Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
PENGARUH BENZIL ADENIN DAN TIDIAZURON TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PIRETRUM (Crysanthemum Cinerariifolium (Trevir.) Vis.) KLON PRAU 6 SECARA IN VITRO Titin SUPRIATUN, Tia SETIAWATI, Otih ROSTIANA & MULYADI Jurusan Biologi FMIPA-Universitas Padjadjaran Jatinangor Km 21, Sumedang 45363 Tel/Faks (022) 7796412. Email :
[email protected] ABSTRACT Phyretrum is one of the botanical pesticides to be further developed for subtitutions of synthetic pesticides phyretriod which is found to be harmful both to the environment and human being. An experiment on the effect of cytolcinin BA and TDZ on in vitro shoot multiplication of piretrum clone Prau 6 was performed and arranged in Split Plot Design with 10 replication. The main plot was explant source i.e. MS + BA 3,0 mg 1-1- derived shoot or MS + TDZ 3,0 mg 1-1 ones. The sub plot consist of 11 combinations of cytokinins BA and TDZ, as a single or combination of both BA and TDZ : 3,0 mg 1-1 BA; 3,0 mg 1-1 TDZ; 0,1 mg 1-1 BA + 0,1 mg 1-1 TDZ; 0,2 mg 1-1 BA + 0,2 mg 1-1 TDZ; 0,3 mg 1-1 BA + 0,3 mg 11 TDZ; 1,0 mg 1-1 BA + 0,1 mg l-1 TDZ; 2,0 mg 1-1 BA + 0,2 mg 1-1 TDZ; 3,0 mg 1-1 BA + 0,3 mg 1-1 TDZ; 0,1 mg 1-1 BA + 1,0 mg 1-1 TDZ; 0,2 mg 1-1 BA + 2,0 mg l-1 TDZ; and 0,3 mg 1-1 BA + 3,0 mg 1-1 TDZ. Parameters, observed were the period of shoots initiation, number of shoots, shoots height, percentage of the grown explant and the number of proliferated shoots, at 4 week after culture. The resulst showed that explant sources and cytokinin applied significantly affected to the number of shoots and height. The shoots derived from MS + BA 3 mg 1-1 media resulted in the highest number of shoots (7,6) after subcultured into MS + BA 0,3 mg 1-1 + TDZ 3 mg 1-1 media, with 1,6 cm of plant height. Keyword: Chrysanthemum cinerafiifolium Trevir., benzil adenin, tidiazuron
PENDAHULUAN Piretrum (Chrysanthenum cinerariifolium (Trevir) Vis.) merupakan salah salah satu jenis tanaman penghasil bahan aktif pestisida (Rostiana dkk., 1993). Penggunaan piretrum sebagai pestisida mulai ditinggakankan setelah munculnya pestisida sintetis, sehingga budidaya piretrum mcnjadi terbatas karena mulai ditinggalakan oleh masyarakat. Akhirnya beberapa klon piretrum menghilang, dari 395 klon piretrum yang pernah ada di beberapa kebun percobaan dalam lingkup LIPTI (Lembaga Penelitian Tanaman Industri) kini hanya beberapa klon saja, diantaranya klon Nagasasi dan Prau 6 (Tarigan dkk., 1989 dalam Gati dkk., 1993).
Klon Prau 6 merupakan klon yang mempunyai banyak keunggulan, diantaranya mampu menghasilkan bunga 275,80 kg/ha setiap kali panen, dengan jumlah rumpun berbunga 70,80% dan ratarata produksi bunga per rumpun 19,30 gram. Klon Prau 6 berbunga serempak sehingga frekuensi panennya banyak serta kandungan bahan aktif piretrinya tinggi (Rostiana dkk, 1993,1994 dan Kardinan, 2000). Pestisida sintctis banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga memberi peluang untuk mengembangkan pestisida nabati sepcrti piretrum, namun daya reproduksinya menjadi kendala, karena budidaya piretxum secara generatif sulit dilakukan dan termasuk jenis tanaman
Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
menyerbuk silang, dimana bunga jantan lebih cepat matang daripada bunga betina (Keskitalo, 1999 dalam Rostiana dkk., 2002), sehingga perbanyakan banyak dilakukan secara perbanyakan vegetatif, namun perbanyakan vegetatjf secara konvensional kurang efeisien karena dari satu pohon induk yang berumur 1 tahun hanya dihasilkan 1-7 tanaman baru (Rostiana dkk., 1995 dan Kardinan, 2000). Teknik kultur jaringan merupakan salah satu upaya perbanyakan vegetatif yang dapat menghasilkan jumlah anakan relatif banyak dan tidak tergantung faktor lingkungan, musim dan Iahan. Keberhasilan teknik kultur jaringan adalah pemilihan sumber eksplan dan media dasar serta penambahan zat tumbuh. Penanaman yang terdahulu telah berhasil menanam eksplan piretrum klon Prau 6 pada media MS (Murashige-Skoog) dengan penambahan 3 mg/1 BA (Benzil Adenin) atau 3 mg/1 TDZ (Tidiazuxon), namun tunas yang dihasilkan masih belum optimal, sehingga masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperoleh jumlah tunas yang lebih banyak (Rostiana dkk., 2002). Multiplikasi tunas piretrum klon Nagasari secara in vitro pada media MS padat dengan BA 0,2 mg/l dapat menghasilkan tunas yang optimum (Seswita dkk., 1992). Tanaman lain seperti Glicine max aplikasi TDZ 2 mg/I dapat menghasilkan 4 tunas per eksplan (Kaneda dkk., 1997), kemudian perbanyakan pule pandak (Rauvolfia Serpentina) pada media MS dengan penambahan BA 0,8 mg/1 rata-rata jumlah tunas sebanyak 5,67 (Seswita, dkk., 1993). Selain penggunaan TDZ dan BA dengan konsentrasi yang relatif tinggi multiplikasi tunas dapat ditingkatkan dengan penambahan dua jenis sitokinin yang dikombinasikan, seperti pada Vitis rotundifolia, penggunaan kombinasi BA dengan TDZ menginduksi Iebih banyak (Sudarsono & Goldy 1991, dalam Nielsen
dkk., 1995). Demikian pula untuk perrbanyakan tanaman jahe dengan adanya 7 mg/1 BA jumlah tunas yang tumbuh per eksplan 3,5 dan diketahui bahwa penggunaan TDZ dalam perbanyakan vegetatif secara in vitro meningkatkan daya regenerasi tanaman rekalsitran (Mariska & Fatimah, 1992). Nielsen dkk. (1995) menyatakan, bahwa pemindahan eksplan ke media yang baru dan mengandung zat pengatur tumbuh berbeda dengan media yang sebelumnya dapat mempengaruhi pembentukan tunas. Seperti pada pemindahan Miscanthus xogiformis 'Giganteus' dari media MS yang diperkaya dengan BA ke media MS yang diperkaya dengan TDZ secara signifikan menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak. Hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang harus dikaji adalah apakah sumber eksplan dari media MS yang mengandung 3,0 mg/1 BA atau 3,0 mg/l TDZ berpengaruh terhadap multiplikasi tunas piretrum klon Prau 6 setelah disubkultur ke dalam media MS yang mengandung BA dan TDZ yang diberikan tunggal atau kombinasi; serta konsentrasi BA dan TDZ berapakah yang terbaik untuk multiplikasi tunas piretrum klon Prau 6 pada setiap sumber eksplan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi sitokinin yang terbaik pada multiplikasi tunas piretrum klon Prau 6 dari setiap sumber eksplan. Selanjutnya diharapan dapat diketahui penggunaan sitokinin yang tepat dan efisien dalam perbanyakan piretrum klon 6 melalui teknik kultur jaringan. BAHAN DAN METODE Bahan eksplan yang digunakan adalah tunas piretrum klon Paru 6 yang berumur 4 minggu yang telah ditumbuhkan secara in vitro. Bahan kimia yang digunakan adalah media MS, zat pengatur tumbuh Benzil Adenin (BA) dan tidiazuron (TDZ), agar,alkohol; dan Polivinil Pirolidon (PVP).
Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah botol kultur, almunium foil, seal plastik, karet, disecting sel, cawan petri, bunsen, oven, laminar air flow, erlenmeyer, labu ukur, pipet, gelas piala, timbangan analitik, pH meter, hot plate dengan magnetic stirer, hand sprayer, autoklaf dan rak penyimpan. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan Petak terbagi (split-plot) dengan petak utama adalah sumber eksplan yang terdiri dari 2 taraf yaitu tunas eksplan dari media MS yang ditambah BA 3,0 mg/1 serta media MS yang ditambah TDZ 3,0 mg/1, sedangkan sebagai anak petak adalah variasi konsentrasi sitokinin BA dan TDZ yang terdiri dari 11 taraf baik secara tunggal maupun kombinasi yang ditambahkan pada media MS, yaitu 3,0 mg/IBA; 3,0 mg/1 TDZ; 0,1 mg/1 BA + 0,1 mg/1 TDZ; 0,2 mg/I BA + 0,2 mg/1 TDZ; 0,3 mg/1 BA + 0,3 mg/1 TDZ; 1,0 mg/1 BA + 0,1 mg/1 TDZ;2,0 mg/IBA + 0,2 mg/l TDZ; 3,0 mg/1 BA + 0,3 mg/1 TDZ; 0,1 mg/1 BA +1,0 mg/1 TDZ; 0,2 mg/1 BA + 2,0 mg/1 TDZ; dan 0,3 mg/1 BA + 3,0 mg/1 TDZ, masing-ā€¯masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Data kuantitatif yang terkumpul
dianalisis melalui analisis varians (Anava), bila terdapat perbedaan dilakukan uji jarak berganda Duncan dan uji beda nyata terkecil (BNT). Parameter yang diamati untuk data kuantitatif adalah inisiasi tunas, jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas dan persentase eksplan yang tumbuh, sedangkan data deskriftif meliputi karakter batang dan warna daun. Tata kerja, meliputi: 1. Strelisasi alat-alat 2. Membuat media perlakuan 3. Penanaman eksplan dari 2 sumber yang berbeda pada 11 media perlakuan. 4. Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan dari parameter yang diukur adalah inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, persentase eksplan yang tumbuh, jumlah tunas berproliferasi dan karakter batang dan warna daun. Inisiasi Tunas. Inisiasi tunas pretrum terjadi pada umur 1-2 minggu setelah subkultur. Rata waktu inisiasi tunas tertera pada Tabel 1. Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata waktu inisiasi tunas untuk setiap perlakuan adalah 6 hari setelah tanam. Hal ini ditunjang oleh penelitian Pierik (1998) bahwa sitokinin dalam konsentrasi 1 - 10 mg/1 dapat menginduksi pembentukan adventif.
Tabel 1. Waktu Inisiasi Tunas Piretrum Klon Paru 6 pada Berbagai Media Subkultur
Keterangan :
A = eksplan berasal dari medium MS + 3,0 mgL BA B = eksplan berasal dad medium MS + 3,0 mgL TDZ.
Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
Tabel 2. Rata-rata jumlah Tunas Piretrum Klon Prau 6
Keterangan :
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. tn = tidak nyata, * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%
Jumlah Tunas. Hasil perhitungan Anava () terlihat bahwa sumber eksplan dan pemberian sitokinin berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan terdapat interaksi. Dan pengujian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk anak petak (sub plot) dan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk petak utama (plot utama) yang tertera pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa eksplan yang berasal dari BA 3 mg/1 menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu 7,6 (dibulatkan 8) setelah disubkultur pada media MS yang ditambah 0,3 mg/1 BA dan 3,0 mg /1 TDZ, sedangkan yang terendah jumlah tunas didapatkan pada perlakuan penambahan 3,0 mg /1 BA dan 0,3 mg /1 TDZ pada meda MS hal tersebut memperlihatkan bahwa media subkultur memerlukan konsentrasi sitokinin lebih rendah dari semula. Dalam penelitian ini diketahui pula bahwa media subkultur memerlukan jenis sitokinin yang berbeda yaitu hanya mengandung TDZ saja atau kombinasi BA dan TDZ dengan konsentrasi yang berbeda pula. Selain itu diketahui bahwa untuk menginduksi tunas piretrum memerlukan kombinasi BA dan TDZ, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang
sinergis antara BA dengan TDZ. Sepetti yang diungkapkan oleh Nielsen dkk. (1995) bahwa ikatan TDZ dengan gugus phenylurea CBP dapat meningkatkan efek sitokinin pada pembentukan tunas. Dan didukung oleh Mok dkk. (1987) bahwa TDZ menginduksi metabolisme atau biosintesis sitokinin endogen, karena ada hubungannya dengan sifat TDZ yang stukturnya stabil oleh adanya oksidase sitokinin, sehingga eksplan yang berasal dari media yang mengandung TDZ ke media yang mengandung BA menunjukkan jumlah tunas yang baik. Namun subkultur dari eksplan yang berasal dari media yang mengandung TDZ 3,0 mg/1 ke media yang mengandung konsentrasi TDZ yang sama menunjukkan jumlah tunas yang rendah, hal ini karena penggunaan TDZ yang terus menerus akan menyebabkan penurunan efek sitokinin, seperti yang diungkapkan oleh Nielsen dkk (1995) baha kandungan TDZ yang cukup tinggi akan menyebabkan gugus adenin sitokinin berubah menjadi tipe adenin yang tidak berikatan pada gugusnya. Tinggi Tunas. Data tinggi tunas piretrum klon Paru 6 setelah dianalisis Anava, menunjukkan bahwa pemberian sitokinin dengan sumber eksplan yang berbeda, berpengaruh nyata terhadap tunas,
Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
namun kedua faktor tersebut tidak menunjukkan interaksi yang nyata. Untuk melihat adanya perbedaan diantara
perlakuan tersebut pengujian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan seperti tertera pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Rata-rata tinggi tunas Piretrum Klon Prau 6 pada Berbagai Media Subkultur.
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkam tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Tabel 4. Rata-rata Tinggi Tunas Piretrum Klon Prau 6 pada Sumber Eksplam yang berbeda
Keterangan:
huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Berdasarkan Tabel 3, Tinggi tunas piretrum yang paling tinggi yaitu 1,70 cm didapatkan pada media subkultur yang mengandung BA 0,1 mg/1 dan TDZ 0,1 mg/1, sedangkan yang terendah didapatkan pada media subkultur yang mengandung BA 2,0 mg /1 dan TDZ 0,2 mg /1 yaitu 1,35 cm. Terlihat pula bahwa untuk induksi tunas, sitokinin yang diperlukan kurang dan 1 mg per liter, sepensti yang diungkapkan oleh Salisbury dan Ross (1995) bahwa adanya sitokinin dalam media in vitro akan menghambat pemanjangan batang, kemudian Mok dkk (1987) mengatakan bahwa sifat sitokinin dapat merangsang etilen yang akan menghambat pemanjangan batang. Dari Tabel 4, menunjukkan bahwa tunas yang paling baik adalah eksplan dari media MS yang mengandung 3 mg/1 BA. Namun eksplan yang berasal dari media
yang mengandung TDZ, tunas lebih rendah, karena TDZ adalah salah satu jenis sitokinin yang stabil, sehingga pada waktu disubkultur TDZ masih ada, sehingga kandungan sitokinin masih dan akan meningkatkan kandungan etilen, yang mana akan menghambat perpanjangan batang. Presentase Eksplan yang Tumbuh dan jumlah Tunas Berproliferasi. Eksplan tunas yang di subkultur pada semua media 100% tumbuh tunas baru, yang berarti berproliferasi dalam jumlah yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan. Keberhasilan tunas berproliferasi, karena tidak terjadi browning/blackening, kemungkinan adanya pengaruh polivinil pirolidon (PVP) yang ditambahkan pada setiap media perlakuan. Hal ini terbukti bahwa PVP dapat menyerap bahan fenolik, sehingga dapat mcnghindarkan jaringan dari
Jurnal Biotika Vol. 4 No. 1 Juni 2005 hlm 1-6
pengaruh racun yang disebabkan oleh adanya oksidasi fenolik (Bhozwani & Razdan, 1996). Karakter Batang dan Warna Daun Batang dan warna daun yang tumbuh, tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Namun batang tunas menunjukkan kokoh dan tidak terlalu tinggi < 2 cm, hal ini dapat disebabkan oleh sifat sitokinin yang dapat merangsang pembentukan etilen yang akan memacu pemelaran ke arah samping namun menghambat perpanjangan tunas (Salisbury & Ross, 1995)
DAFTAR PUSTAKA Kardinn, A. 2000. Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium Trev.) bahan insektisida nabati potensial. Jumal Litbang Pertanian. 19 (4), 123 - 128. Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: Agro Media Pustaka. Mariska, I & Fatimah, S. 1992. Perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan pada tanaman jahe. Buletin Penelitian Tanaman Industri. 4, 6-10. Mok, M.C., Mok, D.W.S., Turner, & Mujer, C.V. 1987. Biological and biochemical effect of cytokininactive phenylurea derivatives in tissue culture systems. Hot Science. 22 (6), 1194-1196. Nielsen, J.M., Brandt, K. & Hansen,]. 1993.Long term effect of thidiazuron are intermediate between benzyladenine, kinetin or isopentenyladenine in Miscanthus cinensis. Plant Cell, Tisue and Organ Culture. 35, 173-179.
Nielsen, J.M., Brandt, K & Hansen,]. 1995. Synergism of thidiazuron and benzyladenine in axilary shoot formation depend on sequence of application in Miscanthus xogiformis 'Giganteus'. Plant Cell Tisue and Organ Cullture. 41, 165170. Pierik, R.L.M. 1998. In Vitro Culture of Higher Plants:. Dodrecht. Boston. London: Kluwer Academic Publisher. Rostiana, O., Abdullah, A., Haryudin, W. & Aisyah, S. 1993. Karakterirtik Klon-Klon Piretrum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemnfaatan Pestisida Nabati. 118 - 124. Rostiana, O., Abdullah, A., Haryudin, W. & Aisyah, S. 1994. Karakterisasi, Evaluasi dan Pelestarian Plasma Nutfah Piretrum. Review Hari dan Program Penelitian Plsma Nutfab Pertanian. 219-235. Rostiana, O., Rosita, S.M.D., Seswita, D., Raharjo, M., Aisyah, S., Surahman, D. Nasrun. 2002. Evaluation and Text of Pyretrum Genetic Potency. Prosiding Seminar hasil penelitian dan Pengembangan Bioteknologi. 1 -15. Salisbury, F.B. & Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid III, Berbahasa Indonesia. Bandung Penerbit ITB. Seswita, D., I. Mariska & E. Gad. 1992. Perbanyakan Mikro Tanaman Penghasil insektisida Alami Piretrum. Prosiding Seminar Hasil penelitian dan pengembangan Bioteknologi. 303 - 309.