Pengantar Umum Metode Penelitian dalam Akuntansi1 Oleh: Dr. Aji Dedi Mulawarman
1. PENDAHULUAN Manusia hampir setiap hari bertanya tentang segala sesuatu, baik itu yang dilihatnya, dibacanya, dirasakannya, dikerjakannya, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Manusia bertanya karena manusia berpikir (thinking). Pentingnya proses berpikir tersebut sampai kemudian manusia menjuluki dirinya sendiri sebagai Homo Sapiens (Makhluk yang Berpikir)2. Bahkan dalam Islam, tradisi manusia yang berpikir sebelum istilah Homo Sapiens muncul - telah dikemukakan Al-Qur’an dengan istilah Ulil Albab (Manusia yang Berpikir)3. Hasil dari pertanyaan (question) sebenarnya dapat disebut dengan jawaban (answer) atau dapat pula disebut dengan pengetahuan (knowledge). Manusia bertanya untuk mendapatkan jawaban atau pengetahuan disamping memang naluri dan sifat dasar kemanusiaannya, juga didasarkan pada kebutuhan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Pertanyaan muncul dari hal-hal sepele yang tidak perlu pemecahan masalah sampai dengan masalah krusial dan rumit yang membutuhkan pemecahan masalah (problem solving). Pertanyaan paling mudah ketika kita bangun tidur, misalnya: “Jam berapa ini?”; “Sudah pagi atau masih malam ya?”; “Lo kok sudah jam segini, tementemen kos kok pada diem ya, apa aku yang gak denger atau mereka pada belum bangun?”; Waduh, kesiangan aku, bisa gak aku menyelesaikan tugas yang semalam belum aku selesaikan?; dan lainnya. Atau pertanyaan seputar mahasiswa ketika pertama kali masuk kelas Metodologi Penelitian: “Dosennya serem gak ya?”; “Enak gak dosen ini ngasih kuliah?”; Mbulet and ruwet gak ya mata kuliah ini?” dan lainlain. Pertanyaan yang lebih kritis, misalnya, ketika kita baru saja membaca koran pagi atau menonton berita televisi (apalagi sambil ditemani teh atau kopi, pasti enak :p): “Mengapa pemerintah kok seperti lemah ketika kita diobok-obok Malaysia ya? Apa pemimpin kita tidak bisa mencontoh Bung Karno dengan teriakannya - Ganyang Malaysia - ya?”, Apakah tidak ada cara untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan yang tiap hari disiarkan di tv ya?”; “Bagaimana cara meredam korupsi di kalangan elit-elit negeri kita ya?”, dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul di benak kita. 2. APA ITU PENELITIAN, PENGETAHUAN DAN ILMU? Pertanyaannya sekarang adalah, apakah beda antara pertanyaan biasa dengan pertanyaan penelitian atau riset (research) yang memiliki substansi keilmuan? Apa 1
Materi Minggu Pertama Mata Kuliah Metodologi Penelitian - Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 12 September 2011. 2 Auguste Rodin (1840-1917) seorang seniman pemahat bahkan membuat sebuah patung termasyhur, Homo Sapiens, Manusia yang Berpikir sebagai monumen pentingnya tradisi berpikir atau bertanya dari manusia. Dengan berpikir itu pula ciri kemanusiaan itu hadir. Hakikat kemanusiaan paling substansial bagi masyarakat Barat adalah ketika manusia berpikir (lihat Suriasumantri 1985, hal 1) 3 Lihat misalnya QS Ali Imron 190:191. Dalam konteks Qur’an, hakikat Manusia sebagai Ulil Albab adalah manusia yang memiliki keseimbangan diri sebagai manusia yang selalu berpikir sekaligus berzikir kepada Allah. 1
yang dicontohkan di atas adalah contoh dari pertanyaan-pertanyaan biasa dan sudah menjadi sifat dasar manusia. Sebenarnya pula yang disebut dengan pertanyaan ilmiah merupakan bentuk lanjut dari pertanyaan-pertanyaan biasa di sekitar kehidupan kita. Dengan semakin bertumpuknya pertanyaan-pertanyaan manusia, makin banyak pula jawaban yang muncul. Dari banyaknya jawaban-jawaban yang muncul kemudian menjadi pola atau kebiasaan. Hanya saja pola atau kebiasaan hasil dari pertanyaan dan jawaban tersebut belum membentuk ilmu, tetapi baru masuk pada tataran yang disebut dengan tradisi. Tradisi muncul dari jawaban atas pertanyaan yang terselesaikan tanpa harus dipertanyakan lebih mendalam dan di uji pola serta pemodelan maupun kemungkinan perekayasaan yang kemudian membentuk teori (theory). Pengetahuan dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu, pertama, pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri. Kedua, pengetahuan dari luar manusia yang terjangkau indera dan akal manusia, yaitu alam semesta. Ketiga, pengetahuan dari luar manusia yang tidak terjangkau indera dan akal manusia, yaitu Tuhan. Pengetahuan diri dan alam semesta biasa disebut dengan pengetahuan empiris yang didapatkan melalui panca indera, akal dan batin. Sedangkan pengetahuan di luar itu biasanya disebut dengan agama dan didapatkan melalui wahyu dengan pendekatan intuisi dan spiritual. Meskipun saat ini banyak manusia dan hasil pengetahuan berupa ilmu yang tidak mempercayai bahwa pengetahuan mengenai Tuhan itu ada. Aliran seperti ini biasanya disebut dengan Materialisme. Materialisme percaya bahwa segala sesuatu hanya dapat disebut pengetahuan dan dengan demikian dapat menjadi ilmu apabila pengetahuan tersebut didapatkan bila terbukti secara material melalui panca indera dengan mengunggulkan akal sebagai sumber pencarian. Materialisme tidak mengakui adanya pengetahuan adanya Tuhan. Berdasarkan pembagian pengetahuan tersebut, maka pengetahuan dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Pengetahuan pertama yaitu pengetahuan biasa yang didapatkan melalui pengalaman panca indera. Pengetahuan kedua, yaitu tradisi, pengetahuan yang didapatkan dari kebiasaan dan pola yang teratur tetapi tidak terstruktur. Pengetahuan ketiga, yaitu ilmu, hasil dari pengalaman panca indera dan tradisi yang kemudian dilalukan secara sistematis, terorganisir serta radikal (sampai ke akar-akarnya) berdasarkan riset dan atau eksperimen yang sesuai tahapan/metode keilmuan. Pengetahuan keempat, yaitu filsafat, hasil dari pemikiran menemukan kebenaran yang sistematis, radikal dan universal. Filsafat sendiri menurut Gazalba (1990, 24) sebenarnya lebih menekankan pada sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikla, sistematis dan universal. Pertanyaan dan jawaban menjadi sebuah penelitian atau memiliki substansi keilmuan bahkan membentuk teori, ketika subyek atau obyek yang dipertanyakan tersebut diamati dan diteliti secara mendalam, diidentifikasi secara sistematis, melalui kerangka berfikir yang terorganisir. Teori sendiri seperti dijelaskan oleh Indriantoro dan Supomo (1999, 7) bila dilihat dari definisinya merupakan penjelasan atau keterangan mengenai fenomena alam. Sedangkan penelitian menurut Indriantoro dan Supomo (1999, 4-5) merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang memiliki kriteria tertentu. Penelitian dengan demikian mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu. Tujuan penelitian sebenarnya adalah untuk memperoleh pengetahuan yang dapat menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah serta bila memungkinkan 2
membentuk teori dan berakhir pada ilmu (science)4. Ilmu atau science dengan demikian secara literer dapat didefinisikan secara mudah sebagai akumulasi dari pengetahuan yang sistematik (Goode dan Hatt 1952, 7). Akuntansi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan (accounting as a part of science) tidak pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan. Baik mempertanyakan dirinya sendiri, seperti banyak dipertanyakan oleh kalangan akuntan maupun di luar akuntan. Seperti misalnya, apakah akuntansi itu ada, eksis? Atau, apakah akuntansi itu ilmu, teknologi, teknik, seni atau sekedar alat bagi organisasi? Juga dapat terjadi misalnya mempertanyakan kegunaan akuntansi bagi organisasi atau lingkungan di luar dirinya, maupun pertanyaan di seputar proses, prosedur, hubungannya dengan ilmu lainnya, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan yang dapat dijawab dengan memuaskan, banyak pula yang sampai sekarang tidak memiliki jawaban utuh, atau bahkan tak terjawab sama sekali. Sebagaimana diketahui secara umum, yang disebut dengan ilmu pengetahuan atau sains merupakan akumulasi sistematis dari pengetahuan. Akumulasi sistematis pengetahuan didapatkan dari proses yang disebut dengan kerangka berpikir sistematis atas ilmu itu sendiri. Sehingga jelas, di dalam kerangka keilmuan, salah satu hal paling pentingnya adalah tidak habis-habisnya pertanyaan yang selalu muncul atas suatu bidang ilmu. Demikian pula dengan akuntansi, apabila memang akuntansi dianggap sebagai ilmu. Akuntansi harus penuh dengan pertanyaan yang harus dipecahkan secara sistematis dalam kerangka keilmuan, baik menggunakan metode riset (research methods) berbasis pada model “scientific methods” maupun melalui cara “naturalistic approach”. Scientific methods biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan keilmuan berdasarkan pada metode ilmu-ilmu alam (natural science). Naturalistic approach biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan keilmuan berdasarkan pada metode ilmu-ilmu sosial (social science). Berdasarkan dinamika pertanyaan sekaligus jawaban atas akuntansi itu pulalah maka akuntansi dapat dikatakan sebagai ilmu5. 3. PARADIGMA DAN METODOLOGI PENELITIAN Terdapat perbedaan mendasar mengenai apa itu metode penelitian (research methods) dan metodologi penelitian (research methodology). Metode penelitian menekankan pada teknis (technical) yang berhubungan dengan “conduct of research”. Artinya, metode penelitian merupakan teknis bagaimana penelitian dilakukan secara sistematis untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sedangkan metodologi penelitian lebih menekankan pada filosofi yang mendasari pilihan penggunaan metode riset. Artinya, metodologi penelitian merupakan pembahasan mengenai substansisubstansi dan nilai-nilai (values) yang mendasari dari penggunaan metode riset yang dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian. Metodologi penelitian misalnya membahas mengenai values dan substansi scientific methods yang berasal dari sistematika dan tata aturan ilmu-ilmu alam. Bagi scientific methods penelitian harus bebas nilai (value free) dan bersifat obyektif. Sedangkan values dan substansi metode 4
Silakan lihat juga Suriasumantri (1985, 2-3) Bila ingin dilihat lebih jauh, seperti dijelaskan oleh Muslih (2004) bahwa di ranah social science muncul apa yang dinamakan dengan sosiologi ilmu atau sociology of knowledge (bukannya ilmu sosiologi). Sosiologi ilmu adalah disiplin yang secara teoritis berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dengan kehidupan. Disiplin ini dirintis oleh Marx Scheler dan kemudian diperkokoh oleh Karl Mannheim. Sosiologi ilmu membentuk sebuah kesepakatan tentang perbedaan pendekatan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Bagi ilmu sosial dikenal dengan pendekatan verstehen (pemaknaan), sedangkan ilmu alam dikenal dengan pendekatan erklaren (penjelasan berdasarkan hukum alam; kasualitas) 3 5
penelitian dari naturalistic methods haruslah sarat nilai (value laden) dan bersifat subyektif. Perbedaan antara kedua metode di atas kemudian memunculkan apa yang kemudian disebut dengan Paradigma (Paradigm)6 atau Worldview7. Paradigma keilmuan Barat oleh Burell dan Morgan (1979) disusun berdasar empat paradigma utama, yaitu fungsionalisme, interpretif, radikal humanis dan radikal struktural. Sedangkan dalam akuntansi misalnya dibagi dalam paradigma positif, interpretif dan kritis (Chua 1986; untuk pembagian berbeda lihat Belkaoui 2000). Muhadjir (2000) melakukan pembagian yang berbeda, yaitu positivis, postpositivis (di dalamnya termasuk interpretif dan kritis) dan postmodernisme. Sedangkan turunan metodologinya, biasanya paradigma positivis menggunakan metodologi kuantitatif, sedangkan di luar itu menggunakan metodologi kualitatif atau lainnya. Metodologi di luar positivisme atau biasa disebut dengan non-positivism, baik yang interpretif, kritis, posmo atau lainnya bisanya berupaya untuk mengembangkan apa yang disebut Fakih (2002b:49) penolakan terhadap “dominasi” representasi penelitian ilmiah (scientific methods) positivisme. Dominasi positivisme atas penelitian ilmiah lanjut beliau adalah bentuk “penguasaan pengetahuan” untuk menerapkan pengetahuan sampai bentuk teknologinya tidak hanya didasarkan ideologi Barat tetapi juga didasarkan hasrat untuk mengendalikan (51-52) berdasar dua asumsi utama scientific methods, yaitu obyektivisme dan regulatori. Obyektivisme mensyaratkan ilmuwan maupun praktisi sedapat mungkin bertindak netral, berjarak dan tidak melibatkan aspek emosional dan pemihakan (47). Regulatori menempatkan ilmu pada posisi sentral dalam analisis sosial maupun proses perubahan sosial. Masyarakat dalam asumsi ini ditempatkan sebagai obyek ilmu. Sebagai subyek, ilmuwan mendapat legitimasi untuk membangun sendiri agenda maupun tujuan dari perubahan sosial. Oleh karena itu masyarakat yang diletakkan sebagai obyek harus “menyerahkan diri” untuk diarahkan dan dikembangkan menuju tujuan yang telah ditetapkan (48-49). 3.1. Paradigma positif Paradigma positif atau the functionalist paradigm (Burell & Morgan 1979), atau disebut juga mainstream accounting thought, menurut Chua (1986), didasarkan common set asumsi filosofis tentang pengetahuan, dunia empiris dan hubungan 6
Istilah paradigma menurut Mulawarman (2010) dipakai pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Paradigma merupakan terminologi kunci dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Kuhn, meskipun ia tidak merumuskan dengan jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan paradigma itu sendiri. Bahkan istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu cara yang berbeda. Memang setelah Kuhn, banyak pendefinisian yang berkaitan dengan paradigma, baik yang mencoba mereduksi dua puluh satu definisi Kuhn menjadi tiga konsep utama paradigma, seperti yang dilakukan oleh Masterman yang mencoba membagi paradigma dalam apa yang diistilahkan sebagai paradigma metafisis, paradigma sosiologis dan paradigma konstruk. Metaphysical paradigm adalah tipe paradigma mengenai (1) sesuatu yang ada dan tidak ada; (2) mengenai hanya sesuatu yang ada saja; atau (3) hanya sesutu yang sungguh-sungguh ada; yang menjadi pusat perhatian dari komunitas ilmuwan tertentu. Dari metaphysical paradigm Kuhn mengajukan satu konsep yang disebutnya exemplar, yaitu hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum. Exemplar ini disebut pula tipe sociological paradigm. Sedangkan construct paradigm merupakan konsep yang paling sempit di antara ketiga tipe paradigma di atas 7 Paradigma lanjut Mulawarman (2010) dapat pula diartikan sebagai worldview. Worldview dalam khasanah etimologi Barat tersusun dari dua kata world (dunia) dan view (pandangan) yang berarti pandangan dunia. Worldview dalam bahasa Jerman disebut Weltansicht atau Weltanschauung (welt=dunia; anschauung=persepsi) yang berarti persepsi tentang dunia. Di Italia, Weltanschauung diartikan sebagai konsepsi tentang dunia. Sedangkan di Perancis maknanya diperluas menjadi pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi tentang kehidupan. Worldview di Rusia disebut dengan Mirovozzrenie yang juga memiliki arti yang sama dengan Weltanschauung. 4
antara teori dan praktek. Pandangan dunia terutama, menekankan pada hypotheticodeductivism dan technical control. Secara ontologis, ditegaskan Chua (1986) dipengaruhi realitas fisik yang menganggap dunia sebagai realitas obyektif yang berada di luar (independent) manusia, dan alam yang penuh kepastian (determinate nature) atau secara esensi dapat diketahui (knowable). Dengan demikian terdapat garis pembatas tegas antara obyek dan subyek, pengetahuan dapat diperoleh ketika subyek dapat menemukan dengan benar dan mendiscovers realitas obyektif tersebut. Karena itu, penelitian-penelitian dalam paradigma ini selalu menekankan obyektivitas yang tinggi. Ini tidak lain obyek yang diketahui terpisah dengan subyek yang mengetahui. Peneliti dalam paradigma ini selalu mencoba melakukan pengukuranpengukuran yang akurat –melalui suatu instrumen yang dinamakan questionaire– terhadap realitas sosial yang ditelitinya. Melihat realitas sebagai materi yang dapat diukur dan diinterpretasikan secara rasional, atau satu-satunya untuk membangun ilmu memakai Metode Ilmiah. Bentuk metodologi yang sesuai dan banyak dipakai pada paradigma ini adalah metodologi kuantitatif dengan teknik statistiknya yang berakar pada ilmu-ilmu alam . 3.2. Paradigma Interpretif Paradigma Interpretif diturunkan dari Germanic Philosofical Interests yang menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman. Ilmu pengetahuan, bagi paradigma ini tidak digunakan untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict), tetapi untuk memahami (to understand). Paradigma Interpretif dibentuk berdasarkan asumsi bahwa realitas sosial itu keberadaannya tidak konkret, melainkan keberadaannya dibentuk dari pengalaman subyektif-obyektif masingmasing individu. Jadi realitas sosial itu diciptakan dari hasil interpretasi dan konsepkonsep individu serta bagaimana ia membentuk makna (meaning) atas interpretasi tersebut. Sehingga realita sosial itu majemuk, bisa bertahan atau berubah tergantung pada pemaknaan individu. Paradigma Interpretif, menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya functionalism paradigm, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektifisme dalam analisis sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling mendasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamatinya (Fakih 2002). Hal ini juga ditegaskan oleh Hardiman (1994), bahwa kalau diikuti jalur perkembangan ilmu-ilmu sosial pasca positivisme, kita akan menemukan suatu upaya yang sangat gigih untuk mempertahankan rasionalitas dalam sebuah perspektif yang kritis terhadap saintisme dan positivisme. Tanpa meninggalkan cita-cita pencerahan dan proyek modernitas, sikap kritis tersebut diperlihatkan dengan usaha untuk memandirikan ilmu-ilmu sosial secara epistemologis dan metodologis. Lebih jauh tentang Interpretive Paradigm, Hardiman (1994), mengatakan bahwa, disini obyektivism dilampaui, namun phenomenology, khususnya Husserl, tidak beranjak dari saintism, karena ingin menjadi “rigorous science” tentang “fenomen apa adanya” dari sudut pandang suatu subyek intensional (kesadaran). Bahkan fenomenologi sosial, seperti sudah ditunjukkan Susan Hekman, meskipun sudah menampilkan aspek intersubyektif, masih memahami “makna” dari sudut intensionalitas individual. Disini, bersama Teori Tindakan, fenomenologi masih terperangkap dalam konsep pengetahuan ala Pencerahan, yaitu paradigma individualistis dan dikotomi subyek-obyek. Bentuk metodologi yang dijalankan pada 5
paradigma ini adalah antitesis dari positivisme, sebagai upaya mencari dasar metodologis bagi ilmu-ilmu social yang lebih luas sampai pada konteks kehidupan manusia yang tidak tereduksi dalam bentuk sainitifikasi, konsep yang penting untuk menyelamatkan subyek pengetahuan yang tidak pernah tertangkap oleh positivisme, konsep yang dinamakan Edmund Husserl sebagai Lebenswelt (dunia kehidupan) (Hardiman 2003:59). Dijelaskan Muhadjir (2000:14) pendekatan seperti ini merupakan penegasan mengenai pembangunan ilmu pengetahuan yang tidak hanya terjebak pada konteks empirisme saja, tetapi mengakomodasi kepentingan rasionalisme ilmu yang valid. 3.3. Paradigma Kritis Paradigma kritis, berlawanan dengan positivism, dalam melihat realitas. Bila dalam paradigma positif, Fakih (2002) yang mensitir pemikiran Jurgen Habermas, bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada ruh atau gagasan, ilmu sosial lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan, tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis, di sisi lain memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis memakai baik pendekatan obyektif maupun subyektif untuk menjelaskan tentang perubahan yang selalu terjadi dalam setiap hubungan sosial. Menurut Sarantakos (1993) makna-makna subyektif adalah relevan dan penting, namun hubungan-hubungan obyektif juga tidak bisa ditolak. Perhatian utama dari paradigma ini adalah membuka mitos dan ilusi, mengekspos struktur yang nyata dan mempresentasikan realitas sebagaimana adanya. Burell & Morgan (1979) memisahkan paradigma ini dalam dua paradigma, yaitu Radical Humanism dan Radical Structuralism. Radical Humanism memandang perubahan dilakukan lewat consciousness/kesadaran, sedangkan Radical Structuralism memandang bahwa perubahan bisa dilakukan lewat perubahan structure atau sistem. Radical Structuralism berdasar dari hasil kritik radikal Karl Marx dan Frederick Engels dari German Idealism dalam bukunya The German Ideology (1846), setelah melakukan reinterpretasi Sistem Filsafat Hegelian. Fokus analisis dari Marx adalah political economy dari capitalism. Menggantikan konsep consciousness, alienation dan critique menjadi structures, contradictions dan crisis. 3.4. Paradigma Postmodernisme Postmodernisme menurut Rosenau (1992) merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Karena peristiwa yang mengerikan selama abad ke dua puluh, postmodernisme menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Menurut Agger (2003), penulis postmodernisme tidak percaya pada puncak perkembangan evolusioner modernitas yang ditandai dengan rasionalitas, sains dan obyektifitas. Secara gamblang, diungkapkan oleh Hadiwinata (1994), bahwa postmodernisme meletakkan dirinya “di luar” paradigma modern dalam arti bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi. Postmodernisme muncul akibat kekecewaan terhadap segala atribut yang melekat pada modernitas. Di satu pihak, postmodernisme melihat modernisme selalu diikuti dengan hal-hal seperti penyebaran (jika bukan hegemoni) peradaban Barat, industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, konsumerisme, dan lain-lain. Namun di pihak lain, postmodernisme juga melihat rasisme, perbedaan kaya-miskin, diskriminasi, pengangguran, dan stagflasi tumbuh bersama-sama dengan 6
modernisme. Karakter utama postmodernisme, menurut Triyuwono (2000), terletak pada usaha dekonstruksi yang dilakukan terhadap semua bentuk logosentrisme yang dibuat oleh modernisme. Logosentrisme, adalah system pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal (Rosenau 1992:xii). Dengan dekonstruksi, dijelaskan oleh Triyuwono (2000), postmodernisme memasukkan “sang lain” (the others) – yang dimarginalkan, disepelekan, ditindas, dieksploitasi dan di”bunuh” – ke dalam kedudukan yang sama dengan apa yang ditunggalkan oleh modernisme. Meskipun demikian, keragaman pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial, menurut Rosenau (1992:15) dapat dibagi menjadi dua orientasi utama, yaitu postmodernisme skeptis dan afirmatif. Postmodernisme skeptis, dicirikan atas pesimistik, negatif, gloomy assessment, melihat abad postmodern telah terfragmentasi, terjadi disintegrasi, malaise, tak memiliki makna, hilangnya parameter moral dan masyarakat chaos serta tidak ada kebenaran. Bahkan lebih tegas lagi dapat dikatakan hilangnya Tuhan, Zat yang Maha Kuasa, kecuali Tuhan yang telah masuk dalam akal rasional, Tuhan yang empiris (penjelasan detil lihat Griffin 2003). Aliran skeptis disebut Rosenau (1992:15) sebagai sisi gelap postmodernisme. Postmodernisme afirmatif dicirikan dengan persetujuannya dengan kalangan skeptis dalam kritik terhadap modernitas, meskipun aliran ini masih lebih mementingkan harapan, pandangan optimis, terbuka pada aksi politik atau konten (isi) dengan rekognisi visioner, merayakan proyek non-dogmatik (termasuk tentatif dan nonideologis) personal yang berada pada ring Agama New Age dan Gaya Gidup Aliran Baru dan termasuk seluruh spektrum gerakan sosial postmodern (16). Sebagaimana dijelaskan di atas, postmodernisme merupakan antitesis dari modernisme yang cenderung menolak disposisi subyek dan obyek. Postmodernisme melihat realitas tidak hanya obyektif, realitas juga memiliki padanannya yaitu realitas subyektif. Berbeda dengan interpretivism yang hanya memandang realitas itu subyektif, berbeda pula dengan aliran kritis awal yang membedakan perubahan sosial bisa dilakukan terpisah melalui subyektifitas (radical humanist) atau melalui obyektifitas (radical structuralist). Postmodernisme melihat realitas itu majemuk, baik itu subyektif maupun obyektif, bahkan melampaui keduanya. Realitas adalah hasil dari pengalaman obyektif, subyektif, intuitif, bahkan spiritual, semuanya terjadi dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan ditera mana yang berpengaruh dan mana yang dipengaruhi. Mudahnya, tidak ada pemisahan antara realitas (object) dan pencipta realitas (subject). Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma postmodernisme afirmatif Pemahaman atas realitas majemuk seperti itu berdampak pada pemahaman atas manusia dalam postmodernisme sebagai makhluk yang bebas, dinamis dan berpikir holistik. Pemahaman tersebut menyebabkan aliran postmodernis melihat realitas sosial dan ilmu pengetahuan tidak memiliki sekat serta terpisah-pisah. Metodologi yang dikembangkan kemudian juga secara epistemologis dikonstruksikan secara bebas, tidak terstruktur, bahkan dapat dikatakan tidak memiliki metode dan prosedur formal. Metodologi yang muncul kemudian dapat dikatakan sebagai the anti-rule atau anything goes (Rosenau 1992:117). Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak bersifat sistematik (unsystematic), memiliki logika majemuk (heterological), tidak terpusat (de-centered), selalu berubah (ever changing) dan bersifat lokal (Rosenau 1992:83). 7
3.5. Paradigma Religius Pertanyaannya kemudian, bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa ”sesak” karena adanya ”ideologisasi” yang melekat pada dirinya, atau dirasa ”terlalu longgar” karena adanya ”deideologisasi” paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius. Contohnya, yaitu Paradigma Islam. Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer memiliki perbedaan definisi yang berbeda. Beberapa definisi paradigma atau worldview yang menonjol seperti dijelaskan Zarkasyi (2005) setidaknya terdapat empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed Naquib Al-Attas. Berikut akan dijelaskan masing-masing. Pertama, definisi dari Maulana Al-Maududi. Beliau mengistilahkan paradigma Islam sebagai Islami Nazariyat (Islamic Vision), yang berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. Kedua, definisi dari Syaikh Atif al-Zain. Paradigma dalam istilah Syaikh Atif al-Zain disebut al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle) yang cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ai mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Ketiga, paradigma menurut Sayyid Qutb. Menurutnya paradigma disebut sebagai al-tasawwur al-Islami (Islamic Vision), yang berarti akumulasi keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu. Keempat, definisi paradigma menurut Seyyed Naquib Al-Attas. Al-Attas mengartikan paradigma sebagai Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview), yaitu pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan tentang hakikat wujud. Point penting yang dapat ditangkap dari definisi keempat tokoh Muslim di atas adalah bahwa paradigma berkenaan dengan pandangan hidup Muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktfitas kehidupan umat Islam. Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang memiliki tiga penekanan, yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah. Paradigma Islam tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural, tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, dimana aspek dunia harus terikat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Mudahnya, paradigma dalam bahasa Al-Faruqi disebut dengan Tawhid. 8
Esensi Islam adalah Tawhid atau pengesaan Tuhan, tindakan menegaskan Allah sebagai yang Esa, Pencipta mutlak dan transenden. (Al-Faruqi 1995:16). Tauhid digambarkan Iqbal (1966:3) seperti burung tak berjejak dan tidak dituntun oleh pikiran (intelek), dan juga bukan hanya perasaan. Tauhid adalah konsep kunci dalam Islam. Tauhid memberikan identitas pada peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikannya kesatuan integral dan organis (Al-Faruqi 1995:16). Nilai-nilai Islam yang berpedoman pada Vestigia Dei (jejak-jejak Ilahi) di atas mengarah pada koeksistensi tujuan utama manusia. Koeksistensi tujuan utama manusia tersebut terletak pada keseimbangan sebagai abd’ Allah dan sekaligus Khalifatullah fil ardh. Abd ‘Allah adalah realisasi tujuan manusia untuk selalu menjalankan ibadah kepada Allah. Manusia memiliki tujuan hidup ”asali dan akhir” untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Pengabdian tersebut terkait langsung, integratif dan organis dengan fungsinya sebagai Khalifatullah fil Ardh. Khalifatullah fil Ardh adalah realisasi tujuan kealaman manusia untuk memelihara dan mengelola alam semesta milik Tuhan. Manusia diberi amanah memberdayakan seisi alam raya sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai kewajiban menciptakan masyarakat Ilahiah dan harmonis. Manusia sebagai khalifah Allah harus dapat memelihara agama, akal dan budayanya (Shihab 2000, 166). Implementasi koeksistensi tujuan utama manusia kemudian harus dilaksanakan dalam bentuk harmoni, keseimbangan dan kebaikan. Inilah yang disebut dengan cinta sejati menurut Islam. Cinta dalam Islam bukan hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove (cinta melampaui). Cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan, didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan. 4. METODE PENELITIAN Seperti dijelaskan di atas, metode penelitian adalah teknis yang berhubungan dengan “conduct of research”, bagaimana penelitian dilakukan secara sistematis berdasarkan prosedur yang ditentukan. Berdasarkan pada peta paradigmatik atas ilmu dan riset di atas, kita dapat menyimpulkan secara sederhana, beberapa cara pandang bagaimana kita melakukan penelitian atau riset. Apabila kita memiliki pertanyaan apa hubungan atau pengaruh fenomena akuntansi yang terjadi, maka kita perlu melakukan penjelasan (to explain) dan memprediksikannya (to predict) melalui pendekatan (metode riset) statistik (kuantitatif). Penelitian model ini disebut dengan pendekatan positivistik. Apabila kita memiliki pertanyaan mengapa (why) sebuah fenomena akuntansi terjadi dan apa yang terjadi di dalamnya serta kita ingin melakukan interpretasi praktik akuntansi secara langsung, maka kita perlu pendekatan (metode riset) verstehen (pemaknaan realitas secara kualitatif). Penelitian model ini disebut dengan pendekatan interpretif. Apabila kita resah dengan kenyataan akuntansi yang tidak sesuai dengan pemikiran kita dan ingin melakukan perubahan akuntansi, kita dapat melakukan pendekatan perubahan pada tataran kesadaran akuntan (kritis humanis) atau dapat juga melakukan pendekatan perubahan pada tataran organisasi, kelembagaan atau model akuntansinya (kritis struktural). Penelitian model ini disebut dengan pendekatan kritis. Apabila kita ingin membuat bentuk-bentuk akuntansi baru baik itu menggunakan akuntansi yang ada dengan penambahan nilai-nilai dari luar akuntansi, atau membuat akuntansi yang benar-benar baru sesuai dengan nilai yang kita pahami sebagai kebenaran untuk kemajuan akuntansi, maka kita perlu 9
pendekatan (metode riset) akuntansi baru. Penelitian model ini disebut pendekatan postmodernis. Apabila kita ingin membangun akuntansi dari basis agama maka kita perlu pendekatan riset religius. Secara umum tahapan yang perlu dilakukan dalam riset akuntansi seperti dirumuskan Howard dan Sharp (1983) dalam Smith (2007, 16-18) sebagai berikut: 1 6 . 2. Pemilihan Topik A n5 a. l 3 iP se 3a n . g D 4. Formulasi Rencana Riset u P a m e1t p n.a u e l 5 nI a td n ue an I nt 6 n if P fo ei r nk m Temuan 7. Presentasi da es k Berikut penjelasan masing-masing tahapani riset di atas secara ringkas: a 1. Identifikasi Masalah Secara Umum. Persempit fokus masalah dari akuntansi tM secara umum menjadi konteks akuntansi yang mengarah pada akuntansi aa keuangan, akuntansi manajemen, auditing, ns pendidikan akuntansi, sistem informasi
akuntansi, etika bisnis dan profesi, akuntansi syariah, akuntansi sektor publik, a R akuntani perpajakan atau lainnya. l ia 2. Pemilihan Topik. Spesifikasi sub konteks akuntansi yang dipilih pada point 1 sh dengan memilih topik yang relevan. e 3. Penentuan Pendekatan Riset. Tentukan tS pendekatan metode penelitian sesuai paradigma. Penentuan metode penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian. e Pendekatan penelitian nantinya akan menentukan bagaimana penelitian c dilangsungkan, apakah dilakukan secaraa statistik, interpretif, kritis, posmo, atau religius. r 4. Formulasi Rencana Riset. Susun rencana a penelitian sesuai tujuan dan target, tentukan cara dan alat, timeline, serta tempat penelitian. U 5. Pengumpulan Informasi. Koleksi data dapat dilakukan dengan baik apabila kita m telah mengetahui apa yang kita ingin tahu dan tujuan dari penelitian u m
10
6. Analisa Data. Metode analisa data dilakukan sesuai dengan metode penelitian yang dipilih, baik dilakukan secara manual maupun dengan alat bantu komputerisasi seperti software pendukung. 7. Presentasi Temuan. Membuat laporan penelitian dan presentasi hasil dalam forum seminar atau ujian di lingkungan kampus. 5. PENDALAMAN PEMAHAMAN MATERI 5.1. Jelaskan perbedaan antara pertanyaan biasa dan pertanyaan yang mengandung substansi ilmu. 5.2. Jelaskan makna pengetahuan, tradisi, ilmu dan filsafat. Apa yang membedakan masing-masing. 5.3. Manusia memiliki beberapa sarana untuk mendapatkan ilmu. Sebutkan dan jelaskan masing-masing. 5.4. Terdapat perbedaan mendasar antara metode dan metodolologi penelitian. Jelaskan. 5.5. Jelaskan pengertian paradigma. Terdapat beberapa paradigma dalam penelitian. Sebutkan dan jelaskan. 5.6. Berdasarkan sarana untuk mendapatkan ilmu yang saudara miliki, cobalah lakukan integrasi ketiganya. Setelah itu lakukan beberapa tahapan berikut: - Carilah masalah penelitian yang saudara sukai dalam konteks akuntansi. - Spesifikasikan masalah penelitian akuntansi yang telah saudara pilih di atas sesuai dengan topik yang relevan. - Pilihlah pendekatan penelitian yang sesuai dengan keinginan saudara.
11