PENGAMBILALIHAN KEKUASAAN KERETA API DI LINGKUNGAN JAWA TENGAH TAHUN 1945 Sri Agus1 Abstract Indonesia was in a vacum of power, as Japanese surrendered to the Allies on 15th August 1945. It was a good momentum for Indonesian to have a quick, decisive, and intelligent action to gain a freedom from its colonialism. This independence forced Indonesian to hold a transfer of power from Japanese to Indonesian. That was not an easy thing to do, since Japanese should maintain a status-quo, so it had to give Indonesia to Allies, and the worst thing was that Japanese was still armed completely. The proclamation text of Indonesia mandated the transfer of power including transfer of power in the railway environment in Central Java without incident. However, there were many wars, such as at offices and at many other buildings. These wars were uncontrolled and the five-day battle in Semarang was its evidence.The role of the railway employees, the railway peoples-safety soldiers, and the railway police was enormous not only in forefront line but also in behind as they ran trains as a potential means of transportation at that time. Cooperation among of railroad employees, soldiers as well as other struggleagencies ran quite well in realizing the ideals of independence. Keywords: transfer of power, trains
A. Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tidak bersyarat kepada Sekutu. Peristiwa ini ditandai pengumuman Presiden Truman dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Attlee, juga dipertegas dengan pengumuman Kaisar Jepang (Hirohito) melalui media radio di Tokyo agar menghentikan segala bentuk perlawanan dan memerintahkan menyerah. Seperti telah diketahui bahwa kegiatan militer Jepang dilaksanakan dalam rangka untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Dengan adanya pengumuman itu, maka berhentilah semua kegiatan peperangan, selanjutnya Jepang berada di bawah kekuasaan Sekutu. Saat itu juga Indonesia dalam keadaan vakum kekuasaan, kekuasaaan lama sudah lenyap sedangkan yang baru belum menguasainya. Keadaan ini diperjelas dengan Surat Perintah Markas Besar Tentara Pendudukan Sekutu kepada perwira-
1
Star Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
38
perwiranya yang tertulis dalam Memorandum on Dealings with Local Inhabitants of Java pada Ayat 1 yang berbunyi: There is no government in Java recognised by the United Nation. The Japanese are supposed to be maintaining law and order controlling the public services until the Allies take over from them.2 Kesempatan yang mengandung ketepatan dan keberanian ini banyak dilakukan oleh
“golongan
pemuda”
dan
“golongan
tua”
yang
memiliki
tujuan
untuk
memproklamirkan kemerdekaan. Akan tetapi, kedua golongan ini memiliki perbedaan cara untuk melaksanakan kemerdekaan itu. Pihak pemuda sesuai dengan jiwanya yang berkobar ingin cepat bertindak cepat dengan cara mendesak Soekarno/ Hatta memproklamasikan dan siap sedia menanggung segala risiko. Di lain pihak, golongan Soekarno/ Hatta (“golongan
tua”)
termasuk
anggota
Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia,
tidak
menginginkan pertumpahan darah yang lebih besar lagi dengan adanya Proklamasi nanti, walaupun pada dasarnya Jepang sudah menyerah, tetapi kenyataannya Jepang masih lengkap dengan senjatanya. Di samping itu, pimpinan tentara ke-16 Jepang di Jawa tidak pernah mau mengakui adanya Republik Indonesia, karena adanya perintah dari pihak serikat agar tetap memelihara status-quo sejak tanggal 15 Agustus 1945 sewaktu Jepang menyerah.3 Seperti dikatakan Moh. Hatta sebagai berikut: “... Mayor Jenderal Nisijiura menjawab bahwa sekarang sudah lain keadaannya. Kalaupun tadi pagi masih dapat dilangsungkan, mulai pukul 01.00 tadi siang sejak Admiral Padtersen di Jawa menerima perintah, bahwa kami tidak boleh lagi mengubah status-quo... apalagi rapat itu berlangsung tadi pagi akan kami bantu... sekarang rapat Panitia Kemerdekaan Indonesia itu terpaksa kami larang…” 4 Dengan adanya berita itu timbul ketegangan-ketegangan di Jakarta, golongan pemuda mengadakan pertemuan di ruang belakang Bacteriologisch Laboratorium yang dimulai pukul 20.00 tanggal 15 Agustus 1945 dibawah pimpinan Chairul Saleh dengan mengambil keputusan sebagai berikut: “Bahwa Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan-gantungkan pada orang atau kerajaan lain. Untuk menyatakan bahwasanya Indonesia sanggup merdeka dan merupakan saat 2
Roesdi Santoso, Kereta Api dari Masa ke Masa. (Semarang: Biro Humas Exploitasi Tengah, 1982), hlm. 86. 3 Sartono Kartodiredjo, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), hlm. 31. 4 Sukardiono, “Hampir Saja Proklamasi Itu di Rengas Dengklok”. Artikel Forum Pemuda. Juli 1982, hlm. 23.
39
yang tepat baik menurut keadaan kodrat historis. Dan jalannya hanya satu yaitu dengan Proklamasi Kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, lepas dari bangsa asing, bangsa apapun juga. Selanjutnya Wikana dan Darwis ditugaskan untuk menyampaikan putusan itu kepada Soekarno/ Hatta.” 5 Selanjutnya pada pukul 22.00 putusan tersebut sudah diterima oleh Soekarno. Dikemukakan olehnya bahwa akan menunggu pernyataan resmi dari pihak Jepang. Adanya kepercayaan dipihaknya terhadap Jepang ini terjadi setelah mereka berunding di Saigon. Dalam menghadapi desakan utusan pemuda itu, (Soekarno/ Hatta) mengucapkan: “... tetapi saya belum setuju jika kita (Soekarno/ Hatta) yang mengumumkan Proklamasi itu, sebelum kita mendengar peresmian Jepang sebelum kita tahu bagaimana pikiran dan pertimbangan Gunsaikan dan Somobutjo tentang kemerdekaan yang telah dijanjikan itu”. 6 Utusan kemudian meninggalkan Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 23.30 dan pukul 24.00 (dini hari) dilanjutkan rapat di Gedung Cikini 71 untuk mendengarkan hasil utusan tersebut. Setelah terjadi dialog dan pertimbanganpertimbangan, rapat mengambil keputusan agar Soekarno-Hatta dibawa ke luar kota, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Chairul Saleh, Sukarni, Singgih dari Peta, Kunto, dan Dr. Mawardi.7 Keputusan ini diperkuat dengan kesanggupan Singgih atas nama golongan Peta untuk kesediaan memberikan bantuan keamanan sepenuhnya. Sementara itu, pada tanggal 15 Agustus 1945 utusan dari Jakarta, Manafromi, sudah tiba di Semarang dan memberikan kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dengan tidak bersyarat, juga menginformasikan bahwa para pemuda yang ada di Jakarta telah mempersiapkan segala sesuatu untuk memproklamasikan, dan juga telah mengirimkan utusan menghadap tokoh di Jakarta yang dianggap sebagai wakil rakyat untuk membacakan Proklamasi. Kepada pemuda dan rakyat Semarang (pusat kegiatan di Pulau Jawa adalah sebagai berikut: Jawa Timur di Surabaya, Jawa Tengah di Semarang dan Yogyakarta, serta Jawa Barat di Jakarta) supaya mengikuti perjuangan pemuda di Jakarta. Untuk merealisasikan utusan dari Jakarta itu, pada tanggal 16 Agustus 1945 di salah satu ruangan Rumah Sakit Purusara (sekarang Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang) diselenggarakan pertemuan para pemuda terkemuka dengan pembahasan menyiapkan 5
Iriwidiati, Ichtisar Sejarah Nasional Indonesia (Awal-Sekarang). (Tanpa kota terbit: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1971), hlm. 102. 6 Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Revolusi Nasional Indonesia Tahanan Revolusi Bersenjata (Djakarta: tanpa penerbit, 1962), hlm. 8. 7 Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta: Tirta Mas, 1970).
40
segala sesuatu yang berhubungan dengan Proklamasi. Sebagai pembicara S. Karni yang mengemukakan pentingnya segera rapat di Semarang yang berstatus sebagai ibu kota Jawa Tengah untuk menyatakan kemerdekaan. Kemudian diambil kesimpulan untuk membentuk Angkatan Muda Semarang. 8 Untuk melaksanakan keputusan rapat Cikini 71, Soekarno-Hatta dibawa ke luar Jakarta ke Rengas Dengklok, dengan maksud untuk mendesak pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, akan tetapi mengalami jalan buntu. Selanjutnya, atas pukulinan Mr. Subarjo, Soekarno-Hatta dibawa kembali ke Jakarta, dan disusunlah teks Proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks ini esok harinya dibacakan sebagai tanda diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia. Dini hari pada tanggal 17 Agustus 1945 di Asrama 10 diadakan pembagian tugas sehubungan akan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Golongan penggempur diberangkatkan ke Pegangsaan. Regu Palang Merah dan pertempuran disiapkan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Jepang. Di samping itu, Latief Handraningrat sebagai Kompi Peta di Jakarta menempatkan satu regu di belakang tempat pembacaan Proklamasi. Regu ini bersembunyi di belakang tanggul rel kereta api dengan dipimpin Sapri Budanco. Selain itu, ditugaskan pula 4 orang, yakni Raja Cut Rahman, Rahadi, Usman, dan Ridwan untuk merebut Gedung Siaran Radio (Hosokyoku) atau paling sedikit mengusahakan agar pembacaan Proklamasi di Gedung Pegangsaan Timur 56 dapat diteruskan oleh pemancar di Merdeka Barat no. 4-5. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka akan membacakan sendiri Proklamasi tersebut pada pukul 10.00 tepat.9 Upacara Kemerdekaan Indonesia dimulai tepat pukul 10.00 pagi, diawali dengan pembukaan upacara dengan dibacakan rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar. Setelah itu, Soekarno mendekati mikropon untuk membacakan teks Proklamasi. Kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih yang bertiangkan dari bambu. Selanjutnya, sebelum upacara tersebut diakhiri, dilakukan pelantikan anggota barisan pelopor menjadi Jibaku-tai. Sementara itu, 4 orang yang diberi tugas untuk merebut gedung siaran radio tidak berhasil, karena sejak tanggal 15 Agustus 1945 gedung radio tersebut dijaga ketat oleh Kompetai, walaupun sudah diadakan kerja sama dengan pegawai setempat. Akan tetapi, mereka tidak putus asa untuk menyiarkan berita Proklamasi 8
Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah (Semarang: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1952), hlm.42. 9 D. Marpaung, Bingkisan Nasional Kenangan 10 Tahun Revolusi Indonesia 17-8-1945- 17-8-1955 (Djakarta: PT Upeni, 1955), hlm. 20.
41
tersebut, akhirnya pada malam harinya pukul 19.00 berhasil disiarkan melalui kantor berita Domei Jakarta. Dengan pernyataan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut, kesadaran kebangsaan Indonesia memuncak menjadi kemauan yang bulat untuk mewujudkan kedaulatannya. Seluruh rakyat masuk tertarik ke dalam gelombang kebangsaan yang besar.10 Sehubungan dengan itu, pada pukul 10.45 tanggal 17 Agustus 1945 pemuda-pemuda bengkel kereta api di Semarang yang pada saat itu bergabung dalam Barisan Seinendan mendapat kabar dari Kantor Telepon Semarang tentang berita proklamasi yang baru saja dibacakan oleh Soekarno. Sejak saat itu pemuda Bengkel Kereta Api Semarang meleburkan diri sebagai Angkatan Muda Bengkel Semarang. Berita tersebut disampaikan kepada kepala bengkel (kebetulan orang Jepang). Hal ini membuatnya marah dan mengancam akan melaporkan kepada Kompetai yang terkenal kepukul.11 Di samping itu, untuk wilayah Semarang, berita Proklamasi disiarkan sesudah kotbah Jum’at (17 Agustus 1945) di Masjid Besar Alun-Alun Semarang. Oleh karena itu, para pukulaah segera mengetahui dan sepulang shalat Jum’at dapat menyiarkannya ke masyarakat ramai.12 Dengan demikian, berita Proklamasi lebih cepat diketahui masyarakat. Berita tentang kemerdekaan menjadi lebih jelas dengan adanya siaran radio Domai yang disiarkan pada pukul 19.00. Kemudian esok harinya (18 Agustus 1945) 5 orang yang bekerja di bengkel kereta api (Tarmiji, Sudewa, Suwito, Sutarji, dan Sudarto) pada pukul 09.30 mempelopori menurunkan bendera Jepang yang terletak di muka bengkel kereta api untuk diganti bendera Merah Putih. Peristiwa ini diketahui oleh kepala bagian bengkel (orang Jepang) pada pukul 11.00. Melihat kenyataan itu, segera dia memperingatkan dan memerintahkan untuk menurunkannya. Terjadi dialog antara kepala bengkel dengan pekerjanyasendiri, dan selanjutnya dicapai kesepakatan bendera Merah Putih tetap dikibarkan. Demikian pula bendera Jepang tetap dikibarkan. Bendera Merah Putih dan bendera Jepang berada pada satu tiang bendera, Merah Putih di atas, dan bendera Matahari Terbit (Jepang) berada di bawahnya.
10
Sudarto, “Sekedar Riwayat Perdjuangan Pemuda-Pemuda Bengkel DKA Semarang Sejak Tanggal 17-8-1945” (Semarang: tanpa penerbit, 1962). 11 Ibid. 12 Sutrisno Kutoyo, Sejarah Revolusi Kemerdekaan I 1945-1949 Jawa Tengah. Semarang: Departemen P dan K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1979/ 1980, 1983), hlm. 37.
42
Sementara itu pemuda bengkel kereta api Semarang mengumpulkan semua kendaraan yang terutama yang dipakai oleh Jepang di bengkel, dan esok harinya tidak dipakai untuk menjemput tenaga orang Jepang lagi. Bengkel dijaga dengan penjagaan bambu runcing, dan senapan dari kayu. Bersamaan dengan hal itu, di bengkel diadakan rapat untuk mengganti pimpinan bengkel yang selama ini ini dipegang oleh orang Jepang diganti dengan pimpinan yang baru, yakni Sutomo sebagai ketua dan Sutaji sebagai wakilnya. Dalam suasana rapat tersebut datanglah 5 orang Jepang (Moteki, Kuabara, Murata, Tasima, dan Toya) berkendaraan becak bermaksud masuk bengkel. Setelah terjadi dialog antara dua pihak (para pemuda bengkel dan pegawai Jepang), barulah mereka diijinkan masuk. Mereka (orang Jepang) bermaksud mengambil pedang-pedang (samurai) guna diserahkan kepada Sekutu. Setelah semua samurai, baik yang sudah jadi maupun belum jadi, tetap harus dikumpulkan. Semua barang-barang tersebut dimasukkan ke dalam peti serta dikuncinya. Mereka akan kembali esok harinya sambil membawa truk militer untuk mengangkutnya. Kurang lebih pukul 15.00, hari itu juga, ada berita dari salah satu sopir bengkel bahwa pedang yang ada di bengkel akan dibawa ke pelabuhan dan dibuang. Mendengar berita ini, mereka ingin segera menyelamatkan pedang-pedang tersebut dengan jalan membandrek kuncinya dan isinya diganti dengan potongan-potongan besi yang beratnya diperkirakan sama. Pada malam harinya pedang-pedang yang telah jadi itu dibagikan pada anggota pemuda untuk menjaga keamanan, sedangkan pedang yang belum selesai pembuatannya dilanjutkan dilain waktu serta selanjutnya dibagikan ke BKR (Badan Keamanan Rakyat). Berita Proklamasi yang disiarkan dari kantor berita Domai Jakarta tersebut di Semarang berita itu diterima oleh seorang Markonis pegawai kantor Domai Semarang di Jalan Pemuda no 49, selanjutnya berita itu dibawa oleh Syarif Sulaiman ke Gedung Jawa Hokokai (Jl. Pemuda 70), di sana berjumpa dengan M.S. Mintarjo lantas mereka melangsungkan naskah berita itu kepada Mr. Wongsonagoro yang kala itu sedang memimpin rapat, selanjutnya memintanya untuk membacanya dihadapan rapat yang dihadiri oleh utusan tiap-tiap kabupaten. Pembacaan ini dilakukan dua kali dan diakhiri dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan disertai dengan pekik “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta!!!!”. Namun, komunikasi yang masih sulit itu menjadi kendala bagi tersiarnya berita kemerdekaan tersebut. Tidak mengherankan jika masyarakat di daerah pedesaan selang 43
beberapa hari baru menerima berita itu, inipun dengan hati yang masih ragu-ragu. Dalam hal ini, kereta api untuk yang kesekian kalinya berperanan dalam menyebarkan berita ini di sepanjang jalan yang dilaluinya dengan cara membawa pamflet. Pamflet-pamflet ditempelkan di gerbong, bangunan di lingkungan kereta api, dan stasiun, serta sebagian diselundupkan untuk disebarkan di sepanjang stasiun untuk disebarkan ke seluruh pelosok tanah air secara berantai, ditugaskan pembuatannya pada bagian percetaan Eksploitasi Tengah yang dipimpin oleh Judo Prawiro. Dengan demikian, masyarakat yang berdekatan dengan stasiun atau jalan kereta api akan lebih cepat mengetahuinya. Bagi masyarakat Sala, dengan adanya proklamasi itu, mereka merasa tidak takut lagi menghadapi tentara Jepang. Secara spontan pemuda-pemudi menempeli kantorkantor dengan kertas merah putih dan tulisan Milik RI. Demikian juga pada gedung para opsir Jepang.13 Di samping itu, sambutan Proklamasi Kemerdekaan juga datang dari kalangan bangsa Indonesia yang menjadi pegawai Jepang, dan untuk hal ini mereka mengeluarkan pernyataannya: “Kita pegawai Indonesia sudah terlalu lama menjadi kaki tangan bangsa asing. Tetapi sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia, kita mulai insyaf kalau kita mau dan sepakat sekalipun tak punya senjata kita dapat merdeka. Semakin hari semakin insyaf bahwa yang dapat diikat hanya orang yang mau diikat, tetapi jiwa yang mau merdeka tidak mau diikat. Karena merasa pegawai RI, aku akan berbakti hanya kepada RI dan menurut perintah Presiden RI. Dan pernyataan ini ditutup dengan kata-kata: Kami berjanji mencurahkan segala pikiran, harta dan jiwa raga untuk Negara Kesatuan RI merdeka dan adil kekal dan berdasarkan kedaulatan rakyat. 14
B. Kegiatan Angkatan Muda Kereta Api 1. Persiapan Peralihan Kekuasaan Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan tindakan yang bersifat revolusioner, artinya dengan satu kalimat saja kita menyatakan berdirinya suatu negara Indonesia. Kalimat ini juga telah menghapuskan semua hak penjajah di atas bumi Indonesia. Akan
13
Sudarto, loc. cit. Buku Kenang- Kenangan Perjuangan Rakyat Surakarta dari Zaman ke Zaman. Surakarta (tanpa kota terbit dan penerbit, 1974), hlm. 21. 14
44
tetapi dengan adanya Proklamasi itu melahirkan pertikaian antara kita dengan Belanda mengenai hak kedaulatan atas Indonesia.15 Tujuan revolusi ialah mempertahankan dan memperkokoh Republik Indonesia ke luar dan ke dalam, membangunkan serta menyusun masyarakat demokratis yang warga negaranya mendapat penghidupan. Revolusi akan mengalami keberhasilan apabila dilakukan pada waktunya, dan yang dimaksud tepat pada waktunya di sini yakni faktor obyektif dan faktor subyetif dapat bertemu dan berlangsung pada saat yang sama. Hal ini akan lebih berhasil apabila didukung oleh faktor yang obyektif. Untuk merealisasikan kalimat kedua teks Proklamasi bahwa segenap bangsa Indonesia bertanggung jawab terlaksananya yang erat sebagaimana pernyataan itu sendiri. Sehubungan dengan masalah ini pegawai kereta api seperti halnya masyarakat yang lain sadar akan pentingnya kereta api sebagai salah satu alat transportasi yang vital kala itu. Atas inisiatif Sukamsi dan Munadi, para pegawai kereta api di Semarang pada tanggal 18 Agustus 1945 pukul 19.00 mengadakan pertemuan di Balai Pertemuann di Padrikan (Jl. Imam Bonjol) yang dihadiri antara lain: Munadi, Sukamsi, Parwito, Kusumo, Sukardan, Sutandar Somodipuro, Sutopo, Sutarsan, Purnomo, Zaenal, Supangat, Abdullah Yudo Kusuma, dan Sutardi (kurang lebih 15 orang). Dicapai keputusan untuk membentuk Komite Perjuangan Kereta Api yang diketuai oleh Mr. Sukardan.16 Komite perjuangan itu beranggotakan 17 orang, dan tugas Dewan Pimpinan untuk menyelenggarakan peralihan kekuasaan kereta api Jawa Tengah dari tangan Jepang ke tangan Indonesia. Para anggota pegawai kereta api secara berantai memberitahukan kepada teman-temannya untuk datang esok harinya berkumpul di Gedung Kereta Api Bojong, Semarang. Pada tanggal 19 Agustus 1945 Mr. Sukardan mengumukan pengambilalihan kekuasaan Kereta Api Republik Indonesia dengan susunan sebagai berikut (Jawa Tengah):17 Susunan Kekuasaan Kereta Api Indonesia Jawa Tengah Kepala Eksploitasi Tengah Kepala administrasi Kepala Teknis/ traksi Kepala Lalu-lintas Kepala Inspeksi I Semarang
: Mr. Sukardan : H. Abdullah Yudokusumo : Ir. Kusain : M. Sumarlin : M. Marsit
15
Santoso. “Merebut dan Mengisi Kemerdekaan”. Buletin Korpri Jawa Tengah. Agustus no. 106 Th. X (Tanpa Kota Terbit: Krida, Tanpa Tahun Terbit), hlm. 6. 16 TB. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 77. 17 Supangat, “Perjuangan Djawatan KA di Djawa Tengah.” (Malang: naskah ketik manual, 1962).
45
Kepala Inspeksi II Semarang Kepala Inspeksi III Yogyakarta
: M. Rasiman : R.Kardono Sumodilogo
Esok harinya yaitu tanggal 20 Agustus 1945 para pegawai kereta api yang dipimpin oleh Komite Perjuangan yang terdiri dari Sukardan, R. Abdullah, Yudo Kusumo, Ir. Husain, dan Supangat menghadap pimpinan Rikuyu Sokyuku Jepang dengan maksud memberitahukan tentang Jawatan Kereta Api yang diambil alih dari tangannya. Akan tetapi dalam hal ini banyak pertimbangan-pertimbangan di pihak Jepang, baik mengenai negara Jepang yang baru saja menyerah kepada sekutu dan adanya perintah dari atasannya untuk menjaga status-quo hingga Sekutu datang mengambil alih. Juga karena adanya rasa takut apa yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada bangsanya (Jepang) walaupun
sudah
ditegaskan
oleh
Sukardan
bahwasanya
segala
sesuatu
akan
dipertanggungjawabkan kepada bangsa Indonesia. Atas usulan Kepala Urusan Umum dari Rikuyu Sokyuku (Somukatjo), yakni Ishimaru, supaya diadakan perubahan pertanyaan pengambilalihan dengan menambah kata-kata: “... bahwa pengambilalihan Riyuku itu adalah rentetan dari pengoperan kekuasaan dari kantor-kantor Syu (Kantor Karesidenan). Dengan demikian para pejabat Riyuku tidak akan berdiri sendiri dalam mempertanggungjawabkan tindakan mereka.18 Dengan adanya persetujuan itu, pada hari itu juga seluruh pegawai kereta api di halaman Kantor Eksploitasi (dikenal dengan NIS atau Lawang Sewu), diberi penjelasan yang pada intinya sebagai berikut: “Pada tanggal 20 Agustus 1945 ini kekuasaan kereta api Jawa Tengah dipegang oleh bangsa Indonesia oleh sebab itu lahirlah Jawatan kereta Api Republik Indonesia Jawa Tengah”.19 Dengan demikian, pada bagian percetakan yang terletak di gedung itu juga, dengan dipimpin oleh Yudo prawiro dibantu Kasiman, Wiryo Harsono, Slamet, dan Sunarto serta kawan lainnya, diambillah pengambilalihan kekuasaan. Di bidang administrasi oleh Mr. Sukardan diinstruksikan untuk mengganti tulisan Tyubu-tyubu Sokuyuku menjadi Jawatan Kereta Api Republik Indonesia Bagian Jawa Tengah. Semua bentuk penandatanganan surat-surat yang berlaku tidak lagi menuruti
18 19
Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 12 Agustus 1984. Roesdi Santoso, op. cit, hlm. 188.
46
perintah Jepang.20 Seluruh lintas kepala stasiun diintruksikan untuk tidak lagi menuruti perintah Jepang dan satu-satunya instruksi berasal dari pimpinan darurat Dinas Kereta Api dan pejabat-pejabat Indonesia yang diberikan tugas untuknya. Selanjutnya bendera Hiromaru diinstruksikan diganti dengan bendera Sang Merah Putih.21 Dengan demikian, adanya instruksi tersebut Jawatan Kereta Api yang menguasai transportasi sekaligus alat komunikasi, maka telegrap atau telepon negara dipergunakan untuk menyebarluaskan ke seluruh stasiun atau jaringan di Jawa Tengah serta kereta api untuk menyebarluaskan berita itu.
2. Pembentukan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) Dalam sejarah pergerakan dan perjuangan kemerdekaan di Indonesia, pemuda selalu memegang peranan penting, baik sebelum maupun sesudah merdeka, dalam memperjuangkan negara dan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan. Walaupun terdapat bermacam-macam aliran, namun memiliki kesatuan perjuangan. Dalam hal ini masyarakat mengakui bahwasanya hasil perjuangan kemerdekaan sebagian besar terletak di tangan pemuda. Para pemuda memiliki keinginan untuk segera mengoper kekuasaan dari tangan Jepang dengan harapan akan selesai sebelum kedatangan Sekutu, karena segenap bangsa Indonesia tidak merelakan Indonesia dijadikan barang inventaris perang yang setiap saat dapat dipindahkan. Para pemuda menyadari bahwa atas perintah Sekutu yang ditekankan oleh pemimpin Jepang untuk menjaga status-quo, apalagi Jepang masih lengkap dengan senjatanya yang setiap saat siap menghadapi kemungkinankemungkinan yang membahayakan dirinya. Namun karena tidak adanya koordinasi antardaerah, terjadilah persoalan dan kesulitan yang tidak jarang harus dengan dengan kekerasan. Hal ini terjadi karena luapan jiwa semangat kepemudaan. Seringkali dalam berbagai kesempatan dijumpai motif pembalasan terhadap terpukulnya Jepang semasa berkuasa. Demikianlah pembalasan juga dilakukan terhadap orang Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang dalam masalah pencarian segala sesuatu yang berkedok untuk menyelesaikan dan membantu perang di Asia Timur Raya. Orang Indonesia yang bekerjasama dengan pihak Jepang ini dapat terlihat dari kemakmuran yang dimilikinya jauh berbeda dibanding dengan kesengsaraan pada masyarakat luas. Hal ini memperlebar jurang pemisah di antaranya. Semua itu masih menjadi ingatan yang segar di 20
Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang. “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang” (Semarang: Suara Merdeka, 1977), hlm. 93. 21 Wawancara dengan Purnomo. Semarang, 13 September 1984.
47
benak masyarakat luas. Gejolak semacam itu terjadi di mana-mana dengan diikuti tindakan radikal yang revolusioner. Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi gejolak pemuda yang kurang kita inginkan dan harapan terciptanya kekompakan dalam bertindak, para pemuda menyadari dengan melihat kenyataan itu, mereka kemudian berusaha mengkoordinasikan dan menghimpun kekuatan dengan mendirikan perkumpulan (organisasi), baik di dalam masyarakat umum maupun di instansi pemerintah lokal dan daerah, karena mengingat situasi dan kondisi waktu itu. Sesuai dengan kesepakatan pembicaraan beberapa pemimpin kereta api, sesudah mengambilalih kekuasaan dari Jepang pada tanggal 20 Agustus 1945, dibentuklah Badan Koordinasi Pemuda Kereta Api. Tanggal 22 Agustus 1945 pukul 19.00 barulah berkumpul di tempat Supangat (rumah dinas Jawatan Kereta Api di Jl. Sala No. 1, Semarang) dengan dihadiri 60 orang pemuda dari berbagai daerah Dinas Kereta Api di Jawa Tengah. Pertemuan tersebut memutuskan berdirinya Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang bertugas melakukan tindakan revolusioner. Sebagai pengurusnya adalah sebagai berikut:22 Ketua Wakil Ketua Sekretaris Ketua Organisasi Pembantu
: Zaenal : Tarsan : Sutandar Somodipuro : Supangat : Kayun Wanang Sarjono, Handrito, Harsono, N. Hindun, dan N. Sukirah
Jiman
Sajuti,
Terbentuknya AMKA menjadi penggerak, sedangkan adanya Komite Perjuangan dianggap sebagai pengemudi serta pimpinan darurat untuk melaksanakan dan merealisasikan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang yang kemudian dijadikan sebagai aparatur negara RI. Para utusan yang berasal dari berbagai daerah di lingkungan Jawa Tengah diintruksikan untuk membentuk AMKA di daerahnya masing-masing yang cita-cita dan tujuannya tidak lain untuk mempertahankan, menegakkan, dan mengisi Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian, telah berdiri AMKA di lingkungan Dinas Kereta Api Jawa Tengah secara serempak.
3. Perebutan Kekuasaan di Lingkungan Chubu Kyoku
22
Wawancara dengan Judo Kusumo. Sala, 19 Agustus 1984.
48
Dengan terbentuknya Angkatan Muda Kereta Api ini diharapkan akan mampu dan dapat berjalan dengan cepat masalah pengoperan kekuasaan dari tangan Jepang yang selama ini dibicarakan. Akan tetapi, fakta di lapangan untuk realisasi pengambilalihan kekuasaan tidak berjalan sebagaimana rencana semula. Hal ini oleh Angkatan Muda dianggap kurang dapat bergerak secara revolusioner. Terbukti di stasiun-stasiun, bengkelbengkel, maupun kantor-kantor, para pembesar Jepang masih bebas keluar masuk. Di samping itu, masih adanya perintah yang harus dilaksanakan, sebab di sini tentara Jepang masih berada di stasiun-stasiun lengkap dengan senjatanya.23 Bagi para pegawai sendiri timbul keresahan karena kepala-kepala stasiun masih banyak dikuasai Jepang, sedangkan pada pihak lain mereka harus melihat kenyataan bahwa para pemuda tidak sabar lagi menunggu lebih lama. Hal ini megakibatkan desakan-desakan tentang penggantian Komite Perjuangan yang baru agar segera dilaksanakan dengan maksud agar lebih bersifat revousioner. Akhirnya komite diganti dengan yang baru, dengan susunan sebagai berikut:24 Ketua Wakil Ketua Sekretaris Anggota
: Parwito Kusumo : Munadi : Sutopo : Zaenal, Supangat, Sutarman, Sukamsi
Dengan susunan Komite yang baru ini selanjutnya segera dilaksanakan pengoperan kekuasaan. Hal ini terjadi esok harinya tanggal 9 September 1945 dengan cara memberitahukan kepada para pegawai Jepang untuk tidak lagi berurusan dengan Jawatan Kereta Api. Hanya Somubotjo (Ishimaru) dan beberapa pembantunya diperbolehkan masuk karena masih diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Pegawai Jepang lainnya dipindahkan ke Ambarawa dan Bandungan memakai kereta api, sedangkan barang-barang mereka diangkut dengan truk. Semua dapat berjalan dengan lancar tanpa mengalami insiden.25 Untuk menyempurnakan pengambilalihan kekuasaan ini diintruksikan pada hari itu sebagai berikut:26 a.
Penurunan bendera Hinomaru dan diganti dengan bendera Merah Putih, dijaga AMKA secara bergantian.
23
Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 12 September 1984. S. P. Pakoe Alam, Revolusi Pemoeda Satoe Tahoen Indonesia Merdeka (Tanpa Kota Terbit dan Penerbit, 1946), hlm. 25. 25 Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 14 September 1984. 26 Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 12 September 1984. 24
49
b. c. d. e.
Diadakan penggantian papan nama maupun petunjuk yang menggunakan bahasa/tulisan Jepang agar diganti dengan bahasa Indonesia. Semua bangunan baik jembatan/stasiun dijaga oleh AMKA dijaga siang maupun malam. Di setiap biro (bagian) diadakan pendampingan oleh AMKA sebagai motivator dalam tugasnya. Sekarang diadakan pelantikan pimpinan Dinas Kereta Api Republik Indonesia Jawa Tengah.
Perlu diketahui bahwasanya waktu itu pegawai bangsa Jepang (di lingkungan kereta api) sudah menyerah atas tindakan AMKA. Mereka yang sampai di kantor terpaksa pulang berjalan kaki. Sementara itu, Mr. Suwahyo, Kepala Dinas Kereta Api di Bandung, datang ke Semarang untuk mengintruksikan pemindahan kekuasaan akan tetapi Suwahyo telah melihat sendiri bahwasanya saudara-saudara di Semarang sudah jauh bertindak daripada di Bandung. Dengan demikian, Semarang dijadikan pusat perjuangan kereta api. Hal ini dapat dimengerti karena kedudukannya sebagai pusat Chubu Riyuku Sokyoku dan inspeksi di Semarang. Kegiatan di Semarang ini diikuti di kota-kota lainnya di lingkungan Jawa Tengah , misalnya sebagai berikut: 3.1.
Perebutan Kekuasaan Kereta Api di Kutoarjo
Berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah diterima di lingkungan masyarakat Stasiun Kutoarjo. Sebagai jawaban masyarakat, pada malam itu juga 17 Agustus diadakan pertemuan rahasia di Rumah Dinas No. 5 dengan mengambil kesimpulan segera mengadakan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang. Esok harinya 18 Agustus 1945 pukul 07.00 kurang lebih 40 orang pegawai kereta api yang masih mudamuda dengan bersenjatakan bambu runcing, bendo, pentung, klewang, arit, dan lainnya, berangkat menuju rumah Morinanga di Gedung Sepet, Kutoarjo. Pemuda Suroto (sebagai pemimpinnya) didampingi 5 orang pemuda menghadap Morinanga sebagai penguasa Rikuyu Sokyoku di Kutoarjo. Hasil pertemuan itu menegaskan kesediaan Morinanga menyerahkan kekuasaan kepada pemuda dengan tidak bersyarat. Hal ini terjadi sekitar pukul 11.00. Penyelesaian selanjutnya Morinanga diserahkan pada polisi.27 Anggota Jepang yang lain sempat melarikan diri sebagian besar ke Kotabaru, Yogyakarta. Dengan demikian, sebagian besar barang-barang mereka tertinggal. Barang-barang itu selanjutnya
27
Supangat, loc. cit.
50
dikumpulkan di Rumah Dinas No. 5 dan akhirnya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkannya dan sebagian ada yang dijadikan inventaris Stasiun Kutoarjo. Setelah terjadi pemindahan kekuasaan, Alip Wiryosaputro ditunjuk sebagai kepala stasiun. Sehubungan dengan terbentuknya Angkatan Muda Kereta Api di Semarang, di Kutoarjo dibentuk kepengurusannya dengan susunan sebagai berikut: 28 Ketua : Suroto Wakil Ketua : Sudarsono Pembantu : Slamet Partoharjono, Kasomo, Suparjo. Dengan demikian, di lingkungan kereta api Kutoarjo sudah dikuasai oleh pegawai Indonesia dan untuk ini angkatan muda melebarkan sayapnya ke Prembun dan sekitarnya serta sampai ke Stasiun Gombong. 3.2.
Perebutan Kekuasaan Kereta Api di Sala
Sehubungan dengan isi teks Proklamasi pada kalimat kedua disambut dengan hangat oleh masyarakat kereta api di Sala. Tugas itu direalisasikan oleh beberapa pemuda di lingkungan kereta api Sala-Balapan dengan mengadakan pertemuan, antara lain Joko Sulaiman, Mr. Sudikman, Haryono, dan Harwanto dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan perebutan kekuasaan kereta api dari tangan Jepang di Sala-Balapan dan sekitarnya.29 Pada esok harinya para pemuda kereta api masuk kantor untuk menjelaskan maksud dan tujuannya kepada Jepang. Anggota pemuda yang lain bersiap-siap di luar kantor dengan senjata yang bermacam-macam. Hasil pertemuan membolehkan pengambilan kekuasaan. Dengan demikian, pengambilalihan tersebut tanpa mengalami insiden.30 Perebutan kekuasaan di Depo Sala ini berjalan lancar juga karena peran Kepala Stasiun Depo Sala, Masubara dan Nagasima, yang masih keturunan ningrat Jepang. Mereka berdua telah melihat keterpukulan bangsanya kepada bangsa Indonesia sehingga menilainya bangsanya itu tidak mengenal perikemanusiaan. Sewaktu akan mengadakan pemindahan kekuasaan mereka membantu Jepang, ketika ada tindakan kekerasan di Timuran (Kempetai) tanggal 3 Oktober 1945 itu ada lima anggota kereta api yang ditahan. Untuk ini para pemuda mendesak Nagasima untuk membebaskan. Hal ini disetujui dan menghadap Kempetai yang didampingi oleh Parman, 28
Wawancara dengan Judo Prawiro. Sala, 19September 1984. Roesdi Santoso, op. cit, hlm. 91. 30 Supangat, loc. cit. 29
51
Barjo, dan Bagio. Mereka berhasil mengeluarkan kelima anggota kereta api tadi walaupun di sana sudah mendapatkan siksaan. Nagasima juga ikut dalam kemerdekaan di lingkungan kereta api dengan berdiplomasi, dan ini berhasil tanpa ada insiden di daerah Yogyakarta, Sala, dan Madiun.31 Selain itu, atas persetujuan para pegawai Depo (dipimpin oleh Moadani) dan pimpinan Sala-Balapan, akan dibuka jalan kereta api luar biasa menuju Salam. Dahulu sewaktu penjajahan Jepang diadakan kereta api simpang menuju Gajihan (3 km dari Salam). Di daerah Salam tersimpan barang-barang yang digunakan oleh Angkatan Perang Jepang dengan lengkap. Meskipun tentara Jepang masih mengadakan penjagaan dan juga mengadakan perlawanan, pihak Indonesia tetap mengambil alat-alat perang tersebut dan dibawa ke Sala.32
4.
Pertempuran Lima Hari di Semarang
Berita Proklamasi diterima oleh masyarakat Semarang lebih awal dibandingkan kota propinsi lain. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 sesudah Kotbah Jum’at di Masjid Besar Alun-alun Semarang disiarkan ke radio. Dengan begitu masyarakat luas cepat mengetahuinya. Melihat kenyataan ini para pemuda tidak sabar lagi menunggu untuk mengadakan Proklamasi secara masal di Semarang. Atas desakan para pemuda (Herdi, Ibnu Parno, dan H. Tohir) menghadap Mr. Wongsonagoro untuk menandatangani suatu perjanjian yang menyatakan sebagai berikut:33 1.
2.
3.
Bahwa orang-orang Jepang hari itu juga tanggal 19 agustus 1945 pukul 14.00 siang Fuku Syuutysoku Mr. Wongsonagoro harus telah mengambil alih kekuasaan pemerintah dari tangan Jepang. Bahwa orang Jepang tetap diijinkan untuk bekerja di kantor-kantor akan tetapi semua pimpinan di tempat itu harus diserahkan ke tangan orang-orang Indonesia. Bahwa Mr. Wongsonagoro harus bertanggung jawab bilamana tidak melaksanakan perjanjian yang telah ditandatangani.
31
Slamet Partoharjono, “Riwayat Perdjuangan AMKA Pada Pukulannya Rikuyu Sokyoku” (Kendal: Naskah Ketik Manual, Mei 1962). 32 Sulastro, “Bagaimana Paitnja Pendjadjahan ke Alam Merdeka” (Ambarawa: Tanpa Penerbit, 18 Mei 1963). 33 Slamet Partoharjono, loc. cit.
52
Untuk melaksanakan perjanjian itu maka tepat pukul 13.00 Mr. Wongsonagoro mengucapkan pidato di depan corong radio yang berisi pokoknya sebagai berikut:34 “... Berdasarkan atas pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional Jakarta, maka dengan ini atas nama rakyat Indonesia Daerah semarang mengumumkan sementara aturan-aturan pemerintah untuk menjaga keamanan umum di daerah semarang sebagai berikut: 1. 2.
Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945, pukul 1 siang, pemerintah Republik Indonesia untuk daerah Semarang mulai berlaku. Terhadap segala yang melarang Pemerintah Republik Indonesia, akan diambil tindakan yang keras. Senjata api, kecuali oleh yang berhak memakainya, harus diserahkan pada polisi. Hanya bendera Indonesia Sang Merah Putih yang boleh dikibarkan. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan yang keras. Selanjutnya semua penduduk hendaknya melakukan pekerjaannya seharihari seperti biasa.”
3. 4. 5. 6.
Dengan adanya pengumuman ini masyarakat Semarang mempunyai tugas, yaitu: 1. 2.
Pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang baik instansi sipil maupun militer. Pelucutan senjata dari tentara Jepang serta menawannya yang nantinya siap untuk diserahkan kepada Sekutu.
Untuk menegaskan siaran radio tersebut, maka sore harinya pukul 16.00 diadakan pertemuan rapat akbar di Stadion Diponegoro yang dihadiri oleh rakyat Semarang dan mereka bersenjata. Dengan melihat itu, Jepang tidak kuasa lagi untuk membubarkan semangat rakyat yang menggelora. Perlu diketahui bahwa sebagian besar perebutan kekuasaan di Semarang dapat berjalan dengan lancar, sehingga kantor instansi sudah banyak yang telah kita kuasai pada pertengahan bulan September 1945. Untuk itu, demi menjaga sesuatu yang telah ada dan menjaga keamanannya,
diperlukan persenjataan
yang memadai. Kenyataan ini
menimbulkan keinginan para pemuda untuk mencukupi kebutuhan senjata. Untuk mendapatkan hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena harus mengetahui tempat keberadaan senjata yang memadai tersebut. Harus mengetahui langkah apa sajakah yang harus ditempuh, mengetahui kekuatan yang ada pada mereka, dan masih banyak persoalan 34
Sutandio, Riwayat, 17-8-1945-17-8-1949. (Tanpa Kota Terbit, Penerbit, dan Tahun Terbit).
53
yang harus dipecahkan dan dirundingkan bersama. Memang kita juga mengakui bahwa ada Jepang yang dengan suka rela memberikan senjatanya kepada Indonesia, tetapi tidak sedikit Jepang yang bersikap keras dengan mempertahankannya sampai mati. Dengan begitu, para pemuda memutuskan untuk merebut senjata yang masih dikuasai Jepang di Semarang. Di Semarang, pasukan Jepang yang belum menyerah kepada republik adalah Kidobutai yang bermarkas di Jati dan Jatingaleh. Di tempat ini pasukan Jepang ini terkenal dengan disiplin dan keras. Hal ini sangat membahayakan bagi Republik Indonesia. Pada suatu hari, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komite Nasional Indonesia (KNI) Untuk Daerah Semarang, dan Angkatan Muda Semarang mengirimkan delegasi untuk mengadakan perundingan dengan Kidobutai di Jatingaleh. Dalam perundingan itu, markas Kidobutai dikepung oleh ribuan pemuda bersenjatakan bambu runcing, pedang, golok, dan lainnya. Mereka dalam keadaan siap siaga, bila ternyata Jepang menolak, para pemuda akan menyerbu. Untuk memenangkan perundingan itu, Sersan Tanaka mengusulkan memberi senjata sebanyak 160 pucuk, sebelum diterima diadakan pemeriksaan oleh wakil pemuda S. Karna, Sitorus, Ibnu Parna, dan Giono. Sedangkan wakil Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yakni Sutrisno, Sudomo dan Masri Solekan.35 Suasana semakin hari semakin memanas. Untuk mengatasi tindakan kekompakan, maka pada tanggal 13 Oktober 1945 diadakan rapat di Stasiun Jomlang oleh Angkatan Muda yang diikuti oleh para delegasi Angkatan Muda di Jawa Tengah, nampak juga wakil-wakil dari Angkatan Muda Kereta Api.36 Dalam rapat tersebut diputuskan untuk:37 a. b. c.
Mempertahankan Republik. Usaha supaya dasar pertama bagi pembentukan tenaga rakyat mendapat pengakuan sah dari Republik Indonesia. Usaha supaya dasar pertama dari pembentukan tenaga rakyat sah dari rakyat seluruhnya.
Juga diadakan penyingkiran orang-orang Jepang dan kaki tangannya Belanda. Untuk kepentingan itu, disediakan rumah penampungan di Rumah Penjara Jum’atan dan Bulu. Kepada Angkatan Muda Kereta Api diberi tugas untuk mengadakan penyingkiran dalam lingkungan kereta api sendiri.38 35
Wawancara dengan Wiryo Sukarman, Sala, 30 Agustus 1984. Kusmin, “Riwajat Perdjuangan DKA.” Magelang, naskah ketik manual. 37 Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang, op. cit., hlm. 30. 38 Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah, op. cit., hlm. 22. 36
54
Bersama dengan itu juga diadakan pertemuan antara Wongsonagoro dengan Mayor Jenderal Nakamura. Dalam pertemuan tersebut dijelaskan bahwasanya Jepang terikat dengan perjanjian dengan Sekutu. Jepang harus menjaga status-quo yang nantinya diberikan kepada Belanda (Sekutu), termasuk di dalamnya senjata. Setelah banyak pertimbangan-pertimbangan, Nakamura bersedia membantu untuk memberikan senjata. Namun setelah minta pertimbangan kepada markas besarnya yang berada di Jakarta, ternyata melarangnya untuk memberikan senjatanya lagi keapada Indonesia. Dengan demikian, Kidobutai tidak boleh memberikan senjatanya lagi kepada Indonesia. Keadaan ini membuat usaha untuk mrndapatkan senjata dari Kidobutai telah kandas, suasana baertambah panas dan meruncing, dan setiap saat akan dapat meletus pertempuran. Para pemuda bergerak tanpa ada komando yang menyeluruh, karena tidak sabar dalam menunggu komando. Pada tanggal 14 Oktober 1945, pemuda-pemuda dari perguruan Taman Siswa bergerak menuju gedung di Candibaru, bekas tempat tinggal sejumlah opsir Jepang.39 Sebagian Angkatan Muda merealisasikan hasil rapatnya pada tanggal 13 Oktober 1945 yakni menangkap orang-orang Indo dan orang Indonesia yang sewaktu penjajahan Belanda dianggap mempunyai hubungan erat dengan Belanda. Kurang lebih pukul 12.00 tengah malam, tanggal 15 Oktober 194 Kidobutai yang ada di Jatingaleh turun ke kota mengepung rumah gedung yang direbut oleh pemuda Taman Siswa. Serdadu itu menggedor pintu disertai perintah seluruh isi rumah dengan berbaris, dan diadakan penggeledahan seluruh isi rumah dan diketemukan senjata seperti bambu runcing, senapan kayu dengan ujung pisau bayonet, pisau, dan sepucuk karaben. Setelah dilucuti, mereka dibawa ke markas Kompetai yang tidak jauh dari tempat itu. Mereka ditawan tanpa diberi makan sampai hari Jum’at, sewaktu tentara Sekutu (Inggris) menduduki daerah Candibaru.40 Gerakan Jepang yang sudah menduduki daerah Candibaru tadi dipecah menjadi dua kelompok, yang pertama melalui jalan Oei Tiong Ham (Jl. Gajah Mada), terus ke Asrama TKR di Spoortlan (Mugas). Mereka mengadakan perampasan senjata yang belum sempat dibagikan, dilanjutkan menuju kota. Kelompok yang kedua menuju Kr. Gergaji serta melepaskan tawanan dari orang yang dicurigai. Mereka terus berjalan ke CBZ (rumah sakit Purusara, sekarang RS Dr. Kariadi). Di sana mereka melakukan pembunuhan terhadap pegawai CBZ dan sebagian ada yang diangkut ke Candibaru. Dari tempat ini 39
Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang, op. cit., hlm. 105. 40 Wawancara dengan Purnama. Semarang, 14 September 1984.
55
mereka melanjutkan untuk merebut kembali Gedung Kompetei. Dalam gerakannya ini, terjadi ketegangan antara Indonesia dengan Jepang. Para pemuda dari Lemah Gempal, Wonodri, Bulu. Akan tetapi, dalam gerakan, pasukan Jepang ini dapat menerobos pusat pertahanan pemuda, dan menjelang subuh (sekitar pukul 04.20) di tempat Tugu Muda sekarang. Terjadi pertempuran hebat antara ke dua belah pihak. Para pemuda dari TKR, Polisi Istimewa, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda TTT, dan Angkatan Pemuda lainnya. Namun kondisi kekuatan senjata yang tidak seimbang menyebabkan pasukan kita mundur. Dengan demikian Jepang terus mengadakan tembakan terhadap pertahanan kita dan Jepang berhasil menduduki Lawang Sewu (pusat pertahanan AMKA) dan gedung Kompetei.41 Dari gedung Kompetei ini pasukan Jepang melancarkan tembakan-tembakan ke arah Gedung Lawang Sewu (NIS) yang dipergunakan sebagai markas AMKA. Gedung ini dipertahankan dengan gigih pula oleh para pemuda kereta api, TKR, dan Polisi Istimewa. Akan tetapi karena kalah persenjataan dan personil, maka para pemuda mengundurkan diri. Ada beberapa pemuda sengaja mencari perlindungan di beberapa tempat/ruangan di gedung ini. Mereka antara lain adalah: Subali, Supardan, Sugiarto, Akhmad Yasir, Sakiran, Rukhayat, dan Moh. Suseno. Mereka berlindung untuk menyelamatkan dirinya sampai pertempuran selesai.42 Dalam pengalaman ini dikisahkan oleh Sakiran sebagai berikut: “Waktu itu pertahanan di Gedung Lawang sewu semakin berkurang dan Jepang mengadakan tembakan-tembakan itu semakin menghebat. Kami dengan beberapa teman sekitar 12 berlari masuk WC (water closed), waktu itu tiba-tiba terdengar suara tentara Jepang yang memakin mendekat pintu, dan membuka pintu serta disusul dengan tembakan-tembakan. Saya (Sakiran) tidak terlepas dari tembakan itu sebanyak enam peluru dan tusukan bayonet sebanyak delapan (8) tempat. Mereka sampai tak sadarkan diri, dan setelah sadar mereka melihat kanan kirinya sudah tidak bernyawa lagi. Dan untuk mempertahankan hidupnya mereka merangkak dengan menggunakan satu tangan yang masih kuat, akan tetapi kadangkadang tidak sadarkan diri lagi, akhirnya sampai perlindungan yang dianggapnya aman hingga pertempuran selesai.43 Juga Subali (bagian percetakan) dia dapat melarikan diri naik ke menara air dan berada di tempat itu selama lima hari. Demikian juga Moh. Suseno walaupun terkena
41
Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I (Bandung: Disjarah AD dan Angkasa, 1977), hlm. 352. 42 Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 11 September 1984. 43 Purwantono, “Segi Koordinasi Pertempuran Lima Hari Semarang”. Buletin Yaperna No. 15 Th. III . Edisi Juli 1976, hlm. 11.
56
sasaran peluru dia masih sempat untuk naik ke menara air. Sugiarto juga bersembunyi di belakang almari selama tiga hari, akhirnya mereka dapat meloloskan diri sewaktu Jepang yang menjaga tertidur.44 Dengan adanya serangan Jepang yang bergerak cepat itu banyak korban di pihak Indonesia. Pasukan Jepang mengadakan penyembelihan secara masal terhadap para pemuda yang berhasil ditangkap, sehingga terlihat mayat-mayat bergelimpangan dimanamana. Hal ini membuktikan salah satu keterpukulan Jepang yang tidak mengenal peri kemanusiaan.45 Dalam situasi yang tegang ini para Pemuda Bengkel Kereta Api di Semarang dengan keberaniannya mengungsikan loko-lokonya yang berjumlah 15 buah dari Semarang menuju Kedungjati. Sementara itu, kereta api tidak ada yang berani masuk ke Semarang. Sebagai stasiun terdepan adalah setasiun Brumbung. Stasiun ini merupakan tempat yang strategis karena merupakan stasiun pertigaan ke jurusan Surabaya-Pasarturi dan Sala-Balapan. Semua kereta api berhenti di Brumbung. Atas desakan AMKA yang diwakili oleh Sutopo dan Supangat, Ketua Dewan Pimpinan: Parwito Kusumo, dan pejabat penting lainnya diungsikan ke luar Semarang dan mereka menetap di Brumbung. Dari sini mereka mengatur jalannya kereta api. Dengan demikian, Stasiun Brumbung sementara menjadi stasiun induk. Dengan adanya kerja sama ini, kereta api dapat melayani kebutuhan bagi pengangkutan tentara, pemuda laskar, dan kebutuhan masyarakat luas yang bepergian, baik itu pedagang kecil maupun mereka yang mengungsi.46 Untuk mengadakan hubungan dengan dalam kota, Kutadi ditugaskan sebagai kurir untuk mendapatkan informasi maupun keterangan pengiriman barang. Sementara itu, Mr. Wongsonagoro ditahan oleh Jepang. Hal ini dimaksudkan agar para pemuda dapat lunak dan menghentikan kegiatannya, namun ini tidak meredakan rakyat sehingga Jepang bertindak lebih ganas. Jepang tidak segan-segan mengambil tindakan berbuat mepukul terhadap siapa saja yang dijumpainya, dilucuti, dan sebagian ada yang dibunuh secara biadab. Melihat kejadian seperti ini para pemuda menjadi marah. Kemarahan pemuda diwujudkan dengan mengadakan perlawanan-perlawanan dan penangkapan terhadap orang Jepang yang perang di kota. Kondisi ini berlangsung sampai pagi dan selalu terdengar suara tembakan mitraliur, mortir, bom, dan granat tangan.47 46)*
44
Dinas Sejarah Militer Kodam VII Diponegoro, Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya (Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII Diponegoro, 1977), hlm. 211. 45 Wawancara dengan Subali. Semarang, 15 September 1984. 46 Wawancara dengan Purnama. Semarang, 14 September 1984. 47 Wawancara dengan Sakiran. Semarang, 16 September 1984.
57
Penjara Bulu tidak sempat dipindahkan karena ada rasa khawatir di pihak Indonesia. Jika jatuh ke tangan musuh, maka nantinya akan menggabung dengan Kidobutai. Atas banyaknya pertimbangan, maka tawanan Jepang yang ada di Rumah Penjara Bulu dibinasakan oleh pemuda Indonesia yang sedang meluap marahnya, sedangkan tawanan Jepang yang ditempatkan di sekolahan pelayaran dapat meloloskan diri serta bergabung dengan Kidubutai.48 Mereka inilah yang nantinya menjadi petunjuk dalam penyerangan kubu pertahanan yang masih dikuasai Indonesia. Perlu dikemukakan di sini bahwa bekas bangunan sekolah pelayaran ini terbuat dari bambu dan dindingnya dari anyaman bambu. Dalam situasi yang serba kacau ini, ada berita bahwa wadah minum di Jl. Wungkal (Candi) diracun oleh Jepang. Maka Drs. Med. Kariadi yang menjadi Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara, Semarang, akan mengadakan pemeriksaan air minum tersebut. Namun dalam perjalanan mobil yang ditumpanginya tiba-tiba diserang di Jl. Pandanaran yang mengakibatkan gugurnya sopir dan dr. Kariadi.49 Dengan meluasnya penyerbuan Jepang di berbagai jurusan, termasuk tempat kediaman penduduk, mengakibatkan mereka menguasai jalan-jalan, dan malam harinya mengadakan serangan dengan gencarnya. Pihak Republik berusaha bertahan dengan cara gerilya dengan bersenjata yang tidak lengkap. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Jepang lebih gencar mengadakan serangan terhadap kubukubu pertahanan perjuangan kita, bahkan sudah menghancurkan kampung-kampung. Akan tetapi, hal ini tidak mematahkan semangat perang pemuda Indonesia. Selanjutnya Jepang mengambil langkah baru dengan tipu muslihat mengatakan kepada penduduk bahwa pertempuran sudah selesai. Seluruh peralatan perang dikumpulkan. Hal ini cukup berhasil, sebagian penduduk mau menyerahkan senjatanya berupa golok, pedang, serta bambu runcing. Senjata-senjata itu selanjutnya dibakar di pinggir-pinggir jalan. Bagi penduduk yang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada Jepang, maka tidak segan-segan Jepang mengambil tindakan membakar kampung-kampung penduduk, antara lain: Kampung Batik. Berita pertempuran di Semarang ternyata telah tersebar luas hingga daerah-daerah lain. Mereka memberikan bantuan berupa barisan pemuda yang mulai berdatangan ke Semarang, di antaranya: arah timur dari daerah Demak, Pati, Cepu, dan sekitarnya. Demikian juga dari arah tenggara dan selatan mengalir barisan pemuda dari Purwodadi, Yogya, Magelang, Ambarawa, Salatiga, dan Banyumas. Dari arah barat menyerbulah 48 49
Wawancara dengan Subali. Semarang, 15 September 1984. Dokumen Sendam VII/Diponegoro No. 20/1.
58
pemuda dari Kendal, Pekalongan, Purwokerto, dan sekitarnya. Dengan demikian, kedudukan kita semakin bertambah kuat, sedangkan lawan kita semakin terjepit.50 Dengan adanya bantuan ini mulailah disusun kembali pertahanan pinggiran kota untuk siap mengadakan serangan pembalasan untuk merebut markas yang ada di Sekolah Teknik Menengah (Jl. Dr. Cipto). Dengan demikian, saat menjelang berakhirnya pertempuran di Semarang, pihak kita sebenarnya sudah mulai mengadakan ofensif. Akan tetapi, tiba-tiba ada pengumuman tentang penghentian tembak-menembak kedua belah pihak. Sebagai wakil dalam perundingan ini Mr. Wongsonagoro yang didampingi Sutrisno dan Sudomo ( bekas Komandan PETA). Umumnya perintah tersebut diterima dengan rasa kurang menyenangkan, bahkan ragu-ragu apakah hal ini berasal dari Mr. Wongsonagoro, karena kedudukan kita sudah memungkinkan untuk mengadakan pembalasan, baik posisi yang ada dalam kota maupun di pinggiran kota, serta bantuan yang selalu mengalir. Apalagi semangat pemuda masih sangat membara untuk mengadakan pembalasan terhadap pukulan Jepang terhadap bangsa Indonesia. Di dalam pertempuran yang hanya memakan waktu lima hari itu kita menderita kerugian sebesar tiga ribu jiwa. Di samping itu rakyat menderita kerugian jiwa dan harta lainnya yang mungkin merupakan sumber penghasilan untuk mempertahankan hidupnya. Di lain pihak, Jepang menderita kerugian sekitar 850 personil, akan tetapi jumlah itu belum semua diketahui secara pasti. Pertempuran lima hari di Semarang antara Jepang dan rakyat Indonesia adalah kejadian pendahuluan dari keadaan yang menimpa Semarang, sekaligus merupakan penderitaan pertama setelah merdeka dan juga menanamkan benih dendam di kalbu rakyat Indonesia.51 Dengan adanya situasi peralihan kekuasaan dari tangan Jepang serta menghadapi kedatangan Sekutu (disertai NICA), maka dirasakan perlu adanya koordinasi gerakan pemuda. Pembinaan ini bertujuan penyusunan, pengembangan, pemeliharaan, serta pengarahan dari segenap potensi yang progresif revolusioner untuk mencapai pembentukan kekuatan, kesiapan ketahanan dalam bidang ideologi dan ekonomi. Juga untuk mempertahankan bangsa terhadap segala ancaman baik bersifat fisik maupun psikologis dalam rangka mengamankan dan mencapai tujuan revolusi Indonesia. 50
Sunardi, “Pengalaman Saya Selama Revolusi.” [Tanpa Kota Terbit: Gundhi, (tt)]. Naskah ketik manual. 51 “Banjir Darah di Kota Semarang Latihan Tepat Bagi Rakyat Semarang Untuk Menggempur Nica”. Kedaulatan Rakyat. Jogyakarta, 25 Oktober 1945.
59
Sehubungan dengan itu, pada 9 Nopember 1945 diadakan Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta dengan mengambil keputusan yang penting, di antaranya:52 1.
2.
Lahirnya PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) merupakan peleburan dari organisasi pemuda yang berazas dan tujuannya sosialis, di antaranya: Angkatan Muda Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Jawatan Gas dan Listrik, Angkatan Muda Jawatan Pos Telegraf dan Telepon, Pemuda Republik Indonesia. Lahirnya Badan Kongres Republik Indonesia yang merupakan gabungan 23 organisasi. Badan ini merupakan himpunan koordinasi anggota meskipun mereka berbeda tujuan dan haluan. Dengan Pimpinan Pusat, Khairul Saleh, yang dibantu Dewan Pekerja Pembangunan dipimpin Wikana (Jakarta) dan Dewan Pekerja Perjuangan dipimpin Sumarsono (Surabaya).
Dewan Pekerja Pembangunan ini mendapatkan hambatan dari para pemuda yang dalam hati kecilnya tidak menyetujui pembangunan yang diadakan pada waktu itu. Tantangan semakin menghebat sehingga bagian ini menggabungkan Dewan Pekerja Perjuangan yang pada waktu itu berpusat di Mojokerto dan kemudian dipindahkan ke Madiun. Sebelum Badan Kongres berhasil terkoordinir dengan baik, datanglah ujian yang mengarah pada perpecahan. Pada tanggal 14 Maret 1946 Badan Kongres mengadakan konferensi yang pertama yang dihadiri oleh 12 organisasi dari 14 organisasi (anggota) dengan mengambil keputusan sebagai berikut:53 1.
2.
Badan Kongres Pemuda keluar dari persatuan perjuangan oleh karena Badan Kongres Pemuda merupakan satu federasi yang dipimpin oleh presidium yang merupakan suatu perwakilan. Akan tetapi, Badan Kongres Pemuda tidak mengikat anggota-anggotanya untuk masuk dalam persatuan perjuangan atau tidak. Badan Kongres mempersilakan: a. AMKA dipimpin Suyono Hadisusanto. b. AMPTT dipimpin Slamet Sumari. c. AM Listrik dan Gas dipimpin Banuarli. Yang ketiganya telah menyatakan berdiri sendiri (dengan persetujuan pucuk pimpinan PESINDO).
Dengan demikian organisasi-organisasi tersebut semakin eksis dan mandiri dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan organisasi dengan menggandeng kerjasama dengan orgganisasi dan Badan Perjuangan serta militer. AMKA merapatkan organisasi untuk meningkatkan peranannya, baik di garis depan maupun di garis belakang.
52
PP. Pesindo, “Perdjuangan Pemuda Revolusioner Indonesia”. Majalah Keadilan. Nomor Peringatan 17-8-1945 – 17-8-1946 Setahun Republik Indonesia No 8-9 Th. I, hlm. 24-25. 53 Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda (Djakarta: Pustaka Antara, 1952), hlm. 4.
60
5. Kesimpulan Pada masa penjajahan Jepang, kereta api disesuaikan dengan strategi perang (di Jawa kereta api di bawah kekuasaan Angkatan Darat, sedangkan di Sumatera kereta api berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut). Jepang menyadari kereta api merupakan alat transportasi vital untuk pertahanan. Gelora nasionalisme kerjasama dan koordinasi yang baik menjadi satu padu. Hal ini menimbulkan rasa kepemilikan negara sebagai bangsa yang baru saja merdeka dan menimbulkan gelombang kegembiraan yang luar biasa. Sehubungan dengan itu, maka pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang di lingkungan kereta api dan instansi lain serta bangunan lain berjalan dengan ketegangan, bahkan ada juga yang terpaksa dengan kekerasan. Hal ini terbukti dengan adanya pertempuran lima hari di Semarang yang melibatkan seluruh rakyat. Pada masa revolusi, kereta api tidak kalah pentingnya sebagai alat transportasi, baik untuk kepentingan masyarakat maupun kebutuhan negara. Semua kegiatan kereta api melibatkan angkatan muda, tentara, dan polisi yang ada di lingkungan kereta api. Semua bekerja sama dengan tentara dan Badan Perjuangan. Tanpa adanya transportasi semua gerakan akan lambat. Dari sinilah para pegawai kereta api beserta Angkatan Muda Kereta Api memegang peranan penting menjalankan kereta api dalam kondisi yang sangat sulit (mengangkut beban di luar kemampuan, sehingga tidak mengherankan pada suatu ketika kereta api harus berhenti di jalan untuk mengisi bahan bakar dan minta bantuan bahan bakar dari masyarakat). Di samping itu, kereta api digunakan juga untuk mengangkut pasukan, baik di garis depan maupun belakang. Kereta api juga memiliki fungsi sebagai alat transportasi perundingan negara dan kebutuhan penting negara lainnya (pada waktu itu Yogyakarta sebagai ibukota Negara, kota sekitarnya seperti Magelang, Purwokerto, dan Surakarta dijadIkan Kantor Kementerian Kereta Api). Kesemuanya ini dimungkinkan lumpuh dan
mengingat transportasi lain dapat dikatakan
kereta api secara teknis mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
transportasi yang lain. Dengan satu tarikan mampu menarik beberapa formasi (barang dan manusia) yang relatif aman dan cepat. Di sinilah peranan Polisi Kereta Api dan AMKA
61
sangat besar untuk menjaga keamanan dan keberlangsungan kereta api dapat tetap terus berjalan. DAFTAR PUSTAKA “Banjir Darah di Kota Semarang Latihan Tepat Bagi Rakyat Semarang Untuk Menggempur Nica”. Kedaulatan Rakyat. Jogyakarta, 25 Oktober 1945. Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I (Bandung: Disjarah AD dan Angkasa, 1977), hlm. 352. Buku Kenang- Kenangan Perjuangan Rakyat Surakarta dari Zaman ke Zaman. Surakarta, 1974. C. Marpaung, Bingkisan Nasional Kenangan 10 Tahun Revolusi Indonesia 17-8-1945 – 17-8-1955. Djakarta: PT Upeni, 1955. Departemen Penerangan Republik Indonesia, Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah. Semarang, 1952. Dinas Sejarah Militer Kodam VII Diponegoro, Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya, Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII Diponegoro, 1977. Dokumen Sendam VII/Diponegoro No. 20/1. Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda. Djakarta: Pustaka Antara, 1952. Iriwidiati, Ichtisar Sejarah Nasional Indonesia (Awal-Sekarang). Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1971. Kusmin. “Riwajat Perdjuangan DKA.” Magelang. Naskah Ketik Manual. Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tirta Mas, 1970. Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang. “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang”. Semarang: Suara Merdeka, 1977. Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang, “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang”. Semarang: Suara Merdeka, 1977. P.P. Pesindo, “Perdjuangan Pemuda Revolusioner Indonesia”. Keadilan. Nomor Peringatan 17-8-1945 – 17-8-1946 Setahun Republik Indonesia no 8-9 Th. I. Purwantono, “Segi Koordinasi Pertempuran Lima Hari Semarang”. Buletin Yaperna No. 15 Th. III Juli 1976. Roesdi Santoso, Kereta Api Dari Masa ke Masa. Semarang: Biro Humas Exploitasi Tengah, 1982. 62
S. P. Pakoe Alam, Revolusi Pemoeda Satoe Tahoen Indonesia Merdeka, 1946. Santoso. “Merebut dan Mengisi Kemerdekaan”. Buletin Korpri Jawa Tengah. Agustus No. 106 Th. X. Sartono Kartodiredjo, Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976. Slamet Partoharjono, “Riwayat Perdjuangan AMKA Pada Pukulannya Rikuyu Sokyoku”. Kendal, Mei 1962. Naskah ketik manual. Sudarto, “Sekedar Riwayat Perdjuangan Pemuda-Pemuda Bengkel DKA Semarang Sejak Tanggal 17-8-1945”. Semarang: tanpa penerbit, 1962. Sukardiono, “Hampir Saja Proklamasi Itu di Rengas Dengklok”, Forum Pemuda, Juli 1982. Sulastro, “Bagaimana Paitnja Pendjadjahan ke Alam Merdeka”. Ambarawa, 18 Mei 1963, Naskah ketik manual. Sunardi, “Pengalaman Saya Selama Revolusi.” tanpa kota terbit: Gundhi, Naskah ketik manual, tanpa tahun terbit. Supangat, “Perjuangan Djawatan KA di Djawa Tengah.” Malang. Naskah ketik manual, 1962. Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Revolusi Nasional Indonesia Tahanan Revolusi Bersenjata, Djakarta, 1962. Sutandio, Riwayat, 17-8-1945 - 17-8-1949. Naskah ketik manual. Sutrisno Kutoyo, Sejarah Revolusi Kemerdekaan I 1945-1949 Jawa Tengah. Semarang: Departemen P dan K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1979/ 1980, 1983. T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai. Jakarta. Sinar Harapan, 1981.
Sumber Lisan: Wawancara dengan Judo Kusumo. Sala, 19 Agustus 1984. Wawancara dengan Judo Prawiro. Sala, 19 September 1984 Wawancara dengan Purnama. Semarang, 14 September 1984.
63
Wawancara dengan Purnomo. Semarang, 13 September 1984. Wawancara dengan Sakiran. Semarang, 16 September 1984. Wawancara dengan Subali. Semarang, 15 September 1984. Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 12 Agustus 1984 dan 11,12, dan 14 September 1984. Wawancara dengan Sutandar Somodipuro. Semarang, 12 September 1984. Wawancara dengan Wiryo Sukarman, Sala, 30 Agustus 1984.
64