Pengaruh In-Direct Upwelling Terhadap Jumlah Tangkapan Lemuru Di Perairan Selat Bali Wingking E. Rintaka, Eko Susilo, Amandangi W. Hastuti Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jalan Baru Perancak, Jembrana, Bali, 82251 Email:
[email protected]
Abstract - In-direct upwelling in Bali Strait happened because of the influence of upwelling in southern Java-Bali especially during southeast monsoon and seen from the changes of temperature, chlorophyll-a, and nutrients. This study aims to determine the effect of in-direct upwelling on total catch of Sardinella in Bali Strait based on temperature, chlorophyll-a, and nutrients (nitrate, phosphate, silica) observations during southeast monsoon (JuneSeptember 2012). Monthly average catches data (2002-2010) used to see the maximum catch time. This research is located in latitude 8,4S–8,85S and longitude 114,40E–115,5E and using field observation when upwelling happen. Temperature and chlorophyll-a were measured by Conductivity Temperature Depth (CTD). Samples of nutrients were collected in every depth layers from 0 – 100 meters and divided into 3 zones representing of northern waters characteristic (Bali Sea), middle (The Bali Strait) and southern (Indian Ocean). The result showed that nutrient concentrations increase when concentration of nitrate, phosphate, silica and chlorophyll-a were increased, and sea surface temperature was decrease. The concentration of chlorophyll-a in 20 m which is in the southern zone directly related to the Indian Ocean and cold water mass increased in 70 m and also phosphate concentrate in 60 m. Its reinforces that on June-September in Bali Strait have been influenced by strong upwelling from Indoan Ocean followed by an increase in the number of Sardinella catched in November. The conclusion of this research is the time-lag around 2-3 months between in-direct upwelling with the maximum catch of Sardinella in Bali Strait. Keywords: in-direct upwelling, suhu, klorofil-a, nutrien, lemuru, time-lag Abstrak - In-direct upwelling perairan selat Bali terjadi karena pengaruh upwelling selatan Jawa-Bali terutama saat muson tenggara yang bisa dilihat dari perubahan suhu, klorofil-a dan nutrien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terjadinya in-direct upwelling terhadap jumlah tangkapan lemuru (Bali Sardenella) di Selat Bali berdasarkan hasil observasi suhu, klorofil-a dan nutrien (nitrat, fosfat, silika) saat muson tenggara Juni-September 2012. Data tangkapan lemuru rerata bulanan (2002-2010) untuk melihat waktu tangkapan maksimum. Lokasi penelitian dengan batas koordinat 8,4°LS– 8,85°LS dan 114,40°BT–115,5°BT. Metode yang digunakan adalah observasi lapangan saat terjadinya upwelling. Pengukuran parameter suhu dan klorofil-a menggunakan Conductivity Temperature Depth (CTD). Sampel nutrien diambil tiap layer kedalaman dari 0-100 m dibagi menjadi 3 zona
mewakili karaketistik perairan utara (Laut Bali), tengah (Selat Bali) dan selatan (Samudera Hindia) dengan asumsi 3 lokasi tersebut mendapatkan pengaruh upwelling yang berdeda dari Samudera Hindia. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi terutama peningkatan konsentrasi nitrat, fosfat, silikat dan klorofil-a serta penurunan suhu permukaan laut. Upwelling terlihat jelas di zona 3 yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia pada kedalaman 70 m dengan konsentrasi klorofil-a maksimum kedalaman 20 m dan peningkatan konsentrasi fosfat kedalaman 60 m, hal ini memperkuat bahwa pada Juni-September perairan selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling kuat dari Samudera Hindia yang diikuti peningkatan jumlah tangkapan lemuru pada November. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat time-lag ± 2-3 bulan antara terjadinya in-direct upwelling dengan jumlah maksimum tangkapan lemuru di perairan selat Bali. Kata kunci : in-direct upwelling, suhu, klorofil-a, nutrien, lemuru, time-lag
I. PENDAHULUAN Selat Bali merupakan perairan semi tertutup yang menghubungkan Laut Bali di bagian utara dan Samudera Hindia di bagian selatan. Perairan ini juga memisahkan Pulau Jawa di sisi barat dan Pulau Bali di sisi timur. Menurut [1] menyatakan bahwa perairan Selat Bali dengan kondisi batimetri yang dangkal dan sempit di bagian utara berakibat pada kecepatan arus permukaan menjadi tinggi, baik dikarenakan adanya aliran air yang masuk ke Selat Bali maupun yang keluar dari Selat Bali. Massa air yang masuk dan keluar perairan Selat Bali cenderung berasal dari massa air permukaan. Adanya sungai yang bermuara di bagian timur selat Bali juga berpengaruh terhadap karakteristik perairan. Hal inilah yang menyebabkan ketersediaan nutrien di kolom perairan yang lebih dalam tidak ikut keluar mengikuti pergerakan massa air. [2] menyatakan bahwa sirkulasi massa air di perairan Selat Bali masuk dari arah Samudera Hindia (selatan-tenggara) menuju ke Laut Bali (utara-barat laut). Salah satu parameter oseanografi yang mencirikan massa air di lautan adalah suhu perairan. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan erat dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 312 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
laut dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena-fenomena yang terjadi di laut seperti front (pertemuan dua massa air yang berbeda), arus, upwelling, sebaran suhu permukaan laut secara horizontal, dan aktifitas biologi [3]. Upwelling merupakan pengangkatan massa air dari dasar perairan ke permukaan. Pengangkatan massa air ini akibat dari kekosongan massa air permukaan. Secara fisis daerah upwelling ditandai dengan massa air dengan suhu yang lebih dingin, dan salinitas yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya. Secara kimiawi ditandai dengan tingginya kandungan plankton dan klorofil-a. Penelitian sebelumnya dilaporkan, bahwa produktifitas perairan tertinggi di selatan Jawa dan selat Bali yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Bali [4] [5]yang akan memicu indirect upwelling di selat Bali [6]. Pola ini akan muncul ketika memasuki muson tenggara (JuniOktober) yang ditandai dengan massa air permukaan di sepanjang selatan Jawa dan Bali menjadi lebih dingin dan salinitas yang lebih tinggi [7] [8] Upwelling di Selat Bali berhubungannya erat dengan kandungan plankton serta perikanan lemuru (Sardinella longicep)[9]. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terjadinya in-direct upwelling terhadap jumlah tangkapan lemuru di Selat Bali berdasarkan hasil observasi suhu, klorofil-a dan nutrien (nitrat, fosfat, silika) pada saat muson tenggara bulan Juni-September 2012. Dengan teridentifikasinya distribusi suhu, klorofil dan nutrien diharapkan nantinya bisa untuk mengidentifikasi distribusi kelimpahan lemuru di perairan selat Bali dalam rangka mendukung monitoring dan evaluasi pengelolaan sumber daya laut dan pesisir terutama perikanan lemuru yang lestari dan berkelanjutan. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Bali dengan koordinat 8,4LS – 8,85LS dan 114,40BT – 115,5BT dan terdiri dari 20 titik stasiun pengamatan dimana dibagi menjadi 3 zona (Gambar 1), masing-masing zona tersebut mewakili pengaruh perairan dari utara (Laut Bali dengan 3 stasiun pengukuran), tengah (Selat Bali dengan 7 stasiun pengukuran) dan selatan (Samudera Hindia dengan 10 stasiun pengukuran). Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni September 2012 yang mewakili muson tenggara yang mana diperkirakan terjadinya upwelling di perairan selatan Jawa dimana berdampak pada indirect upwelling di selat Bali. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain suhu, klorofila dan nutrien terutama parameter nitrat, fosfat dan silika. Data suhu dan kloforil-a didapatkan dengan cara pengukuran langsung menggunakan Conductivity Temperature Depth (CTD) dan sampel nutrien diambil tiap layer kedalaman dari permukaan (0-5 m) sampai kedalaman 100 m dari 3 zona tersebut kemudian sampel nutrien dianalisa di laboratorium kualitas Perairan Balai Penelitian dan Observasi Laut. Sebaran melintang dari data suhu, klorofil-a dan nutrien divisualisasikan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View 4 (ODV).
A
B C
Gambar 1. Pembagian Zona Stasiun Pengambilan Data
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Suhu Berdasarkan sebaran melintang terlihat bahwa suhu permukaan yang terdapat di perairan Selat Bali berkisar antara 16-26 °C seperti terlihat pada gambar 2.a-c. Perairan bagian utara (Laut Bali), suhu permukaan di kedalaman 0-20 meter berkisar antara 25-26 °C, di perairan bagian tengan (Selat bali) suhu permukaan di kedalaman 0-20 meter berkisar antara 24-26 °C, sedangkan di perairan bagian selatan (Samudera Hindia) suhu permukaan di kedalaman 0-20 meter 22-26 °C. Garis isotherm di masing-masing lokasi pengambilan data polanya sangat berbeda. Di bagian utara, stratifikasi suhu permukaan terlihat sangat jelas di masingmasing lapisan kedalaman. Hal ini berbeda dengan pola stratifikasi suhu permukaan di perairan bagian tengah (Selat Bali) dan bagian selatan (Samudera Hindia), dikarenakan pada saat muson tenggara, perairan di bagian selatan (Samudera Hindia) mengalami upwelling sehingga terjadi pengangkatan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan erat dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena-fenomena yang terjadi di laut seperti front (pertemuan dua massa air yang berbeda), arus, upwelling, sebaran suhu permukaan laut secara horizontal, dan aktifitas biologi [3]. Fenomena-fenomena laut tersebut biasanya akan terlihat dari perubahan suhu yang signifikan di perairan.
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 313 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
a)
upwelling di samudera India (terutama di selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara) akan memicu indirect upwelling di selat Bali [6]. Pada lapisan permukaan biasa disebut lapisan homogen terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus dan pasang surut sehingga dapat mencapai suhu yang seragam atau homogen. Pada daerah tropis pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 – 100 meter dengan suhu berkisar antara 26 – 30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C/m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Menurut [10] selama bertiupnya angin muson tenggara pada bulan April hingga Oktober, angin tenggara dari Australia menggerakkan upwelling, membawa air yang lebih dingin dan meningkatkan nutrien ke permukaan laut sepanjang pantai Bali hingga Sumatera. Kondisi berbalik selama bertiupnya angin muson barat (Oktober – Maret). Sebaran suhu masingmasing zona seperti terlihat pada tabel 1. TABEL 1. SEBARAN SUHU DI MASING-MASING ZONA
Zona
b)
c)
Gambar 2. Penampang Melintang Sebaran Suhu Permukaan di Lokasi Penelitian, a) Zona Utara (Laut Bali); b) Zona Tengah (Selat Bali) dan c) Zona Selatan (Samudera India)
Secara umum suhu permukaan di zona utara dan tengah memiliki kisaran suhu yang sama yaitu 26°C, sedangkan di zona selatan relative lebih rendah, hal ini disebabkan pada saat muson tenggara angin muson bergerak dari arah tenggara (Samudera India) ke arah baratdaya (keluar selat Bali di bagian utara), dinginnya massa air di bagian selatan perairan (26,78 – 26,77 0C) mengindikasikan fenomena pengangkatan massa air dalam pada perairan tersebut. Secara musiman suhu permukaan laut perairan Indonesia selama muson tenggara (Juni – Oktober) ditentukan oleh Ekman upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Laut Banda. Upwelling tersebut menyebabkan suhu permukaan laut menjadi rendah. Pada saat terjadinya
Utara Tengah Selatan
Minimum 16,33 15,63 11,98
Suhu (0C) Maksimum 27,42 26,77 26,78
Rerata 21.875 21.20 19.38
Sebaran Klorofil-a Kesuburan suatu perairan sangat menentukan jumlah biomass sumberdaya perikanan yang tumbuh di dalamnya. Tingkat kesuburan perairan biasanya dihubungkan dengan konsentrasi nutrien dalam badan perairan tersebut. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut mikroskopis yang keberadaannya sangat tergantung pada kandungan nutrien di suatu badan perairan, hal ini dikarenakan fitoplankton dapat memanfaatkan secara langsung nutrien melalui proses fotosintesis. Kemampuan fotosintesis tidak lepas dari kandungan klorofil yang dimiliki oleh fitoplankton. Salah satu jenis klorofil yang keberadaannya hampir terdapat di semua jenis fitoplankton adalah klorofil-[11]. Konsentrasi klorofil-a di selat Bali berfluktuatif dari musim kemusim namun secara umum konsentrasi klorofil-a di selat Bali cenderung lebih tinggi pada muson tenggara. Kondisi klorofil-a yang relatif tinggi di Selat Bali berdampak pada terpenuhinya kebutuhan esensial dari mata rantai ekosistem biota di daerah ini, terutama ikan pada tropik level rendah. Kondisi inilah yang memungkinkan kelimpahan ikan lemuru di Selat Bali cukup tinggi [1]. Profil melintang kloril-a digunakan untuk melihat pola pelapisan klorofil-a berdasarkan kedalaman dan perubahan konsentrasi klorofil-a dari perairan semi tertutup ke perairan terbuka maupun sebaliknya. Gambar 3 menunjukkan pola sebaran melintang klorofil-a di 3 zona pengambilan data. Berdasarkan Gambar 3a, pola sebaran melintang konsentrasi klorofil-a perairan bagian utara berkisar antara 0,2 – 3,5 mg/m3, dan terlihat adanya pola klorofil-a yang terkonsentrasi di kedalaman 20 meter dengan nilai konsentrasi klorofil-a 3,5
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 314 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
mg/m3. Selain itu, terjadi stratifikasi pola sebaran klorofil-a di masing-masing kedalaman dan menunjukkan konsentrasi klorofil-a yang menurun seiring dengan peningkatan kedalaman. Di perairan bagian tengah (Selat Bali) stratifikasi konsentrasi klorofil-a berdasarkan kedalaman terlihat lebih beragam. Di perairan yang dekat dengan Pulau Jawa terdapat konsentrasi klorofil-a maksimum dan minimum di kedalaman 20 meter, sedangkan di perairan dekat dengan Pulau Bali hanya terdapat konsentrasi klorofil-a minimum. Konsentrasi klorofil-a maksimum dan minimum di perairan bagian selatan tersebar luas dari perairan dekat dengan Pulau Jawa maupun perairan dekat dengan Pulau Bali dan terdistribusi sampai kedalaman 30 meter. Perairan bagian selatan yang mewakili Samudera Hindia sebagai pintu masuk maupun keluar sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan dapat mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Bali dipengaruhi oleh massa air yang masuk dan keluar selat, dimana massa air tersebut berasal dari massa air permukaan, sehingga ketersediaan nutrien di kolom perairan yang lebih dalam tidak ikut keluar mengikuti pergerakan massa air [1].
a)
b)
c)
Gambar 3. Penampang Melintang Sebaran Klorofil-a di Lokasi Penelitian, a) Zona Utara (Laut Bali); b) Zona Tengah (Selat Bali) dan c) Zona Selatan (Samudera India)
Konsentrasi klorofil-a di perairan bagian utara lebih tinggi dibandingkan dengan perairan bagian tengah dan selatan. Hal ini disebabkan karena di perairan bagian utara dekat dengan daratan yang menyebabkan adanya masukan nutrien dalam jumlah besar melaui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai (perairan bagian tengah dan selatan) dikarenakan tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Selain faktor daratan yang menjadi sumber masukan nutrien, tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Konsentrasi klorofil-a maksimum di zona Selatan di temukan di kedalaman 20 m, hal ini terkait dengan fenomena upwelling yang terjadi di samudera Hindia. Menurut [5] dan [12], peningkatan konsentrasi klorofil-a di Selatan Jawa dan Nusa Tenggara karena adanya mekanisme upwelling yang makin intensif. Meningkatnya kadar nutrien akan meningkatkan produktivitas primer yang menghasilkan konsentrasi klorofila tinggi. Kondisi upwelling di perairan selat Bali selain dilihat dari suhu dan klorofil-a juga bisa dilihat dari konsentrasi nutrien diperairan tersebut. Pada saat terjadi upwelling suhu permukaan laut mengalami penurunan dan diikuti peningkatan konsentrasi klorofil dan nutrien di lapisan permukaan. Kondisi nutrien yang dikaji disini adalah konsentrasi sebaran nitrat, fosfat, dan amoniak perairan selat Bali hasil pengukuran bulan Juni dan September 2012.
Sebaran Nitrat Nitrat adalah salah satu nutrien yang terkandung di dalam perairan dan merupakan bentuk nitrogen yang berperan sebagai nutrien utama pada proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton. Berdasarkan hasil analisis laboratorium dan tampilan melintang konsentrasi nitrat terilihat bahwa konsentrasi nitrat di perairan bagian utara lebih rendah yaitu 0,05 mg/l dan nilai konsentrasi nitrat semakin meningkat mendekati dasar perairan. Konsentrasi nitrat di perairan bagian utara berkiasar antara 0,005 – 0,25
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 315 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
mg/l. Berbeda dengan pola sebaran konsentrasi nitrat di perairan bagian tengah, dimana nitrat yang dekat dengan Pulau Jawa nilainya kecil yaitu berkisar antara 0 – 0,25 mg/l dan mengalami peningkatan nilai konsentrasi nitrat di perairan yang dekat dengan Pulau Bali. Kisaran konsentrasi nitrat di perairan bagian tengan adalah 0 – 2,5 mg/l. Nilai konsentrasi nitrat maksimal berada di dasar perairan yang dekat dengan Pulau Bali. Di perairan bagian selatan yang diperkirakan mengalami upwelling, terjadi peningkatan konsentrasi nitrat baik di permukaan maupun didasar perairan. Konsentrasi nitrat di perairan bagian selatan berkisar antara 0,5 – 3,5 mg/l. Fenomena upwelling menyebabkan pengangkatan nutrien yang berada di dasar perairan ke bagian permukaan, hal ini mengakibatkan adanya pencampuran (mixing) nutrien yang ada di permukaan dan dasar perairan. Proses inilah yang menyebabkan sebaran konsentrasi nitrat yang ada di perairan bagian selatan sangat beragam disetiap kedalaman. Selain fenomena alam seperti upwelling, runoff daratan dan masukan dari air sungai merupakan sumber utama nitrogen anorganik untuk perairan pantai. Pada Gambar 4c terlihat bahwa konsentrasi nitrat yang berada dekat dengan pantai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan yang berada di lepas pantai. Konsentrasi senyawa nitrat sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia, diantaranya adalah oksigen terlarut, salinitas dan pasang surut air laut [13]. Menurut [14], konsentrasi nitrat diatur dalam proses nitrifikasi yaitu proses oksidasi senyawa amoniak dalam perombakan bahan organik menjadi anomiak kemudian menjadi nitrit serta nitrat dan membutuhkan oksigen yang cukup
a)
b)
c)
Gambar 4. Penampang Melintang Sebaran Nitrat di Lokasi Penelitian, a) Zona Utara (Laut Bali); b) Zona Tengah (Selat Bali) dan c) Zona Selatan (Samudera India)
Sebaran Fosfat Fosfat merupakan unsur yang penting dalam pembentukan protein dan membantu proses metabolisme sel [15]. Fosfat dibutuhkan pada proses fotosintesis fitoplankton yang biasa digunakan sebagai indikator kesuburan perairan. Pada permukaan perairan, konsentrasi fosfat cenderung sangat rendah dan bahkan tidak ada. Konsentrasi fosfat di perairan bagian utara memiliki pola yang nilainya semakin tinggi seiring dengan bertambahnya kedalaman, dimana nilainya berkisar antara 0 – 0,02 mg/l. Konsentrasi fosfat maksimum di perairan bagian tengah terdapat di perairan yang dekat dengan Pulau Bali dan terdapat di dasar perairan dimana nilainya mencapai 0,225 mg/l, sedangkan di perairan yang dekat dengan Pulau Jawa tidak terdapat adanya fosfat. Berbeda dengan perairan bagian utara dan tengah, di perairan bagian selatan distribusi fosfat di tiap kedalaman sangat beragam, dimana nilai konsentrasi fosfatnya berkisar antara 0,05 – 0,4 mg/l. Nilai konsentrasi fosfat di perairan bagian selatan yang sangat beragam ini dipengaruhi oleh adanya upwelling. Secara umum, konsentrasi fosfat akan meningkat terhadap kedalaman perairan. Konsentrasi fosfat relatif konstan pada perairan dalam biasanya terjadi pengendapan sehingga nutrien meningkat seiring dengan waktu karena proses oksidasi f dan bahan organik. Adanya proses runoff yang berasal dari daratan akan mensuplai kadar fosfat pada lapisan permukaan, tetapi ini tidak terlalu besar. Penambahan terbesar dari lapisan dalam melalui proses kenaikan massa air (upwelling). [16] menyatakan bahwa kadar fosfat akan semakin tinggi dengan menurunnya kedalaman. Konsentrasi fosfat relatif konstan pada perairan dalam biasanya terjadi pengendapan sehingga nutrien meningkat seiring dengan waktu karena proses oksidasi f dan bahan organik. Adanya proses run off yang berasal dari daratan akan mensuplai kadar fosfat pada lapisan permukaan, tetapi ini tidak terlalu besar. Penambahan terbesar konsentrasi fosfat dari lapisan dalam melalui proses kenaikan masa air,
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 316 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
a)
b)
c)
Gambar 5. Penampang Melintang Sebaran Fosfat di Lokasi Penelitian, a) Perairan Bagian Utara (Laut Bali); b) Perairan Bagian Tengah (Selat Bali) dan c) Perairan Bagian Selatan (Samudera India)
Sebaran Silika Kandungan silika dalam perairan seringkali dikaitkan dengan kelimpahan fitoplankton karena silika berperan dalam penyusunan dinding selnya. Kadar silika digunakan sebagai penentu tinggi rendahnya populasi phytoplankton yang berkorelasi kuat dengan khlorofil-a, sehingga bisa dikatakan silikat berkorelasi positif dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi kadar silikat maka kandungan klorofil semakin tinggi. Meningkatnya tebal lapisan tercampur tidak selamanya diikuti oleh peningkatan kandunganklorofil-a meskipun di daerah yang memiliki klorofil kategori tinggi relatif lebih tebal lapisan tercampurnya dibandingkan dengan
daerah yang berklorofil-a rendah. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa kadar silikat dan ketebalan lapisan tercampur sangat berperan besar dalam memisahkan tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di permukaan. Hal ini disebabkan karena silika merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton terutama dari golongan diatom untuk pembentukaan cangkangnya. Populasi fitoplankton yang pada umumnya didominasi oleh diatom [17]. Berdasarkan data hasil analisis laboratorium sebaran melintang konsentrasi silika terlarut di perairan bagian utara berkisar antara 0,025 – 0,15 mg/l. Gambar 6a memperlihatkan pola sebaran melintang konsentrasi silika di perairan bagian utara, dimana konsentrasi silika tertinggi terdapat di perairan sisi timur dengan kedalaman lebih dari 60 meter yang nilai konsentrasi silikanya adalah 0,15 mg/l. Berbeda dengan pola sebaran melintang konsentrasi silika di perairan bagian tengah (Gambar 6b) dimana perairaan sisi timur konsentrasi silika adalah 0 mg/l, sedangkan di sisi barat konsentrasi silika berkisar anyara 0,02 – 0,008 mg/l. Di perairan bagian selatan, konsentrasi silika adalah 0 mg/l. Hal ini dikarenakan pada saat terjadi upwelling konsentrasi silika terlarut di permukaan umumnya rendah, sedangkan di lapisan yang lebih dalam akan terjadi peningkatan konsentrasi silika. Konsentrasi silika yang tinggi diikuti oleh tingginya konsentrasi klorofil di. Hasil pengukuran Juni dan September menunjukkan bahwa konsentrasi silika perairan selat Bali semakin tinggi dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini sesuai dengan pendapat [16], rendahnya konsentrasi silika di permukaan perairan disebabkan lebih banyak organisme-organisme yang memanfaatkan silika di lapisan ini, seperti dari golongan diatom (Bacillariophyceae) yang banyak membutuhkan silika untuk membentuk dinding selnya. Pola distribusi silika bergantung pada pola pergerakan massa air dan suplai silika terlarut. Selain itu, absorpsi organisme juga mempengaruhi konsentrasi dan distribusi silika. Silika merupakan unsur yang sangat dibutuhkan oleh organisme laut seperti diatom untuk pembentukan dinding sel. Silika dihasilkan dari pelapukan bebatuan yang dibawa oleh sungai dan angin ke laut, serta ditemukan dalam keadaan mengendap di sedimen. Selain pelapukan batuan, hydrothermal vents juga berkontribusi dalam jumlah konsentrasi silika di laut [14]. Distribusi silika di perairan pantai umumnya lebih tinggi dibandingkan di lautan lepas, karena adanya runoff dari sungai. Konsentrasi silika di permukaan perairan cenderung rendah, kecuali di lokasi yang terjadi upwelling.
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 317 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
terlihat maksimum pada bulan September-November, seperti terlihat pada gambar 7.
a)
Gambar 7. Rata-rata bulanan (1992-2001) tangkapan Lemuru di Perairan Selat Bali [5]
b)
c)
Gambar 6. Penampang Melintang Sebaran Silika di Lokasi Penelitian, a) Zona Utara (Laut Bali); b) Zona Tengah (Selat Bali) dan c) Zona Selatan (Samudera India)
Data tangkapan lemuru (Bali Sardenella) Perairan Selat Bali dipengaruhi oleh terjadi proses penaikan air pada musim timur, sehingga perairan ini menjadi kaya akan bahan makanan yang sangat dibutuhkan oleh lemuru. Jenis lemuru ini biasanya mendiami daerah-daerah dimana terjadi proses kenaikan massa air, yang membawa nutrient dan biomasa tinggi. [5] menyatakan bahwa jumlah rata-rata bulanan (1992-2001) tangkapan lemuru di Selat Bali
Kegiatan penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali hampir terjadi di sepanjang musim, baik pada saat muson timur maupun muson barat meskipun berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa jumlah tangkapan ikan lemuru maksimum terjadi pada saat muson timur terutama pada bulan September – Desember, sedangkan puncak penangkapan lemuru terjadi pada bulan Nopember. Terlihat pula berdasarkan data penangkapan ikan lemuru di PPP Muncar selama 2002 – 2010 puncak penangkapan lemuru terjadi pada bulan November terlihat di Gambar 8a. Selama muson timur (Juni – Agustus) terjadi peningkatan intensitas upwelling di Selatan Jawa dan Selat Bali yang eksistensinya ditunjukkan dengan perairan yang kaya akan nutrien dan tingginya produktivitas primer, bila dikaitkan dengan puncak penangkapan lemuru di perairan Selat Bali terjadi time lag antara maksimum intensitas upwelling dengan maksimum jumlah tangkapan. Hal ini kemungkinan disebabkan makanan utama lemuru berupa zooplankton (diatom) bukan phytoplankton, sehingga diperlukan tenggang waktu (time lag) dalam rantai makanan dari khlorofil sampai ke zooplankton. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ikan lemuru di perairan Selat Bali tertangkap secara musiman dimana ikan lemuru akan muncul pada saat musim-musim tertentu saja. Pada saat awal musim timur hasil tangkapan lemuru sangat rendah yang kemudian meningkat pada akhir musim timur, dan terlihat semakin meningkat pada awal musim barat dan menurun lagi pada akhir musim barat
Gambar 8. Grafik rata-rata bulanan pendaratan Lemuru (2002 – 2010) di PPP Muncar
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 318 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk
Gambar 9. Diagram hovmoller SST rata-rata bulanan perairan Selat Bali
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil sebaran melintang suhu, klorofil-a dan nutrien (fosfat, nitrat dan silika) di perairan Selat Bali pada muson tenggara menunjukkan pola sebaran yang berbeda dimana terjadi peningkatan konsentrasi nutrien yang terlihat dari peningkatan konsentrasi nitrat, fosfat, silikat dan klorofil-a serta penurunan suhu di zona selatan yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia. Di zona selatan juga ditemukan konsentrasi klorofil-a maksimum di kedalaman 20 m dan kenaikan massa air dingin dikedalaman 70 m serta peningkatan konsentrasi fosfat di kedalaman 60 m, hal ini memperkuat bahwa pada bulan JuniSeptember perairan selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling kuat dari Samudera Hindia. Peningkatan konsentrasi klorofil dan nutrien saat terjadi in-direct upwelling tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan jumlah tangkapan ikan lemuru (Sardenella), tetapi terjadi time lag (jeda waktu) ± 2-3 bulan. Diperlukan pengambilan data observasi yang time-series yang bisa mewakili 4 musim yang berbeda sehingga bisa dilihat trends kenaikan intensitas upwelling dari bulan ke bulan selama 1 tahun berturut-turut, selain itu diperlukan pengambilan data CTD sampai dengan kedalaman lapisan termoklin.
[5] N. Hendiarti, E. Suwarso, Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S. Sachoemar, & I.B. wahyono, “Seasonal Variation of Pelagis Fish Catch Around Java”, Oceanography, 18(4):112-123, 2005. [6] Burhanudin dan D. Praseno, “ Lingkungan perairan di Selat Bali, Prosiding 2/Seminar Perikanan Lemuru 82, 27 – 38 hlm, 1982. [7] R.D. Sutanto, A.L. Gordon, & Q.Zheng, “Upwelling Along The Coast of Java and Sumatera and Its Relation to ENSO”, Geophys Res.Lett,28(8): 1599-1902, 2001. [8] T. Qu, Y. Du J.Strachan, G. Meyers, & J.Slingo, “Sea Surface Temperure and Its variability In the Indonesian Region”, Oceanography, 18 (4): 88-97, 2005. [9] O.H. Arinardi, “Upwelling di Selat Bali dan Hubungannya Dengan Kandungan Plakton serta Perikanan Lemuru (Sardinella longicep)”, Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia, Buku I, P3O-LIPI, Jakarta, 1989. [10] D. Susanto, and J. Marra, “Effect of The 1997/1998 El Nino on Chlorophyll-a Variability along The Southern Coasts of Java and Sumatra”, Journal of The Oceanography Society Vol. 18, No. 4, December 2005 USA, 2003. [11] A. Nontji, “ Laut Nusantara”, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1986. [12] S. Kunarso, N. Hadi, S. Ningsih., dan M. S. Baskoro, “Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di Daerah Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai Timor”, Ilmu Kelautan, Vol. 16 (3). Hal 171-180, 2011. [13] K. Mustiawan, S. Y. Wulandari., dan E. Indrayanti, “Distribusi Konsentrasi Nitrogen Anorganik Terlarut Pada Saat Pasang dan Surut di Muara Sungai Perancak dan Industri Pelabuhan Perikanan Pengambengan Bali”, Jurnal Oseanografi, Vol. 3 (3), Hal 438-447, 2014 [14] F.J Millero, “Chemical Oceanography”, 3 ed, CRC Taylor and Francis, Ney York, 305 pp, 2006. [15] H.P Hutagalung, D. Setiapermana, S.H. Riyono, “Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota Buku 2”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI, 1997. [16] H. Effendi, “Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan”. Penerbit Kanisius. [17] N.S.R. Agawin, C.M. Duarte, S. Agustí, “Nutrien and temperature control of picoplankton to phytoplankton biomass and production”, Limnologi Oceanography 45(3):591–600, 2000.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Kepada Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, atas dana DIPA Penelitian 2012. DAFTAR PUSTAKA [1] B. Priyono., A. Yunanto dan T. Arief, “Karakteristik Oseanografi dalam Kaitannya dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali”, Balai Penelitian dan Observasi Laut, Bali, 15 hlm, 2008. [2] Pranowo, W.S. dan B. Realino, “Sirkulasi Arus Vertikal di Selat Bali Pda Monsun Tenggara 2004”, Balai Penelitian dan Observasi Laut, Jembrana, 2006 [3] I.S Robinson, “Satellite Oceanography”, Jhon Wiley and Son, New York, 455p, 1985 [4] K. Wyrtky,”The Upwelling in The Region Between Java and Australia During The Southeast Monsoon, Australia, J. Mar Fresw Res, 13 (3): 217-225, 1962.
Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 319 | T e k n o l o g i P e n a n g k a p a n I k a n ( T P I - 6 ) Wingking E Rintaka, Dkk