PENGARUH KASEIN TERHADAP PENINGKATAN PEMBENTUKAN BIOFILM BAKTERI Staphylococcus aureus DARI SUSU MASTITIS. The influence of casein increase establishment of Staphylococcus aureus biofilm bacteria from mastitis milk. Ahmad Khoirul Nahrowi, Pratiwi Trisunuwati, Sri Murwani. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
[email protected] ABSTRAK Kemampuan membentuk biofilm yang dimiliki oleh bakteri penyebab mastitis, menjadikan penyakit tersebut sulit untuk diterapi. Hal ini disebabkan karena biofilm tidak dapat ditembus oleh antibiotik maupun antibodi. Kasein pada susu diduga mempunyai peranan dalam peningkatan pembentukan biofilm dengan cara degradasi oleh extracelluler protease yang dimiliki oleh bakteri S. aureus menjadi βkasein sehingga dapat meningkatkan pembentukan biofilm. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kasein terhadap pembentukan biofilm dari bakteri S. aureus. Penelitian ini merupakan eksperimental menggunakan post test control design only dengan rancangan penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap). Perlakuan dalam penelitian ini adalah penambahan kasein yang dilarutkan pada media MHB dengan kadar 15 g/L, 20 g/L, 25 g/L, 30 g/L, 35 g/L dan 0 g/L sebagai kontrol positif. Pengukuran pembentukan biofilm dilakukan dengan ELISA reader / microplate reader dengan panjang gelombang 570 nm (OD570nm). Data yang diperoleh dianalisa menggunakan one way ANOVA. Hasil penelitian menunjukan bahwa kasein meningkatkan pembentukan biofilm bakteri S. aureus pada penambahan kasein 20g/L. Kesimpulan penelitian ini menunjukan bahwa kasein berpengaruh terhadap peningkatan pembentukan biofilm S. aureus. Kata kunci : mastitis, S. aureus, biofilm, kasein.
ABSTRACT The ability to form biofilms by bacterial such as S. aureus againt masitis impact in difficulty to treat, because biofilms can not be penetrated by antibiotics and antibodies. Milk casein is likely to have a role in improving the establishment of the
biofilm . Casein is degraded by proteases extracelluler into β - casein could be increase biofilm formation . The purpose of this study was to understand the influence of casein on the formation of bacterial biofilms of S. aereus . This study was an experimental post-test control design using the research design of randomized completely design. The treatment in this study consisted of treatment of 15 g/L , 20 g/L , 25 g/L , 30 g/L , 35 g/L and 0 g/L as a positive control . Measurement of biofilm formation was performed by ELISA reader / microplate reader at a wavelength of 570 nm (OD570nm) . The data analysis used is one way ANOVA test. The results of this study casein effect on bacterial biofilm formation of S. aureus at casein added 20g/L. The concludes of this result was casein affect securely the increased of biofilm formation of S. aureus.
Keyword: mastitis, S. aureus, biofilm, casein.
PENDAHULUAN Salah satu penyakit yang mengancam industri peternakan sapi perah adalah mastitis. Mastitis merupakan penyakit infeksius yang menyerang saluran susu. Menurut Robert et al, (2003) salah satu penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus (S. aureus). Mastitis yang disebabkan oleh S. aureus pada saat ini sangat sulit dikendalikan. Mastitis subklinis juga banyak ditemukan, meskipun mastitis klinis juga sering terjadi. Infeksi mastitis subklinis menyebabkan kenaikan SCC (Somatic Cell Count) meningkat, tetapi tidak terdeteksi infeksi pada ambing dan puting susu. Infeksi oleh S. aureus sangat sulit untuk dimusnahkan dengan terapi antibiotik. Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan mastitis kronis pada sebagian sapi perah. Terapi mastitis pada saat ini belum mendapatkan hasil yang maksimal dan sesuai dengan yang diharapkan karena sebagian bakteri penyebab mastitis mampu membentuk biofilm. S. aureus membentuk biofilm sebagai upaya pertahanan diri dari bakteri tersebut. Biofilm yang dibentuk oleh S. aureus berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bagi bakteri dengan cara meningkatkan resistensi terhadap fisik
yang dapat menghancurkan sel-sel yang tidak menempel, fagositosis oleh sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh, dan penetrasi dari senyawa beracun seperti antibiotik. Bakteri di dalam biofilm lebih resisten 10-1.000 kali dibandingkan bila tidak di dalam biofilm (Monroe, 2007). Biofilm meliputi sekumpulan mikroorganisme khususnya bakteri yang melekat di suatu permukaan dan diselimuti oleh pelekat karbohidrat yang dihasilkan oleh bakteri. Komposisi biofilm terdiri dari sel-sel mikroorganisme, produk ekstraseluler, polisakarida sebagai bahan pelekat, dan air yang merupakan bahan penyusun utama biofilm dengan kandungan hingga 97%. Polisakarida (polimer dari monosakarida atau gula sederhana) yang diproduksi oleh mikroba untuk membentuk biofilm termasuk eksopolisakarida (EPS) yaitu polisakarida yang diproduksi dari dalam sel. Bahan-bahan penyusun biofilm yang lain contohnya adalah protein, lipid, dan lektin (Sutherland, 2001). Biofilm mmenjadi masalah pada sektor industri pangan seperti industri peternakan susu (Chen dkk, 2007). Bahan-bahan penyusun biofilm tersebut merupakan bahan penyusun susu. Komponen penyusun susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim. Menurut Jones
(2006), pada kasus mastitis terjadi perubahan komposisi susu yang salah satunya adalah adanya penurunan pada jumlah kasein. Susu sapi normal jumlah kasein dapat mencapai 2,8%. Susu yang terkena infeksi mastitis, kadar kaseinnya menurun menjadi 2,3%. Penurunan kadar kasein tersebut yang menjadi landasan berpikir untuk melakukan penelitian ini, apakah kasein tersebut berperan dalam pembentukan biofilm. Semua uraian yang telah dijelaskan diatas menjadi dasar penelitian ini dan untuk mengetahui peran kasein dalam meningkatkan pembentkan biofilm dilakukan penelitian ini. MATERI DAN METODE Uji Konfirmasi Bakteri Uji konfirmasi bakteri dilakukan dengan serangkaian uji yang diantaranya adalah sebagai berikut : pewarnaan gram, uji katalase, dan uji koagulase (Quinn et al., 2002). Uji katalase merupakan uji yang dilakukan untuk membedakan antara staphylococcus dengan streptococcus, dimana pada staphylococcus mempunyai enzim katalase yang bereaksi dengan Hidrogen Peroksida (H2O2) sehingga menghasilkan gelembung udara (Todar, 2008). Uji koagulase dialakukan dengan
menanam bakteri Staphylococcus aureus kedalam plasma kelinci dan hasil positif ditunjukan dengan adanya gumpalan (Cappucino and Sherman, 2005). Metode Modified Congo Red Agar (MCRA) Metode MCRA digunakan untuk mengetahui bakteri S. aureus yang dapat membentuk slime layer. Hasil positif dari pengujian ini ditandati dengan munculnya warna hitam pada koloni bakteri. Metode MCRA yang digunakan mengadopsi metode menurut Mariana et al (2009) dengan menggunakan 0,4 gram CRA 40%, 40 gram BAB, 10 gram glukosa yang dilarutkan pada 1000 mL aquades. Semua sampel kemudian ditanam dalam media MCRA tersebut dan diinkubasi selama 48-72 jam. Hasil positif ditunjukan dengan mnculnya koloni berwarna hitam pada media. Penambahan Kasein Prosedur penambahan kasein dilakukan sama dengan metode Microtitter Plate Biofilm Assay. Kasein yang ditambahkan bervariasi mulai dari 15g/L; 20g/L; 25g/L; 30g/L dan 35 g/L dan ditambahkan pada media MHB. Penambahan kasein
dilakukan pada mikrotiter plate sebanyak 100µL yang telah berisikan biakan bakteri S. aureus 1,5 x 106 CFU/ml. Metode Microtiter Plate Biofilm Assay Metode digunakan untuk mengetahui jumlah biofilm yang terbentuk dengan interpretasikan jumlah biofilm yang terbentuk dengan kepekatan warna dari masing-masing sumuran pada mikroplate. Metode yang dipakai untuk uji mikrotiter plate adalah metode menurut Chamdit dan Siripermpool, (2012) dengan beberapa modifikasi, dengan langkah sebagai berikut : 1. Setiap sampel yang digunakan ditanam kedalam TSB dengan ditambahkan 2,5% glukosa kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. 2. Setelah diinkubasi suspensi bakteri tersebut diukur dengan metode Mc Farland 0,5 sehingga didapatkan estimasi jumlah suspensi bakteri mencapai 1,5 x 108 CFU/mL. 3. Masing-masing suspensi bakteri diencerkan hingga konsentrasi 1,5 x 106 CFU/mL. 4. Suspensi diambil 10µL untuk kemudian dimasukan kedalam mikrotiter plate dan ditambahkan 100µL suspensi kasein dalam media
MHB kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. 5. Suspensi bakteri dicuci dengan PBS dengan pH 7,5 sebanyak 3x. 6. Fiksasi biofilm dengan menambahkan methanol sebanyak 200µL kedalam well (sumuran) selama 15 menit, kemudian methanol dibuang. 7. Setiap sumuran diisi dengan 2% kristal violet sebanyak 200µL selama 5 menit kemudian dicuci dengan aqudest steril. 8. Sebanyak 200µL asam asetat glasial 33% dimasukan kedalam setiap sumuran selama 15 menit. 9. Sampel diukur dengan menggunakan mikrotiter plate ELISA reader dengan OD570nm. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan desain penelitian post test only control-group design. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif hasil pembacaan ELISA reader yang berupa nilai absorbansi atau Optical Density yang diukur dengan ELISA reader (BIO-RAD Model 550). Analisa data yang digunakan adalah uji one-way ANOVA kemudian dilakukan uji lanjutan Tukey. Penelitian ini juga menggunakan uji korelasi-regresi
untuk mengetahui keeratan hubungan antara keberadaan kasein terhadap pembentukan biofilm S. aureus dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian kasein terhadap pembentukan biofilm S. aureus. Uji statistik tersebut dilakukan dengan bantuan software SPSS for Windows versi 16. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Konfirmasi Bakteri Uji konfirmasi dilakukan dengan tiga pengujian, yaitu : pewarnaan gram, uji katalase dan uji koagulase. Pewarnaan gram merupakan uji yang dilakukan secara fenotip untuk membedakan antara bakteri gram negatif dengan bakteri gram positif berdasarkan struktur dinding selnya. Hasil dari metode ini merupakan warna ungu pada bakteri gram positif dan warna merah pada bakteri gram negatif. Warna tersebut muncul dari zat pewarna yang ditambahkan pada saat proses pewarnaan. Warna ungu berasal dari kristal violet dan warna merah berasal dari safranin. Bakteri Gram positif akan mempertahankan zat pewarna kristal violet dan akan tampak berwarna ungu tua di bawah mikroskop. Bakteri gram negatif akan kehilangan zat pewarna kristal violet
setelah dicuci dengan alkohol dan pada saat pemberian zat pewarna safranin akan tampak berwarna merah. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan dalam struktur dinding selnya. Bakteri gram negatif lebih banyak mengandung lipid pada dinding selnya, sehingga saat pemeberian alkohol lipid pada dinding selnya akan meluruh dan akan kehilangan zat pewarna kristal violet (Midigan et al, 2004). Pada sampel (Gambar 1) diperoleh hasil pewarnaan gram berupa bakteri yang berbentuk bulat (coccus) bergerombol dengan warna ungu.
Gambar 1 Hasil Pewarnaan Gram S. aureus (perbesaran 1000X) Uji katalase merupakan pengujian yang digunakan untuk membedakan bakteri Staphylococcus. dengan Streptococcus. Staphylococcus mempunyai enzim katalase sedangkan Streptococcus tidak mempunyai enzim katalase (Todar, 2008). Hasil uji katalase sampel pada penelitian ini menunjukan hasil positif yang
ditunjukan dengan adanya gelembung udara pada sampel (Gambar 2). Gelembung tersebut merupakan reaksi antara enzim katalase yang dimiliki oleh staphylococcus dengan H2O2.
Ketiga uji yang digunakan untuk mengkonfirmasi sampel bakteri yang digunakan dalam penelitian ini, semua hasil menunjukan postif. Hasil tersebut dapat menjadi bukti bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bakteri S. aureus. Uji screening Pembentukan Biofilm pada media MCRA
Gambar 2 Hasil Uji Katalase Uji koagulase digunakan untuk mengidentifikasi bahwa sampel yang diuji merupakan positif S. aureus. Bakteri ini mempunyai enzim koagulase yang mampu mengkoagulasi / menggumpalkan plasma darah kelinci. Hasil uji koagulase sampel pada penelitian ini juga menunjukan hasil positif yang ditandai dengan adanya penggumpalan dari plasma darah kelinci (Gambar 5.3), maka dapat dipastikan bahwa sampel yang diuji merupakan bakteri S. aureus (Katz, 2010).
Gambar 3 Hasil Uji Koagulase (anak panah menunjukan penggumpalan)
Modified Congo Red Agar digunakan sebagai uji seleksi awal dari sampel bakteri yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil positif dari uji MCRA ditunjukan dengan adanya koloni yang berwarna hitam yang merupakan reaksi dari PIA dengan congo red agar pada MCRA. Keberadaan gen icaA dan icaD merupakan indikasi bahwa isolat tersebut mampu membentuk biofilm, sehingga MCRA dapat digunakan sebagai uji seleksi awal pembentukan biofilm (Mariana et al, 2009).
Gambar 4 Uji Modified Congo Red Agar (MCRA);
Uji CRA dilakukan di dalam media agar yang merupakan campuran dari BHIA, sukrosa dan congo red agar. Pengamatan hasil (Gambar 5.4) dapat dilakukan langsung berdasarkan pengelihatan secara langsung dimana isolat yang memproduksi slime warna koloninya berwarna hitam, sedangkan isolat yang tidak memproduksi berwarna merah muda atau merah (Arciola et al., 2002) Pada penelitian ini dilakukan uji CRA terhadap S. aureus yang diisolasi dari kasus mastitis pada sapi perah. Hasil dari penelitian ini didapatkan beberapa isolat menunjukan aktifitas pembentukan slime. Pada penelitian ini juga diamati adanya isolat yang membentuk koloni yang bersifat mukoid. Koloni mukoid biasanya dihubungkan dengan sifat bakteri membentuk kapsul protektif (Quin et al., 2002). Kapsul memungkinkan bakteri untuk terhidar dari sel-sel fagositosis dengan
menyamarkan antigen permukaan, sehingga kapsul berperan sebagai barier fisik baik terhadap opsonin maupun sel fagositosis (Khan, 2002). Efek Kasein terhadap Pembentukan Biofilm Staphylococcus aureus Penelitian ini menggunakan kasein sebagai bahan yang mempengaruhi pembentukan biofilm bakteri S. aureus. Kasein yang digunakan dilarutkan kedalam media MHB mejadi 5 jenis, yaitu 15 g/L ; 20 g/L ; 25 g/L ; 30 g/L ; 35 g/L. Artinya dalam x gram kasein akan dilarutkan kedalam satu liter media MHB. Hasil data yang diperoleh (Tabel 5.1) merupakan hasil dari pembacaan menggunakan metode microtitter plate biofilm assay yang selanjutnya akan dilakukan pengujian / analisa data dengan uji one way ANOVA yang dilanjukan dengan uji post hoc TUKEY HSD (œ = 0,05).
Tabel 1 Optical Density pembentukan biofilm S. aureus melalui metode Microtiter Plate Biofilm Assay. Perlakuan Optical Density Rata-rata + Standart Deviansi Sampel Kasein 1 2 3 4 0 g/L 0.373 0.434 0.498 0.380 0.4212 + 0.0579 a 15 g/L 0.508 0.485 0.511 0.526 0.5075 + 0.0169 ab Isolat S. 20 g/L 0.660 0.510 0.584 0.634 0.5097 + 0.0660 bc aureus SA9/I/201 25 g/L 0.728 0.718 0.658 0.670 0.6350 + 0.0346 cd 3/Madiun 30 g/L 0.726 0.691 0.702 0.764 0.7207 + 0.0323 d 35 g/L 0.737 0.803 0.758 0.725 0.7557 + 0.0343 d
Tabel diatas merupakan hasil dari penelitian yang digunakan untuk mengetahui efek dari kasein terhadap pembentukan biofilm. Berdasarkan tabel diatas diketahui adanya kenaikan dari pembentukan biofilm yang digambarkan dengan naiknya angka dari pembacaan pada microplate reader. Efek kasein terhadap pembentukan biofilm pada penelitian ini diketahui dengan menggunakan microtiter plate biofilm assay. Uji mikrotiter plate memberikan hasil kuantitatif untuk uji pembentukan biofilm. Prinsip pengujian dari metode ini adalah mengukur bakteri yang membentuk biofilm dan menempel pada permukaan mikroplate. Bakteri yang melekat bisa menjadi indikator pengukuran dengan melalui proses pewarnaan dan nilai dibaca berdasarkan optical density (OD) pada sumuran. Semakin banyak bakteri yang melekat pada sumuran, maka akan semakin tinggi OD yang didapatkan (Westgate et al., 2011). Kandungan kasein 0 g/L merpakan kontrol positif dari penelitian ini. Hasil angka dari pembacaan OD pada kandungan kasein 0 g/L dapat dijadikan angka batas minimal untuk mengetahui adanya pengaruh dari kasein terhadap pembentukan biofilm. Kandungan kasein 15 g/L menunjukan kenaikan pada angka pembacaan OD dari pembentukan bioflm bakteri S. aureus.
Perlakuan dengan kandungan kasein 20 g/L ; 25 g/L ; 30 g/L dan 35 g/L juga menunjukan kenaikan angka pembacaan OD dan menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan kandungan kasein 0 g/L. Metode pembacaan OD pada penelitian ini merupakan metode yang sering digunakan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk membentuk biofilm, selain karena sifatnya yang kuantitatif uji ini juga cukup mudah dilakukan dengan untuk jumlah isolat yang cukup banyak. Metode ini juga digunakan untuk melihat pengaruh zat tertentu terhadap pertumbuhan biofilm dengan cara memodifikasi media yang digunakan untuk menumbuhkan biofilm (Coanye dan Nelis, 2010). Peningkatan pembentukan biofilm disebabkan oleh adanya βkasein yang merupakan pecahan dari kasein. β-kasein dihasilkan dari kasein yang dipecah oleh extracelluler protease yang dihasilkan oleh S. aureus. β-kasein mempunyai peranan meningkatkan pembentukan biofilm. Dalam upaya meningkatkan pembentukan biofilm, β-kasein mempunyai peranan pada adesi dan invasi sel bakteri maupun biofilm yang telah lepas pada sel hospesnya. Sesuai dengan yang dikemukakan Almeida (2003). Teori terbaru yang ditemukan bahwa β-kasein juga mampu menstimulasi terjadinya adesi dan invasi pada sel hospes. Dengan adanya
β-kasein maka akan mempermudah terjadinya adesi maupun invasi kedalan sel hospes. Sehingga bakteri maupun biofilm tersebut mampu dengan mudah mengifeksi sel hospes. Extracelluler protease merupakan enzim pemecah protein yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus ataupun biofilm yang dibentuknya. Extracelluler protease juga memicu terjadinya peningkatan adesi dari bakteri maupun biofilm itu sendiri. Extracelluler protease dapat berperan lagi dalam penempelan biofilm yang lepas pada permukaan sel hospes. Dengan adanya extracelluler protease yang dihasilkan oleh bakteri yang membentuk biofilm, bioflm juga dapat dengan mudah masuk kedalam sel hospes. Peran extracellular protease dalam menstimulasi terjadinya adesi adalah merusak protein membrane yang ada pada sel hospes. Karena extracellular protease merpakan enzim yang berfungsi memecah atau mendegradasi proten sehingga protein membran pada sel hospes dapat rusak karena terdegradasi dan bakteri S. aureus ataupun biofilm dapat menempel (adesi) bahkan masuk (invasi) kedalam sel hospes dengan mudah. Alpha dan beta kasein termasuk komponen susu yang dapat mendukung pembentukan biofilm bakteri (Varhimo et al.,2010).
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah kadar kasein susu mempunyai pengaruh terhadap peningkatan pembentukan biofilm bakteri Staphylococcus aureus. DAFTAR PUSTAKA Almeida, R.A., Luther, DA., Nair, R., Oliver, S.P., 2003. Binding of host glycosaminoglycans and milk protein : possible in the pathogenesis of Streptococcus uberis mastitis. Vet. Microbiol. 94 Arciola, C. R., D. Campoccia, S. Gamberini, M. Cervellati, E. Donati, dan L. Montanaro. 2002. Detection Slime Production by Means of Optimised Congo Red Agar Plate Test Based on A Colourimetric Scale in Staphylococcus epidermidis Clinical Isolate Genotipe for ica locus. Biomaterial 23: 4233-4239 Cappucino, J. G. and N. Sherman. 2005. Microbiology: A Laboratory Manual. 7th ed. Pearson Education Inc. USA. 101 - 102, 117, 164, 166, 189, 204, 409 - 416, 509 - 512. Chen, J., Rossman, M. L., & Pawar, D. M. (2007). Attachment of enterohemorragic Escherichia coli to the surface of beef and a culture medium. LWT – Food Science and Technology, 40, 249–254.
Coanye, T., dan H. J. Nelis. 2010. In Vitro and In Vivo Model System to Study Microbial Biofilm Formation. J. of Mic. Met. 83: 89-105 Jones, G. M., 2006. Understanding the basics of mastitis. Virginia Cooperative Extension. Publication No. 404-233. Virginia State University, USA,pp: 1-7. Katz, D.S. 2010. Coagulase Test Protocol. American Society of Microbiology. http://www.microbiologylibrar y.org/index.php/library/laborat ory-test/3220-coagulase-testprotocol.[9 oktober 2013] Khan M.Z., Khan A. 2006. Basic Fact of Mastitis in Dairy Animals : a Review. Department of Veterinary Pathology, University of Agriculture, Faisalabad, Pakistan Madigan, MT; Martinko J; Parker J. 2004. Brock Biology of Microorganisms (10th Edition). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-13-066271-2. Mariana N. S.,. Salman S. A., Neela V. dan Zamberi S. 2009. Evaluation of modified Congo red agar for detection of biofilm produced by clinical isolates of methicillin– resistance Staphylococcus aureus. African Journal of Microbiology Research Vol. 3(6) pp. 330-338 Monroe D.,2007. Looking for Chinks in the Armor of Bacterial Biofilms. PLoS Biol 5(11): 307
Quinn, P. J., B. K. Markey, M. E. Carter, W. J. Donnelly and F. C. Leonard. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. USA. 43 - 46, 465 - 475. Robert J.V., 2003. Managing New Intramammary Infections in The Fresh Cow. West Michigan Veterinary Services Zeeland, Michigan. National Mastitis Council Regional Meeting Proceedings. 30-35 Siripermpool. P, and Chamdit. S 2012. Anti mikrobial Effect of Clove and Lemongrass Oils against Planktonic Cells and Biofilms of Staphylococcus aureus. Mahidol University Journal of Pharmaceutical Sciences 2012: 39 (2), 28-36. Sutherland IW. 2001. Biofilm exopolysaccharides: a strong and sticky framework. Cambridge University Press Microb. 147:3-9 Todar, Kenneth. 2008. The Good, the bad and the Deadly. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. http://textbookbacteriology.net/ staph.html Varhimo, E., Varmanen, P., Fallarero, A., Skogman, M., Pyorala, S., Iivananainen, A., Sukura, A., Vourela, P., Savijoki, K., 2010. Alphaand βcasein components of host milk induce biofilm formation inthe mastitis bacterium Streptococcus uberis.
Veterinary Microbiology 149.381-389 Westgate, S. J., S. L. Percival, P. D. Clegg, D. C. Knottenbelt dan C. A. Cochrane. 2011. Evidence and significance of biofilm in chronic wounds in horses. dalam: Biofilm and Veterinary Medicine, Springer Series on Biofilm 6. p: 143-173