PENGARUH HUJAN EKSTRIM DAN KONDISI DAS TERHADAP ALIRAN Joko Sujono Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2 Yogyakarta 55281
[email protected]
ABSTRAK Karakteristik iklim terutama kejadian hujan ekstrim merupakan hal yang sangat penting dalam pekerjaan sipil khususnya dalam upaya pengendalian daya rusak air. Pada umumnya dianggap bahwa kejadian hujan ekstrim adalah stationer, tidak ada trend. dari populasi yang sama dan tidak ada perubahan secara signifikan dalam jangka panjang. Kondisi ini mungkin tidak tepat di daerah lereng Gunung Merapi. Dari kajian 8 (delapan) buah stasiun hujan otomatik di wilayah tersebut, terlihat bahwa secara umum ada kecenderungan jumlah kejadian ekstrim menurun. Namun demikian intensitas hujan ekstrim cenderung meningkat khususnya lokasi hujan di sebelah barat-baratdaya Gunung Merapi. Kondisi sebaliknya terjadi untuk stasiun hujan di sebelah utara dan tenggara Gunung Merapi. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kejadian hujan ekstrim dan interaksinya dengan kondisi DAS dapat meningkatkan besarnya aliran secara signifikan. Kata kunci: perubahan iklim, antecedent soil moisture, Curve Number, banjir
1.
PENDAHULUAN
Karakteristik hujan ekstrim di suatu wilayah sangat diperlukan dalam pekerjaan sipil hidro seperti bangunan sabo, groundsill. Hujan ekstrim pada umumnya dianalisis secara statistik berdasarkan pencatatan data hujan jangka panjang di wilayah tersebut. Dalam analisis dianggap bahwa data adalah stationer dari populasi yang sama dan tidak ada perubahan secara signifikan dalam jangka panjang. Akan tetapi dari banyak studi (seperti Angel dan Huff, 1977; Sutopo Purwo Nugroho, 2008; Afi Wildani, 2009) menunjukkan bahwa dewasa ini telah terjadi perubahan karakteristik hujan ekstrim yang mungkin diakibatkan adanya perubahan iklim. Sutopo Purwo nugroho (2008) dalam kajiannya tentang banjir Jakarta Februari 2007 menyebutkan bahwa banjir tersebut diakibatkan oleh hujan ekstrim sebesar 142 mm/hari untuk DAS Ciliwung yang setara dengan kala ulang 100 tahunan. Intensitas hujan tersebut jauh lebih besar dari kejadian banjir Januari 2002 yang diakibatkan oleh hujan 20 tahunan sebesar 110 mm/hari. Bahkan di beberapa stasiun menunjukkan hujan yang sangat ekstrim seperti Cileduk dengan 340 mm/hari (kala ulang 1000 tahunan) (Sutopo Purwo Nugroho, 2008). Hasil yang serupa ditunjukkan oleh Afi Wildani (2009) dalam studinya tentang permasalahan banjir S. Glugu Purwodadi-Jawa Tengah bahwa banjir Desember 2007 selain disebabkan oleh adanya backwater S. Lusi juga disebabkan oleh adanya hujan ekstrim (high outlier) sebesar 222 mm/hari yang setara dengan kala ulang 40 tahunan dengan menyumbang debit puncak sebesar 20% terhadap curah hujan normal. Hasil serupa juga terjadi pada kasus banjir Jakarta 2007 (Sutopo Purwo Nugroho, 2008). Dalam paper ini disajikan kajian tentang karakteristik hujan ekstrim di wilayah lereng G. Merapi, interaksinya dengan kondisi daerah aliran sungai dan pengaruhnya terhadap besarnya aliran banjir yang mungkin terjadi.
2.
METODOLOGI
Lokasi studi Analisis hujan ekstrim dilakukan untuk stasiun hujan otomatik di lereng G. Merapi seperti disajikan pada Gambar 1 (Firza Ghozalba, 2010). Dalam kajian ini dipilih 9 (sembilan) yaitu stasiun Argomulyo, Babadan, Batur, Deles, Gunung Maron, Kemasan, Pakem, Sorasan, dan stasiun Randugunting, dengan panjang data dari tahun 1989 s/d tahun 2008 (19 tahun). Untuk mengetahui pengaruh hujan ekstrim dan kondisi DAS terhadap aliran/banjir yang terjadi dipilih DAS Code di Pogung dengan luas 29.2 km2.
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-229
Keairan
Gambar 1. Lokasi stasiun hujan
Karakteristik hujan ekstrim Karakteristik hujan daerah studi dianalisis berdasarkan data hujan durasi pendek yang ada untuk mendapatkan intensitas hujan harian, 1 jam, 2 jam dan 3 jam. Berdasarkan hasil tersebut, pola kecenderungan atau trend dapat dilihat secara grafis baik untuk seluruh stasiun ataupun berdasarkan lokasi stasiun. Analisis statistik untuk uji trend seperti metode Mann Kendall test tidak dilakukan mengingat data yang tersedia relatif pendek.
Transformasi hujan aliran Transformasi hujan aliran dilakukan dengan menggunakan model hujan-aliran HEC-HMS (Ford, et al., 2008). Dalam model ini, untuk transformasi hujan aliran terdapat palaing tidak 4 (empat) komponen model yaitu model hujan, model untuk menghitung volume limpasan (loss model), transform model dan model aliran dasar. Model hujan yang meliputi agihan dan intensitas hujan menggunakan agihan hujan untuk kasus banjir besar di DAS Code di Pogung yaitu kasus bannjir tanggal 23-24 Maret 2005. Debit puncak banjir akibat hujan 90.5mm yang terjadi selama 4 jam adalah 68 m3/s.Volume limpasan dihitung dengan menggunakan konsep Soil Conservation Service Curve Number (SCS-CN). Model ini dipilih karena banyak digunakan dan relatif mudah dalam perhitungan besarnya hujan efektif dari suatu kejadian hujan. Selain itu besarnya nilai CN menggambarkan kondisi DAS secara keseluruhan karena CN merupakan fungsi dari jenis tanah, tutupan lahan juga kondisi DAS sebelumnya (antecedent moisture condition, AMC). Nilai CN pada umumnya tersedia dalam bentuk tabel yang dikeluarkan oleh SCS (Chow, et al., 1988). Model SCS-CN untuk menghitung volume limpasan atauhujan efektif dapat dihitung dengan persamaan berikut (Chow, et al., 1988): Qt =
(P t
- I a )2 (P t + S - I a
)
æ 1000 ö S =ç - 10 ÷ x 254 (m m ) è CN ø dengan Qt = jumlah kedalaman hujan efektif pada waktu t (mm), Pt = jumlah kedalaman hujan pada waktu t (mm), Ia = kehilangan awal ~0.2 S (mm), S= tampungan potensial tanah (mm), CN = curve number (fungsi dari jenis anah dan tutupan lahan).
Nilai CN yang diperoleh berdasarkan tabel merupakan nilai CN kondisi normal (CN(II)), untuk kondisi DAS yang basah (AMC III) nilai CN dikonversi dengan persamaan berikut: C N ( III ) =
H-230
(23 C N ( II ) )
(10 + 0.13 C N ( II ) )
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Keairan
Transform model untuk simulasi didasarkan pada hidrograf satuan untuk kasus banjir 23-24 Maret 2005, sedang aliran dasar mengikuti model resesi. Simulasi pengaruh hujan ekstrim dan kondisi DAS terhadap aliran dilakukan dengan masukan hujan ekstrim terjadi kenaikan 10% dan 20% dari kejadian hujan 23-24 Maret 2005, sedang kondisi DAS dalam keadaan basah (telah kerjadi hujan 5 hari sebelumnya sebesar minimal 30 mm, AMC III).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik hujan ekstrim Hasil analisis hujan harian dan durasi pendek (1 jam, 2 jam dan 3 jam) maksimum tahunan disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa untuk kurun waktu 1989 hingga 2008 di daerah studi tidak terjadi kejadian hujan yang sangat ekstrim. Secara umum intensitas hujan maksimum untuk semua durasi tidak terjadi fluktuasi yang signifikan. Akan tetapi jika dilihat karakteritik tiap stasiun, terlihat ada perbedaan antara stasiun yang terletak di sebelah barat daya-barat G. Merapi (Sta. Argomulyo, G. Maron dan Babadan) dengan stasiun yang terletak di sebelah selatan-tenggara G. Merapi (Sta. Batur, Deles, Pakem, Kemasan, Randu Gunting, Sorasan) seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Karakteristik hujan di sebelah barat daya-barat G. Merapi menunjukkan trend yang meningkat, sedang kondisi sebaliknya terjadi untuk stasiun yang terletak di sebelah selatan-tenggara G. Merapi. 150
400
(b)
(a) 300 100 200
ri) /h (m n ja u H
50
100
/) (m n ja u H
0 1985
1990
1995
Argomulyo Baturan G. Maron Pakem Sorasan
2000
2005
2010
Babadan Deles Kemasan Randugunting
0 1985
1990
1995
2000
2005
2010
Argomulyo
Babadan
Baturan
Deles
G. Maron
Kemasan
Pakem
Randugunting
Sorasan
Gambar 2. Karakteristik intensitas hujan untuk durasi (a) harian dan (b) 1 jam
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-231
Keairan
300
300
(b)
(a) 250
250
200
200
) m ja ) m ja 2 3
150
150
100
100
/ (m n ja u H / (m n ja u H
50
50
0 1985
1990
1995
2000
Argomulyo Baturan G. Maron Pakem Sorasan
2005
0
2010
1985
Babadan Deles Kemasan Randugunting
1990
1995
2000
2005
2010
Argomulyo
Babadan
Baturan
Deles
G. Maron
Kemasan
Pakem
Randugunting
Sorasan
150
150
100
100
Hujan (mm/jam)
Hujan (mm/jam)
Gambar 3. Karakteristik intensitas hujan untuk durasi (a) 2 jam dan (b) 3 jam
50
0 1985
1990
1995
Argomulyo
2000
2005
2010
Babadan
G. Maron
Linear (Babadan)
Linear (Argomulyo)
Linear (G. Maron)
50
0 1985 Baturan 1990 1995 Kemasan Randugunting Kemasan Sorasan Pakem
2000
2005 2010 Deles Pakem Sorasan Baturan Randugunting
Gambar 4. Trend intensitas hujan durasi pendek (1 jam) di Kawasan lereng G. Merapi Jumlah kejadian hujan deras (kedalaman lebih besar 50 mm) di seluruh stasiun hujan yang dikaji menunjukkan kecenderangan menurun seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan bahwa jumlah kejadian hujan ekstrim di daerah studi semakin sedikit dari tahun ke tahun, akan tetapi stasiun yang terletak di hulu menunjukkan kejadian hujan ekstrim yang lebih sering dibandingkan stasiun yang terletak di hilir. Menurunnya jumlah kejadian hujan ekstrim berimplikasi kepada kenaikan intensitas hujan ekstrim terutama di stasiun yang terletak di daerah hulu.
H-232
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Keairan
18
18
(a)
m
0 5
(b)
15
15 m
12
> P in tkjd ra e R
0 5
12
9
9
6
6 3
3 > P in tkjd ra e R
0 1985
0 1990
1995
2000
2005
1985
2010
1990
1995
2000
2005
2010
Tahun
Tahun
Gambar 5. Rerata jumlah kejadian hujan deras (P>50 mm): (a) seluruh stasiun (b) stasiun di hulu
Pengaruh hujan ekstrim dan kondisi DAS terhadap besarnya aliran Perubahan karakteristik hujan sebagai akibat adanya perubahan iklim akan berdampak pada aliran dan akan meningkatkan daya rusak air. Simulasi pengaruh kenaikan kedalaman hujan dan kondisi DAS sebelum terjadinya hujan disajikan pada Gambar 6 dan Tabel 1. Gambar dan tabel tersebut memperlihatkan bahwa kenaikan kedalaman hujan akan berakibat naiknya debit puncak aliran. Prosentase kenaikan debit jauh lebih besar dibandingkan dengan prosentase kenaikan kedalaman hujannya. Sebagai contoh kenaikan hujan sebesar 20% pada kondisi DAS normal berakibat pada kenaikan debit puncak aliran sebesar 32.9%. Kenaikan debit puncak aliran akan jauh lebih tinggi apabila kondisi DAS sebelum terjadinya hujan ekstrim sudah basah (AMC III) yaitu dapat mencapai kenaikan 2 (dua) kali lebih besar (69.9%) dibandingkan pada kondisi DAS normal. Hal ini dapat dipahami mengingat apabila kondisi DAS basah, maka hujan yang menjadi limpasan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi DAS normal. Melihat hasil simulasi di atas, analisis perubahan karakteristik hujan khususnya hujan ekstrim disuatu wilayah dan perubahan kondisi land use perlu mendapat perhatian khusus apabila akan dilakukan analisis hidrologi untuk perancangan. Selain itu kondisi DAS sebelumnya (antecedent moisture condision) juga perlu diperhitungkan dalam analisis banjir rancangan, karena akan besar pengaruhnya terhadap hasil transformasi hujan-aliran. 125
125
AMC-II, CN = 78.7
AMC-III, CN = 89.5 P=90.5mm
P=90.5mm
100
100
P=99.5mm
P=108.6mm 3
Debit (m /s)
3
Debit (m /s)
P=108.6mm
75 50
P=99.5mm
75 50 25
25
0
0 0
5
10
15
20
0
5
10
15
Gambar 5. Pengaruh kenaikan hujan dan kondisi DAS Waktu terhadap aliran (jam-ke)
20
Waktu (jam-ke)
Gambar 6. Pengaruh kenaikan hujan dan kondisi DAS terhadap besarnya aliran Tabel 1. Prosentase kenaikan debit puncak sebagai akibat perubahan hujan dan kondisi DAS P (mm)
% kenaikan hujan
AMC (II), CN=78.7 Qp (m3/s)
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
% Q
AMC (III), CN=89.5 Qp (m3/s)
% Q
H-233
Keairan
90.5 99.5 108.6
4.
0.0 10.0 20.0
68.38 79.49 90.85
0.0 16.2 32.9
90.8 103.5 116.2
32.7 51.3 69.9
KESIMPULAN
Dari uraian karakteristik hujan ekstrim dan pengaruhnya terhadap aliran di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1.
Hujan ekstrim cenderung naik di daerah barat-daya barat G. Merapi, kondisi sebaliknya terjadi di daerah selatan-tenggara G. Merapai dimana intensitas hujan ekstrim cenderung turun. Jumlah kejadian hujan ekstrim di daerah lereng G. Merapi cenderung turun, namun demikian kejadian hujan ekstrim di daerah hulu lebih sering dibandingkan di daerah hilir.
2.
Kenaikan intensitas hujan ekstrim yang sebelumnya didahului dengan serangkaian hujan yang membuat DAS dalam kondisi jenuh/ basah dapat menyebabkan kenaikan debit puncak aliran hingga dua kalinya dibandingkan kondisi DAS normal. 3. Analisis perubahan karakteristik hujan ekstrim, perubahan landuse dan interaksinya dengan kondisi DAS sebelumnya (antecedent moisture condision) perlu diperhitungkan dalam analisis transformasi hujan-aliran, karena akan besar pengaruhnya terhadap hasil analisis.
DAFTAR PUSTAKA Afi Wildani. (2009). Kajian permasalahan banjir Sungai Glugu di Kota Purwodadi Provinsi Jawa Tengah dan upaya pengendaliannya: studi kasus banjir 25 Desember 2007), Tesis, Program Magister Pengelolaan Bencana Alam, Program Pasca Sarjana Fakultas teknik, Universitas Gadjah Mada. Angel, J.R. dan Huff, F.A. (1997). “Changes in heavy rainfall in Midwestern United States”. Journal of Water Resources Planning and Management, 123(4):246-249. Chow, V.T., Maidmant, D.R., dan Mays, L.W. (1988). Applied Hydrology, McGraw Hill Book. Company New York. Firza Ghozalba, (2010). Analisis regionalisasi curah Hujan berdasakan kurva intensitas intensitas-durasi-frekuensi, Tesis, Program Magister Pengelolaan Bencana Alam, Program Pasca Sarjana Fakultas teknik, Universitas Gadjah Mada. Ford, D., Pingel, N., dan DeVries, J.J. (2008). Hydrologic Modeling System HEC-HMS: Applications Guide. U.S. Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center. Sutopo Purwo nugroho, 2008. “Analisis curah hujan penyebab banjir besar di Jakarta pada awal Februari 2007”. Jurnal Air Indonesia, 4(1):50-55.
H-234
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011