejadian endometritis dalam jangka pendek dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan antara interval partus dan kebuntingan sepuluh hari (Bretzlaff et al 1987), dua puluh hari (Erb et al 1981). 2.2.1 Etiologi Ressang (1984) menyatakan bahwa kejadian endometritis sering menyertai sapi yang mengalami partus berat dan retensio sekundinae. Selanjutnya menurut Toelihere (1981) kejadian endometritis pada umumnya terjadi sesudah post partus abnormal seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia, pyometra dan perlukaan yang disebabkan alat-alat yang dipergunakan pada saat pertolongan kelahiran yang abnormal. 2.2.2 Gejala Klinis Penderita endometritis biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, suhu subnormal atau diatas normal (40-410 C), produksi turun, atoni rumen, diare, dehidrasi, anoreksia, urinasi, pernapasan cepat dan denyut jantung lemah (Subronto dan Tjahajati 2001). Menurut Toelihere (1981) gejala klinis
endometritis pada kasus yang berat dapat terjadi pengeluaran eksudat mukopurulen dari uterus ke dalam vagina.
2.2.3 Diagnosa Menurut Toelihere (1981) kejadian endometritis dapat didiagnosa melalui palpasi perektal maupun pemeriksaan vagina. Sedangkan menurut Partodiharjo (1982); Ressang (1984) kejadian endometritis dapat juga didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan histopatologi dari biopsi endometrium hewan penderita dan dengan pemupukan bakteriologi. 2.2.4 Pencegahan dan Penanganan Kejadian endometritis dapat dicegah dengan memperlihatkan program kesehatan yang rutin seperti penanganan pre partus, partus dan post partus (Dohmen 1995). Sedangkan cara penangananya dengan menggunakan antibiotik oxytetracycline dikombinasikan dengan preparat estrogen dan PGF 2 alpha memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan antibiotik atau hormon secara sendiri-sendiri (Achjadi 1991). 2.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi susu Sudono (1985) menerangkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besarnya sapi, masa berahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, pakan dan tata laksana. Menurut Sodono (1985) variasi produksi susu seekor sapi perah 70 % dipengaruhi oleh lingkungan (pakan, tata laksana, penyakit, iklim dan lainlain) dan 30 % oleh faktor genetik. Menurut Gushairiyanto (1994) selang beranak ditentukan oleh lamanya masa kosong, jumlah perkawinan per kebuntingan dan lama bunting. selang beranak akan mempengaruhi jumlah produksi susu perlaktasi. Selang beranak untuk sapi yang telah beranak satu kali adalah 13 bulan dan yang sudah sering beranak 12 bulan, ini akan memaksimalkan produksi susu tetapi selang beranak yang baik di anjurkan adalah 13-14 bulan dengan harapan produksi susu tetap tinggi (Bath et al 1985).
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan dari kegiatan studi kasus di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur, dari bulan juni – juli 2006. 3.2 Materi dan Metode Materi dan metode yang digunakan berupa pengumpulan data primer melalui pengamatan langsung serta wawancara dengan dokter hewan atau dengan petugas setempat. Data sekunder diambil dari laporan kegiatan di koperasi perternakan sapi perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur, mengenai pengaruh kejadian endometritis dan retensio sekundinae pada sapi perah terhadap produksi susu. 3.3 Parameter yang diamati Rancangan penelitian mengganakan rancangan acak kelompok dengan parameter yang diamati dalam kegiatan ini berupa penyebab timbulnya kejadian RS dan E berdasarkan gejala klinis yang bisa diamati, cara pencegahan dan penanganan, juga mengamati apakah ada hubungan yang signifikan antara kejadian RS dan E sapi perah terhadap produksi susu sapi perah. Untuk mengetahui mengenai hubungan kejadian RS dan E sapi parah terhadap produksi susu, dasar penarikan kesimpulan apakah dasar penarikan kesimpulan kuat atau lemah, dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis ragam (Analisis of Variance), lalu dilanjutkan dengan Uji Duncan (SAS Institute 1997).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum 4.1.1 Lokasi Luas wilayah Kota Malang 110.056,6 km2 (11.005,66 Ha) dimana dari luas keseluruhan Dinas Pertanian Kota Malang memiliki potensi luas lahan pertanian 1.517.434 Ha, Luas lahan kering 9.487.38 Ha Tegalan, ladang, huma seluas 2.551.85 Ha. Klimatologi pada wilayah Kota Malang : Curah hujan : 1.883 mm (rata-rata) Suhu Udara : 24,13C (rata-rata) Kelembapan : 72 (rata-rata). Koperasi peternakan sapi perah (KPSP) Sidoarjo terletak di desa Pabrian, Kecamatan Ponco Kusumo yang berbatasan dengan Kecamatan Wajak. Topografinya ditandai dengan bukit-bukit, persawahan dan gunung- gunung, dengan letak ketinggian mencapai kurang lebih 1.200 m diatas permukaan laut. Daerah ini termasuk dataran tinggi yang berhawa sejuk karena mempunyai kisaran suhu 18-300 C, kelembapan 70-85 % dengan curah hujan yang cukup tinggi serta kondisi geografis yang berbukit-bukit. 4.1.2 Struktur Organisasi Susunan organisasi di koperasi peternakan sapi perah (KPSP) Sidodadi terdiri dari pengurus dan badan pengawas. Pengurus terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris, administrasi, Keswan, inseminator dan lima orang karyawan. Tugas dari pengurus bertugas sehari- harinya sebagai petugas administrasi sedangkan badan pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi. Sekarang ini KPSP Sidodadi mempunyai empat pengurus utama yang salah satunya sebagai pendiri koperasi. Rapat anggota bulanan dilaksanakan setiap bulan sekali pada awal bulan dan rapat anggota tahunan dilaksanakan pada akhir tahun dengan membahas laporan
pertanggung
jawaban
pengurus
dalam
melaksanakan
tugasnya,
menetapkan kebijaksanaan umum dan membuat rencana kerja. Pada rapat anggota bulanan membahas pelaksanaan hasil kerja selama sebulan.
Bagan Struktur Kepengurusan Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi.
Ketua
Pengawas
Bendahara
Sekretaris
Keswan
Administrasi
Inseminator
4.1.3 Sejarah Berdiri Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi berdiri pada tanggal 08 Mei 1999 dengan hak badan hukum No.167/BH/KDK.1313/V/99 terlahir akibat ketidakpuasan para peternak terhadap para kolektor atau pengumpul susu yang menguasai pemasaran susu, kinerja pengurus kurang profesional, sehingga para peternah merasa tidak puas dengan harga susu yang terlalu rendah. Akhirnya koperasi Mekar Sari dibubarkan pada tahun 1996 karena terjadi demo oleh para peternak. Didirikanya
KPSP
Sidodadi
bertujuan
untuk
menampung
dan
menyelamatkan hasil produksi susu sapi perah. Pendiri KPSP Sidodadi pada mulanya didirikan oleh empat orang pendiri dengan jumlah anggota 30 orang anggota selanjutnya berkembang menjadi 260 orang anggota sampai saat ini. Sejak adanya KPSP Sidodadi penduduk mulai lagi berternak sapi perah hingga sekarang mencapai 884 ekor sapi, baik sapi yang produktif, pedet, dara, maupun kering kandang dengan awal berdiri berproduksi susu 1.250 liter/hari hingga mencapai 2.845 liter/hari. KPSP Sidodadi juga berusaha untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi susu dari peternak yaitu dengan cara mengadakan penyuluhan. mulai dari cara penangana pasca pemerahan sampai post pemerahan. Hasil penjualan susu berdasarkan penerapkan sistem pembayaran berdasarkan kualitas dan kuantitas produksi susu yang di setorkan ke koperasi.
4.1.4 Jumlah Sapi dan Produksi Susu Sebagian besar penduduk Kecamatan Ponco Kusumo memiliki peternakan sapi perah yang berskala kecil maupun skala menengah. Kepemilikan sapi perah tiap anggota bervariasi mulai dari dua ekor sampai tiga puluh lima ekor. Jumlah total populasi sapi perah anggota KPSP Sidodadi pada April 2006 yaitu 884 ekor, dengan prosentase sapi induk bunting dan tidak bunting 46 %, sapi dara bunting dan tidak bunting 8 %, sapi kering bunting dan tidak buting 11 % dan sapi pedet jantan dan betina 33 %. Jumlah populasi sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi Sapi Perah KPSP Sidodadi Tahun 2005 - April 2006 Populasi Sapi Perah
2005
April 2006
Induk Bunting
159
207
Induk Tidak bunting
157
204
Dara bunting
28
36
Dara Tidak bunting
27
35
Kering bunting
77
100
Kering tidak bunting
3
4
Pedet jantan
103
134
Pedet betina
126
164
Jumlah
679
884
Sumber : Data Computer KPSP Sidodadi 2006 Produksi susu KPSP Sidodadi pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 mengalami penurunan. Pada tahun 2004 rata-rata jumlah produksi susu yaitu 1.004.508.7 liter/tahun atau 2.861 liter/hari sedangkan pada tahun 2005 rata-rata jumlah produksi susu yaitu 1.038.674.5 liter/tahun atau 2.845 liter/hari atau 8.11 liter/hari/ekor, yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Produksi Susu Tahun 2004, 2005 hingga Mei 2006 Tahun
Jumlah produksi/th/l
Jumlah produksi/hari/l
2004
1.044.508.7
2.861
2005
1.038.674.5
2.845
Januari s/d Mei 2006
462.826
-
Sumber : Data Computer KPSP Sidodadi 2006
Jumlah produksi susu pada bulan Januari – Mei 2006 jumlah produksi susu yaitu 462.826 liter/5 bulan atau dengan rata-rata 3.085 liter/hari yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Produksi Susu 1 Januari 2006 – Mei 2006 No
Waktu ( 2006 )
Jumlah produksi/10
Jumlah
hari/l
produksi/hari/l
1
1 – 10 Januari
30.430,50
3.043
2
11 – 20 Januari
33.099,00
3.309
3
21 – 31 Januari
30.577,50
3.057
4
1 – 10 Februari
30.445,50
3.044
5
11– 20 Februari
27.942,00
2.794
6
21– 28 Februari
30.848,00
3.084
7
1 10 Maret
30.797,00
3.079
8
11– 20 Maret
33.217,00
3.321
9
21- 31 Maret
30.533,00
3.053
10
1 – 10 April
29.553,00
2.955
11
11 – 20 April
29.521,50
2.952
12
21 – 30 April
29.508,00
2.950
13
1 – 10 Mei
30.522,50
3.052
14
11 – 20 Mei
34.062,50
3.406
15
21 – 31 Mei
31.769,00
3.176
Sumber : Data Computer KPSP Sidodadi 2006
4.1.5 Pelayanan Kesehatan Hewan KPSP Sidodadi Penanganan gangguan reproduksi sangat mendapatkan perhatian penting dalam sistem pelayanan koperasi karena reproduksi sapi perah perkembangan koperasi. Sistem pelayanan reproduksi dan kesehatan sapi perah dilaksanakan oleh petugas Keswan berdasarkan pelaporan peternak melalui petugas susu atau peternak melaporkan sendiri ke kantor koperasi Sidodadi. Penanganan pelayanan reproduksi seperti pemeriksaan kebuntingan, penanganan kasus gangguan
reproduksi serta kasus kesehatan (klinis) umumnya dilakukan oleh dokter hewan. Pelayanan kesehatan hewan KPSP Sidodadi sebagaimana tercantum pada tabel 4.
Tabel 4. Pelayanan Kesehatan Hewan KPSP Sidodadi Tahun 2005 – 2006 No
Jenis Kasus
Nama Kasus
2005
Jumlah 1 Klinis Indigesti 5 2 Diare 6 3 Rumen Sarat 1 4 Tympani 20 5 Stomatitis 3 6 Bronchopneumonia 7 Mastitis 25 8 DCS 10 9 Hypocalsemia 5 10 Grass Tetani 1 11 Ulcus Ungulae 12 Arthritis 13 Myositis 14 Lain- lain* 15 Reproduksi Hypofungsi Ovari 12 16 Atropy Ovari 17 Endometritis 46 18 Retensio sekundinae 52 19 Pyometra 3 20 Distokia 46 21 Torsio Uteri 22 Prolaps Uteri et Vagina 2 23 PHM Distomosis 24 Brucellosis 25 Lain- lain* 26 Kematian ternak/sapi perah 2 27 Mutasi ternak yang dilaporkan 21 *) Penyakit yang timbul diluar yang tersebut di atas Sumber : Data Computer KPSP Sidodadi
2006 Mati
1 1
Jumlah 1 2 5 13 1 20 25 25 12
Wilayah Kerja Wilayah dan Jumlah Anggota Wilayah kerja KPSP Sidodadi meliputi 2 kecamatan ya ng dibagi menjadi 8 desa yaitu Kecamatan Wajak terdiri dari Desa Ngembal, Jangkung, Dadapan dan Kecamatan Ponco Kusumo terdiri dari Desa Sumber Jambe, Sumber Sari,
Mati
Pajajaran, Ngebruk, dan Pabrian. Untuk memudahkan pelayanan koperasi terhadap anggota didirikan TPS (Tempat Penampungan Susu) yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian utara (Pajajaran, Ngebruk, Sumber Sari) lalu bagian pusat (Sumber Jambe, Pabrian, Ngembal) dan Bagian selatan (Jangkung, Dadapan). Jumlah anggota KPSP Sidodadi sampai bulan Juni 2006 mencapai 260 orang.
4.3 Gambaran Umum Potensi Peternakan Berdasarkan hasil kuesioner dari 65 peternak responden diketahui bahwa sebagian besar responden 65 % memperoleh pendidikan formal hanya sampai pada Sekolah Dasar (SD), 28 % pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 5 % pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan 0 % pada Sekolah Perguruan Tinggi (PT). Sedangkan mengenai pendidikan non formal sebanyak 10 % responden tidak pernah memperoleh pendidikan formal dan 90 % yang pernah mengikuti penyuluhan dan pelatihan peternakan. Tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi kemampuan seorang peternak dalam menerima dan memahami informasi atau inovasi dalam bidang peternakan. Pengalaman dalam memelihara sapi perah pada umumnya masih tergolong cukup lama dimana sebesar 5 % responden berpengalaman antara 0-3 tahun, 40 % berpengalaman antara 4-5 tahun, 35 % berpengalaman antara 6-9 tahun, dan 20 % berpengalaman lebih dari 10 tahun. Pengalaman yang cukup membantu dalam segi perawatan sapi dan inovasi yang baru untuk mengembangkan yang lebih baik berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Kedudukan peternak responden dalam kepemilikan peternakannya 100 % milik sendiri, dimana dalam memelihara dan merawat sapi dikerjakan secara keluarga atau sebagai usaha sampingan keluarga. Mata pencaharian peternak responden pokok diketahui bahwa 35 % sebagai peternak, 55 % sebagai petani dan 10 % sebagai pedagang. Penduduk Ponco Kusumo berternak sapi perah hanya sebagai usaha sampingan dalam menambah pendapatan keluarga. Tujuan peternak responden memelihara sapi perah, dari hasil kuesioner diperoleh hasil bahwa 100 % responden menjual susu, pedet, dara atau induk. Hasil dari kuesioner responden dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Identitas Peternakan Re sponden Di KPSP Sidodadi 2006 Latar Belakang Responden
Jumlah Responden (%)
Pendidikan Formal SD SLTP SLTA PT Pendidikan Non Formal Tidak penah Penyuluhan dan pelatihan peternakan Lain- lain Pengalaman berternak 0-3 Tahun 4- 5 Tahun 6-9 Tahun > 10 Tahun Kepemilikan lahan peternakan Milik sendiri Sewa Mata pencaharian pokok Berternak Bertani Berdagang PNS Tujuan memelihara ternak Menjual susunya Menjual susu, pedet, dara atau induk Menjual susu, pedet, dara, induk dan pengolahan feces menjadi pupuk. Sumber : Hasil Kuisioner 65 Peternak Responden KPSP Sidodadi 2006 4.4
65 28 5 0 10 90 0 5 40 35 20 100 0 35 55 10 0 0 100 0
Kejadian Gangguan Reproduksi
4.4.1 Retensio Sekundinae Berdasarkan hasil kuesioner dari 65 peternakan responden, sebanyak 10 % responden menyatakan bahwa sapinya mengalami retensio sekundinae apabila plasenta menetap lebih dari 3-8 jam post partus, 10 % menyatakan 9-12 jam post partus, 75 % menyatakan lebih dari 12 jam post partus dan 5 % menyatakan tidak tahu. Retensio sekundinae terjadi apabila selaput fetus menetap lebih lama dari 812 jam (Manan 2001; Toeliher 1985), 12 jam (Hafes 2000; Subronto dan Tjahajati 2001) post partus. Pada partus yang berjalan normal secara fisiologis, selaput fetus akan keluar dalam waktu 3-8 jam (Artur 1975), 3-5 jam (Manan 2001) post partus.
Penyebab terjadinya retensio sekundinae berdasarkan keterangan respoden disebabkan berbagai faktor diantaranya 20 % kekurangan nutrisi, 55 % distokia, 10 % hipokalsemia, 5 % sapi umur lebih dari 5 tahun dan 10 % semua benar yang disebutkan diatas ( Tabel 6). Menurut (Vandeplasche 1982) kejadian retensio sekundinae dapat disebabkan karena defisiensi Iodin, Magnesium, Calsium, Vitamin A dan Bete Karotin. Rendahnya kadar Calsium dalam darah dapat mengakibatkan inersia uteri setelah fetus dilahirkan. Sedangkan menurut Toelihere (1985) kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh kelemahan uterus (atoni uteri), karena berbagai keadaan seperti penimbunan cairan pada selaput fetus, torsio uteri, distokia dan keadaan patologis lainnya. Kejadian retensio sekundinae dapat juga terjadi sehubungan dengan defisinsi Se, Vitamin A (Mayes et al 1987). Faktor umum dan cukupnya gerakan pada masa kebuntingan akan berpengaruh terhadap kejadian retensio sekundinae. Sebanyak 10 % responden menyatakan kejadian retensio sekundinae terjadi pada sapi yang mengalami kelahiran satu sampai dua kali, 25 % pada kelahiran dua sampai empat kali, 35 % pada kelahiran > 4 kali, 15 % terjadi pada bunting > 9 bulan dan sebanyak 5 % terjadi pada bunting < 9 bulan. Menurut Artur (1975) kejadian retensio sekundinae lebih sering terjadi pada sapi yang sudah beberapa kali beranak dari pada sapi dara yang baru pertama kali beranak. Disamping itu faktor pemberian pakan (hijauan dan konsentrat), cara pemeliharaan, sanitasi dan faktor dari hewan (faktor hormonal dan keturunan). Pengaruh kejadian retensio sekundinae berdasarkan keterangan peternak responden menyatakan 40 % produki susu turun dan sapi sakit, 30 % kurang nafsu makan dan produksi susu turun, 20 % kurang nafsu makan dan sapi sakit dan 10 % kurang nafsu makan, produksi susu turun, sapi sakit. Kejadian retensio sekundinae berhubungan erat dengan faktor lingkungan, fisiologis dan nutrisi. Menurut Manan (2001) 75-80 % penderita
retensio sekundinae tidak
menunjukkan tanda-tanda sakit dan hanya 20-25 % yang menunjukkan gejala sakit. Gejala yang terjadi berupa peningkatan pulsus, respirasi, temperatur meningkat, ano reksia, diare ( Arthur, 1975), depresi, produksi susu dan berat badan menurun ( Manan 2001; Toelihere 1985).
Tabel 6. Pengetahuan Responden Terhadap Kejadian Retensio Sekundinae 2006 Pengetahuan Responden
Jumlah Responden ( % )
Kapan terjadi Retensio Sekundinae 3-8 jam post partus 9-12 jam post partus > 12 jam post partus Tidak tau Penyebab Retensio Sekundinae Kekurangan Nutrisi Distokia Hypokalsemia Sapi umur > 5 tahun Semua benar
10 10 75 5
20 55 10 5 10
Sapi yang melahirkan berapa kali 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali Bunting > 9 bulan Bunting < 9 bulan
10 25 35 15 5
Pengaruh Retensio Sekundinae terhadap sapi Produki susu turun dan sapi sakit Kurang nafsu makan dan produksi susu turun Kurang nafu maka dan sapi sakit Kurang nafsu makan, produksi susu turun dan sapi sakit
40 30 20 10
Pertolongan yang diberikan petugas keswan Pengeluaran plasenta pada 8-12 jam post partus Pengeluaran plasenta pada 13-24 jam post partus Pengeluaran plasenta pada 25-48 jam post partus Pengeluaran plasenta pada > 48 jam post partus
10 30 35 25
Pencegahan dan Pengobata Pemberian antibiotik Pemberian hormon Pemberian antibiotik dan hormon Tidak diberikan antibiotik dan hormon
60 0 40 0
Apakah mengalami Endometritis setelah terjadi retensio Ya Tidak Sumber : Hasil Kuisioner 65 Peternak Responden KPSP Sidodadi 2006
54 46
Pertolongan yang dilakukan pada petugas berdasarkan keterangan peternakan responden adalah 10 % pengeluaran plasenta pada 8-12 jam post partus, 30 % pengeluaran plasenta pada 13-24 jam post partus, 35 % pengeluaran plasenta pada
23-48 jam post partus dan 25 % pengeluaran plasenta > 48 jam
post partus. Apabila pemeriksaan dilakukan lebih dari 48 jam akan mengalami kesulitan karena serviks sudah mulai menutup (Toelihere 1985). Waktu yang baik untuk melakukan pengeluaran plasenta adalah 36 – 48 jam post partus karena serviks masih terbuka, plasenta belum membusuk, infeksi masih belum hebat, kornua uteri masih terjangkau dan plasenta sudah banyak yang terlepas sendiri Djojosoedarmo et al. (1976). Sedangkan dalam melakukan pengobatan, petugas memberikan preparat antibiotik
60 % dan 40 % pemberian antibiotik dan
hormon. Menurut Toelihere (1985) pemberian preparat antibiotik berspektrum luas seperti oxytetracycline (Terramycin® ) atau chlortetracycline (Aureomycin® ) terbukti lebih efektif bila diberikan secara intra uterina. Selain pemberian preparat antibiotik, pemberian preparat hormon oxytocin segera post partus sangat berguna untuk mencegah terjadinya retensio sekundinae (Manan 2001; Toelihere 1985). Sebanyak 54 % responden menyatakan bahwa setelah terjadi retensio sekundinae
maka akan diikuti kejadian endometritis. Dari hasil kuesioner
diketahui bahwa terjadinya endometritis akibat retensio sekundinae yang disebabkan oleh beberapa faktor penyebab diantaranya 55 % distokia, 20 % malnutrisi. Sapi yang melahirkan tidak secara normal tetapi dibantu oleh peternak atau petugas dan penanganan tidak dilakukan secara lege artis atau tidak dilakukan sesuai prosedur cara penarikan fetus. Penarikan paksa bisa terjadi perlukaan pada lapisan endometrium sehingga menyebabkan endometritis. Selain itu penanganan petugas pada saat penolongan retensio sekundinae lebih dari 24 jam post partus juga bisa menyebabkan endometritis, karena jumlah bakteri dalam vagina dan vulva melebihi batas normal. Bakteri dapat masuk melalui feses atau perantara petugas pada saat palpasi pervagina yang dilakukan secara tidak lege artis. Kebanyakan responden tidak melaporkan langsung kejadian retensio sekundinae kepada petugas, hanya 10 % pelaporan ke petugas Keswan pada waktu 8 – 12 jam post partus. Rata-rata responden melaporan lebih dari 1-2 hari
setelah post partus, hal ini disebabkan masih kurangnya pengertian peternak akan kejadian retensio sekundinae, jarak ke koperasi yang jauh dan pengeluaran plasenta lebih dari satu hari sudah sering terjadi, bahkan lebih dari dua hari juga kadang terjadi. Tetapi hanya sebagian peternak yang masih belum mengetahui akan kejadian retensio sekundinae. Penangan retensio sekundinae yang dilakukan peternak sendiri dengan menggunakan obat tradisional atau obat alami sedangkan petugas Keswan melakukan secara manual dengan mengelupas hubungan antara kotiledon anak dan maternal karunkula satu per satu menggunakan tangan yang dimasukkan uterus melalui eksplorasi vagina. Pencegahan atau pengobatan yang dilakukan petugas Keswan biasanya dengan pemberian preparat antibiotik atau hormon yang diberikan dalam bentuk spull atau bolus secara intra uterina. Preparat antibiotik yang biasanya diberikan oleh petugas Keswan adalah jenis antibiotik berspektrum luas yaitu Vetoxy-SB® (Oxytetracyclin), Colibact® (Trimetropin dan Sulfadiazina). Sedangkan hormon yang diberikan adalah Photahormon® (Oxytocin) atau Prostavet® (Prostaglandin). Kemudian diberikan Vitamin B-Complex, yang berguna untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan normal setelah melahirkan dan sekaligus meningkatkan nafsu makan. Setiap ml larutan injeksi ini mengandung Vitamin B1 2 mg, B2 2 mg, Nicotinamide 20 mg, Panthenol 10 mg, dan Procain HCl 20 mg. Indikasi dari obat ini adalah terutama diperlukan pada semua keadaan defisiensi dan gangguan yang timbul karena tidak cukup masuknya atau terganggu penyerapan, dan penggunaan vitamin golongan B. Pada penyembuhan yang lambat setelah pengobatan dengan antibiotik dan sulfonamid, memelihara fungsi normal dari sistem syaraf dan kulit, juga sangat berguna sebagai tambahan masa kebuntingan. Untuk sapi dosis yang diberikan antara 5-10 ml tetapi biasanya juga diberikan 20 ml tergantung berat badan hewan dan aplikasinya secara intramuskular.
4.4.2
Endometritis Berdasarkan hasil kuesioner dari 65 peternak responden, sapi yang
menunjukkan endometritis sebanyak 10 % sapi nafsu makan turun, lendir berahi transparan, sulit terjadi kebuntingan, dan siklus berahi normal, 30 % lendir berahi
tidak terang tembus atau berjojot dan 60 % siklus berahi diperpanjang, keluar cairan mukopurulen dan tidak terjadi kebuntingan. Penyebab kejadian endometritis 50 % distokia, 40 % retensio sekundinae, 10 % belum tahu (Tabel 7). Menurut Toelihere (1981) kejadia endometritis pada umumnya terjadi sesudah partus abnormal seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia dan perlukaan yang disebabkan alat-alat yang dipergunakan pada saat pertolongan kelahiran yang abnormal. Kejadian retensio sekundinae akan mempengaruhi tinggi rendahnya infeksi pada uterus (endome tritis) (Subronto dan Tjahajati 2001). Pengaruh kejadian endometritis pada sapi, menurut keterangan responden sebanyak 15 % produksi susu dan sapi sakit, 30 % sapi kurang nafsu makan dan produksi susu turun dan 50 % sapi kurang nafsu makan, produksi susu turun dan sapi sakit. Menurut Subronto dan Tjahajati (2001) pengaruh yang ditimbulkan akibat terjadinya endometritis biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, suhu sub normal atau diatas normal (40-410 C), produksi susu turun, atoni rumen, diare, dehidrasi, anoreksia, urinasi, pernapasan cepat dan denyut nadi lemah. Penanganan yang dilakukan oleh petugas berdasarkan keterangan responden adalah dengan pemberian preparat antibiotik (85 %) dan 15 % dengan pemberian preparat antibiotik dan hormon (Tabel 7). Pemberian antibiotik bertujuan untuk membunuh bakteri yang menginfeksi uterus, sedangkan hormon seperti prostaglandin atau oxytocin dapat menstimulasi kontraksi uterus dengan tujuan untuk mengeluarkan eksudat.
Tabel 7. Pengetahuan Responden Terhadap Kejadian Endometritis Pengetahuan Responden
Jumlah Responden ( %)
Tanda-tanda Endometritis Nafsu makan turun, lendir berahi transparan, sulit terjadi kebuntingan dan siklus berahi normal Lendir berahi tidak terang tembus atau berjojot Siklus berahi diperpanjang, keluar cairan mucopurulen dan tidak terjadi kebuntingan. Penyebab Endometritis Abortus Distokia Retensio Sekundinae Tidak tahu Pengaruh Endometritis terhadap sapi Produki susu turun dan sapi sakit Kurang nafsu makan Kurang nafsu makan dan produksi susu turun Kurang nafu maka dan sapi sakit Kurang nafsu makan, produksi susu turun dan sapi sakit Pencegahan dan Pengobatan Endometritis Pemberian antibiotik Pemberian hormon Antibiotik dan hormon Tidak diberikan antibiotik
10 30 60
0 50 40 10 15 0 30 5 50 85 0 15 0
Sumber : Hasil Kuisioner 65 Peternak Responden KPSP Sidodadi Pertolongan yang dilakukan petugas untuk menangani kasus endometritis adalah dengan pemberian preparat antibiotik berspektrum luas yaitu Vetoxy-SB® (Oxytetracyclin), Vitamin B Compleks 20 ml IM dan dikombinasikan dengan preparat estrogen dan PGF 2 alpha. 4.5 Pengaruh Kejadian Retensio Sekundinae, Endometritis dan Retensio Diikuti Endome tritis Terhadap Produksi Susu Penurunan produksi susu pada RS sebesar 3.6 liter atau 25 % dari produksi susu normal (14.267 Liter), E sebesar 5.433 liter atau 35 % dari produksi susu normal (15.3 liter) dan RE sebesar 5.867 liter atau 36 % dari produksi susu normal (16.167 liter), dengan rata-rata penurunan produksi susu 4.967 liter atau 32 % dari produksi susu normal (15.244 liter). Penurunan produksi susu secara
statistik jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RS berbeda nyata pada penurunan produksi susu pada E dan RE, sedangkan penurunan produksi susu pada E tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RE dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Penurunan produksi susu pada kejadian retensio sekundinae, endometritis dan retensio diikuti endometritis. No
Penyakit
Produksi normal
Penurunan produksi susu
(liter)
(liter)
1
Retensio Sekundinae
14,267
3,600 ± 2.457 B
2
Endometritis
15,3
5,433 ± 4.423 A
3
Retensio Diikuti Endometritis
16,167
5,867 ± 2.923 A
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom penurunan produksi susu menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Menurut keterangan responden, sapi yang terkena penyakit E, RS dan RE akan menunjukkan salah satu gejala yang sama yaitu penurunan produksi susu dan sapi sakit. Faktor internal yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu sapi perah adalah sapi yang terkena RS dan E akan mempengaruhi tingkat fertilisasi yang rendah sehingga masa kosong panjang diikuti calving interval (jarak antara kelahiran panjang) panjang, selang beranak panjang dan masa laktasi menjadi panjang. Menurut Alim (1962) panjang masa laktasi pengaruhnya terhadap produksi susu pada bangsa sapi Bos Indicus. Masa kosong pada prinsipnya merupakan salah satu ukuran yang dipergunakan untuk melihat pengaruh merugikan kebuntingan terhadap produksi susu laktasi berjalan. Beberapa ukuran yang dipakai guna mengetahui hubungan antara kebuntingan dengan produksi susu laktasi lengkap (305 hari), menurut Smith dan Legates (1962) serta Warwick dan Legates (1979) adalah masa kosong, lama hari bunting. Lama masa kosong pada sapi perah akan mempengaruhi produksi susu, lama masa kosong pada sapi perah merupakan salah satu ukuran keefesienan reproduksi Louca dan Legates (1968).
Selain itu pada saat berjalanya penyakit RS dan E, suhu tubuh sapi meningkat dan stress dimana tubuh akan mengeluarkan epinephrin untuk vasokontriksi pembulu darah sehingga kelenjar mammae tidak mendapatkan oxytosin dan vasopresin yang cukup untuk merangsang proses penurunan produksi air susu. Pada tingkat fertilisasi yang rendah kerja hormon reproduksi tidak berjalan dengan normal, hal ini ditandai dengan sapi tidak menunjukan gejala estrus atau anestrus. Kejadian ini disebabkan karena pada saat terjadinya endometritis dimana orga n uterus mengalami peradangan sehingga produksi prostaglandin terganggu yang berfungsi meregresikan corpus luteum dengan transportasi perembesan dari vena utero ovarika ke arteri ovarika, pada saat prostaglandin tidak mampu meregresikan corpus luteum maka akan terjadi kasus infertilisasi (Sistik ovari, Corpus luteum persisten). Selain itu juga disebabkan bakteri yang terdapat pada uterus akan mengeluarkan endotoksin yang akan menstimulir kenaikan kortisol, dimana kortisol tersebut akan mempengaruhi penurunan kerja hormon Luteinizing Hormon (LH) surge sehingga corpus luteum tidak regresi yang menyebabkan infertilisasi. Kejadian RS menurut pengetahuan responden disebabkan oleh kejadian distokia 55 %, 20 % kekurangan nutrisi, 10 % hipokalsemia dan 5 % sapi umur > 5 tahun. Dimana kejadian distokia salah satu penyebab lemahnya kontraksi uterus disebabkan karena stimulasi hormon tidak mencukupi atau kurang untuk berkontraksi. Hormon yang bekerja dalam kontraksi uterus adalah estrogen, prostaglandin, oxytocin, relaxin. Kelemahan pada kontraksi uterus dipengaruhi oleh faktor nutrisi, diantaranya Se, Vitamin A, Vitamin E, Calcium. Protein dan energi merupakan nutrisi yang berperan dalam kelahiran. Menurut Purwantara (2002) bahwa energi berhubungan dengan produksi progesteron dan diduga energi rendah menghalangi respons tubuh hewan terhadap rangsangan LH sehingga progesteron rendah karena CL tidak dibentuk secara maksimal. Fungsi progesteron
bersama
dengan
estrogen
menyebabkan
pertumbuhan
dan
perkembangan sistem alveol kelenjar ambing. Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing selama bunting sampai awal laktasi (Sheffield dan Anderson 1985). Kekurangan hormon progesteron, oxytocin dan estrogen saat kebuntingan dapat menurunkan
produksi susu. Menurut Hafes (1980) sapi perah dengan produksi susu tinggi, siklus estrus yang pertama cenderung pendek, hal tersebut disebabkan adanya defisiensi progesteron sebagai akibat CL yang tidak berfungsi normal. Perbandingan penurunan produksi susu pada kejadian RS berbeda nyata dengan E dan RE, dapat dilihat pada Gambar 1.
100 Penurunan produksi susu
10
Normal Sakit
1
RS
END
RE
Penyakit
Gambar 1 Pengaruh kejadian retensio sekundinae, endometritis dan retensio diikuti endometritis terhadap produksi susu Tahun 2005-2006.
Faktor eksternal yang mendukung terjadinya penurunan produksi susu pada kejadian RS yaitu peternak mengetahui gejala klinis kejadian RS sehingga peternak segera melaporkan kepada petugas Keswan sehingga sapi cepat pulih kembali, kejadian tidak berjalan kronis, sapi tidak menunjukkan penurunan nafsu makan dan berat badan yang signifikan, penanganan dan pengobatan petugas Keswan yang baik dan tepat. Sedangkan faktor eksternal yang mendukung terjadinya penurunan produksi susu pada kejadian E dan RE adalah peternak tidak mengetahui secara pasti gejala klinis kejadian endometritis ringan sampai endometritis yang lebih berat sehingga penanganan dan pengobatan sering terlambat dan sulit diobati, kejadian E dan RE terjadi secara kronis, sapi menunjukkan penurunan nafsu makan dan bobot badan yang signifikan, peternak tidak mengetahui gejala klinis kejadian RS akan berlanjut ke peradangan uterus (endometritis), kejadian RE kronis dapat menyebabkan peradangan pada ambing (mastitis), penanganan dan pengobatan petugas Keswan yang kurang tepat. Beberapa faktor lingkungan baik internal seperti genetik, masa laktasi, umur beranak, frekuensi pemerahan dan masa kosong, ataupun eksternal seperti
kondisi perkandangan, tahun beranak dan musim beran dapat memberikan kontribusi terhadap variasi produksi susu dalam satu laktasi (Anggraini 1995) ataupun Menurut Sodono (1985) variasi produksi susu seekor sapi perah 70 % dipengaruhi oleh lingkungan (pakan, tata laksana, penyakit, iklim dan lain- lain) dan 30 % oleh faktor genetik. Selain itu Sudono (1985) menerangkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besarnya sapi, masa berahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, pakan dan tata laksana. Faktor lain yang erat kaitanya dengan laju peningkatan produksi yaitu keefisienan reproduksi seperti umur beranak pertama mempengaruhi lama laktasi, selain itu keefisienan reproduksi mempengaruhi nilai ekonomis suatu usaha peternakan sapi perah (Gushairiyanto 1994).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari studi kasus yang dilakukan sejak Bulan Juni-Juli 2006 di Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Sidodadi Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur. Dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa kejadian RS, E dan RE mempengaruhi penurunan produksi susu yang berbeda. 2. Penurunan produksi susu pada RS sebesar 3.6 liter atau 25 % dari produksi susu normal (14.267 Liter), E sebesar 5.433 liter atau 35 % dari produksi susu normal (15.3 liter) dan RE sebesar 5.867 liter atau 36 % dari produksi susu normal (16.167 liter), dengan rata-rata penurunan produksi susu 4.967 liter atau 32 % dari produksi susu normal (15.244 liter). Penurunan produksi susu secara statistik jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RS berbeda nyata pada penurunan produksi susu pada E dan RE, sedangkan penurunan produksi susu pada E tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan penurunan produksi susu pada RE. 3. faktor- faktor penyebab terjadinya RS di KPSP Sidodadi disebabkan oleh 55 % distokia, 20 % kekurangan nutrisi, 10 % hipocalcemia, dan 5 % sapi umur > 5 tahun, sedangkan penyebab kejadian E disebabkan oleh 55 % Distokia dan 40 % RS. 5.2 Saran Untuk meningkatan peran KPSP Sidodadi dalam kuantitas produksi susu, maka perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penyuluhan kepada peternak dan inseminator tentang cara mendeteksi gejala klinis penyakit retensio sekundinae dan endometritis. 2. Meningkatkan kualitas dan mutu pakan, baik sapi saat bunting, kering kandang dan laktasi sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. 3. Perbaikan dalam penanganan post partus dan IB secara lege artis
BAB VI DAFTAR PUSTAKA Anggraeni A. Faktor – Faktor Koreksi Hari Laktasi dan Umur Untuk Produksi Susu Sapi Perah Fries Holstein [Tesis] Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjan. Achjadi KR.1991. Penanggulangan Gangguan Reproduksi Dasar Pendekatan Dan Pelaksanaan di Lapangan. Disampaikan Pada pertemuan Evaluasi Nasional Pelaksanaan IB dan Pertimbangan Pemuliabiakan Ternak, Bandung 8-10 Maret 1991. ________. 2001. Manajemen Kesehatan Sapi Perah. Disampaikan Pada Diskusi Persusuan Nasional, Jakarta Juni 2001. ________. 2005. Bahan Kuliah Kebidanan Gangguan Reproduksi. Bagian Reproduksi dan Kebidanan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Anonimous. 2003. Transition Feeding and Retained Placentas. Anonimous (2003) http://www.gov.mb.ca/agricultur/livestock/dairy/cda25s23.htm. (11 September 2003). Arthur GH. 1975. Veterinery Reproduction and Obstetric. Bailliere Tindall. London. Bath DL, PN Dickinson, HA Tucker and RD Appleman. 1985. Dairy Cattle : Principles, practices, problems, profits 3 rd edition. Lea & Febiger. Philadelphia. Bonett BN., and SW Martin. 1995. Path of Peripartum and Postpartus Events, Rectal Palpation, Findings, Endometri Biopsy Results and Reproductive, Perpormance in Holstein Friesian dairy cows. Bretzlaff K.1987. Rationale for treatment of Endometritis in The Dairy Cow. Vet Clin. North Am. Food. Anim. Pract 3: 593-0607. Djojosoedarmo SS. Portodiharjo MR. Toelihere. 1976. Kegagalan Reproduksi dan Cara Penanggulangan Pada Sapi. Departemen Fisiopatologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dohmen MJW., JACM. Lohuis, G Huszenicza, P Nagy; M Bacs.1995. The Relationships Between Bacteriological and Clinical Finding in Cow with Subacuta / Chronica Endometritis. Theriogenology 43 : 13741388.
Erb HN. 1981. Interrelatioships between Production and Reproductive Disease in Holstein Cows Conditional Relationship betwen production Disease. Journal Science; 64 : 3337-3349. Erb HN. 1985. Reproductive Disorders. Journal of Dairy Science. No.68: 33373349. Gushairiyanto. 1994. Parameter Genetik Produksi Susu dan Produksi Evaluasi Nilai Pemuliaan Pejantan serta Induk Sapi Perah Fries Holland di Beberapa Peternakan [Disertasi] Bogor : Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Ed. Lea and Febeger, Philadelphia. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga Surabaya. University Press. Louca A and JE Legates. 1968. Production Losses in Dairy Cattle Due To Days Open. J Dairy Sci 51 : 573 – 583. Manan D. 2001. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Departeman Pendidikan Nasional, Banda Aceh. Manspeaker Je. 1992. Retained Plasentas. The National Dairy Data Base, West Virginia. Mayes PA,. DK Granner, VW Rodwel dan DW Martin Jr. 1987. Biokimia Harper ( Harper’s Review of Biochemistry ). Penerbit Buku Kedokteran E.G.C, Jakarta. Mc Donald LE. 1980. Veterinary Endokrinologi ang Reproduction 3rd Ed, Leo and Febiger. Philadelphia. Partodihardjo S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan Kedua. Mutiara. Jakarta. Purwantara B. 2002. Bahan Kuliah Reproduksi Sapi Betina II. Departemen Reproduksi dan Kebidanan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Ed 2. Denpasar. Sheffield LG and RR Anderson. 1985. Relationship Between Milk Production and Mammary Gland Indices of Guinea Pigs. J Dairy Sci. 68 : 638 – 645. Subronto dan I Tjahajati. 2000. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Subronto dan I Tjahajati . 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudono A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Perternakan. Institut Pertanian Bogor. Sukada IM. 1996. Kejadian Mastitis Subklinis oleh Streptococcus agalactiae di Daerah Semplak Bogor dan Pengaruh Terhadap Kualitas Susu. Tesis Program PascaSarjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor. Toelihere M. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. _________. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak dan Kerbau. Universitas Indonesia Press. Jakarta. _________ . 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Vandeplasche M. 1982. Reproduction Eficiency in Cattle; Aguideline for project in Developing Countries. Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation, Rome. Warwick EJ and JE Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm Animals. Mc Graw-Hill Publishing Co. New Delhi.
Lampiran 1.
Pengetahuan Peternak Terhadap Retensio sekundinae dan Endometritis di KPS Ponco Kusumo, Malang, Jawa Timur.
Pengetahuan Peternak Terhadap Retensio sekundinae dan Endometritis di KPS Ponco Kusumo Nama
:
Alamat rumah
:
1. Kejadian Endometritis 1.1 Apakah sapi Bapak/ ibu pernah mengalami endometritis a. Ya b. Tidak 1.2 Tanda – tanda sapi terkena endometritis a. Nafsu makan turun, lendir berahi transparan, sulit terjadi kebuntingan sedangkan siklus berahi normal. b. Lendir berahi tidak terang tembus melainkan sedikit berjonjot putih c. Siklus berahi diperpanjang, keluar cairan mucupururen, purulen, dan sulit terjadi kebuntingan 1.3 Apakah penyebab Endometritis a. Kematian fetus ( Abortus )
b. Retensio sekundinae
c. Kesulitan melahirkan ( Distokia)
d. Tidak tau
1.4 Pengaruh endometritis terhadap sapi Bapak/Ibu a. Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit b. Kurang nafsu makan c. Kurang nafsu makan dan produksi susu turun d. Kurang nafsu makan dan sapi terlihat sakit e. Kurang nafsu makan, Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit
1.5 Pencegahan atau pengobatan yang dilakukan oleh petugas Keswan a. Pemberian antibiotik b. Pemberian hormon c. Pemberian antibiotik dan hormon d. Tidak diberikan antibiotik dan hormon 2. Kejadian Retensio sekundinae 2.1 Apakah sapi Bapak/ ibu pernah mengalami retensio sekundinae a. Ya
b. Tidak
2.2 Kapan dinyatakan mengalami retensio sekundinae a. 3-8 jam post partus
b. 8-12 jam post partus
c. > 12 jam post partus
d. Tidak tau
2.3 Biasanya pada sapi yang mengalami pola melahirkan a. Pertama sampai dua kali
b. 3-4 kali.
c. > 4 kali
d. Bunting > 9 bulan
e. Bunt ing < 9 bulan
2.4 Kira-kira apa penyebab retensio sekundinae a. Kekurangan nutrisi makanan
b. Hypokalsemia
c. Abortus, kesulitan melahirkan (Distokia)
d. Sapi umur > 5 tahun
e. Tidak tahu
f. Semua benar
2.5 Pengaruh Retensio sekundinae terhadap sapi Bapak/Ibu a. Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit b. Kurang nafsu makan c. Kurang nafsu makan dan produksi susu turun d. Kurang nafsu makan dan sapi terlihat sakit e. Kurang nafsu makan, Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit 2.6 Pertolongan yang diberikan petugas a. Pengeluaran plasenta pada 8-12 jam post partus b. Pengeluaran plasenta pada 12-24 jam post partus c. Pengeluaran plasenta pada 24-48 jam post partus d. Pengeluaran plasenta pada > 48 jam post partus 2.7 Pencegahan atau pengobatan yang dilakukan oleh petugas Keswan a. Pemberian antibiotik
b. Pemberian hormon
c. Pemberian antibiotik dan hormon
d. manual removal
2.8 Apakah setelah terjadinya retensio sekundinae, sapi bapak/Ibu mengalami endometritis a. Ya
b. Tidak
3. Latar belakang responden 3.1 Pendidikan formal : a. tidak ada
b. SD c. SMP
d. SMA
e. PT
3.2 Pendidikan Non Formal : a. Tidak Pernah b. Penyuluhan dan Pelatihan perternakan 3.3 Pengalaman berternak
c. Lain- lain
:
a. 0-5 tahun
b. 5-10 tahun
c. > 10 tahun
3.4 Mata Pencaharian Pokok a. Berternak
b. Bertani
3.5 Tujuan Memelihara ternak
c. Berdagang.
d. Pegawai Negeri
:
a. Menjual susunya b. Menjual susu, pedet, dara atau induk c. Menjual susu, pedet, dara atau induk dan mengolahan feses menjadi pupuk d. Sekedar berternak 3.6 Kepemilikan lahan perternakan : a. Milik sendiri
b. Sewa
4. Keadaan umum sapi perah 4.1 Berapakah umur sapi bapak / ibu a. < 2 tahun
b. 2-3 tahun
d. 4-5 tahun
e. > 5 tahun
c. 3-4 tahun
4.2 Pada laktasi keberapakah produksi susu meningkat a. Laktasi 1-2
b. Laktasi 2-3
d. Laktasi 4-5
e. > Laktasi 5
c. Laktasi 3-4
4.3 Berapa kali bapak / ibu membersihkan kandang dalam 1 hari. a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. Tidak pernah 4.4 Berapa kali bapak / ibu memberik minum sapi a. 1 kali / hari d. Tidak pernah
b. 2 kali / hari e. ......kali / .........
c. 3 kali / hari
4.5 Bagaimanakah pelayanan petugas keswan KPS a. Sangat baik
b. Baik
c. Cukup baik
d. kurang
4.5 Apakah bapak / ibu mengetahui tanda-tanda birahi ( sapi mau kawin ) dan berapa kali sekali mendeteksinya. a.
Tau
Sebutkan tanda-tandanya dan berapa kali mendeteksi ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ b. Tidak tau 4.6 Apakah setelah kejadian Endometritis maupun Retensio sekundinae, sapi Bapak / ibu mengalami kebuntingan lagi a. Ya
b. Tidak
Lampiran 2. Penurunan Produksi Susu Akibat Kejadian RE
RE Normal
Sakit 12
12
0
0.00
18
8
10
55.56
10
10
0
0.00
13
10
3
23.08
16
16
0
0.00
20
11
9
45.00
18
12
6
33.33
20
4
16
80.00
18
15
3
16.67
18
15
3
16.67
20
4
16
80.00
15
10
5
33.33
15
15
0
0.00
18
15
3
16.67
18
6
12
66.67
14
5
9
64.29
17
10
7
41.18
20
10
10
50.00
18
15
3
16.67
10
7
3
30.00
10
6
4
40.00
12
12
0
0.00
10
8
2
20.00
13
10
3
23.08
16
12
4
25.00
15
10
5
33.33
10
6
4
40.00
14
8
6
42.86
12
5
7
58.33
19
9
10
52.63
459
296
163
5.433333
Lampiran 3. Penurunan Produksi Susu Akibat Kejadian RS, E dan RE. Retensio sekundinae
Endometritis
Normal 12
Sakit 12
0
0.00
Normal Sakit 22 18
4
18.18
18
8
10
55.56
15
2
13
86.67
10
10
0
0.00
17
13
4
23.53
13
10
3
23.08
15
5
10
66.67
16
16
0
0.00
20
15
5
25.00
20
11
9
45.00
18
12
6
33.33
18
12
6
33.33
20
12
8
40.00
20
4
16
80.00
12
9
3
25.00
18
15
3
16.67
10
7
3
30.00
18
15
3
16.67
12
6
6
50.00
20
4
16
80.00
20
15
5
25.00
15
10
5
33.33
15
6
9
60.00
15
15
0
0.00
12
6
6
50.00
18
15
3
16.67
12
7
5
41.67
18
6
12
66.67
15
11
4
26.67
14
5
9
64.29
19
15
4
21.05
17
10
7
41.18
18
16
2
11.11
20
10
10
50.00
13
11
2
15.38
18
15
3
16.67
16
10
6
37.50
10
7
3
30.00
13
9
4
30.77
10
6
4
40.00
15
9
6
40.00
12
12
0
0.00
20
15
5
25.00
10
8
2
20.00
18
8
10
55.56
13
10
3
23.08
14
10
4
28.57
16
12
4
25.00
19
10
9
47.37
15
10
5
33.33
17
7
10
58.82
10
6
4
40.00
16
10
6
37.50
14
8
6
42.86
21
15
6
28.57
12
5
7
58.33
18
11
7
38.89
19
9
10
52.63
13
9
4
30.77
459
296
163
485
309
176
5.4333
5.8667
Lampiran 4. Analisis of variance procedure The SAS System 18:09 Tuesday, November 25, 1997 Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
PENYAKIT
3
Values
Endo Sek_Endo Sekun
Number of observations in data set = 90 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PPS (Penurunan Produksi Susu) Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
2
86.86666667
43.43333333
4.00
0.0217
10.85095785
PENYAKIT Error
87
944.03333333
Corrected Total
89
1030.90000000
R-Square
C.V.
Root MSE
PPS Mean
0.074755
68.54753
3.37406153
4.92222222
Duncan's Multiple Range Test for variable: PPS Alpha= 0.05
df= 87
Number of Means Critical Range
MSE= 11.38429 2
3
1.732 1.822
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A
5.8667
30
Sek_Endo
B
5.4333
30
Endo
A
3.6000
30
Sekun
Level of PENYAKIT
PENYAKIT
-------------PPS------------N
Mean
SD
Endo
30
5.43333333
Sek_Endo
30
5.86666667
2.92354689
Sekun
30
3.60000000
2.45792175
Level of PENYAKIT Endo
4.42316265
------------PRPPS -----------N 30
Mean 33.4783333
SD 23.2717940
Sek_Endo
30
36.9526666
18.4186767
Sekun
30
25.9543333
14.4748225