viii
MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)
MARDIA
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ix
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,23 April 2011 Mardia
x
ABSTRAK MARDIA, C44060243. Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC). Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan MOCHAMMAD RIYANTO. Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) adalah salah satu organisasi perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO) untuk sumber daya ikan tuna di dalam wilayah pengelolaan yang mencakup Samudera Hindia. Anggota IOTC tidak terbatas pada negara-negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang memiliki kepentingan terhadap tuna yang ada di perairan tersebut. Indonesia menjadi anggota penuh IOTC pada tanggal 9 Juli 2007, sehingga organisasi ini memiliki anggota sebanyak 27 negara. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi manfaat yang diperoleh Indonesia dari organisasi tersebut, dilihat dari segi politik perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Data diperoleh melalui wawancara terhadap tujuh orang narasumber, browsing internet terhadap situs resmi, dan analisis terhadap dokumen resmi IOTC. Manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC adalah sebagai berikut: (1) aspek politik, keanggotaan di IOTC dapat memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara pelaku utama penangkapan ikan major fishing player yang memperhatikan sustainable fisheries development, (2) segi ekonomi, Indonesia memiliki akses terhadap jaringan pemasaran tuna yang mudah sehingga peluang usaha dapat dimanfaatkan secara lebih stabil oleh para pengusaha dengan dampak berupa devisa yang meningkat, (3) segi sosial, nelayan samudera (high seas) Indonesia tidak dikucilkan mereka dapat diterima dan mendapat pelayanan di negara lain karena mematuhi tata nilai yang dibangun dunia atau RFMO, (4) dari sisi budaya, nelayan Indonesia menjadi semakin memiliki wawasan ke luar (outward looking), tidak hanya terfokus pada perairan pedalaman atau perairan teritorial saja, (5) segi lingkungan, pembangunan perikanan Indonesia dijalankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development). Kata kunci: IOTC, Indonesia, perikanan tuna, Samudera Hindia
xi
©Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
xii
MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMISSION (IOTC)
MARDIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
xiii
Judul Skripsi
: Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
Nama mahasiswa
: Mardia
NRP
: C44060243
Departemen
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc NIP. 19630315 198703 1 003
Mochammad Riyanto, SPi., M.Si NIP. 19821025 200701 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001 Tanggal lulus: 6 April 2011
xiv
KATA PENGANTAR
Skripsi disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) ”. Materi dalam skripsi ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan mulai dari Juli 2010 hingga Oktober 2010. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1) Bapak Dr Ir M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Bapak Mochammad Riyanto, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini; 2) Vita Rumanti Kurniawati S.Pi., MH. selaku komisi pendidikan dan Akhmad Solihin S.Pi. M.H selaku dosen penguji; 3) Para narasumber yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi penting untuk penelitian ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Bapak Ir. Agus Budiman, MAq, Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, Bapak Prof. Dr. Daniel Monintja, Bapak Drs. Soetomo, HP.BSc, Bapak Dr Suseno dan Bapak Abdulah Habibi. 4) Mama dan Papaku tercinta atas semangat dan dorongan dalam menyelesaikan tugas akhir ini serta kakak dan adikku tersayang. 5) Teman-teman PSP angkatan 43, Umi Lailatul, Patmawati. 6) Keluarga Besar Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang selalu di hati atas doa dan semangatnya kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor; 7) Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bimbingan dan bantuan yang telah diberikan. Amien. Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 11 November 1987 dari Bapak Ismail Rais dan ibu Rita Ningsih. Penulis merupakan putri ketiga dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bukittinggi pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama diterima menjadi mahasiswi IPB melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis memilih mayor Teknologi dan
Manajemen
Perikanan
Tangkap,
Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Ketika menjadi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, penulis tercatat dan aktif
sebagai staf Departemen Sosial dan Lingkungan Badan
Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB. Pada tahun 2007 penulis aktif di organisasi Forum Keluarga Muslim Perikanan (FKM-C) sebagai Sekretaris Departemen Kewirausahaan. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan bantuan modal usaha dan bimbingan kewirausahaan dari Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni IPB (DPKHA-IPB). Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam
Indian Ocean Tuna Comission (IOTC).
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.3 Manfaat Penelitian ...........................................................................
1 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2
Organisasi Internasional ................................................................ Dasar Hukum Internasional ........................................................... 2.2.1 UNCLOS 1982……………………………………………. 2.2.2 FAO Compliance Agreement 1993………………………... 2.2.3 UN Fish Stock Agreement 1995…………………………… 2.3 RFMO (Regional Fisheries Management Organization) ................. 2.4 Peraturan mengenai Laut Lepas ........................................................
5 7 10 12 13 15 18
3. METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... Alat Penelitian .................................................................................... Pengumpulan Data ............................................................................. Analisis Data ......................................................................................
20 20 22 23
4. INDIAN OCEAN TUNA COMISSION (IOTC 4.1 Visi dan Misi IOTC........................................................................... 24 4.2 Keanggotaan IOTC ........................................................................... 25 4.3 Species yang Dikelola ....................................................................... 28 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ................................................................................................... 5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia .......................... 5.1.2 Kegiatan dilakukan Indonesia sebagai anggota IOTC ............ 5.1.3 Strategi Indonesia sebagai anggota IOTC ................................ 5.1.4 Pendapat ahli perikanan mengenai IOTC ................................ 5.2 Pembahasan ........................................................................................ 6. KESIMPULAN
29 29 35 36 37 39
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 44 6.2 Saran.................................................................................................. 44
ix
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 45 LAMPIRAN ................................................................................................... 46
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 Situs Internet empat RFMO ........................................................................
10
2 Parameter kondisi perikanan Indonesia sebelum dan sesudah bergabung dengan
IOTC ............................................................................................
21
3 Daftar nama narasumber yang diwawancarai .............................................
23
4 Daftar negara anggota IOTC .......................................................................
26
5 Jumlah produksi tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia .........................
30
6 Produksi dan ekspor tuna ATLI ................................................................
32
7 Volume ekspor komoditi perikanan jenis tuna di Indonesia .......................
35
8 Pernyataan ahli perikanan manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC.......
38
x
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta lokasi RFMO .......................................................................................
16
2 Cakupan wilayah pengelolaan IOTC ..........................................................
24
3 Jenis tuna yang dikelola oleh IOTC ............................................................
28
4 Perkembangan produksi tuna dan sejenisnya Indonesia di wilyah IOTC ...
31
5 Kapal tuna longline bersandar di pelabuhan Nizam Zachman,, Jakarta .....
33
6 Bongkar muat di atas kapal tuna longline .................................................
33
7 Penanganan di atas kapal dengan pemberian es curah ................................
33
8 Penyimpanan ikan tuna di ruang pendingin ................................................
34
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Catatan wawancara (komunikasi penelitian) ..............................................
48
2 Peraturan presiden nomor 9 tahun 2007......................................................
54
3 Agreeement for the establishment of IOTC ................................................
56
xii
1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sumberdaya ikan tuna selalu berpindah tempat dalam kehidupannya tanpa mengenal batas negara. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh suatu negara belum tentu efektif jika negara lain yang menangkap sumberdaya yang sama tidak peduli dengan upaya pengelolaan yang sedang diterapkannya. Kerjasama pengelolaan perikanan di antara negara-negara tersebut sangat diperlukan. perikanan
Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan
mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih
dikenal dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Salah satu contoh RFMO adalah North Atlantic Fisheries Organization (NAFO) yang merupakan institusi kerjasama perikanan antara Kanada dan Amerika Serikat. Bagi ikan-ikan yang bermigrasi jauh seperti tuna, organisasi semacam itu mencakup daerah yang lebih luas dan melibatkan banyak negara. Misalnya, untuk perikanan tuna di Samudera Atlantik terdapat ICCAT (International Comission for the Conservation of Atlantic Tuna) di samping negara-negara yang berbatasan dengan Samudera Atlantik, dua negara lain yaitu Jepang dan Korea Selatan juga sebagai anggota karena armadanya ikut menangkap ikan tuna di sana. Sementara itu di samudera Pasifik kawasan timur terdapat IATTC (Inter-American Tropical Tuna Commission) yang memiliki anggota terdiri atas Amerika Serikat (United States of America) dan beberapa negara Amerika Latin yang menangkap ikan di sana termasuk anggotanya. Di samudera Pasifik kawasan tengah dan barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia, negara-negara di daerah ini sepakat untuk membentuk Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC). Begitu juga dengan kawasan samudera Hindia, dimana Indonesia terlibat di dalamnya, yaitu IOTC (Indian Ocean Tuna Comission). RFMO sebagai organisasi pengelola perikanan antar negara mulai berkembang pada tahun 1960-an (Satria et al., 2009). Perkembangan RFMO didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (bermigrasi) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Niat untuk bekerja-sama tersebut muncul
2
setelah ada kesadaran bahwa kegiatan penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang memanfaatkan sumber daya ikan yang sama. Jika setiap negara berlomba meningkatkan produksi perikanannya, baik dengan cara meningkatkan upaya penangkapan ikan maupun cara lainnya, maka sumber daya ikan tersebut secara keseluruhan dapat terancam sehingga keberlanjutan usaha perikanan juga menjadi terancam. Faktor lain yang mendorong pembentukan RFMO adalah munculnya sejumlah konflik internasional di bidang perikanan pada tahun 1990-an. Konflik tersebut diantaranya adalah konflik di antara Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di luar perairan wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di bagian barat laut samudera Atlantik (de Fontaubert dan Luchman, 2003) Saat ini di setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO. Aturan-aturan yang ada di dalam setiap RFMO tersebut menuntut konsistensi dan komitmen setiap negara anggota untuk mematuhi kesepakatan atau peraturan-peraturan yang dibuat. Posisi geografi negara anggota suatu RFMO umumnya tidak selalu berdekatan dengan kawasan pengelolaan RFMO. Hal ini terjadi mengingat bukan kedekatan geografis yang diutamakan tetapi lokasi dari aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan dari negara tersebut. Bagi negara yang tidak atau belum menjadi anggota suatu RFMO, saat ini sebaiknya sudah mulai mengikuti perkembangan peraturan-peraturan perdagangan internasional (Satria, 2009). Peraturan-peraturan tersebut dirancang sedemikian rupa dengan berbagai tujuan, namun yang terutama adalah kelestarian sumber daya ikan dan perlindungan konsumen.
Tarafsofsky (2007) mengungkapkan bahwa beberapa RFMO
menetapkan
sanksi
perdagangan,
khususnya
terhadap
kapal-kapal
yang
melakukan praktek-praktek IUU fishing. Menurut Mc Dorman (2005) dalam Satria (2009), dua aspek penting yang terkait kewenangan suatu RFMO adalah besar kuota penangkapan ikan dan peraturan-peraturan. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan serta alokasi kuota pada setiap anggota RFMO. Penentuan alokasi kuota biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan rutin (tahunan) dimana kerap menjadi ajang
3
perdebatan antar masing-masing anggota RFMO. Perdebatan itu muncul karena setiap negara memperjuangkan kepentingan ekonomi untuk memperoleh kuota tangkapan yang dianggap wajar bagi masing-masing negara. Perjuangan untuk mendapatkan kuota dalam suatu RFMO merupakan perjuangan politik tingkat tinggi yang harus dilakukan melalui negosiasi intensif dengan negara-negara lain sesama anggota. Peraturan-peraturan diperlukan agar terjadi ketertiban di kawasan dan terbangun keharmonisan di antara peraturan-peraturan regional dan negaranegara. Peraturan-peraturan tersebut mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, musim tidak boleh menangkap ikan, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. IOTC merupakan salah satu RFMO yang mengelola sumber daya ikan yang berada tepat berdampingan dengan perairan Indonesia. Sejak diterbitkannya Perpres No.9 Tahun 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudra Hindia, dan pelaksanaan sidang tahunan IOTC ke-11 pada tanggal 13-18 Mei 2007 di Mauritius, Indonesia resmi menjadi anggota IOTC yang ke 27. Bergabungnya Indonesia di organisasi ini tentu dilakukan setelah melihat peluang manfaat yang akan muncul dari keanggotaan di IOTC. Selain itu, desakan dari pengusaha sebagai pelaku utama perikanan tuna yang menuntut pemerintah untuk menyegerakan peresmian Indonesia menjadi anggota tetap IOTC. Hal inilah yang menjadi alasan utama dilakukannya penelitian ini.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat yang diperoleh Indonesia setelah bergabung menjadi anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada tahun 2007.
1.3 Manfaat Penelitian ini akan menghasilkan keterangan yang jelas mengenai IOTC, hak dan kewajiban anggota serta manfaat yang dapat diperoleh oleh suatu negara anggota. Manfaat yang dapat diperoleh tersebut dapat dianggap sebagai potensi,
4
namun yang lebih penting lagi sebenarnya apa saja yang sudah dimanfaatkan Indonesia dari partisipasinya sebagai anggota IOTC. Keterangan atau informasi ini merupakan salah satu dasar yang perlu dipertimbangkan untuk mengatur strategi pengelolaan perikanan tuna Indonesia dikaitkan dengan perkembangan bisnis global perikanan tangkap. Informasi ini penting bagi para pengambil kebijakan, para akademisi yang akan terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan perikanan serta masyarakat umum yang tertarik pada bidang perikanan tangkap.
5
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Organisasi Internasional Kebijakan
umum Pemerintah Republik Indonesia pada organisasi-
organisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional. Prioritas politik luar negeri Indonesia dalam 5 tahun ke depan dituangkan dalam 3 program utama, yaitu: (1) program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi
diplomasi
Indonesia,
(2)
program
peningkatan
kerjasama
internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional dan (3) program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia. Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efisiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara (Keppres No. 64 tahun 1999). Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1.
Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara dalam hubungan internasional adalah yang dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mendukung terciptanya kohesi sosial, meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan, mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik, mendorong penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia. Sedangkan dalam dunia perikanan, khususnya organisasi perikanan, manfaat secara politik tidak jauh berbeda dengan manfaat
6
organisasi internasional pada umumnya. Secara politik organisasi perikanan internasional dapat memperkokoh hubungan antar suatu negara anggota organisasi perikanan tersebut; 2.
Manfaat ekonomi dan keuangan, dapat mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kemampuan iptek, meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendorong peningkatan produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, hibah (grant) dan bantuan lain yang tidak mengikat;
3.
Manfaat sosial budaya, dapat menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional, mendorong upaya perlindungan dan hak-hak pekerja
migran;
menciptakan
stabilitas
nasional,
regional
dan
internasional; dan 4.
Manfaat kemanusiaan, mengembangkan early warning system di wilayah rawan bencana, meningkatkan capacity building di bidang penanganan bencana, membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana; mewujudkan citra positif Indonesia di masyarakat internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup (www.deplu.go.id). Melihat harapan-harapan tersebut, kiranya perlu diketahui dengan jelas apa
saja manfaat dari bergabungnya Indonesia pada organisasi internasional di bidang perikanan tangkap. Belum diketahui dengan pasti jenis manfaat apa yang paling menonjol yang merupakan sumbangan sektor perikanan kepada negara Indonesia. Pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu
organisasi
internasional diatur dalam Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK. 1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Kembali Keanggotaan Indonesia serta Pembayaran Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional.
Menurut SK Menlu tersebut, dalam hal
suatu instansi bermaksud mengusulkan keanggotaan Indonesia pada organisasi
7
internasional, usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan dibahas oleh Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Pembahasan mengenai usulan tersebut memperhatikan beberapa hal berikut (Satria et al., 2009): 1.
Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang bersangkutan;
2.
Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam
ketentuan
organisasi
yang
bersangkutan
serta
formula
penghitungannya; 3.
Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang mempunyai lingkup dan kegiatan sejenis; dan
4.
Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah.
2.2 Dasar Hukum Internasional Konvensi PBB tentang hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS) banyak memberikan arahan mengenai bagaimana sebaiknya lautan dikelola. Salah satu klausul dalam upaya pemanfaatan sumberdaya hayati, negara pantai memiliki kewajiban hukum untuk menjamin bahwa sumberdaya hayati di ZEE-nya dilindungi dari kegiatan eksploitasi berlebih, akan tetapi tetap dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya ikan di zona ekonomi ekslusif, maka setiap negara pantai perlu menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang dihasilkan dari kajian ilmiah terbaik. Sementara itu, meskipun laut lepas (high seas) memiliki rezim kebebasan (freedom of the high seas) sebagai perwujudan doktrin “mare liberium”, laut lepas-pun tidak luput dari pengaturan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Adapun kebebasan di laut lepas yang diakui secara universal
adalah kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan
8
(freedom of overflight), kebebasan memasang kabel atau pipa bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines), kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain (freedom to construct artificial island and other installations permitted under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing), dan kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific research). Asas kebebasan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan ketentuan internasional yang berlaku di atasnya. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan, diperkuat lagi hak dari suatu negara untuk mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut bebas (Pasal 116 UNCLOS 1982). Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan ini harus diiringi dengan ketentuan mengenai langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati di laut lepas. Langkah ini dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Dorongan adanya kerjasama antara negara-negara yang memanfaatkan sumberdaya hayati di laut lepas ditekankan di dalam pasal 118 UNCLOS 1982, yaitu negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dapat membentuk “subregional or regional fisheries organization (Djalal, 2004). Meskipun pengelolaan perikanan sudah diatur dalam UNCLOS 1982, masih saja terjadi konflik atau perbedaan pendapat mengenai kegiatan penangkapan ikan di antara negara pantai (coastal state) dengan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant fishing fleets) yang disertai dengan terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka
dicarilah
konsep-konsep
bagaimana
menerapkan
konservasi
dan
pengelolaan stok yang lestari sepanjang jalur migrasi jenis ikan tersebut, tetapi tidak mengurangi ataupun melanggar hak-hak berdaulat negara pantai (Djalal, 2004). Selain UNCLOS 1982, ada beberapa kesepakatan-kesepakatan khusus lainnya yang mengatur tentang pengelolaan perikanan di laut lepas dan berkenaan dengan jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, yaitu: 1.
Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993);
9
2.
Agreement for the Implementation of the provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stock 1995 (UNIA 1995);
3.
The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995); dan
4.
International Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for Management of Fishing Capacity, IPOA for Conservation and Management of Shark, IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-Line Fisheries, dan IPOA for Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Selain itu, terkait dengan pengelolalaan perikanan terdapat beberapa
organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) (Satria et al., 2009). Sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga berupaya mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku, termasuk peraturan-peraturan penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkapan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada akan tetapi terdapat hal yang menjadi kendala, yaitu Indonesia baru meratifikasi UNCLOS 1982 dan sedang mempertimbangkan untuk ikut serta dalam beberapa hukum internasional lain, khususnya UNIA 1995. Indonesia juga belum ikut serta dalam pengelolaan dan konservasi perikanan regional seperti WCPFC. Dengan demikian, untuk menyiapkan kemungkinan peningkatan pemanfaatan perikanan di laut lepas serta dalam rangka meningkatkan strategi diplomasi atau posisi tawar (bargaining position) Indonesia terhadap organisasi-organisasi perikanan regional yang wilayah pengaturannya berdampingan dengan Indonesia (Djalal, 2004). Daftar sumber informasi untuk beberapa RFMO di atas disajikan pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Situs internet empat regional fisheries management organization (RFMO) No. RFMO Jenis sumber daya ikan Website 1 2
3
4
IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission) CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) NAFO (North Atlantic Fisheries Organization)
Tuna
www.iotc.org
Ikan beruaya jauh
www.wcpfc.int
Tuna sirip biru
www.ccsbt.org
Salmon, tuna dan hiu
www.nafo.int
2.2.1 UNCLOS 1982 Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan hasil kerja keras masyarakat internasional dalam menyusun perangkat hukum yang mengatur segala bentuk penggunaan laut dan pemanfaatan kekayaan yang terkandung didalamnya (Agoes, 1991). UNCLOS 1982 adalah karya hukum masyarakat internasional terbesar di abad ke 20, karena diikuti oleh sekitar 160 negara, dimana delegasinya berasal dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan seperti diplomat, ahli hukum, pertambangan, perikanan, perkapalan, aktivis lingkungan hidup dan berbagai profesi lain. Selain itu UNCLOS 1982 juga dapat dikatakan sebagai Konvensi terpanjang karena melalui 11 sesi antara tahun 1973 hingga 1984 (Brown, 1994). UNCLOS 1982 ini berhasil diadopsi pada tanggal 30 April 1982, namun baru berlaku efektif secara umum pada tanggal 16 November 1994. Hal ini sesuai dengan pasal 308 ayat (1) UNCLOS 1982, bahwa konvensi ini berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60, yaitu Guyana pada tanggal 16 November 1993 (Brown, 1994). Terkait dengan pengelolaan perikanan di laut lepas (high sea), UNCLOS 1982 mengaturnya pada Bab VII, yang terbagi dalam dua bagian yaitu, bagian 1
11
mengenai “Ketentuan-ketentuan Umum” (Pasal 86-115) dan bagian 2 mengenai “Konservasi dan Pengelolaan sumber-sumber kekayaan hayati di laut lepas” (pasal 116-120). Menurut Pasal 86, ketentuan mengenai laut lepas berlaku bagi semua bagian yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan suatu negara kepulauan. Dengan kata lain, laut lepas adalah suatu rezim hukum yang berlaku di luar laut territorial suatu negara yang status kewenangannya adalah kedaulatan (sovereignty) dan ZEE yang status kewenangannya adalah hak berdaulat (sovereignty rights) (Djalal, 2004). Menurut pasal 116, semua negara mempunyai hak atas sumberdaya ikan di laut lepas, namun kebebasan di laut lepas tersebut dibatasi oleh : (1) kewajiban berdasarkan perjanjian internasional, (2) kewajiban ketetapan pengaturan spesifik spesies yang bermigrasi sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 64 sampai pasal 67, serta (3) ketetapan pada bagian ini untuk perikanan laut lepas. Pelaksanaan hak kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan ini harus disertai dengan diindahkannya kewajiban untuk melaksanakan tindakan konservasi sumberdaya laut hayati di laut lepas (Pasal 117). Tindakan konservasi tersebut dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Menurut pasal 118, negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dengan membentuk organisasiorganisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMO) di berbagai kawasan yang mempunyai aturan sendiri dalam mengelola kegiatan perikanan. Pasal 119 ayat (1), UNCLOS 1982 memberikan persyaratan khusus untuk konservasi sumberdaya ikan di laut lepas, yaitu dalam menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menetapkan tindakan konservasi sumberdaya kekayaan hayati lainnya di laut lepas, negaranegara harus mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada negara yang bersangkutan untuk memelihara atau memulihkan populasi yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari secara maksimum. Hal ini ditentukan oleh faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan khusus dari negara berkembang. Selain itu, dalam memperhatikan pola-pola penangkapan ikan adanya saling ketergantungan antara
12
stok
jenis
ikan
dan
standar
minimum
internasional,
secara
umum
direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional dan global (Satria et al., 2009).
2.2.2 FAO Compliance Agreement 1993 Menurut Xue (2004), meskipun UNCLOS 1982 telah mengatur pengelolaan perikanan di laut lepas, pengaturan tersebut dihadapkan pada tidak adanya kerangka kelembagaan yang efektif yang memiliki kewenangan dalam menerapkan tindakan pemaksaan terhadap setiap negara untuk melaksanakan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut serta dalam rangka mewujudkan kelestarian, sumberdaya ikan di laut lepas, maka perlu dibentuk RFMO, sesuai dengan Agreement to Promote Compliance with Fishing Vessel on the High Seas 1993 (FAO Compliance Agreement 1993), yang ditetapkan pada tanggal 24 November 1993. FAO Compliance Agreement 1993 merupakan hukum internasional yang mengikat (legally binding). Adapun tujuan meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan konservasi sumberdaya hayati laut. Hal ini sesuai dengan pembukaan FAO Compliance Agreement 1993, yaitu “mindful that the practice of flagging or reflagging fishing vessels as a means of avoiding compliance with international conservation and management measures for living marine resources, and the failure of flag States to fulfil their responsibilities with respect to fishing vessel entitled to flay their flag, are among the factors that seriously undermine the effectiveness of such measures”. Dengan kata lain, pengaturan mengenai tanggung jawab negara bendera untuk menyiapkan pengaturan, termasuk perizinan pengoperasian kapal di laut lepas, untuk memastikan kapal-kapal mereka tidak mengancam efektivitas pengaturan pengelolaan dan konservasi internasional (Satria et al., 2009). Sebagai ketentuan hukum yang mengikat, FAO Compliance Agreement 1993 berlaku untuk semua kapal penangkap ikan yang digunakan atau akan digunakan untuk penangkapan ikan di laut lepas, kecuali bagi kapal-kapal dengan ukuran kurang dari 24 meter. Secara garis besar, FAO Compliance Agreement
13
1993 mempunyai dua unsur utama, yaitu: pertama, meningkatkan tanggung jawab negara bendera. Menurut Pasal III, setiap negara bendera harus menjamin kapalkapal perikananannya tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan efektifitas pengelolaan dan konservasi. Selain itu, tidak ada satu negara pihak manapun yang memperbolehkan kapal ikannya digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu oleh otorita yang tepat dari negara tersebut. Lebih lanjut, setiap negara pihak tidak boleh memberi izin kepada kapal ikan manapun yang mengibarkan benderanya untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali jika negara tersebut mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan FAO Compliance Agreement 1993. Kedua, pertukaran informasi tentang aktivitas penangkapan ikan di laut lepas. Menurut pasal 4 negara-negara disyaratkan untuk membuat catatan untuk kapal-kapal ikan yang telah diberi izin untuk menangkap ikan di laut lepas. Dalam tukar menukar informasi termasuk bahan bukti yang terkait dengan kegiatan kapal-kapal ikan suatu negara bendera, para pihak harus melakukan kerjasama. Tujuan kerjasama tersebut untuk memudahkan identifikasi pencatatan kapal-kapal ikan dalam rangka mencegah kegiatan yang dapat mengurangi tindakan pengelolaan dan konservasi (Djalal, 2004).
2.2.3 UN Fish Stock Agreement 1995 United Nations for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks atau yang dikenal dengan sebutan UNIA atau UN Fish Stock Agreement 1995 ditetapkan pada tanggal 4 Desember 1995. Perjanjian ini merinci asas dasar yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982, bahwa negara-negara harus bekerjasama untuk menjamin pelaksanaan konservasi serta menggalakkan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal baik yang terdapat di dalam maupun di luar Zona Ekonomi Ekslusif. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa perjanjian ini ditujukan agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan menyediakan suatu kerangka kerja sama dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan. Ketentuan yang dituangkan dalam UN Fish Stock Agreement 1995 dapat dikatakan hampir sama dengan FAO
14
Compliance Agreement 1993. Perbedaannya yaitu, UN Fish Stock Agreement 1995 hanya mengatur stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, sementara FAO Compliance Agreemet 1993 mengatur semua kegiatan perikanan tangkap di laut lepas (Kuemlangan, 2001 dalam Satria et al., 2009). Pengelolaan jenis ikan, baik yang bermigrasi jauh maupun bermigrasi terbatas dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach). Pelaksanaan
pendekatan
kehati
hatian
merupakan
bentuk
perlindungan
sumberdaya hayati laut dan konservasi lingkungan lautnya. Persyaratan pelaksanaan pendekatan kehati-hatian yang dituangkan pada UN Fish Stock Agreement 1995 merupakan alternatif lain dari ketentuan UNCLOS 1982, yang mensyaratkan “best scientific evidence available” dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan. UN Fish Stock Agreemet 1995 juga mengamanatkan akan pentingnya kerjasama dalam pengelolaan ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas. Berdasarkan pasal 8, kerjasama antara negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan di laut lepas bisa dilakukan secara langsung atau melalui organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional, dengan mempertimbangkan karakter khusus dari subregion atau region tersebut untuk memastikan pengelolaan dan konservasi stok ikan secara efektif. Sementara itu, berdasarkan Pasal 21, pada wilayah laut lepas yang termasuk dalam wilayah pengelolaan RFMO atau pengaturan subregional atau regional, inspektur yang berwenang dari suatu negara pihak pada perjanjian ini atau anggota dari RFMO tersebut dapat menaiki kapal dan memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan negara pihak lain pada perjanjian ini, tanpa memperhatikan apakah negara tersebut juga menjadi anggota RFMO atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut. Apabila suatu kapal terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi, negara pemeriksa harus mengamankan bukti dan segera memberitahu negara bendera kapal mengenai pelanggaran yang dituduhkan. Adapun tindakan pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindakan yang serius dituangkan dalam pasal 11, yaitu:
15
1.
Melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi yang sah, otorisasi atau izin yang dikeluarkan oleh negara bendera berdasarkan Pasal 18 ayat 3 (a);
2.
Gagal untuk memelihara catatan yang akurat mengenai hasil tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana disyaratkan oleh RFMO atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau regional yang terkait atau memberi laporan tangkap yang tidak benar, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut;
3.
Melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, selama musim yang tertutup atau setelah pencapaian dari suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional;
4.
Mengarahkan penangkapan ikan suatu stok yang tunduk pada moratorium atau pelarangan terhadap kegiatan penangkapan ikan;
5.
Menggunakan alat tangkap yang dilarang;
6.
Memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas atau pendaftaran dari kapal perikanan;
7.
Menyembunyikan atau merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan dengan suatu penyelidikan;
8.
Melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan pengelolaan dan konservasi; dan
9.
Pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional terkait.
2.3 RFMO (Regional Fisheries Management Organization) RFMO dibentuk karena sifat ikan yang selalu bergerak (migrasi) dan melintasi batas negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan kerusakan/kepunahan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan.
16
Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Dapat kita lihat pada Gambar 1, bahwa hampir semua wilayah perairan di dunia telah diatur oleh organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut. Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada di wilayah perairan mana suatu negara melakukan aktivitas penangkapan ikan. Bagi negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan tertentu, saat ini sudah mulai dipikirkan adanya sanksi perdagangan internasional.
Gambar 1 Peta kawasan pengelolaan sejumlah regional fisheries managaement organization (RFMO). Sumber: FAO (2002) RFMO yang terbentuk di laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia, sebagai berikut: 1. Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) IOTC merupakan institusi regional yang mengatur yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Lebih jelasnya mengenai IOTC dibahas pada bab IV. 2. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
17
Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawan Pasifik terdapat CCSBT (Gambar 2). Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota hasil tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Souhtern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi pembentukan Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. Efektifitas pelaksanaan Konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan tuna sirip biru, namun belum menjadi anggota seperti Korea, Taiwan dan Indonesia. 3. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pasific Ocean (WCPFC) Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan di sekitarnya melakukan negosiasi selama empat tahun dan berhasil menyepakati Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat. Namun demikian konvensi ini baru berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004. Negara yang sudah meratifikasi atau menyepakati konvensi ini, yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Island, Tonga dan Tuvalu. Sedangkan negara yang yang berstatus sebagai noncooperating parties adalah Belize dan Indonesia. Indonesia belum menetapkan status sebagai non-cooperating parties. Padahal beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan Indonesia dalam WCPFC, antara lain:
18
1.
Aspek politik domestik, akan mendukung kebijakan nasional bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrsi jauh di wilayah Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah;
2.
Aspek politik luar negeri, akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara pihak pada UNCLOS 1982 bagi kerjasama internasional dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan;
3.
Aspek teknis ekonomi, akan memberikan peluang bagi Indonesia dalam mengakses bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta untuk menghindari adanya embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara
anggota
WCPFC
seperti
yang
sudah
diberlakukan
sebelumnya oleh CCSBT untuk ekspor tuna sirip biru Indonesia sejak 1 Juli 2005. Hal ini dimaksudkan demi mempertahankan akses pasar global yang sudah ada selama ini; dan 4.
Dengan menjadi anggota WCPFC, akan memudahkan proses pertukaran informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dan adanya alih teknologi untuk Indonesia sebagai negara berkembang dalam kegiatan konservasi sumberdaya ikan di wilayah Samudera Pasifik bagian Barat dan Tengah.
2.4 Peraturan mengenai Laut Lepas Laut lepas merupakan semua bagian laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara. Laut lepas terbuka bagi semua bangsa, tidak satu negarapun boleh mengatakan secara sah bahwa sesuatu bagian dari laut itu termasuk dalam daerah kekuasaannya (UU nomor 61 tahun 1961). Kebebasan pada laut lepas, dilakukan atas syarat-syarat yaitu kebebasan melakukan navigasi, kebebasan melakukan perikanan, kebebasan memasang kabel dan pipa saluran di bawah permukaan laut, kebebasan melakukan penerbangan di atas laut lepas. Kebebasan di laut dibuat supaya negara-negara yang berpantai dengan negara-negara yang tak berpantai memiliki hak yang sama sehingga dapat bebas mengadakan perjalanan ke laut (UU Nomor 61 Tahun 1961).
19
Setiap kapal yang akan mengadakan perjalanan laut harus mengibarkan bendera satu negaranya. Sebuah kapal yang berlayar memakai bendera dari dua negara atau lebih dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. Jika terjadi sesuatu pelanggaran atau sesuatu kecelakaan navigasi atas sebuah kapal di laut lepas maka tidak boleh diadakan tuntutan hukuman atau hukuman disiplin lebih dahulu terhadap orang-orang itu kecuali di hadapan para hakim atau pejabat yang diberi tugas dari negara kapal tersebut atau negara orang-orang tersebut (UU Nomor 61 Tahun 1961). Sebuah kapal perang dari suatu negara yang bertemu dengan kapal dagang asing di laut lepas, tidak dapat dibenarkan menarik kapal asing tersebut kecuali bila kapal asing tersebut dicurigai terlibat dalam pembajakan atau terlibat dalam perdagangan budak. Apabila kapal asing itu telah melanggar peraturan-peraturan negara tersebut maka boleh dilakukan pengejaran (UU Nomor 61 Tahun 1961). Pengejaran yang demikian itu dilakukan jika kapal asing itu atau salah satu sekocinya berada dalam lingkungan perairan pedalaman atau laut teritorial atau zona perbatasan dari negara yang mengejar dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona perbatasan, apabila pengejaran itu dilakukan secara tidak terputus-putus. Hak pengejaran dihentikan setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau laut teritorial negara ketiga (UU Nomor 61 Tahun 1961).
20
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli hingga bulan Oktober 2010 dalam bentuk kegiatan pengambilan data dari instansi terkait dan browsing internet, kunjungan ke perusahaan perikanan, serta wawancara dengan tokohtokoh yang terkait isu keanggotaan Indonesia di dalam organisasi IOTC, yaitu pejabat dan mantan pejabat Pemerintah, peneliti dan akademisi. Pengambilan data dilaksanakan di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri di Jakarta, dan sebuah perusahaan perikanan tuna di Muara Baru, Jakarta.
3.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu komputer untuk mengakses situs resmi IOTC dan institusi-institusi yang terkait dengan perikanan, baik nasional maupan internasional, untuk pengolahan data dan penulisan skripsi, kamera digital untuk dokumentasi lapangan dan alat tulis. Instrumen penelitian adalah sejumlah pertanyaan kunci yang mencakup: 1. Pertimbangan atau justifikasi Indonesia untuk menjadi anggota IOTC di antaranya adalah harapan-harapan manfaat yang akan diperoleh; 2. Fakta tentang perkembangan perikanan tuna; dan 3. Fakta manfaat nyata dari keanggotaan. Pertanyaan-pertanyaan kunci untuk tiga cakupan tersebut dibuat dengan memperhatikan pertimbangan atau justifikasi niat Indonesia untuk bergabung di IOTC, yaitu mengacu pada manfaat politik, manfaat ekonomi dan keuangan, manfaat sosial budaya, manfaat kemanusiaan. Berikut adalah daftar pertanyaan kunci tersebut: 1. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara politik?; 2. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara ekonomi?; 3. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara sosial budaya?;
21
4. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara kemanusiaan?; 5. Kenapa Indonesia baru bergabung pada tahun 2007?; 6. Bagaimanakah kondisi perikanan tangkap Indonesia, khususnya perikanan tuna, pra dan pasca Indonesia bergabung di IOTC; dan 7. Pasca bergabung dengan IOTC, apakah kontribusi Indonesia terhadap perkembangan perikanan tuna antar negara anggota IOTC. Tabel 2 Parameter kondisi perikanan Indonesia sebelum dan sesudah bergabung dengan IOTC No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter
Sebelum bergabung di IOTC
Sesudah bergabung di IOTC
Ekspor tuna Indonesia. Kesejahteraan nelayan Indonesia, khususnya nelayan tuna. Tingkat kemudahan dalam melakukan negosiasi. Persaingan harga ikan tuna Indonesia di pasar Internasional. Jumlah investor terhadap usaha perikanan tuna. Kesejahteraan hak karyawan industri perikanan tuna. Teknologi alat penangkapan tuna lebih maju. Deskripsi perkembangan perikanan tuna merupakan rekaman sejarah sejak
perikanan tuna mulai dikembangkan di Indonesia hingga kondisi tahun 2010. Data jumlah kapal Indonesia yang terdaftar di RFMO IOTC diperoleh dari Direktorat Sumber Daya Ikan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap.
dari
perkembangan tersebut, peneliti mencoba mengukur sejauh mana manfaat yang diharapkan sudah dicapai atau terwujud pada tahun 2010. Atau sejauh mana keanggotaan memberikan kontribusi terhadap perkembangan terakhir perikanan tuna nasional.
22
Pengukuran manfaat juga dilakukan dengan membandingkan akibat dari Indonesia tidak bergabung terhadap akibat jika Indonesia bergabung menjadi anggota IOTC. Pengukuran ini tidak dibatasi untuk kondisi terakhir perikanan tuna sekarang, tetapi juga untuk perkiraan kondisi perikanan tuna di masa yang akan datang, misalnya 5-10 tahun ke depan.
3.3 Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan alat penelitian yang berupa daftar pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diperoleh dari: (1) penjelajahan internet, (2) studi pustaka, (3) wawancara kepada para pelaku proses pengajuan keanggotaan Indonesia di IOTC, (4) wawancara dan kunjungan pada perusahaan-perusahaan penangkap tuna yang berkantor di Jakarta.
Pelaku-pelaku proses pengajuan
keanggotaan mungkin sudah tidak lagi berdinas atau aktif dalam bisnis, namun mereka tetap diwawancarai.
Dokumen resmi dipelajari pada instansi-instansi
yang terkait dan wawancara dilakukan kepada para pejabat-pejabat yang berwenang saat ini. Situs yang dikunjungi adalah www.iotc.org yang merupakan situs resmi dari IOTC (Indian Oceans Tuna Comission). Penulis dapat mengakses gambaran umum dari organisasi tersebut di situs ini, kegiatan organisasi dan laporan setiap pertemuan. Sedangkan instansi yang dikunjungi adalah Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Luar Negeri, Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman di Muara Baru. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan para tokoh yang berkompeten di bidang perikanan. Mereka terdiri dari mantan menteri perikanan dan kelautan, pejabat perikanan, akademisi, peneliti dan aktifis lingkungan (Tabel 3).
23
Tabel 3 Daftar narasumber yang diwawancarai No
Nama
Profesi/Jabatan
1. 2. 3.
Prof.Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Ir. Agus Budiman, MAq Abdulah Habibi
4.
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
5. 6.
Prof. Dr. Daniel Monintja Drs. Soetomo, HP,BSc
7.
Dr. Suseno
Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Kabinet Gotong Royong Direktur Sumberdaya Ikan, KKP Capture Fisheries Coordinator, WWF Indonesia Wakil Kepala PKSPL IPB Anggota Komisi Tuna Indonesia Guru Besar FPIK, IPB Direktur Eksekutif Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Ketua Delegasi Indonesia/Staf Ahli MKP Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya DKP
3.4 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan mengkaji jawaban narasumber terhadap pertanyaan kunci yang diajukan yang dijabarkan dalam sebuah kuesioner yang akan membantu peneliti dalam wawancara. Dari jawaban narasumber tersebut dianalisis manfaat keanggotaan Indonesia di IOTC selain itu dokumen nyata dari IOTC juga digunakan untuk mempertajam analisis data.
24
4 INDIAN OCEAN TUNA COMISSION Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) merupakan organisasi pemerintahan yang dibentuk oleh FAO. Organisasi ini mempunyai mandat mengatur pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia dan daerah yang berbatasan dengan Samudera Hindia tersebut. IOTC disahkan oleh FAO pada sesi ke 26 tahun 1994. Agreement IOTC mulai berlaku efektif setelah ada aksesi ke-9 pada bulan Maret 1996. IOTC merupakan institusi regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia (Gambar 2).
Gambar 2 Cakupan Kawasan Pengelolaan IOTC. Sumber: FAO (2002)
25
4.1 Visi dan Misi IOTC Sebagaimana layaknya organisasi pada umumnya, IOTC juga memiliki visi dan misi. IOTC memiliki visi untuk menciptakan perikanan yang berkelanjutan, khususnya di Samudera Hindia, dan menjaga pelestarian perikanan tuna dan sejenisnya dengan melakukan pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan sumberdaya dengan optimal (www.iotc.org). Misi yang dilakukan oleh IOTC, di antaranya adalah: 1.
Melakukan peninjauan terhadap kondisi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya
di
Samudera
Hindia,
mengumpulkan,
menganalisis
dan
menyebarkan informasi ilmiah dan data yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di kawasan pengelolaan IOTC. 2.
Mendorong, merekomendasikan, dan mengkoordinasikan penelitian dan kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya, pengembangan teknologi baru, pelatihan dan peningkatan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan secara adil dan merata terhadap negara anggota IOTC dengan memperhatikan kebutuhan khusus dari negara berkembang untuk pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di wilayah IOTC tersebut.
3.
Memelihara dengan dasar ilmiah bukti konservasi dan kegiatan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya di kawasan pengelolaan IOTC sebagai bahan promosi kegiatan yang dilakukan oleh IOTC
4.
Selalu meninjau aspek ekonomi dan sosial dari perikanan berdasarkan saham yang tercakup dalam konvensi ini, khususnya pengembangan negara-negara pesisir.(www.iotc.org)
4.2 Keanggotaan di IOTC Keanggotaan IOTC terdiri dari negara-negara pesisir yang terletak di dekat Samudera Hindia, negara atau organisasi ekonomi regional yang menjadi anggota PBB atau salah satu dari badan khusus PBB yang melakukan penangkapan tuna di Samudera Hindia (www.iotc.org).
26
Status keanggotaan di IOTC terdiri dari dua yaitu member country yang berjumlah 28 negara dan cooperating non-contracting party yang berjumlah 3 negara. Member country merupakan anggota penuh IOTC mempunyai kewajiban membayar iuran anggota dan memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat di pertemuan IOTC serta mendapatkan kuota penangkapan. Cooperating noncontracting party merupakan negara yang kooperatif dengan IOTC. negara ini tidak membayar iuran, namun datang ke pertemuan IOTC dan mendapatkan kuota penangkapan namun jumlahnya tentu lebih sedikit dengan member country. Daftar negara anggota IOTC disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Daftar negara anggota tanggal mereka bergabung menjadi anggota Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) No. Tahun (tanggal) Negara Kedekatan Jenis Negara dengan Samudera Hindia 1 13 Nov 1996 Australia Ya Negara penangkap, dan pengekspor tuna 2 Mei 2007 Belize Tidak Menangkap dan konsumen tuna 3 14 Oktober 1998 Cina Tidak Pengekspor tuna. 4
14 Agustus 2001
Comoros
Ya
5 6
9 Agustus 1994 27 Oktober 1995
Tidak Tidak
7
3 Desember 1996
Eritrea European Community Perancis
8 9
31 Januari 2005 13 Maret 1995
Guinea India
Tidak Ya, berbatasan langsung
10
09 Juli 2007
Indonesia
Ya, berbatasan langsung
11
26 Juni 1996
Jepang
Tidak
Tidak
Penangkap dan pengekspor tuna. Negara pengekspor Negara pengekspor Negara pengekspor tuna beku dan kaleng Pengekspo tuna Menangkap dan ekspor tuna Menangkap, mengolah dan mengekspor tuna. Melakukan penangkapan dan ekspor tuna.
27
Tabel 4. (Lanjutan) No.
Tahun (tanggal)
Negara
12
29 September 2004
Kenya
13 14
27 Maret 1996 10 Januari 1996
Korea Madagaskar
15
22 Mei 1998
Malaysia
16
27 Desember 1994
Mauritius
17
5 April 2000
Oman
Ya, berbatasan Menangkap dan langsung ekspor tuna.
18
27 April1995
Pakistan
Tidak
19
9 Januari 2004
Pilipina
Tidak
20
26 Juli 1995
Seychelles
21
01 Juli 2008
Sierra Leone
22
13 Juni1994
Srilanka
23
Sudan
24
3 Desember 1996 18 April 2007
25
17 Maret 1997
Thailand
Tidak
26
31 Maret 1995
Inggris
Tidak
27
25 Oktober 2002
Vanuatu
Tidak
28
28 Januari 2002
Iran
Tidak
Tanzania
Kedekatan Jenis Negara dengan Samudera Hindia Ya, berbatasan Melakukan langsung penangkapan dan ekspor tuna. Tidak Ekspor tuna. Ya berbatasan Melakukan langsung penangkapan dan ekspor tuna. Tidak Melakukan penangkapan tuna. Ya berbatasan Menangkap dan langsung ekspor tuna.
Ekspor tuna.
Negara pengekspor tuna. Ya, berbatasan Melakukan langsung penangkapan tuna dan ekspor tuna. Tidak Negara pengekspor tuna. Ya, berbatsan Negara penangkap langsung dan pengekspor tuna. Tidak Negara pengekspor tuna. Ya, berbatasan Negara penangkap langsung dan ekspor tuna. Negara penangkap dan pengekspor tuna. Negara Pengekspor tuna. Negara pengekspor tuna. Berkepentingan terhadap tuna di Samudera Hindia.
28
Selaain negara beranggotaa penuh di d atas, neggara yang tergolong noncontractinng parties addalah Seneggal, Afrika Selatan S dann Uruguay.
4.3 Spesiees yang Dik kelola mpok ikan yang dikellola oleh IOTC, Secaara umum ada empat jenis kelom yaitu tunaa tropis, tunna sub-tropiis (temperatte), billfish,, neritic tunnas, dan seeerfish (Gambar 3).
Jenis tuna tropiis terdiri atas a tuna sirip s kuningg/yellowfin tuna
b tunna (Thunnuus obesus) dan (Thunnus albacores),tuna matta besar/ bigeye cakalang/sskipjack tunna (Katsuwoonus pelamiis). Keloompok Tem mperate tunaas terdiri darri tuna siripp biru/southtern bluefin n tuna (Thunnus maccoyii) dan tuna sirip biru Pasifik/Pac P cific bluefinn tuna (Thu unnus orientalis)). Kelompook billfish terdiri t dari swordfish (Xiphias ggladius), settuhuk hitam/ bllack marlinn (Makairaa indica), setuhuk biru/blue b m marlin (Ma akaira nigricans)), setuhuk loreng/ striped s ma arlin (Tetraapturus auudax) dan ikan layaran/Inndo Pasific sailfish (Isstiophorus platypterus) p ). Kelomppok neritic tunas yang terdiiri dari tunaa abu-abu/ longtail tun na (Thunnuus tonggol), tongkol/ frigate fr tuna (Auxxis thazard thazard), bullet b tuna (Auxis rochhei rochei), dan kawaakawa (Euthynnuus affinis). Kelompokk seerfish terdiri daari tenggirri/narrow-barred Spanish mackerel m (Sccomberomo orus commeersoni) dan Indo Pacifiic king macckerel (Scombero omorus gutttatus).
B Billfish
Sheerfish
Tem mperate tun na
T Tuna tropis
Neritic tuuna
ndian Ocean Tuna Com mission (IOTC) Gambar 3 Jenis tunna yang dikeelola oleh In
29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil 5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye), tongkol (frigate dan bullet tuna), tongkol como/kawakawa (eastern little tuna), cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru (southern bluefin tuna), tongkol abu-abu (longtail tuna), tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Selain itu jenis billfish yang terbagi lagi menjadi tujuh spesies yaitu billfish nei, setuhuk hitam/black marlin, setuhuk biru/blue marlin, tenggiri/Indo-Pacific sailfish, short-billed spearfish, setuhuk loreng/stripped marlin dan swordfish. Jenis ikan lainnya yaitu seerfish yang terbagi menjadi empat spesies yaitu tongkol Indo-Pasifik/Indo-Pacific king mackerel, narrow-barred Spanish mackerel dan wahoo. Berikut adalah penjelasan singkat tentang jumlah produksi Indonesia dari masing masing spesies yang dikelola di perairan IOTC. Ikan jenis tuna merupakan produksi Indonesia paling banyak ditangkap di Samudera Hindia. Jenis tuna yang paling banyak diproduksi adalah kawakawa atau eastern little tuna yang setiap tahunnya menempati posisi teratas (Tabel 4). Sementara itu produksi yang jumlahnya stabil adalah jenis skipjack tuna atau cakalang (Katsuwonus pelamis) yang merupakan jenis tuna spesies kosmopolitan (Tabel 4). Sementara itu, jumlah produksi yang semakin menurun adalah jenis tuna sirip biru (southern bluefin tuna).
30
Tabel 4 Jumlah produksi tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia (Area 57), 2002-2008 Total Per Spesies Tunas
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
232 536
270 625
297 934
296 540
264 853
272 914
337 900
176 441
204 042
230 687
236 168
204 670
219 798
274 363
Albacore
11 646
10 902
2 383
12 893
8 838
Bigeye Tuna
24 132
13 337
14 247
19 733
16 615
Frigate and bullet tunas
14 970
43 012
34 810
35 848
50 526
Grand Total Tunas Total
Kawakawa / Eastern little tuna
93 023
95 080
48 866
30 311
38 576
42 553
71 835
Skipjack Tuna
41 271
50 398
50 843
48 668
50 519
51 314
56 147
Southern bluefin Tuna Longtail tuna Yellowfin Tuna
42 147
58 564
665
1 831
747
1 079
891
36 703
30 779
32 804
24 053
21 743
42 862
57 328
30 584
32 326
Tunas nei Billfish
1
Billfish Total
-
-
6 690
5 817
4 851
1 102
691
1 207
Billfish nei Black Marlin
723
464
298
7 429
1 512
1 389
101
39
64
1 422
1 060
1 395
1 994
1 328
1
181
396
466
3 177
2 653
2 496
1 752
1 839
2 491
-
Swordfish Seerfish Total
4
5
29 918
35 533
33 301
33 956
33 963
25 605
34 688
9 498
12 598
9 781
9 454
9 560
10 155
9 337
20 420
22 935
23 520
24 502
24 403
15 445
25 348
5
2
Others Total
26 176
31 049
27 256
20 599
21 369
22 149
13 892
Sharks Various nei
26 176
31 049
27 256
20 599
21 369
20 688
13 125
Non targeted
Indo-Pacific king mackerel Narrow-barred Mackerel
Spanish
Wahoo
14 957
Indo Pacific Sailfish
Striped Marlin
Other
5 363
Blue Marlin
Short-billed spearfish
Seerfish
47 769 -
Sumber: DKP (2008)
1461
767
Satuan:ton
31
Jumlah produksi (Ton)
300000 250000 200000 tunas
150000
Billfish 100000
Seerfish other
50000 0 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006 2 007 2 008 Tahun
Gambar 4. Perkembangan produksi tuna dan sejenisnya Indonesia di wilayah IOTC Ikan jenis tuna adalah komoditas
utama yang diproduksi Indonesia di
Samudera Hindia (Gambar 4). Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 337.900 ton mengalami kenaikan sebesar 19,89%. Produksi ikan jenis tuna terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 232.536 ton. Ikan jenis tuna terbagi lagi menjadi albacore, bigeye, frigate dan bullet tuna, kawakawa/ eastern little tuna, skipjack tuna, southern bluefin tuna, longtail tuna, yellowfin tuna, tunas nei. Produksi ikan jenis tuna merupakan target utama penangkapan di Samudera Hindia yang dikelola oleh IOTC. Data tertinggi menunjukkan, tuna jenis kawakawa/Eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia. Produksi jenis tuna terkecil dari tahun 2002-2008 adalah jenis southern bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke sebelah selatan pulau Jawa dan Bali. (BRPT, 2002).
32
Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 19.476 ton, sedangkan ekspor terbesar juga pada tahun yang sama, yaitu 13.049 ton (Tabel 5). Produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu 10.091 ton, dengan nilai ekspor yang juga rendah, yaitu 6.865 ton. Tabel 5 Produksi dan ekspor tuna yang dilakukan oleh perusahaan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia Tahun
Produksi (ton)
Ekspor (ton)
2005
13.686
9.776
2006
10.865
7.761
2007
10.091
6.865
2008
16.286
11.620
2009
19.476
13.049
Sumber: ATLI (2009) Ikan tuna dapat ditangkap dengan berbagai alat penangkap ikan, kecuali dengan alat penangkap ikan dasar. Cara penangkapan yang paling efektif dan efisien adalah dengan menggunakan alat tangkap longline, purse seine dan pole and line. Alat penangkap lainnya ialah dengan tonda (trolling) dan pancing (hand line). Saat ini jumlah kapal penangkap ikan Indonesia yang sudah didaftarkan di IOTC berjumlah 1193 kapal (Lampiran 2). Sebagian besar kapal tersebut (95%) mengoperasikan tuna longline, sisanya mengoperasikan purseine dan gillnet. Kapal-kapal tersebut milik perusahaan yang berdomisili di Jakarta (1136 kapal, 78%), Bali (197 kapal, 14%), Pekalongan (81 kapal, 6%) dan Cilacap (43 kapal, 3%).
Sebagian kapal tuna longline bersandar dan membongkar muatan di
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (Gambar 5,6, 7 dan 8). Di PPN tersebut terdapat berbagai fasilitas yang diperlukan oleh armada tuna longline.
33
Gambar 5. Kapal tuna longline bersandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta
Gambar 6 Bongkar muat di atas kapal tuna longline di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta
Gambar 7 Penanganan ikan dengan pemberian es curah di atas kapal tuna longline di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta
34
Gambar 8 Penyimpanan ikan tuna di ruang pendingin di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta Pasar tuna bersifat monopsoni, yaitu jumlah penjual lebih banyak daripada jumlah pembeli. Penjualan tuna internasional perlu diatur, salah satunya dengan pembentukan organisasi perikanan regional seperti IOTC. Tujuan ekspor tuna Indonesia adalah negara Jepang dan Amerika. Volume ekspor terbesar terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 131.550 ton sedangkan nilai ekspor terendah terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 91.631 ton (Tabel 5). Kenaikan ekspor pada tahun 2009 disebabkan oleh sistem manajemen perikanan tuna Indonesia yang sudah membaik. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC, sehingga Indonesia dapat melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan tuna.
35
Tabel 6 Volume ekspor komoditi perikanan jenis tuna di Indonesia. Tahun
Volume Ekspor (ton)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: KKP (2010)
92797 117092 94221 91631 91822 121316 130056 131550
5.1.2 Kegiatan yang telah dilakukan Indonesia sebagai anggota IOTC Keikutsertaan Indonesia di IOTC juga merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk berperan secara aktif dalam kerjasama dengan negara-negara lain melaksanakan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya tuna di laut lepas Samudera Hindia. Sebagai salah satu RFMO (Regional Fisheries Management Organization), yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional di bawah FAO, IOTC diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah laut lepas Samudera Hindia. Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak 28 negara full member dan 3 negara cooperating non contracting parties, dimana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Sebagai anggota yang ke-27, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: 1. Program revitalisasi perikanan tuna; 2. Penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan Active Vessel atau kapal yang resmi melakukan penangkapan tuna; 3. Penyusunan Peraturan menteri No PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas; 4. Persiapan penerapan logbook Perikanan; 5. Program outer fishing Port atau pelabuhan perikanan terluar; dan 6. Bersama Australia menyusun Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices (including combating IUU Fishing) in the
36
region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab termasuk pemberantasan illegal fishing. (www.iotc.org) Ketika masih sebagai contracting parties IOTC, Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high seas). Kewajiban Indonesia adalah melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan yang melakukan kegiatan di laut lepas.
5.1.3 Strategi Indonesia sebagai Anggota IOTC Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota IOTC memberikan banyak peluang kepada Indonesia untuk memajukan perikanan tuna Indonesia khususnya di Samudera Hindia. IOTC merupakan suatu wadah bagi Indonesia untuk memajukan perikanan tuna Indonesia di Samudera Hindia, yaitu dengan cara berinteraksi langsung dengan negara-negara pelaku penangkapan ikan tuna dan negara-negara lain yang berkepentingan dengan ikan tuna. Indonesia memiliki akses langsung terhadap Samudera Hindia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan tuna di perairan tersebut. Dalam Satria et al. (2009), Kajian Biro Hukum dan organisasi DKP (2008) menerangkan bahwa, keuntungan bagi Indonesia menjadi anggota penuh dalam IOTC antara lain: 1. Ikut serta dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan tuna melalui penetapan peraturan-peraturan; 2. Turut menentukan
kuota atas jumlah hasil tangkapan ikan tuna maupun
ekspor tuna; 3. Dapat turut aktif melakukan kegiatan penangkapan tuna di wilayah statistik FAO; 4. Merupakan media kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, TAC (total allowable catch), MCS (monitoring, controlling, surveilance) dan penegakan
hukum,
serta
pengelolaan
dan
konservasi
yang
sangat
menguntungkan Indonesia. Semua kegiatan ini membutuhkan tenaga ahli, waktu dan biaya yang sangat mahal jika dilakukan sendiri tanpa menjadi anggota;
37
5. Pengumpulan data perikanan di samudera Hindia dan laut lepas lebih mudah dan murah dilakukan, karena dilakukan secara bersama-sama dengan negara lain melalui organisasi IOTC; 6. Terhindar dari embargo atas ekspor tuna dari Indonesia; 7. Dapat ikut serta mengatur pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan samudera Hindia.; 8. Menanggulangi IUU Fishing; dan 9. Pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di laut lepas samudera Hindia.
5.1.4 Pendapat ahli perikanan terhadap keanggotaan Indonesia di IOTC Para ahli perikanan berpendapat ada sejumlah manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Pernyataan mereka tersebut disajikan pada Tabel 7. Paling sedikit ada 13 jenis manfaat yang diperoleh Indonesia dengan bergabung pada IOTC (Tabel 7). Hal ini dinyatakan oleh setiap narasumber sebagai pernyataan yang saling melengkapi.
Narasumber SS (Dr. Suseno)
memberikan jawaban terlengkap, yaitu sebanyak 9 manfaat. Manfaat itu antara lain terhidar dari praktek IUU, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di samudera Hindia, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat status posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development, nelayan high sea Indonesia lebih dapat diterima di negara lain, dan pro sustainable development. Prof Dr. Rokhmin Dahuri, MS, selaku mantan Menteri dan Kelautan dan Perikanan, menyatakan ada sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia dengan bergabungnya Indonesia di IOTC, manfaat itu antara lain, kemudahan dalam pemasaran tuna, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat, dan Indonesia mendapatkan white list sebagai negara eksportir tuna.
38
Narasumber lainnya, Prof. Dr. Daniel Monintja selaku guru besar FPIK IPB (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) IPB, mengutarakan sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia, antara lain kemudahan pemasaran tuna, terhindar dari praktek IUU, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development, program pelestarian perikanan tuna di Samudera Hindia dan Indonesia masuk dalam white list sebagai negara eksportir tuna. Manfaat Indonesia dalam memasuki organisasi internasional dapat dilihat dari empat segi (politik, ekonomi, sosial budaya dan kemanusiaan) (Deplu, 2009). Begitu juga dengan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Indonesia memperoleh manfaat dari segi politik, ekonomi sosial budaya dan kemanusiaan. Manfaat tersebut dijabarkan pada sub Bab 5.2.3. Tabel 7 Pernyataan ahli perikanan manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC Manfaat yang diperoleh Indonesia 1. Kemudahan pemasaran tuna 5. Terhindar dari praktek IUU 3. Ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia 5. Memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC 6. Melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia 7. Indonesia memiliki bargaining position yang kuat. 8. Banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia 9. Memperkuat posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development 10. NNelayan high sea Indonesia lebih dapat diterima di negara lain 11. Membangun budaya outward looking di high sea 12. Pro sustainable development 13. Program pelestarian perikanan tuna di Samudera Hindia 14. Indonesia mendapatkan white list sebagai negara eksportir tuna
RD √ √
SS √ √
√
AB √
DM √ √
AH
ST √
LA √ √
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√ √ √ √ √
√
√
√
√ √
39 Keterangan: RD: SS: AB: DM: AH: ST: LA:
Prof. Dr Rokhmin Dahuri, MS (Mantan Mentri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong) Dr. Suseno (Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya) Ir. Agus Budiman MAq (Direktur Sumberdaya Ikan KKP) Prof Daniel Monintja (Guru Besar FPIK IPB) Abdullah Habibi (Capture Fisheries WWF) Drs. Soetomo, HP.BSc (Direktur Eksekutif ATLI/ Asosiasi Tuna Longline Indonesia) Dr. Luky Adrianto (Anggota Komisi Tuna Indonesia)
5.2 Pembahasan Manfaat ekonomi dari keanggotaan Indonesia dapat dilihat dari produksi dan ekspor tuna Indonesia. Manfaat keanggotaan dapat dilihat dari jumlah ekspor tuna Indonesia sejak Indonesia bergabung di IOTC. Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukan selama tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor terbesar yakni sebesar 11.620 ton pada tahun 2008 dan 13.049 ton pada tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga upaya penangkapan optimal. Selain itu pada tahun 2007 Indonesia bergabung menjadi anggota tetap IOTC
otomatis Indonesia
memiliki akses pasar yang resmi dalam pemasaran tuna yang bersifat monopsoni (jumlah pembeli lebih sedikit daripada jumlah penjual). Volume produksi perikanan merupakan salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan perikanan yang diterapkan. Bergabungnya Indonesia di dalam IOTC merupakan sebuah keputusan politik perikanan dimana jumlah produksi merupakan salah satu yang perlu diperhatikan. Penyebaran tuna terbesar di laut Indonesia terdapat di Samudera Hindia, hal ini jugalah yang menjadi faktor bergabungnya Indonesia di IOTC, suatu organisasi perikanan regional. Produksi tuna secara keseluruhan terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 337.900 ton mengalami kenaikan sebesar hampir 20% (Tabel 3). Indonesia baru bergabung di IOTC pada tahun 2007, selama satu tahun bergabungnya Indonesia di IOTC terlihat peningkatan produksi tuna di kawasan Samudera Hindia. Hal ini membuktikan adanya pengaruh terhadap produksi perikanan tuna Indonesia dengan bergabungnya Indonesia di IOTC. Selain itu, pada tahun 2008 kegiatan utama IOTC terfokus kepada pengelolaan hasil tangkapan jenis utama, yakni tuna. Hal ini terbukti dengan beberapa pertemuan
40
IOTC yang membahas mengenai tagging tuna, membahas mengenai data statistic temperature tuna dan hal-hal lainnya yang memang difokuskan terhadap peningkatan produksi tuna (www.iotc.org). Hal ini memberikan kontribusi pada peningkatan produksi. Kenaikan produksi tuna di Indonesia khususnya di Samudera Hindia disebabkan oleh banyak faktor antara lain bargaining position yang lebih kuat pada tahun 2007 di IOTC. Selain itu, musim penangkapan tuna yang lebih baik pada tahun 2007-2008. Semenjak Indonesia bergabung dengan IOTC, manajeman penangkapan ikan tuna di Indonesia lebih terkoordinir seperti pengisian logbook perikanan. Salah satu kewajiban setiap anggota IOTC adalah membayar iuran wajib sebesar 2 milyar/ tahun. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor atau penjualan tuna Indonesia, angka ini menguntungkan. Berikut contoh perhitungannya: Besar iuran (US$ 200.000)
: Rp 2.000.000.000/ tahun
Volume ekspor tuna/ tahun di Samudera Hindia : 95.000 ton=95.000.000 kg Harga 1 kg tuna segar Devisa =
: 1000 yen=Rp 90.000,-
95.000.000 kg X Rp 90.000,-/kg = RP 8.550.000.000.000,-
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa dengan iuran hanya sebesar 0,02% dari pendapatan total ekspor, diperoleh devisa yang sangat signifikan. Selain itu, manfaat ekonomi dapat dilihat dari akses pasar. Sifat pasar dari perikanan tuna merupakan pasar monopsoni, yaitu jumlah pembeli lebih banyak dari jumlah penjual. Untuk itu pemasarannya diatur oleh IOTC, hanya negara yang menjadi anggota IOTC saja yang dapat mengekspor tuna. jika negara tersebut tidak terdaftar, maka produknya akan di black list di pasar Internasional. Sebagai anggota resmi IOTC, maka produk tuna Indonesia legal di pasar internasional. Sebagai anggota penuh IOTC Indonesia dapat menjual tuna di pasar Internasional. Produksi ikan jenis tuna merupakan target utama penangkapan di Samudera Hindia yang dikelola oleh IOTC. jenis tuna ini terbagi lagi menjadi albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye), frigate dan bullet tuna, kawakawa/ eastern little tuna, cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru (southern bluefin tuna), tuna abu-abu (longtail tuna), tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Data tertinggi
41
menunjukkan, tuna jenis kawakawa/eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia. Ikan jenis ini merupakan tuna kecil yang hidup bergerombolan. Tuna jenis kawakawa/Eastern little tuna memiliki jumlah yang cukup banyak tersebar di Samudera Hindia. Penangkapannya juga tidak sesulit tuna jenis lainnya. Alat tangkap yang digunakan dapat beragam antara lain jaring insang hanyut dan purse seine. Sehingga jumlah produksi ikan jenis ini cukup besar di Samudera Hindia. Cakupan jenis tuna yang dikelola IOTC cukup banyak, hampir seluruh jenis yang ada di samudera Hindia. Namun ada satu jenis yang mendapat perhatian khusus walaupun volume produksinya kecil, yaitu southern bluefin tuna. Produksi jenis tuna terkecil dari tahun 2002-2008 adalah jenis Southern bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah Selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke perairan Selatan Jawa dan Bali. (BRPT, 2002). Kecilnya produksi tuna sirip biru (Thunnus thynnus) disebabkan oleh jumlah tuna spesies ini yang sangat terbatas di samudera Hindia, sedangkan banyak pengusaha perikanan tuna yang menjadikan tuna sirip biru sebagai target utama penangkapan, karena harganya yang sangat tinggi, terutama oleh pengusaha tuna yang berasal dari Taiwan, Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Australia. Oleh sebab itu, dibentuklah suatu komisi yang disebut Convention of Southern Bluefin Tuna untuk mengelola secara bersama-sama sumberdaya yang sangat penting dan populasinya sudah sangat menurun (BRPT, 2002) Sejak Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh (full member) IOTC ke 27 pada tanggal 9 Juli 2007, maka keanggotaan tesebut memberikan manfaat politik. Terdaftarnya Indonesia sebagai full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 tahun 2004 yang dirubah menjadi UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk ikut secara
aktif
dalam
keanggotaan
badan/lembaga/organisasi
internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan.
regional
dan
Manfaat itu
sekaligus memperkokoh posisi Indonesia sebagai pelaku utama perikanan (major
42
fishing player) berbasis pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fishing development). Hal ini disebabkan oleh bargaining position Indonesia yang kuat setelah resmi menjadi anggota IOTC. selain itu penegakan hukum terhadap pelaku IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) fishing khususnya tuna dapat dilaksanakan. Pada umumnya kebijakan atau program yang dibentuk oleh IOTC bertujuan untuk kelestarian sumberdaya ikan tuna yang berada di Samudera Hindia. Indonesia masih terhitung baru bergabung di organisasi ini. Untuk itu keanggotaan Indonesia harus dioptimalkan, karena program kerja IOTC bertujuan untuk kelestarian sumberdaya perikanan tuna di Samudera Hindia. Saat ini kebijakan IOTC yang diadopsi oleh Indonesia yakni mekanisme hasil tangkapan dengan logbook. Implementasi ini dilaksanakan dengan baik untuk ukuran kapal besar >30 GT, untuk dibawah itu implementasi masih belum bisa dilaksanakan karena masih kewenangan propinsi dan kabupaten. Langkah ini merupakan pelaksanaan kelestarian sumberdaya ikan tuna Indonesia yang ada di Samudera Hindia. Karena dengan adanya log book pemerintah memiliki acuan untuk membuat kebijakan dan pengelolaan yang bertujuan untuk kelestarian sumberdaya ikan tuna. Sehingga Indonesia dapat membangun perikanan yang pro sustainable development yaitu pembangunan yang berbasis lingkungan. Bergabungnya Indonesia di IOTC, juga berpengaruh terhadap sosial dan budaya Indonesia, khususnya di bidang perikanan tuna. walaupun pengaruhnya belum begitu besar, mengingat Indonesia baru bergabung di organisasi tersebut. Pengaruh itu dapat berupa bantuan teknis perikanan tuna yang diberikan oleh IOTC, seperti bantuan pelaksanaan pencatatan logbook. Secara budaya, dengan bergabungnya di IOTC, Indonesia dapat membangun budaya outward looking di high sea. Dengan banyaknya keuntungan yang diperoleh Indonesia sebagai anggota penuh IOTC maka Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Indonesia harus melakukan strategi sebagai anggota penuh IOTC antara lain; 1. Menghadiri
pertemuan
IOTC
dengan
mengirimkan
perwakilan
yang
berkompeten. Karena di pertemuan IOTC, Indonesia dapat menyumbangkan
43
pemikiran dan memperjuangkan eksistensi perikanan tuna Indonesia khususnya di samudera Hindia. 2. Selalu memperbaharui data perikanan tuna Indonesia, khususnya di samudera Hindia yang mencakup jumlah produksi tuna, produktivitas ikan tuna, jumlah alat tangkap, jumlah kapal dan potensi penangkapan ikan. 3. Serius dalam memerangi IUU (Illegal, Unregulated, Unreported) Fishing dengan melaksanakan aturan dengan tegas. 4. Penguatan armada penangkapan tuna Indonesia. 5. Meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
pelaku
perikanan
tuna
(pengusaha, pemerintah dan nelayan penangkap tuna)
44
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC adalah sebagai berikut: 1.
Dari aspek politik, keanggotaan di IOTC memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara pelaku utama penangkapan ikan (major fishing player) yang memperhatikan keberlanjutan (sustainable fisheries development).
2.
Dari segi ekonomi, Indonesia memiliki akses terhadap jaringan pemasaran Dari segi sosial, nelayan samudera (high seas) Indonesia tidak terkucil (isolated) karena dapat diterima dan mendapat pelayanan di negara lain karena mematuhi tata nilai yang dibangun dunia atau RFMO.
3.
Ditinjau dari sisi budaya, nelayan Indonesia menjadi semakin memiliki wawasan ke luar (outward looking), tidak hanya terfokus pada perairan pedalaman atau perairan teritorial saja.
4.
Dari segi lingkungan, pembangunan perikanan Indonesia dijalankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberkelanjutan (sustainable development).
6.2 Saran Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan kekuatan sumber daya manusia yang menjadi anggota Delegasi Republik Indonesia dalam rapat-rapat atau pertemuan IOTC. Kiranya delegasi tersebut perlu memiliki sebuah komposisi yang terdiri atas perwakilan Kementrian Kelautan dan Perikanan, Lembaga Penelitian Indonesia, Kementrian Keuangan, Kejaksaan Agung, asosiasi dan perguruan tinggi. Kekuatan ini sangat penting mengingat keanggotaan Indonesia di IOTC merupakan pintu gerbang Indonesia dalam
memperjuangkan
kepentingan ekonomi dan upaya pelestarian sumberdaya ikan tuna di Samudera Hindia yang sangat penting dan bermanfaat bagi Indonesia.
45
DAFTAR PUSTAKA Agoes ER. 1991. Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal. Bandung. Abardin. [Anonimous].2008.Manfaat Organisasi Internasional. [terhubung tidak berkala]. www.deplu.go.id [15 Juli 2010] [Anonimous]. 2009. Indonesia Lebih Aktif Turut Mengelola Perikanan [terhubung tidak berkala] . www.p2sdkpkendari.com. [10 Oktober 2010]. [Anonimous]. 2010. [terhubung tidak berkala] www.iotc.org [10 Agustus 2010]. Boer M.2009. Hukum Intenasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2000. Brown ED. 1994.the International Law of the Sea: Volume 1 Introductionary Manual, England, Dartmouth. [BRPT] Balai Riset Perikanan Tangkap.2002 de Fontaubert C and Lutchman I. 2003. Achieving Sustainable Fisheries: Implementing the New International Legal Regime, IUCN-The World conservation Union, Cambridge-UK, 2003. DKP. 2002. Musim Penangkapan Ikan. Balai Pusat Riset Perikanan Laut, Jakarta: Balai Riset Perikanan Tangkap. Djalal H.2004.Piracy in South East Asia:Indonesian & Regional Responses, Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Vol 1, Nomor 3, April 2004. FAO. 2005. Review of the State of World Marine fishery Resource, Publishing Management Service Information Division, FAO, Rome FAO. 2002. Global Overview of Straddling and Highly Migratory Fish Stocks, Publishing Management Service Information Division, FAO, Rome Kepres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Menengah Kepres Nomor 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional. Kuemlangan B. 2001.“Option for Implementation of Certain International and Regional Fisheries by Indonesia”, makalah disampaikan pada Indonesia
46
National Conference on Fisheries Legislation, yang diselenggarakan oleh DKP, Jawa Barat, Indonesia, 25-27 September 2001. Purwito M.2005. Implementation of the Conduct for Responsible Fisheries in the Marine Fisheries Sector, Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Vol 2, Nomor 3, April 2005. Satria A, Angraeni E dan Solihin A. 2009. Globalisasi Perikanan:Reposisi Indonesia?. Bogor. IPB PRESS. Tampubolon SM.1983. Ikan Tuna dan Perdagangannya. Bogor.Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tarafsofsky
R.2007.Enhancing
the
Effectiveness
of
Regional
Fisheries
Management Organizations through Trade and Market Measure. Paper. Chatam House. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 www.deplu.go.id Xue GF.2004.China’s Response to International Fisheries Law and Policy: National action and Regional Cooperation, Dissertation, University of Wollonggong, Australia, 2004.
47
Lampiran 1 Catatan Wawancara/Komunikasi Penelitian Pandangan tokoh perikanan yang diwawancarai mengenai keanggotaan Indonesia di IOTC 1 Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Kabinet Gotong Royong. Bergabungnya Indonesia di IOTC, sebenarnya sudah merupakan keharusan. Karena jika Indonesia tidak bergabung, maka Indonesia tidak memiliki hak suara dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Samudera Hindia, walaupun laut kita adalah spawning ground dari ikan tuna tersebut. Selain itu Indonesia juga tidak dapat melakukan penjualan produk tuna ke luar negeri. Jadi pertimbangan Indonesia untuk menjadi anggota tetap IOTC (contracting patie) ditinjau dari dua segi, 1.
Segi
pemanfaatan sumberdaya, Indonesia memilik hak untuk melakukan
penangkapan tuna di Samudera Hindia, dan tidak dinyatakan illegal, karena peraturan di IOTC menyatakan negara yang tidak menjadi anggota dari IOTC jika melakukan penangkapan di wilayah IOTC dinyatakan illegal. 2.
Segi ekonomi, dari segi ekonomi dititik beratkan kepada marketing (pemasaran) produk tuna, mengingat konsumen terbesar produk tuna adalah pasar Internasional. Jika Indonesia tidak bergabung di IOTC maka produk tuna Indonesia akan diembargo sehingga susah untuk menembus pasar Internasional, seperti Jepang, Taiwan dan Uni Eropa. Selain itu dari segi politik mendatangkan manfaat ke Indonesia dengan
bergabungnya Indonesia di IOTC. Indonesia memiliki bargaining position dalam pertemuan atau rapat IOTC. Indonesia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat demi keberlanjutan kelestarian perikanan tuna Indonesia di Samdera Hindia yang jumlahnya semakin menurun.
48
2 Dr. Suseno (Staf Ahli Mentri Kelautan dan Perikanan Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya KKP) mengenai keanggotaan Indonesia di IOTC Bergabungnya Indonesia di IOTC merupakan keputusan yang tepat karena jika Indonesia tidak bergabung maka Indonesia harus tetap melaksanakan keputusan IOTC atau RFMOs tanpa mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan. Jika tidak bergabung tentu akan menyebabkan kerugian terhadap laut Indonesia yang merupakan spawning ground dari ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting di bagian Selatan Jawa. Indonesia resmi menjadi anggota tetap IOTC pada tahun 2007. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2007 baru diperoleh kesepamahaman antara berbagai pihak khususnya instansi terkait tentang pentingnya Indonesia bergabung IOTC. Sebelum dan sesudah Indonesia bergabung di IOTC terdapat perbedaan terhadap kondisi perikanan tuna Indonesia di Samudera Hindia. Sebelum bergabung, seluruh armada perikanan tuna di IOTC convention area berpotensi terancam dimasukkan dalam IUU list. Dengan bergabung, Indonesia dapat mempertahankan armadanya di IOTC convention area melalui mekanisme pelaporan di IOTC. Selain itu dilihat dari bargaining position (posisi tawar) setelah Indonesia bergabung di IOTC, posisi Indonesia semakin diakui dan kuat ditunjukkan semakin banyaknya kerjasa sama teknik lingkup IOTC dan Indonesia. Manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC dapat dilihat dari segi politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Manfaat dari segi politik, memperkokoh posisi kepada dunia bahwa Indonesia adalah major fishing player berbasis sustainable fisheries development. Segi sosial, nelayan high seas Indonesia lebih dapat diterima di negara lain karena merepresentasikan negara yang bertanggung jawab terhadap pembangunan berkelanjutan. Ditinjau dari sisi budaya, kita membangun budaya outward looking di high seas. Lingkungan : pros sustainable development. Demi efektivitas keanggotaan Indonesia di IOTC setiap pertemuan IOTC Indonesia dituntut menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sistematis dan melibatkan instansi terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Kementrian Keuangan, Kejaksaan, asosiasi dan perguruan tinggi.
49
3 Ir. Agus Budiman MaQ, Direktur Sumber Daya Ikan, Kementrian Kelautan dan Perikanan terhadap keanggotaan Indonesia di IOTC. Faktor penting kenapa Indonesia harus bergabung di IOTC adalah agar produk tuna Indonesia dapat dijual di pasar Internasional, atau dengan kata lain adanya akses pasar terhadap penjualan tuna Indonesia. Jika Indonesia tidak menjadi anggota IOTC, maka Indonesia tidak bisa menjual tuna. Indonesia baru menjadi anggota tetap di IOTC resmi pada tahun 2007, hal ini disebabkan oleh adanya keputusan presiden, bahwa setiap keanggotaan organisasi Internasional harus melalui persetujuan Kementrian Luar negeri. Hal ini menyebabkan proses adminitrasi yang cukup panjang di Kementrian Luar negeri. Jenis tuna yang menjadi target utama penangkapan di perairan Samudera Hindia adalah jenis albakora dan tuna sirip kuning. Penentuan jumlah kuota hasil tangkapan merupakan pertimbangan suatu anggota organisasi perikanan regional dalam memasuki sebuah organisasi perikanan regional. Di IOTC hingga saat ini penentuan kuota belum ada. Sistim pembagian hasil tangkapan tiap anggota memakai sistim Olympic Greece atau dengan bahasa yang sederhana siapa cepat ia akan dapat. Namun pada tahun 2011 nanti pada pertemuan tahunan IOTC atau yang lebih dikenal dengan scientific comitee akan dibahas sistim pembagian kuota hasil tangkapan. Disanalah, Indonesia nantinya akan berjuang menentukan kuota hasil tangkapan yang ideal dan sesuai dengan harapan pembangunan perikanan tuna Indonesia. Untuk itu tim Indonesia harus mempersiapkan kemampuan dalam penentuan kuota ini. Karena setiap negara akan mengirimkan tim terbaiknya karena pertemuan ini merupakan hal yang sangat krusial dan setiap anggota memilki kepentingan masing masing. Sepanjang pertemuan IOTC negara Jepang dikenal sebagai negara yang sangat antusias dalam mendelegasikan timnya. Terbukti dari setiap pertemua IOTC Jepang selalu mengirimkan perwakilannya lebih dari 10 perwakilan, yang pembagian kerjanya sudah diatur sedemikian rupa. Hal ini sangat berbeda sekali dengan Indonesia yang hanya mengirimkan perwakilan satu atau dua orang saja.
50
Indonesia cukup antusias dengan keanggotaannya di IOTC, sampai saat sekarang ini sudah 1193 kapal yang didaftarkan di IOTC. Pada tahun tahun 2011 pemerintah akan menargetkan 3000 kapal yang akan didaftarkan di IOTC. Sebagaimana layaknya organisasi pada umumnya, sebagai anggota Indonesia wajib membayar iuran di IOTC, besar iuran per tahun adalah dua milyar rupiah. 4
Prof. Daniel Monintja (Guru Besar FPIK-IPB) mengenai keanggotaan
Indonesia di IOTC Keanggotaan Indonesia di IOTC dipandang dari segi keilmuan perikanan keanggotaan Indonesia sangat diperlukan karena Indonesia dengan sendirinya telah mematuhi CCRF. Dimana di dalam CCRF setiap negara yang diwajibkan mengikuti sebuah organisasi perikanan regional yang mengatur keberlangsungan sumberdaya perikanan di negara tersebut karena kalau Indonesia tidak masuk banyak konsekuensi yang harus diterima, misalnya adanya bahasan di IOTC mengenai pembagian kuota penangkapan di Samudera Hindia, jika Indonesia tidak bergabung maka IOTC
memiliki hak untuk menentukan berapa kuota
Indonesia. Hal ini tentu saja tidak bisa diprotes karena Indonesia tidak menjadi anggota IOTC. Tetapi jika Indonesia menjadi angggota IOTC, Indonesia mempunyai hak untuk memperjuangkan kuota penangkapan tuna di Samudera Hindia. Kedua jika tidak ikut produk perikanan tuna Indonesia akan diembargo karena dinyatakan illegal sehingga Indonesia tidak bisa melakukan penjualan tuna, hal ini tentu akan sangat merugikan pengusaha perikanan tuna yang tidak memiliki akses pasar dan pemerintah. Sebagai negara yang berkembang Indonesia perlu kuota yang lebih besar lagi dibandingkan dengan negara-negara maju. Saat ini kondisi Sumberdaya Manusia Indonesia yang menghadiri pertemuan IOTC masih jauh dari harapan. Kebanyakan dari mereka adalh pejabat di Departemen Kelautan dan Perikanan, yang terkadang bukan ahli di bidangnya. Lain halnya dengan negara Jepang, setiap
pertemuan
IOTC
mereka
selalu
antusias
dengan
mengirimkan
51
perwakilannya lebih dari sepuluh orang yang sudah mendapatkan pembagian tugas tersendiri di dalam pertemuan tersebut. 5 Abdullah Habibi Capture Fisheries Coordinator, WWF Indonesia mengenai keanggotaan Indonesia di IOTC Keanggotaan Indonesia di IOTC terhitung sangat baru, hal ini belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian sumberdaya tuna di Samudera Hindia yang semakin turun. Implementasi peraturan belum sepenuhnya dilaksanakan. Saat ini kebijakan di IOTC yang sudah dijalankan Indonesia dan mendukung kelestarian laut Indonesia adalah mekanisme pencatatan hasil tangkapan dengan logbook. Implementasi dilaksanakan dengan baik untuk ukuran kapal besar > 30 GT, untuk dibawah itu implementasi masih belum bisa sepenuhnya dilaksanakan mengingat untuk ukuran kapal ini dibawah kewenangan propinsi dan kabupaten. WWF sangat mengharapkan, pemerintah dapat memanfaatkan keanggotaan di IOTC dan melaksanakan kegiatan yang telah diprogramkan oleh IOTC yang bertujuan untuk pelestarian sumberdaya ikan tuna yang ada di Samudera HIndia. 6 Drs. Soetomo, HP.BSc (Direktur Eksekutif ATLI/ Asosiasi Tuna Longline Indonesia). Sebagai pengusaha perikanan tuna, ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia) mendukung masuknya Indonesia sebagai anggota tetap IOTC. Karena jika Indonesia tidak bergabung kita tidak bisa menjual tuna ke pasar Internasional seperti ke Jepang, Taiwan dan Uni Eropa. Selain itu ATLI sangat berterimakasih kepada pemerintah yang telah mendaftarkan kapal
Indonesia sehingga tidak dinyatakan illegal sehingga
pengusaha tuna dapat melakukan optimalisasi penangkapan di Samudera Hindia. ATLI sangat mengharapkan kecakapan pemerintah Indonesia di IOTC, khususnya dalam hal pelestarian perikanan tuna. Saat ini melakukan penangkapan tuna sangat sulit karena populasi tuna yang semakin menurun. Pemerintah
52
hendaknya dapat memanfaatkan kontribusinya di IOTC untuk mendapatkan solusi terbaik pelestarian tuna di Samudera Hindia. 7 Dr. Luky Adrianto selaku anggota Komisi Tuna Indonesia terhadap bergabungnya Indonesia di IOTC IOTC merupakan bagian dari RFMO (Regional Fisheries Management Organization) yang dibentuk berdasarkan implementasi dari UNCLOS 1982 sebagai wujud penciptaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Khusus IOTC dibentuk untuk menangani masalah perikanan tuna yang ada di Samudera Hindia. Ada tiga jenis transboundary species, yaitu shared stock, migrasi ikan diantara batas territorial dua negara, straddling stock, migrasi ikan diantara batas dua negara namun melewati ZEE (Zona Ekonomi Ekslusive) dan highly migratory species yaitu migrasi ikan yang bergerak kemana saja melewati batas territorial dan ZEE. Ikan yang tergolong highly migratory species adalah tuna. untuk itu pengelolaan dan konservasinya perlu diatur oleh negara-negara yang dilewati oleh ikan tersebut. Hal inilah yang menjadi prinsip pembentukan IOTC. Karena sifatnya highly migratory species maka perlu adanya pengelolaan bersama. Dengan demikian seluruh negara yang memiliki perbatasan di Samudera Hindia dan memilliki kepentingan di Samudera Hindia membentuk IOTC. Manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC adalah Indonesia mendapatkan white list yaitu daftar putih negara yang boleh melakukan penangkapan dan pemasaran tuna. Pemasaran tuna bersifat monopsoni, yaitu jumlah penjual lebih banyak dari jumlah pembeli. Sehingga IOTC membuat aturan bahwa produk tuna yang akan dijual harus didaftarkan di IOTC jika tidak maka akan di black list dan dinyatakan illegal. Selain itu manfaat lainnya adalah Indonesia mendapat kuota penangkapan yang akan dikaji pada tahun 2011 pada pertemuan IOTC. Manfaat lainnya adalah Indonesia mendapatkan jaminan hak untuk melakukan penangkapan ikan tuna tanpa dinyatakan melakukan IUU fishing. Terdapat perbedaan sebelum dan sesudah Indonesia bergabung di IOTC. Sebelum bergabung di IOTC Indonesia tidak memiliki bargaining position yang kuat untuk mendapatkan hak suara di setiap pertemuan IOTC. Pada tahun 2007
53
Indoneia resmi menjadi full member dengan status contracting parties sehingga semua hak Indonesia terpenuhi. Indonesia dapat melakukan penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna tanpa melakukan IUU fishing dan bisa melakukan pemasaran tuna yang bersifat monopsoni. Harapan dari KTI (Komisi Tuna Indonesia) ke depan adalah, dengan resminya Indonesia menjadi anggota IOTC, Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan tersebut dengan sebaik-baiknya untuk pelestarian sumberdaya tuna di Samudera Hindia. Keanggotaan Indonesia di IOTC tidak hanya terkait dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan saja namun juga tanggung jawab dari Kementrian Luar Negeri yang mencakup perjanjian internasional dan hubungan internasional.
54
Lampiran 2. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2007
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE ESTABLISHMENT OF THE INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (PERSETUJUAN TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI TUNA SAMUDERA HINDIA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin dan mendukung pengembangansumberdaya perikanan yang berkelanjutan melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan secara optimal dari potensi perikanan tuna di Samudera Hindia, telah dibentuk Organization for the Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) berdasarkan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (Persetujuan tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia) yang disahkan di Roma, Italia, tanggal 25 Nopember 1993; b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengesahkan Agreement tersebut dengan Peraturan Presiden; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia) 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE ESTABLISHMENT OF THE INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (PERSETUJUAN TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI TUNA SAMUDERA HINDIA).
Pasal 1 Mengesahkan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (Persetujuan tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia)
55
yang naskah aslinya dalam Bahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini. Pasal 2 Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Agreement dalam Bahasa Indonesia dengan naskah aslinya dalam Bahasa Inggris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, maka yang berlaku adalah naskah aslinya dalam Bahasa Inggris. Pasal 3 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, DR. HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 41
56
Lampiran 3. Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission AGREEMENT FOR THE ESTABLISHMENT OF THE INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION PREAMBLE The Contracting Parties, • Recognizing the desirability of promoting the peaceful uses of the seas and oceans, and the equitable and efficient utilization and conservation of their living resources, • Desiring to contribute to the realization of a just and equitable international economic order, with due regard to the special interests and needs of developing countries, • Desiring to cooperate with a view to ensuring the conservation of tuna and tuna-like species in the Indian Ocean and promoting their optimum utilization, and the sustainable development of the fisheries, • Recognizing, in particular, the special interests of developing countries in the Indian Ocean Region to benefit equitably from the fishery resources, • Considering the United Nations Convention on the Law of the Sea opened for signature on 10 December 1982 and, in particular, Articles 56, 64 and 116 to 119 thereof, • Considering that the conservation of tuna and tuna-like species and the sustainable and rational utilization of tuna resources in the Indian Ocean would be greatly enhanced by the establishment of cooperative measures by both the coastal states of the Indian Ocean and other States whose nationals harvest tuna and tuna-like species in the region, • Bearing in mind the Western Indian Ocean Tuna Organization Convention which was opened for signature on 19 June 1991, • Considering that the aforementioned objectives could best be achieved through the establishment of a Commission set up under Article XIV of the Constitution of the Food and Agriculture Organization of the United Nations, • Have agreed as follows: Article I. ESTABLISHMENT The Contracting Parties hereby agree to establish the Indian Ocean Tuna Commission (hereinafter referred to as the “Commission”) within the framework of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (hereinafter referred to as “FAO”).
Article II. AREA OF COMPETENCE The area of competence of the Commission (hereinafter referred to as the “Area”) shall be the Indian Ocean (defined for the purpose of this Agreement as being FAO statistical areas 51 and 57 as shown on the map set out in Annex A to this Agreement) and adjacent seas, north of the Antarctic Convergence, insofar as it is
57
necessary to cover such seas for the purpose of conserving and managing stocks that migrate into or out of the Indian Ocean. Article III. SPECIES AND STOCKS The species covered by this Agreement shall be those set out in Annex B. The term “stocks” means the populations of such species which are located in the Area or migrate into or out of the Area. Article IV. MEMBERSHIP 1. Membership in the Commission shall be open to Members and Associate Members of FAO (a) that are: (i) coastal States or Associate Members situated wholly or partly within the Area and (b) that accept this Agreement in accordance with the provisions of paragraph 1 of Article XVII. 2. The Commission may, by a two-thirds majority of its Members, admit to membership any other States that are not Members of FAO, but are Members of the United Nations, or of any of its Specialized Agencies or of the International Atomic Energy Agency, provided that such States: (a) are (i) coastal states situated wholly or partly within the area (ii) States whose vessel engage in fishing in the area for stocks covered by this agreement. (b) have submitted an application for membership and a declaration made in a formal instrument that they accept this Agreement as in force at the time of acceptance in accordance with paragraph 2 of Article XVII. 3. With a view to furthering the objectives of this Agreement, the Members of the Commission shall cooperate with each other to encourage any State or regional economic integration organization which is entitled to become, but is not yet, a Member of the Commission, to accede to this Agreement. 4. If any Member of the Commission ceases to meet the criteria set out in paragraphs 1 or 2 above for two consecutive calendar years, the Commission may, after consultation with the Member concerned,determine that the Member is deemed to have withdrawn from this Agreement effective as from the date of that determination. 5. For the purposes of this Agreement, the term “whose vessels” in relation to a Member Organization means vessels of a Member State of such Member Organization.
58
6. Nothing in this Agreement, nor any act or activity carried out in pursuance of this Agreement, shall be interpreted as changing or in any way affecting the position of any party to this Agreement with respect to the legal status of any area covered by this Agreement. Article V. OBJECTIVES, FUNCTIONS AND RESPONSIBILITIES OF THE COMMISSION 1. The Commission shall promote cooperation among its Members with a view to ensuring, through appropriate management, the conservation and optimum utilization of stocks covered by this Agreement and encouraging sustainable development of fisheries based on such stocks. 2. In order to achieve these objectives, the Commission shall have the following functions and responsibilities, in accordance with the principles expressed in the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea: (a) to keep under review the conditions and trends of the stocks and to gather, analyse and disseminate scientific information, catch and effort statistics and other data relevant to conservation and management of the stocks and to fisheries based on the stocks covered by this Agreement; (b) to encourage, recommend, and coordinate research and development activities in respect of the stocks and fisheries covered by this Agreement, and such other activities as the Commission may decide appropriate, including activities connected with transfer of technology, training and enhancement, having due regard to the need to ensure the equitable participation of Members of the Commission in the fisheries and the special interests and needs of Members in the region that are developing countries; (c) to adopt, in accordance with Article IX and on the basis of scientific evidence, conservation (d) and management measures, to ensure the conservation of the stocks covered by this Agreement and to promote the objective of their optimum utilization throughout the Area; (e) to keep under review the economic and social aspects of the fisheries based on the stocks covered by this Agreement bearing in mind, in particular, the interests of developing coastal states; (f) to consider and approve its programme and autonomous budget, as well as the accounts for the past budgetary period; (g) to transmit to the Director-General of FAO (hereinafter referred to as the “Director-General”) reports on its activities, programme, accounts and autonomous budget and on such other matters as may be appropriate for action by the Council or the Conference of FAO; (h) to adopt its own Rules of Procedure, Financial Regulations and other internal administrative regulations as may be necessary to carry out its functions; and (i) to carry out such other activities as may be necessary to fulfil its objectives as set out above.
59
3. The Commission may adopt decisions and recommendations, as required, with a view to furthering the objectives of this Agreement. Article VI. SESSIONS OF THE COMMISSION 1. Each Member of the Commission shall be represented at sessions of the Commission by a single delegate who may be accompanied by an alternate and by experts and advisers. Alternates, experts and advisers may take part in the proceedings of the Commission but may not vote, except in the case of an alternate who is duly authorized to substitute for the delegate. 2. Each Member of the Commission shall have one vote. Unless otherwise provided in this Agreement, decisions and recommendations of the Commission shall be taken by a majority of the votes cast. A majority of the Members of the Commission shall constitute a quorum. 3. The Commission may adopt and amend, as required, its own Rules of Procedure by a two-thirds majority of its Members, which Rules shall not be inconsistent with this Agreement or with the Constitution of FAO. 4. The Chairperson of the Commission shall convene an annual regular session of the Commission. 5. Special sessions of the Commission may be convened by the Chairperson of the Commission at the request of at least one-third of its Members. 6. The Commission shall elect its Chairperson and no more than (two) ViceChairpersons, each of whom shall serve for a term of two years and shall be eligible for re-election but shall not serve for more than four years in succession. In electing the Chairperson and the Vice-Chairpersons the Commission shall pay due regard to the need for an equitable representation from among the Indian Ocean States. 7. The Commission may adopt and amend, as required, the Financial Regulations of the Commission by a two-thirds majority of its Members, which Financial Regulations shall be consistent with the principles embodied in the Financial Regulations of FAO. The Financial Regulations and amendments thereto shall be reported to the Finance Committee of FAO which shall have the power to disallow them if it finds that they are inconsistent with the principles embodied in the Financial Regulations of FAO. 8. In order to ensure close cooperation between the Commission and FAO, FAO shall have the right to participate without vote in all meetings of the Commission and subsidiary bodies established in accordance with paragraph 5 of Article XII.
60
Article VII. OBSERVERS 1. Any Member or Associate Member of FAO that is not a Member of the Commission may, upon its request, be invited to be represented by an observer at sessions of the Commission. It may submit memoranda and participate without vote in the discussions. 2. States which, while not Members of the Commission nor Members or Associate Members of FAO, are Members of the United Nations, any of its Specialized Agencies or the International Atomic Energy Agency may, upon request and subject to the concurrence of the Commission through its Chairperson and to the provisions relating to the granting of observer status to nations adopted by the Conference of FAO, be invited to attend sessions of the Commission as observers. 3. The Commission may invite intergovernmental or, on request, nongovernmental organizations having special competence in the field of activity of the Commission to attend such of its meetings as the Commission may specify. Article VIII. ADMINISTRATION 1. The Secretary of the Commission (hereinafter referred to as the “Secretary”) shall be appointed by the Director-General with the approval of the Commission, or in the event of appointment between regular sessions of the Commission, with the approval of the Members of the Commission. The staff of the Commission shall be appointed by the Secretary and shall be under the Secretary’s direct supervision. The Secretary and staff of the Commission shall be appointed under the same terms and conditions as staff members of FAO; they shall, for administrative purposes, be responsible to the Director-General. 2. The Secretary shall be responsible for implementing the policies and activities of the Commission and shall report thereon to the Commission. The Secretary shall also act as Secretary to other subsidiary bodies established by the Commission, as required. 3. The expenses of the Commission shall be paid out of its autonomous budget except those relating to such staff and facilities as can be made available by FAO. The expenses to be borne by FAO shall be determined and paid within the limits of the biennial budget prepared by the DirectorGeneral and approved by the Conference of FAO in accordance with the General Rules and the Financial Regulations of FAO. 4. Expenses incurred by delegates, their alternates, experts and advisers when attending, as government representatives, sessions of the Commission, its sub-commissions and its committees, as well as the expenses incurred by observers at sessions, shall be borne by the respective governments or organizations. The expenses of experts invited by the Commission to attend, in their individual capacity, meetings of the Commission or its sub-
61
commissions or committees shall be borne by the budget of the Commission. Article IX. PROCEDURES CONCERNING CONSERVATION AND MANAGEMENT MEASURES 1. Subject to paragraph 2, the Commission may, by a two-thirds majority of its Members present and voting, adopt conservation and management measures binding on Members of the Commission in accordance with this Article. 2. Conservation and management measures for stocks for which a subcommission has been established under paragraph 2 of Article XII, shall be adopted upon the proposal of the sub-commission concerned. 3. The Secretary shall, without undue delay, notify the Members of the Commission of any conservation and management measures adopted by the Commission. 4. Subject to paragraphs 5 and 6, conservation and management measures adopted by the Commission under paragraph 1, shall become binding on Members 120 days from the date specified in the Secretary’s notification or on such other date as may be specified by the Commission. 5. Any Member of the Commission may, within 120 days from the date specified or within such other period as may be specified by the Commission under paragraph 4, object to a conservation and management measure adopted under paragraph 1. A Member of the Commission which has objected to a measure shall not be bound thereby. Any other Member of the Commission may similarly object within a further period of 60 days from the expiry of the 120-day period. A Member of the Commission may also withdraw its objection at any time and become bound by the measure immediately if the measure is already in effect or at such time as it may come into effect under this article. 6. If objections to a measure adopted under paragraph 1 are made by more than one-third of the Members of the Commission, the other Members shall not be bound by that measure; but this shall not preclude any or all of them from giving effect thereto. 7. The Secretary shall notify each Member of the Commission immediately upon receipt of each objection or withdrawal of objection. 8. The Commission may, by a simple majority of its Members present and voting, adopt recommendations concerning conservation and management of the stocks for furthering the objectives of this Agreement. Article X. IMPLEMENTATION 1. Each Member of the Commission shall ensure that such action is taken, under its national legislation, including the imposition of adequate penalties for violations, as may be necessary to make effective the provisions of this Agreement and to implement conservation and management measures which become binding on it under paragraph 1 of Article IX.
62
2. Each Member of the Commission shall transmit to the Commission an annual statement of the actions it has taken pursuant to paragraph 1. Such statement shall be sent to the Secretary of the Commission not later than 60 days before the date of the following regular session of the Commission. 3. The Members of the Commission shall cooperate, through the Commission, in the establishment of an appropriate system to keep under review the implementation of conservation and management measures adopted under paragraph 1 of Article IX, taking into account appropriate and effective tools and techniques to monitor the fishing activities and to gather the scientific information required for the purposes of this Agreement. 4. The Members of the Commission shall cooperate in the exchange of information regarding any fishing for stocks covered by this Agreement by nationals of any State or entity which is not a Member of the Commission. Article XI. INFORMATION 1. The Members of the Commission shall, on the request of the Commission, provide such available and accessible statistical and other data and information as the Commission may require for the purposes of this Agreement. The Commission shall decide the scope and form of such statistics and the intervals at which they shall be provided. The Commission shall also endeavour to obtain fishing statistics from fishing States or entities which are not Members of the Commission. 2. Each Member of the Commission shall provide to the Commission copies of laws, regulations and administrative instructions in force or, where appropriate, summaries thereof, relating to the conservation and management of stocks covered by this Agreement and shall inform the Commission of any amendment or repeal of such laws, regulations and administrative instructions. Article XII. SUBSIDIARY BODIES 1. The Commission shall establish a permanent Scientific Committee. 2. The Commission may establish sub-commissions to deal with one or more of the stocks covered by this Agreement. 3. Such sub-commissions shall be open to Members of the Commission which are coastal States lying on the migratory path of the stocks concerned in the sub-commission or are States whose vessels participate in the fisheries of these stocks. 4. A sub-commission shall provide a forum for consultation and cooperation on matters related to the management of the stocks concerned and in particular: (a) to keep under review the stocks concerned and to gather scientific and other relevant information relating to the stocks concerned; (b) to assess and analyse the conditions and trends of the stocks concerned;
63
(c) to coordinate research and studies of the stocks concerned; (d) to report to the Commission on its findings; (e) to propose such recommendations for action by the Members of the Commission as may be appropriate, including action to obtain necessary information relating to the stocks and proposals for conservation and management measures; (f) to consider any matter referred to it by the Commission. 5. The Commission may, subject to the provisions of this Article, establish such committees, working parties or other subsidiary bodies as may be necessary for the purposes of this Agreement. 6. The establishment by the Commission of any sub-commission which requires funding by the Commission, and of any committee, working party or other subsidiary body shall be subject to the availability of the necessary funds in the approved autonomous budget of the Commission or of FAO as the case may be. When the related expenses are to be borne by FAO, the determination of such availability shall be made by the DirectorGeneral. Before taking any decision involving expenditure in connection with the establishment of subsidiary bodies, the Commission shall have before it a report from the Secretary or the Director-General, as appropriate, on the administrative and financial implications. 7. Subsidiary bodies shall provide to the Commission such information regarding their activities as the Commission may require. Article XIII. FINANCES 1. Each Member of the Commission undertakes to contribute annually its share of the autonomous budget in accordance with a scale of contributions to be adopted by the Commission. 2. At each regular session, the Commission shall adopt its autonomous budget by consensus of its members provided, however, that if, after every effort has been made, a consensus cannot be reached in the course of that session, the matter will be put to a vote and the budget shall be adopted by a twothirds majority of its Members. 3. (a) The amount of the contribution of each Member of the Commission shall be determined in accordance with a scheme which the Commission shall adopt and amend by consensus. (b) In adopting the scheme, due consideration shall be given to each Member being assessed an equal basic fee and a variable fee based, inter alia, on the total catch and landings of species covered by this Agreement in the Area, and the per capita income of each Member. (c) The scheme adopted or amended by the Commission shall be set out in the Financial Regulations of the Commission. 4. Any non-Member of FAO that becomes a Member of the Commission shall be required to make such contribution towards the expenses incurred by FAO with respect to the activities of the Commission as the Commission may determine.
64
5. Contributions shall be payable in freely convertible currencies unless otherwise determined by the Commission with the concurrence of the Director-General. 6. The Commission may also accept donations and other forms of assistance from organizations, individuals and other sources for purposes connected with the fulfilment of any of its functions. 7. Contributions and donations and other forms of assistance received shall be placed in a Trust Fund administered by the Director-General in conformity with the Financial Regulations of FAO. 8. A Member of the Commission which is in arrears in the payment of its financial contributions to the Commission shall have no vote in the Commission if the amount of its arrears equals or exceeds the amount of the contributions due from it for the two preceding calendar years. The Commission may, nevertheless, permit such a Member to vote if it is satisfied that the failure to pay was due to conditions beyond the control of the Member. Article XIV. HEADQUARTERS The Commission, after consultation with the Director-General, shall determine the place of its headquarters. Article XV. COOPERATION WITH OTHER ORGANIZATIONS AND INSTITUTIONS 1. The Commission shall cooperate and make appropriate arrangements therefore with other intergovernmental organizations and institutions, especially those active in the fisheries sector, which might contribute to the work and further the objectives of the Commission in particular with any intergovernmental organization or institution dealing with tuna in the Area. The Commission may enter into agreements with such organizations and institutions. Such agreements shall seek to promote complementarity and, subject to paragraph 2, to avoid duplication in and conflict with the activities of the Commission and such organizations. 2. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights and responsibilities of other intergovernmental organizations or institutions dealing with tuna or a species of tuna in the Area or the validity of any measures adopted by such organization or institution. Article XVI. COASTAL STATES’ RIGHTS This Agreement shall not prejudice the exercise of sovereign rights of a coastal state in accordance with the international law of the sea for the purposes of exploring and exploiting, conserving and managing the living resources, including the highly migratory species, within a zone of up to 200 nautical miles under its jurisdiction.
65
Article XVII. ACCEPTANCE 1. Acceptance of this Agreement by any Member or Associate Member of FAO shall be effected by the deposit of an instrument of acceptance with the Director-General. 2. Acceptance of this Agreement by any State referred to in paragraph 2 of Article IV shall be effected by the deposit of an instrument of acceptance with the Director-General. Acceptance shall become effective on the date on which the Commission approves the application for membership. 3. The Director-General shall inform all Members of the Commission, all Members of FAO and the Secretary-General of the United Nations of all acceptances that have become effective. Article XVIII. ENTRY INTO FORCE This Agreement shall enter into force as from the date of receipt by the DirectorGeneral of the tenth instrument of acceptance. Thereafter, with respect to each Member or Associate Member of FAO or State referred to in paragraph 2 of Article IV which subsequently deposits an instrument of acceptance, this Agreement shall enter into force on the date on which such acceptance takes effect or becomes effective in accordance with Article XVII above. Article XIX. RESERVATIONS Acceptance of this Agreement may be made subject to reservations in accordance with the general rules of public international law as reflected in the provisions of Part II, Section 2 of the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969. Article XX. AMENDMENT 1. This Agreement may be amended by a three-quarters majority of the Members of the Commission. 2. Proposals for amendments may be made by any Member of the Commission or by the Director-General. Proposals made by a Member of the Commission shall be addressed to both the Chairperson of the Commission and the Director-General and those made by the DirectorGeneral shall be addressed to the Chairperson of the Commission, not later than 120 days before the Session of the Commission at which the proposal is to be considered. The Director-General shall immediately inform all Members of the Commission of all proposals for amendments. 3. Any amendment to this Agreement shall be reported to the Council of FAO which may disallow an amendment which is clearly inconsistent with the objectives and purposes of FAO or the provisions of the Constitution of FAO.
66
4. Amendments not involving new obligations for Members of the Commission shall take effect for all Members from the date of their adoption by the Commission, subject to paragraph 3 above. 5. Amendments involving new obligations for Members of the Commission shall, after adoption by the Commission, subject to paragraph 3 above, come into force in respect of each Member only upon its acceptance thereof. The instruments of acceptance of amendments involving new obligations shall be deposited with the Director-General. The DirectorGeneral shall inform all Members of the Commission and the SecretaryGeneral of the United Nations of such acceptance. The rights and obligations of any Member of the Commission that has not accepted an amendment involving new obligations shall continue to be governed by the provisions of this Agreement in force prior to the Amendment. 6. Amendments to the Annexes to this Agreement may be adopted by a twothirds majority of the Members of the Commission and shall come into force from the date of approval by the Commission. 7. The Director-General shall inform all Members of the Commission, all Members and Associate Members of FAO and the Secretary-General of the United Nations of the entry into force of any amendment. Article XXI. WITHDRAWAL 1. Any Member of the Commission may withdraw from this Agreement at any time after the expiry of two years from the date upon which the Agreement entered into force with respect to that Member, by giving written notice of such withdrawal to the Director-General who shall immediately inform all the Members of the Commission and the Members and Associate Members of FAO and the Secretary-General of the United Nations of such withdrawal. Withdrawal shall become effective at the end of the calendar year following that in which the notice of withdrawal has been received by the Director-General. 2. A Member of the Commission may give notice of withdrawal with respect to one or more of the territories for the international relations of which it is responsible. When a Member gives notice of its own withdrawal from the Commission, it shall state to which territory or territories the withdrawal is to apply. In the absence of such a statement, the withdrawal shall be deemed to apply to all the territories for the international relations of which the Member of the Commission is responsible, with the exception of territories belonging to an Associate Member which is a Member of the Commission in its own right. 3. Any Member of the Commission that gives notice of withdrawal from FAO shall be deemed to have simultaneously withdrawn from the Commission, and this withdrawal shall be deemed to apply to all the territories for the international relations of which the Member of the Commission is responsible, with the exception of territories belonging to an Associate Member which is a Member of the Commission in its own right.
67
4. Withdrawal may also take place as provided for under paragraph 4 of Article IV. Article XXII. TERMINATION This Agreement shall be automatically terminated if and when, as the result of withdrawals, the number of Members of the Commission drops below ten, unless the remaining Members of the Commission unanimously decide otherwise. Article XXIII. INTERPRETATION AND SETTLEMENT OF DISPUTES Any dispute regarding the interpretation or application of this Agreement, if not settled by the Commission, shall be referred for settlement to a conciliation procedure to be adopted by the Commission. The results of such conciliation procedure, while not binding in character, shall become the basis for renewed consideration by the parties concerned of the matter out of which the disagreement arose. If as the result of this procedure the dispute is not settled, it may be referred to the International Court of Justice in accordance with the Statute of the International Court of Justice, unless the parties to the dispute agree to another method of settlement. Article XXIV. DEPOSITARY The Director-General shall be the Depositary of this Agreement. The Depositary shall: (a) send certified copies of this Agreement to each Member and Associate Member of FAO and to such non-Member States as may become party to this Agreement; (b) arrange for the registration of this Agreement, upon its entry into force, with the Secretariat of the United Nations in accordance with Article 102 of the Charter of the United Nations; (c) inform each Member and Associate Member of FAO which has accepted this Agreement and any non-Member State which has been admitted to membership in the Commission of: (i) the application of a non-Member State to be admitted to membership in the Commission; (ii) proposals for the amendment of this Agreement or of the Annexes thereto; (d) inform each Member and Associate Member of FAO and any non-Member States as may become party to this Agreement of: (i) the deposit of instruments of acceptance in accordance with Article XVII; (ii) the date of entry into force of this Agreement in accordance with Article XVIII; (iii) reservations made to this Agreement in accordance with Article XIX; (iv) the adoption of amendments to this Agreement in accordance with Article XX; (v) withdrawals from this Agreement pursuant to Article XXI; and
68
(vi) termination of this Agreement in accordance with Article XXII.