PENGARUH FAKTOR CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN KUALITAS LABA SEBAGAI VARIABEL MEDIASI ANTARA PERUSAHAAN PUBLIK DI INDONESIA DAN THAILAND
Abstract: In the last thirty years of Asian Financial Crisis 1997, Indonesia’s public listed company experiencing slow growth compared to Thailand. The aim of this study is to determine the effect of independent commissioner, institutional ownership, and corporate governance disclosure as corporate governance factors towards firm value with earnings quality as mediating variable. This study also examines the differences of firm value between listed companies in Indonesia and Thailand by using independent sample t-test. Proposed hypothesis is corporate governance factors affect firm value with earnings quality as mediating variable. The data used in this study is secondary data with banking companies listed on Indonesia Stock Exchange (BEI) and Stock Exchange Thailand (SET) as population in 2015. The method used to determine the sample is purposive sampling. Therefore, the obtained companies in sequence for BEI and SET are 37 and 10. The analysis method used in this study is Partial Least Square (PLS). The study on BEI shows that independent commissioner affects earnings quality, while institutional ownership and corporate governance does not. Earnings quality does not mediate between corporate governance factors and firm value. While the analysis of listed companies on SET shows that independent commissioner and corporate governance disclosure affects the earnings quality, whereas institutional ownership does not. Earnings quality is mediating variable for independent commissioner and corporate governance disclosure. The independent t-test shows that the established differences of corporate governance factors between listed companies on BEI and SET. Keywords: corporate governance disclosure, earnings quality, firm value, independent commissioner, institutional ownership
1. Pendahuluan Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 merupakan tonggak utama dalam agenda integrasi ekonomi di regional ASEAN yang menawarkan peluang dalam bentuk pasar potensial yaitu sebesar US$ 2,6 triliun dan lebih dari 629 juta orang (ASEAN, 2016). Pada tahun 2015, MEA secara kolektif merupakan pasar ekonomi terbesar ketiga di Asia dan terbesar ke-enam di dunia. Meskipun MEA menawarkan kesempatan yang luas untuk meningkatkan ekonomi negara anggotanya, MEA juga akan membuat persaingan antar perusahaan di negara ASEAN menjadi semakin kompetitif. Secara finansial, kinerja suatu perusahaan dapat dinilai melalui informasi yang diungkapkan pada laporan keuangan.
Laporan keuangan secara berkala disusun oleh manajemen sebagai bentuk
pertanggungjawaban terhadap pemilik perusahaan serta pihak yang berkepentingan lainnya atas kinerja perusahaan.
Kategori perusahaan yang menarik bagi calon investor untuk menanamkan
modalnya apabila kinerja perusahaan dinilai memuaskan dan prospektif, sehingga nilai perusahaan menjadi tujuan utama manajemen. Mengingat pentingnya nilai perusahaan bagi investor, manajemen akan berusaha untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui optimalisasi kinerja perusahaan. Semakin tinggi harga saham perusahaan maka mencerminkan tingginya nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi dapat menunjukkan kesejahteraan pemegang saham. Kesejahteraan pemegang saham dan perusahaan yang ditunjukkan oleh harga saham mencerminkan keputusan investasi, keuangan, dan manajerial aset perusahaan. Dolenc et al. (2012) berpendapat bahwa tujuan perusahaan untuk go public adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham dan meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat ditingkatkan apabila terdapat kerjasama yang baik antara manajemen perusahaan dan komponen lainnya termasuk pemegang saham dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan keuangan. Para pemilik modal (sebagai principal) memberi kepercayaan kepada para professional (manajerial) atau insider untuk mencapai tujuan tersebut dengan memberikan wewenang (Harjito, 2006).
Krisis keuangan yang melanda Asia pada tahun 1997 membuat banyak negara berkembang di Asia berusaha untuk meningkatkan tata kelola perusahaan untuk melindungi kekayaan pemegang saham karena tata kelola yang buruk dipercaya sebagai salah satu alasan utama penyebab krisis (Jhonson et al., 2000, Mitton, 2002, Lemmon dan Lins 2003, Baek et al., 2004, Nam dan Nam 2004). Tidak sedikit pemerintah di negara Asia yang telah melakukan upaya untuk mereformasi tata kelola perusahaan dengan memperkenalkan sejumlah instrumen dari negara maju. Maka pada tahun 2009, para Menteri Keuangan se-Asean mengesahkan Rencana Pelaksanaan ASEAN Capital Market Forum (ACMF) untuk mempromosikan pengembangan pasar modal yang terintegrasi. ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) dan pemeringkatan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan yang terdaftar untuk publik adalah contoh inisiasi yang dibuat dibawah kewenangan ACMF. GCG menjadi hal penting bagi perusahaan yang terdaftar di bursa efek karena menandakan efektifitas dan transparansi eksekutif perusahaan, menguatkan kepercayaan pemegang saham, investor, dan pemangku kepentingan manajerial.
Perbaikan ekonomi Indonesia cenderung lebih lambat
dibandingkan Thailand pasca krisis 1997. Tabel 1. Corporate Governance in Asia (2016) Continuing Under Performance Market ranked by corporate governance
Singapore Hongkong Japan Taiwan Thailand Malaysia India Korea China Philippines Indonesia
Rules & practices
Enforcement
63 63 51 54 64 54 59 48 38 35 35
63 69 63 54 51 54 51 50 40 19 21
Political & regulatory 67 69 69 64 45 48 56 53 36 41 33
Accounting & auditing
CG culture
87 70 75 77 77 82 58 70 67 65 58
55 53 58 50 50 42 49 41 34 33 32
Country score 2016 67 65 63 60 58 56 55 52 43 38 32
Country score 2014 64 65 60 56 58 58 54 49 45 40 39
Sumber : CLSA Asia-Pacific Markets, Asian Corporate Governance Association
Laporan tentang GCG oleh CLSA (2016), menempatkan Indonesia berada pada urutan terbawah dengan skor 21 untuk penegakan hukum, 35 untuk mekanisme corporate governance dan 32 untuk budaya corporate governance. Skor ini ini menurun apabila dibandingkan dengan tahun 2014 yakni sebesar 39. Faktor – faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah penegakan hukum dan budaya corporate governance yang masih lemah dibanding negara – negara lain di Asia.
Perkembangan corporate governance di Thailand, pada tahun 2002 The Stock Exchange of Thailand (SET) memulai kampanye untuk menstimulus perusahaan yang terdaftar di bursa efek mengingat pentingnya GCG dengan mengenalkan 15 prinsip utama dan pada tahun 2004, GCG telah diperbarui untuk menyesuaikan dengan peraturan OECD (OECD, 2004). Menurut Limpaphayom dan Connelly (2004), sama seperti negara Asia lainnya, Thailand mengalami dua tingkat permasalahan corporate governance yaitu pertama praktik corporate governance yang buruk dikarenakan investasi dan pinjaman berlebih ke proyek yang tidak dibutuhkan. Terlebih saat terjadi krisis, perusahaan publik di Thailand dimiliki oleh keluarga dan kerabat dekat sebagai pemegang saham pengendali. Kedua, perusahaan Thailand biasanya mengandalkan pembiayaan bank daripada pembiayaan pasar modal untuk modalnya. Bursa saham yang kapabilitasnya masih berkembang cenderung sulit untuk menjalankan fungsi monitor dan mendisiplinkan manajer perusahaan. Oleh karena itu, bank di Thailand mencari investor asing untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat corporate governance yang buruk. Setelah krisis, analisis corporate governance yang dilakukan oleh World Bank (2013), Thailand mengalami reformasi yang signifikan dan dianggap dapat mengatasi masalah kunci corporate governance yang buruk. Thailand menjadi pemimpin regional dengan kerangka kerja yang relatif komprehensif dan mencapai level kepatuhan yang tinggi pada beberapa area kunci. Analisis tersebut juga mengungkapkan bahwa corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor dan melindungi hak investor, terutama pemegang saham non-mayoritas, meningkatkan profesionalisme dewan, dan mempromosikan transparansi perusahaan. Sektor perbankan diasumsikan bahwa manajemen sektor perbankan memiliki kecendurungan yang cukup tinggi untuk terlibat dalam praktek asimetri informasi dan kompleksitas transaksi bisnis apabila dibandingkan dengan sektor non-perbankan (Andreas dan Vallelado, 2008). Kompleksitas bisnis perbankan seperti teknis keuangan yang tidak transparan, laporan keuangan yang rumit, kemudahan untuk memodifikasi resiko investasi, atau kemampuan mengakses informasi khusus bagi manajer dan insiders menjadikan sektor perbankan sebagai sektor yang “highly regulated”.
Sesuai prinsip corporate governance yang disusun oleh OECD (2006), terdapat
perbedaan corporate governance yang berlaku pada sektor perbankan dengan non-perbankan
terutama di kawasan Asia. Bank di kawasan Asia memiliki peran penting dalam keuangan regional. Hal tersebut dikarenakan bursa saham ekonomi Asia belum sempurna seperti di negara maju.
2.
Kerangka Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis
2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1.
Teori Keagenan (agency theory) Teori keagenan menjelaskan tentang hubungan antara principal (pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen). Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa hubungan keagenan muncul ketika satu atau lebih individu (principal) memperkerjakan individu lain (agen) untuk menyediakan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut.
Manajer sebagai pengelola perusahaan tentu akan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan dengan pemilik sehingga terjadi asimetri informasi. Asimetri informasi menyebabkan kurangnya salah satu hal penting pada corporate governance yaitu pengungkapan atau transparansi tentang kinerja perusahaan kepada principal (Arifin, 2005). 2.1.2.
Teori Pensignalan (signaling theory) Teori pensignalan menjelaskan tentang asimetri informasi di pasar.
Akerlof (1970)
menemukan hubungan antara berbagai tingkat kualitas produk dan ketidakmampuan pembeli untuk mengetahui tingkat kualitas produk sebelum melakukan pembelian.
Hal tersebut
disebabkan adanya asimetri informasi dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menipu pembeli. Komunikasi ke pihak eksternal ini dilakukan dengan cara mempublikasikan informasi atau signal yang dapat memberikan gambaran perusahaan. Asimetri informasi dapat terjadi apabila pihak manajemen tidak menyampaikan secara lengkap semua informasi yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan.
2.1.3.
Teori Stakeholder Teori stakeholder adalah teori yang membahas tentang keberadaan perusahaan dalam menjalankan kegiatannya untuk memberikan kontribusi bagi stakeholdernya (kreditur, pemegang saham, pemerintah, masyarakat, konsumen, supplier, analis dan pihak lain). Teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja perusahaan bertanggungjawab (Freeman, 2001). Ssaha perusahaan dalam mengoperasikan bisnisnya tidak hanya berdasarkan kepentingan sendiri, namun juga memberikan manfaat bagi stakeholder yang ada pada lingkungan perusahaan (kreditur, pemegang saham, pemerintah, masyarakat, konsumen, supplier, analis dan pihak lainnya)
2.1.4.
Teori Stewardship Teori stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi yang didesain untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik (Donaldson & Davis, 1989, 1991); dalam Raharjo (2007). Dalam teori ini, steward akan berperilaku sesuai kepentingan bersama
Ketika kepentingan steward dan pemilik
berbeda, steward akan berusaha bekerjasama daripada menentangnya karena steward merasa kepentingan bersama dan berperilaku sesuai dengan perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional. Steward lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi. 2.1.5.
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Istilah corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992 dalam laporannya yang berjudul Cadbury Report.
Menurut Parum (2005),
corporate governance dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan serta bagaimana informasi perusahaan dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan pihak eksternal.
Corporate governance merupakan sistem yang
mengatur ke arah mana kegiatan usaha dilakukan, termasuk membuat sasaran yang akan dicapai, untuk apa sasaran tersebut perlu dicapai, serta ukuran keberhasilannya. Secara teoritis corporate governance bukanlah hal yang baru bagi manajemen perusahaan, tetapi di Indonesia dan Thailand konsep ini menjadi fenomena baru setelah adanya krisis ekonomi regional pada tahun 1997. Menurut Dharmastuti (2013), mekanisme corporate governance dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal berasal dari dewan komisaris, kontrol internal, dan fungsi internal audit. Sedangkan mekanisme eksternal berasal dari pasar modal, pasar kontrol perusahaan, pasar tenaga kerja, status negara, keputusan pengadilan, pemegang saham dan praktek dari aktivitas investor. 2.1.6.
Dewan Komisaris Independen/Independent Director Istilah komisaris independen lazim digunakan di Indonesia karena menganut Two Tiers System yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental. Sistem ini membagi manajemen (dewan direksi) menjadi dua badan terpisah. Meskipun terpisah, kedua organ harus dapat independen terhadap yang lain.
Thailand sebagai negara yang menganut sistem hukum
perusahaan Anglo-Saxon termasuk dalam One Tier System yaitu hanya memiliki satu dewan direksi, sehingga istilah yang sering digunakan adalah independent director.
Keduanya
memiliki fungsi dan tugas yang sama, yaitu pengawasan independen terhadap manajerial perusahaan.
Dewan komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen (Puspitasari dan Ernawati, 2010). 2.1.7.
Kepemilikan Institusional Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan. Kepemilikan institusional merupakan bentuk kepemilikan saham suatu perusahaan yang dimiliki oleh satu atau lebih institusi (lembaga). Institusi tersebut dapat berupa bank, perusahaan investasi, maupun perusahaan lainnya.
Adanya kepemilikan oleh institusi
(lembaga) diharapkan dapat mendorong pengawasan yang lebih efektif dan efisien terhadap kinerja perusahan. Institusi keuangan memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja manajer agar tidak menyimpang dan bekerja sesuai kepentingan para pemegang saham.
2.1.8.
Luas Pengungkapan Corporate Governance Sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh ASEAN Capital Market Forum yaitu dalam ASEAN Corporate Governance Scorecard, dibagi menjadi lima bagian, yaitu: hak pemegang saham; perberlakuan adil kepada pemegang saham; peran stakeholder, transparansi dan pengungkapan; tanggung jawab dewan. Tujuan perusahaan menerbitkan laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi yang bermanfaat bagi investor dalam pengambilan keputusan. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila pengungkapan informasi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan lengkap dan jelas, baik bersifat keuangan maupun non keuangan. Kata pengungkapan (disclosure) berarti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan. Apabila dikaitkan dengan laporan keuangan maka disclosure yang dimaksud adalah laporan keuangan yang cukup mengenai hasil aktifitas suatu unit usaha (Chairi dan Ghozali, 2007). Oleh karena itu, pengungkapan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan harus lengkap, jelas dan tepat dalam menjelaskan kejadian operasional.
2.1.9.
Kualitas Laba Kualitas laba dalam akuntansi merujuk pada kemasukakalan laba yang dilaporkan. Penilaian kualitas laba didasarkan pada sejauh mana perusahaan mendapatkannya secara berulang, dapat dikendalikan, dan laik bank (memenuhi syarat untuk mengajukan kredit/pinjaman pada bank). Kualitas laba akan memiliki dampak yang berbeda pada tiap karakter bisnis. Kualitas laba juga dapat didefinisikan sebagai sejauh mana laba mencerminkan efek bisnis perusahaan yang diperkirakan sebagai arus kas konservatif atau dapat diprediksi. Kualitas laba adalah salah satu hal penting dalam sistem pelaporan keuangan. Meeampol (2013) berpendapatan bahwa tingginya kualitas laba dapat meningkatkan efisiensi pasar saham, karena investor dan pemangku kepentingan lainnya akan tertarik pada informasi akuntansi keuangan yang berkualitas.
2.1.10.
Nilai Perusahaan Siallagan dan Machfoedz (2006) berpendapat tentang tujuan utama perusahaan adalah untuk
meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang sering dikatakan dengan harga saham. Nilai perusahaan merupakan
kondisi tertentu yang telah dicapai oleh suatu perusahaan sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan setelah melakukan kegiatan bisnis dalam periode tertentu. Tingginya nilai suatu perusahaan mencerminkan pula kemakmuran pemegang saham. Nilai perusahaan yang meningkat dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum. Untuk mencapai nilai perusahaan yang tinggi, pada umumnya principal akan menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional ini disebut dengan agen yang diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris. 2.2. Pengembangan Hipotesis 2.2.1.
Hubungan Dewan Komisaris Independen dengan Kualitas Laba Berdasarkan teori keagenan Jensen dan Meckling (1976) bahwa perilaku seorang individu didorong oleh kesempatan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri daripada orang lain. Agar perusahaan terlihat memiliki kinerja yang baik, manajer perusahaan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Man dan Wong (2013) menemukan bahwa dewan komisaris independen dapat melakukan pemantauan terhadap perilaku manajer termasuk didalamnya penggunaan aset perusahaan yang tidak semestinya. Pengawasan internal ini dapat mengurangi resiko manajemen melakukan manajemen laba. Selain itu, oleh Riswandi (2015) yang menunjukkan bahwa dewan komisaris dapat memainkan perannya dalam pengawasan terhadap manajemen untuk mengurangi resiko manajemen laba. H1a : Proporsi dewan komisaris independen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap kualitas laba H1b : Proporsi dewan komisaris independen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap kualitas laba
2.2.2.
Hubungan Kepemilikan Institusional dengan Kualitas Laba Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi kepentingan pihak manajemen.
Hubungannya dengan fungsi monitor, investor institusional memiliki
kemampuan untuk memantau tindakan manajemen lebih baik dibandingkan dengan investor individual. Penelitian yang dilakukan oleh Muid (2009) menunjukkan bahwa kepemilikan
institusional berpengaruh positif dan signifikan karena investor institusional tidak berorientasi pada laba sekarang. H2a : Kepemilikan institusional pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap kualitas laba H2b : Kepemilikan insitusional pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap kualitas laba 2.2.3.
Hubungan Luas Pengungkapan Corporate Governance dengan Kualitas Laba Berdasarkan teori stewardship, agen akan berusaha bekerja sama dengan princiapal untuk mencapai tujuan perusahaan. Agen dalam hal ini adalah manajemen perusahaan yang berusaha untuk memenuhi kontraknya dengan principal. Adapun usaha yang dilakukan adalah dengan mengungkapkan kegiatan operasional perusahaan sesuai dengan fakta yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Sukanantasak (2014) membuktikan bahwa, mekanisme corporate governance terutama dalam pengungkapan dan transparansi akan menghasilkan laba yang berkesinambungan dan berdampak pada tingginya tingkat informasi laba. Semakin tinggi tingkat informasi laba yang diungkapkan maka menghasilkan kualitas laba yang baik. Penelitian tersebut diperkuat oleh Bahmain (2014) yang menunjukkan bahwa pengungkapan informasi dapat mengurangi asimetri informasi dan meningkatkan kualitas laba. H3a : Luas pengungkapan corporate governance pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap kualitas laba H3b : Luas pengungkapan corporate governance pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap kualitas laba
2.2.4.
Hubungan Dewan Komisaris Independen dan Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Mediasi Dewan komisaris independen merupakan salah satu fungsi kontrol yang terdapat dalam suatu perusahaan. Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris merupakan salah satu bentuk praktis dari teori agensi.
Di dalam suatu perusahaan, dewan komisaris mewakili
mekanisme internal utama untuk melaksanakan fungsi pengawasan dari principal dan mengontrol perilaku oportunis manajemen.
Penelitian yang dilakukan oleh Lei dan Song
(2012) menemukan bahwa perusahaan dengan dewan komisaris independen yang lebih besar cendereung mempunyai nilai perusahaan yang lebih tinggi, baik secara ekonomis maupun statistik. Penelitian tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Sari dan Ardiana (2014) bahwa komisaris independen berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. H4a : Proporsi dewan komisaris independen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi H4b : Proporsi dewan komisaris independen pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi 2.2.5.
Hubungan Kepemilikan Institusional dan Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Mediasi Ketika pemilik juga manajer dari sebuah perusahaan maka tumpang tindih kepentingan antara kepemilikan dan kontrol dapat diminimalisir (agency problem).
Penelitian yang
dilakukan oleh Pirzada et al. (2015) membuktikan bahwa kepemilikan institusional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan karena selain mengurangi biaya keagenan, kepemilikan institusional dapat memacu manajemen untuk bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dari pemaparan yang telah diuraikan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H5a : Kepemilikan institusional pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi H5b : Kepemilikan insitusional pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi 2.2.6.
Hubungan Luas Pengungkapan Corporate Governance dan Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Mediasi Berdasarkan teori pensignalan (Arkelof, 1970) tujuan utama pengungkapan informasi perusahaan adalah untuk memberikan informasi kepada analis dan investor tentang kualitas serta nilai perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan pengungkapan mengarah pada pelaporan informasi yang relevan tentang kinerja perusahaan.
Studi empiris yang
dilakukan oleh Hamrouni et al. (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengungkapan informasi sukarela pada laporan tahunan dengan nilai dan kinerja perusahaan. Perusahaan yang memenuhi prinsip pengungkapan akan mempermudah analisa oleh pemangku kepentingan sehingga mereka dapat menilai perusahaan dan membuat keputusan investasi. H6a : Luas pengungkapan corporate governance pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi H6b : Luas pengungkapan corporate governance pada perusahaan perbankan yang terdaftar di SET berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel mediasi 2.2.7.
Perbedaan Faktor Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan Perbankan di Indonesia dan Thailand Berdasarkan teori stewardship, manajemen akan berusaha memaksimalkan kekayaan organisasi dan kinerja perusahaan, sehingga akan tercipta kegunaan yang maksimal. Pada tahap ini, manajemen akan berusaha memenuhi ketentuan yang dibuat oleh pemerintah melalui mekanisme penilaian corporate governance dalam rangka memaksimalkan nilai perusahaan. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah tiap – tiap negara berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008) menemukan bahwa tekanan untuk memperbaiki corporate governance yang dilakukan oleh internal dan eksternal perusahan akan berpengaruh terhadap implementasinya. H7
:
Terdapat perbedaan pengaruh faktor corporate governance yang mempengaruhi nilai perusahaan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET
3. Metode Penelitian 3.1.
Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan adalah perusahaan sektor perbankan yang terdaftar di BEI dan SET pada tahun 2015. sampling yaitu:
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cara purposive
a. Perusahaan pada sektor perbankan yang menerbitkan laporan tahunan pada tahun 2015 serta dapat diakses di website bursa efek masing – masing negara. b. Perusahaan yang mengungkapkan komponen – komponen variabel penelitian yaitu, dewan komisaris independen, kepemilikan institusional, dan luas pengungkapan corporate governance. c. Perusahaan tidak berada dalam satu kelompok di BEI maupun SET. 3.2.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ini terdiri dari satu variabel dependen, satu variabel intervening, dan tiga variabel dependen yang dijelaskan sebagai berikut: a. Variabel Dependen (Y) Nilai perusahaan (FVAL) menggunakan rasio Tobin’s Q. Menurut Tarjo (2008) dalam Lestari et al. (2014) nilai perusahaan sama dengan nilai pemegang saham dimana nilai tersebut mencerminkan reaksi pasar terhadap perusahaan. Rasio Tobin’s Q adalah pengukuran kinerja dengan membandingkan dua penilaian aset yang sama. Pengukuran nilai perusahaan dengan menggunakan Tobin’s Q dengan rumus: 𝑇𝑜𝑏𝑖𝑛′ 𝑠 𝑄 =
((𝐶𝑃 ×𝐽𝑆) + 𝑇𝐿 ) − 𝐶𝐴 𝑇𝐴
Keterangan: Tobin’s Q
: Nilai perusahaan
CP
: Closing price (harga penutupan saham akhir tahun)
JS
: Jumlah saham yang beredar pada akhir tahun
TL
: Total liabilitas
CA
: Current assets
TA
: Total aktiva
Apabila rasio-q < 1 maka dapat dikatakan bahwa saham mengalami kondisi undervalued, yakni manajemen gagal dalam mengelola aktiva perusahaan sehingga potensi pertumbuhan investasi rendah. Rasio-q = 1 menggambarkan bahwa saham dalam kondisi
average, artinya manajemen berhasil mengelola aktiva perusahaan dan memiliki potensi pertumbuhan investasi tinggi. Jika rasio-q > 1, hal tersebut menunjukkan investasi dalam aktiva menghasilkan laba dan bernilai lebih tinggi daripada pengeluaran investasi.
b. Variabel Intervening (Z) Kualitas laba (PQLT) dalam berfungi sebagai variabel intervening. Menurut Tuckman dan Harper (2012) variabel intervening adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur, sehingga variabel independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel independen. Kualitas laba diukur dengan discretionary accrual (DACC). Menurut Dechow et al. (1995) dalam Kawatu (2009), perhitungan DACC dengan menggunakan Modified Jones Model dikarenakan model ini dianggap lebih baik di antara model lain untuk mengukur kualitas laba. Secara matematis dirumuskan:
TAit = NIit − CFOit ....................................................................... (1)
nilai Total Accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi Ordinary Least Square (OLS), sebagai berikut:
TAit Ait−1
= β1 (A
1
∆Revit
it−1
) + β2 ( A
it−1
PPEt
) + β3 (A
it−1
) + e ........................... (2)
dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai Non-Discretionary Accrual (NDA) dapat dihitung dengan rumus:
NDAit = β1 (A
1 it−1
∆Revit −∆Recit Ait−1
) + β2 (
Selanjutnya DA dapat dihitung sebagai berikut:
PPEt
) + β3 (A
it−1
) NIit ............. (3)
TAit
DAit = A
it−1
− NDAit ....................................................................... (4)
Keterangan: DAit
: Discretionary Accrual perusahaan i pada periode t
NDAit
: Non-Discretionary Accrual perusahaan i pada periode t
TAit
: Total akrual perusahaan i pada periode t
NIit
: Laba bersih perusahaan i pada periode t
CFOit
: Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i periode t
Ait-1
: Total aktiva perusahaan i pada periode t-1
ΔRevit
: Perubahan pendapatan perusahaaan i pada periode t
PPEt
: Aktiva tetap perusahaan pada periode t
ΔRecit
: Perubahan piutang perusahaan i pada periode t
e
: Error terms
Berdasarkan model Jones, discretionary accrual adalah komponen dari akrual yang biasa dimanipulasi, sehingga semakin kecil discretionary accrual maka kualitas laba semakin baik.
c. Variabel Independen (X) Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono 2013). Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah mekanisme corporate governance, yaitu: 1) Dewan Komisaris Independen (INDP) Dewan komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi. Dewan komisaris independen diukur dengan rasio atau (persen) antara jumlah anggota Komisaris Independen dibandingkan dengan jumlah total anggota Dewan Komisaris yang diungkapkan pada laporan tahunan.
Rumus ini
digunakan pada penelitian sebelumnya oleh Sari dan Riduwan (2013), Lestari (2014), dan Istiadah (2015). Secara matematis dapat dirumuskan: INDP =
Anggota Komisaris Independen ×100% Total Anggota Dewan Komisaris
2) Kepemilikan Institusional (INST) Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain). Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan institusional adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak institusional dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Rumus ini digunakan pada penelitian sebelumnya oleh Sari dan Riduwan (2013), Lestari (2014), dan Istiadah (2015). Secara matematis dapat dirumuskan: INST =
Jumlah saham yang dimiliki institusional ×100% Total saham beredar
3) Luas Pengungkapan Corporate Governance (DISC) Luas pengungkapan corporate governance (DISC) dihitung menggunakan salah satu dari lima instrument penilaian yang dibuat oleh ASEAN Capital Market Forum dalam ASEAN Corporate Governance Scorecard. Transparansi dan Pengungkapan.
Instrumen tersebut adalah Bagian D
Penentuan indeks luas pengungkapan corporate
governance berdasarkan pada informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan. Metode yang digunakan untuk membuat indeks luas pengungkapan adalah dengan mengaplikasikan indeks tidak tertimbang dengan nilai dikotomis, yaitu nilai 1 untuk item yang diungkapkan dan nilai 0 untuk item yang tidak diungkapkan. Berdasarkan penelitian Bhuiyan dan Biswas (2007), indeks pengungkapan corporate governance pada laporan tahunan perusahaan dapat dihitung manggunakan rumus sebagai berikut:
DISC =
Total skor item yang diungkapkan perusahaan ×100% Skor maksimum yang seharusnya diungkapkan
4. Hasil Populasi penelitian meliputi perusahaan pada sektor perbankan yang terdaftar di BEI dan SET masing – masing sebanyak 43 dan 11 perusahaan pada tahun 2015. Setelah dilakukan purposive sampling untuk memilih sampel maka dihasilkan 37 perusahaan perbankan untuk BEI dan 10 perusahaan perbankan untuk SET. Berikut adalah model struktural perumusah masalah dan model penelitian:
Keterangan: INDP
: Proporsi Dewan Komisaris Independen (Variabel X)
INST
: Kepemilikan Institusional (Variabel X)
DISC
: Luas Pengungkapan Corporate Governance (Variabel X)
PQLT
: Kualitas Laba (Variabel Y)
FVAL : Nilai Perusahaan (Variabel Z) 4.1. Uji PLS pada Perusahaan Perbankan di BEI Hasil smartPLS versi 2.0.M3 dengan menggunakan perhitungan bootstrapping (cases: 100, samples: 200) maka didapat output sebagai berikut: Tabel 2. Output Total Effects (Original Sample dan T-values) perusahaan perbankan di BEI
Original Sample (O)
T Statistics (|O/STERR|)
INDP -> PQLT
-0,318017
4,726427*
INDP -> FVAL
-0,335195
3,248810*
INST -> PQLT
0,086047
0,752315
INST -> FVAL
0,090625
0,771243
DISC -> PQLT
-0,082473
0,735003
DISC -> FVAL
0,029770
0,256109
PQLT -> FVAL
0,043129
0,474459
*Signifikan T statistik >1,96
Sumber: data diolah Tabel 2 menunjukkan hubungan antar variabel dimana yang bernilai signifikan adalah: 1) Proporsi Dewan Komisaris Independen (INDP) terhadap Kualitas Laba dengan T-statistik sebesar 4,72 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah negatif yaitu -0,31 maka arah hubungan antara INDP dengan PQLT adalah negatif, sehingga hipotesis H1a diterima; 2) Proporsi Dewan Komisaris Independen (INDP) terhadap Nilai Perusahaan (FVAL) dengan Tstatistik sebesar 3,24 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah negatif yaitu -0,33 maka arah hubungan antara INDP dengan PQLT adalah negatif. Analisis pengaruh tidak langsung Proporsi Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Institusional, dan Luas Pengungkapan Corporate Governance (variabel independen) terhadap Nilai Perusahaan (variabel dependen) melalui Kualitas Laba (variabel mediasi) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Koefisien pengaruh tidak langsung (indirect effect) variabel independen terhadap variabel dependen perusahaan yang terdaftar di BEI O Var -> PQLT Var INDP INST DISC
(1) -0,318 0,086 -0,082
O PQLT > FVAL (2) 0,043 0,043 0,043
Indirect Effect (1) × (2) -0,013 0,003 -0,003
Direct Effect
Kesimpulan
-0,33 0,090 0,029
Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan
Pengaruh tidak langsung dianggap signifikan apabila koefisien indirect effect lebih besar daripada direct effect dan variabel PQLT signifikan terhadap FVAL. Hasil analisis menunjukkan hasil H4a,
H5a, dan H6a, ditolak karena kualitas laba bukan variabel mediasi bagi Proporsi Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Institusional, dan Luas Pengungkapan Corporate Governance. 4.2. Uji PLS pada Perusahaan Perbankan di SET Hasil smartPLS versi 2.0.M3 dengan menggunakan perhitungan bootstrapping (cases: 100, samples: 200) maka didapat output sebagai berikut: Tabel 4. Output Total Effects (Original Sample dan T-values) perusahaan perbankan di SET Original Sample (O)
T Statistics (|O/STERR|)
INDP -> PQLT
0,498722
12,093032*
INDP -> FVAL
-0,148528
1,511486
INST -> PQLT
0,159476
1,386209
INST -> FVAL
0,185523
1,849490
DISC -> PQLT
-0,290301
6,641242*
DISC -> FVAL
-0,404294
6,870459*
PQLT -> FVAL
0,499399
4,313117*
*Signifikan T statistik >1,96
Sumber: data diolah. Tabel 4 menunjukkan hubungan antar variabel dimana yang bernilai signifikan adalah: 1) Proporsi Dewan Komisaris Independen (INDP) terhadap Kualitas Laba dengan T-statistik sebesar 12,09 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah positif yaitu 0,49 maka arah hubungan antara INDP dengan PQLT adalah positif, sehingga hipotesis H1b diterima; 2) Luas Pengungkapan Corporate Governance (DISC) terhadap Kualitas Laba dengan T-statistik sebesar 6,64 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah negatif yaitu -0,29 maka arah hubungan antara DISC dengan PQLT adalah negatif sehingga H2b ditolak; 3) Luas Pengungkapan Corporate Governance (DISC) terhadap Nilai Perusahaan (FVAL) dengan Tstatistik sebesar 6,87 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah negatif yaitu -0,40 maka arah hubungan antara DISC dengan FVAL adalah negatif; 4) Kualitas Laba (PQLT) terhadap Nilai Perusahaan (FVAL) dengan T-statistik sebesar 4,31 (>1,96) dan nilai original sample estimate adalah positif yaitu 0,49 maka arah hubungan antara PQLT dengan FVAL adalah positif. Analisis pengaruh tidak langsung Proporsi Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Institusional, dan Luas Pengungkapan Corporate Governance (variabel independen) terhadap
Nilai Perusahaan (variabel dependen) melalui Kualitas Laba (variabel mediasi) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Koefisien pengaruh tidak langsung (indirect effect) variabel independen terhadap variabel dependen perusahaan yang terdaftar di SET Variabel INDP INST DISC
O Var -> PQLT (1) 0,498 0,159 -0,29
O PQLT -> FVAL (2) 0,499 0,499 0,499
Indirect Effect (1) × (2) 0,248* 0,079* -0,142*
Direct Effect
Kesimpulan
-0,148 0,185 -0,404
Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
Sumber: data diolah Pengaruh tidak langsung dianggap signifikan apabila koefisien indirect effect lebih besar daripada direct effect dan variabel PQLT signifikan terhadap FVAL.
Hasil analisis
menunjukkan hasil H4b dan H6b, diterima sedangkan H5a ditolak. 4.3. Uji Independent Sample T-Test Uji independent sample T-Test adalah bagian dari statistik inferensial parametrik (uji beda). Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan Nilai Perusahaan (FVAL) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET akibat dari faktor – faktor corporate governance. Hasil uji disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Ringkasan independent sample test t FVAL *Sig <0,05
-2,673
Sig. (2-tailed) 0,010*
Mean Difference -0,094
Std. Error Difference 0,035
Sumber: data diolah. Nilai thitung pada uji ini didapat sebesar 0,010 dimana thitung lebih kecil daripada ttabel yaitu 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa Nilai Perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET terdapat perbedaan. 5. Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan Kesimpulan dari penelitian dan pembahasan adalah: 1)
Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET.
2)
Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET.
3)
Luas pengungkapan corporate governance tidak berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI namun berpengaruh terhadap perusahaan perbankan yang terdaftar di SET.
4)
Kualitas laba bukan variabel mediasi antara proporsi dewan komisaris independen dengan nilai perusahaan bagi perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI. Kualitas laba merupakan variabel mediasi bagi proporsi dewan komisaris perusahaan perbankan yang terdaftar di SET.
5)
Kualitas laba bukan variabel mediasi antara kepemilikan institusional dengan nilai perusahaan bagi perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET.
6)
Kualitas laba bukan variabel mediasi antara luas pengungkapan corporate governance dengan nilai perusahaan bagi perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI. Kualitas laba merupakan variabel mediasi bagi luas pengungkapan corporate governance perusahaan perbankan yang terdaftar di SET.
7)
Terdapat perbedaan faktor corporate governance terhadap nilai perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan SET. Implikasi dari penelitian ini antara lain tentang cara meningkatkan nilai perusahaan dapat dilakukan dengan cara menambah anggota komisaris independen, mengungkapkan informasi seputar perusahaan (finansial dan non-finansial) kepada investor dan calon investor.
Hal tersebut menunjang Teori Stakeholder yang diungkapkan oleh Freeman
(2001) tentang mewujudkan keseimbangan kepentingan pihak – pihak terkait dalam menjalankan proses bisnis. Teori Pensignalan oleh Akerlof (1970) mengambil peran dalam mengurangi asimetri informasi pada pihak – pihak yang berkepentingan dengan menerbitkan informasi perusahaan. Secara perbandingan, Indonesia dapat mengadopsi dan memodifikasi cara Thailand tentang bagaimana penerapan prinsip good corporate governance. Hal tersebut menjadi penting mengingat pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis relatif lebih lambat daripada Thailand.
Pada saat ini, Thailand menduduki peringkat setelah Singapura, Hongkong,
Jepang dan Taiwan dalam peringkat corporate governance yang diterbitkan oleh CLSA (2016). Adapun keterbatasan dan saran pada penelitian ini sebagai berikut: 1)
Periode penelitian hanya dilakukan selama satu tahun saja yaitu tahun 2015 dimana pada tahun tersebut adalah tahun perintisan integrasi ekonomi bidang finansial MEA.
2)
Penelitian ini terbatas pada satu sub sektor perusahaan yaitu perbankan.
Penelitian
selanjutnya dapat menggunakan sub sektor maupun sektor lain yang sudah menerapkan peraturan untuk integrasi MEA. Referensi Akerlof, George A. 1970. The Market for Lemons: Quality Uncertainty and the Market Mechanism. Quarterly Journal of Economics, Vol. 84, No. 3, hal. 488-500. Ammann, M., Oesch D., dan Schmid Markus M. 2011. Corporate Governance and Firm Value: International Evidence. Journal of Empirical Finance, No. 18, hal. 36-55. Andreas, P. De, dan Vallelado, E. 2008. Corporate Governance in Banking: The Role of the Board of Directors. Journal of Banking and Finance, Vol. 32 No. 12, hal. 2570 – 2580. Arifin. 2005. Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance Pada Perusahaan di Indonesia (Tinjauan Perspektif Teori Keagenan. (Tidak dipublikasikan). ASEAN. 2016. ASEAN Economic Community at a Glance August 2016 Edition. Jakarta, Indonesia. Baek, J., Kang, J., Park, K., 2004. Corporate governance and firm value: evidence from the Korean financial crisis. Journal of Finance Economic No.71, hal. 265–313. Bahmain, Dariush. 2014. The Relation between Disclosure Quality and Information Asymmetry: Empirical Evidence from Iran. International Journal of Financial Research. Vol. 5. No. 2, hal. 110-114. Bhuiyan, Md. Hamid Ullah dan Biswas P.K. 2007. Reporting: An Empirical Study of The Bangladesh. Journal of Business Studies, Vol. XXVIII, No. 1.
Corporate Listed
Governance Companies
and in
CLSA. 2016. Corporate Governance Watch Ecosystems Matter: Asia’s Path to better home-grown governance. Special Report. Vol. September, hal. 12-15. Dolenc, Primoz, Stubelj Igor, dan Suzana Laporsek. 2012. What is the Objective of a Firm? Overview of Theoretical Perspectives. Overcoming the Crisis Economic and Financial Developments in Asia and Europe hal. 51-65. University of Primorska Press. Slovenia. Dharmastuti, C.F. 2013. Analisis Pengaruh Mekanisme Internal dan External Corporate Governance Terhadap Profitabilitas dan Kebijakan Dividen Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Go Publik di Pasar Modal Indonesia. Jurnal Organisasi dan Manajemen. Vol. 9, No. 1, hal. 21-30. Freeman, R. E. 2001. A stakeholder theory of the modern corporation. Perspectives in Business Ethics Sie, 3, 144. Ghozali, Imam. 2014. Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Hamrouni A., Miloudi A., dan Benkraiem R. 2015. Signaling Firm Performance Through Corporate Voluntary Disclosure. The Journal of Applied Business Research. Vol. 31. No. 2, hal. 609-620. Harjito, D. A. 2007. Analisis Hubungan antara Kepemilikan Insider, Leverage Perusahaan dan Kebijakan Dividen. Jurnal Telaah Bisnis. Vol. 8 No.1, hal. 45-60. Istiadah, Ummi. 2015. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur. Jurnal Nominal. Vol. IV, No. 2, hal. 57 – 72. Jensen, Michael C., dan Meckling, William H. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, hal. 305-360. Johnson, S., Boone, P., Breach, A., dan Friedman, E. 2000. Corporate governance in the Asian financial crisis. J. Finance. Econ. 58, hal. 141–186. Kawatu, F. S. 2009. Mekanisme Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Intervening. Jurnal Keuangan dan Perbankan. Vol. 13, No.3, hal. 405-417. Lei, Adrian C. H. dan Song, Frank. M. 2012. Board structure, corporate governance and firm value evidence from Hong Kong. Applied Financial Economics. Vol 22, hal. 1289-1303. Lemmon, M., Lins, K., 2003. Ownership Structure, Corporate Governance, and Firm Value: Evidence from The East Asian Financial Crisis. Journal Finance Vol. 58, hal. 1445–1468. Lestari, Noviana B., Khafid M., dan Anisykurlillah I. 2014. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan dengan Kualtias Laba Sebagai Variabel Intervening. Accounting Analysis Journal. Vol. 3, No.1, hal. 34-43. Limpaphayom, P. dan Connelly, J. Thomas. 2004. Corporate Governance in Thailand: Review of Corporate Governance in Asia. Thai Institute of Directors Association. Bangkok. Lind, Douglas A., Marchal William G., dan Wathen Samuel A. 2012. Statistical Techniques in Business and Economic 15th Ed. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Mahariana, I Dewa G.P., dan Ramantha, I Wayan. 2014. Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol. 7., No. 2., hal. 519-528. Man, Chi-keung dan Wong Brossa. 2013. Corporate Governance and Earnings Management: A Survey of A literature. The Journal of Applied Business Research. Vol. 29, No. 2, hal. 391-418. McGee, Robert W. 2008. Corporate Governance in Developing Economies. Springer US. Florida. Meeampol S., Rodpetch, V., Srinammuang, P. dan Wongsorntham. 2013. The Relationship Between Corporate Governance and Earnings Quality: A Case Study of Listed Companies in The Stock Exchange of Thailand (SET). Management, Knowledge, and Learning. hal. 1345-1353. Mitton, T., 2002. A cross-firm analysis of the impact of corporate governance on the East Asian financial crisis. Journal of Finance Economic Vol. 64, hal 215–241. Muid, Dul. 2009. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Kualitas Laba. Ekonomi. Vol.2 No.2, hal. 94-108.
Jurnal Fokus
Nam, S.W., Nam, I., 2004. Corporate Governance in Asia. Asian Development Bank Institute. Nyoman T.I., Alijoyo F. A., Djemat H. R., dan Sembodo B. 2006. Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. PT. Prehalindo. Jakarta. OECD. 2004. Principles of Corporate Governance. OECD Publications Service. Paris.
_____. 2006. Policy Brief on Corporate Governance of Banks in Asia. OECD Publications Service. Paris. Parum, E. 2005. Does Disclosure on Corporate Governance Lead to Openness and Transparency in How Companies are Managed? Corporate Governance: An International Review. Vol. 13 No5, hal. 702-709. Pirzada, Kashan, MZ. Mustapha, dan Wickramasinghe, Danture. 2015. Firm Performance, Institutional Ownership and Capital Structure: A Case of Malaysia. Social and Behavioral Sciences Vol 211, hal. 170-176. Puspitasari, F. dan Ernawati, E. 2010. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan Badan Usaha. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Vol. 3, No. 2. Raharjo, Rio. 2007. Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntansi. Jurnal Ekonomi. Vol. 2, No. 1, hal 37-46. Riswandi, Pedi. 2015. Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Proporsi Komisaris Independen Terhadap Kualitas Laba. Ekombis Review. Hal. 210-223. Sari, Purnama Agung Mirah dan Ardiana, Putu Agus. 2014. Pengaruh Board Size terhadap Nilai Perusahaan. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. hal. 177-191. Sari, Enggar Fibria V., dan Riduwan Akhmad. 2013. Pengaruh Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan: Kualtias Laba Sebagai Variabel Intervening. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi. Vol.1., No. 1, hal 1-20. Siallagan, H. dan Machfoedz M. 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi 9. Hal 1 – 23. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung. Sukanantasak, Supana. 2014. The Effect of Corporate Governance Mechanism on Earnings Informativeness through Earnings Persistence: Empirical Evidence from Thailand. Journal of Accounting. Vol. 10, No. 2., hal. 14-31. Tuckman, Bruce W., dan Harper Brian E. 2012. Conducting Educational Research. 6th Edition. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Marryland. World Bank. 2013. Thailand Makes Significant Improvements in Corporate Governance Practices, diakses 2 Februari 2017. Zaman, Rashid, Arslan, Muhammad dan Siddiqui M.A. 2015. Corporate Governance and Firm Performance: The Role of Transparency & Disclosure in Banking Sector of Pakistan. International Letters of Social and Humanistic Sciences. Vol 2. No. 2, hal. 152-166.