PENGARUH BAHAN PELAPIS TERHADAP KARAKTERISTIK KELAPA MUDA SIAP SAJI SELAMA PENYIMPANAN COATING MATERIAL EFFECT ON THE CHARACTERISTICS OF YOUNG COCONUT Rahmad Alreza* dan Indah Yuliasih* *Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Dramaga Kabupaten Bogor 16002 e-mail :
[email protected] ABSTRACT The young coconut is one of high economic value products. Research it has been carried out to study the right formula to extend the shelf life of it. The process to prolong the shelf life and reduce the size of the young coconuts is to trim the fiber and soak it into a sodium metabisulfite (Na2S2O5) solution to avoid the browning process. After that the young coconut is coated with a natural coating who made from pectin and tapioca as the main ingredient. Research carried out by soaking the coconut into a 750 ppm sodium metabisulfite (Na2S2O5) solution for ten minutes. The next formula is coated with a coating material comprising a mixture pectin and tapioca (25% dan 75%), and glycerol and potassium sorbate added to each as much as 0.3%. The resulting products have a shelf life of more than eight weeks with a storage temperature of 10o C. Keywords : Coconut, edible coating, sodium metabisulfite ABSTRAK Buah kelapa muda merupakan komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Air dan daging kelapa muda memiliki rasa dan aroma khas, namun tidak bisa dinikmati setiap saat. Hal ini disebabkan umur simpan kelapa muda relatif pendek dan bersifat kamba atau memakan tempat untuk proses distribusi dan penyimpanannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan serta mempermudah proses distribusi dan penyimpanan adalah melalui proses memangkas sebagian besar sabut kelapa (trimmed nut) serta diberikan perlakuan khusus dengan merendam pada larutan natrium metabisulfit (Na 2S2O5) agar sabut terhindar dari proses pencoklatan. Selanjutnya melapisi kelapa tersebut dengan menggunakan bahan pelapis alami. Hal ini bertujuan agar kelapa tidak terserang oleh mikroba yang merugikan, serta dapat mengurangi sifat kamba pada kelapa muda. Produk kelapa muda yang dihasilkan memiliki bentuk yang lebih menarik, dapat disimpan pada lemari pendingin, dan memiliki sifat penyajian yang praktis pada saat dinikmati oleh konsumen. Penelitian dilakukan dengan memangkas (trimmed nut) sabut kelapa sehingga berbentuk menyerupai berlian dan merendamnya kedalam larutan natrium metabisulfit (Na 2S2O5) dengan konsentrasi sebanyak 750 ppm selama 10 menit. Selanjutnya dilapisi dengan bahan pelapis yang terbuat dari pektin dan tapioka sebagai bahan utama dan selanjutnya dikemas dengan menggunakan plastik wrap. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya tahan kelapa muda dan mengetahui pengaruh natrium metabisulfit (Na2S2O5) dan bahan pelapis alami terhadap daya tahan produk selama penyimpanan. Formula bahan pelapis yang baik untuk diaplikasikan untuk memperpanjang umur simpan kelapa muda siap saji adalah 25% pektin dan 75% tapioka dengan penambahan potasium sorbat dan gliserol masing-masingnya 0.3% dengan suhu penyimpanan 10o C. cukup terkenal di kawasan lokal maupun mancanegara. Salah satu komoditi Indonesia yang PENDAHULUAN melimpah adalah kelapa. Di balik besarnya kekayaan Indonesia akan Indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi buah kelapa yang melimpah tersebut, lahan yang luas. Lahan yang luas tersebut teknologi untuk pemanfaatan buah kelapa yang berdampak positif pada pertanian Indonesia yang dikembangkan masih terfokus pada buah kelapa tua. melimpah. Keragaman Indonesia akan berbagai Jika dilihat dari kebutuhan pasar, kelapa muda juga varietas tanaman sudah tersohor di dunia. Oleh memiliki peluang bisnis yang menjanjikan dan sama karena itu berbagai produk pertanian Indonesia
besarnya dengan kebutuhan masyarakat akan kelapa tua. Buah kelapa muda merupakan salah satu komoditi pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan buah kelapa muda harus diikuti dengan penanganan pasca panen, seperti pengawetan, pengemasan dan penyimpanan karena buah kelapa muda mudah rusak. Akan tetapi teknologi yang dimiliki masyarakat dalam pengolahan kelapa muda masih tergolong dalam teknologi tradisional dan cenderung belum terlalu efisien. Kelapa muda sebagai komoditi yang tergolong sebagai minuman yang sangat disukai oleh masyarakat beriklim tropis seperti Indonesia, memiliki beberapa kelemahan dalam pengolahan dan umur simpannya. Kelapa muda yang memiliki kualitas panen yang baik hanya memiliki umur kesegaran 5-7 hari penyimpan. Kelapa yang terlalu lama disimpan akan memiliki cita rasa yang asam dan tidak segar. Selain itu, kelapa muda memiliki sifat kamba (memakan tempat) dalam proses penggudangan dan tergolong sulit dalam proses penyajiannya. Hal ini membuat petani atau penjual kelapa muda tidak dapat menyimpan kelapa muda dalam jumlah besar dalam waktu yang lama. Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan-kelamahan pada buah kelapa muda agar komoditi kelapa muda ini memiliki nilai tambah yang lebih tinggi, umur simpan yang relatif panjang, nilai jual yang jauh lebih baik, serta mengurangi sifat kamba sehingga dapat meningkatkan kapasitas distribusi atau penyimpanan di ruang pendingin. Penanganan pasca panen buah kelapa muda sebagai minuman kelapa muda siap saji merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai tambah buah kelapa muda. Penanganan pasca panen buah kelapa muda yang dapat diterapkan adalah dengan memangkas sebagian sabut kelapa muda untuk mengurangi sifat kamba, melapisi sabut kelapa muda yang telah dikupas sebagian (trimmed nut) dengan bahan pelapis (coating) dan disimpan pada suhu 10o C. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kelapa muda sebagai minuman kelapa muda siap saji, sehingga dapat dipasarkan ke pasar swalayan, hotel-hotel, dan tempat pariwisata. Metode Penelitian ini dilakukan dengan melakukan empat tahapan utama yaitu proses , persiapan bahan dan penentuan konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5), pembuatan bahan pelapis, karakteristik
bahan pelapis, aplikasi bahan pelapis pada kelapa muda siap saji. Persiapan bahan dan penentuan konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir proses persiapan kelapa muda sebelum diberi bahan pelapis Formula bahan pelapis yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan diagram alir pembuatan bahan pelapis disajikan pada Gambar 2, dan diagram alir aplikasi bahan pelapis pada kelapa muda siap saji dapat dilihat pada Gambar 3: Tabel 1. Komposisi formula bahan pelapis Komposisi Tapioka Pektin Gliserol Potassium Sorbat Air Aquades
F1 12.5 g 37.5 g 3. 15 g
Formula F2 25 g 25 g 3. 15 g
F3 37.5 g 12.5 g 3. 15 g
3. 15 g
3. 15 g
3. 15 g
1000 ml
1000 ml
1000 ml
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan bahan pelapis (Guilbert dan Biquet, 1996).
memperpanjang umur simpan dan mengurangi sifat kamba dari kelapa muda. Kelapa muda yang diawetkan juga disertai dengan memberi bentuk yang menarik sehingga akan meningkatkan daya tarik konsumen dan nilai jualnya. Tahapan pertama dalam proses pembuatan kelapa muda siap saji adalah proses persiapan bahan. Tahapan ini dilakukan sebagai penanganan awal terhadap komoditi kelapa muda yang akan digunakan. Kelapa muda yang digunakan adalah kelapa muda jenis genjah hijau. Kelapa genjah hijau yang digunakan adalah kelapa muda dengan umur panen 8 bulan dengan diameter 18-20 cm. Pemilihan kelapa genjah hijau ini didasarkan pada beberapa kelebihannya dibandingkan dengan kelapa lain. Kelebihan yang dimiliki adalah warna sabut yang lebih putih, air yang lebih manis, rasa daging buah yang lebih legit, dan aroma yang lebih harum. Kelapa muda dibentuk menyerupai bentuk berlian dengan tujuan untuk menghilangkan sifat kamba pada sabut kelapa serta memberikan bentuk yang lebih elegan dan menarik. Teknik pembuatan bentuk ini dilakukan dengan cara mengupas sebagian permukaan sabut kelapa dengan menggunakan pisau. Pisau yang digunakan harus memiliki ketajaman yang baik untuk mendapatkan bentuk hasil kupasan sabut kelapa muda yang halus. Proses pengupasan dilakukan dengan cepat untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan (browning) pada permukaan sabut. Gambar kelapa muda yang sudah dibentuk dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kelapa muda yang telah dibentuk menyerupai berlian
Gambar 3. Diagram alir proses aplikasi bahan pelapis pada kelapa muda siap saji. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Persiapan Bahan Proses penelitian ini bertujuan untuk menemukan metode pengolahan yang cocok untuk
Penyebab reaksi pencoklatan (browning) adalah enzim filonase dan dilanjutkan secara non enzimatis dengan membentuk polimer quinon yang disebut melanin. Browning secara enzimatik terjadi pada kelapa muda disebabkan oleh kandungan substrat senyawa fenolik yang terdapat pada sabut kelapa muda. Proses pencoklatan enzimatik akan terjadi apabila adanya reaksi antara enzim fenol oksidase dan oksigen dengan substrat tersebut. Pada pencoklatan enzimatis pada buah kelapa muda setelah dikupas disebabkan oleh pengaruh aktivitas enzim Polypenol Oxidase (PPO), yang dengan bantuan oksigen akan mengubah gugus monophenol
menjadi O-hidroksi phenol, yang selanjutnya diubah lagi menjadi O-kuinon. Gugus O-kuinon inilah yang membentuk warna coklat. Pencegahan reaksi pencokatan enzimatis merupakan pencegahan aktifitas fenolase terhadap substrat (fenol) dan O2. Inhibitor fenolase reaksi pencoklatan enzimatis harus mempunyai sifat tidak mempengaruhi produk (bau, rasa, tekstur), tidak beracun, dan harganya tidak terlalu mahal. natrium metabisulfit (Na2S2O5) merupakan inhibitor fenolase. Na2S2O5 ini akan bereaksi dengan O2 terlebih dahulu sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi antara senyawa fenol dan O2. Mekanisme terjadinya pencegahan reaksi pencoklatan adalah :
Kelapa yang telah dibentuk langsung direndam dalam larutan metabisulfit. Proses tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan (browing) enzimatis sehingga memberikan warna sabut dan daya tarik yang lebih baik. Konsentrasi larutan natrium metabisulfit yang diujikan yaitu : 500, 750, dan 1000 ppm, dan lama waktu perendaman adalah 5, 10, dan 15 menit. Tahapan selanjutnya adalah proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan meletakan kelapa pada arak pengering yang disinari dengan 2 unit lampu bohlam 100 watt untuk menghasilkan suhu 40oC. Proses ini dilakukan selama 15 menit sampai permukaan sabut kelapa muda benar-benar kering. Berdasarkan pengamatan terhadap hasil yang didapatkan pada konsentrasi larutan dan waktu perendaman kelapa muda, hasil terbaik yang didapatkan adalah larutan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 750 ppm dan lama waktu perendaman 10 menit merupakan perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut menghasilkan warna sabut yang putih, tekstur permukaan sabut yang halus dan tidak berkerut (sama seperti pada saat pengupasan). Hasil perlakuan ini membuat tampilan kelapa muda lebih menarik karena warna sabut yang putih serta keadaan permukaan sabut terlihat lebih segar. 2.
Pembuatan Bahan Pelapis Tahapan kedua adalah pembuatan bahan pelapis. Bahan-bahan yang digunakan adalah tapioka dan pektin (low methoxy pectin). Pemilihan kedua bahan ini sebagai bahan utama pelapis kelapa muda siap saji didasarkan kepada kelebihankelebihan kedua bahan tersebut. Pektin (low methoxy pectin) merupakan bahan yang banyak
digunakan sebagai lapisan bahan pangan karena menyebabkan bahan yang dilapisi menjadi lebih menarik dan tidak lengket pada permukaan bahan dan memiliki kekuatan gel yang sangat baik untuk melapisi permukaan bahan pangan. Sementara itu tapioka memiliki penampakan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir, tidak mudah menggumpal, memiliki daya pemekat yang tinggi, tidak mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinasi lebih rendah. Penggabungan kedua bahan ini diharapkan memberikan hasil yang baik dalam pengaplikasian bahan pelapis pada kelapa muda siap saji. Formula bahan pelapis yang diujikan pada penelitian ini terdiri dari tiga formula. Formulaformula ini merupakan campuran pektin dan tapioka yaitu 37.5 g : 12.5 g (F1), 25 g : 25g (F2), dan 12.5 g : 37.5 g (F3). Pada masing-masing formula ditambahkan air aquades sebanyak 1000 ml dan potassium sorbat 3.15 g dan gliserol 3.15 g. Penambahan potassium sorbat bertujuan untuk meningkatkan daya awet bahan pelapis, kerena potassium sorbat berfungsi sebagai antioksidan pada produk pangan. Bahan pelapis rentan terhadap serangan bakteri jika produk berada pada kondisi penyimpanan yang kurang baik. Penambahan antioksidan pada kelapa muda siap saji dimaksudkan agar produk ini tetap dapat dikonsumsi untuk periode penyimpanan yang lebih panjang. Antioksidan yang digunakan dalam pembuatan kelapa muda siap saji ini memiliki sifatsifat sebagai berikut aman dalam penggunaanya, tidak menimbulkan perubahan bau dan warna, efektif dalam konsentrasi rendah, dapat bertahan dalam proses pemasakan, dan harganya murah Sementara itu gliserol berfungsi sebagai plasticizer untuk meningkatkan elastisitas bahan pelapis. Plasticizer ditambahkan pada bahan pelapis untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan bahan pelapis terutama jika disimpan pada suhu rendah. Pembuatan larutan dilakukan dengan teknik pencampuran (mixing). Pertama-tama pektin dan tapioka dicampurkan sampai terjadi homogenisasi. Selanjutnya bahan tersebut dilarutkan pada air dengan perbandingan 1:20. Larutan tersebut dipanaskan sampai tergelatinasi pada suhu 65o C. Tahapan selanjutnya adalah proses pendinginan sampai suhu larutan mencapai 35o C. Larutan yang sudah dingin ditambahkan potassium sorbat dan gliserol masing-masing 3.15 g. Larutan yang telah disiapkan digunakan untuk melapisi kelapa muda yang disiapkan pada tahap
Tabel 2. Kelapa muda siap saji yang telah direndam dengan larutan natrium metabisulfit dan dilapisi dengan bahan pelapis. Bahan Pelapis
F1
Gambar
Deskripsi a. Warna : kuning kecoklatan b. Aroma : bau pektin tercium jelas c. Tekstur : halus a. b.
F2 c. a.
Warna : kuning Aroma : bau pektin tidak tercium Tekstur : halus
Warna : putih kekuningan b. Aroma : bau F3 pektin tidak tercium c. Tekstur : halus Berdasarkan pengamatan, larutan yang memiliki penampakan warna dan aroma terbaik adalah formula F3, dimana hasil akhir dari proses pelapisan formula tersebut terlihat paling baik. Sedangkan pengamatan berdasarkan tekstur, ketiga formula tersebut memiliki tekstur yang sama baik dan halus. Berdasarkan data tersebut didapatkan bahwa formula F3 merupakan formula terbaik secara keseluruhan sebelum masa penyimpanan.
Untuk mengetahui kualitas dari masing-masing formula bahan pelapis yang telah disiapkan dilakukan pengujian. Parameter yang diujikan pada bahan pelapis meliputi kadar air, tingkat kekeruhan (turbidity), dan viskositas. Menurut Winarno (1997), air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi tekstur, kenampakan dan cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan akan menentukan kesegaran dari bahan tersebut dan seringkali dihubungkan dengan daya simpan serta ketahanan suatu produk terhadap kerusakan. Apabila kandungan air tinggi, maka bahan akan lebih cepat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Nilai kadar air bahan pelapis merupakan parameter yang sangat penting karena berhubungan dengan kualitas produk kelapa muda siap saji yang dihasilkan. 100
Kadar Air (%)
persiapan bahan. Pelapisan tersebut digunakan untuk melindungi kelapa muda selama proses penyimpanan dan memperpanjang umur simpan. Proses pelapisan dilakukan dengan cara mengoleskan bahan pelapis menggunakan kuas kayu pada permukaanan sabut kelapa muda sampai benar-benar merata. Kelapa muda yang telah dilapisi bahan pelapis kemudian dikeringkan pada rak pengering dengan suhu 40o C selama 10 menit. Setelah permukaan sabut benar-benar kering maka kelapa muda dilapisi dengan plastik wrap sebagai kemasan sekunder. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan pada kelapa muda siap saji dari pengaruh kondisi lingkungan luar seperti kelembaban udara, air, dan serangga perusak. Data hasil pengamatan setelah proses pelapisan dan pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2.
95 F1
90
F2
85
F3
80 F1
F2
F3
Formula Bahan Pelapis Gambar 4. Nilai rata-rata hasil pengukuran kadar air larutan bahan Berdasarkan grafik di atas menunjukan nilai kadar air dari masing-masing formula terlihat sama. Formula F1 dan F2 memiliki kadar air berturut-turut dengan nilai 95.02 % dan 95.08%. Kedua formula tersebut memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan F3 sebesar 98.21%. Hal ini disebabkan oleh komposisi tapioka yang besar pada formula F3 yaitu sebesar 75%. Tapioka bersifat lebih kuat dalam mengikat air dibandingkan dengan pektin. Pada kondisi kandungan uap air yang tinggi, bahan pelapis akan menyerap uap air dari lingkungannya. Tapioka mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan produk. Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang menyatakan besar kecilnya gesekan di dalam fluida. Makin besar viskositas suatu fluida, maka makin sulit suatu fluida mengalir dan makin sulit suatu benda bergerak di dalam fluida tersebut.
Viskositas (cP)
Viskositas dihasilkan oleh gaya kohesi antara molekul zat cair. Sedangkan dalam gas, viskositas timbul sebagai akibat tumbukan antara molekul gas. Viskositas zat cair dapat ditentukan secara kuantitatif dengan besaran yang disebut koefisien viskositas. Satuan SI untuk koefisien viskositas adalah pascal sekon (Pa-s). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan konsentrasi tapioka dan pektin yang berbeda pada tiap formula menghasilkan viskositas larutan bahan pelapis yang berbeda pula. Semakin tinggi konsentrasi tapioka yang digunakan, semakin tinggi nilai viskositas larutan edible film yang terlihat pada Gambar 5. 2000 1500 F1
1000
F2
500
F3
0 F1
F2
F3
Formula Bahan Pelapis Gambar 5. Nilai rata-rata hasil pengukuran viskositas bahan pelapis Peningkatan viskositas disebabkan karena peningkatan ikatan intermolekuler dalam larutan (Clark dan Courts, 1977). Konsentrasi tapioka dan pektin yang meningkat akan mengakibatkan peningkatan ikatan intermolekuler dalam larutan. Selain itu, semakin banyak tapioka yg digunakan akan meningkatkan jumlah padatan terlarut dalam larutan sehingga viskositas larutan meningkat. Pengukuran viskositas penting karena viskositas larutan berpengaruh terhadap hasil lapisan. Larutan bahan pelapis yang terlalu encer akan menghasilkan pelapis yang kurang sempurna, sedangkan larutan bahan pelapis yang terlalu kental akan menghasilkan lapisan yang terlalu tebal. Oleh karena itu, nilai viskositas diperlukan agar dapat mengetahui tingkat kekentalan larutan yang sesuai untuk aplikasi bahan pelapis. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa formula F1, F2 dan F3 memiliki nilai viskositas yang terlihat berbeda secara signifikan. Masing-masing nilai viskositas formula tersebut secara berturut yaitu : 720, 1520, dan 1880 mPa-s. dapat dilihat formula F3 memiliki nilai viskositas yang paling tinggi dari ketiga formula yang diujikan. Hal ini karena komposisi tapioka yang digunakan pada formula F3 paling banyak digunakan diantara ketiga formula
tersebut. Tapioka bersifat mudah mengikat air jika tergelatinasi jika dibandingkan dengan pektin. Formula F1 memiliki tekstur paling encer diantara ketiga formula yang diujikan. Hal ini disebabkan oleh komposisi pektin pada formula F1 jauh lebih banyak dari pada tapioka. Pektin memiliki tekstur lebih encer daripada tapioka pada saat tergelatinasi. Kondisi ini membuat larutan bahan pelapis pada formula F1 memiliki tekstur encer pada saat penggolesan yang memakai kuas kayu. Proses pengolesan bahan pelapis sebanyak 2 kali proses pengolesan didapatkan belum cukup baik untuk menutupi permukaan sabut kelapa muda siap saji. Untuk formula F2 dengan komposisi 50% tapioka dan 50% pektin, memiliki tekstur yang lebih baik daripada formula F1. F2 memiliki kualitas yang lebih baik dalam melapisi permukaan sabut kelapa muda siap saji. Pada proses pengolesan, F2 dapat melapisi dengan baik hanya pada proses pengolesan pertama. Hal ini menunjukan nilai viskositas F2 yang sebesar 1520 mPa-s cukup baik sebagai nilai viskositas bahan pelapis kelapa muda siap saji. Sedangkan jika dilihat dari kualitas hasil pengolesan F2 dan F3, formula F3 memiliki hasil olesan yang jauh lebih baik daripada F2. Dalam proses pengolesan, F3 memiliki kemampuan untuk kering dengan cepat dan melapisi dengan sangat baik pada permukaan sabut. Nilai viskositas yang paling tinggi diantara ketiga formula yang diujikan didapatkan dengan komposisi F3 yaitu sebesar 1880 mPa-s . Tekstur bahan pelapis formula F3 tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental. Proses pelapisan dengan menggunakan kuas kayu menghasilkan hasil olesan yang baik dan dapat menghewat waktu proses pelapisan bahan pelapis kelapa muda siap saji. Dalam pengukuran turbidity atau nilai kekeruhan formula bahan pelapis. F1, F2, dan F3 yang diujikan memiliki nilai kekeruhan secara berturut yaitu 156, 115, 104 NTU. Jika dibandingkan diantara ketiga formula tersebut, formula F3 memiliki nilai kekeruhan terendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formula F3 lebih baik dibandingkan formula yang lain. Warna bahan pelapis yang dihasilkan adalah warna kuning cerah, sehingga terlihat lebih menarik. Gambar kekeruhan ketiga formula dapat dilihat pada Gambar 6 .
Gambar 6. Penampakan ketiga formula bahan pelapis Kekeruhan (turbidity) adalah merupakan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang tiba. Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Pengukuran turbidity meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Turbidity berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan, tetapi turbidity tergantung. juga pada warna. Semakin tinggi tingkat kekeruhan suatu larutan bahan pelapis, maka kualitasnya akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan dari penampakan warna yang dihasilkan. Warna yang baik adalah warna yang dapat mempertahankan penampakan produk yang dilapisinya. Grafik nilai kekeruhan ketiga larutan dapat dilihat pada Gambar 7. Kekeruhan (NTU)
200 150 F1
100
3.
F2
50
F3
0 F1 F2 F3 Formula Bahan Pelapis Gambar 7. Nilai kekeruhan (turbidity) bahan pelapis
Karakteristik Kelapa Muda Siap Saji Setelah Masa Penyimpanan Pengamatan dilakukan selama delapan minggu untuk mengetahui umur simpan kelapa muda siap saji. Pengujian yang biasa dilakukan untuk mengetahui daya terima konsumen dilakukan adalah uji organolepik. Uji ini menggunakan panelis yang mempunyai tingkat kesukaan dan kepekaan yang bervariasi. Panelis adalah sekelompok orang yang akan menilai dan memberikan kesan secara subjektif berdasarkan prosedur yang diujikan. Dalam pengujian ini yang menjadi panelis adalah panelis semi terlatih dengan jumlah 30 orang.
Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap makanan. Sasaran alat indera ini ditujukan terhadap atribut mutu yang terjadi dari : kenampakan, bau, rasa, dan konsistensi serta beberapa faktor lain yang mungkin diperlukan oleh produk tersebut. Pengujian organoleptik ini mempunyai peranan sangat penting dalam peneraan mutu karena masih banyak faktor-faktor yang ada dalam makanan, tetapi tidak dapat diukur dengan uji mikrobiologi dan kimia. Metode inipun dapat digunakan untuk mengetahui penyimpanganpenyimpangan serta perubahan-perubahan dalam produk pangan. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan konsumen. Uji ini bertujuan untuk mengetahui respon terhadap sifatsifat produk yang lebih spesifik, misalnya rasa buah dalam permen, sifat pulen atau pera pada nasi, sifat gurih pada kerupuk dan kelezatan dari daging panggang (Rahayu 2001). Dalam uji ini, panelis diminta mengungkapkan penilaian secara subjektif mengenai kesukaan atau ketidaksukaan dengan skala hedonik. Pengujian dilakukan terhadap keadaan permukaan sabut kelapa muda, tingkat kesegaran air kelapa, kesegaran rasa daging kelapa, serta aroma kelapa muda. Skala hedonik yang digunakan untuk produk kelapa muda siap saji adalah skala penilaian 1 sampai 7. Pernyataan sangat suka bernilai 7, pernyataan suka bernilai 6, pernyataan agak suka bernilai 5, pernyataan netral bernilai 4, pernyataan agak tidak suka bernilai 3, pernyataan tidak suka bernilai 2 dan pernyataan sangat tidak suka bernilai 1 (Lampiran 2). a. Warna sabut Sifat mutu visual menjadi perhatian utama konsumen terhadap suatu produk yang baru dikenalnya. Warna merupakan bentuk visual yang dapat menjadi daya tarik suatu produk. Walaupun tidak menunjukkan nilai gizi dan nilai fungsionalnya, akan tetapi warna berhubungan dengan preferensi konsumen serta memberikan kesan pertama terhadap pandangan konsumen mengenai produk tersebut. Dengan demikian produk harus memiliki warna yang khas agar banyak digemari konsumennya. Hasil organoleptik terhadap warna sabut kelapa muda siap saji yang dilihat berdasarkan persentase tingkat kesukaan panelis disajikan pada gambar berikut.
terima yang relatif stabil hingga hari ke-56, sedangkan formula lainnya memiliki daya terima menurun seiring dengan hari penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 10o C dapat mempertahankan kesegaran warna sabut lebih dari 8 minggu. Berdasarkan nilai rata-rata untuk hasil uji organoleptik tingkat kesukaan panelis terhadap warna sabut dijelaskan pada grafik berikut :
Gambar 8. Presentase nilai kesukaan panelis terhadap warna sabut selama penyimpanan. Daya tarik komoditi buah kelapa yang belum diolah sangat dipengaruhi oleh warna dari sabut kelapa itu sendiri. Buah kelapa yang memiliki warna kulit sabut yang segar merupakan buah yang digemari konsumen. Begitu juga dengan kelapa muda siap saji yang telah di-trimmed nut pada seluruh bagian permukaan sabutnya. Kondisi warna sabut luar yang putih dan menampilkan warna cerah menjadi parameter utama dalam menentukan tingkat kesegaran dan kesukaan konsumen terhadap produk kelapa muda siap saji. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu 28oC di hari pengamatan ke-7 memiliki nilai kesukaan F1(20%), F2 (26.67%), F3 (46.67%). Hasil organoleptik menunjukan warna kelapa muda yang disimpan pada suhu tersebut relatif kurang disukai oleh panelis dengan angka kesukaan dibawah 50%. Sedangkan pada hari pengamatan ke14 tidak ada panelis yang menyukai warna sabut. Hal ini diduga karena daya tahan sabut tidak sampai 14 hari. Kelapa muda siap saji yang disimpan dengan suhu penyimpanan 10o C memiliki umur simpan yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu ruang (28o C). Hasil pengamatan dilakukan hingga hari ke-56. Hasil organoleptik menunjukan kelapa muda yang disimpan pada suhu 10o C pada ketiga formula disukai oleh panelis. Produk yang disimpan pada suhu tersebut memiliki hasil penilaian warna sabut kelapa muda siap saji yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 28 o C di setiap formula. Untuk formula F3 memiliki daya
28o C F1 : y= -2.8667x + 7 R²= 1 F2 : y= -3.2667x + 7.8 R²= 1 F3 : y= -3.1333x + 7.53 R²= 1
10o C F1 : y= -0.3865x + 5.923 R²= 0.7681 F2 : y= -0.4028x + 6.5583 R²= 0.9406 F3 : y= -0.0147x + 6.3619 R²= 0.1183
Gambar 9. Grafik nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna kelapa muda siap saji selama penyimpanan. Grafik diatas menunjukan nilai rata-rata hasil penilaian panelis pada saat organoleptik. Koefisien determinasi (R2) pada ketiga formula di suhu penyimpanan 28oC sebesar 1 (100%). Hal ini menunjukan masa penyimpanan secara dominan mempengaruhi nilai kesukaan terhadap warna sabut tanpa dipengaruhi indikator lain. Sedangkan pada suhu 10o C memiliki koefisien determinasi yang beragam pada ketiga jenis formula. Koefisien determinasi terendah adalah pada formula F3 dengan nilai 0.1183 (11.83%). Hal ini menunjukan waktu penyimpanan hanya berpengaruh sebesar 11.83% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna sabut. Sehingga suhu penyimpanan 10oC sesuai untuk penyimpanan formula F3. b. Rasa daging Rasa sebagai salah satu sifat dari makanan, minuman dan bumbu dapat didefenisikan kumpulan hasil persepsi dari stimulasi indera yang digabungkan dengan stimulasi pencernaan berupa
kesan yang diterima melalui ransangan kimia dari suatu produk di mulut (Meilgaard 1999). Rasa makanan yang kita kenal sehari-sehari sebenarnya bukan satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, aroma, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti penglihatan, sentuhan dan pendengaran. Peramuan rasa itu ialah suatu sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasaan orang yang memakannya. Rasa merupakan respon dari adanya interaksi antara makanan dengan lidah. Rasa yang dimiliki produk olahan pangan harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Oleh sebab itulah suatu produk harus memiliki cita rasa yang kuat agar dapat digemari oleh konsumen. Selain itu rasa yang dimiliki harus memiliki kekhasan yang berbeda sehingga menjadi keidentikan produk tersebut. Cita rasa daging kelapa muda siap saji sangat menentukan kualitas dari produk kelapa muda yang disimpan. Kelapa yang memiliki kualitas baik mempunyai tekstur daging buah yang lembut dan rasa yang manis. Kelapa muda siap saji yang mengalami penurunan mutu cenderung memiliki tekstur daging yang sedikit kesat serta sedikit asam. Hasil organoleptik terhadap rasa daging kelapa muda siap saji yang dilihat berdasarkan persentase tingkat kesukaan panelis disajikan pada gambar berikut.
yang disimpan pada suhu tersebut relatif kurang disukai oleh panelis dengan angka kesukaan dibawah 50%. Sedangkan pada hari pengamatan ke14 tidak ada panelis yang menyukai rasa daging. Hal ini diduga karena daya tahan daging tidak sampai 14 hari. Kelapa muda siap saji yang disimpan dengan suhu penyimpanan 10o C memiliki umur simpan yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu ruang (28o C). Hasil pengamatan dilakukan hingga hari ke-56. Hasil organoleptik menunjukan rasa daging kelapa muda yang disimpan pada suhu 10o C pada ketiga formula disukai oleh panelis. Produk yang disimpan pada suhu tersebut memiliki hasil penilaian rasa daging kelapa muda siap saji yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 28o C di setiap formula. Untuk formula F3 memiliki daya terima yang relatif stabil hingga hari ke-56, sedangkan formula lainnya memiliki daya terima menurun seiring dengan hari penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 10o C dapat mempertahankan kesegaran rasa daging lebih dari 8 minggu. Berdasarkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa daging dijelaskan pada grafik berikut :
28o C F1 : y= -2.5x + 6.3333 R² = 1 F2 : y= -2.7x + 6.9667 R² = 1 F3 : y= -2.7333x + 7.03 R²= 1
Gambar 10. Presentase nilai kesukaan panelis terhadap rasa daging selama penyimpanan. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu 28oC di hari pengamatan ke-7 memiliki nilai kesukaan F1(10%), F2 (26.67%), F3 (30%). Hasil organoleptik menunjukan rasa daging kelapa muda
10o C F1 : y= -0.2992x + 6.3464 R²= 0.8576 F2 : y= -0.2718x + 6.4774 R²= 0.8952 F3 : y= -2.7333x + 7.0333 R²= 0.6077
Gambar 11. Grafik nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging kelapa muda siap saji selama penyimpanan. Grafik diatas menunjukan nilai rata-rata hasil penilaian panelis pada saat organoleptik. Koefisien determinasi (R2) pada ketiga formula di suhu penyimpanan 28oC sebesar 1 (100%). Hal ini menunjukan masa penyimpanan secara dominan
mempengaruhi nilai kesukaan terhadap rasa daging tanpa dipengaruhi indikator lain. Sedangkan pada suhu 10oC memiliki koefisien determinasi yang beragam pada ketiga jenis formula. Koefisien determinasi terendah adalah pada formula F3 dengan nilai 0.6077 (66.77%). Hal ini menunjukan waktu penyimpanan berpengaruh sebesar 60.77% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging. c. Rasa Air Rasa air kelapa muda yang manis merupakan rasa yang paling disukai oleh konsumen. Pada gambar dibawah ini dapat dilihat presentase nilai kesukaan panelis terhadap kelapa muda siap saji selamapenyimpanan.
Gambar 12. Presentase nilai kesukaan panelis terhadap rasa air selama penyimpanan. Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu 28oC di hari pengamatan ke-7 memiliki nilai kesukaan F1(36.67%), F2 (63.33%), F3 (83.33%). Hasil organoleptik menunjukan rasa air kelapa muda yang disimpan pada suhu tersebut untuk F1 dan F2 relatif kurang disukai oleh panelis dengan angka kesukaan dibawah 50%. Sedangkan pada hari pengamatan ke-14 tidak ada panelis yang menyukai rasa air dari ketiga jenis formula. Hal ini diduga karena daya tahan rasa air tidak sampai 14 hari. Kelapa muda siap saji yang disimpan dengan suhu penyimpanan 10o C memiliki umur simpan yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu ruang (28o C). Hasil pengamatan dilakukan hingga hari ke-56. Hasil organoleptik menunjukan rasa air kelapa muda yang disimpan pada suhu 10o C pada ketiga formula disukai oleh panelis. Produk yang
disimpan pada suhu tersebut memiliki hasil penilaian rasa air kelapa muda siap saji yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 28o C di setiap formula. Untuk formula F3 memiliki daya terima yang relatif stabil hingga hari ke-49 dan mengalami penurunan nilai sebesar 10% pada hari ke-56. Akan tetapi keadaan ini berbeda jauh dengan formula lainnya yang memiliki daya terima menurun seiring dengan hari penyimpanan. Sehingga hal ini membuktikan penyimpanan pada suhu 10o C dapat mempertahankan kesegaran rasa air kelapa lebih dari 8 minggu. Berdasarkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa air dijelaskan pada grafik berikut :
28o C F1 : y= -2.8333x + 7.0333 R² = 1 F2 : y= -3.3667x + 7.9 R² = 1 F3 : y= -3.5667x + 8.4 R²= 1
10o C F1 : y= -0.3472x + 6.475 R²= 0.8191 F2 : y= -0.3341x + 6.5286 R²= 0.8881 F3 : y= -0.044x + 6.5024 R²= 0.727
Gambar 17. Grafik nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa air kelapa muda siap saji selama penyimpanan. Grafik diatas menunjukan nilai rata-rata hasil penilaian panelis pada saat organoleptik. Koefisien determinasi (R2) pada ketiga formula di suhu penyimpanan 28oC sebesar 1 (100%). Hal ini menunjukan masa penyimpanan secara dominan mempengaruhi nilai kesukaan terhadap rasa air tanpa dipengaruhi indikator lain. Sedangkan pada suhu 10oC memiliki koefisien determinasi yang beragam pada ketiga jenis formula. Koefisien determinasi terendah adalah pada formula F3 dengan nilai 0.702 (70.2%). Hal ini menunjukan waktu penyimpanan berpengaruh sebesar 70.2% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa air. d. Aroma
Aroma merupakan hasil dari rangsangan kimia yang tercium oleh saraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung pada saat makanan masuk ke dalam mulut. Aroma setiap produk olahan pangan bervariasi sesuai bahan baku yang digunakan. Sehingga aroma yang ditimbulkan setiap produk memiliki ciri khas yang berbeda. Selera konsumen juga dapat dipengaruhi oleh aroma kelapa muda. Buah yang ditangani dengan baik akan memiliki aroma yang baik. Sebaliknya jika penanganan pasca panen buah kurang baik akan menimbulkan aroma yang tidak sedap. Aroma dari suatu produk dapat diketahui ketika ransangan diterima indera penciuman melalui sistem penciuman (Meilgaard 1999). Pengaromaan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makananan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak jauh. Indera pengaroma berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau komoditi baik berupa pangan maupun non pangan. Dalam banyak hal enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat tidak penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai. Hasil organoleptik terhadap aroma kelapa muda siap saji yang dilihat berdasarkan persentase tingkat kesukaan panelis disajikan pada gambar berikut.
Gambar 18. Presentase nilai kesukaan panelis terhadap aroma selama penyimpanan. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu 28oC di hari pengamatan ke-7 memiliki nilai kesukaan F1(36.67%), F2 (63.33%), F3 (83.33%). Hasil organoleptik menunjukan warna kelapa muda yang disimpan pada suhu tersebut relatif kurang disukai oleh panelis dengan angka kesukaan
dibawah 50%. Sedangkan pada hari pengamatan ke14 tidak ada panelis yang menyukai aroma. Hal ini diduga karena daya tahan aroma tidak sampai 14 hari. Kelapa muda siap saji yang disimpan dengan suhu penyimpanan 10o C memiliki umur simpan yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan kelapa muda siap saji yang disimpan pada suhu ruang (28o C). Hasil pengamatan dilakukan hingga hari ke-56. Hasil organoleptik menunjukan kelapa muda yang disimpan pada suhu 10o C pada ketiga formula disukai oleh panelis. Produk yang disimpan pada suhu tersebut memiliki hasil penilaian aroma kelapa muda siap saji yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 28o C di setiap formula. Untuk formula F3 memiliki daya terima yang relatif stabil hingga hari ke-56, sedangkan formula lainnya memiliki daya terima menurun seiring dengan hari penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 10o C dapat mempertahankan kesegaran aroma lebih dari 8 minggu. Berdasarkan nilai kesukaan panelis terhadap aroma dijelaskan pada grafik berikut :
28o C F1 : y= -3.0667x + 7.4 R² = 1 F2 : y= -3.1x + 7.5667 R² = 1 F3 : y= -3.2x + 7.6667 R²= 1
10o C F1 : y= -0.3139x + 5.9333 R²= 0.9142 F2 : y= -0.3071x + 6.0571 R²= 0.9192 F3 : y= -0.0131x + 6.1714 R²= 0.1807
Gambar 19. Grafik nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa air kelapa muda siap saji selama penyimpanan. Grafik diatas menunjukan nilai rata-rata hasil penilaian panelis pada saat organoleptik. Koefisien determinasi (R2) pada ketiga formula di suhu penyimpanan 28oC sebesar 1 (100%). Hal ini menunjukan masa penyimpanan secara dominan
mempengaruhi nilai kesukaan terhadap aroma tanpa dipengaruhi indikator lain. Sedangkan pada suhu 10oC memiliki koefisien determinasi yang beragam pada ketiga jenis formula. Koefisien determinasi terendah adalah pada formula F3 dengan nilai 0.1807 (18.07%). Hal ini menunjukan waktu penyimpanan hanya berpengaruh sebesar 18.07% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kelapa muda siap saji. Sehingga suhu penyimpanan 10oC sesuai untuk penyimpanan formula F3. SARAN Saran teknis yang dapat diberikan adalah penggunaan metode pelapisan buah Salak Pondoh dengan larutan coating ekstrak KBM dengan pelarut akuades untuk proses distribusi dan transportasi yang memerlukan waktu relatif panjang. Selain itu, salak dapat juga dikemas dalam plastik PP kondisi normal pada suhu 15-19oC untuk memperpanjang umur simpannya.
DAFTAR PUSTAKA Barlina. 2001. Membangun Agribisnis Kelapa Muda. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23(6): 9-11. Cahyadi, W., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta. Departemen Kesehatan. 1989. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/89 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta. Dowhowe, I. G. and Fennema. 1994. Edible Film and Coating : Characteristics, Formation, definition and Testing Methods, Di dalam Krochta, J. M., E.A. Baldwin and M.O. Nisperos-Carreido (eds). Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publ., Inc. lancester, USA. Gontard N, Gilbert S, Cuq JL.1993. Water and Glicerol as Plasticizer Affect Mechanical and Water Vapor Barrier Properties of an Edible Wheat Film. J. of Food Sci. 58 : 206-211. Gontard, N. et al. 1993. Water and Glicerol as Plasticizer Effect Mechanical and Water Vapor Barrier Properties of an Edible Wheat Gluter Film. J. Food Sci. 58(1) : 206-210. Krochta, J.M. , E.A. Baldwin, dan M. Nisperos Carriedo. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster, Basel.
Kumar TBN. 1995. Tender Coconut Water: Nature’s Finest Drink. Indian Coconut Journal – XXXII Cocotech Special. XXVI (3) : 42-45 Kumar KG. 2008. Cracking The Tender Nut.
[email protected]. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Technique. New York: CRC Press. Milla PD, Boceta N. 1989. Stay Healty : Drink Coconut Water Daily. Philippine Coconut Authority. 6 pp. Mutiarawati, T. 2001. Pengendalian Kualitas Produksi Tanaman Sayuran Dan Buah-Buahan. Makalah pada Program Peningkatan Teknik Budidaya Pertanian bagi Teknis Penelitian dan Perekayasaan Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung, 17 September-10 Oktober 2001. Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Films Based on Polysaccharides. Di Dalam : Kroctha et al. (ed). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publ Co. Inc. Lancester-Basel. Pennsylvania, USA. Pechsmai A. 2002. Design and Development of a Young Coconut Peeling Machine, M.Eng. Thesis. Department Agricultural Engineering, Graduate School, Kasetsart University, Kamphaengsaen, p. 97 (in Thai). Permanasari, Elizabeth Diana. 1998. Aplikasi Edible Caoting Dalam Upaya Mempertahankan Mutu dan Masa Simpan Paprika. Program Sarjana IPB, Bogor. Rindengan b. 2004. Potensi Buah Kelapa Muda Untuk Kesehatan dan Pengolahannya. Perspektif Puslit-Bangbun. Hal. 46-60. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia utama. Jakarta. Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zhang, V., and J.H. Han. 2006. Plastikization of Pes Starch Film With Monosaccharide and Polyols. Jurnal Food ist. 71(6):E 253-E 26.