PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN: PENDEKATAN FISIOLOGIS, PSIKOLOGIS, DAN RELIGIUS Sigit Wibawanto STIE Putra Bangsa Kebumen email:
[email protected] Abstrak Pengambilan keputusan pembelian, umumnya dilakukan konsumen setelah melakukan evaluasi terhadap banyaknya pilihan produk atau jasa yang ditawarkan pada dirinya. Evaluasi ini merupakan sebuah proses dari beberapa tahapan, tingkatan, serta faktor yang mempengaruhinya secara konsisten memenuhi kebutuhan konsumen (Engel. 1995). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keputusan pembelian konsumen dapat terjadi jika faktor eksternal dan internal konsumen ada pada dirinya. Faktor internal misalnya motivasi secara fisiologis untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, pembelajaran, kepribadian, sikap dan pengalaman pribadi melalui pemikiran dan rasa telah dilalui konsumen menjadi pertimbangan psikologis bagi konsumen.Faktor eksternal meliputi informasi pemasaran dan lingkungan sosial budaya misalanya adalah pandangan religiusnya. Penelitian masing-masing dampak faktor internal dan eksternal telah banyak dilakukan dan memberikan kontribusi bagi upaya strategik untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Paper ini hanya membahas pada analogi proses pengambilan keputusan konsumen setelah mendapatkan pengaruh secara internal dan eksternal. Keywords: pengambilan keputusan pembelian, pendekatan fisiologis, pendekatan psikologis, pendekatan religius PENDAHULUAN Sebelum melakukan pembelian suatu produk maupun jasa, umumnya konsumen dalam pengambilan keputusannya, melakukan beberapa prosesevaluasi untuk pemilihan produk atau jasa tersebut. Pengambilan keputusan konsumen merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan ini meliputi pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif sebelum pembelian, pembelian, konsumsi, dan evaluasi alternatif setelah melakukan pembelian (Engel,1995). Proses pengambilan keputusan pembelian mengacu pada tindakan secara konsisten dan bijaksana yang dilakukan konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Pengambilan keputusan membeli merupakan keputusan konsumen tentang apa yang hendak dibelinya, berapa banyak yang akan dibeli, di mana akan melakukan pembelian, kapan akan dilakukan,serta bagaimana pembelian akan dilakukan (Loudon & Bitta, 1993). Menurut Berkowitz (2002) proses keputusan pembelian merupakan tahap-tahap yang dilalui pembeli dalam menentukan pilihan tentang produk dan jasa yang hendak dibeli. SchiffmanKanuk (2007) mengatakan bahwa keputusan sebagai seleksi terhadap dua pilihan
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
118
alternatif atau lebih, dengan kata lain ketersediaan pilihan yang lebih dari satu merupakan suatu keharusan dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan beberapa pendapat atau uraian diatas, maka proses pengambilan keputusan konsumen merupakan tahapan proses pembeli untuk melakukan pembelian. Tahapan ini bisa didasarkan atas pengaruh internal maupun eksternal. Pengaruh internal ini bisa dipengaruhi karena atas dorongan pribadi dan konflik batin konsumen, sedangkan pengaruh eksternal konsumen bisa dipengaruhi karena proses sosial yang dilakukan konsumen dalam kehidupan rutinnya. Riset mengenai pengambilan keputusan konsumen dalam melakukan pembelian sudah banyak yang dibahas, hal ini karena proses pengambilan keputusan konsumen lingkupnya luas, namun mudah ditebak arah pemikirannya. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian secara individu maupun sosial pembeliannya dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Namun demikian hal yang melakukan penelitian antara kedua pengaruh individu dan sosial secara bersamaan masih relatif sedikit yang mengkajinya. Misalnya pertentangan konflik batin antara pengaruh individu dan sosial, salah satunya berkaitan dengan prinsip agama yang dianut dengan kepemilikan untuk mendapatkan status sosial masih relatif terbatas.Tujuanpenyusunan paper ini adalah untuk mempelajari serta memberi ulasan terhadap riset yang ditulis oleh para peneliti sebelumnya, khususnya dalam topik pengambilan keputusan pembelian konsumen. PEMBAHASAN Pegambilan keputusan pembelian konsumen, melalui tahapan yangmempengaruhinya, diawali dari adanya dorongan secara internal dari diri konsumen itu sendiri. Konsumen yang merupakan individu, mau tidak mau sebagai manusia akan berupaya keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan akan melakukan dengan cara apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti halnya manusia, makhluk hidup lainnya seperti hewan, akan memiliki naluri alamiah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dengan cara apapun. Sikap manusia dan hewan sepeerti ini adalah suatu hal yang alamiah dan memunculkan suatu resiko yang dipengaruhi oleh metabolisnya dalam dirinya secara fisiologis (lapar dan upaya untuk membuat simpanan/ cadangan energi dasar). Manusia seperti halya hewan sering mengungkapkan preferensi risikonya untuk mengambil sumber makanan ketika sudah berada di bawah titik referensi metabolismenya (lapar), dan aman saat semuanya terpuaskan. Hormon akan mengedarkan cadangan energi dan asupan gizinya dalam sistem saraf pusat yang mengatur perilaku makan, termasuk untuk mempengaruhi otak dalam risiko pengambilan keputusan pada manusia. Meskipun demikian, pengaruh fisiologis belum dipertimbangkan untuk mempengaruhi keputusan ekonomi manusia. Hipotesis 1a: Metabolisme dasar manusia dan perubahannya (fisiologis) berpengaruh dan memodulasi pengambilan keputusan manusia, berdasarkan faktor keuangan.
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
119
Hipotesis 1b: Pergeseran risiko pengambilan keputusan yang disebabkan karena kejenuhan, akan menyebabkan pergeseran pengambilan keputusan ke arah sikap yang netralterhadap risiko yang diambil. Hipotesis diatas, penulis mendasari pada tulisan “Metabolic State Alters Economic Decision Making under Risk in Humans” dari Mkael Symmonds, dkk (2010), yang melakukan pengujian dengan memanipulasi pengendaliankebutuhansebelum makan dan diuji dengan preferensi dalam pengambilan keputusan saat metabolisme berbeda, yaitu saat setelah makan. Penelitian diatas diwali adanya teori prospek yang merupakan salah satu teori deskriptif yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, yang menekankan risiko sikap manusia yang tergantung pada referensinya (Kahneman, 1979). Ketika memilih antara pilihan yang menghasilkan keuntungan, manusia rata-rata akan menghindari risiko (yaitu menghindari pilihan dengan ketidakpastian yang tinggi), sedangkan ketika memilih pilihan yang menghasilkan kerugian, manusia akan membuat pilihan yang berisiko. Temuan ini sejajar dengan pengamatan pada hewan, di mana sensitivitas terhadap risiko dipengaruhi titik acuan metabolisnya. Misalnya, hewan menjadi berani mengambil risiko untuk mencari energi saat tidak ada makanan, atau peningkatan kebutuhan energi melalui perubahan suhu lingkungan (Caraco T, 1981), (Caraco T, Blanckenhorn WU, Gregory GM, Newman JA, Recer GM, et al., 1990).Sirkulasi hormon menjelaskan status cadangan energi tubuh (misalnya jaringan adiposa), kebutuhan energi, dan asupan gizi dalam sistem saraf pusat yang mengatur tentang perilaku makan, termasuk otak dalam pengambilan keputusan manusia (Krugel, Schraft , Kittner, Kiess, Illes P, 2003; Hommel, Trinko, Sears, Georgescu, Liu, et al., 2006; Grill, Kaplan, 2002). Oleh karena itu, ada potensi perubahan metabolisme, dan perubahan yang disebabkan kadar hormon untuk mempengaruhi keputusan ekonomi. Di sini, peneliti mengkarakterisasi apakah perubahan metabolisme mempengaruhi sikap manusia dalam keputusan keuangannya. Apakah mengamati perubahan ekonomi setelah makan (yaitu transfer efek metabolisme ke domain kognitif)? Hormon oksitosin dan testosteron telah terbukti memiliki pengaruh pada perilaku ekonomi (Kosfeld, Heinrichs, Zak, Fischbacher, Fehr E, 2005; Apicella, Dreber, Campbell, Gray, Hoffman, et al., 2008). Pengaruh fisiologis tidak tergantung peran teori ekonomi tradisional, dan berbeda dengan teori ekologi dengan penekanan pada perilaku mencari makan (Houston, McNamara, 1999). Mkael Symmonds, dkk (2010)menguji model konseptual Stephens (1981) yaitu bahwa ketika hewan memilih dua pilihan saat mencari makan maka berlaku model distribusi normal yang bertujuan untuk memaksimalkan kebugaran (probabilitas survival) dan lebih memilih yang lebih aman ketika di atas titik acuan metabolisme. Model alternatif memprediksi bahwa risiko preferensi dinamis menyesuaikan tergantung keadaan metabolisme, cadangan energi, dan tingkat asupan (Houston, McNamara, 1982), (McNamara, Houston, 1992). Model ini memprediksi bahwa dasar risiko sikap tergantung pada cadangan energi dasar, dengan peningkatan risiko aversion dasar sebagai cadangan energi yang melebihi ambang batas. Model ini menguji perubahan marjinal energi yang diperkirakan tidak memiliki dampak signifikan terhadap kebugaran ekologi, dan organisme
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
120
sensitif terhadap risiko (risk-neutral). Hubungan antara asupan energi, cadangan energi, dan sikap terhadap risiko melihat dari teori prospek yang menjelaskan hubungan risiko-sikap untuk uang, titik referensi ekonomi, dan dampak perubahan kekayaan. Keputusan moneter manusia di bawah risiko secara sistematis dipengaruhi oleh anggaran pendapatan, dan risiko-preferensi dalam perubahan sesuai dengan jumlah keuntungan relatif atau kerugian pada makanan, bahkan pada asupan gizi. Mkael Symmonds, dkk (2010)menguji risiko pengambilan keputusan pada pria sehat selama tiga sesi, satu minggu terpisah, menggunakan desain subyek secara acak. Penelitiannyamemanipulasi dalam pengendalian makan, dan menguji pengambilan keputusan preferensi individu di metabolisme yang berbeda; pasca 14 jam, setelah satu jam pasca konsumsi dari 2.066 kkal makan. Disamping itu jugadinilai efek makan pada langkah-langkah subjektif nafsu makan serta tingkat sirkulasi asil-ghrelin, dengan persentase lemak tubuh dan tingkat sirkulasi leptin menyediakan cadangan energi. Diperkirakan bahwa individu dalam membuat keputusan moneter akan menghindari risiko setelah makan jika makanan memiliki dampak besar pada metabolismenya. Hasilnya ada perubahan signifikan dalam skor analog visual untuk kelaparan selama delapan titik waktu yang diukur, sebelum dan setelah makan. Pilihan metabolisme mempengaruhi penurunan yang signifikan dan keengganan memilih risiko pengambilan keputusan setelah makan.Pengaruh metabolisme keputusan ekonomi manusia diprediksi oleh model fisiolofis manusia sebagai referensi metabolisme, tetapi tidak dengan teori ekonomi normatif. Selanjutnya penulis akan menyajikan dampak emosi pada pengambilan keputusan, yang disebut sebagai perasaan yang menggambarkan psikologi emosi untuk keperluan mempelajari emosi yang berdampak pada pengambilan keputusan. Kebanyakan teori pengambilan keputusan rasional mendeskripsikannya tidak masuk akal, terutama jika sebagai suatu model proses. Simon (1955, 1956) menyampaikan bahwa rasional ada dalam batas-batas kemampuan kognitif, yang bisa ditunjukkan dengan penggunaan aturan praktis atau heuristik yang dapat melebihi proses saat waktunya terbatas (Payne, Bettman, & Johnson, 1993). Emosi telah berevolusi dalam fungsi adaptif bagi kelangsungan hidup genotip dan fenotip (Hasselton & Ketelaar, 2006; Ketelaar, 2004), untuk mengatasi keterbatasan kognitif dan kendala dalam keputusan. Emosi memprioritaskan tujuan dan memobilisasi energi dan memberikan arah perilaku (Bagozzi, Baumgartner, Pieters & Zeelenberg, 2000; Frijda, 1986, 2006; Pfister & Bohm, Pieters & Van Raaij, 1988). Rasionalitas dapat dibantu dengan eksistensi emosi, karena mengatur ukuran pembatasan pertimbangan dan fokus pada pengambilan keputusan, relevan dengan pilihan (Henokh, 2001). Emosi memberikan nilai objek, membantu mengamati dan memberikan motivasi untuk melakukan (Gifford, 2002). Jika seseorang terlibat dalam pembelajaran yang berbeda maka tindakan dan atribut perdagangan sering menjadi sumber emosi negatif (Beattie & Barlas, 2001; Luce et al, 2001). Manusia belajar dari keputusan yang diambilnya dan selalumengharapkan memperoleh yang terbaik, dan akan menghindari informasi yang terburuk (Shani & Zeelenberg, 2007; Shani, Tykocinski & Zeelenberg,
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
121
2008). Ketika hasil itu terwujud, maka akan menjadi sumber emosi, seperti kegembiraan, kebahagiaan, kejutan, atau sebaliknya seperti penyesalan dan kekecewaan (Mellers, 2000;. Zeelenberg et al, 1998). Teori keputusan mengakui pentingnya emosi dan dibahas secara rinci (Bentham, 1789; Jevons, 1871; Smith, 1759). Namun, emosi tidak menjadi penelitian keputusan karena intrinsiknya tidak stabil dan tak terduga, tidak dapat diukur secara obyektif. Saat ini, kebanyakan masalah ketidakpastian dan emosi telah dipecahkan. Emosi dapat diukur dalam verbal (misalnya, melalui skala penilaian) dan non-verbal (misalnya, melalui FACS atau EMG; Larsen & Fredrickson, 1999; Parrott, & Hertel, 1999). Dampak emosi pada perilaku simple dan sistematis. Emosi berperilaku secara sah (Frijda, 1988, 2006), dan konteksnya jelas, stabil dan cukup diprediksi. Hipotesis 2a : Emosi sebagai baigian dari aspek psikologis yang secara berubahubah dalam diri manusia akan tetap berpengaruh dalam pengambilan keputusan konsumen. Premis tersebut didasarkan pada konseptual emosi sebagai proses motivasi (Zeelenberg et al., 2007; Zeelenberg & Pieters, 2006) dan penelitian Marcel Zeelenberg, dkk (2008). Pengambilankeputusan dengan emosi dapat menjadi dasar untuk mengontrol setiap tindakan program (Frijda, 1986), pengalaman dari emosi akan membawa pada kemajuan terhadap tujuan yang menolak tujuantujuan lain. Emosi akan berbeda secara tujuan (misalnya, Nelissen, Dijker, & De Vries, 2007b). Sifat emosi dan keunikannya mempengaruhimengacu pada pengalaman konsep dari suasana hati, sikap, evaluasi dan preferensi. Hal ini mengacu pada pengalaman positif atau negatif, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Pengalaman konsep positif atau negatif dianggap affective. Dimensi valensi merupakan dasar pengalaman psikologis (Osgood et al, 1975; Russell, 1980). Jadi, emosi adalah fenomena afektif. Aspek valensi berhubungan dengan utilitas. Positif menciptakan utilitas (kepuasan, kesejahteraan, nilai) dan negatif menciptakan disutilitas (Inman, Dyer, & Jia, 1997; Mellers, Schwartz, & Ritov, 1999). Freud (1920/1952, p. 365) berpendapat bahwa seluruh aktivitas psikis merujuk pada kesenangan dan menghindari rasa sakit. Tanggapan afektif mempengaruhi rujukan (Wright, 1975), tidak menganggap rinci informasi, tetapi mengambil sebelumnya di evaluasi dan memilih atas dasar itu. Saat ini mempengaruhi heuristik (Slovic, Finucane, Peters, & MacGregor, 2002). Solomon dan Stone (2002) menyimpulkan emosi dalam valensi, dan mengakui pentingnya emosi. Dalam sejarah psikologi, emosi dijelaskan dalam berbagai variabel, seperti umpan balik tubuh (Breugelmans et al, 2005;. James, 1894), interpretasi gairah kognitif (Schachter & Singer, 1962; Valins, 1966), ekspresi wajah (Ekman, 1992), dan simbol budaya (Averill, 1974). Definisi dipertentangkan antara psikolog, filsuf dan peneliti lainnya (Kleinginna & Kleinginna, 1981), karena beragam pengalaman emosi dan tidak didefinisikan karakteristiknya untuk semua emosi. Perkembangan teori emosi ditandai dengan perubahan psikologis, seperti penilaian kognitif, pengalaman hedonis, sensasi tubuh, tujuan motivasi, dan tindakan kecenderungan (Frijda, 1986; Scherer, 1984; Lazarus 1991). Teori ini menekankan untuk memahami emosi, tidak harus melihat
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
122
perubahan komponen emosi melainkan pola perubahan komponen. Studi pendekatan componential dibedakan pada fenomena emosi tingkat tinggi (Breugelmans & Poortinga, 2006; Frijda, Kuipers, & Ter Schure, 1989; Roseman, Wiest, & Swartz, 1994; Van Dijk & Zeelenberg, 2002). Teori Appraisal (lihat Scherer et al., 2001), pendekatan dominan penelitian emosi, menyatakan bahwa emosi diasosiasikan dengan pola penilaian kognitif situasi emosi. Penelitian emosi tentang konten experiential (Davitz, 1969; Wallbott & Scherer, 1988; Scherer & Wallbott, 1994) menyelidiki karakteristik perbedaaan emosi. Roseman dkk. (1994) mengusulkan emosi dibedakan dalam lima kategori: perasaan, pikiran, tindakan kecenderungan, tindakan, dan tujuan emotivational. Perasaan yang dirasakan sensasi fisik atau mental. Pikiran adalah ide, rencana, konsepsi, atau opini yang dihasilkan. Kecenderungan tindakan adalah impuls atau inclinations untuk merespon tindakan. Tindakan perilaku yang mungkin atau tidak mungkin. Dengan demikian dijelaskan bahwa emosi mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan, memprediksi perilaku, fokus pada valensi emosi saja tidak cukup. Selanjutnya akan dibahas dalam paper ini adalah bagaimana pengambilan keputusan konsumen dipengaruhi secara otomatis pada kebangkitan suatu tugas yang mempengaruhi induksi dan kognisi yang menghasilkan penjelasan alternatif kontrol dalam pilihan tugas. Jika pada proses yang memiliki sumber daya terbatas, secara spontan akan menimbulkan reaksi afektif daripada kognisi dan cenderung memiliki dampak yang lebih besar pada pilihan. Akibatnya, konsumen cenderung akan memilih alternatif yang lebih unggul pada dimensi afektif tapi rendah pada dimensi kognitif. Sebaliknya, ketika ketersediaan sumber daya tinggi, kognisi konsumen dengan konsekuensi untuk memilih alternatif, cenderung akan berdampak besar pada pilihan dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya yang rendah. Oleh karena itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 2b : Sikap dari afektif dan kognitif konsumen akan menjadi suatu kontrol secaara psikologis dan berdampak pada pengaruh terhadap pengambilan keputusan konsumen. Penelitian afektif dan kognitif konsumen telah banyak dilakukan peneliti seperti Bettman (1993), Hoch dan Loewenstein (1991), dan Holbrool dan Hirschman (1982). Paper ini hanya menunjukkan perhatian pada ketidakseimbangan keragaman domain seperti iklan (Batra dan Stayman 1990; Edell dan Burke 1987; MacKenzie, Lutz, dan Belch 1986) dan kepuasan konsumen (Dube, Belanger, dan Trudeau 1996; Dube dan Morgan 1996; Mand dan Oliver 1993; Oliver 1993; Westbrook dan Oliver 1991). Namun masih banyak literatur yang belum membahasalasan ketidakseimbangan ini, karya terbaru berasal dariHoch dan Loewenstein (1991) dan Loewenstein (1996) dan secara empiris tentang bagaimana mempengaruhi pilihan konsumen dibahas oleh beberapa peneliti yaitu Garbarino dan Edell (1997), Luce (1998), Luce, Bettman, dan Payne (1997). Oleh karena itu, hipotesis berikutnya adalah:
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
123
Hipotesis 2c : Ketidakseimbangan sikap afektif dan kognitif konsumen akan berdampak pada pengambilan keputusan konsumen. Ketika suatu pemikiran dan perasaan konsumen memiliki keseimbangan atau sebaliknya, maka upaya sebagai kontrol untuk memperkuata berikutnya dalam pengambilan keputusan adalah kontrol eksternal, salah satunya adalah keyakinan dan ketaatan beribadah. Hal ini yang dinamakan tingkatan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Agama, menjadi aspek budaya bagi konsumen di negara barat, yang memiliki pengaruh terhadap nilai-nilai masyarakat, kebiasaan dan sikap dalam mempengaruhi gaya hidup yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku keputusan konsumen (Delener, 1990; Hirschman, 1982; Sheth, 1974). Peterson dan Roy (1985) meyatakan bahwa fungsi agama memberikan sumber makna dan tujuan bagi manusia. Meskipun agama menjadi kekuatan dalam kehidupan individu, peran bagi konsumen masih belum jelas. Pertama, agama berfungsi menentukan cara untuk melakukan dan menyediakan alat dan teknik perilaku sosial (Bossard and Boll, 1950; Dudley and Kosinski, 1990; Engel and Blackwell, 1982; Schwab and Petersen, 1980). Kedua, agama menumbuhkan pilihan perilaku tertentu (Hawkins and Best, 1980; Schiffman and Kanuk, 1991). Orientasi religius memberikan pengaruh kuat bagi tujuan keluarga dan nilai-nilai yang berorientasi kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Larson and Goltz, 1989; Scanzoni, and Arnett, 1987). Komitmen, diasumsikan mempengaruhi waktu dan usaha keluarga. Agama secara tidak langsung mempengaruhi kualitas hubungan, locus of control dan peran gender yang pada gilirannya mempengaruhi komitmen secara langsung (Larson and Goltz, 1989). Literatur tentang keluarga dan agama masuk dalam salah satu dari empat kategori: (1) Studi efek keyakinan agama dan keterlibatan terhadap perilaku keluarga (Glenn and Shelton, 1983; Watson and Hood, 1990), (2) Studi efek keyakinan agama dan keterlibatan terhadap sikap peran gender, seksualitas, kehidupan keluarga (Brinkerhoff and Mackie, 1984; Hartman, M. and Hartman, H., 1983, Wilcox, 1990), (3) Studi transmisi kesetiaan agama melalui keluarga (Hoge, Petrillo, and Smith, 1982; Richards, 1991), (4) Studi perkawinan agama (Dudley and Kosinski, 1990; Johnson, 1980). Semua studi ini meneliti hubungan variabel agama dan sikap/ perilaku sosiologis dan psikologis. Namun masih sedikit pembahasan yang menjelaskan hubungan religius dan keputusan pembelian konsumen dalam studi multidimensional. Oleh karena itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 3a : Keyakinan terhadap agama yang dianut konsumen akan menjadi suatu kontrol yang efektif dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Peneliti yang telah melakukan penelitian dan mengeksplorasi peran status perkawinan konsumen dalam perbedaan agama telah dilakukan oleh Nejdet Delener (1994). Perbedaan tersebut untuk penganut agama Katolik, Yahudi, rumah tangga pro agama dan non agama. Keluarga Katolik diberi label struktur patriarkal, yang digambarkan kaku dan otoriter (Alvirez, and Bean, 1976;
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
124
McMurry, 1978; Ramirez, 1983). Borowski (1986) menjelaskan ciri jalan hidup Katolik sebagai sub-budaya, hal ini berasal dari dan dikelola dari tingkat kepatuhan dalam ikatan keluarga. Keluarga Yahudi lebih demokratis dan berpusat pada keluarga, jadi keputusan rumah tangga Yahudi dibuat bersama (Gordon, 1959; Loudon and Bitta, 1979; Stodtbeck, 1958). Bahr (1982) mempelajari perbedaan denominasi peran perkawinan antara Katolik, Protestan dan Mormon. Di Studi Bahr ini, ada tiga bidang perilaku peran: (1) kinerja peran (divisi tugas peran responden dalam keluarga sendiri); (2) kekuasaan keluarga (pembagian pengambilan keputusan); (3) konflik keluarga (tingkat perselisihan peran suamiistri). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedua pasangan sama-sama bertanggung jawab untuk mengajar dan mendisiplinkan anak-anak. Dominasi laki-laki dalam perselisihan keluarga jelas di semua kelompok agama. Sekitar setengah responden Katolik menyatakan bahwa suami memberikan pengaruh lebih dari istri dalam menyelesaikan konflik keluarga; temuan tidak menunjukkan bukti sama dalam keluarga Katolik untuk penelitian di Meksiko, Puerto Rico, Inggris dan Amerika Serikat. Rainwater (1964) menemukan bahwa laki-laki Katolik di semua bidang pekerjaan ketidakamanan dan perasaan rendah diri mereka dimbangi dengan melebih-lebihkan maskulinitas dan mensubordinasi perempuan. Brinkerhoff dan Mackie (1984) mempelajari kekuasaan familial dan pembagian kerja rumah tangga Katolik, Mormon dan Protestan. Temuan menunjukkan bahwa dalam kekuasaan keluarga, Mormon adalah yang paling egaliter, Katolik Roma jauh lebih egaliter dan hasilnya mirip dengan dengan penelitian Meir (1972) dan Campbell (1966). Yang paling tradisional adalah kelompok Protestan. Satu-satunya penelitian yang menjelaskan dalam literatur pemasaran adalah Delener dan Schiffman (1988) yang meneliti struktur peran rumah tangga Katolik dan Yahudi. Temuan menunjukkan bahwa rumah tangga Katoliksuami memiliki pengaruh utama dalam membuat keputusan pembelian tertentu. Sebaliknya, di Yahudi rumah tangga suami dan istri dibagi sama dalam membuat keputusan. Meskipun hubungan agama/ religius dan pengambilan keputusan masih sedikit diteliti, namun peneliti pemasaran semakin memperhatikan untuk membangun konstruk religiusitas dalam penelitiannya. Misalnya, Engel (1976) yang mempelajari profil psikografis di Brazil. Peneliti lain meneliti pengaruh latar belakang agama dengan konsumsi (Delener, 1990; Hirschman, 1982), penghindaran risiko pembelian (Delener, 1990) dan perilaku toko ritel (Clark, 1993; Wilkes, Burnett, and Howell, 1986). Penelitian yang ada masih menunjukkan keterbatasan religiusitas sebagai variabel segmentasi, dan diakui sebagai kekuatan budaya yang paling penting dan sebagai pengaruh utama dalam perilaku pembelian. Melihat penelitian yang telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti diatas, maka religiusitas ternyata memiliki nilai penting bagi struktur kognitif individu konsumen, yang dapat mempengaruhi perilaku dalam pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Jones, 1958; Kaiser, 1991; Pargament, Kennell, Hathaway, Grevengoed, Newman, and Jones, 1988). Pargament (1986) mencatat bahwa agama dapat melayani fungsi penting dalam membantu manusia memahami dan mengatasi peristiwa kehidupan dengan
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
125
menawarkan bimbingan, dukungan dan harapan. Spilka et al. (1985) melihat agama sebagai kerangka acuan individu untuk membantu memahami, memprediksi dan kontrol, dan menjaga harga diri. Oleh karena itu penulis dapat merumuskan hipotesisnya adalah: Hipotesis 3b : Perbedaan keyakinan terhadap agama yang dianut konsumen akan menjadi menyebabkan perbedaan signifikan dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Hal ini didasarkan pada berbagai penelitian sebelumnya yang menyatakan, ada korelasi yang positif diantara perbedaan agama (Lupfer, Hopkinson, and Kelley, 1988; Putney and Middletown, 1961; Stanley, 1974) dalam mempengaruhi sikap pengambilan keputusan pembelian konsumen. Terutama dalam hal tingkat kepatuhan dalam menjalankan terhadap keyakinan beragama. Namun demikian perilaku peran yang diferensial dan bervariasi disesuaikan dengan pengaruh agama, dan memberikan dukungan untuk teori keputusan pembelian keluarga. Engel et al. (1990) mencatat ringkasan literatur perilaku peran diferensial yang bervariasi sesuai dengan pengaruh sosial budaya, jenis produk dan tahap keputusan. Tahap dalam proses keputusan telah terbukti menjadi elemen penting dalam struktur peran dan menunjukkan struktur peran bervariasi selama proses pengambilan keputusan pembelian yang berafiliasi terhadap agama dan orientasi keagamaan konsumen. PENUTUP Paper ini membahas untuk mengembangkan konseptual yang lebih eksplisit mengenai analogi proses pengambilan keputusan konsumen pada pendekatan fisiologis, psikologis, dan religus. Model konseptual yang dikembangkan di sini dimaksudkan untuk mempelajari serta memberi ulasan terhadap riset yang ditulis oleh para peneliti sebelumnya, khususnya dalam topik pengambilan keputusan pembelian konsumen.Paper ini diharapkan mampu berkontribusi terhadap literatur untuk pengembangan riset yang dilakukan terhadap proses pengambilan keputusan pembelian. Hasil dari beberapa analisis terhadap jurnal diatas memberikan gambaran terdapat pemahaman manusia dalam memenuhi kebutuhan yang didasarkan atas dorongan motivasi internal, dan dorongan yang sama pada bidang ilmu biologi, psikologi, antropologi, fisika, kimia, dan keyakinan agama yang memberikan dampak terhadap pengambilan keputusan konsumen.Pembuatan keputusan konsumen dapat dilakukan dengan pendekatan hubungan rasional maupun perasaan dalam pengendalian keputusan kosumen terutama berkaitan dengan keuangan dan jaminan yang memberikan rasa nyaman yang masih bisa dieksplorasi untuk faktor-faktor yang belum teridentifikasi.Oleh karena itu untuk membuat lebih lengkap penelitian pembuatan konsumen maka perlu dilakukan kajian yang lebih tidak hanya pada aspek kajian dominasi efek, melainkan lebih pada substantifnya.
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
126
References Bagozzi, R. P., Baumgartner, H., & Pieters, R. (1998).Goal-directed emotions. Cognition and Emotion 12,1–26. Bagozzi, R. P., Baumgartner, H., Pieters, R., & Zeelenberg,M. (2000). The role of emotions in goal-directedbehavior. In S. Ratneshwar, D. G. Mick & C. Huffman(Eds.), The why of consumption: Contemporary perspectives on consumer motives, goals, and desires (pp.36–58). New York: Routledge. Brady, D., &Gougoumanova, Z., (2006). An analysis of the “core” decision process of the Hunt and Vitellmodel of ethical decision making in marketing. Journal of Academic and Business Ethics Delener, N., (1994), Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications, EuropeanJournal of Marketing, Vol. 28 No. 5, 1994, pp. 36-53. Mihart, C., (2012)., Impact of Integrated Marketing Communication on ConsumerBehaviour: Effects on Consumer Decision-Making Process, International Journal of Marketing Studies, Vol. 4, No. 2. Shiv,B.,&EdorikhinA., (1999), Heart and Mind in Conflict: The Interplay of Affect and Cognition in Consumer Decision Making, Journal of Consumer Research, Vol. 26 No. 3 December 1999. Symmonds, M., Emmanuel, J.J. Drew, M.E., Batterham, R.L., Dolan, R.J., (2010), Metabolic State Alters Economic Decision Making under Risk in Humans, PloS ONE 5(6): e11090. doi:10.1371/journal.pone.0011090, Volume 5 (June 2010). Zeelenberg M., Nelissen, R.M.A., Breugelmans, S.M.,& Pieters, R. (2008). On emotion specificity in decision making: Why feeling is for doing. Judgment and Decision Making, Vol. 3, No. 1, pp. 18–27.
Jurnal Fokus Bisnis Vol.12 No.1, Juli 2013
127