PENGAJARAN REMEDIAL SEBUAH UPAYA PENINGKATAN PENDIDIKAN NON FORMAL Nanang Abdillah1 Abstrak Pengajaran remedial merupakan suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan membantu anak didik untuk mengusai materi pembelajaran yang dirasakan belum cukup dikuasai. Kebutuhan akan pengajaran remedial ini, bukan hanya bagi calon peserta tes masuk perguruan tinggi saja, melainkan juga para siswa, mahasiswa, bukan para sarjana yang “belum siap pakai”. Mengingat para jasa pengajaran remedial cukup luas, tulisan ini mencoba memaparkan ruang gerak pengajaran remedial, langkah-langkah pengembangan serta fungsi-fungsinya dalam dunia pendidikan Kata kunci: Bimbingan tes, tehnik bimbingan, pengajaran remedial PENDAHULUAN Masalah “bimbingan tes” ramai dibicarakan orang dalam masyarakat yang intinya adalah mempertanyakan kembali kegunaan lembaga-lembaga yang selama ini giat menyelenggarakan bimbingan tes untuk para calon peserta dengan berbagai tes, baik tingkat SD, SLTP, SLTA dan bahkan tes untuk masuk perguruan tinggi. Ada pihak-pihak yang menyokong kehadiran lembaga-lembaga bimbingan tes tersebut, tetapi ada pula pihak-pihak yang menolaknya. Pihak-pihak yang mendukung berpendapat, bahwa lembaga bimbingan tes secara umum telah memberikan suatu jasa yang memang diperlukan oleh masyarakat. Sebaliknya, pihak-pihak yang menolak berpendapat, bahwa lembagalembaga tersebut pada umumnya tidak berhasil memperbaiki secara berarti penguasaan para peserta terhadap materi kurikulum yang mereka 1
Dosen STAI AL AZHAR Menganti Gresik
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 lakukan hanyalah sekedar menambah ketrampilan menempuh tes hasil belajar. Yang disajikan dalam bentuk tes obyektif (obyektif type test). Untuk jasa-jasa yang dipandang telative remeh ini, lembaga-lembaga bimbingan tes tersebut dianggap telah meminta bayaran yang terlampau tinggi. Jadi telah terjadi suatu gejala “komersialisasi” yang tidak sehat dalam lembaga-lembaga yang berprestasi memberikan pelayanan pedagogis atau pelayanan didaktis kepada masyarakat. Mana yang benar diantara kedua pandangan tersebut? Adalah sebuah pertanyaan, yang siapapun tidak akan dapat memberikan jawaban umum dan benar terhadap persoalan ini. Diduga bahwa ada lembagalembaga bimbingan tes yang memang telah berusaha secara sungguhsungguh memberikan pelayanan pedagogis kepada masyarakat, yaitu memperbaiki materi tertentu yang telah ditetapkan dalam kurikulum yang berlaku, dan menanamkan sikap yang sehat terhadap proses belajar itu sendiri melalui program-program yang bertujuan memberikan ketrampilan-ketrampilan belajar (learning skills). Adapula lembagalembaga bimbingan tes yang secara sungguh-sungguh telah berusaha memberikan pelayanan terbatas, yaitu ‘pelayanan didaktis’ semata-mata. Program-programnya bertujuan memperbaiki penguasaan para peserta terhadap materi pelajaran saja, tanpa program-program bimbingan untuk menguasai teknik-teknik atau keterampilan-ketrampilan belajar (misalnya teknik ‘membaca cepat’ atau rapid reading), dan juga tanpa usaha-usaha untuk membina sikap yang sehat terhadap kegiatan belajar itu sendiri (misalnya memupuk rasa ingin tahu atau curiosity yang sehat ). Akhirnya, mungkin ada pula lembaga-lembaga bimbingan tes yang didirikan tanpa pemahaman yang cukup mendalam tentang apa yang seharusnya terjadi dalam kegiatan bimbingan tes itu sendiri. Para pengasuhnya kurang memahami ciri-ciri umum para peserta, kurang memahami struktur atau komposisi materi yang lazim terhadap dalam tes-tes masuk perguruan tinggi, dan kurang pula memahami kebiasaan belajar (learning habits) apa saja yang terdapat pada para pesertanya. Kondisi ini menyebabkan mereka kurang menguasai materi pelajaran yang mereka ikuti selama ini. Lembaga-lembaga bimbingan tes semacam ini mungkin selama ini telah bekerja secara “amatir” (amateuristic) dan kurang “Profesional”. Lembaga-lembaga jenis terakhir inilah yang menimbulkan sikap kontra di sementara kalangan masyarakat. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperpanjang debat tentang bimbingan tes ini dengan kesan-kesan dan pandangan yang negatif semata-mata. Apa yang ingin dilakukan disini adalah membentangkan suatu bidang pelayanan yang dapat dijadikan sebagai
60
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … suatu platform, suatu karangan untuk mengarahkan perkembangan lembaga-lembaga bimbingan tes di kemudian hari. Platform atau kerangka ini ialah pengajaran remedial (remedial teaching yang dalam bahasa Arab disebut ta’liim ilajii), yaitu suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan membantu anak didik untuk menguasai suatu materi pelajaran yang telah diberikan selama waktu yang telah ditentukan satu bulan, satu kuartal, satu semester, dan seterusnya. PENGAJARAN REMEDIAL SEBAGAI PLATFORM PENGEMBANGAN Pada mulanya istilah “pengajaran remedial” atau remedial teaching ini mempunyai konotasi yang negative. Kata Inggris remedy berarti menyembuhkan (Echols:1984). Jadi istilah “pengajaran remedial” pada mulanya berarti kegiatan mengajar untuk menyembuhkan seorang atau sejumlah anak didik dari suatu penyakit (Ali: 1981). Dalam kehidupan pendidikan di sekolah, “penyakit” ini dapat muncul dalam berbagai bentuk tidak menguasai matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan sebagainya. Gejala terbelakangan dalam penguasaan berbagai mata pelajaran ini dipandang sebagai “penyakit”, karena ada anggapan dasar bahwa setiap susunan materi tertentu secara “normal” harus dapat dikuasai dalam satuan waktu yang telah ditentukan. Mereka yang tidak dapat menguasai materi dalam waktu yang telah ditentukan adalah “tidak normal” atau “sakit” dan perlu “disembuhkan”. Untuk itu harus dipergunakan teknik pengajaran tertentu. Tidak mungkin “proses penyembuhan” ini dicapai secara baik melalui teknik pengajaran “normal”, teknik pengajaran klasikal yang lazim dipergunakan untuk kelompok anak didik “normal”. Kalau berbagai “penyakit” tadi tidak disembuhkan, maka penguasaan materi-materi pelajaran yang lebih lanjut atau lebih tinggi tidak akan pernah tercapai. Dewasa ini konsep “pengajaran remedial” sudah berkembang menjadi lebih luas. Dan konotasi negatif seperti yang tersirat dari uraian di atas tidak ada lagi. Sekarang sudah dapat diterima pandangan, tanpa pengajaran remedial tidak hanya diperlukan oleh kelompok anak didik yang ‘sakit’ saja; kelompok anak didik yang “normal” pun dapat saja memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Pandangan ini timbul berdasarkan pendapat, bahwa kegagalan menguasai suatu susunan materi pelajaran dalam jangka waktu tertentu tidak hanya disebabkan oleh kelemahan pihak pengajar atau kelemahan dalam program pelajaran itu sendiri (Wayan:1986).
61
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 Para peserta bimbingan test pada umumnya adalah anak didik yang merasa penguasaan mereka terhadap materi pelajaran yang ditempuhnya belum cukup sempurna. Mereka ikut bimbingan test untuk lebih memantapkan penguasaan terhadap materi pelajaran mereka. Ini merupakan suatu hal yang cukup disadari oleh para penyelenggara bimbingan tes. Berdasarkan situasi umumini agaknya dapat dikatakan bahwa disadari atau tidak, para penyelenggara bimbingan test selama ini telah melaksanakan program pengajaran remedial bagi para peserta. Mereka telah berusaha membantu para anak didik memantapkan penguasaan mereka terhadap materi pelajaran yang terletak di balik soalsoal ujian yang muncul dalam tes-tes, baik Cawu, EBTA, EBTANAS, maupun tes saringan untuk masuk perguruan tinggi, atau melamar pekerjaan. Ini merupakan kegiatan remedial, karena materi pelajaran tersebut pada umumnya pernah dijumpai oleh para peserta bimbingan tes di sekolah mereka masing-masing. Hanya saja karena alasan-alasan yang umumnya tidak dijumpai-dan juga kurang diusahakan untuk diketahuimateri pelajaran yang oleh sebagian terbesar peserta bimbingan tes tadi pernah “dilihat”, di “kenal” atau di “dengar”, tidak dikuasai secara baik. Jika lembaga-lembaga bimbingan tes dilihat atas dasar platform ini, maka perspektif persoalan yang dihadapi akan menjadi lain. Persoalannya yang dihadapi akan menjadi lain. Persoalannya tidak lagi, apakah lembaga-lembaga tes ini “diperlukan oleh masyarakat” tetapi “apakah yang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga tadi agar mereka dapat melaksanakan fungsi pengajaran remedial dengan sebaik-baiknya dimasa-masa mendatang”?. Inilah sebuah persoalan yang harus dipikirkan dalam hubungan dengan lembaga-lembaga penyelenggara kegiatan bimbingan tes dimasyarakat. Tampaknya kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang baik dalam bidang pengajaran remedial akan tetap terasa pada waktu-waktu mendatang. Selama mutu pelayanan pendidikan yang disajikan oleh sekolah-sekolah masih tetap seperti sekarang, niscaya pelayanan dalam bidang pelajaran remedial akan tetap ada. Meskipun para calon peserta tes masuk perguruan tinggi merupakan kelompok terbesar yang memerlukan bantuan pengajaran remedial, kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa banyak siswa SD, SLTP, SLTA, dan tidak sedikit para mahasiswa di perguruan tinggi juga memerlukan pelayanan remedial dalam bidang tertentu, seperti bahasa (asing), matematika, mengarang (menulis karya ilmiah), dan teknik membaca. Bahkan banyak sarjana lulusan perguruan tinggi pun merasa kebutuhan akan pelayanan remedial ini. Para lulusan perguruan tinggi yang baru memulai jenjang
62
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … karir, sering merasa bahwa apa yang mereka peroleh selama belajar di perguruan tinggi belum merupakan bekal yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka (Nainggolan: 1983). BENTUK-BENTUK PENGAJARAN REMEDIAL Dalam sejarah persekolahan di Indonesia, bentuk yang paling klasik dari pengajaran remedial ialah “les privat” (privat les) (Tatang: 1993). Dalam bentuk kegiatan ini, murid yang tertinggal dari temanteman sekelasnya dalam mata pelajaran tertentu, minta pertolongan seorang guru untuk “belajar ekstra” di luar jam-jam sekolah dengan imbalan tertentu. Dalam pertemuan-pertemuan “les privat” ini materi pelajaran yang tidak difahami murid di sekolah diulang kembali disajikan dengan tempo yang lebih lambat (sesuai dengan kecepatan berfikir anak), dan dengan perhatian yang besar terhadap kesukaran-kesukaran yang dialami murid dalam usahanya untuk memahami materi tadi. Lazimnya guru pemberi les privat bersikap lebih sabar dan ramah terhadap muridmurid yang dihadapinya. Jadi pada dasarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara proses mengajar dalam les privat dengan proses mengajar kelas biasa. Dapat dikatakan, proses mengajar dalam tatanan les privat ini merupakan cara mengajar klasikal yang diindividualisasikan (Tatang: 1993). Umumnya murid-murid yang dapat memperoleh pelayanan remedial dalam bentuk les privat adalah dari golongan orang tua yang cukup mampu. Untuk murid-murid yang kurang mampu mengikuti apa yang dahulu disebut “les semi privat”(semi privat les). Dalam sistem ini beberapa orang anak tiga atau empat bersama-sama memperoleh pelajaran tambahan dari seorang guru. Biaya ditanggung bersama-sama. Sistem mengajar yang dipergunakan dalam “les semi privat” ini tidak berbeda dari sistem mengajar untuk “les privat”. LANGKAH-LANGKAH DALAM PENGAJARAN REMEDIAL Setelah beberapa lama diselenggarakan dalam bentuk-bentuk yang sederhana, pengajaran remedial berhasil berkembang dalam bentukbentuk yang cukup halus dan canggih (sophisticated). Pengajaran remedial dalam sejumlah ketrampilan dasar seperti membaca, kemampuan berbicara (speech), berhitung dan matematika misalnya, sekarang ini sudah disajikan dalam bentuk-bentuk yang cukup maju, dan untuk melaksanakannya dengan baik, dibutuhkan penguasaan teknikteknik tertentu.
63
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 Dalam praktek pengajaran remedial, pada dasarnya adalah kegiatan memahami kelemahan anak melalui analisa terhadap kesalahankesalahan yang telah dibuatnya. Untuk ini cara yang paling sederhana dan paling langsung ialah mengumpulkan sejumlah contoh pekerjaan anak pada masa lalu, mengumpulkan kesalahan-kesalahan yang terdapat didalamnya, kemudian melalui telaah yang sistematis terhadap kesalahan-kesalahan tersebut, menyusun gambaran tentang kesalahankesalahan tersebut. Disamping mengungkapkan sebab-sebab, diagnosis yang baik juga akan dapat menggambarkan tipe-tipe kelemahan yang terhadap pada seorang anak. Misalnya kepada kelemahan-kelemahan yang bersifat “fundamental”, yaitu kurangnya penguasaan anak didik terhadap sendi-sendi yang terdapat dalam suatu susunan materi pelajaran. Adapula kelemahan yang bersifat subtansial “factual”, yaitu kurang lengkapnya pengetahuan anak didik mengenai subtansi dan fakta-fakta yang berhubungan dengan atau merupakan bagian dari suatu program pelajaran. Dapat pula terjadi, bahwa kelemahan seorang anak didik bersifat ‘operasional’ artinya memiliki pengetahuan factual yang cukup banyak, tetapi tidak mengetahui cara-cara untuk “mengoperasikan” pengetahuannya dan tidak menguasai teknik-teknik menata atau meramu bagian-bagian tertentu dari pengetahuannya tadi menjadi suatu bangunan konseptual (conceptual construct) yang sedang dihadapi. Jenis diagnosis yang diuraikan di atas dapat disebut dengan istilah “diagnosis didaktis” kalau ingin lebih lagi, disamping didaktis tadi, dilakukan pula “diagnosis psikologia” melalui diagnosis ini diusahakan memperoleh gambaran mengenai kondisi mental anak didik yang diperkirakan menjadi penyebab kelemahan atau keterbelakangannya dalam bidang pelajaran tertentu. Salah satu gejala umumnya misalnya, adalah rasa takut anak terhadap guru rasa takut semacam ini pada umumnya sangat mengganggu, menghalang-halangi tumbuhnya proses belajar yang efektif. Akibatnya selanjutnya setiap bagian dari materi pelajaran yang diajarkan oleh sang guru yang ditakuti tadi dirasakan sebagai berbeban mental intelektual yang harus dipikulnya, bukan sebagai alat intelektual (intellectual tool) yang berguna bagi hidupnya. Gejala lain yang sering terungkapkan melalui diagnosis psikologis ini ialah tidak adanya suasana belajar yang cukup baik dalam keluarga anak didik (Mantuwa:1993). Ini juga merupakan suatu faktor yang penting. Meskipun anak didik jenis tertentu mampu mengatasi situasi semacam ini, namun pada umumnya hasil belajar anak sangat dipengaruhi oleh ada-tidaknya suasana belajar yang baik dalam keluarga. Benih-benih
64
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … sikap anak terhadap kegiatan belajar sesungguhnya ditentukan oleh suasana dalam keluarga ini. Setelah diagnosis dilakukan terapi sebab-sebab dari setiap jenis keterbelakangan atau ketinggalan dalam pelajaran biasanya cukup kompleks. Dapat dikatakan secara umum, bahwa tidak ada gejala keterbelakangan yang disebabkan oleh satu faktor saja. Terapi yang baik yang dapat diharapkan akan memberikan hasil-hasil yang nyata ialah terapi yang disesuaikan sebanyak mungkin dengan hasil-hasil diagnosis tadi. Jikalau diketahui misalnya, bahwa seorang anak terbelakang dalam satu atau beberapa mata pelajaran karena alasan-alasan didaktis dan psikologis, maka idealnya terapi itu pun harus terdiri dari langkahlangkah didaktis dan psikologis. Sebaliknya kalau diketahui bahwa suatu keterbelakangan terutama timbul karena alasan didaktis, maka penyembuhan atau tercapainya pun cukup berupa langkah-langkah didaktis. Bagaimana kalau suatu kelemahan ternyata bersumber kepada psikolog. Karena masalah-masalahnya bukan lagi masalah pengajaran remedial. Sampai sekarang, yang lazim dilakukan dalam penyelenggarakan pengajaran remedial ialah memberikan drill, yaitu menyuruh anak-anak melatih diri melakukan satu jenis tugs saja pada suatu saat, tetapi dengan jumlah ulangan latihan yang cukup banyak. Misalnya untuk kebanyakan anak Jawa Tengah, mengucapkan bunyi “str” ternyata tidak terlalu mudah. Kata administrasi diucapkan menjadi “adminitrasi”, kata “demonstrasi” berubah menjadi “demontrasi”, kata “stratifikasi” diucapkan “setratigikasi”, dan seterusnya. Memang diinginkan, agar mampu mengucapkan kata-kata tadi dengan baik, maka jalan satusatunya ialah drill tadi. Setiap kali mereka diminta mengucapkan kata berulang-ulang, sampai pada suatu saat kata-kata tadi dapat mereka ucapkan dengan mudah dan benar. Teknik drill ini dipergunakan untuk berbagai bidang pengajaran seperti: matematika, bahasa, sejarah, fisika, kimia, pendidikan jasmani dan lain sebagainya. Yang perlu dicatat ialah, bahwa drill sebagai suatu tehnik dalam pengajaran remedial mempunyai keterbatasan. Driil sebenarnya hanya efektif untuk membentuk kebiasaan (Habit formation), tetapi kurang efektif untuk menanamkan tilakan (insight in ziccth), ataupun untuk membuat anak untuk memahami suatu generalisasi (Tatang). Misalnya banyak orang mempergunakan konstruksi-konstruksi sintaksis yang salah dalam bahasa Indonesia. Banyak orang dalam kesempatan formal berkata; seperti, “Kita ketahui bersama, bahwa…,” atau, “kepada para pemenang dipersilahkan naik ke panggung”. Banyak
65
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 orang tidak sadar, bahwa kedua konstruksi tersebut salah. Mereka tidak mau percaya, bahwa yang benar ialah konstruksi-konstruksi: 1 “seperti kita ketahui bersama,….” (tanpa kata bahwa) atau 2. kata “Kita ketahui bersama, bahwa….” (tanpa kata seperti), dan 3, “para pemenang dipersilahkan naik…” (tanpa kata kepada). Penyembuhan kesalahan sintaks diatas pada dasarnya harus ditempuh melalui penyadaran kognitif akan kesalahan yang diperbuat; pengetahuan akan konstruksi yang benar, dan pembiasan diri untuk mempergunakan konstruksi yang benar tadi. Drill dalam contoh ini hanya menyangkut butir terakhir diatas. Kedua butir yang terdahulu tidak dapat dicapai melalui driil, tetapi hanya dapat dicapai melalui logika. Karena itu uang harus dilakukan ialah memberikan latihan-latihan untuk berfikir logis, yang antara lain, meliputi pengetahuan akan peraturan-peraturan tata bahasa yang berlaku (Qutub:1978). Terapi secara psikologis dalam rangka pengajaran remidal biasanya berkisar pada langkah-langkah untuk menghilangkan hambatanhambatan psikologis yang relative ringan. Menghilangkan rasa takut kepada guru tertentu, membangkitkan tekat untuk mengatasi hambatanhambatan psikologis (psychological handicaps) yang terdapat dirumah, menghilangkan rasa gugup, merupakan contoh-contoh dari persoalan dengan ini. Yang termasuk agak berat misalnya ialah membantu anak mengatasi pertentangan norma yang timbul dalam rangka suatu atau kelompok mata pelajaran, misalnya: menghadapi anak-anak yang nampak mengalami kesukaran-kesukaran dalam pelajaran tauhid, agama atau sejarah, karena terdapat pertentangan antara pandangan-pandangan yang dibawah oleh guru dengan pandangan-pandangan yang sebelumnya telah diserap oleh anak melalui keluarga atau literatur di luar sekolah, yang dalam pandangan anak lebih bermutu, lebih respectable secara akademis, dari pada literatur di sekolah. Ini adalah kasus yang cukup berat. Soal semacam ini tidak dapat diselesaikan secara memuaskan melalui teknik-teknik didaktis yang sederhana, persoalan-persoalan semacam ini memerlukan penanganan secara pedagogis-klinis. Dalam literatur pengajaran remedial disebutkan, bahwa salah satu kelompok anak yang nampak sering memerlukan pelayanan pengajaran remedial ialah anak-anak dari golongan culturally deprived, yaitu anakanak dari lingkungan keluarga yang secara cultural “lebih miskin”, kurang beruntung” dibandingkan dengan standar kultural yang mendasari kurikulum sekolah (Soemadi: 1973). Mereka adalah anak-anak yang datang dari golongan masyarakat miskin, kurang terdidik, dan tinggal di daerah-daerah perkotaan dengan
66
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … kondisi fisik serba terlantar. Pengajaran remedial kepada kelompok anak ini lazimnya mencakup langkah-langkah didaktis, psikologis dan pedagogis. Dalam masyarakat dewasa ini terdapat beberapa jenis kesulitan belajar dikalangan para siswa (termasuk para mahasiswa) yang pada dasarnya bersumber pada tidak adanya persesuaian antara pandangan yang dianut dalam keluarga tentang makna dan hakikat kegiatan belajar itu sendiri. Salah satu contoh mengenai hal ini ialah adanya pandangan dalam sementara kalangan masyarakat, bahwa “belajar” adalah kegiatan mengingat-ingat secara mati-matian selama saat-saat terakhir sebelum ulangan, ujian, atau tentamen (cramming). Contoh yang lain ialah masih adanya golongan yang berpendapat bahwa dalam bersekolah atau “belajar” yang terpenting ialah angka-angka yang diperoleh anak dalam buku laporannya, baik itu raport, DANEM maupun transkrip. Proses untuk mencapai angka-angka ini tidak terlalu penting. Menyontek atau “membeli angka” dapat dibenarkan, selama sikap semacam ini mencerminkan kondisi deprivasi kultural tadi. Anak-anak yang memiliki sikap semacam ini hanya dapat “disembuhkan” secara pedagogis dengan penanganan yang bersifat pedagogis-kultural, yaitu memperbarui tata nilai yang ada dalam diri anak melalui proses-proses kognitif, afektif, dan volisional. Dari uraian diatas menjadi jelas, bahwa drill bukan satu-satunya teknik yang terdapat dalam perbendaharaan metode pengajaran remedial. Kompleksitas metode yang harus dipergunakan untuk mengatasi suatu kelemahan belajar ditentukan oleh hasil analisa, hasil diagnosis tentang kesulitan belajar yang diperlihatkan anak, dan juga oleh sasaran yang ingin dicapai melalui pengajaran remedial yang diselenggarakan. Membimbing anak-anak menghadapi tes UMPTN relatif jauh lebih sederhana dari pada membimbing mereka untuk cinta belajar memandang belajar sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan dan rewarding. Tahap terakhir adalah evaluasi. Dalam rangka pengajaran remedial, fungsi utama dari langkah evaluasi ialah mengetahui, apakah suatu jenis terapi yang telah dilaksanakan benar-benar memberikan hasil yang diharapkan (Suharsimi: 1989). Kalau hasil-hasil evaluasi tidak memperhatikan adanya kemajuan pada anak, maka jenis terapi yang telah dilaksanakan harus dihentikan dan diganti dengan jenis terapi yang lain. Biasanya apa yang sebaiknya dilakukan dalam situasi ini ialah mengadakan diagnosis ulang, kalau mungkin dengan mempergunakan cara-cara serta alat-alat diagnosis yang lebih peka (sensitif) dari pada
67
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 cara-cara dan alat-alat diagnosis sebelumnya. Alasan untuk mengganti cara-cara dan alat-alat pada diagnosis ulang ini adalah karena terapi yang tidak memberikan hasil merupakan terapi yang salah, yang dipilih karena adanya kesalahan dalam informasi diagnosis yang dikumpulkan. Jadi untuk lebih aman (safe) perlu dilakukan diagnosis dari awal, analisis tentang sifat kesukaran belajar yang ada pada anak, serta diagnosis yang lebih hati-hati, dan lebih teliti. Keseluruhan langkah-langkah evaluasi yang akan dilaksanakan dalam rangka suatu program pengajaran remedial hendaknya dirancang bersamaan dengan penyusunan rancangan untuk keseluruhan langkahlangkah terapi. Dalam menyusun rancangan evaluasi, pokok-pokok yang harus dipertimbangkan meliputi antara lain: 1. jadwal evaluasi: kapan evaluasi pertama akan diselenggarakan? Berapa kali evaluasinya seluruhnya? 2. cakupan evaluasi: aspek apa saja yang akan dievaluasi disamping kemajuan dalam pengetahuan faktual? Ketekunan, kecerdasan, kreativitas? 3. Metode evaluasi: Evaluasi formal seluruhnya atau gabungan antara evaluasi normal dan informal? Alat-alat apa yang akan dipergunakan dalam evaluasi, tes-tes buatan sendiri yang masih baru, atau akan dipergunakan juga tes-tes yang sudah divalidasi-kan. Salah satunya yang biasanya kurang cukup diperhatikan dalam penyelenggaraan evaluasi ini ialah mengadakan evaluasi pertama secara dini. Hal ini cukup penting diperhatikan, terutama untuk menentukan apakah langkah-langkah terapi yang telah dilakukan merupakan pilihan yang tepat atau tidak. Kalau evaluasi pertama ini ditunda terlampau lama sementara pilihan tentang jenis terapi kurang tepat, maka kerugian yang diderita akan terlalu besar. Waktu hilang percuma akan terlampau banyak. Ini sangat merugikan, karena program pengajaran remedial kebanyakan diselenggarakan dalam jangka waktu yang terbatas, satu kuartal, satu semester, atau satu tahun jarang terdapat program pengajaran remedial yang dirancang untuk waktu satu tahun lebih. Program tambahan atau program pelajaran extra yang dirancang untuk jangka waktu yang cukup panjang (satu tahun lebih), bukanlah program remedial lagi. TANTANGAN UNTUK MASA DEPAN Dengan memaparkan dalam garis-garis besar ruang gerak pengajaran remedial serta kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya dalam masyarakat, di sini akan diberikan gambaran mengenai langkah-langkah pengembangan diri yang dapat ditempuh oleh lembagalembaga penyelenggaraan pengajaran remedial atau bimbingan tes.
68
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … Gagasan-gagasan ini dapat membantu para pengelola lembaga-lembaga tersebut untuk memberikan jawaban yang realitis terhadap persoalan tentang penegasan fungsi lembaga-lembaga termasuk dalam dunia pendidikan dewasa ini dan masa depan. 1. Mengembangkan lembaga-lembaga “Pengajaran remedial atau bimbingan tes” yang ada sekarang ini menjadi lembaga-lembaga pendidikan non-formal yang menyelenggarakan pelayanan bimbingan belajar kepada masyarakat. Mampukah dan bersediakah lembagalembaga penyelenggara bimbingan tes yang ada memperpanjang gerak jangkauan mereka? Mampukah, dan bersediakah mereka memberikan pelayanan yang lebih fundamental sifatnya: tidak sekedar membimbing anak-anak untuk menghadapi tes, tetapi bimbingan mereka menguasai keterampilan-keterampilan belajar, dan juga menimbulkan sikap yang dewasa terhadap kegiatan belajar itu sendiri? Kalau tawaran itu diterima, maka cukup banyak usaha-usaha yang harus dilakukan untuk berbenah diri. Meninjau kembali kurikulum dan silabi, memperkaya perbendaharaan metode pengajaran, penataran untuk para pembimbing, tutor, dan penyusunan program penelitian dan pengembangan. Ini merupakan tugas yang cukup berat, tapi bukan berarti sebagai suatu mission impossible. Melaksanakan tugas-tugas pembenahan diri dengan baik, kiranya juga akan merupakan langkah-langkah menuju eksistensi diri yang lebih kokoh. 2. mengubah orientasi didaktis ke orientasi pedagogis. Kebanyakan lembaga penyelenggara bimbingan tes atau pengajaran remedial cenderung memandang kesukaran yang dihadapi para peserta sebagai kesukaran dalam penguasaan materi pelajaran semata-mata, yang dapat diatasi dengan langkah-langkah didaktis, yaitu perbaikan caracara mengajar. Pandangan ini tidak seluruhnya salah. Tetapi manfaat yang dapat diambil para peserta bimbingan tes kiranya akan menjadi lebih besar, apabila kesukaran-kesukaran yang dirasakan para peserta tadi oleh para pembimbing dipandang dan dianggap sebagai persoalan pedagogis. Artinya dalam membimbing mereka, usahausaha untuk menguasai sejumlah materi pelajaran dipandang sebagai bagian dari usaha untuk menjadi dewasa, untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai diri sendiri secara bertanggung jawab. Kalau perubahan dalam orientasi dasar ini benar-benar dilaksanakan, maka mau tidak mau akan timbul pencanggihan
69
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010 (sophistication) dalam praktek-praktek pembimbingan. Perubahan pertama ialah para pembimbing akan lebih mementingkan anak didik, dan bukan pelajaran. Yang akan ilmunya (matematika, fisika, bahasan Inggris dan sebagainya). Perubahan kedua yang kiranya dapat dan perlu terjadi ialah lembaga-lembaga penyelenggara bimbingan tes akan memperluas bentuk-bentuk pelayanannya. Membantu peserta didik memilih perguruan tinggi yang dituju berdasarkan kemampuan ekonomis mereka serta keterbatasanketerbatasan lain yang mereka hadapi merupakan pelayanan pedagogis yang sangat dibutuhkan oleh banyak remaja. Membimbing mereka memahami diri mereka sendiri merupakan pelayanan yang langka dewasa ini. Kalau hal-hal semacam ini dapat dilaksanakan, maka yang terutama setiap tahun terjadi menjelang, selama dan akhir masa-masa tes masuk perguruan tinggi, dapat dikurangi. 3. Menyempurnakan cara-cara kerja. Kebanyakan lembaga-lembaga penyelenggara bimbingan tes tidak mengadakan diagnosis sebelum memulai kegiatan-kegiatan bimbingannya. Maka kekurangan ini perlu segera diperbaiki. Diagnosis yang paling sederhana pun akan memungkinkan para pengelola lembaga-lembaga bimbingan tes membentuk kelompok-kelompok yang cukup homogen diantara para pengelola lembaga-lembaga bimbingan tes membentuk kelompokkelompok yang cukup homogen diantara para peserta. Dan ini penting. Dengan kelompok-kelompok yang lebih homogen, efektivitas dan efisien bimbingan belajar dapat ditingkatkan. Uraian di atas masih merupakan suatu uraian yang jauh dari tuntas, maka diperlukan pengembangan untuk mencari dan menemukan pemikiran dan langkah baru serta dinamika pemikiran di kalangan para pengelola lembaga pengajaran remedial dan para peminat masalah-masalah pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad Al Khuli. 1981. Dictionary Of Education. Lebanon: Dar Al Ilm Arikunto, Suharsimi. 1989. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara Echols, John dan Hasan Shadily. 1984. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gremedia Mantuwa. 1993. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Aksara
70
Nanang Abdillah ; Pengajaran Remedial Sebuah Upaya … Nainggolan, SL. 1983. Dunia Pendidikan Kita Gelap. Dalam Majalah PRISMA No. 09 Edisi September Nurkancana, Wayan. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Qutub, Muhammad. 1978. Manhaj al Tarbiyah. Beirut: Al Haramain. Soeryabrata, Sumardi. 1973. Psycho Diagnostik. Yogyakarta: Rake Press. Tatang. S. 1993. Sejarah Pendidikan. Bandung: Jaya Mulia
71