PEMBAHASAN Keadaan Perikanan Lemuru Pada
tahun
1972
untuk
pertama
kali
dilakukan
percobaan penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali dengan mempergunakan pukat cincin yang dirancang dan dibuat serta didemonstrasikan cara penggunaannya oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) sekarang Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL).
~emudianpada tahun 1974 dilakukan
lagi percobaan penangkapan oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi bekerja sama dengan Dinas Perikanan dengan menurunkan alat pukat cincin sebanyak 10 unit. sekali.
Ternyata hasilnya baik
Di lain pihak, keberhasilan ini meresahkan nelayan-
nelayan setempat yang mempergunakan alat-alat tangkap tradisional karena merasa disaingi dan dirugikan. Keresahan ini mencapai titik puncaknya dengan timbulnya aksi massa yang membakar alat-alat pukat cincin tersebut sebanyak 7 unit.
Peristiwa ini dikenal dengan istilah
nmalamunm, yaitu singkatan dari "malapetaka Muncaru pada tanggal
30
September
1974 (Anonim, 1990b). Setelah peris-
tiwa ini, diputuskan oleh Pemerintah untuk memberikan kredit pukat cincin kepada kelompok-kelompok nelayan anggota KUD, yang masing-masing beranggota 12 orang.
Karena memang
hasilnya sangat baik, maka mulai banyak masyarakat yang tertarik untuk memiliki alat ini.
Banyak di antara mereka
yang menjual tanah, sawah dan ladang garamnya untuk membeli pukat' cincin. Sejak itu alat tangkap ini mulai
berkembang
pesat, berawal dari 44 unit pada tahun 1975 menjadi 119 unit pada tahun 1977. Untuk menahan berkembang pesatnya alat pukat cincin ini agar tidak melampaui daya dukung perairan Selat Bali, maka Pemda Jawa Timur dan Bali sepakat untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang menetapkan jumlah pukat cincin yang boleh beroperasi di seluruh perairan Selat Bali, yaitu sebanyak 100 unit saja. Karena begitu besar
keinginan
masyarakat tetap
dan pengawasan SKB kurang memadai, maka unit
pukat cincin terus bertambah.
Pada Tahun 1978 keluar SKB
baru yang memberikan SIUP kepada 133 unit pukat cincin. Kemudian
muncul lagi
SKB
ketiga
pada
menaikkan jumlah SIUP menjadi 200 buah.
tahun
1983
yang
Akhirnya SKB inipun
diperbaharui lagi dengan SKB yang dikeluarkan pada tahun 1985, yang
memberikan
SIUP
kepada 273 unit pukat cincin,
yaitu 190 unit untuk Muncar dan 83 unit untuk Bali.
SKB ini
masih berlaku sampai sekarang. Setelah
dikeluarkannya
SKB
yang
terakhir
pertambahan pukat cincin kelihatannya tidak tahun-tahun
sebelumnya,
cincin yang beroperasi
malahan
berkurang
ini,
secepat pada
di Bali jumlah
pukat
dari SIUP yang diberikan
sebanyak 83 unit, yaitu tinggal 67 unit. Ternyata, unit-unit pukat cincin yang beroperasi semakin bertambah besar, baik ukuran jaring, kekuatan
mesinnya
Lampiran 3.
seperti
yang
perahu
maupun
disajikan dalam Tabel
Karena bertambah besar serta dalamnya pukat
cincin, maka daerah penangkapannya menjadi agak k e tengah,
yang menurut keterangan beberapa paling
sedikit
70 m.
mata' jaring
besarnya
Yang
nelayan
tidak
pada
pernah
kedalaman
berubah
yang dipergunakan, yaitu
adalah
dari dulu
sampai sekarang tetap 1,9 cm (314 inci). Pada tanggal 31 Maret 1975, Pemerintah c.q. Jendral
Perikanan
Direktorat
SK No. 123/Kpts/Um/3/1975
mengeluarkan
yang melarang penggunaan pukat cincin yang matanya di bagian kantong kurang dari 2,54 cm (1 inci).
Menurut nelayan, SK
ini tidak dapat dilaksanakan karena ikan-ikan akan menyangkut insangnya
(macok) pada mata jaring, oleh karenanya
nelayan-nelayan Muncar tidak mau melaksanakan keputusan tersebut. Sebenarnya,
hasil pengamatan
di
lapangan menunjukkan
bahwa dengan besar mata jaring 1,9 cm pun ikan-ikan sempenit masih juga tlmacokw,dan untuk melepaskannya memerlukan waktu berjam-jam karena paksa
lamanya
itulah saja,
(bisa
sampai 6 jam atau lebih)
.
Oleh
nelayan akan menangkap sempenit kalau terkarena
di
samping
sangat
sukar
waktu
melepaskannya dari jaring, juga waktu menangkapnya, karena ikan-ikan sempenit berada di pinggir (perairan dangkal). Seperti ikan-ikan saja.
telah
lemuru
dikemukakan
terkonsentrasi
di
Bab
Pendahuluan bahwa
hanya di perairan paparan
Distribusi contoh yang diambil selama penelitian,
menunjukkan bahwa ternyata ikan-ikan lemuru terutama terkonsentrasi di perairan paparan Jawa bagian tengah (daerahdaerah penangkapan C, D dan E, sedangkan di perairan paparan Bali terutama terkonsentrasi di bagian tengah dan selatan,
yaitu di daerah-daerah penangkapan d, e, f dan g (Tabel 6)
.
Ini sesuai dengan hasil penelitian dengan akustik di perairan Selat Bali pada bulan-bulan September dan Oktober 1976 (Merta, 1976)
.
Kapal-kapal pukat cincin pada umumnya hanya waktu gelap bulan. selama 5-7 hari. rata-rata
hari
beroperasi
Setiap bulan purnama tidak ada
kegiatan
Dari data yang tersedia di tiap-tiap KUD, operasi
adalah
23(10-30),
masing-masing
2 1 (7-28) dan 2 1 (4-28) hari untuk Muncar , Pengambengan dan Kedonganan.
Jumlah perahu-perahu yang mendaratkan ikannya
setiap hari adalah masing-masing
18, 12 d a n 12 unit d i
Muncar, Pengambengan dan Kedonganan, atau 42 unit untuk seluruh perairan Selat Bali. sar
15,4%
dari
seluruh
Banyaknya kapal-kapal
yang
perahu tidak
Jumlah yang
per hari
ini hanya sebemempunyai SIUP.
tercatat
di
KUD,
karena tidak berhasil sama sekali, hasilnya sedikit
baik
ataupun
karena sengaja tidak mau melaporkannya ke KUD diperkirakan mencapai 30%.
Jadi
jumlah
kapal
yang
menangkap
ikan
setiap hari setelah dikoreksi dengan jumlah kapal yang tidak tercatat di KUD diperkirakan sebanyak 55 unit atau
sebanyak
20% dari kapal-kapal yang mempunyai SIUP. Ikan lemuru adalah merupakan jenis ikan yang paling dominan tertangkap di perairan Selat ~ a l i ,yaitu berkisar antara 32,85-97,95% dari total hasil tangkapan rata 78,46% per tahun. 65,86'92,89%
atau rata-
Setiap bulannya, berkisar antara
atau rata-rata 76,07% (Gambar 7).
Persentase
yang tinggi dari ikan lemuru yang tertangkap terjadi pada
musim barat (musim penghujan), yaitu mulai kir-kira bulan September/Oktober sampai dengan bulan ~ebruaritahun beriMusim barat inilah dianggap musim lemuru di perai-
kutnya.
ran Selat Bali.
Tetapi pada tahun 1984 terjadi keadaan
sebaliknya, dimana pada musim timur justru produksinya lebih tinggi, rata-rata 2.117,2 ton per bulan dibandingkan dengan pada musim barat dimana rata-ratanya hanya bulan (KUD Mina Karya, Pengambengan).
1.398,3 ton per Pada tahun-tahun
berikutnya produksinya selalu berfluktuasi cukup tinggi, tetapi rata-rata produksinya pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur. Pada tahun 1986, produksi ikan lemuru di Selat Bali turun dengan drastis, yaitu dari 17.915 ton pada tahun
1985
menjadi hanya 3.233 ton pada tahun 1986, kemudian naik lagi menjadi
14.807
ton pada
tahun
1987 (Gambar 9).
Menurut
nelayan setempat, pada tahun 1986 dikatakan ikan lemuru ggmenghilangudari Selat Bali dan tidak ada yang tahu sebabsebabnya. Secara total produksi ikan (lemuru dan lain-lainnya) juga menurun pada tahun 1986.
Tetapi secara relatif ikan-
ikan selain lemuru naik produksinya (Gambar 9).
Sejak tahun
1985 ikan-ikan selain lemuru mulai naik dan pada tahun 1986 mengalami kenaikannya yang tertinggi, kemudian mulai lagi sejak tahun 1987 ketika ikan lemuru mulai naik.
turun Walau-
pun ikan tembang (S. fimbriata) merupakan satu genus dengan ikan lemuru, tetapi keadaannya berlawanan dengan ikan lemuru (Gambar 8).
Oleh
karena itu, ikan lemuru ini kelihatannya
sangat dominan dan khas di perairan Selat Bali. Perbedaan karakteristik ini mungkin disebabkan persaingan dalam makanan .ataupun dalam 88niche88-nya di Selat Bali. Ikan lemuru adalah merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang bergerombol, yang mempunyai hubungan dengan komponen-komponen lingkungannya seperti pada Gambar Ikan-ikan ini dapat mencapai biomassa yang tinggi
4a.
terutama di daerah-daerah penaikan air
(Csirke, 1988).
Keragaman ikan lemuru ini sebagian besar (kira-kira 5 5 % ) disebabkan
oleh
faktor-faktor
lingkungan
(Prof. Dr.
S. B. Saila, pers. comm., 1989). Menurut Belveze dan Erzini (1983), ada hubungan yang erat antara produksi ikan sardine (Sardina pilchardus Walb) dengan indeks penaikan
air.
Cury dan Roy (1988) menunjuk-
kan bahwa untuk proses penaikan air tipe Ekman (seperti halnya proses penaikan air di Selat Bali), hubungan antara rekrutmen tahunan dan intensitas penaikan air berbentuk kubah (dome). Rekrutmen
tahunan akan
tambahnya intensitas penaikan mencapai kira-kira 5-6 m menurun
dengan makin
karenanya,
air
per
naik
dengan
sampai kecepatan angin
detik, dan
kemudian
bertambahnya kecepatan angin.
berfluktuasi
ber-
akan Oleh
tingginya produksi ikan lemuru di
Selat Bali diperkirakan terutama disebabkan oleh faktorfaktor lingkungan. El Nino terbesar pada tahun 1980-an terjadi pada 198211983 (Brainard dan McLain, 1987;
Bakun, 1987) di pantai
1987; Mendo
dan
Peru, menyebabkan
tahun
Pizarro, kegagalan
terjadinya rekrutmen yang baik dari anchoveta Peru, sehingga populasi
anchoveta
menjadi
rendah
(Brainard dan McLain,
1987). Pada waktu terjadinya El Nino kuat pada tahun 198213 di
Peru, anchoveta
(juga sardine, mackerel
dan
horse
mackerel sekali-sekali) diamati berada pada kedalaman 100 m, sehingga tidak tercapai oleh alat pukat cincin yang dalamnya hanya 50 m (Muck dan Sanches, 1987). Menurut McCall (1983), ikan-ikan yang karena laju kematian
alaminya
berumur pendek
(M) yang tinggi (misalnya,
anchovy) atau karena mempunyai laju total kematian Z (M yang tinggi (misalnya sardine).
+
F)
Lebih lanjut dikatakannya
bahwa variabilitas dalam stok dapat timbul dari beberapa sebab, misalnya, untuk ikan-ikan berumur pendek maka fluk. tuasi dalam rekrutmen adalah merupakan sebab penting utama.
Kalau kita lihat bahwa perikanan lemuru di perairan Selat Bali ditunjang oleh ikan-ikan lemuru yang berumur 1, 2 dan 3 tahun
(terutama yang
berumur 1 dan 2 tahun), maka
"menghilangnyaU ikan-ikan lemuru pada adalah
tahun 1986
diduga
karena dampak dari El Nino kuat yang terjadi pada
tahun 1982/83 tersebut.
Dampak ini diperkirakan menyebabkan
terjadinya kegagalan rekrutmen dari ikan
lemuru di
Bali, seperti juga kegagalan dari anchoveta di Peru. apakah dampak El Nino ini benar-benar
Selat Tetapi
menyebabkan gagalnya
rekrutmen dari ikan lemuru, atau ikan-ikan lemuru tersebut berada pada perairan yang lebih dalam perairan Selat Bali seperti tertangkap oleh nelayan,
atau berada di luar
anchoveta sehingga tidak dapat
belumlah diketahui secara pasti,
dan perlu
penelitian
lebih
lanjut.
Pada tahun-tahun
berikutnya, perikanan anchoveta di Peru mulai menunjukkan gejala pulih kembali, yang juga sejalan
dengan
pulihnya
perikanan lemuru di Selat Bali. Produksi lemuru tertinggi di Selat Bali terjadi pada tahun 1983 yaitu sebesar 49.104 ton menurun ton pada tahun 1984.
menjadi
Produksi terus menurun secara
43.493 drastis
menjadi 17.915 ton tahun 1985 dan 3.233 ton tahun 1986. Kemudian produksinya naik pada tahun-tahun berikutnya. Kalau dihubungkan dengan penurunan drastis dari produksi lemuru ini, maka diduga dampak El Nino kuat yang terjadi pada tahun 1982183 baru mempengaruhi pemijahan ikan lemuru pada tahun 1984, yaitu terlambat satu tahun sejak terjadinya El Nino.
Dampak tersebut terus berlangsung sampai dengan
tahun 1985. Menurun drastisnya
produksi lemuru
pada
tahun 1986
diikuti oleh kenaikan produksi ikan-ikan pelagis lainnya, terutama ikan layang,
kembung,
tembang,
tongkol.
Keadaan
seperti ini juga dilaporkan oleh Belbeze dan Erzini (1983), bahwa sangat rendahnya hasil tangkapan ikan sardine (S. pilchardus) di perairan Marokko antara tahun 1977 dan 1978 diikuti oleh sangat tingginya hasil tangkapan ikan- ikan mackerel (Scomber colias) dan horse mackerel (Trachurus trachurus) pada waktu
yang sama.
Hal
ini
diduga
karena
terjadi kompetisi dalam ha1 makanan dan atau llnichemnya.
Hubunaan Struktur Ukuran Stok denaan Tem~at&g~ Waktu Pada Gambar 10 terlihat bahwa curah hujan di perairan Selat Bali dari tahun 1983 sampai dengan 1989 berfluktuasi, berkisar antara
1288
1657,6 mm per tahun
-
2172 mm
dengan
(s = 313,6 mm).
rata-rata
Tetapi
sebesar
produksi
ikan
terus turun dengan tajam sejak tahun 1984 sampai
lemuru
dengan tahun 1986 dan kemudian naik lagi sampai dengan tahun 1988.
Tidak
ada
hubungan
dengan produksi lemuru,
yang
nyata
antara curah hujan
baik dengan maupun tanpa "time
lagnt.Widodo (1991) juga menyimpulkan tidak adanya hubungan antara curah hujan dengan produkdi ikan layang di Laut Jawa. Tetapi menurut Beveze dan Erzini (1983), ternyata di Marokko ada hubungan antara curah hujan dengan hasil tangkapan
ikan
sardin, yaitu hasil tangkapan ikan sardin tinggi pada tahuntahun kering (curah hujan rendah). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan-ikan sempenit muncul pada setiap daerah penangkapan, baik yang ada di paparan Jawa maupun paparan Bali, kecuali di daerah penangkapan
A
(Bomo)
dan a
(~andiKusuma) di paparan Jawa dan
Bali. Tetapi menurut informasi, di daerah-daerah penangkapan A dan a juga sering tertangkap sempenit.
Ada kecendrungan
bahwa penyebaran ikan-ikan protolan makin ke selatan makin sedikit, sedangkan ikan-ikan lemuru sebaliknya yaitu makin ke selatan makin banyak.
Kecendrungan
ini jelas terlihat
di paparan Bali dari pada di paparan Jawa. Di Bali,. ikan lemuru yang
sama
dengan
kucing juga ikan
punya
lemuru
paparan
pola penyebaran
(Tabel Lampiran 6).
Ternyata juga bahwa ikan-ikan lemuru yang terbesar tertangkap pada daerah-daerah penangkapan paling selatan, yaitu di
F (Karang Ente) di paparan Jawa dan g (Uluwatu/Tanjung Bukit) di paparan Bali.
Panjang rata-rata ikan lemuru yang
tertangkap di paparan Jawa hampir sama, tetapi di daerah penangkapan F, panjang rata-ratanya lebih besar dari pada di A,
B, C, D dan E.
Di daerah perairan paparan Bali, keliha-
tannya terdapat tiga distribusi panjang rata-rata yang berbeda, yaitu di daerah-daerah penangkapan a, b dan c merupakan satu kelompok, di daerah d, e dan f merupakan kelompok kedua dengan panjang rata-rata yang lebih besar dari kelompok pertama dan di daerah g merupakan kelompok yang
ketiga dengan
panjang
rata-rata
yang
terbesar.
Menurut Soerjodinoto (1960), ikan-ikan lemuru pertama kali muncul adalah dibagian utara Selat Bali, yaitu di Bomo (daerah penangkapan
A)
dan Cupel (daerah penangkapan b),
kemudian bergerak ke selatan dengan bertambah besarnya ikanPernyataan ini sebagian sesuai dengan hasil
ikan tersebut.
penelitian ini, kecuali bahwa ikan-ikan sempenit hanya muncul disekitar Bomo dan Cupel saja. Distribusi
ukuran
yang
berbeda
ini
karena faktor-faktor lingkungan,
salah- satu
kadar garam, karena kadar garam
di
Bali
relatif
lebih
disebabkan diiantaranya
bagian selatan
tinggi dibandingkan dengan
Selat
dibagian
tengah dan utara Selat Bali (lihat Salijo, 1973). Hasil analisis korespondensi menunjukkan adanya perubahan profil distribusi kelas-kelas panjang secara
teratur. Perubahan
profil ini dapat dilihat dari sempenit menjadi protolan, lemuru dan lemuru kucing.
Terlihat dominansi profil ikan-
ikan lemuru. kucing, yqitu ikan-ikan yang potensial untuk matang gonad, pada bulan Juli, dimana diduga terjadi pemijahan ikan-ikan lemuru di Selat Bali.
Perubahan profil dari
struktur ukuran ikan lemuru tidaklah teratur menurut waktu (bulan).
Di samping itu terjadi
ukuran menurut bulan-bulan tertentu.
juga percampuran antar Misalnya pada kelompok
(a) didominansi oleh profil ikan-ikan lemuru kucing, tetapi terdapat juga profil ikan sempenit pada waktu yang bersamaan.
Pada kelbmpok (b) hanya terdapat ikan sempenit saja,
sedangkan terjadi percampuran antara sempenit, protolan, lemuru dan lemuru kucing pada kelompok (c), protolan dan lemuru pada kelompok (d). Biolosi Hubungan panjang-berat ikan-ikan lemuru di perairan Selat ~ a l i ,baik untuk ikan-ikan jantan, betina dan ikan yang
belum
dapat
ditentukan jenis kelaminnya semua nilai
b-nya lebih besar dari tiga, yaitu semua menunjukkan pola pertumbuhan yang alometrik positif. pertambahan beratnya
Ini berarti bahwa
melebihi pangkat tiga dari panjangnya.
Untuk ikan-ikan S. l o n g i c e p s di India juga diperoleh nilai b yang lebih besar dari 3 , baik untuk ikan-ikan yang belum dapat ditentukan jenis kelaminnya, jantan maupun betina dalam hubungan panjang-beratnya (Bal dan Rao, 1984).
Mala-
han untuk ikan-ikan yang belum dapat ditentukan jenis kela-
131
minnya (indeterminate) diperoleh nilai b = 3,6169 yaitu suatu nilai yang sangat tinggi, mengingat nilai b biasanya berkisar antara 2,5
-
3,5 (Pauly, 1984).
Untuk ikan-ikan
Sardinella maderensis dari pantai sebelah selatan Senegal
diperoleh nilai b = 3,142 (Freon & 1988).
a.,1978
dalam Samb,
Tetapi Kurup g& d. (1989) memperoleh nilai b =
2/9268 untuk S. longiceps dengan batas-batas kepercayaannya berkisar antara 2,73-3,12. lemuru
pada
Tingginya nilai b bagi ikan
umumnya, disebabkan karena
pengaruh
dari
pengayaan lingkungannya karena adanya proses penaikan air, sehingga bahan makanan menjadi berlimpah dan ikan-ikan lemuru menjadi gemuk-gemuk.
Nilai b yang hampir sama dengan
tiga diperoleh untuk ikan-ikan S. longiceps dari Teluk Aden, yaitu berkisar antara 3,025-3,060 (Edwards dan Shaher, 1987). Rata-rata panjang ikan lemuru yang diperoleh bervariasi dari bulan ke bulan selama periode penelitian (Agustus 1989 sampai dengan Juli 1990).
Nilai rata-rata panjang
yang
tertinggi diperoleh pada bulan April 1990 sedangkan yang terkecil pada bulan Juni 1990.
Pada bulan April 1990, ikan-
ikan lemuru yang didaratkan adalah ikan yang besar-besar (lemuru dan lemuru kucing) dan tidak ada ikan lemuru kecilkecil (sempenit), sedangkan pada bulan Juni 1990 banyak yang didaratkan ikan lemuru yang kecil-kecil (sempenit). Nisbah jenis kelamin jantan dan betina dari ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali adalah 1:0,97 untuk ikan-ikan
yang belum matang gonad, yang berarti ikan jantan
sedikit lebih adalah untuk
banyak
dari
ikan-ikan
pada
yang
ikan
Menurut
jantan.
matang
sudah
0,77:1, yang berarti betina lebih
betina.
Sebaliknya
gonad,
yaitu
banyak dari pada
Radhakrishnan
(1969),
yang
ikan-ikan
S.
longiceps betina yang belum matang gonad lebih banyak dari pada yang
jantan, sedangkan untuk
ikan-ikan yang
salin
(spent) sebaliknya, karena mortalitas ikan-ikan betina lebih tinggi dari pada yang jantan.
Untuk ikan-ikan yang tertang-
kap di luar Kochin, ~ n d i a ,betina selalu lebih banyak dari pada jantan, dan ini berhubungan dengan selektivitas alat
.
Suatu penyimpangan dalam
(Balan, 1969 dalam Raja (1969)
rasio jenis .kelamin dari 1:l dari hasil-hasil tangkapan tidaklah begitu saja dapat diasosiasikan dengan perbedaan di dalam tekanan penangkapan pada kedua jenis kelamin, yaitu dalam ha1 laju kematian penangkapan, F, sebab laju-laju kematian alamiah mereka mungkin juga berbeda (Widodo, 1988). Persentase tertinggi ikan lemuru matang gonad untuk siap memijah Lampiran
(TKG VI)
terdapat
Diperkirakan
7.
ikan
pada
bulan
Juni
lemuru memijah
(Tabel
pada bulan
Juli, yaitu satu bulan setelah persentase tertinggi dari TKG VI.
Pesentase tertinggi dari ikan lemuru yang mencapai TKG
VI adalah relatif kecil, yaitu kurang dari 50%. ikan-ikan sedikit
lemuru
yang
yang
matang
tertangkap.
Hal
gonad ini
(TKG VI) relatif disebabkan
ikan-ikan matang gonad yang sudah siap untuk keluar
dari
daerah-daerah
tempat
yang
lebih
penangkapan
Ini berarti
memijah
biasa,
karena mulai
mungkin ke
dalam di dalam atau di luar Selat Bali
sehingga tidak terjangkau lagi oleh alat-alat
tangkap yang
beroperasi. ~ a r ianalisis tingkat kematangan gonad ini hanya dapat diketahui adanya satu puncak musim pemijahan ikan lemuru di Selat ~ a l i ,yaitu pada bulan Juli, sehingga hipotesis adanya dua periode pemijahan dari ikan lemuru ini belum terbukti. Hasil analisis data frekuensi panjang yang dikumpulkan selama satu tahun di Selat Bali dengan mempergunakan program ELEFAN 2,
terlihat adanya dua pulsa rekrutmen yang tumpang
tindih yang secara statistik nyata terpisah.
Masing-masing
pulsa jaraknya kira-kira tiga bulan (Gambar 17).
Kalau
dilihat dari gambar histogramnya, terlihat hanya mempunyai satu puncak.saja dan ini sesuai dengan hasil pengamatan TKG, bahwa ikan lemuru mempunyai satu puncak musim pemijahan. Menurut Hornel dan Nayudu (1924) dalam Bal dan Rao (1984), ikan-ikan S. l o n g i c e p s di India memijah pada bulan- bulan Mei sampai Agustus dengan puncak-puncaknya pada bulan- bulan Juni dan Juli.
Secara umum, ikan-ikan ini memijah dari
bulan Juni sampai Oktober dengan puncak-puncaknya 2-3 bulan selama periode tersebut, tergantung pada adanya kondisikondisi lingkungan yang sesuai. Bulan Juli adalah merupakan puncak musim penaikan air di perairan Selat Bali, sehingga perairan tersebut kaya akan fito dan zooplankton. lemuru di
Selat
Jadi diperkirakan memijahnya ikan
Bali pada bulan Juli ada kaitannya dengan
banyaknya tersedia makanan bagi larva-larva maupun ikan-ikan lemuru yang
sangat muda untuk
pertumbuhannya.
Data hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ikan sempenit terkecil yang tertangkap dengan bagan tancap adalah rata-rata 4,5 cm di paparan Jawa (Teluk Pangpang) , dan 5,5 cm dengan pukat
cincin di paparan Bali pada bulan Kalau panjang terkecil
yang sama, yaitu bulan Juni.
ini
dikonversikan ke dalam umur melalui persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang didapat, maka ikan tersebut berumur kira-kira satu bulan
dan diperkirakan ikan-ikan tersebut
adalah hasil pemijahan satu bulan
sebelumnya, yaitu
Mei.
di
Ini
musim
ikan
lemuru
Selat
Bali mempunyai
pemijahan yang panjang, yaitu diperkirakan mulai
bulan Mei sampai
berarti
bulan
dan
puncaknya
pada
bulan
Juli, dan memanjang
bulan Agustus atau September.
Berdasarkan
ikan
lemuru yang tertangkap masih sangat
kecil dan berumur kurang dari satu bulan, maka diperkirakan daerah pemijahannya
tidaklah
tersebut. Karena ikan-ikan
jauh dari daerah penangkapan
lemuru yang
matang
gonad (TKG
VI) yang tertangkap relatif sedikit, maka kemungkinan ikan lemuru ini memijah di tempat-tempat yang agak pinggir-pinggir
kisaran
dalam di
paparan.
Ikan-ikan sardin pada
ikan-
suhu
iwashi dan sardin California memijah yang
sama,
yaitu
berkisar antara
13O-17Oc dengan suhu optimumnya masing-masing berkisar ~ ~ 15°-160~ (Laevastu dan Hela, 1970). antara 1 4 ~ - 1 5 , 5dan Hasil penelitian K.M. Samudra di perairan Selat Bali pada
.
bulan.Juli 1973
menunjukkan
bahwa
suhu
antara
terdapat pada kedalaman sekitar 100 meter.
14°-150~
Kalau dapat
kita asumsikan bahwa ikan lemuru di Selat Bali juga memijah pada kisaran suhu yang kira-kira sama, maka diperkirakan mereka akan memijah pada kedalaman kira-kira 100 m (Anonim, 1974). Menurut Bal dan Rao (1984), daerah pemijahan ikan S. l o n g i c e p s di India belum dapat ditentukan
dengan
tepat,
tetapi kelihatannya mereka memijah di luar daerah-daerah penangkapan pantai.
Panjang
ikan
lemuru pada kematangan
gonadnya yang pertama adalah 17,79-18,30 cm, dengan
rata-
rata
lebih
18,04 cm (Tabel 8 dan 9).
Nilai-nilai
ini
besar dari nilai- nilai yang umunya diperoleh untuk ikan S. l o n g i c e p s di India yaitu berkisar antara 15-16 cm atau
akhir dan
pada
umur satu tahun ikan tersebut (Qasim, 1973 dalam Bal
Rao,
1984). Nair
(1953) dalam
Bal
dan
menyimpulkan bahwa ikan-ikan ini bertelur pada
Rao (1984) panjang 170
mm atau lebih dan sebagai pemijah aktif pada panjang 190 mm. Untuk pengelolaan perikanan, panjang ikan pada waktu matang gonad
penting
artinya.
Mengeksploitasi sumberdaya
perikanan haruslah membiarkan sejumlah tertentu induk-induk ikan
yang mempunyai ukuran panjang sama dengan atau lebih
besar dari
pada
ukuran
ikan yang dicapai pada kematangan
gonadnya yang pertama (Sujastani, 1974). Dinamika Powulasi Penskaiian Stok denaan Model Surwlus Produksi Pengkajian
stok
dengan
mempergunakan
Model Surplus
Produksi ternyata tidak dapat dilakukan, karena dari
data
yang tersedia diperoleh hubungan positif antara CPUE dengan upaya (Gambar 13).
Hal ini bertentangan dengan kondisi yang
diperlukan oleh Model Surplus Produksi, yaitu CPUE haruslah menurun dengan bertambahnya upaya penangkapan (Sparre & 1989), yang
aJ.,
menunjukkan terjadi reduksi dari biomassa
stok dengan diintensifkannya penangkapan (Panayotou,l982). Dengan demikian persyaratan untuk menggunakan Model Surplus Produksi
tidak
nilai q,
kemampuan penangkapan
dianggap
konstan, tetapi berubah dari tahun ke tahun dengan
makin
besarnya
terpenuhi. Salah
unit-unit
jaringnya maupun
satu
sebab
adalah,
(catchability) tidak dapat
pukat cincin,
baik
kapalnya,
mesin-mesin yang dipergunakan atau karena
terjadinya perubahan-perubahan lingkungan. Metode-metode baku dalam mem-fit-kan
Model
Surplus
Produksi kepada data selalu mengandung bahaya, bahwa data yang dipergunakan tersebut tidaklah berasal dari suatu perikanan yang berada dalam keseimbangan (Pitcher dan Hart, 1982)
.
Menurut
mengkorelasikan dengan
Csirke surplus
kelimpahan
penangkapan,
produksi
stok
adalah
(1988)I
atau
merupakan
model-model (atau
laju suatu
Yang
hasil berimbang) kematian
alat
karena
penting dalam
pengkajian dan pengelolaan stok-stok ikan yang dieksploitasi tetapi
penggunaannya
untuk
ikan-ikan
pelagis
kecil
bergerombol memerlukan perhatian khusus pada keterbatasanketerbatasan dan kendala-kendalanya. lingkbngan yang
dapat mempengaruhi
Perubahan-perubahan parameter-parameter
dari model (misalnya daya dukung), atau perubahan-perubahan
dari
kemampuan
penangkapan,
akan mempengaruhi derajat
keabsahan dari data CPUE atau upaya tersedia
sebagai
ukuran
penangkapan yang baik,
kelimpahan
penangkapan dan laju
sering merupakan
yang
kematian
sumber-sumber
masalah utama bilamana model-model ini di-fit-kan pada ikanikan pelagis kecil bergerombol. Perubahan-perubahan kemampuan penangkapan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan besarnya stok dan atau kondisi lingkungan, juga menyebabkan model-model kecuali
surplus
dapat
produksi
diperoleh
sulit
untuk dipergunakan,
ukuran-ukuran kelimpahan dan
laju kematian karena penangkapan yang memuaskan (Csirke, 1988).
Terjadinya lebih tangkap pada perikanan lemuru di perairan Selat Bali apakah secara langsung hanya disebabkan oleh penangkapan saja atau juga oleh perubahan-perubahan lingkungan, tidaklah diketahui secara pasti. diperkirakan langsung.
kedua
faktor
tersebut
Dalam ha1 ini
berperan
secara
Secara tidak langsung, perusahaan-perusahaan
pengolahan, terutama perusahaan-perusaan penepungan dan perebusan untuk bahan tepung (penggaplekan) juga
berperan
dalam merangsang perkembangan dari alat tangkap pukat cincin di Selat Bali, di samping mudahnya memperoleh alat tersebut. Kapasitas pengalengan dari 9 pabrik pengalengan di Muncar dan 6 di Pengambengan adalah kapasitas penepungan dan usaha-usaha dagang dan
200
ton perhari, sedangkan
penggaplekan dari tradisional
pabrik-pabrik,
yang ada
di
Muncar,
Pengambengan dan Kedonganan dari kira-kira 250-an perusahaan
diperkirakan 1.942 ton per hari.
Kebutuhan akan bahan baku
untuk pengalengan saja lebih dari 55.000 ton per tahun, padahal produksi lemuru rata-rata hanya 28.000
ton per
tahun (1981-1989). Ini berarti telah terjadi investasi yang berlebihan dalam sub-sektor perikanan lemuru di Selat Bali. Menurut Tanumihardja (1982), kebutuhan akan bahan baku pengalengan hanya dapat terpenuhi 25% saja dari kapasitas yang ada per tahun.
Menurut data yang ada, hanya satu dua
tahun saja yang melebihi 55.000 ton per tahun.
Tingginya
permintaan akan bahan baku lemuru ini sangat merangsang para nelayan untuk menangkap sebanyak-banyaknya termasuk juga ikan sempenit. Walaupun banyak nelayan yang tahu, bahwa menangkap ikan sempenit
akan
merusak
sumberdaya dan
menyulitkan dalam menangkap dan melepaskannya dari jaring, tetapi penangkapan ikan-ikan
sempenif masih terus berlang-
sung, yaitu rata-rata 23,0% dan 7,7% pada tahun 1988 dan 1989.
Nelayan-nelayan
terpaksa
menangkap
ikan -ikan
sempenit terutama apabila mereka tidak berhasil menangkap ikan-ikan lemuru yang besar-besar, yaitu untuk menutup biaya-biaya operasi. Penqkaiian Stok denaan Model Analitik Berdasarkan analisis data frekuensi panjang yang dikumpulkan selama penelitian, hanya dapat dirunut satu kurva pertumbuhan saja, baik dengan Metode Bhattacharya maupun ELEFAN.
Panjang
asimtotik
Metode Bhattacharya lebih
(L,)
kecil
yang
diperoleh dengan
dari ~ a x / 0 , 9 5 ,sedangkan
dengan ELEFAN lebih besar.
Ini sesuai dengan yang diharap-
kan, mengingat ELEFAN secara prinsip berdasarkan atas kebalikan
rumus pertumbuhan von Bertalanffy (inverse von Berta-
la,nffy growth formula) Nilai L,
.
yang diperoleh dengan Metode ELEFAN adalah
lebih besar dari Lma,/0,95.
Ini sesuai dengan pendapat
Mathews dan Samuel (1990), bahwa untuk ikan-ikan berumur pendek, maka L,
akan 'selalu lebih besar dari pada L,/0,95
sedangkan untuk ikan-ikan berumur panjang adalah sebaliknya. L Nilai ,
cm.
yang diperoleh dengan metode Wetherall adalah 22,92
Nilai ini dekat dengan nilai L, yang diperoleh dengan
metode ELEFAN 1. Oleh karena itu, parameter-parameter pertumbuhan yang diperoleh dengan Metode ELEFAN lebih masuk aka1
dibandingkan dengan
yang
diperoleh
dengan
Metode
Bhattacharya dengan plot Gulland dan Holt. Dalam Metode Bhattacharya, subyektivitas cukup besar di dalam memilih titik-titik untuk menentukan komponen-komponen yang terdapat di dalam suatu contoh frekwensi panjang. Dalam Metode ELEFAN, subyektivitas ini dikurangi, akan tetapi asumsi bahwa puncak-puncak atau modus-modus dari "restructured length frequency distributionw mewakili grupgrup umur dalam populasi masih merupakan tanda tanya, mengingat adanya pemijahan yang berkepanjangan di daerah tropis (Martosubroto, 1982). Titik perubahan kecepatan tumbuh ikan lemuru di parairan Selat Bali dicapai pada umur 1,04 tahun atau pada panjang
15,7
cm, lebih kecil dari panjang ikan pertama
kali
matang gonad (18,04 cm)
.
Ini berarti ikan-ikan lemuru
mempunyai titik perubahan kecepatan tumbuh pada awal pertumbuhan mereka, atau dapat dikatakan bahwa ikan-ikan lemuru mencapai pertambahan berat tertinggi sebelum mereka mencapai kematangan gonad.
Oleh karena itu, eksploitasi ikan lemuru
ini haruslah dilakukan di belakang titik perubahan tan
tumbuh,
supaya
kecepa-
terdapat atau tersedia cukup induk-
induk ikan yang akan memijah (Sujastani, 1974).
Akan tetapi
penangkapan seperti ini akan merugikan karena laju kematian alamiah ikan lemuru sangat tinggi, yaitu 1,00 per tahun. Oleh karena itu sebagai jalan tengah, pengusahaan ikan ini dapat dilakukan tepat pada titik perubahan kecepatan tumbuhnya
. Laju total kematian (Z) yang diduga dengan kurva hasil
tangkapan melalui Program ELEFAN 2 jauh lebih tinggi dari pada nilai-nilai yang diperoleh melalui Z/K atau panjang rata-rata.
Dari hasil-hasil yang pernah dicapai dengan
mempergunakan data tahun 1977, 1979, 1980 dan 1981, diperoleh nilai yang berkisar antara 2,24-6,57 dengan rata-rata 4,87 per tahun.
Nilai yang diperoleh dengan kurva hasil
tangkapan sekarang adalah 5,86. karena laju
kematian
Hal ini mungkin disebabkan
penangkapan
(F)
sekarang berbeda
dengan tahun 1981 dan sebelumnya, atau karena versi program ELEFAN yang dipakai berbeda. Sebab dari jumlah upaya, f.
nilai Z
ini tergantung
Jadi bervariasinya nilai Z dari tahun
ke tabun sesuai dengan variasi dari jumlah upaya (f) yang beroperasi di perairan Selat Bali.
Nilai laju kematian alami
(M)
yang diperoleh dengan
rumus empiris Pauly ada'lah sebesar 1,69. clupeid
Pauly
(1980)
menyarankan
Untuk ikan-ikan
untuk mengoreksi nilai
ya'ng diperoleh tersebut dengan mengalikannya dengan 0,8. Tetapi Kunzel dan Lowenberg (1990) dan Csirke (1988) menyarankan untuk mempergunakan faktor koreksi 0,6-0,8.
Dalam
dari' saran-saran di atas dipertulisan ini sebagai'k~m~romi gunakan faktor koreksi 0,7 (antara 0,6-0,8), sehingga diperoleh nilai dugaan M = 1,18 (Tabel 14). Menurut Beverton dan Holt (1959) dan Beverton (1963) dalam Csirke (1988), ikan-ikan clupeid mempunyai rasio M/K yang berkisar antara 0,8-1,3. roleh nilai K
=
Untuk ikan-ikan lemuru dipe-
0,961 sehingga melalui hubungan di atas
diperoleh nilai M yang berkisar antara 0,77-1,25.
Nilai-
nilai M yang diperoleh sekarang terletak di antara kisaran nilai
di
atas.
Perubahan-perubahan yang umum terjadi pada koefisien kemampuan
penangkapan
pada
ikan-ikan
pelagis
kecil
menyebabkan sulit untuk menduga laju-laju kematiannya secara masuk akal.
Di ~sampingitu,
masalah-masalah yang sering
muncul dari kenyataan bahwa suatu gerombolan
ikan cederung
terdiri dari ikan-ikan yang kira-kira sama ukurannya, oleh karenanya sangat sulit untuk memperoleh suatu contoh yang representatif dari komposisi ukuran suatu populasi.
Masa-
lah-masalah inilah yang kelihtannya mempengaruhi metode "length-basedM untuk menduga mortalitas, pertumbuhan dan parameter-parameter pertumbuhan lainnya yang telah berkem-
bang, dan penggunaan mereka telah menyebar sangat cepat selama dekade terakhir (Csirke, 1988). Pendugaan stok dengan mempergunakan
Model
Y/R
adalah
untuk memberikan nasehat-nasehat kepada para pembuatan keputusan mengenai pengaruh-pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari tindakan-tindakan yang berbeda (Gulland, 1983b).
Terutama perhatian ditujukan kepada pengaruh-
pengaruh dari perubahan dua parameter yang dapat dikontrol secara langsung, yaitu jumlah penangkapan yang diukur dengan F, dan besarnya mata jaring yang diukur dengan 1,
atau
tc.
Menurut Allen (1969), berhasil tidaknya penerapan dari Model Y / R ini tergantung terutama kepada sesuai tidaknya persamaan
pertumbuhan von Bertalanffy sebagai suatu deskripsi dari pertumbuhan ikan secara umum. Analisis Y / R hanya diterapkan untuk jangka panjang dan dalam situasi-situasi keseimbangan (Pauly, 1984). Untuk jangka pendek (kira-kira kurang dari lima tahun), kenaikan F (menaikkan jumlah penangkapan) dan penurunan tc (memperkecil mata jaring),
selalu menghasilkan
hasil yang lebih besar,
walaupun apabila analisis Y / R meramalkan kecil.
Begitu
juga
sebaliknya,
hasil'yang
dengan
lebih
menurunkan
F
(mengurangi penangkapan) dan menaikkan tc (memperbesar mata jaring) selalu walaupun dalam besar.
menghasilkan hasil jangka
Ini disebabkan
yang
lebih
kecil,
panjang diramalkan hasil yang lebih apabila misalnya mata jaring yang
dipakai diperbesar, maka dalam jangka pendek hasil mulamula akan turun, karena banyak ikan-ikan yang 1010s dari
'
jaring. Tetapi dalam jangka panjang, ikan-ikan akan dapat tumbuh lebih besar sebelum mereka tertangkap, sehingga hasil akan naik dan pada suatu saat akan lebih tinggi dari pada hasil
sebelum
mata jaring
diperbesar.
Akan
terjadi
sebaliknya apabila mata jaring diperkecil, yaitu mula-mula hasil
akan
naik
tertangkap dari
karena
ikan-ikan
sebelumnya, tetapi
banyak
lebih
yang
lama-kelamaan, karena
ikan-ikan tersebut tertangkap sebelum dapat tumbuh mencapai ukuran yang lebih besar (wajar), maka
hasilnya
akan menu-
run, dimana pada suatu saat akan lebih kecil dari pada hasil sebelum mata jaring diperkecil. Nilai
Y/R maksimum pada tingkat F yang rendah terjadi
hanya pada ikan-ikan besar, berumur panjang, mempunyai laju kematian yang rendah, misalnya ikan pedang, Xiphias gladius. Pada ikan-ikan tropis kecil, nilai F yang
memberikan
nilai
Y/R maksimum, umumnya tinggi
sekali. Oleh karenanya, peng-
gunaan analisis Y / R
mengelola perikanan
untuk
yang didasarkan hanya kepada
ikan-ikan kecil
tropis
saja haruslah
berhati-hati (Pauly, 1984). Kelemahan dari pendugaan variasi-variasi
dalam
dengan Y/R adalah karena
rekrutmen
mempengaruhi hasil-per-rekrut, dan tidak
ada
Garcia
dan
variasi-variasi cuaca
.
juga
tidak
diasumsikan bahwa
pertumbuhan dan kematian yang ndensity- depend-
ent" (Rothschild, 1986). nya
diasumsikan
Josse tahunan
Oleh
beberapa
penulis, diantara-
(1988), dikemukakan bahwa terjadi rekrutmen
yang disebabkan oleh
Y/R adalah merupakan salah satu model yang biasanya
dipergunakan sebagai dasar strategi-strategi pengelolaan perikanan di
samping
model-model
surplus produksi (Sissewine, 1984).
stok-rekrutmen dan Model ini adalah juga
untuk spesies tunggal, oleh karenanya dengan mempergunakan model ini tidaklah dapat dipergunakan untuk meramalkan pengaruh-pengaruh dari perubahan-perubahan penangkapan pada satu spesies terhadap spesies lainnya (Taivonen, Auvinen dan Valkeajarvi, 1982). Caveriviere (1986) telah berhasil menerapkan model ini untuk ikan-ikan demersal, yaitu menaikkan hasil dengan menurunkan jumlah upaya penangkapan dan memperbesar mata jaring.
Model ini akan sangat bermanfaat apabila tidak ada
hubungan nyata antara stok dewasa dan rekrut,
dan
dapat
menyediakan strategi jangka panjang terbaik (Pitcher dan "Strategi jangka panjang
Hart,
1982).
tidak
banyak menolong
kegagalan rekrutmen.
bilamana stok
terbaikM
mungkin
baru saja mengalami
Oleh karenanya akan lebih aman dengan
memasukkan suatu hubungan antara stok dan rekrutmen ke dalam model dari pada mengasumsikan bahwa rekrutmen adalah konstan Menurut Rothschild (1986), validitas dari model Y/R memerlukan stabilitas dari pertumbuhan dan kematian, di samping asumsi bahwa rekrutmen tidak ada hubungannya dengan Y/R
atau dengan biomassa stok.
Rekrutmen pada perikanan
lemuru di Selat Bali belumlah diketahui, karena belum pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan itu.
Oleh
karena itu, perlulah dilakukan penelitian mengenai rekrutmen
ini, mengingat variabilitas jangka pendek, pada skala waktu beberapa tahun, dari populasi ikan sardine dan juga anchovy tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh fluktuasi-fluktuasi lingkungan (Shannon & aJ.,
1988 dalam Lluch-Belda
d.,
1989), dan variabilitas yang demikian cenderung diperkuatl diperbesar oleh eksploitasi. Biasanya yang sering diterapkan adalah analisis Y/R dengan mempergunakan model Beverton dan Holt (1957), dimana diperoleh pertumbuhan ikan yang isometris.
Tetapi kalau
pertumbuhan ikan adalah alometris, seperti halnya pertumbuhan ikan lemuru di Selat Bali, maka haruslah
dipergunakan
Model Jones (1957). Analisis Y/R yang diterapkan kepada ikan cakalang dari Sumatra Barat (pertumbuhannya juga alometris), diperoleh hasil bahwa apabila Model Beverton dan Holt (1957) dipaksakan penggunaannya pada nilai b yang lebih besar dari 3 (diasumsikan sama dengan 3), maka diperoleh nilai Y/R yang lebih besar dari pada apabila dipergunakan Model Jones (1957) yang sesuai dengan nilai b yang sebenarnya (Merta, 1989).
Hasil tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh
Ricker (1975), bahwa pengaruh dari penggunaan nilai b=3 dari pada nilai b yang sebenarnya pada Model Jones (1957) adalah meng-llunderestimateuY/R jika nilai b yang sebenarnya kurang dari 3, dan sebaliknya meng-MoverestimateN Y/R jika nilai b yang
sebenarnya
lebih besar.dari 3.
Menurut Pauly (1984), ternyata Model Jones (1957) sangat berbeda dengan model-model lain seperti Paulik dan
Gale (1964), Generalisasi VBGF (Von Bertalanffy Growth Formula), Beverton
dan Holt (1957),
karena
model
(1957) paling tidak sesuai dengan asumsi bahwa tmax tidak
Jones adalah
terhingga dalam persamaan (80). Walaupun ada ketidak
pastian dari
pengetahuan mengenai parameter-parameter yang
dimasukkan kedalam model Y/R dan kelemahan-kelemahan dari model
itu sendiri, tetapi masih mungkin untuk menarik
beberapa kesimpulan dari hasil-hasil yang diperoleh. Dengan mempergunakan nilai-nilai masukan yang disajikan pada Tabel 16, maka diperoleh hasil-hasil seperti yang digambarkan pada Gambar Lampiran 9 dan 10.
Pada Gambar 9
terlihat bahwa makin kecil nilai M, makin kecil pula nilai FpllSyl tetapi nilai MSY-nya makin besar.
Menurut Widodo
(1986), alasannya adalah, bahwa nelayan-nelayan seolah-olah harus berkompetisi dengan laju
kematian
alami, yang ber-
arti tidak ada individu-individu yang mati dan karena penangkapan secara simultan.
secara
alami
Nalayan-nelayan
harus menangkapnya sebelum ikan-ikan tersebut mati karena sebab-sebab selain
karena
penangkapan (kematian alami).
Oleh karena itu, konsekuensinya adalah, untuk laju kematian alami yang tinggi diperlukan laju penangkapan yang tinggi pula untuk memperoleh suatu yield maksimum. Dengan nilai M = 1,l diperoleh kurva yang asimtotik, yaitu tidak akan terdapat maksimum walaupun nilai F dinaikkan terus.
Pada Gambar Lampiran 10, makin tinggi nilai tc
makin'tinggi pula MSY maupun FMSy-nya. diperoleh kurva yang juga asimtotik.
Pada nilai tc = 1,2 Pada tc = 0,8 (kira-
kira pada keadaan sekarang), diperoleh nilai Y / R maksimum sebesar
25,83
gram
tingkat F = 3,O. Nilai F
pada
yang ada sekarang adalah 3,82, ini berarti sudah terjadi le"bih-tangkap. Lebih tangkap yang terjadi adalah lebih tangkap
dan barangkali juga lebih'tangkap
pertumbuhan
rekrutmen
Sparre & A., 1989).
(Pauly, 1988;
Oleh ini, maka
nilai
F
sekarang
haruslah
diturunkan
sebesar 21,47%.
Kalau
yang diijinkan
pemerintah yang masih berlaku
ini sebanyak 273 kan menjadi
(3/4
unit,
hanya
dengan catatan semuanya
maksimum
karena itu, untuk mencapai nilai Y / R
dan
kita berpegangan kepada jumlah SIUP
maka jumlah ini
pada
saat
haruslah diturun-
214 saja (dikurangi sebanyak 59 unit),
bahwa semua kapal yang mempunyai SIUP aktif besar
mata
jaring
tetap
sebesar
1,9 cm
inci). Jumlah kapal-kapal yang
menangkap
ikan dari Muncar,
Pengambengan dan Kedonganan adalah rata-rata 55 buah
setiap
hari (1988-1989).
Untuk mencapai Y / R maksimum, maka jumlah
kapal-kapal
beroperasi
yang
haruslah
21,47% sehingga menjadi hanya hari.
Jumlah ini dapat
pendaratan
43
buah- kapal saja
dialokasikan
disesuaikan
dengan
berdomisili di tempat-tempat itu.
diturunkan sebanyak
kepada
jumlah
setiap
ketiga tempat
kapal-kapal
yang
Hal ini dilakukan dengan
membiarkan besarnya mata jaring yang beroperasi sekarang dalam
keadaan status quo. Kalau tc dinaikkan dari 0,8 menjadi 1,O tahun, maka Y / R
maksimumnya naik menjadi 32,43 gram, yang dicapai pada nilai
F = 3,50.
Walaupun nilai tc dinaikkan, tetapi FMSy masih
lebih rendah dari kedaan sekarang.
Hasil ini juga menunjuk-
kan bahwa perikanan lemuru di Selat Bali sudah mengalami lebih-tangkap. sebesar
Jadi, untuk
mencapai
32,43 gram, maka di samping
dari 0,8 menjadi 1,O juga harus
menurunkan
atau dengan kata lain, nilai F yang ada
nilai F yang
3,50 per tahun,
sekarang diturunkan
Dengan analisis ini jumlah
SIUP yang ada
sebanyak 273 buah haruslah diturunkan menjadi atau
dikurangi sebanyak 23 buah.
maksimum
menaikkan nilai tc
ada sekarang sebesar 3,82 menjadi hanya
sebesar 8,38%.
Y/R
nilai
250
buah,
Jumlah kapal yang
bero-
perasi diperkirakan rata-rata sebanyak 55 unit per
haridi
seluruh Selat Bali.
Jadi jumlah ini
haruslah
dikurangi
sebanyak 8,38% atau 5 kapal per hari, sehingga rnenjadi hanya 50 kapal per hari. SKB No. 711985-No.411985 di samping menetapkan jumlah SIUP sebanyak 273 buah, juga menetapkan panjang pukat cincin yang beroperasi tidak boleh lebih dari 150 m dan besar mata bagian kantong tidak boleh kurang dari 2,54 cm (satu inci)
.
Sebelum SKB ini ke luar, besar kapal yang beroperasi ratarata 9 x 1,5 x 0,6 m, dengan 2-3
buah
mesin
berkekuat'an 9,5-13 PK (Anonim, 1990b).
masing-masing
Kapal-kapal yang
beroperasi sekarang (1989/90) kira-kira 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan sebelum SKB terakhir dikeluarkan pada tahun 1985, yaitu rata-rata berukuran 17 x
4
x 1,7 m, dengan
mempergunakan 4-5 buah mesin masing-masing berkekuatan 23-25 PK.
Di samping itu, jaringpun sudah bertambah besar (ber-
tambah panjang dan bertambah lebar) rata-rata panjang 240 m dan lebar 60 m, sebelumnya panjang dan lebarnya masingmasing berkisar antara 139-185 m dan 25-36 m. Jumlah kapal pukat cincin yang masih aktif di Selat Bali adalah 194 unit di Muncar (172 dengan SIUP dan 22 unit non-SIUP), 61 unit di Pengambengan dan 6 unit di Kedonganan, seluruhnya berjumlah 261 unit.
Jumlah ini haruslah diku-
rangi sebanyak 21,47% untuk mencapai nilai Y/R maksimum 25/83 g. pada tc
=
0,8 yaitu menjadi 205 unit.
Untuk menca-
pai nilai Y/R maksimum sebesar 32/43 g. pada tc = 1,O maka jumlah unit yang aktif sebanyak 261 haruslah dikurangi 8,38%, sehingga menjadi hanya 239
unit.
Pengurangan jumlah kapal dengan menaikkan nilai tc jauh lebih sedikit dibandingkan dengan apabila membiarkan nilai tc dalam keadaan status quo.
Tetapi, bersamaan dengan
pengurangan ini, besarnya mata jaring yang beroperasi sekarang sebesar 1,9 cm (3/4 inci) haruslah dinaikkan men jadi 2/54 cm
(atau kira-kira 1 inci)
.
Seperti yang telah disinggung di depan, umur pada kecepatan tumbuh tertinggi dari ikan lemuru adalah 1/04 tahun atau pada panjang 15,7 cm. dengan 15,4 cm pada tc = 1,O.
Nilai ini dekat sekali
Sebaiknya eksploitasi dilaku-
kan di belakang titik ini, atau dibelakang panjang 15,7 cm, tetapi karena nilai M dari ikan lemuru di Selat Bali sangat tinggi, maka kalau ha1 ini dilakukan akan merugikan.
Oleh
karena itu, sebagai jalan tengah hendaknya ditempuh suatu kebijaksanaan untuk mengeksploitasi ikan lemuru tepat pada
titik kecepatan tumbuh maksimum atau kira-kira pada
tc = 1.
Karena perbedaan nilai F yang ada sekarang dengan FMSy pada nilai tc = 1,O tidak begitu besar (hanya 0,32), maka dapat diambil langkah-langkah dengan membiarkan sementara jumlah SIUP yang ada sebanyak 273 buah dalam keadaan status quo dan terus dipantau, tetapi mata jaring
haruslah diper-
besar dari 1,9 cm (314 inci) menjadi kira-kira (kira-kira satu inci)
.
2,54 cm
Perubahan ini tentunya tidak dapat
dilakukan dengan sekaligus, karena
akan menimbulkan
suatu
dampak sosial-ekonomi yang cukup besar. Untuk mengurangi dampak ini, perubahannya
dapat dilakukan
misalnya setiap nelayan jaringnya, haruslah
besar
memperbaiki mata
secara bertahap, atau
jaringnya
mengganti
sudah
menjadi
satu inci. Untuk memberikan kesempatan kepada ikan-ikan lemuru untuk tumbuh dari tc = 0,8 menjadi tc = 1,O atau dari 13,5 cm menjadi kira-kira 15,5 cm, maka diperlukan waktu kirakira 2,5 bulan.
Ini berarti musim penangkapan hendaknya
ditutup selama 2,5 bulan, yaitu mulai dari munculnya ikanikan sempenit untuk pertama kali.
Selama penelitian, ikan-
ikan sempenit banyak muncul pada bulan Juni 1990, jadi menurut hasil analisis di atas, operasi penangkapan haruslah baru dimulai pada pertengahan bulan September 1990.
Ini
dapat dilakukan apabila besar mata jaring yang beroperasi sekarang dibiarkan dalam status quo. ~asil-hasilanalisis di atas menunjukkan telah terjadinya
lebih
tangkap
pada
perikanan
lemuru di Selat Bali.
Dengan
demikian, hipotesis bahwa
exploitedw atau bahkan dap
telah
telah
terjadi
terjadi ttfully
woverfishingw terha-
perikanan lemuru di Selat ~ a l iternyata
benar.
Di daerah sedang (temperate), untuk pembatasan nilai F secara umum dipergunakan konsep Fotl, yaitu 1/10 dari laju kenaikan Y/R yang dapat diperoleh dengan menaikkan F, pada tingkat F yang rendah (Gulland, 1983b; Gulland dan Boerema, Konsep Fot1 ini dapat dipandang sebagai pengganti bagi MEY (Maximum ~conomicyield), yang 1973 dalam Pauly, 1984).
dapat diterapkan dalam keadaan dimana data ekonomi mengenai perikanan tersebut tidak tersedia (Pauly, 1984). Jadi dalam pengelolaan perikanan, ada tiga konsep yang biasanya dipakai, yaitu F O t 1 , Fmax dan FMSy (Gulland, 1983b).
Jika rekrutmen tidak dipengaruhi oleh
maka jumlah penangkapan yang memberikan dengan yang memberikan FMSy.
Sebab
penangkapan,
Fmax akan berimpit
kalau
FO,1 berbeda dengan titik FMSy, yaitu Fmax
tidak, Fma, dan terjadi pada su-
atu laju penangkapan yang lebih tinggi dari pada FnSy dan FO,
pada laju penangkapan yang lebih rendah (Gulland,
1983b). Dugaan laju eksploitasi (E) yang diperoleh sebesar 0,79 dapat dipergunakan sebagai indikator telah terjadinya lebih tangkap, karena nilai E optimum telah terlampaui.
Lebih
tangkap yang terjadi adalah lebih tangkap biologi (biological overfishing), yaitu lebih tangkap pertumbuhan dan rekrutmen terjadi secara bersama-sama (Pauly, 1988).
Penaelolaan Teknik pengelolaan yang dapat diterapkan secara nyata tergantung dari pada tipe perikanannya (Gulland, 1982). Pada perikanan berskala kecil sangat sulit mencegah setiap orang untuk menangkap ikan, terutama bila pekerjaan-pekerjaan lain tidak ada.
Hal ini juga terjadi pada perikanan
lemuru di Selat Bali sejak berkembangnya pukat cincin. Cara-cara untuk berskala
kecil
diterima, dan kan.
mengontrol barangkali
dalam
upaya
total
secara
setiap kasus
pada perikanan
politis tidak dapat
sulit untuk dilaksana-
Pada prakteknya, peraturan-peraturan pada perikanan
berskala kecil haruslah dibatasi untuk mengontrol pola-pola penangkapan
-
tipe-tipe alat yang dipergunakan, penutupan
daerah atau musim, atau pada ukuran ikan yang dapat dijual (yang terakhir mungkin malahan lebih sulit untuk dilaksanakan dari pada yang lainnya). Menurut Olson (1982), ada dua kekuatan penggerak (driving forces) dalam pengelolaan perikanan, yaitu (a) sumberdaya, dan (b) pasar untuk
sumberdaya tersebut.
Apabila salah satu dari kekuatan tersebut diabaikan, berarti tidak akan diperoleh hasil-hasil pengelolaan yang optimal. Dalam kasus perikanan lemuru di. Selat Bali, pengelolaan tidak saja ditekankan kepada sumberdayanya saja, tetapi juga perusahaan-perusahaan daya tersebut.
pengolahan yang memanfaatkan sumber-
Hendaknya dilakukan pembatasan-pembatasan
terhadap kapasitas pengolahan untuk mencegah investasi yang berlebihan
(Butterworth, 1983),
karena
investasi
dapat
mempengaruhi jumlah penangkapan dan cara bagaimana sumberdaya tersebut dimanfaatkan (Gulland, 1982). Laju kematian karena penangkapan, F, tidaklah dapat diamati atau dikontrol secara langsung. kita biasanya
Oleh karenanya,
memonitor dan atau mengontrol dua besaran
yang berhubungan secara langsung dengan F, yaitu hasil tangkapan dan upaya (Parsons, 1980).
Metode yang paling
umum untuk mengontrol jumlah penangkapan (yaitu laju mortalitas penangkapan) adalah dengan men-set batas-batas dari total hasil tangkapan (Total Allowable Catch, TAC).
Walau-
paun cara ini cukup berhasil dilaksanakan di perairan sedang (temperate), tetapi akan mempunyai banyak kelemahankelemahan bila diterapkan di perairan tropis (Gulland, 1982).
Secara sepintas lalu pengaturan F dengan mengontrol
upaya (jumlah kapal-kapal yang beroperasi) kelihatannya mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan kontrol hasil tangkapan.
Jika terjadi variasi-variasi yang cukup
besar dalam kelimpahan rata-rata atau q, akan berarti bahwa mengontrol hasil tangkapan dan upaya pada suatu nilai tertentu tidak akan mencapai tingkat F yang diinginkan (Parsons, 1980).
Mengontrol upaya penangkapan berarti mengon-
trol armada atau armada-armada yang bekerja pada suatu sumnberdaya yang spesifik (Olson, 1982). Penutupan musim dan daerah penangkapan, sering dikombinasikan, telah dipergunakan pada banyak perikanan untuk membatasi jumlah penangkapan (yaitu, mortalitas penangkapan) untuk mencapai tingkat yang diinginkan secara tidak langsung
(Gulland, 1974; Parsons, 1980), yaitu melalui pembatasan upaya penangkapan (Butterworth, 1983). Dalam ha1 perikanan lemuru di Selat bali, dimana belum diketahui dengan pasti musim dan daerah pemijahannya, dan kalihatannya daerah pemijahannya di luar daerah penangkapan, maka penutupan musim dapat dilakukan mulai dari munculnya ikan-ikan sempenit di perairan paparan Jawa maupun Bali kira kira pada bulan Juni. Karena ikan-ikan lemuru, muncul di perairan paparan dekat pantai, maka perlu diadakan peraturan yang melarang dilakukannya penangkapan di daerah pantai dimana terdapat ikan-ikan sempenit, terutama di teluk-teluk. Dengan makin bertambah besarnya unit alat tangkap pukat cincin yang beroperasi di Selat Bali, terutama makin bertambah lebarnya jaring yang dipakai, maka nelayan-nelayan tidak berani menangkap dekat pantai pada perairan yang dangkal. Dengan demikian, tanpa disadari, mereka ikut melindungi daerah pantai sebagai daerah asuhan ikan-ikan sempenit.
Hal
ini umumnya terjadi di paparan Bali yang cukup lebar, tetapi di paparan Jawa yang sempit, nelayan langsung beroperasi dekat pantai. Menurut beberapa nelayan, mereka baru
akan
menangkap ikan-ikan sempenit apabila dijumpai gerombolannya yang
besar
pada kedalaman tidak kurang dari
70
meter.
Pengaturan besarnya mata jaring perlu diterapkan untuk memberikan kesempatan kepada ikan-ikan kecil untuk tidak cepat tertangkap dan membiarkan tumbuh mencapai ukuran yang wajar-
Untuk
kasus
perikanan
lemuru
di Selat Bali,
pelaksanaan pembesaran mata jaring dapat dilaksanakan secara
bertahap, misalnya setiap
perbaikan atau penggantian alat
baru harus sudah memakai mata yang besarnya inci). Hal ini tidak akan terlalu sulit untuk nya
2,54
cm (satu
melaksanakan-
karena nelayan-nelayan membeli jaringnya di toko
(buatan pabrik). Perbaikan dalam total hasil tangkapan dengan menaikkan umur ikan pertama kali tertangkap (tc) adalah sama dengan menaikkannya dengan menurunkan jumlah penangkapan (Gulland, 1974).
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa cara yang belakan-
gan tersebut mengandung beberapa langkah yang tidak menyenangkan, yaitu untuk memberi tahu beberapa atau semua nelayan untuk berhenti menangkap untuk beberapa lama atau selama-lamanya.
Peraturan mengenai besarnya mata jaring ini
perlu disertai dengan peraturan pelarangan pendaratan ikanikan di bawah ukuran yang diizinkan, yaitu untuk menghilangkan setiap keinginan dari nelayan mempergunakan mata jaring yang lebih kecil (Gulland, 1974)
.
Kalau peraturan musim penangkapan dilaksanakan, maka pemerintah hendaknya dapat mencarikan alternatif usaha kepada mereka, misalnya menangkap di luar perairan Selat Bali, baik dengan mempergunakan alat pukat cincin atau alatalat yang lain.
Dalam ha1 ini pemerintah hendaknya dapat
membantu memberikan subsidi kepada mereka, atau perusahaanperusahaan pengolahan yang ada disekitar Selat Bali menjadi bapak-bapak angkat.
Sebab kalau tidak demikian akan timbul
masalah-masalah sosial-ekonomi yang besar.
Untuk
perikanan
udang
di
Laut
Arafura
disarankan
mempergunakan teknik-teknik pengelolaan antara lain (Naamin, 1984) : 1. Penutupan musim dan daerah penangkapan
2. Menetapkan ukuran terkecil yang boleh ditangkap 3. Pengaturan jumlah
upaya penangkapan, yaitu
membatasi jumnlah kapal yang boleh beroperasi. Teknik-teknik pengelolaan yang disarankan untuk perikanan
layang di Laut Jawa antara lain (Widodo, 1988): 1. Membatasi jumlah dan
kapasitas kapal dan atau
nelayan 2. Mengawasi besarnya mata jaring yang beroperasi 3. Pengembangan fasilitas-fasilitas pelabuhan.
Bagi
sebagian pengusaha-pengusaha
terutama penepungan dan penggaplekan
pengolahan ikan,
yang
menampung ikan-
ikan sempenit, untuk mereka perlu dicarikan alternatif supaya mereka yang lain.
dapat
mengalihkan
dengan
membentuk
diberi
bantuan
kredit
di bidang
kelompok-kelompok yang (semacam KIK)
lain. Para
jumlahnya cukup banyak, yaitu
mencapai
Oleh karena
penyuluhan-penyuluhan
yang
yang
itu
intensif
kuat baik kepada
penepung/penggaplek untuk
agar mereka
penepungl
diseluruh Selat Bali.
motivasi
dengan
usaha
Salah satu cara yang kiranya dapat dilaksanakan
adalah
berusaha
usahanya
kemudian dapat
penggaplek ini
250 buah
lebih
perlu diberikan untuk memberikan
para nelayan maupun para
mau mengalihkan usaha mereka yang
telah lama mereka tekuni itu.