Keairan
PENGALIHRAGAMAN HUJAN-ALIRAN DENGAN HAMPIRAN TERAGIH (272A) Mamok Suprapto Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta
[email protected]
ABSTRAK Pengalihragaman hujan menjadi aliran permukaan melalui suatu proses yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut disebabkan karena air hujan yang jatuh ke permukaan bumi berhadapan dengan banyak komponen yang beragam dalam jenis dan ukurannya. Untuk mendapatkan besaran debit aliran sungai dari suatu kejadian hujan, dalam kajian ini, permukaan bumi dipandang sebagai susunan grid bujursangkar. Aliran yang terjadi dari kejadian hujan merupakan akumulasi aliran dari seluruh grid. Setiap grid merupakan unit hidrologi terkecil yang unik. Setiap grid menerima hujan dan limpasan aliran permukaan dari grid di hulunya. Aliran permukaan dianggap sebagai aliran tipis yang mengalir di bidang datar, yang berinteraksi dengan kejadian hujan serta proses infiltrasi, sebelum aliran terkonsentrasi menjadi aliran pada saluran alam atau saluran buatan manusia. Waktu genangan diperkirakan berdasarkan persamaan Green-Ampt. Aliran permukaan selama kejadian hujan dan resapan, dianggap sebagai aliran tunak (steady flow). Bidang tinjau adalah per satuan panjang dan lebar grid. Model penelusuran aliran teragih (distributed flow routing) didasarkan pada persamaan diferensial parsial satu dimensi. Debit dan aras (level) muka air sebagai fungsi ruang dan waktu. Persamaan Saint-Venant untuk penelusuran teragih merupakan partial differential equation (PDE), yang diselesaikan secara numerik dengan metode karakteristik. Aliran yang dihasilkan dari simulasi model dikalibrasi dengan koefisien keseimbangan massa dan koefisien kalibrasi. Simulasi model ini memberikan hasil yang memuaskan karena dapat memberikan variasi debit jam-jaman, sesuai dengan satuan data hujan yang digunakan. Hasil simulasi model dikalibrasi dan diverifikasi berdasarkan data debit yang tersedia di lokasi kajian. Namun sangat disayangkan data debit yang tersedia di lapangan hanya tersedia data debit harian, sehingga hasil akhir dari kajian ini adalah debit harian. Kata kunci: pengalihragaman, hujan, aliran, teragih
1. LATAR BELAKANG Perubahan iklim (climate change) yang ditengarai sebagai dampak dari pemanasan global (global warming) telah berpengaruh terhadap kejadian hujan dan aliran. Perubahan awal musim penghujan dan kemarau telah mengalami perubahan. Pola agihan hujan (rainfall distribution) di beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang semula mengikuti pola Tadashi Tanimoto (Darmadi, 1990; Sobriah, 2003; Mamok Suprapto, 2009), pada tahun-tahun terakhir menunjukkan kecenderungan mengikuti pola ABM atau Segitiga. Perubahan pola agihan hujan berpengaruh terhadap pola aliran sungai dan sangat dimungkinkan berpengaruh terhadap debit puncak aliran sungai. Kondisi yang kurang menguntungkan akibat perubahan iklim diperparah dengan adanya penggundulan hutan di banyak tempat, yang tidak dibarengi dengan penanaman kembali (reforestion). Akibatnya, daya dukung DAS atas air menjadi menurun. Air hujan yang meresap ke bawah permukaan tanah lebih sedikit dari waktu sebelumnya. Pengurangan air resapan meningkatkan aliran permukaan yang pada akhirnya meningkatkan debit puncak aliran sungai. Perubahan pola hujan yang kemungkinan bersifat lokal dan perubahan penutup lahan dalam luasan yang beragam menarik untuk diteliti, khusunya terkait dengan pengalihragaman hujan menjadi aliran. Karena sifat kejadiannya yang lokal dan tersebar (scattered), maka diperlukan pendekatan teragih (distributed) (Fleming, 1975) yang berbeda cukup berarti (significant) dengan pendekatan lumped.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 191
Keairan
2. BAHAN DAN METODE Aliran Permukaan (Overland Flow) Air permukaan secara berkesinambungan berinteraksi dengan atmosfir dan sistem air bawah tanah. Chow dkk. (1988) menggunakan persamaan kontinuitas untuk memperkirakan besaran debit per satuan lebar dari overland flow, dan persamaan momentum untuk mendapatkan kecepatan aliran dari overland flow. Untuk membedakan aliran laminer atau turnulen digunakan angka Reynold. Overland flow merupakan pengalihragaman hujan menjadi aliran air di permukaan DAS dengan ketebalan tipis (sheet flow), yang selanjutnya aliran terkonsentrasi pada suatu alur air, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Aliran permukaan selama kejadian hujan i dan resapan f, sampai pada saat tertentu menjadi tunak (steady flow), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Bidang tinjau adalah per satuan lebar permukaan lahan, panjang L0, sudut kemiringan permukaan lahan terhadap bidang horisontal θ, dan kemiringan lahan S0 sebesar tan-θ. Intensitas hujan 1
1
q0
q0=V.y y
θ
Lc
V
S0 L
Q
Resapan, f Gambar 1. Aliran tunak seragam pada permukaan lahan
Chow dkk. (1988) menganggap aliran permukaan merupakan aliran seragam tunak (steady uniform flow), dengan jenis aliran laminer atau turbulen. Besaran debit per satuan lebar, q0, untuk aliran tunak dengan density aliran konstan diperkirakan berdasarkan hasil penjabaran persamaan kontinuitas dan momentum sesuai Persamaan 1. Bila panjang saluran adalah Lc, maka debit di saluran alam dapat diperkirakan dengan menggunakan Persamaan 2. (1) q 0 V . y i f Lc cos θ
Q q 0 Lc
(2) 2
3
dengan: q0=debit aliran permukaan per satuan lebar (L /T), Q=debit di saluran alam (L /T), V=kecepatan rerata aliran (L/T), y= ketebalan aliran (L), i=intensitas hujan (L/T), f=laju resapan (L/T), Lc=panjang lintasan aliran di permukaan (L), θ= sudut kemiringan lahan terhadap bidang horisontal (0)
Peresapan (infiltration) Kebanyakan cara untuk memperkirakan laju resapan air ke bawah permukaan tanah menggunakan asumsi bahwa air menggenang di permukaan tanah. Padahal, selama hujan air tergenang di permukaan jika intensitas hujan lebih besar daripada kapasitas infiltrasi tanah. Mein dan Larson memperkenalkan cara untuk menentukan waktu genangan berdasarkan persamaan Green-Ampt sebagai berikut. Pada tahap awal, laju resapan dihitung berdasarkan persamaan berikut: 2 ' θ 133 ft K (( 4 ) Ft
(3)
dengan: Ft=infiltrasi komulatif pada akhir waktu t (cm), = tinggi tekanan kapiler (cm), θ=perbedaan isi lengas tanah pada keadaan awal dan akhir, K= daya konduksi tanah (cm/jam), ft=laju resapan pada waktu t (cm/jam) Bila ft ≤ it maka terjadi genangan selama interval hujan dan kumulatif resapan pada akhir interval dapat dihitung dengan persamaan berikut: *F θ 5 (4) Ft t Ft Kt θ ln + t t 6 , Ft θ 7 dengan: t=interval waktu (jam) Bila ft > it maka kemungkinan tidak terjadi genangan sepanjang interval atau terjadi genangan yang dimulai dalam penggal interval. Pada keadaan seperti ini dihitung kumulatif resapan sementara (tentative) dan laju resapan sementara dengan menggunakan persamaan berikut:
Ft' t Ft it t
(5)
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 192
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
' ψ θ 2 13 f t' t K ( ( F' 3 ) t t 4
(6)
Bila f t t it maka tidak terjadi genangan sepanjang interval dan kumulatif resapan sama dengan kumulatif resapan sementara, yaitu: '
Ft t F 't t
(7)
Sebaliknya, genangan terjadi mulai dalam penggal interval. Pada keadaan ini terlebih dulu dihitung Fp (kumulatif resapan waktu genangan) dan t’ berdasarkan persamaan berikut: K ψ θ ; (it > K) (8) Fp it K t
F p Ft
(9)
it
dengan: Ft = Fp dan t = t -t’. Nilai-nilai porositas (η), porositas efektif (θe), tinggi tekanan kapiler (ψ), dan daya konduksi tanah (K) dapat diperkirakan berdasarkan parameter infiltrasi.
Kecepatan dan tebal aliran laminer seragam Aliran laminer terjadi selama Re≤2000. Pada sheet flow, proporsi lebar sangat besar bila dibandingkan dengan ketebalan aliran y, maka diasumsi R=y, dengan R adalah radius hydraulic. Persamaan-persamaan pada aliran laminer seragam adalah sebagai berikut.
Re
4VR , untuk sheet flow dengan asumsi nilai R=y, maka: v 4Vy 4q0 v v CL 96 108i 0, 4 Re
f
CL Re
' fq 2 2 y (( 0 33 ) 8 gS 0 4
V
(10) (11) (12)
1/ 3
(13)
gS 0 y 2 3v
(14)
dengan: Re = bilangan Reynold, R= jejari hidrolik (L), v = viskositas air (L2/T), CL = koefisien tahanan, g = gaya gravitasi (L/T2)
Kecepatan dan tebal aliran turbulen Bila aliran menjadi turbulen, faktor penghambat menjadi terbebas dari bilangan Reynold dan tergantung hanya pada kekasaran permukaan. Dalam hal ini, persamaan Manning (dalam satuan metrik) diterapkan untuk mendeskripsikan aliran.
' nq 2 0 3 y ( ( S 1/ 2 3 ) 0 4
3/ 5
1 2 / 3 1/ 2 R Sf n I L T & i i 1 Vi
V
(15) (16) (17)
R=y, maka Sf=S0, n=koefisien kekasaran Manning (L1/6), Sf=kemiringan bidang penghambat, S0=kemiringan lahan, y=ketebalan aliran (L), V=kecepatan aliran (L/T), T=travel time (T)
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 193
Keairan
Aliran di alur sungai (channel flow) Channel flow merupakan bentuk utama dari aliran air permukaan, dan merupakan akumulasi dari aliran permukaan dan aliran bawah permukaan. Aliran bawah permukaan umumnya diasumsi dan selanjutnya dilakukan kalibrasi untuk mendekati harga yang sesungguhnya. Bila aliran di saluran alam dipandang sebagai aliran seragam (uniform flow), maka besarannya dapat diperkirakan berdasarkan persamaan empiris Manning.
Penelusuran aliran Untuk keperluan praktis, variasi spasial pada kecepatan di penampang melintang dan kedalaman aliran diabaikan, sehingga proses aliran didekati hanya dengan satu dimensi ruang, yaitu sepanjang saluran atau arah aliran seperti yang dikembangkan oleh Barre de Saint Venant (Chow dkk., 1988). Pada awalnya, persamaan Saint-Venant hanya digunakan untuk penelusuran aliran di saluran alam. Dalam perkembangannya, persamaan tersebut dapat digunakan untuk penelusuran aliran permukaan dan memberikan hasil yang cukup baik (Chow dkk., 1988). Atas dasar pernyataan tersebut maka penelitian ini menggunakan cara Saint-Venant karena alasan kemudahan dalam penyelesaiannya. Persamaan Saint-Venant untuk penelusuran teragih merupakan partial differential equation, yang secara umum diselesaikan dengan cara numerik. Metode penyelesaian partial differential equation diklasifikasikan sebagai direct numerical methods dan characteristics methods. Persamaan Saint-Venant diselesaikan dengan metode karakteristik, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: * nP 2 / 3 5 α + 6 ,+ S 0 76
0.6
(18)
qij11 qij1 2 β 1 * t ' Q j Qi j 1 2 ' q j 1 qij1 25 33 t (( i 1 336 + Qi j 1 αβ Qi j1 (( i 1 x 2 2 + ) 4 ) 467 Qi j11 , β 1 j j 1 * t ' Q Qi 2 5 33 6 + αβ (( i 1 2 +, x ) 4 67 q#
(19)
(20)
dengan: q = aliran masuk lateral (L2/T), Q = debit aliran (L3/T), β = koefisien momentum atau koefissien Boussinesq, β = 1,01-1,33, t = interval waktu (T), x = interval jarak (L), n = koefisien kekasaran Manning untuk permukaan lahan, α = kecepatan aliran di grid, P = keliling basah (L), So = kemiringan dasar aliran, i = step jarak, j = step waktu
Model dikembangkan Model yang dikembangkan merupakan model semi teragih (semi distributed model), dengan DAS atau Sub DAS dibagi dalam grid. Grid terbentuk dari garis-garis horisontal dan vertikal dengan arah garis Utara-Selatan dan TimurBarat. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 2.
Gambar 2. Konsep DAS dalam susunan grid setiap grid adalah unik, karena memiliki identitas masing-masing. untuk kemudahan dalam proses analisis, setiap grid memiliki nomor berdasarkan posisi baris dan kolomnya. Setelah penyusunan dan penyederhanaan grid dilakukan, data fisik DAS, data hujan, dan data debit disusun dalam bentuk tabel. Tabel dirancang sedemikian rupa dengan format tetap agar terbaca oleh program. Sistem indeks diperlukan dalam tabulasi untuk memudahkan pembacaan oleh komputer, Contoh tabulasi data ditunjukkan dalam Tabel 1. Bila digunakan teks untuk menetapkan jenis tanah sebagai input, kemungkinan terjadi kesalahan sangat besar. Untuk menghindari kesalahan tersebut digunakan indeks. Angka ID hanya untuk membedakan jenis satu dengan jenis yang lain. Hasil model berupa aliran permukaan dalam satuan jam atau harian, sesuai dengan satuan data hujan yang digunakan, berupa tabel atau grafik. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 194
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Tabel 1. Indeks parameter Jenis tanah ID-JT Jenis penggunaan lahan ID-PL Slope lahan ID-KL Clay 1 Air tawar 1 4% 1 Sandy Clay 2 Belukar/Semak 2 11.50% 2 Sand 3 Gedung 3 20% 3 Sandy Loam 4 Hutan 4 32.50% 4 Silty Clay 5 Kebun 5 >40% 5 Keterangan: ID-JT = id jenis tanah, ID ID-PL = id penggunaan lahan, ID-KL= = id kemiringan lahan Uji model Untuk membandingkan hidrograf hasil model dengan hidrograf hasil pengamatan dapat digunakan indeks goodnessof-fit.. Ada 4 (empat) fungsi obyektif yang dapat digunakan dalam proses pembandingan ini ((Gupta dan Sorooshian, 1995; US Army Corps of Engineers, 20 2000), yaitu: a. Sum of absolute errors. Fungsi ini membandingkan semua ordinat hidrograf hasil model dengan ordinat hidrograf pengamatan. Secara implisit, fungsi ini mengukur kecocokan nilai puncak, volume, dan waktu mencapai puncak pada dua hidrograf yang di dibandingkan. bandingkan. Bila nilai fungsi ini sama dengan nol, maka model dinyatakan sempurna. b. Sum of squared residuals. Fungsi ini umum digunakan dalam kalibrasi model. Fungsi ini juga membandingkan seluruh ordinat hidrograf hasil model dengan ordinat hidrograf penga pengamatan. Secara implisit, fungsi ini mengukur kecocokan nilai puncak, volume, dan waktu mencapai puncak pada dua hidrograf yang dibandingkan. Bila nilai fungsi ini sama dengan nol, maka model dinyatakan sempurna. c. Percent error in peak. Fungsi ini hanya memba membandingkan ndingkan puncak hidrograf hasil model dengan puncak hidrograf pengamatan. Fungsi ini tidak merefleksikan kesalahan dalam volume atau waktu kejadian puncak. Bila nilai fungsi ini sama dengan nol, maka model dinyatakan sempurna. d. Peak-weighted root mean square error error.. Fungsi ini membandingkan semua ordinat hidrograf hasil model dengan ordinat hidrograf pengamatan. Secara implisit, fungsi ini mengukur kecocokan nilai puncak, volume, dan waktu mencapai puncak pada dua hidrograf yang dibandingkan. Bila nilai fungsi ini sama dengan nol, maka model dinyatakan sempurna. Darmadi (1990) menggunakan dua fungsi untuk membandingkan hidrograf hasil model dengan hidrograf hasil pengamatan, yaitu koefisien kalibrasi ((calibration coeffisient)) dan koefisien keseimbangan ma massa (mass balance). Cara ini lebih cocok untuk digunakan dalam kajian ini karena memberikan arah tahapan dalam kalibrasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Model yang telah tersusun diujicobakan pada Sub DAS Citandang, anak sungai Pemali. Susunan grid Sub DAS Citandang disajikan dalam Gambar 3. Masing Masing-masing masing grid memiliki nomor sebagai identitas grid. Sub DAS dibedakan wilayah kiri dan kanan sungai, searah aliran. Contoh sebagian informasi pada tiap grid disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Gambar 3. Susunan grid sub DAS Citandang
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24 24-26 Oktober 2013
A - 195
Keairan
No Urut 1 2 3
No Urut 1 2
3
No Grid 42.30 42.29 43.30 43.29 44.30 44.29 44.28
Tabel 2. Informasi grid pada Sub DAS Citandang-Kiri Koordinat TB Grid (m) ID ID ID P. Lhn Lereng Tanah X Y 266.134 9.209.672 5 5 5 266.134 9.209.172 4 5 5 266.634 9.209.672 5 5 5 266.634 9.209.172 5 5 5 267.134 9.209.672 2 5 5 267.134 9.209.172 5 5 5 267.134 9.208.672 4 5 5
Luas (m2) 250.000 250.000 250.000 250.000 250.000 250.000 250.000
No Grid 43.27 43.28 44.25 44.26 44.27 45.25
Tabel 3. Informasi grid pada Sub DAS Citandang-Kanan Koordinat TB Grid (m) ID ID ID P. Lhn Lereng Tanah X Y 266.634 9.208.172 4 5 5 266.634 9.208.672 4 5 5 267.134 9.207.172 4 5 5 267.134 9.207.672 4 5 5 267.134 9.208.172 4 5 5 267.634 9.207.172 11 5 5
Luas (m) 250.000 250.000 250.000 250.000 250.000 250.000
Hujan rerata grid Hujan rerata grid adalah hujan yang dipandang jatuh secara merata pada satu luasan grid berdasarkan kaidah Thiessen, yaitu hujan yang jatuh pada suatu titik dalam DAS sama dengan hujan yang tercatat pada stasiun terdekat. Bila ternyata pada stasiun terdekat tidak terdapat data hujan, maka hujan disamakan dengan data hujan pada stasiun terdekat urutan kedua. Uji model menggunakan data hujan harian bulan April 2002. Gambar 4. menunjukkan hietograf dari hujan harian yang digunakan pada Sub DAS Citandang selama bulan April tahun 2002, yaitu data hujan yang tercatat pada stasiun Bantarkawung dan stasiun Ciseureh. Semua data yang digunakan dalam keadaan asli dan lengkap, tanpa ada pengisian data kosong/hilang, dan telah melalui proses uji. Identitas stasiun hujan yang diperoleh dari lapangan menggunakan nama stasiun dan nomor stasiun yang ditulis dalam bentuk campuran string dan numerik, sehingga penomoran perlu dimodifikasi dan hanya absah digunakan dalam kajian ini. Pola agihan hujan Pola agihan hujan jam-jaman dijabarkan dari data hujan yang berasal dari stasiun hujan otomatik Malahayu. Hasil analisis memberikan nilai rerata lama hujan yaitu sebesar 3,67 jam, dibulatkan menjadi 4,00 jam. Agihan hujan hasil analisis ditunjukan pada Tabel 4. Gambar 5 menunjukkan bahwa agihan hujan memiliki pola lengkung dengan kejadian puncak berada pada jam pertama dan menurun pada jam-jam berikutnya. Hujan Sta. B.Kawung dan Sta Ciseureuh April 2002 100 90 80
B.Kawung
Ciseureuh
mm
70 60 50 40 30 20 10 0 1
7
13
19
25 Hari (Tanggal)
Gambar 4. Hujan harian grid Sub DAS Citandang Tabel 4. Pola agihan hujan Sub DAS NB Waktu, T (jam) 1 2 3 4 Kumulatif %T 25,00 50,00 75,00 100,00 %P 41,82 30,32 17,83 10,03 Kumulatif %P 41,82 72,14 89,97 100,00
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 196
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Agihan Hujan Jam-jaman 50
41.82
Hujan (mm)
40
30.32
30 17.83
20
10.03 10 0 1
2
3
4
Waktu (jam)
Gambar 5. Pola agihan hujan jam-jaman Sub DAS NB Excess rainfall dan overland flow low Excess rainfall diperoleh dari analisis resapan metode Green Amp. Excess rainfall merupakan selisih antara kumulatif hujan dan kumulatif resapan, besarnya tergantung pada kedalaman hujan dan kapasitas resapan pada saat ). Oleh karena itu, pengamatan resapan dengan itu (time variant)) serta karakter fisik permukaan lahan ((space variant). penggal enggal waktu pendek pada luasan yang relatif kecil diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Mengingat proses laju resapan umumnya terjadi dalam kurun waktu beberapa jam saja, maka satuan penggal waktu yang engan satuan penggal waktu adalah jam diharapkan perubahan lengkung digunakan dalam kajian ini adalah jam. D Dengan laju resapan, kumulatif resapan, dan besaran hujan lebih ((excess rainfall)) dapat lebih dicermati. Resapan dihitung pada luasan terkecil yaitu pada setiap grid. Dari hasil analisis menunjukkan kan bahwa pada hujan yang sama terdapat perbedaan kedalaman hujan lebih pada setiap grid yang memiliki karakter fisik berbeda. Dengan demikian, aliran permukaan yang dihasilkan menjadi lebih ahaman terhadap parameter DAS secara rinci beragam. Hasil ini memperkuat pernyataan pentingnya melakukan pem pemahaman agar dapat menyadarkan seluruh pengguna air akan pentingnya pemeliharaan DAS. Gambar 6 adalah ilustrasi besaran excess rainfall pada Sub DAS Citandang Kiri dan Kanan selama bulan April 2002.
Gambar 6. Excess rainfall di Sub DAS Citandang Kiri 5.6.2. OVERLAND FLOW Excess rainfal merupakan hujan yang berpotensi menjadi aliran. Hasil perhitungan overland flow untuk Sub DAS Citandang Kiri d an Kanan ditunjukkan dalam Gambar 7. Overland flow , Citandang Kanan, April 2002, Grid
Overland flow , Citandang Kiri, April 2002, Grid 70000
60000
50000
cm2 / jam
40000
30000
20000
10000
0 1
121
241
361
481
601
25000
Qof Grid 1.1 Qof Grid 1.2 Qof Grid 2.1 Qof Grid 2.2 Qof Grid 2.3 Qof Grid 3.1
20000
Qof Grid 4.1 Qof Grid 4.2 Qof Grid 5.1 Qof Grid 6.1 Qof Grid 7.1
15000
Qof Grid 7.2 Qof Grid 7.3
cm2 / jam
Qof Grid 1.1 Qof Grid 1.2 Qof Grid 2.1 Qof Grid 2.2 Qof Grid 3.1 Qof Grid 3.2 Qof Grid 3.3 Qof Grid 4.1 Qof Grid 4.2 Qof Grid 4.3 Qof Grid 4.4 Qof Grid 4.5 Qof Grid 5.1 Qof Grid 5.2 Qof Grid 5.3 Qof Grid 5.4 Qof Grid 5.5 Qof Grid 6.1 Qof Grid 6.2 Qof Grid 6.3 Qof Grid 6.4 Qof Grid 6.5 Qof Grid 6.6 Qof Grid 7.1 Qof Grid 7.2 Qof Grid 7.3 Qof Grid 7.4 Qof Grid 7.5 Qof Grid 7.6 Qof Grid 8.1 Qof Grid 9.1 Qof Grid 10.1 Qof Grid 11.1 Qof Grid 12.1 Qof Grid 12.2 Qof Grid 13.1
Qof Grid 8.1 Qof Grid 8.2 Qof Grid 9.1 Qof Grid 9.2
10000
Qof Grid 10.1 Qof Grid 10.2 Qof Grid 11.1 Qof Grid 11.2 Qof Grid 12.1
5000
Qof Grid 12.2 Qof Grid 12.3 Qof Grid 13.1 Qof Grid 13.2 Qof Grid 13.3
0 1
121
241
361
481
601
Jam
Jam
Keterangan: Qof Grid 1.1 = overland and flow pada grid kolom-1, baris-1, Qof Grid 1.2 = overland flow pada grid kolom-1, baris-2 dan seterusnya. Gambar 77. Overland flow Sub DAS Citandang Kiri dan Kanan 5.7. Penelusuran Aliran DAS Overland flow mengalir dari titik terjauh dalam DAS menuju sungai. Dalam alirannya, overland flow melintasi dibagi-bagi dalam beragam keadaan fisik DAS. Agar respon dari keragaman karakter fisik DAS dapat diamati, DAS dibagi akter fisik dalam satu grid menjadi sama, tetapi karakter fisik bentuk grid dengan ukuran sama. Dengan demikian kar karakter antar grid sangat mungkin berbeda. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24 24-26 Oktober 2013
A - 197
Keairan
Perbedaan karakter fisik tiap grid secara teoritis menghasilkan overland flow yang berbeda. Perbedaan karakter fisik grid juga berpengaruh terhadap laju aliran yang ditelusuri dengan cara Saint-Venant. Karakter fisik DAS dalam teori Saint-Venant diwakili oleh peubah yang merupakan fungsi dari koefisien kekasaran permukaan DAS, kemiringan DAS, dan radius hidrolika. Hasil penelusuran overland flow seperti yang ditampilkan pada Gambar 8. Q routing overland flow , Citandang Kiri, April 2002, Grid
Q routing overland flow , Citandang Kanan, April 2002, Grid
0.90
0.35
Qrout Kol 1 0.80
Qrout Kol 2
0.50
Qrout Kol 6
Qrout Kol 5
Qrout Kol 7 0.40
Qrout Kol 8
0.30
Qrout Kol 9 Qrout Kol 10
0.20
Qrout Kol 4
0.25 m3 / dt
m3 / dt
Qrout Kol 5
Qrout Kol 2 Qrout Kol 3
Qrout Kol 4 0.60
Qrout Kol 1
0.30
Qrout Kol 3
0.70
0.20
Qrout Kol 6 Qrout Kol 7
0.15
Qrout Kol 8 Qrout Kol 9
0.10
Qrout Kol 10
Qrout Kol 11 Qrout Kol 12
0.10
Qrout Kol 13 1
121
241
361
481
Qrout Kol 11
0.05
Qrout Kol 12 Qrout Kol 13
1
601
121
241
361
481
601
Jam
Jam
Gambar 8. Routing overland flow, Sub DAS Citandang Kiri dan Kanan 5.8. Penelusuran Channel Flow Hasil routing overland flow merupakan lateral flow pada aliran anak sungai. Aliran dari kolom paling hulu merupakan inflow dan aliran dari kolom di hilirnya merupakan lateral flow. Karena posisi kolom grid kiri dan kanan sungai persis sama, maka hasil routing overland flow dari kiri dan kanan sungai dapat dijumlahkan. Jarak lateral flow satu dengan yang lainnya pada ruas sungai yang lurus adalah 500 m, sesuai ukuran lebar grid. Bila sungai berkelok dan sesuai kesepakatan awal yakni alur sungai disesuaikan dengan garis-garis grid, maka jarak lateral flow kemungkinan merupakan kelipatan dari 500 m. Lateral flow ini merupakan aliran per satuan lebar dan memiliki satuan dalam cm2/jam. Teori yang digunakan dalam penelusuran di saluran adalah sama dengan yang digunakan pada penelusuran pada DAS, yaitu teori Saint-Venant. Perbedaan utama dengan yang digunakan pada penelusuran DAS adalah pada besaran koefisien kekasaran Manning yang digunakan. Bila pada penelusuran DAS digunakan koefisien kekasaran permukaan DAS, maka pada penelusuran sungai digunakan koefisien kekasaran dasar sungai. Gambar 9 menunjukkan hasil routing aliran di sungai Cintandang. Q routing channel flow , Citandang, April 2002, Grid 1.40
Qrout KolKi 1 Qrout KolKi 2 Qrout KolKi 3 Qrout KolKi 4 Qrout KolKi 5
1.20
Qrout KolKi 6 Qrout KolKi 7 Qrout KolKi 8
1.00
Qrout KolKi 9 Qrout KolKi 10 Qrout KolKi 11 Qrout KolKi 12 Qrout KolKi 13
m3 / dt
0.80
Qrout KolKi 14 Qrout KolKa 1 Qrout KolKa 2
0.60
Qrout KolKa 3 Qrout KolKa 4 Qrout KolKa 5 Qrout KolKa 6 Qrout KolKa 7
0.40
Qrout KolKa 8 Qrout KolKa 9 Qrout KolKa 10
0.20
Qrout KolKa 11 Qrout KolKa 12 Qrout KolKa 13 Qrout KolKa 14
1
121
241
361
481
601
Jam
Gambar 9. Routing channel flow, Citandang
4. KESIMPULAN Model pengalihragaman hujan-aliran dengan hampiran teragih yang telah dikembangkan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Aliran yang dihasilkan dapat berupa aliran jam-jaman maupun satuan waktu yang lebih lama. Model juga dapat digunakan untuk lebih dari satu DAS dalam waktu yang bersamaan dengan ukuran grid yang fleksibel. Model masih memiliki kelemahan karena grid harus disusun dengan perangkat lunak lain (GIS) dan kalibrasi yang diterapkan masih manual.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 198
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
DAFTAR PUSTAKA Chow, V.T., Maidment, D.R., dan Mays, L.W., 1988, Applied Hydrology, Mcgraw Hill, New York. Darmadi, 1990, Analisis Hidrograf Satuan Berdasarkan Parameter Fisik DAS, Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Fleming, G., 1975, Computer Simulation Techniques In Hydrology, Elsevier, New York. Gupta, V. dan Sorooshian, S. 1995, Model Calibration, Computer Model of Watershed Hydrology, Editor Singh, V.P., Water Resources Publications, Colorado, h. 23-68. Sobriah, 2003, Pengembangan Model Perkiraan Banjir Daerah Aliran Sungai Besar Dari Sintesa Beberapa Persamaan Terpilih, Disertasi Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta. US Army Corps Of Engineers, 2000, Hydrologic Modeling System, HEC-HMS, Technical Reference, Washington DC.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 199