PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP PERAIRAN DAN PERIKANAN INDONESIA
Disusun oleh : Vivi Octavia Chavez 230210100015 Kelompok 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indian Ocean Dipole merupakan salah satu aspek/fenomena alam yang sangat mempengaruhi keadaan perikanan (Biota laut yang termasuk dalam perikanan). Hal ini yang membuat IOD sangat penting dipelajari. Dalam penulisan makalah ini dibahas mengenai aspek-aspek yang menyangkut dengan kebutuhan pengetahuan mata kuliah terkait. Fenomena IOD memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan laut dan atmosfer. Dampak IOD dapat positif maupun negatif. Dampak positif terjadi pada saat IOD fase positif yang menyebabkan perairan pantai barat Sumatera dan selatan Jawa terjadi proses upwelling. Sedangkan dampak negatif terjadi pada saat IOD fase positif yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan sebaliknya pada saat IOD fase negatif akan meningkatkan intensitas curah hujan dibeberapa wilayah Indonesia terutama kawasan bagian barat. Dengan mempelajari IOD kita dapat memperkirakan keadaan biota laut pada musim IOD, sehingga dalam tindak lanjut kita bisa mempertimbangkannya.
1.2
Rumusan Masalah Dalam penulisan makalah ini kami membatasi permasalahan hanya pada aspekaspek Indian Ocean Dipole, masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini antara lain kami rumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1.3
1.
Apa yang dimaksud dengan Indian Ocean Dipole ?
2.
Apa yang menyebabkan terjadinya musim I O D ?
3.
Apa pengaruh I O D terhadap perairan dan perikanan Indonesia ?
Tujuan 1. Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya IOD 2. Mahasiswa dapat mengetahui dampak IOD terhadap preairan dan perikanan Indonesia 3. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Meteorologi Laut
BAB II ISI
Indian Ocean Dipole (IOD) adalah laut digabungkan dan fenomena atmosfer di Samudra Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan negara-negara lain yang mengelilingi cekungan Samudra Hindia (Saji et al 1999.). Besar variabilitas SST di Samudera Hindia telah dikaitkan dengan Indian Ocean Dipole (IOD), juga disebut sebagai Samudera Hindia zonal Mode (IOZM; Saji et al, 1999;. Webster et al, 1999.). Pola ini mewujud melalui gradien zonal SST tropis, yang pada satu tahap ekstrem di musim gugur boreal menunjukkan cooling off Sumatra dan pemanasan lepas pantai Somalia di sebelah barat, dikombinasikan dengan anomali timuran di sepanjang khatulistiwa. Besarnya curah hujan maksimum sekunder dari Oktober sampai Desember di Afrika Timur sangat berkorelasi dengan kejadian IOD positif (Xie et al, 2002.). Menurut Saji et al. (1999a) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanaya anomali negatif suhu permukaan laut dibagaian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10 o S – 10 o N) dengan Samudera Hindia tropis bagian Timur (90o E -110
o
E dan 10
o
S – 10
o
ekuator). Hasil penelitian ini
memberikan nilai koefesien korelasi sebesar 0.7. Berdasarkan data reanalisis diketahui bahwa variabilitas antar musimam dan tahunan sirkulasi angin permukaan, suhu permukaan laut dan arus permukaan laut di wilayah perairan Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan fenomena Indian Ocean Dipole. Perubahan pola angin, arus dan distribusi suhu permukaan laut terutama terjadi di belahan bumi bagian utara dan sebaliknya dibelahan bumi bagian selatan mempunyai pola yang lebih teratur dan relatif kecil perubahannya. . Hal ini dimungkinkan karena di bagian utara Samudera Hindia dibatasi oleh Benua Asia sehingga pengaruh daratan sangat kuat, sedangkan di bagian selatan merupakan laut terbuka. Selain itu, ternyata IOD secara langsung maupun tidak langsung terkait erat dengan adanya Sirkulasi Walker (Walker Circulation) yang terjadi di sepanjang belt ekuator akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia
dekat Sumatera Bagian Barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika sehingga aliran udara berlangsung secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi (wilayah dengan kumpulan massa udara dingin) menuju wilayah dengan tekanan udara rendah (wilayah dengan kumpulan massa udara hangat). Agak rumit memang untuk dijelaskan dengan rinci mekanisme pembentukannya. Namun, pada bahasan kali ini difokuskan kepada bagaimana IOD ini melintasi wilayah Indonesia yang dicirikan adanya variasi musiman dari parameter Sea Surface Temperature (SST), Sea Level Pressure (SLP) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR) di sepanjang kawasan Pasifik Barat mulai dari bagian timur pantai benua Afrika hingga pantai barat Pulau Sumatera.
A. Pengertian Indian Ocean Dipole Indian Ocean dipole adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara atmospher dan ocean. fenomena ini dapat diidentifikasi dengan menganalisis anomali suhu muka air laut (SST) di samudera hindia pada bagian barat dan timur. Seacar umum, fenomena ini dicirikan dengan adanya anomali pendinginan SST di bagian timur hingga Tenggara samudera hindia dan anomali pemanasan pada SST di samudera hindia bagian barat. warna merah pada gambar menunjukan terjadinya anomalai pemanasan SST sedangkan warna biru menunjukan terjadinya pendinginan. Selain dari fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropis, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia-di barat daya Indonesia. Fenomena anomali cuaca di Samudra Hindia ini dikenal dengan istilah Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Fenomena IODM ini pertama kali ditemukan oleh Toshio Yamagata, guru besar dari Tokyo University, dan timnya yang melakukan observasi iklim di Samudra Hindia pada program JAMSTEC tahun 1999 (Sumber: http://www.jamstec.go.jp). Menurut Saji et al. (1999a) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanaya anomali negatif suhu permukaan laut dibagaian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10 o S – 10 o N) dengan Samudera Hindia
tropis bagian Timur (90o E -110
o
E dan 10
o
S – 10
o
ekuator). Hasil penelitian ini
memberikan nilai koefesien korelasi sebesar 0.7. Jika anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et al. 2001, diacu dalam Hermawan 2007). DM terjadi secara independen dengan ENSO (Saji et al. 1999). Variasi dampak DM sangat beragam dan merupakan fungsi waktu dan tempat oleh karena itu untuk menghitung kekuatan dari DM dapat dihitung dengan indeks yang disebut Indeks Dipole Mode (DMI). DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia Barat dan Samudera Hindia Timur. IOD mempunyai dua fase yaitu fase positif dan fase negatif.
a) Indian Ocean Dipole Positif
Memasuki tahun 1998, pengaruh fase positif Indian Ocean Dipole di Samudera Hindia bagian timur mulai melemah dan mencapai puncaknya pada akhir Musim Barat pada bulan Februari 1998.
Selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Memasuki Musim Timur, gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia menjalar sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Jawa dan mendorong sebagian massa air hangat dari perairan internal Selat Sunda. Kondisi ini menyebabkan penurunan hasil tangkapan tongkol dari 65 ton/bulan pada bulan April menjadi 50 ton/bulan selama pengaruh gelombang Kelvin di Selat Sunda pada pertengan bulan Mei s/d Juni 1998. Kondisi Oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 (Syamsudin 2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan pembentukan massa air hangat di perairan internal Selat Sunda. IOD (+) terjadi saat wilayah pantai barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di wilayah Barat Sumatera terjadi kekeringgan setelah massa uap airnya gagal diturunkan sebagai hujan.
b)
Indian Ocean Dipole Negatif
Fase negatif Indian Ocean Indian Dipole berlangsung selama Oktober 2000 s/d Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam.
Selama berlangsungnya fase ini, kondisi hidrologi selat Sunda didominasi massa air yang relatif dingin. pada saat IOD (-), wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia Bagian Barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena IOD dengan perilaku curah hujan di wilayah Indonesia Bagian Barat.
B. Gambaran Umum Indian Osean Dipole
sumber : Indian Ocean Dipole
Selain dari fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropis, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia-di barat daya Indonesia. Fenomena anomali cuaca di Samudra Hindia ini dikenal dengan istilah Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Fenomena IODM ini pertama kali ditemukan oleh Toshio Yamagata, guru besar dari Tokyo University, dan timnya yang melakukan observasi iklim di Samudra Hindia pada program JAMSTEC tahun 1999 (Sumber: http://www.jamstec.go.jp). Menurut Saji et al. (1999a) IODM adalah sebuah fenomena fisis samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan adanaya anomali negatif suhu permukaan laut dibagaian barat Samudera Hindia. Sinyal fenomena IODM sering diasosiasikan dengan perubahan anomali suhu muka laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian Barat (50o E -70 o E dan 10 o S – 10 o N) dengan Samudera Hindia
tropis bagian Timur (90o E -110
o
E dan 10
o
S – 10
o
ekuator). Hasil penelitian ini
memberikan nilai koefesien korelasi sebesar 0.7. Jika anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et al. 2001, diacu dalam Hermawan 2007). DM terjadi secara independen dengan ENSO (Saji et al. 1999). Variasi dampak DM sangat beragam dan merupakan fungsi waktu dan tempat oleh karena itu untuk menghitung kekuatan dari DM dapat dihitung dengan indeks yang disebut Indeks Dipole Mode (DMI). DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia Barat dan Samudera Hindia Timur. C. Cara mendeteksi Indian Ocean Dipole Seperti halnya El Nino yang di-indikasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di Darwin/Asutralia), maka fenomena Indian Ocean Dipole direpresentasikan oleh perbedaan suhu permukaan air laut di bagian barat Samudera Hindia (daerah 50 o-70o BT dan 10o LS – 10 o LU) dan suhu permukaan air laut di bagian timur Samudera Hindia (daerah 90o -110o BT dan 10o LS – 0o LU). Indeks perbedaan suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan. Evolusi Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei/Juni, mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November/Desember. Akibatnya, Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan,, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya. Terjadinya Indian Ocean Dipole sulit diprediksi. Akan tetapi, upaya para ilmuwan untuk mempertepat prakiraan kapan akan munculnya gejala penyimpangan
cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh dua orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera Hindia untuk periode 1958 – 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika bagian timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997 dengan anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia. D. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh Indian Ocean Dipole Dampak negatif dari Indian Ocean Dipole tidak hanya di Indonesia, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera Hindia. Di Indonesia, IOD menyebabkan kekeringan. Dan terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan selatan jawa karena dipicu oleh meningkatnya intensitas upwelling (pengangkatan massa air di kedalaman yang kaya zat hara ke arah permukaan). Ledakkan plankton ini mengakibatkan kekurangan oksigen di daerah perairan tersebut, karena ledakan plankton tersebut membutuhkan oksigen yang banyak untuk proses respirasinya. Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan organisme lain (seperti terumbu karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen yang ada dalam jumlah terbatas. Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera. Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; ternyata tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika terus memantau gejala-gejala penyimpangan iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat diminimalisir. Upaya ini sebaiknya diiringi dengan kebijakkan pemerintah terkait dengan mitigasi bencana untuk mengatasi dampang penyimpangan iklim yang kecenderungannya semakin meningkat. E. Pengaruh Indian Ocean Dipole Terhadap Perikanan Indonesia
Terjadinya Indian Ocean Dipole tidak saja memberi pengaruh terhadap musim dan pergerakan angin di wilayah Indonesia, namun juga sangat berpengaruh terhadap
keadaan perikanan di Indonesia. Ini terjadi dengan beberapa alasan fisik air yang terjadi di wilayah Indian Ocean Dipole, yaitu “ 1)
Pada masa Indian Ocean Dipole Negatif, pergerakan ikan di daerah di Fase negatif berlangsung selama Oktober 2000 s/d Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam. Dengan demikian, pada masa ini merupakan kondisi buruk untuk perikanan di daerah Selat Sunda (perairan antara Jawa dan Sumatra) karena dengan curah hujan tinggi, suhu perairan juga mengalami penurunan drastis yang memungkinkan ikan melakukan migrasi ketempat yang lebih hangat.
2)
Pada masa Indian Ocean Dipole positif terjadi 3 fase perubahan suhu di daerah selat sunda (antara Sumatra dan jawa), secara berurutan sebagai berikut ;
Fase pertama yang terjadi di daerah selatan P. Jawa dan Sumatra yang megalami fase pendinginan suhu air laut permukanaan, (ditandai dengan dominasi anomali negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur), mulai terbentuk pada bulan Juni dan semakin menguat pengaruhnya akibat propagasi gelombang Rossby yang bergerak ke barat dari sumbernya di perairan sekitar Laut Timor, sepanjang 10-120 LS, pada bulan Juli dan mencapai puncaknya Oktober.
Dengan demikian Samudera Hindia bagian timur yang mencakup perairan Selat Sunda didominasi massa air relatif dingin yang tidak kondusif untuk ikan-ikan permukaan berdarah dingin (tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya) sehingga mereka akan melakukan migrasi ke tempat-tempat yang lebih nyaman mereka huni. Karena pada keadaan aslinya permukaan air laut bersuhu hangat.
Namun selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Suplai massa air hangat ini menyebabkan kondisi hidrologi Selat Sunda sangat kondusif untuk migrasi ikan tongkol.
Pada fase ketiga kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 (Syamsudin 2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan pembentukan massa air hangat di perairan
internal Selat Sunda, merupakan kondisi ideal lingkungan hidup ikan (terjadi sebelum penurunan suhu secara signifikan pada bulan September.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data-data diatas dapat kami simpulkan bahwa kondisi perikanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena-fenomena alam seperti Indian Osean Dipole yang terjadi di sekitar perairan Indonesia. Hal-hal ini dapat menjadi pertimbangan kita dalam melakukan penangkapan dengan mempelajari IOD secara lebih signifikan, karena fase-fase IOD tidak menetap/sama dari bulan ke bulannya. Anomali gradien suhu permukaan laut ini dikenal dengan Dipole Mode Indek (DMI). IOD mempunyai dua fase yaitu fase positif dan fase negatif. Terjadinya Indian Ocean Dipole sulit diprediksi. Akan tetapi, upaya para ilmuwan untuk mempertepat prakiraan kapan akan munculnya gejala penyimpangan cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil yaitu dengan cara anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia. Selain itu IOD juga mempengaruhi curah hujan di wilayah Negara Indonesia, yang nantinya kita juga bisa mempertimbangkan dan memperkirakan masa-masa perubahan keadaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Saji NH, BN Goswami, PN Vinayachandran, T. Yamagata, 1999: Sebuah modus dipole di Samudera Hindia tropis, Nature, 401, 360-363.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang. Profil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Pandeglang. 2002
Christon.
2010
.
Pengaruh
IOD
terhadap
perubahan
iklim
Indonesia.
http://cheatonunpad.wordpress.com/2009/12/22/pengaruh-indian-ocean-dipolepada-iklim-indonesia/. Diakses pada tanggal 10 November 2011 pukul 20.00 WIB.
Topik : INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD)
INDIAN OCEAN DIPOLE
Disusun Oleh : Eli Riswandi 230210100055
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Bumi merupakan tempat satu-satunya mahkluk hidup dapat hidup. Bumi ini diselimuti lautan 2/3 dari pemukaan bumi. Selain itu banyak juga komponenkomponen lainya yang ada di bumi ini. Hingga saat ini bumi berpenduduk sekitar 4 milyar lebih manusia. Didalam lautan maupun daratan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan maupun hewan. Di bumi ini banyak terjadi kejadian yang di pengaruhi baik oleh ulah mahkluk hidup atau factor alam itu sendiri. Dalam menyeimbangkan terhadap lingkunganya alam selalu memberikan hal-hal yang luar biasa hebat untuk dipelajari. Contohnya banyak anomali-anomali dalam kehidupan ini yang terjadi didarat ataupn dilaut seperti gempa, badai, perbedan musim dan kejadian lainya. Laut merupakan wilayah yang luas dan sering terjadi halhal yang unik. Seperti halnya Indian Ocean Dipole merupakan kejadian yang langka terjadi. Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Kejadian ini terjadi karena perbedaan tekanan sehingga massa air mengalir ke barat samudra hindia. IOD ini dapat berdampak negative bagi daerah-daerah yang terdapat disekitar daerah yang mengelilingi samudra hindia. 1.2. Tujuan Untuk mempelajari bagaimana proses terjadinya IOD dan apa saja yang memepengaruhi terjadinya IOD. Untuk memepelajari dampak dari IOD dan pengaruh-pengaruh lainya terhadap daerah yang mengelilingi samudra hindia. Untuk memberikan informasi pada kegiatan pembelajaran pada sektor Samudera Hindia terkait dengan fenomena Indian Ocean Dipole.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Indian Ocean Dipole Nama "Indian Ocean Dipole (IOD)" diciptakan oleh Prof Yamagata, Dr Saji dan peneliti lain dari Program Variasi Riset Iklim (CVRV). Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan, mirip dengan "bajak" petani yang mengangkat lapisan bawah tanah/lumpur ke permukaan. Akibatnya, suhu permukaan laut di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis (anomali negatif rata-rata sebesar 2 derajat Celsius). (Iskhaq Iskandar, 2008). Proses terjadinya penyimpangan iklim di Samudera Hindia ini diilustrasikan dalam Gambar 1b.
Sumber : Berita Iptek (13 Februari 2008)
Ilustrasi proses interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di Samudera Hindia pada : a) Kondisi normal dan b) Saat terjadinya Indian Ocean Dipole. Perbedaan suhu permukaan laut direpresentasikan oleh perbedaan warna; merah menunjukkan anomaly positif. Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan arah angina). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan thermocline (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian Timur Samudera Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut menurun. Sebaliknya, di sisi Barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di sisi Timur Samudera Hindia (anomali negative) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi Barat nya (anomali positif) disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole. Pembentukan dua kutub suhu permukaan air laut ini akan mengakibatkan pergeseran zona
konveksi
(zona
pembentukan
awan-awan yang berpotensi
menimbulkan hujan), dimana zona ini biasanya terdapat di atas permukaan air laut yang hangat (anomali positif). Pada kondisi normal (Gambar 1a), zona konveksi berada di perairan pantai Barat Sumatra. Akan tetapi pada kondisi Indian Ocean Dipole, zona konveksi akan bergeser ke arah barat, ke daerah perairan di tengah-tengah Samudera Hindia dan perairan pantai Timur Afrika. Akibatnya, zona hujan pun akan bergeser ke arah barat, sehingga Indonesia akan mengalami kekeringan. 2.2. Mendeteksi Indian Ocean Dipole Seperti halnya El Nino yang diindikasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di Darwin/Asutralia), maka fenomena Indian Ocean Dipole direpresentasikan oleh
perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50⁰-70⁰ BT dan 10⁰ LS - 10⁰ LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur. Samudera Hindia (daerah 90⁰-110⁰ BT dan 10⁰ LS - 0⁰ LU). Indeks perbedaan suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan. Evolusi Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei/Juni, mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November/Desember. Akibatnya, Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya. Indian Ocean Dipole munculnya sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, upaya para ilmuwan untuk mempertepat prakiraan bakal munculnya gejala penyimpangan cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh dua orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera Hindia untuk periode 1958 - 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika bagian timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997 dengan anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia. 2.3. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh Indian Ocean Dipole 2.3.1. Efek Indian Ocean Dipole tehadap wilayah yang mengelilingi samudra Hindia Ulah Indian Ocean Dipole ini tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera Hindia. Jika di Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini bertolak belakang dengan daerah pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini akan mengalami musim hujan yang berlebih, di atas rata-rata. Kelebihan curah hujan di Afrika ini berimplikasi pada meningkatnya penyeberan virus deman Rift Valley yang dibawa oleh nyamuk yang berkembang selama musim hujan. Sementara itu, daerah sebelah barat Australia akan
mengalami musim dingin yang amat kering karena pengaruh fenomena Indian Ocean Dipole. Indian Ocean Dipole juga mengancam ekosistem turumbu karang di perairan sekitar kepulauan Mentawai. Terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan Selatan Jawa karena dipicu oleh meningkatnya intesitas upwelling (pengangkatan masa air di kedalaman yang kaya zat hara ke arah permukaan), seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Ledakan plankton ini akan mengakibatkan kekurangan oksigen di daerah perairan tersebut, karena ledakan plankton tersebut membutuhkan oksigen yang banyak untuk proses respirasinya. Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan organisme lain (seperti terumbu karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen yang ada dalam jumlah terbatas. Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam. Hasil analisis terhadap fosil terumbu karang di Kepulauan Mentawai yang dilakukan oleh ahli terumbu karang Australian National University, Nerilie J. Abram, mengungkapkan fakta bahwa kematian masal terumbu karang yang terjadi pada tahun 1961, 1994 dan 1997 bersamaan dengan waktu terjadinya fenomena Indian Ocean Dipole. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera; Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; ternyata tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita terus memantau gejala-gejala penyimpangan iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat diminimalisir. Upaya ini sebaiknya diiringi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan mitigasi
bencana
untuk
mengatasi
dampak
penyimpangan
iklim
yang
kecenderungannya semakin meningkat, bukan sekedar "memamerkan" angka-angka kerugian yang diakibatkannya. 2.3.2. Efek IOD pada Kekeringan Australia Sebuah studi 2009 oleh Ummenhofer et al. di University of New South Wales (UNSW) Pusat
Penelitian Perubahan
Iklim, telah
menunjukkan korelasi
yang
signifikan antara IOD. Kekeringan dibagian selatan Australia, khususnya selatn timur. Setiap kekeringan selatan besar
sejak 1889 telah bertepatan dengan
fluktasi
IOD
positif/netral termasuk paa tahun 1895-1902, 1937-1945 dan 1995 hingga sekarang saat kekeringan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika IOD berada dalam fase negatif, didaerah Samudra Hindia dan barat Australia air dingin sedangkan di Timor Leste hangat. Angin yang
dihasilkan mengambil air
dari laut
dan kemudian
menyapu ke
bawah
kearah selatan Australia dan akan memberikan curah hujan yang lebih tinggi . Dalam fase dan mengurangi
positif jumlah
IOD,
pola suhu laut dibalik, melemahnya angin
kelembaban dijemput
dan diangkut di
Australia. Konsekuensinya adalah bahwa curah hujan di selatan-timur
seluruh jauh di
bawah rata-rata selama periode dari IOD positif. Penelitian ini juga menunjukan baha IOD memiliki efek yangjauh lebih signifikan pada pola cuah hujan di selatan-timur Australia dari Elnino-southerm Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik sebagaimana telah ditunjukan dalam beberapa tahun sebelumnya. Contoh Indian Ocean Dipole di bagian barat Indonesia.
Sumber: wikipedia 2011
Suhu air di sekitar Kepulauan Mentawai turun sekitar 4° Celcius selama puncak Indian Ocean Dipole pada bulan November 1997. Elama peristiwa ini angin angin yang luar biasa kuat dari air permukaan yang hangat mendorong ke arah timur Afrika. Memungkinkan air dingin untuk upwelling sepanjang pantai Sumatra. Dalam gambar diatas
daerah biru dingin dari
biasanya, sementara
daerah-daerah merah lebih
hangat dari biasanya. 2.4. Skema dari peristiwa IOD positif dan negative Samudera Hindia Dipole (IOD) adalah fenomena laut-atmosfer digabungkan di Samudera Hindia. Hal ini biasanya ditandai dengan pendinginan anomaly SST di Samudra Hindia bagian timur selatan khatulistiwa dan pemanasan anomaly SST di Samudra Hindia barat equator. Terkait dengan perubahan ini konveksi yang normal terletak diatas kolam han gat Samudra Hindia bagian Timur bergeser ke barat dan membawa hujan deras ke Afrika Timur dan kekeringan yang parah atau kebakaran hutan wilayah Indonesia. Umumnya, konfigurasi ini disebut IOD positif. Infact sebuah IOD negative juga berkembang sebelum IOD postive, dengan reverse konfigurasi IOD
Sumber : Webpage maintained by Suryachandra A. Rao
positif. 2.4.1. Skema dari kejadian IOD positif Skema diatas menunjukan bahwa diagram dari SST (pemanasan bayangan merah dan pendinginan bayangan biru) selama IOD positif. Bercak putih menunjukan aktivitas konvektif meningkat, dan tanda panah menunjukkan arah angin dari barat Australia menuju Samudra Hindia dan bagian timur Afrika. Tiga kali
berturut-turut kejadian IOD positif telah
terjadi pada
2006, 2007
dan 2008.Tidak ada kejadian sebelumnya seperti sudah dicatat. 2.4.2. Skema dari kejadian IOD negtif
Sumber : Webpage maintained by Suryachandra A. Rao
Sumber : Webpage maintained by Suryachandra A. Rao Skema gambar diatas menunjukan bahwa diagram dari anomaly SST (pemanasan ditujukan oleh warna merah dan pendinginan ditujukan oleh warna biru) selama IOD negative.
Bercak
putih menunjukkan
angin yang ditunjukkan oleh panah.
aktivitas konvektif meningkat.
Arah
Sebuah IOD pola negative SST telah terbukti berhubungan dengan peningkatan curah hujan di seluruh bagian selatan Autralia. Contoh gambar peta disamping
menunjukan rata-rata suhu permukaan laut pada bulan November 1997. Kutub timur dan barat IOD yang ditandai dengan kotak hitam.
2.5.Indeks Dipole mode (DMI) Indeks DMI merupakan indikator gradien temperatur timur-barat Hindia tropis,
terkait
dengan Samudera
melintasi Samudra
Hindia Dipole mode atau zonal. Hal
ini
dihitung sebagai perbedaan dari WTIO dan indeks Setio. Ekstrim September-OktoberNovember curah hujan di Afrika Timur tropis telah dikaitkan dengan periode DMI terusmenerus tinggi (Hitam et al, Sen Wea Rev,. 2003.). Data source Indeks dihitung dengan menggunakan analisis Reynolds OIv2 SST, yang tersedia melalui perpustakaan IRI, dan diperbharui setiap minggu. Anomali dihitung relative terhadap siklus musiman iklim bedasarkan pada tahun 1982-2005. Serangkaian seri
mingguan
Sumber : NH Saji, BN Goswami, Vinayachandran PN, Yamagata T., 1999 linear
diinterpolasi
resolusi sehari-hari. Hari kabisat
setiap (29
hari
Februari)
untuk
siklus
musiman iklim dengan
diperlakukan sebagai
kasus khusus
dan linear interpolasi antara klimatologi tanggal 28 Februari dan 1 Maret. Rata-rata dari
analisis spasial grid dibobot oleh luas
permukaan. Deviasistandar dari
indeks selama
periode 1982-2005 ditunjukkan pada plot.
BAB III KESIMPULAN
IOD adalah osilasi yang tidak teratur dari suhu permukaan laut di mana Samudera India bagian
barat menjadi lebih
hangat secara
bergantian dan
kemudian lebih
dingin
dari bagian timur laut. Fenomena ini dapat menyebabkan efek yang buruk bagi wilayah yang mengelilingi Samudra Hindia. Air hangat di Samudra Hindia bagian timur menuju ke barat
dan menyebabkan hujan
yang
sangat
deras ke Afrika timur
akan
tetepi kekeringan terjadi yang parah atau kebakaran hutan di wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka
JAMSTEC.2008.Indian_Ocean_Dipole_(IOD)_bY_the_LAS.http://www.aviso.oceanobs.c om/en/applications/climate/indian-ocean-dipole/index.html Iskhaq Iskandar.2008.http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1206267194 Anonym.2011.iod.http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/publications/sy03b.pdf Anonym.2011.Indian ocean dipole.http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Ocean_Dipole Anonym.2009.Pengaruh_IOD_terhadap_iklim_Indonesia.http://cheatonunpad.wordpress .com/2009/12/22/pengaruh-indian-ocean-dipole-pada-iklim-indonesia/ Anonym.2011.IOD.http://acanx.multiply.com/journal/item/7 Anonym.2011.http://www.perpustakaan.lapan.go.id/jurnal/index.php/jurnal_sains/article/ viewFile/340/293 Wataru_Sasaki.2008.Climate_Variation.http://www.bom.gov.au/climate/IOD/about_IOD .shtml Unesco.2011.state_of_the_ocean.http://ioc3.unesco.org/oopc/state_of_the_ocean/sur/ind/ dmi.php
Anonym.2008.http://www.ias.ac.in/currsci/jan102008/29.pdf
PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE DI AUSTRALIA Indian Ocean Dipole (IOD)
Disusun Oleh : LOLA NURUL AFIFAH 230210100027
PENDAHULUAN
Australia, resminya Persemakmuran Australia, adalah sebuah negara di belahan selatan yang terdiri dari daratan utama benua Australia, Pulau Tasmania, dan berbagai pulau kecil di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Negara-negara yang bertetanggaan dengannya adalah Indonesia, Timor Leste, dan Papua Nugini di Utara; Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Selandia Baru di tenggara. Luas daratan Australia adalah 7.617.930 km 2 berada diatas Lempeng Indo-Australia. Dikelilingi oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, ia dipisahkan dari Asia oleh Laut Arafura dan Laut Timor. Benua terkecil di dunia dan
Negara
terluas
keenam
menurut
keseluruhan.
Kepemilikian
dan
keterpencilan Australia menyebabkannya dijuluki sebagai „benua pulau‟ dan dipandang sebagai pulau terluas di dunia. Australia memiliki garis pantai sepanjang 34.218 km (belum termasuk pulau-pulau di lepas pantai benua) dan pengakuan perluasan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 8.148.250 km 2. Australia terletak di antara 9° LS dan 44° LS, dan 112° BT dan 154° BT. Australia adalah benua terdatar dengan lapisan tanah yang paling tua dan tidak begitu subur, gurun atau tanah yang agak gersang biasa dikenali sebagai pedalaman adalah bagian terbesar benua ini. Benua terkering yang dihuni manusia, hanya bagian tenggara dan tepian barat daya yang beriklim sedang. Kepadatan populasi, 2,8 jiwa per kilometer persegi, adalah salah satu yang terkecil di dunia, meskipun proporsi populasi yang besar tinggal di sepanjang pesisir tenggara yang beriklim sedang. Hutan iklim sedang Australia Timur dan Sabuk Brigalow terletak diantara pesisir dan gunung-gunung sementara pedalaman pegunungan pembagi adalah padang rumput luas. Ini termasuk dataran barat New South Wales dan Tanah Tinggi Einasleigh, Dataran Tinggi Barkly dan Tanah Mulga pedalaman Queensland. Titik paling utara pesisir timur adalah Semenanjung Tanjung York yang memiliki hutan hujan tropis. Bentang alam bagian utara negara ini, Ujung Atas dan Tanah Teluk di belakang Teluk Carpentaria, dengan iklim tropis mereka, terdiri dari tanah kayu, padang rumput, dan gurun. Di sudut barat laut benua ini adalah tebing batu pasir dan ngarai Kimberly, dan yang di bawah adalah Pilbara, sedangkan yang diselatan dan pedalaman terdapat banyak
padang rumput, Dataran Victoria Biasa dan Semak Belukar Mulga Australia Barat. Jantung Negara ini adalah dataran tinggi Australia tengah memiliki fitur yang menonjol, yakni di tengah dan selatan, termasuk pedalaman Gurun simpson, Gurun Berbatu Tirari-Sturt, Gurun Gibson, Gurun Sandy-Tanami Besar, dan Gurun Victoria Besar dengan Dataran Nullarbor yang terkenal di pesisir selatan. Iklim di Australia sangat dipengaruhi oleh arus samudera, termasuk Dipol Samudera Hindia dan Osilasi El-Niño Selatan, yang berkorelasi dengan kekeringan yang berkala, dan system tekanan rendah tropis bermusim yang menghasilkan siklon di utara Australia. Faktor-faktor ini mengimbasi curah hujan yang variatif dari tahun ke tahun. Sebagian besar utara Negara ini memiliki iklim hujan musim panas dominan tropis (monsoon). Di bawah tiga per empat Australia terletak sebuah gurun atau zona kurang subur. Pojok Barat Daya Australia Barat memiliki iklim Mediterrania. Banyak bagian di tenggara (termasuk Tasmania) adalah beriklim sedang.
ISI
Dipole Mode Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah Samudera Hindia menghasilkan fenomena Dipole Mode (DM) yang didefinisikan sebagai tanda-tanda atau gejala akan menaiknya atau memanasnya suhu permukaan laut (SPL) dari kondisi normal di sepanjang Ekuator Samudera Hindia, khususnya di sebelah selatan Hindia yang diiringi dengan menurunnya suhu permukaan laut tidak normal di perairan Indonesia di wilayah pantai barat Sumatera (Yamagata, 2001). Pada keadaan normalnya, disebelah barat lautan tropis Hindia suhu permukaan laut mengalami pendinginan dan hangat di sebelah bagian timurnya dan ditandai dengan distribusi SPL yang cukup merata disekitar ekuator.
Gambar 1. Kondisi Normal dan Saat Dipole Mode Sumber : egsaugm.blogspot.com
Saji,
et.al
(1999)
menganalisis
kejadian
Dipole
Mode
dengan
menggunakan indeks sederhana, yaitu berupa dipole anomali SPL yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SPL Samudera Hindia tropis bagian
barat (50°E - 70°E, 10°S - 10°N) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90°E - 120°E, 10°S – ekuator). Selain SPL, dipole anomali RGP juga sama terjadi seperti SPL pada satu tahun Dipole Mode (Behera et.al, 1999). Saji dan yamagata (2001) mengidentifikasi bahwa kejadian DM(+) meliputi tahun 19821983, 1994-1995 dan 1997-1998 dan kejadian DM(-) pada tahun 1983-1984, 1988-1989, 1992-1993, 1995-1996 dan 1998-1999. Hasil perhitungan perbedaan nilai (selisih) antara anomaly suhu muka laut di bagian barat dan sebelah timur samudera Hindia ini dikenal sebagai DMI (Dipole Mode Index). Dipole Mode dibagi menjadi dua fase yakni Dipol Mode positif dan Dipole Mode Negatif. Dipole Mode positif (DMP) terjadi pada saat tekanan udara permukaan diatas wilayah barat Sumatera relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga udara mengalir dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan diatas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan Dipole Mode Negatif (DMN). Dalam kaitannya dengan pola curah hujan di BMI. Illustrasi proses / mekanisme fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) secara skematis di sajikan dalam gambar (1) dan (2) :
Gambar 2. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI positif Sumber : http//www.jamstec.go.hjp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 3. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI negatif Sumber : http//www.jamstec.go.hjp/frsgc/research/d1/iod/
Tahapan Siklus DM diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaa degan itu terjadi anomaly angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus, anomali negatif SPL tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga pantai barat Sumatera, sementara itu anomaly positif SPL mulai muncul di Samudera Hindia bagian barat. Perbedaan tekanan di antara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember.
Fenomena Tahun
El Nino
La Nina
DM+
DM-
(Kering) (Basah) (Kering) (Basah)
Kondisi Iklim
1955 1956 1957
kuat
1961 1963
kuat
1965
kuat
kuat
normal
kuat
kekeringan
kuat
kekeringan kekeringan
1967 1969
kuat
kekeringan
kuat
1970
kekeringan kuat
normal
1971 1972
Tabel
kuat
kuat
1973
kuat
1975
kuat
1976
kuat
1982
kuat
2003
kekeringan
kuat
kuat
1. Data
kekeringan kekeringan
kuat
kuat
kekeringan
kuat
kekeringan
kuat kuat
1998 2002
kuat
kuat
1995 1997
kekeringan
kekeringan
1993 1994
kuat
kuat
1988 1991
kuat
kekeringan
1983 1987
kekeringan
kuat kuat
kuat kuat
kekeringan kuat
normal
kuat
normal
kuat
2004
normal
kekeringan kuat
normal
Kejadian Dipole Mode, ENSO dan Kondisi Iklim Sumber : egsaugm.blogspot.com
Fenomena Dipole Mode dipengaruhi oleh : 1. Sirkulasi Walker yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia dekat Pulau Sumatera bagian barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika yang mengakibatkan terjadinya aliran udara secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi menuju wilayah dengan tekanan udara rendah. 2. Angin zonal (timur-barat) juga berpengaruh terhadap kejadian ini, yakni akibat adanya pergerakan massa udara dari barat ke timur Samudera Hindia atau sebaliknya. Sementara itu angin meridional juga berpengaruh terhadap
fenomena Dipole Mode yang terjadi karena adanya aliran udara antara wilayah Hindia bagian selatan dengan setelah barat Australia. Hasil studi dari Saji dan yamagata (2003) menyatakan bahwa DM berkorelasi positif dengan tingginya anomali SPL di Belahan Bumi Utara (BBU) dan Belahan Bumi Selatan (BBS) termasuk kawasan Subtropid. Perubahan SPL selama peristiwa DM ditemukan hubungannya dengan perubahan angin permukaan di samudera Hindia bagian tengah ekuator. Pada kenyataannya arah angin berkebalikan dari baratan ke timuran selama puncak fase dari kejadian DM positif ketika SPL mendingin di timur dan menghangat di barat. Pengaruh dari angin ini sangat signifikan pada kedalaman termoklim melalui proses-proses di lautan (Rao et al.,2001). Termoklim meningkat di bagian timur dan semakin dalam dibagian tengah dan barat. Penurunan upwelling di sekitar pantai menyebabkan SPL mendingin di bagian timue (Behera et al.,1999). DM positif menghasilkan anomali sirkulasi atmosfer dimana osilasi SPL di Samudera Hindia tropis berkaitan dengan curah hujan di Negara-negara sekitarnya terutama Indonesia dan beberapa Negara Afrika. Penelitian selama beberapa decade terakhir menunjukkan bahwa iklim di daerah tropis pada skala besar sangat dipengaruhi oleh perubahan SPL. Behera dan Yamagata (2001) mengidentifikasi bahwa mendinginnya SPL dibagian timur Samudera Hindia disebabkan oleh peningkatan evaporasi di bagian barat Samudera Hindia. Pengaruh Kekeringan Australia Sebuah studi 2009 oleh Ummenhofer dkk. Di Universitas New South Wales (UNSW) Pusat Penelitian Perubahan Iklim, telah menunjukkan korelasi yang signifikan antara IOD dan kekeringan di bagian selatan Australia, khususnya selatan-timur. Setiap kekeringan selatan besar sejak 1889 telah bertepatan dengan fluktuasi IOD positif / netral termasuk 1895-1902, 1937-1945 dan saat ini 1995-sekarang kekeringan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika IOD berada dalam fase negative, dengan air dingin Samudera Hindia barat Australia dan hangat Laut Timor air ke utara, angin yang menghasilkan yang mengambil air dari laut dan kemudian menyapu ke bawah kea rah selatan Australia untuk memberikan curah hujan yang lebih tinggi. Dalam fase positif IOD, pola suhu laut dibalik, melemahnya angin dan mengurangi jumlah kelembapan dibawa dan diangkut ke seluruh
Australia. Dampaknya adalah bahwa curah hujan di selatan-timur jauh dibawah rata-rata selama periode IOD positif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa IOD memiliki efek yang jauh lebih signifikan pada pola curah hujan di selatan-timur Australia dari El Niño-Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa studi terbaru. Musim dingin & Musim Semi di Australia pada tahun IOD positif
Gambar 4. Rata-rata curah hujan pada musim dingin – musim semi di Australia selama tahun IOD positif Sumber : www.bom.gov.au
Peta di atas menunjukkan bahwa selama tahun IOD positif, musim dingin – musim semi bisa menyebabkan curah hujan dibawah rata-rata (yaitu dalam desil 2 atau 3 dan ditunjukkan oleh warna merah di peta) di bagian tengah dan selatan Australia. Perlu dicatat bahwa tidak ada bagian dari negara ini ada kecenderungan yang konsisten terhadap rata-rata diatas (desil 8 atau lebih tinggi) curah hujan di tahun IOD positif.
Musim dingin & Musim Semi di Australia pada tahun IOD negatif
Gambar 5. Rata-rata curah hujan pada musim dingin – musim semi di Australia selama tahun IOD negative Sumber : www.bom.gov.au
Peta di atas menunjukkan bahwa selama tahun IOD negatif, musim dingin – musim semi bisa menyebabkan curah hujan di atas rata-rata (yang berarti dalam desil 8 atau 9 dan ditunjukkan oleh warna biru dip eta) di sebagian besar selatan Australia. Perlu dicatat bahwa tidak ada bagian dari Negara ini ada kecenderungan yang konsisten terhadap bawah rata-rata (desil 3 atau lebih rendah) curah hujan.
KESIMPULAN
Indian Ocean Dipole adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara atmospher dan ocean yang terdapat di lautan Hindia tropis. Fenomena dicirikan dengan bersamaan terjadinya penyimpangan suhu muka air laut yang berlawanan di bagian barat (50°E - 70°E, 10°N) dan di bagian timur / tenggara (90°E – 110°E, 10°S – ekuator). Untuk menyatakan besarnya simpangan tersebut lazim digunakan istilah “anomali” yakni beda atau pembanding terhadap nilai rata-ratanya. Misalnya pada waktu Lautan Hindia khatulistiwa bagian tenggara mengalami anomali dingin, suhu muka laut di sebelah barat Sumatera terjadi anomali panas atau dalam keadaan suhu muka laut di Lautan Hindia khatulistiwa bagian barat lebih dingin dibandingkan di sebelah timur; demikian keadaan tersebut dapat sebaliknya. Dari keadaan seolah-olah seperti ada pasangan pusat panas-dingin di bagian barat dan bagian timur; kemudian pasangan tersebut dikenal dengan “Indian Dipole Mode” yang selanjutnya orang menyingkat dengan “dipole mode”. Bila pusat panas berada di bagian timur disebut “dipole mode negatif” dan bila berada dibagian barat disebut “dipole mode positif” . Fenomena dipole merupakan hasil atau model interaksi antara atmosfer dan laut. Dari model tersebut dijelaskan bahwa timbulnya Dipole Mode didahului oleh pasat tenggara diatas lautan Hindia bagian selatan dan timur yang kuat dan bertiup terus menerus dalam suatu kurun waktu. Tiupan yang terus menerus tersebut menimbulkan tegangan (stress) muka air laut sehingga terjadi penumpukkan massa laut dan panas
di bagian barat. Bersamaaan dengan
anomaly suhu muka laut di lautan Hindia khatulistiwa yang demikian , daerah golakan yang biasanya terdapat dibagian timur yang panas bergeser ke barat. Sebaliknya ketika angin pasat lemahangin banyak bertiup dari arah barat atau barat daya sehingga terjadi pengumpulan massa dan panas di bagian timur yang panas. Tetapi dari pandangan oseanografi penurunan suhu muka laut di bagian timur lautan Hindia khatulistiwa karena timbulnya massa laut naik atau upwelling yang berawal di lautan sebelah selatan Nusa Tenggara Barat kemudian menjalar ke barat sehingga suhu muka laut di bagian timur lautan Hindia sekitar khatulistiwa lebih dingin dibandingkan di bagian barat bergeser ke timur sehingga di bagian barat lebih dingin dibandingkan di bagian timur.
Di Australia saat terjadi IOD positif akan mengakibatkan curah hujan yang rendah atau relatif kering / panas. Sedangkan pada IOD negatif akan mengakibatkan curah hujannya tinggi atau basah / lembab.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Australia. http://id.wikipedia.org/wiki/Australia (diakses pada tanggal 14 November jam 15.50 WIB) Anonim,
2011.
Dipole
Samudera
Hindia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Ocean_Dipole (diakses pada tanggal 14 November jam 16.30 WIB) Anonim,
2010.
Dipole
Mode
(DM).
http://moklim.dirgantara-
lapan.or.id/content/dipole-mode-dm (diakses pada tanggal 14 November 16.55 WIB) Anonim,
2010.
Dipole
Mode.
http://egsaugm.blogspot.com/2010/12/dipole-
mode.html (diakses pada tanggal 14 November jam 17.02 WIB) Anonim, 2011. Pola Curah Hujan Australia selama Indian Ocean Dipol tahun negatif. http://www.bom.gov.au/climate/IOD/positive/ (diakses pada tanggal 14 November jam 17.21 WIB) Anonim, 2011. Pola Curah Hujan Australia selama Indian Ocean Dipol tahun positif. http://www.bom.gov.au/climate/IOD/negative/ (diakses pada tanggal 14 November jam 17.25 WIB) Soerjadi, 2010. Dipole Mode. http://pustakacuaca.blogspot.com/2010/09/dipolemode.html (diakses pada tanggal 14 November jam 17.44 WIB)
Topik : IOD Disusun oleh: Liza Syahputra 230210100038
“Indian Ocean Dipole”
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan wilayah di dunia yang terdapat pada iklim tropis yang dimana wilayah wilayah yang terdapat pada iklim ini mengalami banyak fenomena alam yang menyebabkan penyimpangan dari aspek iklim. Salah satu fenomena yang terjadi yaitu peristiwa Indian Ocean Dipole (IOD). Indian Ocean dipole berasal dari kondisi air laut yang dipengaruhi perbedaan suhu yang signifikan menghasilkan gerakan arus air laut. Fenomena ini tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan wilayah perairan, tapi fenomena iklim lain seperti El Nino dan El Nina juga memegang pengaruh yang besar mengakibatkan variasi curah hujan setiap wilayah yang mengililngi wilyah perairan tempat dimana terjadinya fenomena ini yaitu Samudra Hindia.
BAB II ISI
2.1 INDIAN OCEAN DIPOLE Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan suatu fenomoena dimana terjadi osilasi yang tidak teratur dari suhu permukaan laut dimana bagian barat Samudra Hindia menjadi lebih hangat dari biasanya dan menjadi lebih dingin di bagian timur laut. Indian Ocean Dipole merupakan salah satu penyimpangan cuaca yang menyebabkan udara berhembus ke barat sehingga mendoraong massa air laut dan mengangkat massa air dari bawah ke atas permukaan. Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan arah angin). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan thermocline (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian timur Samudera Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut menurun. Sebaliknya, di sisi barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di sisi timur Samudera Hindia (anomali negatif) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi barat (anomali positif) disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole.
Gambar 1. Suhu permukaan laut rata rata pada bulan November 1997
Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/IOD/about_IOD.shtml Periode Indian Ocean Dipole yang positif ditandai dengan air di Samudra Hindia Tropis Bagian timur menjadi lebih dingin dari air normal, dan di bagian barat Samudera Hindia tropis menjadi lebih hangat dari air normal. Sebaliknya, Indian Ocean Dipole yang negatif ditandai dengan air di Samudera Hindia tropis timur laut menjadi lebih hangat dibandingkan air di Samudra Hindia tropis bagian barat.
2.2 HUBUNGAN INDIAN OCEAN DIPOLE DENGAN EL NINO Fenomena IOD mempengaruhi curah hujan di India dari segi kekuatan hujan. IOD positif terjadi pada bulan Agustus 1998 dan IOD positif yang lainnya pada tahun 2006. Fenomena IOD merupakan aspek dari siklus umum iklim global yang memiliki interaksi dengan fenomena yang serupa seperti El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Hal ini dibuktikan dengan penurunan curah hujan di seluruh bagian tengah dan selatan Australia selama IOD positif, dan dengan peningkatan curah hujan di seluruh bagian selatan Australia selama IOD negatif. Peristiwa IOD biasanya terjadi setiap periode 30 tahun sekali dan setiap peristiwa berlangsung selam 6 bulan. Terdapat 12 IOD positif dimana tidak ada IOD negatif sejak tahun 1980 sampai 1992 hingga terjadi IOD negatif yang kuat pada tahun 2010. Terjadinya IOD dua kali berturut turut pada tahun 1913-1914, dan pada tahun 2006-2008.
2.3 EL NINO SOUTHERN OSCILLATION
gambar 2. Kondisi El Nino Sumber : http://waves.marine.usf.edu/elnino_menu/elnino_menu_article.htm
El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu fenomena laut yang berpengaruh besar terhadap keragaman hujan indonesia (Boer, 2003). ENS0 merupakan fenomena interaksi dari lautan dan atmosfer di Samudera Pasifik dimana El Nino adalah fenomena laulan dan Soutliern Oscillation adalah fenomena atmosfer. lndikator yang digunakan untuk mengctahui ENS0 adalah lndeks Osilasi Selatan (SOI) dan ASPL di Samudera Pasifik.ASPL di Pasifik Ekuator berkaitan eratdengan sirkulasi Walker. Daerah denganSPL tinggi merupakan pusat tekanan udara rendah dan merupakan daerah konvektif, sehinga menjadi penggerak utama sirkulasi walker selanjutnya. Pada sirkulasi walker normal, titik konvektif herada pada wilayah Indonesia, Amerika,dan Afrika di sepanjang ekuator.Namun dengan pergeseran SPL tinggi dari Indonesia ke arah timur pada saal terjadi El Nino.maka titik konvektif pun bergeser mengikuti SPL sehingga terjadi perubahan sirkulasi Walker. Fenomella ini dikenal sebagai El Nino.
Gambar 3. Kondisi La Nina Sumber : http://mastrihariyadi.wordpress.com/2011/01/15/anomali-cuaca/
Fenomena yang berkebalikan dengan kejadian El Nino adalah La Nina, yaitu bergesernya daerah SPL tinggi ke barat sehingga terjadi perubahan titik konvektif ke barat pula. Menurut Yasunari (1990), terdapat hubungan negatif antara aktivitas monsun lndia dengan aktivitas ENS0 yang terjadi sekitar tiga hingga enam bulan setelahnya, sehingga tnonsun lndia yang lemah dapat memicu terjadinya El Nino dan sebaliknya rnemicu La Nina. Selain itu monsun lndia lemah akan memperlambat kedatangan musim hujan di kepulauan Indonesia. Dampak ENS0 meluas hampir ke seluruh dunia yang disebabkan dengan adanya pergeseran
sirkulasi tropis skala luas yaitu Sirkulasi Walker dan Sirkulasi Hadley. Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global (Pustekkom, 2007) antara lain angin pasat timuran melemah, sirkulasi muson melemah, akumulasi curah hujan berkurang di wilayah lndonesia, Amerika Tengah dan amerika Selatan bagian Utara. Cuaca di daerah tersebut cenderung lebih dingin dan kering, dan potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah Argentina. Beberapa daerah tropis, lermasuk Indonesia, secara langsung dipengaruhi oleh kondisi kering akibat peristiwa ENSO. Periode El Nino berkaitan dengan peningkatan curah hujan sepanjang Samudera Pasitik bagian timur dan tengah serta kondisi kering di atas normal terjadi di Australia utara, Indonesia, dan Filipina Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim (kepulauan), maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
2.4 DAMPAK YANG DITIMBULKAN INDIAN OCEAN DIPOLE Pada umumnya peristiwa Indian Ocean Dipole menimbulkan efek yang negatif, tidak hanya di iklim tropis seperti Indonesia saja, tapi juga terjadi di wilayah wilayah yang berada di sekitar Samudra Hindia. Di Indonesia, IOD menyebabkan kekeringan dan terjadinya algae blooming (blooming phytoplankton). Di sepanjang pantai barat Sumatra hanya terjadi intensitas upwelling yang tinggi yang mengangkat unsur hara dari bawah laut ke permukaan, algae blooming menyebabkan kandungan oksigen dalam laut berkurang karena digunakan oleh phytoplankton untuk proses respirasinya. Akibatnya, terjadi kompetisi antara phytoplankton dengan organisme lain seperti terumbu karang. Dari fenomena IOD dapat mengancam kelangsungan hidup terumbu karang. Efek dari IOD juga memiliki dampak bagi benua Australia, penelitian menunjukkan bahwa ketika IOD berada dalam fase negatif, dengan air dingin Samudera Hindia barat Australia dan hangat Laut Timor air ke utara, angin yang dihasilkan yang mengambil air dari laut dan kemudian menyapu ke bawah ke arah selatan Australia untuk memberikan yang lebih tinggi curah hujan. Dalam fase positif IOD, pola suhu laut dibalik, melemahnya angin dan mengurangi jumlah kelembaban dijemput dan diangkut di seluruh Australia. Konsekuensinya adalah bahwa curah hujan di selatan-timur jauh di bawah rata-rata selama periode dari IOD positif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa IOD memiliki efek yang
jauh lebih signifikan pada pola curah hujan di selatan-timur Australia dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik 2.5 PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE DALAM BIDANG PERIKANAN Indian Ocean Dipole tidak Hanya mengakibatkan perubahan pergerakan angin namun juga sangat berpengaruh terhadap perikanan yaitu ditandai dengan perubahan fisik air yang terjadi di wilayah Indian Ocean Dipole:
Pada masa IOD negatif, pergerakan ikan didaerah fase negatif berlangsung pada bulan Oktober 2000 sampai Maret 2001. Fase ini ditandai dengan anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia menyebabkan
curah hujan yang
meningkat secara tajam. Pada masa ini, terjadi kondisi yang buruk bagi perikanan daerah Selat Sunda dengan curah hujan yang tinggi mempengaruhi ikan untuk bermigrasi ke tempat yang lebih hangat.
Pada masa IOD positif, terdapat 3 fase perubahan suhu di Selat Sunda yang secara berurutan yaitu:
Fase pertama terjadi di daerah selatan pulau Jawa dan Sumatra mengalami pendinginan suhu laut permukaan, mulai terbentuk pada bulan Juni dan semakin menguat karena propagasi gelombang Rossby yang bertiup dari sumbernya ke daerah barat di sekitar Laut Timor dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober. Hal ini mengakibatkan kondisi air yang kurang kondusif sehingga ikan cenderung bermigrasi ke daerah yang lebih hangat
Selama masa transisi dari barat ke timur, arus yang mengalir sepanjang pantai selatan Sumatra dan arus khatulistiwa selatan lepas pantai Samudra Hindia membawa massa air yang relatif hangat. Kondisi air seperti ini sangat kondusif bagi migrasi ikan tongkol
Pada fase ketiga, kondisi oseanografi Selat Sunda kembali stabil, terbentuk upwelling di perairan Sumatra pada bulan juli sampai agustus 1998 (syamsuddin 2003). Upwelling di perairan ini diikuti dengan terbawanya suplai massa air hangat yang sangat ideal bagi lingkungan hidup ikan.
2.6 CARA MENDETEKSI INDIAN OCEAN DIPOLE Indian Ocean Dipole dapat dideteksi sama halnya dengan El-nino yang diindikasikan dengan indeks osilasi selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan
permukaan laut di Darwin/Australia), Indian Ocean Dipole dapat dipresentasikan dengan perbeaan suhu di bagian barat Samudra Hindia (50°-70° BT dan 10° LS - 10° LU) dan suhu permukaan laut bagian timur Samudra Hindia (90°-110° BT dan 10° LS - 0° LU). Indeks ini disebut dengan Dipole Mode Index (DMI), semakin besar indeks ini, maka semakin kuat sinyalnya dan efek yang diberikan oleh Indian Ocean Dipole semakin besar juga.
BAB III KESIMPULAN
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis tidak hanya memberikan dampak positif, namun juga rawan akan fenomena alam yang menyebabkan penyimpangan iklim yang terdapat di kedua samudra yang mengapit Indonesia. Seperti peristiwa Indian Ocean Dipole yang memegang pengaruh terhadap berbagai aspek. Sisi menguntungkan dari fenomena ini yaitu mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi kehidupan di laut yang merupakan keuntungan dalam bidang perikanan. Sementara sisi merugikan dari fenomena ini yaitu menciptakan kondisi yang kurang kondusif bagi kehidupan di perairan laut, bahkan dapat mengancam kelangsungan beberapa organisme serta menggangu keseimbangan dalam suatu ekosistem, baik itu di daratan maupun di perairan.Oleh karena itu akan lebih baik apabila terus dilakukan pemantauan gejala gejala iklim yang terjadi di kedua samudera yang berada di Indonesia, dan juga dilakukan langkah mitigasi agar efek buruknya dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
NH Saji, BN Goswami, Vinayachandran PN, Yamagata T., 1999: Sebuah modus dipol di Samudera Hindia tropis, Alam, 401, 360-363.
Anonim. 2011.Indian Ocean Dipole.en.wikipedia.com/wiki/Indian Ocean Dipole. Diakses pada tanggal 13 November 2011pukul 21.00
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=dampak%20positif%20indian%20ocean%20di pole&source=web&cd=9&ved=0CE4QFjAI&url=http%3A%2F%2Frepository.ipb.ac.id%2 Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F36858%2FBAB%2520II%2520Tinjauan%252 0Pustaka%2520G09rfu4.pdf%3Fsequence%3D7&ei=UebATtj1IcjZrQeCs43cCQ&usg=AFQjCNGWKnTZrj7NFU GLWkKgJIpERGjFwA. Diakses pada tanggal 14 November 2011 pukul 17.00 WIB
Herawati Beti, Muhammad Mahatir, Prasetyo Rini Noviana, Yuhendra Rian. 2011. Makalah indian Ocean Dipole. http://riyuch4nzbl0g.blogspot.com/2010/11/makalahindian-osean-dipole-dan.html. diakses pada tanggal 14 November 2011 pukul 18.55 WIB
METEOROLOGI LAUT
DESKRIPSI INDIAN OCEAN DIPOLE DAN DAMPAK YANG DITIMBULKANNYA (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Meteorologi Laut)
Disusun Oleh: Viky Fajrul Sahrija 230210100002 Kelompok 1
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JATINANGOR 2011
PENDAHULUAN
Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan, mirip dengan "bajak" petani yang mengangkat lapisan bawah tanah/lumpur ke permukaan. Akibatnya, suhu permukaan laut di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis (anomali negatif rata-rata sebesar 2 derajat Celsius). Aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan arah angina). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan thermocline (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian Timur Samudera Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatra). Ketika thermocline ini terangkat, suhu permukaan air laut menurun. Sebaliknya, di sisi Barat, gelombang ini akan menekan thermocline lebih masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat, dan Indian Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula penurunan suhu permukaan air laut di sisi Timur Samudera Hindia (anomali negative) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi Barat nya (anomali positif) disebut peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Cara Mendeteksi Indian Ocean Dipole Seperti halnya El Nino yang di-indikasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di Darwin/Asutralia), maka fenomena Indian Ocean Dipole direpresentasikan oleh perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50 o-70o BT dan 10o LS - 10o LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur Samudera Hindia (daerah 90o-110o BT dan 10o LS - 0o LU). Indeks perbedaan suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan. Evolusi Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei/Juni, mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November/Desember. Akibatnya, Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya. Kapan Indian Ocean Dipole unjuk gigi memang sulit diprediksi. Akan tetapi, upaya para ilmuwan untuk mempertepat prakiraan bakal munculnya gejala penyimpangan cuaca ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan analisa yang dilakukan oleh dua orang ilmuwan di Jepang Professor Toshio Yamagata dan Dr. N. H. Saji. Kedua ilmuwan ini melakukan analisa terhadap data suhu permukaan air laut di Samudera Hindia untuk periode 1958 - 1998 dan mengaitkan bencana banjir di benua Afrika bagian timur pada tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia pada tahun 1994 dan 1997 dengan anomali pembetukan dua kutub suhu permukaan air laut di Samudera Hindia.
2. Indian Ocean Dipole Negatif dan Indian Ocean Dipole Positif Hasil perhitungan perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut di bagian barat dan sebelah timur samudera Hindia ini dikenal sebagai DMI (Dipole Mode Index). Dipole Mode dibagi menjadi dua fase yakni Dipole Mode Positif dan Dipole Mode Negatif. Dipole Mode Positif (DMP) terjadi pada saat tekanan udara permukaan di atas wilayah barat Sumatera relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga udara mengalir dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan
pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan Dipole Mode Negatif (DMN). Dalam kaitannya dengan pola curah hujan di BMI (Benua Maritim Indonesia), maka DMI positif berhubungan dengan berkurangnya intensitas curah hujan di bagian barat BMI. Sedang sebaliknya, DMI negatif berhubungan dengan bertambahnya intensitas curah hujan di bagian barat BMI. Ilustrasi proses / mekanisme fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) secara skematis di sajikan dalam gambar (1) dan (2) :
Gambar 1. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI positif. Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 2. Ilustrasi skematis proses / mekanisme fenomena IOD yang menghasilkan nilai DMI negatif. Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Siklus DM diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus, anomali negatif SPL tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga pantai barat Sumatera, sementara itu anomali positif SPL mulai muncul di Samudera Hindia bagian barat. Perbedaan tekanan di antara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember. Fenomena Dipole Mode dipengaruhi oleh sirkulasi Walter yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia dekat Pulau Sumatera bagian barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika yang mengakibatkan terjadinya aliran udara secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi menuju wilayah dengan tekanan udara rendah. Selain itu ternyata angin zonal (timur-barat) juga berpengaruh terhadap kejadian ini, yakni akibat adanya pergerakan massa udara dari barat ke timur Samudera Hindia atau sebaliknya. Sementara itu angin meridional juga berpengaruh terhadap fenomena Dipole Mode yang terjadi karena adanya aliran udara antara wilayah India bagian selatan dengan setelah barat Australia. Hasil studi dari Saji dan Yamagata (2003) menyatakan bahwa DM berkolerasi positif dengan tingginya anomali SPL di Belahan Bumi Utara (BBU) dan Belahan Bumi Selatan (BBS) termasuk kawasan Subtropis. Perubahan SPL selama peristiwa DM ditemukan hubungannya dengan perubahan angin permukaan di Samudera Hindia bagian tengah ekuator. Pada kenyataannya arah angin berkebalikan dari baratan ke timuran selama puncak fase dari kejadian DM positif ketika SPL mendingin di timur dan menghangat di Barat. Pengaruh dari angin ini sangat signifikan pada kedalaman termoklim melalui proses-proses di lautan (Rao et al.,2001). Termoklim meningkat di bagian timur dan semakin dalam dibagian tengah dan barat. Penurunan upwelling di sekitar pantai menyebabkan SPL mendingin di bagian timur (Behera et al.,1999).
DM positif menghasilkan anomali sirkulasi atmosfer dimana osilasi SPL di Samudera Hindia tropis berkaitan dengan curah hujan di negara-negara sekitarnya terutama Indonesia dan beberapa negara di Afrika. Penelitian selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa iklim di daerah tropis pada skala besar sangat dipengaruhi oleh perubahan SPL. Behera dan Yamagata (2001) mengindikasikan bahwa mendinginnya SPL dibagian timur Samudera Hindia disebabkan oleh peningkatan evaporasi di bagian barat Samudera Hindia.
3. Dampak Negatif Indian Ocean Dipole Ulah Indian Ocean Dipole ini tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada daerah-daerah lain yang mengelilingi Samudera Hindia. Jika di Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini bertolak belakang dengan daerah pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini akan mengalami musim hujan yang berlebih, di atas rata-rata. Kelebihan curah hujan di Afrika ini berimplikasi pada meningkatnya penyeberan virus deman Rift Valley yang dibawa oleh nyamuk yang berkembang selama musim hujan. Sementara itu, daerah sebelah barat Australia akan mengalami musim dingin yang amat kering karena pengaruh fenomena Indian Ocean Dipole. Indian Ocean Dipole juga mengancam ekosistem turumbu karang di perairan sekitar kepulauan Mentawai. Terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan Selatan Jawa karena dipicu oleh meningkatnya intesitas upwelling (pengangkatan masa air di kedalaman yang kaya zat hara ke arah permukaan). Ledakan plankton ini akan mengakibatkan kekurangan oksigen di daerah perairan tersebut, karena ledakan plankton tersebut membutuhkan oksigen yang banyak untuk proses respirasinya. Akibatnya akan terjadi kompetisi antara plankton dan organisme lain (seperti terumbu karang) di perairan tersebut untuk mendapat oksigen yang ada dalam jumlah terbatas. Jika plankton berkembang lebih cepat dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam. Hasil analisis terhadap fosil terumbu karang di Kepulauan Mentawai yang dilakukan oleh ahli terumbu karang Australian National University, Nerilie J. Abram, mengungkapkan fakta bahwa kematian masal terumbu karang yang terjadi pada tahun 1961, 1994 dan 1997 bersamaan dengan waktu terjadinya fenomena Indian Ocean Dipole. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua samudera; Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, ternyata tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita terus memantau gejala-gejala penyimpangan iklim di kedua samudera ini, sehingga dampak lebih buruknya dapat diminimalisir. Upaya ini sebaiknya diiringi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan mitigasi bencana untuk mengatasi dampak penyimpangan
iklim yang kecenderungannya semakin meningkat, bukan sekedar "memamerkan" angka-angka kerugian yang diakibatkannya.
4. Pengaruh Indian Dipole terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Sebenarnya fenomena Indian Dipole tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada fenomena El-Nino dan La- Nina, namun ada perbedaan pada apa yang menyebabkannya dan dimana terjadinya. Sama halnya dengan fenomena El Nino yang disebabkan oleh Indeks Osilasi Selatan (indeks perbedaan tekanan permukaan laut di Tahiti dan tekanan permukaan laut di Darwin/Australia), maka fenomena Indian Dipole lebih diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50o-70o BT dan 10o LS – 10o LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur Samudera Hindia (daerah 90o-110o BT dan 10o LS – 0o LU). Jadi bisa dikatakan jika fenomena El-Nino dan La-Nina disebabkan oleh adanya perbedaan “tekanan”, sedangkan fenomena Indian Dipole disebabkan oleh adanya perbedaan “suhu” pada permukaan air laut. Indeks perbedaan suhu permukaan air laut disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, maka akan semakin kuat fenomena Indian Ocean Dipole ini dan semakin besar dan fatal akibat yang akan ditimbulkan oleh fenomena ini. Fenomena Indian Ocean Dipole dimulai pada bulan Mei atau Juni,dan akan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan November atau Desember. Ini mengakibatkan Indonesia yang biasanya mengalami musim hujan mulai bulan Oktober, akan sedikit mengalami perpanjangan musim kemarau. Kondisi kemarau di Indonesia akan semakin parah apabila fenomena Indian Ocean Dipole diikuti oleh fenomena El Nino. Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan,seperti pada tahun 1997 – 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat merugikan, dari bulan Juni hingga bulan Februari tahun berikutnya.
5. Pengaruh Indian Ocean Dipole Terhadap Perikanan Indonesia Terjadinya Indian Ocean Dipole tidak saja memberi pengaruh terhadap musim dan pergerakan angin di wilayah Indonesia, namun juga sangat berpengaruh terhadap keadaan perikanan di Indonesia. Ini terjadi dengan beberapa alasan fisik air yang terjadi di wilayah Indian Ocean Dipole, yaitu:
a. Pada masa Indian Ocean Dipole Negatif, pergerakan ikan di daerah di Fase negatif berlangsung selama Oktober 2000 s/d Maret 2001. Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam. Dengan demikian, pada masa ini merupakan kondisi buruk untuk perikanan di daerah Selat Sunda (perairan antara Jawa dan Sumatra) karena dengan curah hujan tinggi, suhu perairan juga mengalami penurunan drastis yang memungkinkan ikan melakukan migrasi ketempat yang lebih hangat. b. Pada masa Indian Ocean Dipole positif terjadi 3 fase perubahan suhu di daerah (antara Sumatra dan jawa), secara berurutan sebagai berikut:
selat sunda
Fase pertama yang terjadi di daerah selatan P. Jawa dan Sumatra yang megalami fase pendinginan suhu air laut permukanaan, (ditandai dengan dominasi anomali negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur), mulai terbentuk pada bulan Juni dan semakin menguat pengaruhnya akibat propagasi gelombang Rossby yang bergerak ke barat dari sumbernya di perairan sekitar Laut Timor, sepanjang 10-120 LS, pada bulan Juli dan mencapai puncaknya Oktober. Dengan demikian Samudera Hindia bagian timur yang mencakup perairan Selat Sunda didominasi massa air relatif dingin yang tidak kondusif untuk ikan-ikan permukaan berdarah dingin (tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya) sehingga mereka akan melakukan migrasi ke tempat-tempat yang lebih nyaman mereka huni. Karena pada keadaan aslinya permukaan air laut bersuhu hangat.
Namun selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan dari lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Suplai massa air hangat ini menyebabkan kondisi hidrologi Selat Sunda sangat kondusif untuk migrasi ikan tongkol.
Pada fase ketiga kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk
upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 (Syamsudin 2003). Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan pembentukan massa air hangat di perairan internal Selat Sunda, merupakan kondisi ideal lingkungan hidup ikan (terjadi sebelum penurunan suhu secara signifikan pada bulan September.
KESIMPULAN
Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Indian Ocean Dipole terjadi apabila ada perbedaan suhu permukaan air laut di bagian Barat Samudera Hindia (daerah 50 o-70o BT dan 10o LS - 10o LU) dan suhu permukaan air laut di bagian Timur Samudera Hindia (daerah 90 o-110o BT dan 10o LS - 0o LU). Indeks perbedaan suhu permukaan air laut ini disebut Dipole Mode Index (DMI). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal Indian Ocean Dipole dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan. Akibat yang ditimbulkannya didaerah Indonesia dia menyebabkan kekeringan, maka hal ini bertolak belakang dengan daerah pantai timur Afrika dan daratan India. Wilayah-wilayah ini akan mengalami musim hujan yang berlebih, di atas rata-rata. Selain itu dapat mempengaruhi perikanan di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.fadhli.2009.pengaruh indian dipole terhadap iklim di indonesia.http://thefadhil.wordpress.com/2009/12/18/pengaruh-indian-dipole-terhadapiklim-di-indonesia/.diakses pada tanggal 13 November 2011 Anonim.http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1206267194.diakses tanggal 13 November 2011 Anonim.dirgantara-lapan.or.id/moklim/edukasi0609dmi.html.diakses tanggal 13 November 2011 Anonim.http://www.kamusilmiah.com/biologi/perubahan-iklim-dan-pengaruhnya-terhadappenangkapan-ikan-tongkol/.diakses tanggal 13 November 2011