Penanggung Jawab: Ir. Halimurrahman, MT Penyelia: Dr. Lilik Slamet S, M.Si Dr. Ninong Komala Dr. Ina Juaeni, M.Si Dr. Nurjanna Trijoko Laksono Drs. Mahmud Drs. Arief Suryantoro, M.Si Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL Editor: Indah Susanti Sartika Emmanuel Adetya, S.Kom.
Penerbit CV Media Akselerasi Bandung
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Judul/Penyelia: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia - Dr. Lilik Slamet S., M.Si., Dr. Ninong Komala, Dr. Ina Juaeni, M.Si., Dr. Nurjanna Trijoko Leksono, Drs. Mahmud, Drs. Arief Suryantoro, M.Si., Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL. - Cetakan pertama - Bandung: CV. Media Akselerasi, 2016. vii + 136 hal. ; 18 x 25 cm ISBN: XXX-XXX-XXXX-XX-X
Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia ISBN: 978-602-6465-04-7 ©2016 Media Akselerasi Diterbitkan oleh CV. Media Akselerasi Anggota IKAPI Penyelia, Dr. Lilik Slamet S, M.Si Dr. Ninong Komala Dr. Ina Juaeni, M.Si Dr. Nurjanna Trijoko Leksono Drs. Mahmud Drs. Arief Suryantoro, M.Si Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL Editing Naskah, Indah Susanti, Sartika, dan Emmanuel Adetya, S.Kom. Disain Isi dan Kulit Muka, Emmanuel Adetya, S.Kom. Dicetak oleh CV Media Akselerasi Cetakan Pertama, 2016
Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
DARI PENERBIT
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) adalah salah satu pusat penelitian dan pengembangan di bawah Kedeputian Sains Antariksa dan Sains Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang bertugas melaksanakan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya. Untuk mencapai misi PSTA yaitu meningkatkan pemanfaatan dan pemasyarakatan sains atmosfer, dipandang perlu untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah, salah satunya adalah terbitan Buku Bunga Rampai PSTA Tahun 2016 yang mengambil judul dan tema “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia”. Buku ini memiliki dua sisi fungsi untuk penulis dan pembaca. Bagi penulis, semoga Buku ini sebagai arena pembelajaran kemampuan menyampaikan hasil-hasil penelitian secara tulisan sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Bagi pembaca, semoga Buku ini dapat menambah dan memperkaya wawasan serta pengetahuan keatmosferan Indonesia. Akhirnya, permohonan maaf Kami sampaikan atas kekurangan yang terdapat dalam Buku ini.
Penerbit Media Akselerasi
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan telah dapat diselesaikannya Buku Bunga Rampai Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) Tahun 2016 ini. Buku Bunga Rampai PSTA Tahun 2016 mengambil judul “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” berisi 11 makalah ilmiah yang ditulis oleh para peneliti PSTA. Pembuatan buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” melalui beberapa tahap seleksi. Tahap seleksi pertama yang sudah berupa makalah lengkap, masuk ke Dewan Redaksi sebanyak 16 makalah. Hasil seleksi pertama oleh penyelia hanya 13 buah naskah makalah yang layak masuk ke dalam Buku Bunga Rampai Tahun 2016. Tahap ke dua adalah telaah pertama (review I) yang dikoreksi oleh reviewer dari PSTA (LAPAN) dan ITB (Institut Teknologi Bandung). Naskah makalah yang telah dikoreksi oleh reviewer dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. Pada tahap ini hanya 12 naskah makalah yang dikembalikan ke Dewan Redaksi, seorang penulis mengundurkan diri. Pada telaah kedua (review II) hanya 11 naskah makalah yang diperbaiki sesuai saran dari reviewer. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki bentuk dan letak geografi khas yang dikelilingi oleh laut yang luas. Laut yang dimiliki Indonesia adalah reservoir penyimpan energi panas laten yang menjadi salah satu sumber penggerak dan regulator iklim dunia. Oleh karena itu Buku Bunga Rampai PSTA Tahun 2016 ini mengambil judul “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” yang sedikit banyak akan menguak karakteristik atmosfer Indonesia sebagai benua maritim dan dampaknya. Buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” berisi 11 makalah yang merupakan hasil penelitian dan kajian dari para peneliti PSTA. Penyusunan makalah dalam Buku ini menurut urutan alphabet nama penulis pertama atau penulis tunggal. Makalah pertama ditulis oleh Dadang Subarna dengan judul “Penentuan Zona Iklim di Pulau Jawa dan Madura”. Pada makalah ini, penulis mengklasifikasikan Pulau Jawa dan Madura yang terbagi ke dalam 6 zona iklim. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Iis Sofiati yang berjudul “Analisa Korelasi Sea Surface Temperature (SST) dan Kecepatan Angin di Benua Maritim Indonesia serta Kaitannya
ii
dengan Variabilitas Southern Oscillation Index (SOI)”. Pada makalah ini penulis menganalisa keterkaitan antara SST dengan kecepatan angin dan SOI yang dapat mengakibatkan El Nino atau La Nina di benua maritim Indonesia. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Ina Juaeni dengan judul “Proyeksi dan Anomali Angin Horisontal Tahun 2050 Berdasarkan Conformal Cubic Atmosphere Model (CCAM) di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Selatan”. Melalui makalah ini, penulis membahas hasil proyeksi arah dan kecepatan angin di tahun 2050 untuk lokasi Jawa dan Nusa Tenggara yang hasilnya baik arah dan kecepatan angin berubah terhadap rata-rata klimatologisnya. Sebagai makalah berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Indah Susanti dkk dengan judul “Variabilitas Profil Temperatur Vertikal dan Keterkaitan dengan Radiasi di Indonesia”. Makalah ini membahas tentang variabilitas temporal dan spasial suhu udara serta hubungannya dengan intensitas radiasi di Indonesia. Makalah ke lima yang ditulis oleh Lilik S. Supriatin dengan judul “Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara Jarak Jauh di Kota Bandung”. Makalah ini mengkaji tentang polutan udara di Kota Bandung yang sumbernya bukan lokal, tetapi dari lokasi negara lain yaitu Republik Rakyat Tiongkok (China) dan Australia. Selanjutnya adalah makalah yang ditulis oleh Martono dengan judul “Variasi Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia”. Makalah ini mengkaji variabilitas angin permukaan di perairan Indonesia baik laut pedalaman, maupun lautan lepas. Selanjutnya adalah makalah yang ditulis oleh Rosida dengan judul “Distribusi Spasial Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia”. Melalui makalah ini, penulis mengkaji variabilitas spasial dan temporal dari aerosol jenis black carbon di Indonesia dan pengaruhnya pada inti kondensasi sebagi penghasil hujan. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Saipul Hamdi dkk tentang “Pergeseran Spektrum Matahari pada Saat Gerhana Matahari Total 2016”. Pada makalah ini, penulis mengkaji adanya pergeseran spektrum dari matahari ketika terjadi gerhana matahari yang lalu. Selanjutnya makalah yang ditulis oleh Sinta B. Sipayung dkk dengan judul “Dampak Perubahan Iklim (Khususnya Curah Hujan dan Temperatur) di DAS Cimanuk (Jawa Barat) Berbasis Hasil Analisis Data CRU. Makalah ini mengkaji fenomena perubahan iklim di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk yang menurut penelitian ini diproyeksikan bahwa lokasi sekitar DAS Cimanuk ke depan tingkat kekeringannya
iii
malahan menurun. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Tiin Sinatra dkk dengan memberi judul “Variasi Ice Water Content (IWC) Saat La Nina Berbasis MLS/AURA. Melalui makalah ini penulis membahas karakteristik penutupan awan-awan penghasil hujan dengan pendekatan ice water content saat La Nina berlangsung. Terakhir adalah makalah dengan judul “Metode Statistik Non Parametrik untuk Studi Karakteristik Polutan di Udara Ambien Wilayah Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung)” yang ditulis oleh Wiewiek Setyawati dkk. Makalah ini mengkaji karakteristik polutan udara di kota Bandung dengan metode analisa dan pengujian secara statistik non parametrik. Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada para penulis yang telah bersusah payah dan tekun mengikuti saran dan petunjuk dari reviewer untuk mendekati kesempurnaan sebuah makalah. Selain itu terima kasih, Kami ucapkan kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN dan jajarannya yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Akhirnya peribahasa “Tiada gading yang tak retak” dan “kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Kuasa” kami haturkan dengan adanya kekurangan yang terdapat dalam Buku ini. Semoga Buku ini bermanfaat untuk menambah dan memperkaya wawasan serta pengetahuan keatmosferan, terutama kawasan Indonesia. Selamat membaca. Bandung, Desember 2016 Dewan Redaksi
iv
DAFTAR ISI
DARI PENERBIT
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
v
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA Dadang Subarna
1
ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS OSILASI SELATAN Iis Sofiati
12
PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL TAHUN 2050 BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TENGAH SELATAN Ina Juaeni
24
VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono, dan Rosida
35
ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK JAUH DI KOTA BANDUNG Lilik S. Supriatin
49
KARAKTERISTIK INDONESIA Martono
62
ANGIN
DISTRIBUSI SPASIAL CARBON DI INDONESIA Rosida
PERMUKAAN
TEMPORAL
DI
ATAS
AEROSOL
LAUT
BLACK 74
PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016 v
9.
Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono
88
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT) BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah
99
10. VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro
114
11. METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG) Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono 125
vi
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA Dadang Subarna Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN e-mail: dadang. subarna@lapan. go. id ABSTRACT Determination of climate zones is important to support the agriculture, infrastructure design, building design, water resources plan and ecoregion identification of the area. Application of geographic information system to study climate has widely used at GIS (geographic information system) community and Climatologist. The aim of the paper is to explain an application of GIS in determining Climate Moisture Index (CMI) and determination of Java and Madura climate zones. CMI depicts annual average climate moisture index is a method used by Willmott and Feddema that based on the computation using the ratio of annual precipitation (P) to annual Potential Evapotranspiration (PET). Application GIS to count the CMI used to determine mountaineous climate zone (above 800 m msl) and lowland climate zone (below 800 m msl) at certain area was applied in southern Bandung as field test area. It’s compared the altitude pattern of the area and climate moisture index spatially. The result show a strong correlation between altitude and it’s climate moisture index of the area. The watershed area which under investigation has two climate zones that are the lowland wet climate zone and mountaineous wet climate zone. The same method is carried out to Java and Madura Island that show six climate zones and two climate zones respectively. Keywords
: Climate Moisture Index, GIS, Precipitation (P), Potential Evapotranspiration (PET) ABSTRAK
Penentuan zona-zona iklim sangat penting untuk menunjang pertanian, perancangan infrastruktur, rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan identifikasi ekoregion suatu daerah. Penerapan sistem informasi geografis untuk kajian iklim telah meluas di komunitas SIG (Sistem Informasi Geografi) dan ahli klimatologi. Makalah ini bertujuan untuk menerangkan tentang penggunaan SIG dalam menghitung indeks kelembapan iklim dan menentukan zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Indeks kelembapan iklim rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott dan Feddema yaitu dengan menggunakan nisbah curah hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan. Aplikasi perhitungan Indeks Kelembapan Iklim (IKI) dengan SIG digunakan untuk menentukan zona iklim pegunungan (di atas 800 m dpl) dan zona iklim dataran rendah (kurang 800 m dpl) dalam suatu daerah kajian di Bandung Selatan sebagai tempat uji lapangan. Analisis dilakukan melalui perbandingan antara pola ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya. 1
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
Hasilnya menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya. Daerah aliran sungai yang diteliti memiliki dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona iklim basah dataran tinggi. Metode yang sama dilakukan untuk pulau Jawa dan Madura yang menunjukkan terdapat enam zona iklim dan dua zona kedua pulau masing-masing. Kata kunci
1
: Indeks kelembapan, SIG, Curah Evapotranpirasi Potensial (PET)
Hujan
(CH),
PENDAHULUAN
Iklim secara umum didefinisikan sebagai keadaan rata-rata dari cuaca pada suatu tempat pada periode tertentu yang menurut konvensi pertemuan WMO tahun 1937 periode tersebut selama 30 tahun (Larson, 2012). Elemen iklim terdiri dari atmosfer, kreosfer, hidrosfer, biosfer, dan geosfer. Iklim di suatu tempat sangat ditentukan oleh radiasi matahari, letak lintang dan bujur di bumi, elevasi dan letaknya dari laut. Begitu banyak elemen yang menyusun iklim di suatu tempat, maka para ahli klimatologi mengembangkan suatu indeks yang seoptimum mungkin memasukan elemen-elemen tersebut untuk menggambarkan keunikan iklim suatu tempat. Pada tahun 1948, Indeks Kelembapan Thornthwaite (TMI) diperkenalkan sebagai sistem klasifikasi iklim global oleh Thornthwaite pada komunitas ilmiah (Philp dan Taylor, 2014). Sejak kemunculannya, maka penggunaan indeks tersebut berkembang melebihi klasifikasi iklim untuk sistem pertanian seperti Koppen, Holdrige, Trewartha dan lain-lain. Sebelumnya, iklim didefinisikan dengan istilah pengamatan deskriptif umum dan data empiris tidak dijadikan sebagai dasar. Indeks Kelembapan Thornthwaite memperkenalkan suatu indeks kelembapan untuk menggambarkan tipe-tipe iklim yang dapat dihitung dengan menggunakan data yang sesungguhnya dari daerah yang dikaji (Thornthwaite, 1948). TMI dapat menggambarkan ariditas dan humiditas tanah serta iklim suatu daerah. Hal itu disebabkan TMI dihitung dari beberapa elemen secara kolektif seperti curah hujan, evapotranspirasi, simpanan air di tanah, defisit kelembapan dan limpasan (Austroads, 2010). Indeks kelembapan umumnya dirumuskan sebagai fungsi dari nisbah curah hujan rata-rata terhadap kelembapan rata-rata. Nilainya bergantung pada kemampuan untuk mencirikan kebasahan atau kekeringan relatif suatu daerah yang didasarkan pada data iklim. Kemungkinan konsep kelembapan dapat ditelusuri berasal dari Linsser, namun Thornthwaite adalah yang pertama menggantikan persyaratan kelembapan (evaporasi dan temperatur udara) menjadi kelembapan 2
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
yang bermakna klimatologi yang disebut evapotranspirasi potensial. Thornthwaite dan beberapa rekannya telah berhasil mempublikasikan dan mendiseminasikan indeks kelembapan yang penting. Iklim suatu daerah dicirikan dengan keadaan panas dan lembab di permukaan atau dekat pemukaan bumi (Willmott, 1987). Dengan demikian, perhatian para ahli klimatologi tertuju pada variabilitas keadaan panas dan kelembapan secara spasial dan temporal. Kelembapan menjadi perhatian yang sangat besar, sehubungan perannya yang penting dalam proses-proses biologi (Willmott dan Feddema, 1992). Ahli klimatologi sering menggunakan indeks-indeks yang sederhana untuk menggambarkan keadaan kelembapan permukaan bumi dan salah satu indeks adalah Indeks Kelembapan Thornthwaite (TMI). Pada makalah ini ditunjukkan aplikasi sistem informasi geografi untuk menghitung indeks kelembapan iklim suatu daerah dalam menentukan zona iklim daerah kajian berdasarkan perumusan Willmott dan Feddema tahun 1992. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Penentuan zona iklim sangat penting untuk menunjang pertanian, perancangan infrastruktur, rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan lain-lain. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem yang terdiri dari perangkat lunak komputer, perangkat keras dan data, serta dikelola oleh seseorang yang menguasai metode pengolahan data dengan sistem komputerisasi. Hal ini dilandasi dengan keterkaitan yang erat pada lokasi spasialnya. Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan zona iklim di suatu daerah. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya. Salah satu kelebihan dari SIG adalah mampu melakukan analisis spasial sekaligus dengan analisis database.
2
METODE PENELITIAN
Sistem informasi geografis terdiri dari 6 langkah proses, yang dapat digunakan untuk menghasilkan keluaran data yang memiliki referensi geografis. Enam langkah proses tersebut terdiri-dari: 1) Proses pemasukan data tabulasi ke komputer 2) Proses pengumpulan database di komputer 3) Proses pengaturan data yang disesuaikan dengan informasi lintang dan bujurnya. 4) Proses pengolahan data, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai 5) Proses analisis data, seperti proses modeling dan evaluasi spasial 6) Proses pengeluaran data, yang merupakan keluaran hasil akhir. Pengujian metode Willmott dan Feddema dilakukan dua tahap 3
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
yaitu: 1) Uji dilakukan di daerah dengan gradien elevasi kontras antara lembah dan pegunungan yang terletak antara 06o 59’24” – 07o 13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT di Kabupaten Bandung seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Hal ini dilakukan agar memudahkan melakukan pengecekan lapangan. 2) Metode perhitungan Willmott dan Feddema akan dilakukan untuk Pulau Jawa dan Madura. Sistem Informasi Geografi (SIG) akan digunakan pada perhitungan metode Willmott dan Feddema secara spasial pada makalah ini. SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya (BTIC, 2010). IKI rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott dan Feddema tahun 1992. Metode tersebut menggunakan nisbah curah hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan. Indeks Kelembapan Iklim menurut Willmott dan Feddema dirumuskan sebagai: (IKI) = (CH / PET) -1, jika CH < PET (1) IKI adalah Indeks Kelembapan Iklim (IKI) = 1- (PET / CH), jika CH = PET (2) CH adalah curah hujan tahunan (mm/th), PET adalah evapotranspirasi potensial (mm/th). Pada penelitian ini IKI metode perhitungan Willmott dan Feddema akan dilakukan untuk Pulau Jawa dan Madura. Pengujian (validasi) IKI metode Willmott dan Feddema akan dilakukan di daerah dengan gradien 4
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
elevasi kontras antara lembah dan pegunungan. Lokasi untuk validasi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi uji Bandung
3
penentuan
zona
iklim
di
Kabupaten
HASIL DAN PEMBAHASAN
IKI adalah perbedaan antara curah hujan tahunan (CH) dan evapotranspirasi tahunan (PET) yang secara sederhana menunjukkan kelembapan tanah (Willmott and Feddema 1992; Hogg, 1997). Iklim suatu daerah sangat menentukan jenis spesies fauna dan flora yang hidup di daerah tersebut. Dengan demikian, penentuan IKI juga merupakan pemetaan kerangka kerja ekologi pada suatu daerah sehingga menjadikan pembagian suatu negara ke dalam pewilayahan ekozone, ekoregion atau ekodistrik (Lapp dkk., 2014). Untuk setiap ekodistrik, dihitung IKI dengan menggunakan beberapa metode seperti metode Thornthwaite dan metode Penman atau metode Willmott dan Feddema (Hogg, 1997). Terdapat hubungan antara IKI dan jenis spesies yang tumbuh di suatu tempat. Dengan menerapkan konsep IKI yang menggunakan perbedaan curah hujan dan evapotranspirasi potensial, maka dapat dipetakan distribusi vegetasi di daerah yang dikaji.
5
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
Gambar 2. Klasifikasi curah hujan Informasi Geografi (SIG)
tahunan
dengan
Sistem
Hasil klasifikasi curah hujan tahunan spasial dengan menggunakan SIG seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Perhitungan yang sama juga dilakukan untuk mendapatkan evapotranspirasi potensial tahunan di daerah kajian, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3. Dengan menggunakan persamaan (1) atau persamaan (2) dan bantuan SIG maka didapat gambar zona pembagian iklim berdasarkan IKI dari Willmott dan Feddema, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
6
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
Gambar 3. Pengolahan evapotranspirasi potensial dengan SIG secara spasial.
Iklim suatu daerah sangat ditentukan oleh ketinggian daerah tersebut atau letaknya dari garis pantai. Oleh karena itu pengecekan lapangan harus dilakukan untuk mengetahui zona iklim suatu daerah dengan ketinggiannya. Pengujian lapangan dilakukan di daerah Bandung Selatan seperti tertera pada Gambar 1. Daerah tersebut memiliki batas ketinggian yang kontras antara daerah pegunungan di atas 800 m dpl (di atas permukaan laut) dan daerah lembahnya di bawah 800 m dpl. Berdasarkan hasil klasifikasi metode Willmott dan Feddema, maka daerah kajian memiliki dua zona iklim yaitu lembap dataran rendah dan lembap dataran tinggi (Gambar 5).
7
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
Gambar 4. Pengolahan IKI dengan sistem informasi geografi sesuai rumus Willmott dan Feddema.
Pada Gambar 5 ditunjukkan perbandingan antara pola topografi dengan indeks kelembapan iklim hasil perhitungan secara visual. Hasilnya menunjukkan terdapat kesesuaian pola antara topografi dengan indeks kelembapan iklim. Daerah kajian yang diteliti memiliki dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona iklim basah dataran tinggi. Hasil perhitungan untuk Pulau Jawa dan Madura dapat ditunjukkan pada Gambar 6.
8
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
Gambar 5. Perbandingan IKI dan ketinggian yang menunjukkan kesesuaian antara IKI dengan elevasi daerah kajian.
Gambar 6. Zona iklim di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan perumusan Willmott and Feddema.
Gambar 6 menunjukkan pembagian zona iklim berdasarkan Willmott dan Feddema. Secara teori, IKI metode Willmott dan Feddema mempunyai interval -1 sampai +1 berdasarkan kondisi sub-tropis. Disebabkan Indonesia adalah wilayah tropis yang memiliki curah hujan tinggi terkadang melebihi evapotranspirasinya, maka hasil perhitungan IKI melebihi harga +1. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa Pulau Jawa memiliki enam zona IKI yaitu IKI bernilai negatif (-1) beriklim 9
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
kering, (0) beriklim lembap, (1) beriklim basah, (2) beriklim lebih basah, (3) beriklim sangat basah, (4) selalu diselimuti awan. Kriteria tersebut didasarkan pada kriteria Willmott dan Feddema yang diadopsi untuk daerah tropis. Karena penulis mengalami kesulitan untuk mendapatkan rujukan yang terkait dengan pembagian zona iklim berdasarkan nilai IKI di daerah tropis, maka pembagian IKI melebihi nilai IKI dari kriteria Willmott dan Feddema di daerah tropis merupakan penemuan baru dalam penelitian zona iklim untuk daerah tropis. IKI bernilai negatif (-1) berada pada sebagian besar pantai utara Jawa bagian barat dan sekitar daerah Citatah (daerah sekitar Padalarang), sebagian kecil Pantai Jawa Tengah, sebagian besar wilayah Pantai Jawa Timur dan Madura yang berarti memiliki iklim kering (warna merah pada Gambar 6). Pada daerah-daerah itu curah hujan selalu lebih kecil daripada evapotranspirasi potensial sehingga kelembapan iklim bernilai negatif dan udara memiliki kandungan uap air yang relatif kecil sehingga terasa lebih kering. Sebagian Pulau Jawa memiliki nilai IKI (0), warna hijau pada Gambar 6, yang berarti iklim lembap (humid). Pada daerah-daerah tersebut curah hujan dan evapotranspirasi besarnya hampir sama setiap tahun. Sebagian besar Jawa bagian barat, Jawa Tengah dan beberapa daerah Jawa Timur (warna biru) memiliki iklim basah (curah hujan lebih besar dari evapotranspirasi potensial). Hal ini dikarenakan daerah-daerah tersebut didominasi pegunungan dengan ketinggian di atas 1000 m dpl. Terdapat beberapa daerah dengan zona iklim lebih basah dan sangat basah (warna merah muda dan kuning) yang merupakan daerah gunung dengan ketinggian lebih dari 2000 m dpl. Pada daerah tersebut terdapat beberapa puncak yang rata-rata setiap tahunnya diselimuti awan (warna hitam di Gambar 6).
4
KESIMPULAN
Penentuan zona iklim sangat penting untuk menunjang pertanian, perancangan infrastruktur, perancangan bangunan, perencanaan sumberdaya air dan penentuan ekoregion atau ekodistrik. SIG sangat memudahkan untuk pengolahan dan kajian iklim secara spasial khususnya penentuan zona iklim berdasarkan curah hujan dan evapotranspirasi potensial tahunan. Daerah kajian yang diteliti berupa daerah aliran sungai di Bandung Selatan yang memiliki dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan zona iklim basah dataran tinggi. Iklim suatu daerah ditentukan juga oleh ketinggian lokasi dari permukaan laut. Berdasarkan penelitian ini terdapat kesesuaian pola antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya. Pulau Jawa mempunyai enam zona iklim yang melebihi indeks yang 10
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
ditetapkan oleh Willmott dan Feddema. Hal ini disebabkan Pulau Jawa memiliki daerah pegunungan dan gunung-gunung dengan ketinggian di atas 1000 m dpl yang sangat tinggi curah hujannya dibandingkan dengan evapotranspirasi potensialnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada World Clim Global Climate yang telah menyediakan data sehigga penelitian ini dapat berlangsung.
DAFTAR RUJUKAN Aronoff, S., 1989: Geographic Information System Management Perspective WDL Publication, Ottawa-Canada. Austroads, 2010: Predicting Structural Deterioration of Pavements at a Network Level – Interim Models APT159/10, Sydney, Austroads Incorporated. BTIC [Biotrop Training dan Information Centre], 2010: Pelatihan Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Pengolahan Data Spasial. Aplikasi Perangkat Lunak (Software) ArcGIS 9. x. BIOTROP. Hogg, E. H,1997: Temporal Scaling of Moisture andthe Forest-Grassland Boundary in Western Canada. Agricultural Forest Meteorolology. 84. 115-22. Lapp. S., D. Sauchyn and E. Wheaton, 2014: Future Climate Change Scenarios for the South Saskatchewan River Basin. unit2_final_report. Larson, J.W, 2012: Visualizing Climate Variability with Time-Dependent Probability Density Functions, Detecting it with Information Theory. Procedia Computer Science 00, 1–11. Philp, M and M. Taylor, 2014. Beyond Agriculture: Exploring the application of the Thornthwaite Moisture Index to infrastructure and possibilities for climate change adaptation. ACCARNSI Discussion Paper X, NCCARF. 2012. Thornthwaite, C.W., 1948: An approach toward a rational classification of climate. Geographical Review, 38, 55-94. Willmote C.J. and J. J. Feddema, 1992:A More Rational Climatic Moisture Index. The Professional Geographer 44, Issue 1, 84-88, Willmote, C.J., 1987: Models, Climatic. In The Encyclopedia of Climatology, eds. J. E. Oliver and R. W. Fairbridge, 584-90. New York: Van Nostrand Reinhold.
11
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS OSILASI SELATAN Iis Sofiati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 E-mail: sofiati07@gmail. com ABSTRACT Southern Oscillation Index (SOI) variabilities of is one of the important factors in determining climate conditions in Indonesian Maritime Continent. SOI is generally associated with Sea Surface temperature (SST) and wind speed. In this study analyzed the spatial distribution, temporal and correlation between SST, wind speed and SOI using statistical methods for the period 2005-2010 in Indonesia Maritime Continent (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. From the results shown that the SST reaches its maximum in April and October and minimum in May to August lower than 28 ºC. SST cooling occurs from May to August, the maximum appears in the eastern Indonesia and the minimum in the western. Seasonal variability of SST and wind speed is different for some regions, and both parameters were negatively correlated. From the regression analysis shows that the variability of SST has a time lag of three months behind wind speed. SST is positively correlated with SOI. SST influenced SOI one month in advance. SOI and wind speed are also negatively correlated as SST, SOI influenced wind speed one month in advance. In this study concluded that the variability of SOI quite an important role to changes in SST and wind speed, while the SST variability is caused by the interaction of southeast monsoon and winds-ocean. Keywords
: SST, wind speed, SOI, correlation analysis. ABSTRAK
Variabilitas Indeks Osilasi Selatan (IOS) merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan perubahan kondisi iklim di Benua Maritim Indonesia. Pada umumnya IOS berhubungan dengan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan kecepatan angin. Pada penelitian ini dianalisa distribusi spasial, temporal dan korelasinya antara SPL, kecepatan angin dan IOS menggunakan metode statistik untuk periode 2005-2010 di Benua Maritim Indonesia (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. Berdasarkan hasil terlihat bahwa SPL mencapai maksimum pada bulan April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus dibawah 28ºC. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat. Variabilitas musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan, dan kedua parameter tersebut berkorelasi negatif. Menurut hasil analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL mempunyai jeda waktu (time-lag) tiga bulan di belakang kecepatan angin. SPL berkorelasi
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan sebelumnya. IOS dan kecepatan angin berkorelasi negatif sama seperti SPL, IOS mempengaruhi kecepatan angin satu bulan sebelumnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabilitas IOS cukup berperan penting terhadap perubahan SPL dan kecepatan angin, sedangkan variabilitas SPL disebabkan oleh interaksi angin monsun tenggara dengan laut. Kata kunci
1
: SPL, kecepatan angin, IOS, analisis korelasi.
PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mempunyai posisi yang strategis sehubungan dengan pola sirkulasi laut global sifat dinamis dari kepulauan menunjukkan interaksi dengan Pasifik dan Samudera Hindia dan iklim musiman, dan dapat menjelaskan keanekaragaman hayati laut secara menyeluruh untuk sebagian besar daerah. Karena iklim Indonesia berada di bawah pengaruh sistem monsun Asia-Australia, yang berdampak besar pada pola sirkulasi skala besar antara laut di intra-kepulauan dan memainkan peran penting dalam produksi ekosistem pesisir dan laut (Sachoemar, 2013). Interaksi laut-udara di atas Indonesia dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam menjelaskan fluktuasi dan intensitas sirkulasi monsun. Perairan Indonesia merupakan wilayah strategis karena terletak antara Samudera Pasifik di sebelah timur dan Samudera Hindia di barat, dan bertindak baik sebagai penghalang gesekan dan hubungan antara dua samudera. Aliran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia memberikan efek signifikan pada sirkulasi laut dan iklim global. Daerah tropis diakui memiliki pengaruh besar pada atmosfer global, dan daerah tropis sebelah barat Pasifik dan sebelah timur Samudera Hindia diakui sebagai sumber bagi banyak peristiwa iklim yang penting seperti periodik monsun, IOS dan sebagainya. Potemra (2006) menyatakan bahwa sifat-sifat perairan Pasifik barat dan Samudera Hindia timur sangat dipengaruhi oleh lintas Indonesia dan merupakan pembawa panas dari daerah perairan hangat di Pasifik barat ke Samudera India. Perpindahan panas ini mempengaruhi tingkat kehangatan perairan di wilayah Pasifik barat. SPL dapat diperoleh dengan pengukuran langsung (in situ) atau menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Sensor satelit penginderan jauh mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh permukaan laut untuk melihat fenomena sebaran SPL. Citra penginderaan jauh dari satelit dapat dimanfaatkan untuk pemantauan dan kajian SPL karena mempunyai band thermal dan resolusi temporal 13
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
yang tinggi, sehingga dinamika perubahan SPL dapat diamati secara kontinu. Anomali SPL dapat memberikan efek besar terhadap klimatologi, sehingga penelitian yang berkaitan dengan SPL serta parameter iklim lainnya sangat penting dilakukan. Penelitian tentang SPL di perairan Indonesia, terutama berfokus pada sirkulasi laut seperti lintas Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik dari dalam maupun luar negeri (Potemra, 2006; Tomascik, dkk., 1997; Gordon, 2006; Wytki, 1987; Wytki, 2006; Qu, dkk., 2005; Sprintal and Liu, 2006; Annas, 2009; Ayu dkk., 2012). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menganalisa korelasi SPL dan kecepatan angin di Benua Maritim Indonesia dan kaitannya dengan variabilitas IOS, dan diharapkan penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya.
2
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SPL harian yang diperoleh dari NOAA OI SPL V2 High Resolution Dataset dengan resolusi 0.25º x 0.25º dengan global grid (1440x720). Data diunduh dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.noaa.oiSPL.v2.highrs. html. Data kecepatan angin yang digunakan diolah dari data angin zonal dan meridional level permukaan 1000 mb, dengan resolusi spasial 1ºx1º yang merupakan data reanalisis. Data diunduh dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded.reanalysis.surface.html. Data IOS yang digunakan merupakan data IOS harian dengan basis data 1993-1992 yang didapatkan dari https://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/southern oscillationindex/soidatafiles/index.php. Ketiga jenis data merupakan data rata-rata harian untuk periode 2005-2010, kemudian di rataratakan untuk pentad (5) harian, dan bulanan untuk wilayah Indonesia (6-12)ºLS, (95-142)ºBT. Selanjutnya dilakukan uji-F dan uji-T untuk analisis regresi, korelasi dan time-lag dalam menentukan korelasi antara SPL, kecepatan angin dan IOS dengan menggunakan software EViews. Time-lag yang dimaksud adalah jeda waktu antara kejadian SST, kecepatan angin dan IOS mencapai maksimum.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Distribusi dan korelasi SPL dan kecepatan angin
SPL mempunyai peranan penting dalam mengontrol kadar panas lautan dan mengatur iklim (Qu, dkk., 2012). Gambar 1 (a) menunjukkan distribusi pentad SPL, dan dari hasil terlihat bahwa puncak panas SPL 14
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
terjadi dua kali yaitu pada pentad ke-23 atau bergeser sampai pentad ke-30, dan pentad ke-59 atau bergeser sampai pentad ke-63.
Gambar 1. Distribusi spasial SPL dan angin (arah dan kecepatan) rata-rata tahun 2005-2010 untuk bulan Juni (kiri) dan November (kanan)
Pada umumnya di Indonesia SPL mencapai maksimum pada bulan April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus dengan suhu dibawah 28ºC. SPL rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 2010, dan terendah pada tahun 2006 seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hasil dari penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa siklus musiman SPL di perairan Indonesia ditandai dengan “pendinginan” selama musim panas. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa angin monsun dari arah tenggara berperan penting dalam fenomena pendinginan di perairan Indonesia. Pendinginan pertama kali muncul di bulan Mei dan mencapai maksimum di bulan Agustus. Pendinginan tersebut disebabkan oleh pengaruh angin monsun yang sangat kuat di bulan Juli (Setiawan, 2010). Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi pada pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan pentad 67 atau pada bulan Maret dan bulan November seperti yang terlihat pada Gambar 2 (b). Kecepatan angin rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 2006, dan terendah pada tahun 2010.
15
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
Gambar 2. Distribusi SPL pentad (a) dan kecepatan angin (b) dari tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa korelasi antara SPL dan kecepatan angin berkorelasi negatif, dengan nilai koefisien korelasi ratarata r = 0,63; RMSE = 0,85 dan tertinggi mencapai r = 0,71 dengan RMSE = 0,79 yang terjadi pada tahun 2007 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Nilai koefisien korelasi selengkapnya ada pada Tabel 1. Hubungan antara SPL dengan kecepatan angin telah dipelajari selama beberapa dekade. Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan angin berkorelasi negatif (Bjerknes,1964: Hurrell, 1995; Shukla and Misra, 1997; Huang and Qiao, 2009; O’Neill dkk., 2010; Yu dkk., 2015).
Gambar 3. Distribusi korelasi antara SPL dan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010 (kiri) dan tahun 2007 (kanan) di wilayah Indonesia
Hal ini terjadi karena fakta bahwa peningkatan kecepatan angin akan menurunkan suhu permukaan dengan memecah stratifikasi permukaan air, hal tersebut terjadi karena air bawah permukaan akan dibawa ke permukaan yang mempunyai suhu lebih dingin. Ng dkk. 16
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
(2009) menemukan bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface Emissivity) berubah terhadap kecepatan angin, sementara SSE mempengaruhi SPL. Tabel 1.
TAHUN
Korelasi antara SPL, kecepatan angin, dan IOS SPL-IOS
Ws-IOS
Ws-SPL
R2
r
R2
r
R2
r
2005
0,005
0,068
0,016
0,125
0,43
0,65
2006
0,079
0,282
0,108
0,329
0,50
0,71
2007
0,002
0,039
0,002
0,040
0,53
0,73
2008
0,001
0,039
0,031
0,175
0,45
0,67
2009
0,010
0,102
0,0009
0,032
0,36
0,60
2010
0,005
0,069
0,012
0,110
0,22
0,46
SPL- IOS
0,08
0,28
Ws-IOS
0,03
0,16
Ws-SPL
0,43
0,63
Oleh karena itu, kecepatan angin mempengaruhi keadaan SPL. Selain itu, Ng dkk. (2009) menemukan bahwa hanya kecepatan angin yang tinggi atau lebih dari 15 m/detik memiliki dampak yang signifikan terhadap SPL. Wang dkk. (1999) dan Wang (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan kecepatan angin permukaan akan menghasilkan lebih banyak penguapan dan pendinginan SPL, yang mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dari kecepatan angin permukaan, dan sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Xie (2004) menyatakan bahwa SPL dan kecepatan angin berkorelasi positif dalam wilayah skala kecil, dan angin permukaan secara lokal lebih tinggi di atas perairan hangat dan lebih rendah di atas perairan dingin.
Gambar 4. Distribusi SPL rata-rata pentad dan kecepatan angin tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
17
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
Gambar 4 menunjukkan distribusi SPL rata-rata pentad dan kecepatan angin. SPL meningkat dari musim hujan ke musim transisi atau pentad ke-24, tetapi menurun kembali dan mencapai puncak dingin pada pentad ke-47 atau pada bulan Juli, dan meningkat kembali suhunya dan mencapai puncak panas pada pentad ke-67 atau pada bulan November. Sementara kecepatan angin awalnya berkurang dari pentad ke-1 sampai ke-7 atau musim hujan ke pentad ke-22 atau musim transisi. Kemudian meningkat pada akhir musim panas dan mencapai puncaknya pada bulan Juli atau pentad ke-44. Korelasi negatif antara SPL dan kecepatan angin menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan angin akan mengakibatkan penurunan SPL (Qu, 2012). Distribusi SPL dan kecepatan angin bulanan yang ditunjukkan oleh Gambar 5 juga memperlihatkan hasil yang jelas, bahwa antara kedua parameter tersebut berkorelasi yang negatif. Selama periode pengamatan, terlihat bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL tertinggi (29,8ºC) dan kecepatan angin terendah (2,7 m/det), sedangkan tahun 2006 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL terendah dengan kecepatan angin tertinggi (4,2 m/det). SPL dengan nilai tertinggi rata-rata terjadi pada bulan November dan Mei dan akan menyebabkan kecepatan angin mencapai nilai terendah pada bulan Maret tahun berikutnya.
Gambar 5. Distribusi bulanan SPL dan kecepatan angin tahun 2005 sampai 2008 di wilayah Indonesia
Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia, SPL diduga memiliki efek pada kecepatan angin beberapa minggu sampai beberapa bulan di depan.
18
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
Tabel 2.
Jeda waktu (time-lag) maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010
Tahun
Puncak jeda- waktu (bulan)
Tahun
Puncak jeda-waktu (bulan)
2005
3
2008
2
2006
3
2009
2
2007
3
2010
3
Tabel 2 menunjukkan puncak jeda (waktu antara puncak ke puncak) waktu maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010. Ketika puncak SPL didepan kecepatan angin, maka puncak jeda-waktu bertanda positif. Jika sebaliknya, maka bertanda negatif. Hasil lain menunjukkan bahwa di wilayah selatan, kecepatan angin dipengaruhi SPL ditunjukkan dengan lebih banyak nilai negatif dari jeda waktu maksimum) dibandingkan dengan di wilayah utara (Qu, 2012). Selanjutnya dari analisa regresi dengan menggunakan E-views menunjukkan bahwa korelasi rata-rata SPL dengan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010 adalah: T = 29,809 - 0,424 V
(1)
dimana T adalah SPL, dan V adalah kecepatan angin, dan koefisien korelasi (r) = 0,63. Untuk analisa jeda-waktu antara SPL dan kecepatan angin diperoleh persamaan: T = 26,253 - 0,432 V - 0,671 V1 - 0,732 V2 - 0,507 V3
(2)
dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari terjadinya SPL, dan korelasi koefisien (r) = 0,71. Persamaan (2) menunjukkan bahwa SPL diduga memiliki efek pada kecepatan angin tiga bulan ke depan. 3.2
Distribusi dan korelasi SPL, kecepatan angin, dan IOS
Gambar 6 menunjukkan korelasi antara SPL, kecepatan angin, dan IOS. Berdasarkan hasil terlihat bahwa korelasi antara SPL dengan IOS berkorelasi positif, dengan koefisien korelasi (r) rata-rata = 0,09. Sedangkan korelasi antara kecepatan angin dengan IOS rata-rata berkorelasi negatif dengan koefisien korelasi (r) = 0,08. Berdasarkan hasil terlihat adanya jeda-waktu dari variasi SPL dengan IOS maupun antara kecepatan angin dengan IOS. Analisis yang sama seperti yang dilakukan terhadap SPL dengan kecepatan angin, diperoleh hasil bahwa 19
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
jeda-waktu antara SPL memiliki efek pada IOS diduga satu bulan di depan, dan persamaan yang didapat adalah: T = 29,795-0,420 V1 -0,642 V2 -0,517 V3 +0,001 I1
(3)
dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari terjadinya SPL, dan I adalah indeks IOS satu bulan di depan dari terjadinya SPL.
Gambar 6. Distribusi korelasi SPL dengan IOS (kiri) dan dengan kecepatan angin (kanan) tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
Berdasarkan analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL diduga memiliki efek pada kecepatan angin tiga bulan di depan. SPL berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan sebelumnya. Kejadian tersebut berhubungan dengan adanya anomali angin baratan di atas lautan Hindia Tropis yang menurunkan suhu muka laut, utamanya melalui proses umpan balik evaporasi-angin. Pendinginan ini akan membantu perkembangan kejadian monsun lemah musim panas Asia Selatan jika keadaan suhu muka laut yang dingin ini mampu terus bertahan untuk selang waktu sekitar satu tahun ke depan. Anomali suhu muka laut di lautan Pasifik Tropis bagian barat tetap hangat sampai periode musim peralihan (September, Oktober, November), yang akhirnya mendorong terjadinya monsun Australia yang lebih kuat pada periode musim basah (Desember, Januari, Februari, sekaligus sebagai awal pengaturan perkembangan kejadian monsun basah (Suryantoro, 2008). Penelitian lain mengenai korelasi antara SPL dan kecepatan angin di lintang menengah dilakukan oleh Qu (2012) yang menyatakan bahwa SPL berkorelasi negatif dengan kecepatan angin dengan jeda-waktu yang berbeda untuk setiap lintang yang berbeda. Hasil penelitian ini malahan menunjukkan SPL berpengaruh siknifikan pada kecepatan angin yang mendukung penelitian 20
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
sebelumnya yang dikerjakan oleh Ng dkk. (2009) yang menemukan bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface Emissivity) berubah terhadap kecepatan angin, sementara SSE mempengaruhi SPL.
4
KESIMPULAN
Pendinginan SPL terjadi dari bulan Mei sampai Agustus, maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat. Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi pada pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-JuliAgustus (JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan pentad 67 atau pada bulan Maret dan bulan November. Variabilitas musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan, dan kedua parameter tersebut berkorelasi negatif. Berdasarkan regresi dapat dilihat bahwa maksimum SPL mempunyai jeda waktu (time-lag) tiga bulan di belakang kecepatan angin, artinya nilai kecepatan angin maksimum terjadi tiga bulan setelah nilai maksimum SPL. SPL berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan sebelumnya. Hasil lain menunjukkan bahwa hanya kecepatan angin tinggi memiliki dampak yang signifikan terhadap SPL.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Rachmawati Syahdiza S.Si. S.Si, alumni Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Jurusan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya.
DAFTAR RUJUKAN Annas, R., 2009: Pemanfaatan Data Satelit MODIS untuk Menentukan Suhu Permukaan Laut. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Ayu, D., M.S. Bangun, dan M.J. Lalu, (2012): Studi Perubahan Suhu Permukaan Laut. Program Studi teknik Geomatika ITS. Bjerknes, J. 1964: Atlantic air-sea interaction. Advances in Geophysics, 10, 1-82. [doi:10.1016/S0065-2687(08)60005-9]. Gordon, A., 2006: Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. The Official Magazine of the Oceanographic Society.Vol 18.No. 4.14-27. Huang C. and F. Qiao, 2009: The relationship between sea surface temperature anomaly and wind energy input in the Pacific Ocean. 21
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
Natural Science. Vol 19 (2009) 1409–1412. doi:10.1016/j.pnsc.2009.03.004. Hurrell, J.W., 1995: Decadal trends in the North Atlantic Oscillation: Regional temperatures and precipitation. Science, 269 (5224), 676679. [doi:10.1126/science.269.5224.676] O’Neill LW, B. Dudley, DB. Chelton, S.K. Esbensen, 2010: The Effects of Sea Surface Temperature-Induced Surface Wind Speed and Direction Gradients on Midlatitude Surface Vorticity and Divergence. American Meteorological Society, 2010. Vol 23, 255-281. Ng, H.G., M.Z. MatJafri, K. Abdulah, and C.J. Wong, 2009: The effect of wind speed on Sea Surface Temperature retrival. Proceedings of Aerospace Conference, 2009 IEEE. Potemra, J.T. 2006: Indonesian Throughflow Transport Variability Estimated from Satellite Altimetry. The Official Magazine of the Oceanographic Society.Vol 18. No. 4. 98-107. Qu, T., Y. Du, L. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface Temperature and its Variability in the Indonesian Region. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005. Qu Bo, A.J. Gabric, Z. Jing-nan, L. Dao-rong, Q. Feng, Z. Min, 2012: Correlation between sea surface temperature and wind speed in Greenland Sea and their relationships with NAO variability. Water Science and Engineering, 2012, 5 (3): 304-315. doi:10.3882/j.issn.1674-2370.2012.03.006. Sachoemar S.I., and T. Yanagi, 2013: Temporal and Spatial Variability of Sea Surface Temperature within Indonesian Regions Revealed by Satellite Data, Reports of Research Institute for Applied Mechanics. Kyushu University No.145 (37-41) September 2013. Shukla, J., and B.M. Misra, 1977: Relationships between sea surface temperature and wind speed over the central Arabian Sea, and monsoon rainfall over India. Monthly Weather Review, 105, 998-1002. Sprintal, J and Liu, 2006: Ekman Mass and Heat Transport in the Indonesian Seas. The Official Magazine of the Oceanographic Society.Vol 18.No. 4.88-97 pp. Suryantoro A., 2008: Analisi Korelasi Suhu Udara Permukaan dan Curah Hujan di Jakarta dan Pontianak dengan Anomali Suhu Muka Laut Samudera India dan Pasifik Tropis dalam Kerangka Osilasi Dua Tahunan Troposfer (TBO), Jurnal Sains Dirgantara Vol 6 No. 1, 2008, pp 1-21. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997: The Ecology of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VIL Periplus Editions (HK) Ltd. 22
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
Walpole, R.E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 22-27. Wang C., R.H. Weisberg, and H. Yang, 1999: Effects of the wind speedevaporation-Sea Surface Temperature feedback on the El NiñoSouthern Oscillation. Journal of Atmospheric Sciences, 56(10), 13911403. Wang, W., B.T. Anderson, R.K. Kaufmann, and R.B. Myneni, 2004: The relation between the North Atlantic Oscillation and Sea Surface Temperatures in the North Atlantic Basin. Journal of Climate, 17(24), 4752-4759. [doi:10.1175/ JCLI-3186.1] Wytki. K., 1987: Indonesian Throughflow and the associated pressure gradient. Journal of Geophysical Research 92: 12. 941-12, 946. -------. 2006: Discovering the Indonesian Throughflow. The Official Magazine of the Oceanographic Society. Vol 18.No. 4.28-29 pp. Setiawan R Y., and A. Habibi, 2010: Sea Surface Temperature Cooling in the Indonesian Seas, Ilmu Kelautan. Maret 2010. vol. 15 (1) 42-46. ISSN 0853-7291. Xie, S.P., 2004: Satellite observations of cool ocean-atmosphere interaction. Bulletin of the American Meteorological Society, 85(2), 195-208. [doi:10.1175/BAMS-85-2-195]. Yu L, S. Zhong, X. Bian and W.E. Heilman, 2015: Temporal and Spatial Variability of Wind Resources in the United States as Derived from the Climate Forecast System Reanalysis. Journal of Climate. Vol. 28, 1166-1183. DOI: 10.1175/JCLI-D-14-00322.1
23
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL TAHUN 2050 BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TENGAH SELATAN Ina Juaeni Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN inajuaeni@yahoo. com ABSTRACT This paper describing research result based on CCAM models for long term monthly wind speed and direction simulation and projection. The study area is restricted to the southern central part of Indonesia. Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) as a dynamic model is o
used in 0. 5 of horizontal resolution that run for monthly output from January 1971 to December 2000, and for monthly projection on 2050. The monthly output from January 1971 to December 2000 averaged to obtain monthly rainfall climatology. The model run using A2 o
scenario, that temperature increase by 1,5 on 2050 within related to greenhouse gases increasing. The results of CCAM projections with two different host models indicate a change in wind direction and speed against climatology average. Positive anomalies for zonal wind occur in the northern area, while negative anomalies for the zonal wind tend to occur in the south, positive and negative anomalies for meridional wind occur in a random area. Reduction of zonal wind speed reach to 6 m/ sec while the maximum positive anomaly is 1. 5 m/sec, for meridional component the maximum negative anomaly as same as maximum positive anomaly reach to 2. 5 m / s. Keywords
: simulation, projection, negative anomaly
wind, positive
anomaly,
ABSTRAK Makalah ini berupa penelitian yang memanfaatkan model CCAM untuk simulasi serta proyeksi arah dan kecepatan angin bulanan jangka panjang. Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian tengah selatan. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM) dengan resolusi o
0,5 yang dijalankan untuk output bulanan dari Januari 1971 sampai dengan Desember 2000, serta proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971 sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan dengan menggunakan skenario A2, yaitu pada tahun 2050 akan terjadi o
kenaikan suhu sebesar 1,5 seiring peningkatan gas rumah kaca. Berdasarkan model CCAM dengan host model GFDLCM 20 dan GFDLCM21 hasil proyeksi menunjukkan terjadi perubahan arah 24
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
dan kecepatan angin terhadap rata-rata klimatologisnya. Anomali angin zonal positif terjadi di sebelah utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di sebelah selatan, sedangkan anomali positif dan negatif angin meridional terjadi dalam wilayah yang acak. Anomali angin zonal negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen meridional anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif maksimumnya, yaitu sebesar 2,5 m/det Kata kunci
1
: simulasi, proyeksi, angin, anomali positif, anomali negatif
PENDAHULUAN
Proyeksi iklim adalah pernyataan tentang kemungkinan yang akan terjadi beberapa puluh sampai ratusan tahun yang akan datang. Beda dengan prediksi, pada proyeksi perubahan iklim perubahan yang dipandang penting disertakan dalam kondisi batas, misalnya kenaikan gas rumah kaca. Untuk proyeksi kondisi masa yang akan datang, dikembangkan skenario tentang apa yang mungkin terjadi yang dijadikan asumsi dan dugaan. Penelitian proyeksi penting untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dampak buruk perubahan parameter atmosfer terhadap manusia. Sebagai contoh jika peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akan menimbulkan peningkatan suhu permukaan bumi yang berdampak buruk bagi manusia seperti menurunnya hasil pertanian. Proyeksi iklim memerlukan data dengan periode panjang (puluhan tahun sampai dengan ratusan tahun). Data in situ untuk wilayah Indonesia sangat sulit diperoleh dengan periode panjang seperti itu. Data output model dapat menjadi pengganti data in situ. Penelitian dengan menggunakan output model sesuai dengan sasaran kegiatan LAPAN bahwa output model menjadi alat pembelajaran untuk lebih memahami fenomena atmosfer. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menentukan proyeksi dan anomali angin horizontal pada tahun 2050 berdasarkan model. Model yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM). Model ini telah diketahui kinerjanya dalam menyimulasikan curah hujan berdasarkan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Juaeni (2010), Juaeni dan Sofiati (2013) serta Juaeni dkk. (2014) menunjukkan kinerja CCAM dalam mensimulasikan curah hujan di Indonesia dalam skala waktu harian dan bulanan. Untuk skala bulanan, CCAM dengan input SST dari model global GFDLCM20, GFDLCM21 dan UKMO-HADCM3 atau disingkat dengan CCAM+GFDLCM20, CCAM+GFDLCM21 dan CCAM+ 25
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
UKMOHADCM3 mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan CCAM+MK3. 5, CCAM+MIROC3 dan CCAM+MPI-ECHAM5 dalam menyimulasikan pola spasial dan temporal curah hujan, meskipun semua model tersebut mensimulasikan nilai curah hujan lebih rendah dibandingkan observasi. Hal ini ditunjukkan melalui tahapan perbandingan. Pada perbandingan pola, kuantitas dan spektrum curah hujan, CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan kinerja yang sangat baik di wilayah Indonesia bagian barat daya dan tengah selatan. Dengan kata lain model mempunyai kinerja yang baik dalam menyimulasikan curah hujan dengan variasi yang kecil atau curah hujan dengan pola monsunal. Dari penelitian tersebut juga ditunjukkan bahwa CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan model DARLAM+GCM-CSIRO9. Perbandingan keluaran model dengan observasi harian menunjukkan bahwa penggunaan model untuk aplikasi, simulasi ataupun prediksi parameter atmosfer harian khususnya curah hujan perlu langkah peningkatan akurasi terlebih dahulu (Juaeni dan Sofiati, 2013). Sebelumnya, CCAM sendiri sudah diaplikasikan untuk wilayah lain (lintang menengah) dan memberikan hasil yang baik (Nguyen and Mc Gregor, 2009 serta Nguyen, Katzfey, and McGregor, 2011). Hasil penelitian di atas dapat dijadikan acuan untuk menggunakan CCAM dan host model dalam mensimulasi dan memproyeksikan angin, karena angin mempunyai koefisien variasi yang lebih rendah dibandingkan curah hujan (Juaeni, 2016).
2
METODE PENELITIAN
Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian tengah selatan. Batasan wilayah penelitian diperlihatkan pada Gambar 1. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric o
Model (CCAM) dengan resolusi 0,5 yang dijalankan untuk output bulanan dari Januari 1971 sampai dengan Desember 2000, serta proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971 sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan dengan menggunakan skenario A2, yaitu terjadi kenaikan suhu sebesar o
1,5 C pada tahun 2050 seiring peningkatan gas rumah kaca seperti tercantum dalam AR4 (IPCC, 2014) (Gambar 2). Untuk memperoleh anomali angin perbulan, proyeksi angin perbulan tahun 2050 dikurangi angin perbulan klimatologis. Input SST berasal dari host model GFDLCM20, GFDLCM21. Ini merupakan pemanfaatan hasil uji kinerja 26
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
model sebelumnya yang menyatakan input SST yang berasal dari host model GFDLCM20, GFDLCM21 memberikan hasil simulasi yang cukup baik. Meskipun uji dilakukan untuk parameter curah hujan tetapi karena variasi curah hujan lebih tinggi dibandingkan variasi arah dan kecepatan angin, maka model tersebut akan memberikan hasil yang sama atau lebih baik untuk angin. Spesifikasi seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 1
Lokasi penelitian meliputi latitude: -9,5 o
longitude: 108 – 125
o
- 0 dan
o
Gambar 2 Skenario A2 untuk proyeksi tahun 2050 (lingkaran kuning) (Sumber: IPCC, 2014) Tabel 1
Resolusi dan batasan area model global
No
Model CCAM dengan input dari
Longitude 1
Longitude 2
Latitude 1
Latitude 2
1 2
GFDLCM20 GFDLCM21
70 70
180 180
-30 -30
40 40
27
Spesifikasi fisik dan dinamik dari dua model global ini sesuai dengan yang digunakan IPCC (2007), sementara CCAM adalah model atmosfer dengan spesifikasi dinamis seperti yang diuraikan dalam Thatcher dkk. (2009).
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Proyeksi dan anomali temperatur
Pada bab ini akan dibahas proyeksi angin tahun 2050 dan anomalinya. Karena skenario A2 mensyaratkan adanya perubahan temperatur, maka perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah temperatur memang meningkat. Hal ini akan diuraikan melalui hasil proyeksi suhu tahun 2050. Hasil simulasi klimatologis menunjukkan bahwa tempeo
o
ratur daratan dan lautan berkisar antara 24,5 C sampai 29,0 C. Berdasarkan hasil proyeksi temperatur tahun 2050 oleh CCAM dengan host model GFDLCM20 dan GFDLCM 21, dapat ditunjukkan o
bahwa peningkatan temperatur lebih dari 1,5 C terjadi di lautan Jawa dan sedikit wilayah darat di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, Laut Sulawesi, lautan Pasifik Barat, Laut Banda, Laut Arafura, lautan Hindia, sebagian daratan Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Anomali temperatur pada bulan Juli dari model CCAM+GFDLCM20 dan anomali temperatur bulan Januari dari model CCAM+GFDLCM21 pada Gambar 3 mewakili gambaran anomali temperatur selama tahun 2050 di wilayah Indonesia bagian tengah selatan (Juaeni dkk., 2014).
Gambar 3
Anomali temperatur tahun 2050, kiri: CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 kmbulan Juli, kanan: CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km bulan Januari (Juaeni dkk., 2014)
28
3.2
Angin klimatologis
Hasil proyeksi dan anomali temperatur menunjukkan untuk wilayah penelitian terjadi kenaikan suhu yang besarnya bervariasi. o
Kenaikan suhu yang disyaratkan oleh skenario A2 yaitu 1,5 terjadi di beberapa lokasi, bahkan di wilayah tertentu terjadi kenaikan suhu o
mencapai 4 . Sebaliknya, ditemukan wilayah-wilayah yang tidak mengalami kenaikan temperatur permukaan. Hal ini bisa terjadi karena respon peningkatan gas rumah kaca berbeda-beda untuk setiap tempat dan juga bisa terjadi feedback positif dan negatif secara bersamaan (Juaeni, 2014). Selanjutnya akan dibahas proyeksi arah dan kecepatan angin beserta anomalinya. Kondisi klimatologis angin berdasarkan model CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan bahwa pada bulan Januari dan Februari didominasi angin barat dengan kecepatan paling tinggi 1 m/det di daratan, 4 sampai 6 m/det di laut dan di lautan. Pada bulan Maret terjadi pelemahan angin di seluruh wilayah penelitian. Pada bulan April arah angin berubah menjadi angin timur. Kondisi seperti ini terjadi sampai bulan November dengan kecepatan angin antara 3 sampai 10 m/det di laut dan di lautan, kurang dari 1 sampai 1 m/det di daratan. Pada bulan Desember arah angin berubah lagi menjadi angin barat dengan kecepatan maksimum 3 m/det di laut/lautan. Angin klimatologis bulan Januari dan Desember dari host model GFDLCM20 diperlihatkan pada Gambar 4 atas. Angin klimatologis bulan Januari dan Desember dari host model GFDLCM21 diperlihatkan pada Gambar 4 bawah. 3.3
Proyeksi dan anomali angin tahun 2050
Proyeksi angin tahun 2050 dengan host model GFDLCM20 pada Januari 2050 mengidentifikasi adanya pembalikan arah angin, barat menjadi timur di bagian barat Indonesia dan angin timur menjadi angin barat di timur Indonesia disertai penurunan kecepatannya. Pada Februari 2050 terjadi penurunan kecepatan angin di Laut Maluku. Pada Maret dan April 2050 kondisi angin permukaan sama dengan kondisi pada Januari 2050. Pada Mei sampai November 2050 diidentifikasi sebagai angin timur di seluruh lautan atau tidak ada perubahan berarti dibandingkan rata-rata 30 tahun. Pada Desember 2050 angin barat di Selat Makassar berubah menjadi angin utara. Dengan GFDLCM21, pada Januari 2050 terjadi pengurangan kecepatan di Laut Jawa dan perubahan arah dari utara menjadi barat laut di Laut 29
Maluku. Pada Februari 2050, angin timur di Laut Maluku berubah menjadi timur laut. Terjadi perubahan arah di Selat Makassar timur pada Maret 2050. Pada April 2050,terjadi angin timur dengan sedikit pengurangan kecepatan di Laut Maluku di bandingkan rata-ratanya. Pada bulan Mei sampai November, arah dan kecepatan angin relatif tidak berubah dari rata-ratanya. Pada Desember 2050 berhembus angin barat, sama dengan kondisi rata-ratanya.
Gambar 4
atas: Angin permukaan CCAM dengan GFDLCM20 resolusi 55,5 km rata-rata bawah: Angin permukaan CCAM dengan GFDLCM21 resolusi 55,5 km rata-rata untuk bulan Januari dan Desember
host model 30 tahun, host model 30 tahun,
Untuk anomali kecepatan angin dipisahkan antara komponen zonal dan komponen meridional. Untuk komponen zonal, anomali kecepatan angin arah zonal (barat-timur) untuk model CCAM+GFDLCM20 menunjukkan terjadi penurunan dan peningkatan kecepatan angin. Pengurangan kecepatan dimulai sejak Januari 2050 yang berangsur-angsur pengurangannya semakin kecil sampai November. Bulan Desember anomali negatif meningkat lagi. Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan sementara 30
peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara area penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi anomal positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi kuantitasnya lebih kecil, ada pemisahan dominasi antara utara dan selatan tetapi tidak dominan, anomali positif dan negatif terletak berurutan terhadap meridian atau terhadap lintang. Gambar 5 atas menunjukkan anomali angin zonal pada Januari dan November 2050. Gambar 5 bawah menunjukkan anomali angin meridional pada Januari dan Desember 2050.
Gambar 5
atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen zonal CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan November, bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Desember
31
Untuk komponen zonal, anomali kecepatan angin arah zonal (barat-timur) untuk model CCAM+GFDLCM21 menunjukkan hasil yang sangat mirip dengan hasil yang diperoleh model CCAM=GFDLCM20. Terjadi penurunan dan peningkatan kecepatan angin. Pengurangan kecepatan dimulai sejak Januari 2050 yang berangsur-angsur pengurangannya semakin kecil. Pada bulan Mei anomali positif diseluruh wilayah penelitian dan kemudian anomali menjadi negatif lagi pada bulan Juni 2050 sampai September. Bulan Oktober anomali positif disemua wilayah. Bulan November dan Desember anomali negatif berangsur-angsur meningkat lagi.
Gambar 6
atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen zonal CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Mei, bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Juni
32
Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan sementara peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara area penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi anomal positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi kuantitasnya lebih kecil, Pada bulan Januari dan Maret anomali positif di semua wilayah. Kemudian anomali negatif berangsur meningkat. Anomali negatif tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Oktober. Anomali positif pada komponen zonal banyak terjadi sebelah utara area penelitian diduga berkaitan dengan posisinya yang lebih dekat ke ekuator, karena anomali positif nilainya kecil dibandingkan anomali negatif. Wilayah ekuatorial adalah wilayah yang tidak dipengaruhi oleh gaya semu Coriolis sehingga dinamika di wilayah itu cenderung statis. Maka perubahan yang terjadi tidak terlalu besar. Sementara wilayah yang jauh dari garis ekuator semakin dipengaruhi oleh gaya Coriolis. Dinamika atmosfer semakin aktif pada lokasi yang menjauhi ekuator. Berapapun nilai mutlak perubahan arah angin dan pelemahan kecepatan angin pada bulan Januari sampai April 2050, dari barat menjadi timur perlu diwaspadai karena perubahan ini mengandung potensi akan berkurangnya curah hujan, terutama di wilayah sebelah selatan. Pelemahan kecepatan angin bisa menjadi indikator akan terjadinya El Niño.
4
KESIMPULAN
Hasil proyeksi model CCAM dengan dua host model yang berbeda menunjukkan terjadi perubahan arah dan kecepatan angin terhadap rata-rata klimatologisnya. Anomali positif dominan terjadi di sebelah utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di sebelah selatan untuk angin zonal, sedangkan untuk angin meridional tidak ada karakter wilayah yang tegas membedakan anomali positif dan negatif. Anomali negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen meridonal anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif maksimum mencapai 2,5 m/det.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada CSIRO untuk hasil simulasi yang telah diberikan dan kepada LAPAN atas segala dukungan fasilitas penelitian.
33
DAFTAR RUJUKAN IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007: Climate Change, IPCC Fourth Report, WMO – UNEP. IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014: Mitigation of climate change, WMO – UNEP. Juaeni, I. ; 2010: Simulasi Curah Hujan Berbasis Model Dinamis Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM), Prosiding Seminar Nasional Penerbangan dan Antariksa, Sub-seminar Sains Atmosfer dan IklimLAPAN, 15 November 2010, Bandung-Jawa Barat. Juaeni, I. dan Iis Sofiati, 2013:Perbandingan Pola dan Intensitas Curah Hujan Observasi dengan Curah Hujan Simulasi Harian di Jawa Timur, Prosiding Simposium Fisika Nasional XXVI, 10-11 Oktober 2013, Malang-Jawa Timur. Juaeni, I. ; Bambang Siswanto, Nurzaman Adikusumah, dan Iis Sofiati, 2014:Perbandingan Simulasi Curah Hujan Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) Dengan tiga Host Model Di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Selatan, Prosiding Simposium Fisika Nasional XXVII, 16-17 Oktober, Denpasar-Bali. Juaeni, I. ; 2014 :Feedback Peningkatan Temperatur Permukaan Pada Curah hujan di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Selatan BerbasisConformal Cubic Atmospheric Model (CCAM),Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer-LAPAN, 24 Juni 2014, BandungJawa Barat. Juaeni, I. ; 2016:Perbedaan karakter Atmosfer Permukaan Padang dan Selaparang Berbasis Selisih Nilai dan Variansi, dalam proses publikasibentuk Jurnal Akreditasi Nasional. Nguyen, K. C. and J. L. McGregor, 2009:Dynamical downscaling of the MK3. 0 simulation of the A2 scenario over the Australian region using CCAM, National Library of Cataloguing, ISBN 9781921605093, The Australian Government Department of Environment. Nguyen, K. C. ,Jack J. Katzfey, John L. McGregor, 2011: Global 60 km simulations with CCAM: evaluation over the tropics, Climate Dynamics, 39,Issue 3-4, 637-654. Thatcher, M. and J.L. McGregor; 2009: Using a Scale-Selective Filter for Dynamical Downscaling with the Conformal Cubic Atmospheric Model. Monthly Weather Review, 137.
34
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono , dan Rosida Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Bandung indah. susanti@lapan. go. id ABSTRACT Temperature variations profile have analyzed using data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) from January 2003 - December 2015 for 24 altitude. By using a regression equation to temperature in all altitude of atmosphere by time, showed a warming atmosphere at 70 mb - 30 mb. Meanwhile, at others shows cooling. In this case, the energy balance determined the rate of temperature changes. La Ninã occurred in 2010, causing an abundance of moisture, and when the rains fall contributed to temperatures increasedand caused 3 ˚C of temperature anomaly. In addition, changes in radiation energy, also showed strong linkages with temperature changes around the surface, as shown by high correlation (0,7) between the temperature near the surface with the value of the greenhouse effect. Keywords
: temperature, atmosphere.
radiation,
greenhouse
effect,
ABSTRAK Telah dianalisis variasi profil suhu dengan menggunakan data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) dari Januari 2003 – Desember 2015 untuk 24 ketinggian atmosfer. Penggunaan persamaan regresi terhadap suhu di 24 ketinggian atmosfer berdasarkan waktu, hasilnya menunjukkan adanya pemanasan di ketinggian atmosfer 70 mb – 30 mb. Lain halnya di ketinggian lainnya menunjukkan pendinginan. Hal ini disebabkan neraca energi turut menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun 2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan memberikan kontribusi pada peningkatan suhu dan menyebabkan adanya anomali sebesar 3 ˚C di ketinggian 500 – 150 mb. Selain itu, perubahan energi radiasi, juga menunjukkan keterkaitan yang cukup kuat dengan perubahan suhu di sekitar permukaan, yang ditunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,7 antara suhu di dekat permukaan dengan nilai efek rumah kaca. Kata kunci
: suhu, radiasi, efek rumah kaca, atmosfer.
35
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
1
PENDAHULUAN
Perubahan iklim sampai saat ini masih menjadi isu yang disoroti oleh banyak ilmuwan, terutama yang terkait dengan mekanisme dan faktor-faktor yang berkontribusi pada perubahan iklim. Suhu merupakan parameter penting dalam perubahan iklim, dan perubahan suhu tersebut tidak hanya terjadi di permukaan bumi. Prediksi berdasarkan General Circulation Model (GCM) menyatakan bahwa pada abad ke-21 terdapat peningkatan pemanasan maksimum di troposfer, di sekitar 200 hPa (International Panel in Climate Change/IPCC, 2007). Kondisi ini memiliki implikasi penting terhadap sensitivitas iklim karena dampaknya pada umpan balik uap air, lapse rate, dan awan (Hartmann and Larson, 2002), serta terhadap perubahan sirkulasi atmosfer (Butler dkk., 2010). Bagaimana dengan troposfer atas di daerah tropis?. Untuk menjawabnya diperlukan pengujian terhadap validitas prediksi terkait pemanasan maksimum di troposfer atas di daerah tropis. Beberapa studi, seperti yang dilakukan Santer (Santer dkk., 2008), menunjukkan bukti-bukti bahwa perubahan suhu troposfer atas di daerah tropis lebih dari yang terjadi di permukaan dalam skala waktu multi-dekadal, meskipun beberapa analisis masih menunjukkan sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh Christy tahun 2007. Di atmosfer, distribusi kelembapan dan tekanan udara di ketinggian yang bersifat progresif, menghasilkan penurunan suhu sampai ketinggian tropopause, dengan tingkat penurunan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis dan kondisi cuaca. Tropopause menandai puncak troposfer, yaitu dengan ketinggian 8 sampai 16 km dari permukaan dan bervariasi berdasarkan lintang dan bujur. Di atas ketinggian ini, sifat fisik dari udara menghasilkan pemanasan yang mengikuti ketinggian stratosfer yang membentang dari tropopause sampai ketinggian kurang lebih ~ 50 km (Fu dkk., 2011). Profil suhu vertikal atmosfer mencerminkan keseimbangan antara radiasi, konveksi dan dinamika pemanasan/pendinginan dari sistem permukaan bumi-atmosfer. Kombinasi antara sifat fisik dan proses dinamis dari atmosfer, pencampuran panas secara vertikal dan horizontal, akan menghasilkan suhu tertinggi, rata-rata, dengan variasi musiman dan spasial tertentu (Forster dkk., 2007). Kecenderungan suhu permukaan berbeda dari kecenderungan suhu di atmosfer yang lebih tinggi. Hal ini karena adanya perbedaan tipe permukaan, perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer atau kecenderungan 36
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
variabilitas atmosfer, dan faktor-faktor pendorong (forcing factors). Tipe permukaan seperti laut, salju, es, dan tutupan vegetasi, akan membedakan secara signifikan karakteristik fisisnya (Forster dkk., 2007). Faktor-faktor pendorong (forcing factors), baik alami (seperti letusan gunung dan sinar matahari) atau antropogenik (seperti gas rumah kaca, aerosol, ozon, dan tataguna lahan) untuk menghasilkan kecenderungan profil suhu yang berbeda, dan variasi vertikal ini dapat berubah sepanjang waktu. Hal ini dapat muncul karena perubahan spasial dan temporal konsentrasi atau karakteristik forcing agents (Soden and Held, 2006). Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan suhu menyebabkan tingginya tingkat kemungkinan bahwa suhu menunjukkan variabilitas yang tinggi secara horizontal, vertikal, dan spasial. Perkembangan teknologi satelit pada saat ini memungkinkan untuk memperoleh parameter yang terkait dengan perubahan kondisi suhu vertikal dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek perubahan suhu secara horizontal dan vertikal (profil), serta temporal dalam mengungkap keterkaitan perubahan suhu dengan perubahan neraca energi. Melalui studi ini diharapkan memberi gambaran untuk wilayah Indonesia, dimana terjadi perubahan suhu, baik secara vertikal dan horizontal, serta dapat memperoleh gambaran awal keterkaitannya dengan neraca energi radiasi, terutama radiasi inframerah yang berasal dari permukaan bumi yang menimbulkan efek rumah kaca. Hal ini dikarenakan di troposfer, gas-gas penyusun atmosfer kurang efisien dalam menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap energi inframerah yang diemisikan oleh bumi (Gettelman and Forster, 2002).
2
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan pada studi ini adalah suhu pada 24 ketinggian berdasarkan tekanan atmosfer dari Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) versi 6. Seluruh data yang digunakan dapat diunduh di ftp:/data/s4pa/Aqua_AIRS_Level3/AIRX3STM/006. Format data yang diperoleh dalam bentuk hdf dengan resolusi vertikal 1 km, resolusi horizontal 1 derajat, dan resolusi temporal bulanan dari Januari 2003 sampai Desember 2015. Ketinggian yang dapat digunakan untuk menganalisis suhu berdasarkan data AIRS mencakup 24 level, yaitu 1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, 150, 100, 70, 50, 30, 20, 15, 10, 7, 5, 3, 2, 1,5 dan 1 mb. Parameter yang digunakan 37
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
terdiri dari profil suhu pada 24 level ketinggian, suhu permukaan, dan Outgoing Longwave Radiation (OLR). Cakupan wilayah yang dianalisis adalah 80 – 150˚BT dan 20˚LS – 20˚LU (meliputi 4 kota yaitu Jakarta, Medan, Makasar, dan Biak). Metode yang digunakan adalah perbandingan suhu pada 24 ketinggian atmosfer secara spasial. Metode ini digunakan untuk dapat mengidentifikasi dan menganalisis perubahan suhu secara relatif di beberapa lapisan troposfer. Kemudian dilakukan perbandingan temporal dengan menggunakan analisis deret waktu dan menghitung tingkat perubahan suhu selama periode yang dianalisis untuk semua level ketinggian. Untuk dapat mengidentifikasi keterkaitannya dengan perubahan neraca radiasi gelombang pendek atau inframerah yang dipancarkan bumi akan dibuat perbandingan antara kenaikan suhu dengan efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan indikator yang menggambarkan berapa besar energi inframerah yang terjebak di atmosfer. Efek rumah kaca merupakan gambaran besarnya energi yang terjebak atau terserap di atmosfer, maka efek rumah kaca dihitung sebagai selisih antara energi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan bumi dengan energi inframerah yang keluar atmosfer bumi (outgoing longwave radiation). Adapun emisi inframerah diestimasi berdasarkan suhu permukaan. Dalam hal ini bumi diasumsikan sebagai benda hitam, sehingga energi yang diemisikannya adalah 𝜎𝑇𝑠 4 . 𝑇𝑠 adalah suhu permukaan, dan 𝜎 adalah konstanta Steffan Boltzman (5,67 x 10-8 Wm-2K-4) (Ramanathan and Inamdar, 2006)
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengolahan data AIRS dapat diketahui bahwa profil suhu di Indonesia masih mengikuti pola umum, yaitu mengalami penurunan suhu sampai tropopause dan mengalami peningkatan di stratosfer. Gambar 1a menunjukkan profil suhu rata-rata untuk seluruh wilayah kajian dari Januari 2003 – Desember 2015 secara jelas. Hal ini sesuai dengan banyak hasil penelitian lainnya, diantaranya yang dilakukan Hermawan (2009) dengan menggunakan data FORMOSAT-3 dan radiosonde, serta sesuai dengan yang dilakukan oleh Fu dkk. (2011). Di atmosfer pada ketinggian sekitar 17 km atau pada tekanan udara sekitar 100 mb, suhu mulai menunjukkan peningkatan. Nilai minimal profil suhu di Indonesia mencapai -81 ˚C. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata38
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
rata suhu Indonesia di permukaan yang bernilai 27,8 ºC. Dengan adanya perubahan komposisi atmosfer, memungkinkan adanya perubahan kondisi suhu atmosfer (Forster dkk., 2007) dengan tingkat perubahan yang berbeda untuk setiap level ketinggian. Gambar 1b menggambarkan tingkat perubahan suhu untuk 24 level ketinggian di beberapa kota. Terdapat dua hal yang dapat dicermati dari gambar tersebut. Pertama, secara vertikal, semua kasus kota yang diamati menunjukkan bahwa perubahan suhu tertinggi terjadi di ketinggian 70 mb, yang berarti berbeda dari yang ditunjukkan dalam laporan IPCC 2007 bahwa peningkatan suhu berdasarkan GCM terjadi di ketinggian atmosfer 200 mb. Berdasarkan data AIRS, suhu pada ketinggian 70 mb di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,01 ºC per bulan dalam periode Januari 2003 – Desember 2015, yang berarti dalam 1 tahun menghasilkan kenaikan suhu sebesar 0,12 ºC. Kedua, semua kasus kota yang diamati menunjukkan besaran perubahan suhu yang hampir sama di semua ketinggian atmosfer, kecuali di dekat permukaan dan di stratosfer, terutama untuk 10 – 1 mb. Karena kondisi suhu erat kaitannya dengan keseimbangan energi dan sirkulasi (Forster dkk., 2007), maka variasi suhu yang besar di permukaan dan di stratosfer menunjukkan adanya variasi perubahan neraca energi yang besar kemungkinannya dipengaruhi perubahan komposisi atmosfer dan sirkulasi atmosfer (Grewe dkk., 2001). Perubahan komposisi atmosfer pada umumnya sangat tergantung pada kondisi lokal, yaitu tingkat emisi gas-gas dan partikel tertentu dari suatu daerah (Grewe dkk., 2001). Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab adanya perbedaan tingkat perubahan suhu permukaan antar daerah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1b. Besarnya tingkat perubahan suhu pada ketinggian atmosfer 70 mb, terjadi hampir di semua wilayah kajian. Gambar 1c menunjukkan tingkat perubahan suhu rata-rata longitudinal, dimana peningkatan kuat di ketinggian 70 mb sampai 30 mb, lebih cenderung terjadi di belahan bumi selatan dari wilayah kajian. Mengingat lautan di selatan wilayah kajian lebih banyak dibandingkan utara, maka terdapat kemungkinan bahwa lautan memberi kontribusi pada peningkatan suhu di ketinggian 70 mb-30 mb. Adanya peningkatan suhu yang lebih besar pada ketinggian tersebut menunjukkan adanya peningkatan kapasitas atmosfer dalam menampung uap air pada level tersebut, mengingat prinsip dasar atmosfer bahwa atmosfer yang lebih hangat dapat menampung uap air yang lebih banyak (Pierrehumbert, dkk., 2007). Dalam hal ini, perlu adanya penelitian lebih lanjut yang 39
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
menyebabkan peningkatan pada level tersebut. Di stratosfer yang lebih tinggi dari level tersebut menunjukkan pendinginan yang lebih besar dibandingkan dengan level lainnya. Hal ini sesuai dengan apa diungkapkan oleh Ramaswamy (2001) dan Shine (2003) bahwa di stratosfer terjadi pendinginan yang dikendalikan oleh faktor antropogenik melalui emisi gas rumah kaca dan ozone-depleting yang menimbulkan efek radiatif. Menurut peneliti tingkat perubahan suhu yang dihitung berdasarkan nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu, menunjukkan kecenderungan umum yang terjadi dalam skala waktu panjang (dekade atau multi dekade). Perubahan suhu yang terjadi, lebih disebabkan oleh faktor-faktor forcing secara gradual dalam jangka waktu panjang. Profil suhu ratarata (K) 1
1
10
10
100
100
1000 -100
Tingkat perubahan suhu (K)
0
1000 -0.01 -0.005 0 biak makassar
Tingkat perubahan suhu zonal rata-rata (K/bulan)
0.005 0.01 jakarta medan
Gambar 1. Profil suhu rata-rata di Indonesia berdasarkan data AIRS (a) dan tingkat perubahan suhu rata-rata per bulan untuk periode Januari 2003 – Desember 2015 di 24 level ketinggian untuk beberapa kota di Indonesia(b), dan tingkat perubahan suhu zonal ratarata untuk sampai tekanan atmosfer 1 mb (Sumber : Hasil olahan, 2016).
40
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
Jika perubahan gradual dalam jangka panjang ditunjukkan oleh nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu, maka perubahan yang bersifat temporer dapat ditunjukkan oleh nilai anomalinya. Gambar 2 berikut, merupakan ilustrasi anomali profil suhu di beberapa kota di Indonesia (Medan, Makassar, Jakarta, Biak) untuk ketinggian atmosfer 1000 mb – 1 mb selama periode Januari 2003 – Desember 2015.
Gambar 2. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Medan, Makassar, Jakarta dan Biak, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 1 mb (dalam Kelvin) (Sumber : Hasil olahan, 2016).
Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa anomali profil suhu menunjukkan adanya siklus,terutama di ketinggian atmosfer 100 mb – 1 mb. Di beberapa periode, di sekitar ketinggian 100 mb, menunjukkan anomali suhu negatif, namun ketinggian di atasnya menunjukkan anomali positif. Sebaliknya, di periode yang lain, di ketinggian 100 mb menunjukkan anomali positif, dan di ketinggian di atasnya menunjukkan anomali negatif. Pola siklus suhu stratosfer ini, 41
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
merupakan hal yang harus digali lebih lanjut. Thompson dkk. (2012) menyatakan bahwa kecenderungan tersebut sampai saat ini masih merupakan hal yang dipertanyakan. Dengan menggunakan data NOAA, Met Office, RSS, dan UAH (data observasi) serta data CCM dan CMIP5, Thompson, dkk. (2012) menunjukkan bahwa di stratosfer terjadi penurunan suhu, dimana data observasi menunjukkan penurunan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan data model. Dalam hal ini, data AIRS menunjukkan pola penurunan yang sama di stratosfer. Di sekitar permukaan, anomali di keempat kota menunjukkan variasi yang cukup besar. Hanya Biak yang menunjukkan siklus suhu cukup jelas. Kemungkinan hal ini dikarenakan kontribusi faktor antropogenik di Biak lebih kecil dibanding 3 (tiga) kota lainnya, sehingga faktor penyinaran matahari menjadi lebih dominan. Secara umum, keempat kota menunjukkan pola yang hampir sama. Apabila mencermati profil suhu troposfer dalam gambar yang lebih detail dari salah satu kota tersebut (Makassar), terdapat fenomena tersendiri pada tahun 2008 dan 2010. Pada tahun 2008 terjadi anomali negatif yang cukup besar di ketinggian atmosfer 500 – 150 mb (Gambar 3). Sebaliknya, di tahun 2010 terjadi anomali positif yang besar di hampir semua ketinggian troposfer, karena pada tahun 1998 dan 2010 Indonesia mengalami kejadian La Ninã (LAPAN, et. al. , 2016). Untuk fenomena yang terjadi tahun 2010 dapat dijelaskan melalui peristiwa La Ninã, dimana di troposfer terdapat muatan uap air yang cukup banyak dan terjadi pelepasan panas laten pada saat terbentuk hujan dan memberi kontribusi pada peningkatan suhu atmosfer dan menyebabkan adanya anomali sampai 3˚C. Uap air di troposfer berperan sebagai faktor kunci dalam pengaturan dinamika troposfer dan merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat. (Scheneider, dkk., 1999 dalam Ambarsari, 2010). Namun, untuk 2008, tidak terjadi fenomena ENSO yang dapat menjelaskan penurunan suhu tersebut. Dalam hal, perlu ada kajian yang lebih mendalam mengenai hal tersebut. Pada saat ini telah diakui bahwa untuk dapat menganalisis kecenderungan suhu yang terobservasi membutuhkan pemahaman dalam hal perubahan neraca air dan energi global, serta perubahan sirkulasi atmosfer umum. Realisasi ini merupakan hal yang krusial untuk dapat menginterpretasi perubahanperubahan profil suhu atmosfer. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer dan konsekuensi dari perubahan-perubahan uap air, awan, prisipitasi, fluks radiatif, dan sebagainya. Perubahan neraca energi yang berakibat pada penurunan 42
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
suhu tahun 2008, dapat berasal dari perubahan sirkulasi atmosfer global, atau berasal dari adanya kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2007 yang melepaskan aerosol ke stratosfer dan mengurangi masuknya radiasi matahari ke troposfer dalam jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini membutuhkan dukungan data yang cukup akurat untuk dapat menjelaskan fenomena tersebut.
a.
b.
Gambar 3. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Makassar, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 150 mb (a), dan 150 mb – 1 mb (b) (Sumber : Hasil olahan, 2016).
Peningkatan suhu tahun 2010, terjadi sampai tropopause. Di stratosfer menengah terjadi penurunan suhu, yang akan mempengaruhi kapasitas udara dalam menampung uap air. Penurunan suhu di stratosfer tersebut, diikuti oleh peningkatan pada periode berikutnya (Gambar 3.b.). Pola ini menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh sirkulasi global yang mendominasi pada neraca energi dan mempengaruhi suhu stratosfer. Kondisi troposfer memberi pengaruh pada kondisi stratosfer, demikian pula sebaliknya, kondisi stratosfer memberi pengaruh pada troposfer. Thorne (2005) mengungkapkan bahwa efek ke atas, dari troposfer ke stratosfer, telah banyak dipahami, namun efek ke bawah, dari stratosfer ke troposfer, sangat kurang dipahami. Meskipun demikian, kemungkinan pengaruh-pengaruh radiatif dan dinamis dari stratosfer terhadap troposfer mulai diungkapkan. Efek radiatifnya mencakup depletasi ozon stratosfer dan perubahan tropospheric forcing karena radiasi UV atau gelombang panjang (multidekade), tropospheric longwave forcing dari peningkatan gas rumah kaca di stratosfer dalam skala multi dekade, dan dari perubahan uap air stratosfer, tropospheric 43
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
forcing dari perubahan iradiansi sinar matahari yang disebabkan perubahan ozon dan UV (periodik dan dekadal), serta pengaruh gas-gas dan uap air vulkanik di stratosfer bawah melalui efek radiatif dan pengaruh pada awan sirus (Thorne, 2005).
Gambar 4. Diagram pencar antara efek rumah kaca (Ga) dan suhu rata-rata Januari 2003-Desember 2015 untuk seluruh wilayah kajian pada beberapa level ketinggian atmosfer dengan menggunakan data AIRS
44
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
Di troposfer, gas-gas penyusunnya kurang efisien dalam menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap energi inframerah yang diemisikan oleh bumi. Dua gas yang paling efektif sebagai penyerap radiasi inframerah adalah uap air dan karbon dioksida (Gettelman and Forster, 2002). Jadi, troposfer bumi lebih cenderung dipanaskan oleh permukaan bumi, tidak oleh sinar matahari secara langsung. Molekul uap air dan karbon dioksida menyerap inframerah yang diemisikan oleh bumi, dan membagi energi tersebut dengan molekul lainnya di troposfer. Istilah efek rumah kaca sering digunakan untuk menggambarkan proses ini, yang mana energi matahari memanaskan bumi, bumi mengemisikan inframerah yang kemudian diserap untuk memanaskan troposfer (Garfinkel, 2013). Efek rumah kaca adalah salah satu isu lingkungan yang paling banyak mendapat perdebatan. Untuk melihat pengaruh efek rumah kaca pada profil suhu, digunakan analisis diagram pencar antara suhu pada ketinggian tertentu dengan besar efek rumah kaca terhitung. Hasilnya menunjukkan bahwa efek rumah kaca lebih berpengaruh pada suhu dekat dengan permukaan. Gambar 4 menunjukkan diagram pencar antara suhu dan besaran efek rumah kaca terhitung sebagai indikasi berapa besar radiasi gelombang panjang yang terjebak di atmosfer. Korelasi antara suhu dan efek rumah kaca lebih cenderung kuat di sekitar permukaan, dengan nilai korelasi positif sebesar 0. 7. Hal ini berarti bahwa penyerapan radiasi inframerah lebih banyak terjadi di permukaan. Kemungkinan hal ini terjadi karena sifat mampat dari atmosfer, dimana densitas atmosfer lebih tinggi di sekitar permukaan. Dengan mengingat posisi gas rumah kaca dan mekanismenya ada di atmosfer atas, sedangkan efek rumah kaca lebih berkaitan dengan suhu di permukaan, maka hal ini memunculkan pertanyaan, apakah gas rumah kaca lebih bersifat menyerap radiasi atau memantulkan? Jika lebih banyak memantulkan atau memencarkan, maka hal ini ‘kurang’ sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Gettelman and Forster (2002) bahwa gas rumah kaca cenderung menyerap radiasi inframerah. Atau mungkin pernyataan tersebut pada dasarnya hanya ditujukan untuk perbandingan mana yang lebih besar peranan gas rumah kaca dalam penyerapan radiasi inframerah/gelombang panjang atau penyerapan gelombang pendek. Konteks uraian Gettelman and Forster (2002) lebih menunjukkan bahwa pemanasan di atmosfer adalah karena radiasi gelombang panjang, bukan karena pemanasan dari sinar matahari langsung. Selain itu juga perlu dikaji dari sisi 45
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
perbedaan data yang digunakan. Berdasarkan nilai slope antara suhu dan efek rumah kaca, di permukaan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, yang berarti bahwa di sekitar permukaan, suhunya lebih sensitif terhadap perubahan efek rumah kaca, atau terhadap perubahan neraca radiasi gelombang panjang.
4
KESIMPULAN
Peningkatan suhu berkaitan dengan neraca radiasi dan neraca air serta sirkulasi atmosfer. Oleh karena itu, penyerapan radiasi akan memberikan kontribusi pada suhu. Berbagai proses yang terjadi di atmosfer, menyebabkan adanya perbedaan perubahan profil suhu. Dari hasil analisis data AIRS, menunjukkan adanya pemanasan di ketinggian atmosfer 70 mb – 30 mb. Sedangkan di ketinggian lainnya menunjukkan pendinginan. Dalam hal ini, neraca energi akan menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun 2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan memberikan kontribusi pada peningkatan suhu melalui pelepasan panas laten di atmosfer. Selain itu, perubahan energi radiasi juga menunjukkan korelasi yang cukup kuat dengan perubahan suhu di sekitar permukaan sebagai efek rumah kaca.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sri Kaloka yang telah memberi bimbingan dalam penelitian yang terkait dengan persoalan gas rumah kaca sebagai bagian dalam penelitiannya.
DAFTAR RUJUKAN Butler, A. H. , D. W. J. Thompson, and R. Heikes, 2010: The steady‐ state atmospheric circulation response to climate change‐like thermal forcings in a simple general circulation model. Journal of Climate, 23, 3474–3496, doi:10. 1175/2010JCLI3228. 1. Forster, P. , V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D. W. Fahey, J. Haywood, J. Lean, D. C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R. Prinn, G. Raga, M. Schulz and R. Van Dorland, 2007: Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing, In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. 46
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
Fu, Q. , S. Manabe, and C. M. Johanson, 2011: On the warming in the tropical upper troposphere: Models versus observations, Geophys. Res. Lett. , 38, L15704, doi: 10. 1029/2011GL048101. Garfinkel, C. I. , D. W. Waugh, L. D. Oman, L. Wang, and M. M. Hurwitz, 2013: Temperature trends in the tropical upper troposphere and lower stratosphere: Connections with sea surface temperatures and implications for water vapor and ozone, J. Geophys. Res. Atmos. , 118, 9658–9672, doi:10. 1002/ jgrd. 50772. Gettelman, A. and Forster, P. M. F. , 2002: A Climatology of the Tropical Tropopause Layer, J. Met. Soc. Jpn. , 80, 911–924. Grewe, V. , M. Dameris, R. Hein, R. Sausen and B. Steil, 2001: Future changes of the atmospheric composition and the impact of climate change, Tellus (2001), 53B, 103–121, ISSN 0280–6509 Hartmann, D. L. , and K. Larson, 2002: An important constraint on tropical cloud‐climate feedback, Geophys. Res. Lett. , 29(20), 1951, doi:10. 1029/2002GL015835. Hermawan, E. , 2009: Profil vertikal suhu atmosfer di atas Indonesia berbasis hasil analisis data satelit Formosat-3/COSMIC, Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 1 Desember 2009: 176-200. IPCC, Climate Change 2007: The Physical Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Solomon, S. , Qin, D. , Manning, M. , Chen, Z. , Marquis, M. , Averyt, K. B. , Tignor, M. , and Miller H. L. (Eds. ), Cambridge Univ. Press, Cambridge, U. K. and New York, U. S. A. , pp 996. LAPAN, WFP, Kementerian Pertanian, FAO, BPS, BNPB dan BMKG, 2016: Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan di Indonesia Fokus Utama: La Nina, Volume 3 Agustus. Novita, A., 2010: Kajian Pengaruh Uap Air Terhadap Perubahan Iklim, Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September:93-98. Pierrehumbert, H. Brogniez, and R. Roca, 2007: On the relative of the atmosphere. The Global Circulation of the Atmosphere, T. Schneider and A. H. Sobel, Eds. , Princeton University Press, 143-185. Ramanathan, V. and A. Inamdar, 2006: The radiative forcing due to clouds and water vapor, Frontiers of Climate Modeling, Published by Cambridge University Press. Ramaswamy, V. , M. L. Chanin, J. Angell, J. Barnett, D. Gaffen, M. Gelman, P. Keckhut, Y. Koshelkov, K. Labitzke, J. J. R. Lin, A. O’Neill, J. Nash, W. Randel, R. Rood, K. Shine, M. Shiotani, and R. Swinbank, 2001: Stratospheric temperature trends: observations 47
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
and model simulations. Rev. Geophys. 39, 71–122. Santer, B. D. , P. W. Thorne, L. Haimberger, K. E. Taylor, T. M. L. Wigley, J. R. Lanzante, S. Solomon, M. Free, P. J. Gleckler, P. D. Jones, T. R. Karl, S. A. Klein, C. Mears, D. Nychka, G. A. Schmidt, S. C. Sherwood, and F. J. Wentz, 2008: Consistency of modeled and observed temperature trends in the tropical troposphere, Int. J. Climatol. , 28, 1703–1722, doi:10. 1002/joc. 1756 Shine, K. P. , M. S. Bourqui, P. M. de F. Forster, S. H. E. Hare, U. Langematz, P. Braesicke, V. Grewe, M. Ponater, C. Schnadt, C. A. Smith, J. D. Haigh, J. Autin, N. Butchart, D. T. Shindell, W. J. Randel, T. Nagashima, R. W. Portmann, S. Solomon, D. J. Seidel, J. Lanzante, S. Klein, V. Ramaswamy and M. D. Schwarzkopf, 2003: A comparison of model-simulated trends in stratospheric temperatures. Q. J. R. Meteorol. Soc. 129, 1565–1588. Soden B. F. and I. M. Held, 2006: An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models. J. Climate, 19: 3354-3360. Thompson, D. W. J. , D. J. Seidel, W. J. Randel, C. Zou, Amy H. Butler, C. Mears, A. Osso, C. Long & R. Lin, 2012: The mystery of recent stratospheric temperature trends, Nature Vol. 491, Macmillan Publishers Limited, doi:10. 1038/nature11579, pp 692-697. Thorne, P. W. , 2005: Vertical profile of temperature trends. American Meteorological Society, DOI:10. 1175/BAMS-86-10-1471.
48
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK JAUH DI KOTA BANDUNG Lilik S. Supriatin Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN e-mail: lilik_lapan@yahoo. com ABSTRACT Remote dust pollutant in size of less than 2. 5 microns are harmful to the visibility of atmosphere and health. Topography of Bandung as basin makes coming air pollutant difficult to move out and stagnant, so the accumulation of these kind of pollutants are high enough. The object of this study was to analyze the type of long-distance air pollutant and the location of the origin of the sources of pollution. The method used in this study is a measurement of central tendency and running Hysplitt models. The results showed that in Bandung indeed has got air pollutants distance away from the South China Sea in the form of particles containing elements of chloride (Cl) of 310 ng / cm2 (9 times greater than local effects), mainland China in the form of particles containing calcium (269. 87 ng/cm2) or 5 times than the effect of local and magnesium (88. 19 ng/cm2) or 2 times of local influence, and the Australian continent in the form of particles containing sulfur by 3108 ng/cm2 (2 times than local effect). Keywords
: Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron ABSTRAK
Polutan udara jarak jauh berupa debu yang berukuran kurang dari 2,5 mikron berbahaya bagi visibilitas atmosfer dan kesehatan. Untuk Bandung sendiri karena terletak pada cekungan topografi, polutan udara yang masuk akan sulit untuk bergerak dan berdiam (stagnan) sehingga terjadi akumulasi polutan yang cukup tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis polutan udara jarak jauh dan lokasi asal sumber pencemar. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah ukuran pemusatan dan running model Hysplitt. Hasil menunjukkan bahwa di Kota Bandung memang telah mendapat pencemar udara jarak jauh yang berasal dari Laut Cina Selatan berupa partikel yang mengandung unsur klorida (Cl) sebesar 310 ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm2) atau 5 kali daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm 2) atau 2 kali dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung belerang sebesar 3108 ng/cm2 (2 kali daripada pengaruh lokal). Kata-kunci: Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron 49
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
1
PENDAHULUAN
Banyak orang beranggapan bahwa polutan udara hanya dapat melintasi negara-negara yang berbatasan darat langsung. Kasus pencemaran SO2 dan hujan asam diantara negara-negara di benua Eropa adalah contoh penyebaran polutan udara dalam skala regional yang melintasi batas darat antar negara (Sliggers dan Kakebeeke, 2004). Bukti lain yang menunjukkan bahwa penyebaran polutan udara tidak mengenal batas administrasi suatu negara adalah pencemaran asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan yang sampai juga ke negara jiran (negara tetangga) Singapura yang tidak berbatas daratan langsung dengan Indonesia. Pada makalah ini yang akan dikaji adalah kebalikan dari kejadian asap kebakaran lahan dan hutan dari Indonesia yang menyeberang sampai ke Singapura dan Malaysia, tetapi kejadian pencemaran udara yang sumbernya terjadi di luar negara Indonesia tetapi polutan udaranya sampai ke Kota Bandung. Dampak polutan udara terutama polutan udara yang bersumber dari pencemar jarak jauh (long range transboundary air pollution) adalah berbahaya bagi kesehatan dan visibilitas atmosfer. Hal ini disebabkan ukuran partikel pencemar jarak jauh berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer (micron)(Santoso, 2015). Ditambahkan oleh Santoso (2015) bahwa partikel PM10 dan PM2,5 dapat melayang sampai jarak horizontal 100-1000 km tergantung dari kecepatan angin dan kondisi parameter cuaca yang lain. Partikulat atau debu juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang dapat menurunkan visibilitas atmosfer. Soedomo (2001) menyatakan bahwa dampak debu pada visibilitas atmosfer mulai timbul jika konsentrasinya dalam atmosfer sudah mencapai 26 mikrogram/m3. Bappenas (2006) menyatakan bahwa partikel berukuran diameter lebih kecil dari 10 µm di atmosfer pada konsentrasi 140 µg/m 3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penyakit bronchitis. Fenomena penyebaran polutan udara lokal dan regional berpengaruh sangat besar dalam menentukan akumulasi konsentrasi pencemar udara di suatu tempat. Santoso (2007) menyatakan konsentrasi partikel dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5 mikron (PM2,5) selama periode tahun 2000-2006 mengalami kenaikan sebesar 65% di Bandung. Apakah kenaikan konsentrasi PM2,5 ini berhubungan dengan long range transboundary air pollution?,dari mana 50
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
saja sumber polutan udara jarak jauh yang terdapat di Kota Bandung?, dan jenis pencemar udara apa saja yang sampai di Kota Bandung? Ketiga pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian ini. Secara kuantitas atau fisik PM2,5 adalah debu yang berukuran kurang dari 2,5 mikron, tetapi secara kualitas atau kimiawi di dalam PM2,5 juga terkandung unsur kimia. Amonium nitrat (NH4NO3), ammonium sulphat ((NH4)2SO4), natrium nitrat (NaNO3) dan karbon organik sekunder sebagian besar berukuran kurang dari 2,5 µm. Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu belum diidentifikasinya daerah asal (lokasi) sumber pencemar udara di Kota Bandung terutama yang berasal dari sumber yang sangat jauh (melintasi kawasan regional) dan dari kegiatan alami atau antropogenik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis daerah sumber polutan udara di Kota Bandung terutama yang berasal dari sumber pencemar sangat jauh. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan bahwa penyebaran pencemar udara dapat melintasi darat dan laut. Keterbaruan dari penelitian ini adalah digunakannya analisis statistika berupa ukuran pemusatan (mean, median, dan modus) untuk menentukan bila terjadi pencemaran udara yang bersumber dari lokasi yang sangat jauh (melintasi darat dan laut) yang tidak digunakan pada penelitian sebelumnya.
2
METODE PENELITIAN
Data sekunder elemen kimia yang digunakan memiliki periode dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Data bersumber dari Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN. Lokasi pengambilan sampel udara adalah di Jl. Taman Sari Kota Bandung. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel udara adalah Gent Sampler. Gent sampler ditempatkan pada ketinggian 7 m dari permukaan tanah. Sampel udara lalu dianalisis unsur kimianya di laboratorium. Metode analisis data yang dilakukan adalah pertama dengan membuat data time series dari unsur kimia. Lalu membuat ukuran pemusatan (mean, median, modus) dari data time series tersebut untuk menentukan uji normalitas data. Data time series yang memiliki sebaran normal akan memiliki mean, modus, dan median dengan selisih antara ke tiga jenis ukuran pemusatan tersebut adalah tidak terlalu besar atau sama. Walpole (1993) menyatakan sekumpulan data memiliki sebaran normal jika nilai mean, median, dan modus adalah 51
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
relatif sama. Jika data memiliki sebaran normal, maka semua data time series tersebut dapat digunakan (tidak ada kucilan data). Jika data tidak memiliki sebaran normal, maka data tidak dapat digunakan untuk menentukan bila terjadi pencemaran udara jarak jauh. Setelah mengetahui bahwa data time series elemen kimia memiliki sebaran normal, maka langkah selanjutnya adalah mengetahui waktu terjadinya long range transboundary air pollution (transpor polutan udara jarak jauh). Tanggal (waktu) yang memiliki nilai data elemen kimia paling tinggi (puncak maksimum) disimpulkan pada waktu tersebut telah terjadi pencemaran udara yang berasal dari lokasi yang sumbernya sangat jauh (Anonim, 2005b; Santoso, 2015). Untuk mengetahui asal lokasi sumber pencemar jarak jauh digunakan software HYSPLIT (Hybrid Single Particle Langrangian Integrated Trajectory) dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). Input data untuk menjalankan software HYSPLIT adalah letak astronomis lokasi yang terkena dampak pencemaran udara yaitu Kota Bandung yang terletak pada 6055’ LS dan 1070 BT, tanggal kejadian yang memiliki nilai polutan udara yang sangat ekstrem (data maksimum), lamanya waktu penyebaran polutan udara dari sumber ke lokasi terkena dampak (dalam satuan jam), serta konversi perbedaan waktu antara GMT (Grenwich Mean Time) dengan lokasi terkena dampak (Bandung). Setelah running dengan memilih mode forward, HYSPLIT akan mengeluarkan trayektori asal lokasi pencemaran udara jarak jauh tersebut ke lokasi terkena dampak. Mekanisme transpor polutan udara jarak jauh ini adalah karena terjadinya badai debu dan pasir (dust storm and sand) di wilayah sumber pencemar (negara-negara yang memiliki gurun pasir yang luas). Topografi negara yang memiliki gurun pasir yang luas dan terletak di iklim sub tropis seperti China, Rusia, India, Australia, dan Amerika Serikat pada saat musim panas memiliki kecepatan angin yang relatif kuat. Ditambah dengan kondisi topografi yang berbentuk gurun pasir dan terbuka mengakibatkan medan angin bergerak bebas sehingga jika terjadi badai debu dan pasir, angin akan banyak membawa debu dan pasir melintasi negara lain. Badai debu dan pasir adalah fenomena alami yang telah terjadi ribuan tahun. Selama 50 tahun terakhir, frekuensi badai debu dan pasir meningkat, intensitas kerusakan meningkat, dan wilayah yang terkena dampak juga meluas dan melebar. Menurut data statistik di China pada tahun 1950-an telah terjadi rata-rata 5 kali badai debu dan pasir setiap tahun, 8 kali 52
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
di tahun 1960-an, 14 kali di tahun 1970an, dan 23 kali di tahun 1990an. Badai debu dan pasir pada 2002 yang terjadi di China, partikel debunya sampai ke Korea, Jepang, dan Mongolia. Konsentrasi partikel debunya 10 sampai ratusan kali lebih besar melebihi baku mutu nasional negara yang terkena dampak (Anonim, 2005a). Hal ini menunjukkan bahwa partikel polutan berupa debu dapat melintasi laut. Di dalam partikel debu tersebut terkandung unsur kimia.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi elemen kimia (ng/cm2)
Gambar 1 menyajikan data time series (Januari 2006- Desember 2009) konsentrasi elemen kimia (Na dan Cl) yang terkandung dalam partikulat PM2,5 dan diamati di Kota Bandung. 1200 1000 800 600 400 200 0 2-Jan-06
Na Cl
2-Jan-07
2-Jan-08
2-Jan-09
Tanggal pengambilan sampel udara
Gambar 1. Time series konsentrasi natrium (Na) dan klorida (Cl) (Sumber: BATAN)
Berdasarkan Gambar 1. dapat dianalisis ukuran pemusatan (mean, median, modus) untuk Na dan Cl. Tabel 1. menyajikan ukuran pemusatan untuk Na dan Cl. Tabel 1. No 1. 2. 3.
Ukuran pemusatan elemen klorida (Cl) dan natrium (Na)
Ukuran pemusatan Mean Modus Median
Klorida (ng/cm2) 35,37 31 32
Natrium (ng/cm2) 144,84 30 103
Berdasarkan Tabel 1. nilai mean, median, dan modus konsentrasi Cl hampir mendekati/relatif sama (berkisar antara 31-35) atau dapat dikatakan nilai mean Cl = nilai modus Cl = nilai median Cl. Hal ini 53
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
berarti data time series konsentrasi Cl memiliki sebaran data normal dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar udara jarak jauh. Sementara mean, median, dan modus dari konsentrasi Na (Tabel 1) besarnya tidak relatif sama sehingga dapat disebut sebaran data konsentrasi Na adalah tidak memiliki sebaran normal. Data konsentrasi Na tidak dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar udara lintas batas administrasi suatu negara (transboundary). Hasil analisis Gambar 1. menunjukkan nilai konsentrasi Cl paling tinggi adalah pada sampel udara tanggal 15 Februari 2007 yaitu sebesar 310 ng/cm2 (nanogram/cm2). Berdasarkan ini, maka dapat diketahui bahwa konsentrasi klorida (Cl) yang berasal dari dampak sumber pencemar udara jarak jauh adalah pada tanggal 15 Februari 2007 (ditunjukkan oleh tanda panah). Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh konsentrasi Cl hanya 35,37 ng/cm2. Tambahan konsentrasi Cl sebesar 274,63 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika diprosentasekan tambahan pengaruh transpor polutan udara dari sumber yang sangat jauh adalah sekitar 900% (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal). Hasil running HYSPLIT untuk kejadian tanggal 15 Februari 2007 disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Trayektori transpor polutan udara elemen klorida
Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang ditunjukkan oleh Gambar 2. dapat diketahui bahwa Cl yang terukur di Bandung pada 15 Februari 2007 berasal dari garam-garam laut di Laut 54
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
Konsentrasi elemen kimia (ng/cm2)
Cina Selatan yang terbawa angin muson barat pada musim penghujan di Indonesia. Klorida dan natrium adalah indikator sumber pencemaran udara yang berasal dari maritim (laut) yaitu dari arus dan gelombang laut. Ukuran partikel Cl yang kurang dari 2,5 µm berasal dari percikan air laut yang karena sangat ringan sehingga terbawa angin muson barat yang berhembus dari Laut Cina Selatan (di belahan bumi utara) ke Bandung (di belahan bumi selatan). Meszaros (1981) menyatakan bahwa komposisi kimia aerosol dari sumber laut pedalaman (laut terpencil) terdiri dari 75-95% adalah NaCl (natrium klorida), (NH4)2SO4 (ammonium sulfat), H2SO4 (asam sulfat), dan campuran sea salt (antara NaCl dengan (NH4)2SO4). Menurut Pasquill (1983) yang menyatakan fenomena transport polutan udara jarak jauh dapat saja terjadi. Partikel yang berukuran kurang dari 2,5 µm adalah termasuk golongan aerosol. Aerosol sendiri adalah partikulat padat yang berukuran 0,001 – 10 µm yang berasal dari pecahan benda-benda padat di bumi dan disebarkan (terdispersi) oleh angin (aero berarti udara, sol berarti padatan) (Soedomo, 2001). Sumber aerosol dan komposisinya secara global adalah debu sebagai hasil dari hembusan angin sebesar 20%, garam dari air laut yang terpercik bersamaan gelombang laut sebanyak 40%, abu sebagai hasil dari kebakaran hutan sebanyak 10%, dan sisanya berasal dari partikulat asap sebagai hasil dari kegiatan industri sebanyak 5% (Rozari, 1991). Komposisi dan sumber aerosol tersebut menunjukkan bahwa laut sebagai kontributor aerosol terbesar terutama Cl.
400 350 300 250 200 150 100 50 0 2-Jan-06
Ca Mg
2-Jan-07
2-Jan-08
2-Jan-09
Tanggal pengambilan sampel udara Gambar 3. Time series konsentrasi Ca dan Mg (Sumber: BATAN) 55
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
Berdasarkan Gambar 3 dapat dianalisis ukuran pemusatan. Tabel 2. Menunjukkan analisis ukuran pemusatan untuk kedua elemen (Mg dan Ca). Tabel 2. No 1. 2. 3.
Ukuran pemusatan elemen Ca dan Mg
Ukuran pemusatan Mean Modus Median
Kalsium (ng/cm2) 65,13 66 57
Magnesium (ng/cm2) 43,81 40 41,5
Berdasarkan Tabel 2 nilai mean, median, dan modus untuk masing-masing konsentrasi Ca dan Mg hampir mendekati (relatif sama) atau dapat dikatakan nilai mean = nilai modus = nilai median. Hal ini berarti data time series konsentrasi Ca dan Mg memiliki sebaran data yang normal dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar udara jarak jauh. Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui kedua elemen Ca dan Mg memiliki puncak (nilai maksimum) pada tanggal yang sama (30 Januari 2007). Nilai konsentrasi Ca dan Mg paling tinggi adalah pada sampel udara tanggal 30 Januari 2007 yaitu sebesar 335 ng/cm2 untuk Ca dan Mg sebesar 132 ng/cm2. Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh konsentrasi Ca rata-rata hanya 65,13 ng/cm2 dan Mg hanya 43,81 ng/cm2. Tambahan konsentrasi Ca sebesar 269,87 ng/cm2 dan Mg sebesar 88,19 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari sumber yang sangat jauh untuk Ca adalah sekitar 500% (5 kali lebih besar daripada pengaruh lokal). Untuk elemen Mg tambahan pengaruh polutan udara dari sumber yang sangat jauh sekitar 200% (2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan polutan udara dari pengaruh lokal).
56
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
Gambar 4. Trayektori transpor polutan udara (Ca dan Mg)
Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang ditunjukkan oleh Gambar 4. dapat diketahui bahwa elemen Ca dan Mg pada tanggal 30 Januari 2007 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh yang bersumber dari daratan China dan sekitarnya. Ukuran partikel Ca dan Mg yang lebih kecil dari 2,5 µm dapat diterbangkan dan disebarkan oleh angin. Kalsium dan magnesium adalah indikator polutan udara yang berasal dari kegiatan konstruksi, pengolahan batuan kapur, dan pabrik semen. Menurut Pasquill (1983) fenomena penyebaran pencemaran jarak jauh dapat saja terjadi. Pasquill menambahkan dan membagi skala penyebaran pencemaran udara menjadi 3 yaitu skala mikro, meso, dan makro. Pencemaran jarak jauh ini termasuk dalam skala makro dengan jangkauan penyebaran polutan udara lebih dari ribuan kilometer dalam skala waktu yang lebih lama dari satu hari. Skala makro ini disebut dengan skala kontinen. Hasil pemantauan Satelit Aqua juga membenarkan bahwa sebelumnya yaitu pada tanggal 20 Desember 2006 telah terjadi haze di bagian timur China. Haze ini terjadi karena penggunaan batubara pada musim dingin untuk perapian dan menghangatkan. Kondisi di China sendiri sudah termasuk dalam katagori sangat tercemar. Pembakaran batubara yang di dalamnya terkandung unsur kalsium dan magnesium yang hebat menghasilkan haze (asap). Gambar 5 menyajikan hasil citra Satelit Aqua pada 20 Desember 2006.
57
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
konsentrasi elemen kimia (ng/cm2)
Gambar 5. Hasil pantauan Satelit Aqua pada kejadian pembakaran batu bara di bagian timur China (20 Desember 2006) (Sumber: NOAA) 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2-Jan-06
2-Jan-07
2-Jan-08
2-Jan-09
Tanggal pengambilan sampel udara Gambar 6. Time series konsentrasi belerang (S) (Sumber: BATAN)
Berdasarkan Gambar 6 dapat dianalisis ukuran pemusatan. Tabel 3. menyajikan ukuran pemusatan elemen sulfur. Tabel 3. Ukuran pemusatan elemen belerang (S) No 1. 2. 3.
Ukuran pemusatan Mean Modus Median
Belerang (ng/cm2) 928 1200 891
Berdasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa nilai mean, modus, dan median data time series elemen belerang adalah relatif sama. Hal 58
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
ini menunjukkan bahwa data time series belerang adalah menyebar normal sehingga dapat digunakan untuk estimasi transpor polutan udara jarak jauh. Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tanggal 27 November 2006 telah terjadi transpor polutan udara jarak jauh dengan nilai puncak konsentrasi belerang adalah 3108 ng/cm2. Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh konsentrasi S rata-rata hanya 928,11 ng/cm2. Tambahan konsentrasi S sebesar 2179,89 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari sumber yang sangat jauh untuk S adalah sekitar 300% (3 kali lebih besar daripada pengaruh lokal).
Gambar 7. Trayektori transpor polutan udara elemen S
Berdasarkan analisis luaran model HYSPLIT yang disajikan pada Gambar 7. dapat diketahui bahwa tambahan konsentrasi belerang sebesar 2179,89 ng/cm2 berasal dari kebakaran lahan yang terjadi di negara bagian New South Wales di Australia. Pada bulan November seperti biasa Australia memang mengalami musim panas. Kondisi bagian tengah Australia yang merupakan gurun pasir pada musim panas memicu terjadinya kebakaran hebat secara alami. Hasil pemantauan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate 59
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
Resolution Imaging Spectroradiometer) menunjukkan pada tanggal 17 November 2006 telah terjadi kebakaran hebat di Australia. Satelit Aqua ini melintasi Australia dua kali sehari. Gambar 8. menunjukkan hasil observasi Satelit Aqua terhadap kebakaran di Australia. Tanda panah menunjukkan haze (asap) yang berwarna abu-abu yang dihasilkan dari kebakaran dan banyak mengandung sulfur.
Gambar 8. Hasil pemantauan Satelit Aqua (Sumber: NOAA)
4
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data sampel udara di Kota Bandung telah mendapat polutan udara yang lokasi asal pencemarnya sangat jauh (transboundary) berupa partikel yang berukuran kurang dari 2,5 mikron. Lokasi pencemar yang sangat jauh tersebut yaitu dari Laut Cina Selatan berupa partikel dengan kandungan klorida sebesar 310 ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm 2) atau 5 kali daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm 2) atau 2 kali dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung belerang sebesar 3108 ng/cm2 (3 kali daripada pengaruh lokal).
60
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan pada Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN atas Bimtek model Hysplitt dan data yang diberikan.
DAFTAR RUJUKAN Anonim, 2005a: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in Northeast Asia, vol. 1, Asian Development Bank, Philippines. Anonim, 2005b: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in Northeast Asia, vol. 2, Asian Development Bank, Philippines. Bappenas, 2006: Strategi Dan Rencana Aksi Nasional Untuk Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan, Jakarta. Draxler, R. R. and Rolph, G. D. HYSPLIT (HYbrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory) Model access via NOAA ARL READY. NOAA Air Resources Laboratory, College Park, MD. Meszaros, E, 1981: Atmospheric Chemistry Fundamental Aspects, Elsevier Scientific Publishing Company, 119-120. Pasquill, 1983: Atmospheric Diffusion, John Wiley and Sons, Chichester, New York, pp 437. Rozari, M. B. , 1991: Klimatologi Dasar, Jurusan Geomet, FMIPA, IPB. Tidak dipublikasikan. Santoso, M, 2007: Konsentrasi PM2,5 dan PM10 Udara Ambien di bandung dan Lembang Tahun 2000-2006. Proseding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi Nuklir, BATAN, Bandung. Santoso, M, 2015: Aplikasi Teknik Analisa Nuklir Source Appoirtment dan Long Range Transport Air Polution, bahan diklat, Batan, Bandung. Sliggers, J dan Kakebeeke, W, 2004: Clearing The Air 25 years of the Convention On Long range Transboundary Air Pollution, United Nations, Geneva. Soedomo, M, 2001: Pencemaran Udara, Penerbit ITB Press, Bandung. Walpole, R. E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 22-27.
61
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
KARAKTERISTIK ANGIN PERMUKAAN DI ATAS LAUT INDONESIA Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN e-mail:
[email protected] ABSTRACT Surface wind has an important role in the air-sea interaction. This research was conducted to investigate characteristics of surface wind over the Indonesian seas. Data used was pentad surface wind from 1988-2011. Method used in this research was descritiption analysis. The results showed that duration, direction and velocity of surface wind over the Indonesian waters vary. This difference is affected by interaction between the monsoon and the trade wind. Duration of the easterly wind over the Java sea, Flores sea, Banda sea, Arafura sea and southern waters of Java reached 8 months, but the westerly wind only reached 4 months. Velocity of the easterly wind over the Java sea, Flores sea and Banda sea reached 4.5 m/s, and over the southern waters of Java and Arafura sea reached 6,2 m/s. Vice versa, velocity of the westerly wind reached 3.9 m/s over the Java sea, Flores sea and Banda sea, and reahed 3.2 m/s over the southern waters of Java and Arafura sea. The southerly wind and notherly wind over the Sulawesi sea and Karimata strait have the same time duration is 6 months. Velocity of the southerly wind over the Karimata strait, Makassar strait and Sulawesi Sea reached 4 m/s, 3.5 m/s and 1,9 m/s, but the northerly wind reached 3.4 m/s, 2 m/s and 2.2 m/s. Keywords
: characteristics, surface wind, direction, duration ABSTRAK
Angin permukaan mempunyai peranan penting dalam interaksi antara laut dan atmosfer. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik angin permukaan di atas perairan Indonesia. Data yang digunakan adalah angin permukaan pentad dari tahun 1988-2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi, arah dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan Indonesia berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh interaksi antara monsun dan angin pasat. Durasi angin timur di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa mencapai 8 bulan, tetapi angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan angin timur di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda mencapai 4,5 m/dt, dan di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya kecepatan angin barat mencapai 3,9 m/dt di di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dan 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura. Angin selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan 62
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Selat Karimata mempunyai durasi waktu yang sama yaitu 6 bulan. Kecepatan angin selatan di atas selat Karimata, selat Makassar dan laut Sulawesi mencapai 4 m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt. Kata kunci
1
: karakteristik, angin permukaan, arah, durasi
PENDAHULUAN
Angin permukaan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai penting dalam dinamika laut maupun proses interaksi antara laut dan atmosfer. Transfer energi angin permukaan ke laut akan menyebabkan terjadinya arus dan gelombang laut (Arief, 1994; Dahuri dkk., 1996). Informasi arus dan gelombang laut sangat dibutuhkan dalam kegiatan operasional pelayaran. Sirkulasi angin permukaan selama musim tenggara menjadi faktor utama penyebab terjadinya proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar (Atmadipoera dan Widyastuti, 2014), di sepanjang pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara (Ningsih dkk., 2013; Wardani dkk., 2013; Susanto and Marra, 2005). Lokasi upwelling merupakan daerah yang memiliki potensi ikan yang tinggi. Pertukaran momentum, panas, air dan gas dalam interaksi antara laut dan atmosfer dipengaruhi oleh angin permukaan (Deser dkk., 2010). Proses penguapan dan aliran panas turbulen permukaan oleh angin permukaan mempengaruhi variabilitas suhu permukaan laut (Han dkk., 2006; Han dkk., 2007; Duan dkk., 2008). Variabilitas kedalaman lapisan termoklin dan suhu permukaan laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh kondisi angin di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Qu dkk., 2005). Perubahan CO2 antara laut dan atmosfer dipengaruhi oleh kecepatan angin dan koefisien gesekan kecepatan angin (Ekayanti dkk., 2009). Mengingat peranan penting angin permukaan dalam dinamika laut dan interaksi antara laut dan atmosfer, maka penelitian mengenai angin permukaan di atas wilayah perairan laut Indonesia perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan waktu perubahan arah angin permukaan di atas perairan laut Indonesia.
63
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
2
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah perairan Indonesia yang meliputi Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Sulawesi, Selat Makassar, Selat Karimata dan perairan selatan Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah angin permukaan dari tahun 1988-2011. Data ini hasil estimasi dari berbagai sensor satelit dan mempunyai resolusi waktu lima harian (pentad) dan resolusi spasial 0,25º x 0,25º. Data ini diperoleh dari Physical Oceanography Distributed Active Center National Aeronautics and Space Administration (PODAAC NASA dengan alamat https://podaac.jpl.nasa.gov/OceanWind. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Pengolahan data menggunakan metode statistik. Data angin permukaan terdiri dari komponen zonal dan meridional. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung resultan angin sehingga diperoleh arah dan besar. Kedua, dilakukan perata-rataan data pentad menjadi data bulanan. Data bulanan ini kemudian dirata-ratakan dalam rentang waktu 24 tahun sehingga diperoleh rata-rata tahunan. Ketiga adalah menghitung resultan angin dari data rata-rata bulanan. Analisis variasi bulanan dan waktu perubahan arah angin permukaan dilakukan di atas tiap-tiap wilayah perairan laut Indonesia. Analisis variasi bulanan angin permukaan meliputi durasi waktu arah angin, arah dan intensitas kecepatan berdasarkan vektor angin ratarata bulanan. Analisis waktu perubahan arah angin ditentukan berdasarkan komponen utama arah angin permukaan dalam skala waktu pentad.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola angin permukaan rata-rata bulanan di atas wilayah perairan Indonesia diperlihatkan pada Gambar 1. Pola angin permukaan bulan Desember-Maret mempunyai pola yang sama. Di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup angin barat. Periode Desember-April di atas Laut Sulawesi, Selat Karimata dan Selat Makassar bertiup angin utara. Pada bulan April, angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup angin timur. Pola ini berlangsung hingga bulan November. Perubahan arah angin permukaan ke arah utara di atas Selat Karimata, Selat Makassar dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan Mei.
64
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Gambar 1. Pola angin permukaan rata-rata bulanan 65
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Di atas Selat Karimata dan Laut Sulawesi pola ini berlangsung hingga bulan Oktober tetapi di Selat Makassar masih berlangsung hingga bulan November. Pada bulan Desember, angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa kembali bertiup angin barat. Perubahan arah angin ke selatan di Selat Karimata dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan November, sedangkan di Selat Makassar terjadi pada bulan Desember. Secara umum perubahan arah angin permukaan di atas wilayah Indonesia terjadi pada bulan April dan Mei. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores dan laut Banda diperlihatkan pada Gambar 2. Di atas ketiga laut tersebut arah angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan durasi waktu 8 bulan dari April-November dan ke arah timur selama 4 bulan dari Desember-Maret. Kecepatan rata-rata angin timur lebih besar daripada angin barat. Kecepatan angin permukaan lebih besar dari 5,5 m/dt terjadi antara bulan Juni-Agustus. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Arafura dan perairan selatan Jawa diperlihatkan pada Gambar 3. Di atas kedua laut tersebut angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan durasi waktu selama 8 bulan dari April- November dan ke timur selama 4 bulan dari Desember-Maret. Secara umum kecepatan angin timur lebih besar daripada angin barat. Kecepatan angin lebih besar dari 6,5 m/dt terjadi antara Mei-September.
Kecepatan (m/dt)
8 3 -2 -7
-12 Laut Jawa
Laut Flores
Laut Banda
Gambar 2. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda
66
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Kecepatan (m/dt)
10 5 0 -5 -10
Laut Arafura
Selatan Jawa
Gambar 3. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Arafura dan perairan selatan Jawa
Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata diperlihatkan pada Gambar 4. Angin selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan Selat Karimata mempunyai durasi waktu 6 bulan dari Mei-Oktober ke utara dan November-April ke selatan. Di Selat Makassar arah tiupan angin permukaan dominan ke utara dengan durasi waktu 7 bulan dari MaretNovember dan ke selatan 5 bulan dari Desember-April. Kecepatan angin selatan di atas Selat Karimata dan Selat Makassar lebih besar daripada angin utara, tetapi di Laut Sulawesi terjadi sebaliknya. Kecepatan angin lebih besar dari 5 m/dt terjadi di Selat Karimata antara bulan Januari-Februari dan bulan Juli-Agustus. Perubahan arah gerakan angin permukaan di atas beberapa wilayah laut Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pada dasarnya waktu perubahan arah angin permukaan di atas masingmasing wilayah laut Indonesia berubah-ubah. Namun secara umum perubahan arah gerakan angin terjadi antara akhir bulan Maret sampai akhir bulan April dan antara pertengahan bulan November sampai awal bulan Desember.
67
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Kecepatan (m/dt)
10 5 0 -5 -10 Laut Sulawesi
Selat Makasar
Selat Karimata
Gambar 4. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata
Tabel 1.
Waktu perubahan arah angin permukaan (barattimur)
Wilayah Laut Jawa Laut Flores Laut Banda Laut Arafura Selatan Jawa
Tabel 2.
Angin Timur Ke-3 April Ke-2 April Ke-2 April Ke-6 Maret Ke-4 Maret
Angin Barat Ke-4 November Ke-4 November Ke-5 November Ke-5 November Ke-1 Desember
Waktu perubahan arah angin permukaan (utaraselatan)
Wilayah Laut Sulawesi Selat Makassar Selat Karimata
Angin Selatan Ke-6 April Ke-5 April Ke-3 April
Angin Utara Ke-3 November Ke-6 November Ke-3 November
Perubahan angin barat di bagian tengah wilayah laut Indonesia dimulai dari Laut Jawa menuju Laut Flores dan Laut Banda, sebaliknya perubahan angin timur dimulai dari Laut Banda menuju Laut Flores dan Laut Jawa. Di bagian selatan wilayah perairan Indonesia menunjukkan pola yang berbeda yaitu angin timur dimulai dari perairan selatan Jawa menuju Samudera Hindia tengah dan angin barat dimulai dari Laut Arafura menuju Samudera Pasifik bagian selatan. Perubahan arah angin permukaan di Selat Karimata, Selat 68
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Makassar dan Laut Sulawesi secara umum terjadi sebelum dan sesudah perubahan arah angin di atas Laut Jawa dan Laut Flores. Hasil analisis menunjukkan bahwa durasi waktu, arah dan kecepatan angin permukaan di atas masing-masing wilayah perairan Indonesia berbeda-beda. Perbedaan pola ini disebabkan oleh wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, posisi geografis terletak di daerah ekuator dan diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan Australia dan dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Wilayah kepulauan Indonesia dikenal dengan nama Benua Maritim Indonesia (BMI). Dampak berupa wilayah kepulauan akan mempengaruhi intensitas kecepatan angin permukaan. Intensitas kecepatan angin permukaan di atas wilayah perairan yang di kelilingi kepulauan lebih kecil dibandingkan dengan wilayah perairan terbuka. Pengaruh ini berhubungan dengan adanya gesekan antara angin permukaan dengan topografi daratan. Wilayah Indonesia terdapat di daerah tropis antara 6O LU – 12O LS. Sepanjang tahun di atas wilayah ekuator antara 30O LU – 30O LS terbentuk angin pasat timur laut di utara ekuator dan angin pasat tenggara di selatan ekuator (Barry and Choerly, 2003). Angin pasat ini terbentuk akibat perbedaan tekanan udara antara daerah ekuator dengan subtropis. Sepanjang tahun daerah ekuator menerima panas lebih besar daripada daerah subtropis. Hal ini menyebabkan tekanan udara di daerah ekuator lebih rendah, sehingga terjadi pergerakan angin permukaan dari daerah subtropis ke daerah ekuator. Arah gerakan angin ini dipengaruhi gaya Coriolis, sehingga angin pasat timur laut bergerak ke arah barat daya dan angin pasat tenggara bergerak ke arah barat laut. Perubahan posisi matahari ke utara-selatan ekuator ini menyebabkan adanya perbedaan tekanan udara tinggi dan rendah di atas benua Australia dan benua Asia. Perbedaan tekanan udara ini menyebabkan terbentuknya angin musim atau monsun. Pada saat posisi matahari berada di selatan ekuator terbentuk monsun Asia yang bergerak dari benua Asia menuju benua Australia. Pada saat posisi matahari di berada utara ekuator terbentuk monsun Australia yang bergerak dari benua Australia menuju benua Asia. Gerakan monsun ini melewati wilayah Indonesia. Pada bulan April posisi matahari berada di utara ekuator, sehingga berkembang monsun Australia. Di atas laut Indonesia bagian selatan ekuator, monsun Australia dan angin pasat tenggara searah sehingga saling memperkuat. Kondisi tersebut menyebabkan intensitas 69
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
kecepatan angin permukaan di atas laut tersebut semakin menguat. Ketika posisi matahari semakin menjauh ke utara ekuator, maka intensitas kecepatan angin permukaan ke arah barat semakin kuat. Posisi matahari di utara ekuator sampai akhir bulan September. Pada bulan Oktober posisi matahari berada di selatan ekuator, sehingga monsun Asia mulai berkembang. Di atas laut Indonesia bagian utara ekuator, monsun Asia dan angin pasat timur laut searah sehingga saling memperkuat. Meskipun monsun Asia telah berkembang, namun arah angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda masih bergerak ke arah barat, bahkan di atas perairan selatan Jawa dan Laut Arafura sampai bulan November masih bergerak ke barat. Hal ini menunjukkan bahwa di atas perairan tersebut pengaruh angin pasat tenggara masih kuat. Kondisi ini disebabkan karena letak wilayah laut tersebut lebih dekat dengan sumber angin pasat tenggara, sehingga pengaruh angin pasat tenggara lebih kuat. Kondisi ini yang menyebabkan gerakan arah angin permukaan ke barat di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa mempunyai durasi waktu lebih lama daripada ke arah timur. Pada bulan November di atas Laut China Selatan bertiup monsun Asia dan angin pasat timur laut menuju Laut Jawa. Pada waktu yang bersamaan di atas Laut Flores, Laut Banda dan Laut Arafura masih bertiup angin pasat tenggara ke arah barat. Di atas Laut Jawa gerakan monsun Asia mendapat tekanan yang kuat dari angin pasat tenggara. Kondisi ini menyebabkan gerakan monsun Asia pada bulan ini hanya sampai di Selat Karimata. Sebaliknya, pada bulan April monsun Australia di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Laut Arafura diperkuat oleh angin pasat tenggara. Pada waktu yang bersamaan, di atas Laut China Selatan dan Laut Sulawesi masih berkembang angin pasat timur laut. Kondisi tersebut menyebabkan gerakan monsun Australia dan angin pasat tenggara di atas Selat Karimata dan Selat Makassar mendapat tekanan yang kuat dari angin pasat timur laut. Mekanisme tersebut yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda tidak sama. Gerakan angin permukaan ke timur dimulai dari barat, sedangkan perubahan ke arah barat dimulai dari timur. Sebelah selatan perairan selatan Jawa merupakan perairan terbuka, sedangkan di sebelah selatan Laut Arafura adalah benua Australia. Ini menyebabkan pengaruh angin pasat tenggara di atas 70
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
perairan selatan Jawa lebih kuat daripada di Laut Arafura. Pada awal bulan Maret pengaruh monsun Asia di atas perairan selatan Jawa mulai melemah dan mulai berkembang monsun Australia. Sebaliknya, di atas Laut Arafura pengaruh monsun Asia masih kuat yang bersumber dari aliran angin permukaan di atas Laut Flores dan Laut Banda. Meskipun sudah berkembang monsun Asia, tetapi sampai pada pertengahan bulan November pengaruh angin pasat tenggara di atas perairan selatan Jawa masih kuat. Sebaliknya pengaruh angin pasat tenggara di atas Laut Arafura mulai melemah karena mendapat tekanan angin permukaan dari Laut Flores dan Laut Banda. Proses tersebut yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan di atas Laut Arafura dan perairan selatan Jawa berbeda. Gerakan angin permukaan ke timur dimulai dari timur dan ke arah barat dimulai dari barat. Kecepatan angin permukaan maksimum terjadi pada saat musim timur. Hasil yang sama dinyatakan bahwa pada bulan Juli angin permukaan di atas Samudera Hindia bergerak ke arah barat dengan kecepatan mencapai 25 knot, sedangkan pada bulan Januari di atas Pulau Jawa dan sekitarnya angin permukaan bergerak ke arah timur dengan kecepatan antara 5-15 knot (Siswanto dan Suratno, 2008). Hasil yang sama juga dinyatakan bahwa kecepatan angin permukaan di atas perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur antara bulan Mei-Agustus lebih besar dari 5 m/dt (Syafik dkk., 2013).
4
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa durasi, arah dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan Indonesa menunjukkan pola yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh interaksi yang kuat antara monsun dengan angin pasat. Pengaruh angin pasat tenggara di atas laut Indonesia bagian selatan ekuator sangat kuat. Durasi timur mencapai 8 bulan, sedangkan angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan rata-rata angin timur di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda 4,5 m/dt dan di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya angin barat mencapai 3,9 m/dt di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dan hanya 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura. Gerakan arah angin permukaan ke arah utara-selatan di atas Selat Karimata dan Laut Sulawesi mempunyai durasi waktu sama yaitu 6 bulan. Pada saat musim timur kecepatan angin permukaan ke arah 71
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
utara mencapai 2,4 m/dt, 4,1 m/dt dan 5,1 m/dt, sedangkan pada saat musim barat kecepatan angin permukaan ke arah selatan mencapai 2,3 m/dt, 2,8 m/dt dan 5,1 m/dt masing-masing di Laut Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata. Kecepatan angin selatan di atas Selat Karimata, Selat Makassar dan Laut Sulawesi mencapai 4 m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt. Perubahan arah gerakan angin permukaan ke timur di atas Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dimulai dari barat yaitu dari laut Jawa pada pentad ke-4 November, sedangkan ke barat dimulai dari timur yaitu dari Laut Banda pada pentad ke-2 April. Sedangkan di atas perairan selatan Jawa dan Laut Arafura angin timur dimulai dari barat pada pentad ke-4 Maret dan angin barat dimulai dari timur pada pentad ke-5 November.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurzaman Adikusumah, M.Si yang telah memberikan masukan dan kepada Physical Oceanography Distributed Active Center - National Aeronautics and Space Administration yang telah memberikan akses data sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
DAFTAR RUJUKAN Arief, D., 1994: Sirkulasi Arus Laut. Jakarta, LON-LIPI, 15 pp. Atmadipoera, A.S dan P. Widyastuti, 2014: A Numerical Modeling Study On Upwelling Mechanism In Southern Makassar Strait. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 355-371. Barry, R.G., and R.J. Chorley, 2003: Atmosphere, Weather and Climate. London: Routledge. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 1996: Pengeloaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Deser, C., M. A. Alexander, S.P. Xie, and A.S. Philllips, 2010: Sea Surface Temperature Variability:Patterns and Mechanisms, Annu. Rev. Mar. Sci, (2), 115-143.Ibrayev, R.A., E. Ozsoy, C. Schrum, and H.I. Sur, 2010: Seasonal Variability of the Caspia Sea ThreeDimensional Circulation, Sea Level and Air-Sea Interaction. Ocean Sci, 6, 311-329. 72
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
Duan, A., C. Sui, and G. Wu, 2008: Simulation of Local Air-Sea Interaction in the Great Warm Pool and Its Influence on Asia Monsoon, Journal of Geophysics Research, 113(D22105), 1-14. Ekayanti, N.W., T. Osawa, I.K. Kasa, dan A.R. As-syakur, 2009: Study of Air-Sea Interaction and CO2 Exchange Process Between The Atmosphere and Ocean Using ALOS/PALSAR. Jurnal Bumi Lestari, 9(2), 151-158. Han, W., W.T. Liu, and J. Lin, 2006: Impact of Atmospheric Submonthly Oscullations on Sea Surface Temperature of The Tropical Indian Ocean. Geophysical Research Letters, 33(L03609), 14. Han, W., D. Yuan, W.T. Liu, and D.J. Halkides, 2007: Intraseasonal Variability of Indian Ocean Sea Surface Temperature During Boreal Winter: Madden-Julian Oscillation versus Submonthly Forcing and Processes. Journal of Geophysical Research, 112(C04001), 1-20.Liu, W.T., W. Tang, and X. Xie, 2008: Wind Power Distribution Over The Ocean. Geophysical Research Letters, 35(L13808), 1-6. Ningsih, N.S., N. Rakhmaputeri, and A.B. Harto, 2013: Upwelling Variability along the Southern Coast of Bali and in Nusa Tenggara Waters. Ocean Sci. J, 48(I), 49-57. Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface Temperature and Its Variability in the Indonesian Region. Oceanography, 18(4), 50-61. Siswanto., and Suratno, 2008: Seasonal Pattern of Wind Induced Upwelling Over Java-Bali Sea Waters and Surrounding Area. International J. of Remote Sensing and Earth Sciences, 5, 46-56. Susanto, D., and J. Marra, 2005: Effect of the 1997/98 El Niño on Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Oceanography. 18(4), 124-127. Syafik, A., Kunarso, dan Hariadi, 2013: Pengaruh Sebaran dan Gesekan Angin Terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Samudera Hindia (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 573). Jurnal Oseanografi, 2(3), 318-328. Wardani, R., W.S. Pranowo, dan E. Indrayanti, 2013: Struktur vertikal upwelling – downwelling di Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Selatan Bali berdasarkan salinitas musiman periode 2004–2010. Depik, 2(3), 191-199.
73
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
DISTRIBUSI SPASIAL - TEMPORAL AEROSOL BLACK CARBON DI INDONESIA Rosida Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) e-mail: rosida@lapan. go. id ABSTRACT Black Carbon is a primary aerosol that is emitted directly from the source and is the result of incomplete combustion process. Black carbon aerosol plays an important role in influencing climate change because of its ability is very strong in absorbing sunlight in a broad spectral range. In this study we analyzed the spatial and temporal distribution of the density of BC [BC] using data reanalysis Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), from 2001 to 2015 in the Indonesian region (15 0S -150U; 900-1500E). In addition, the analysis was also performed in some urban locations to explore the contribution of forest fires to [BC] in urban areas. The analysis showed a significant effect of forest fires on the distribution pattern BC. Trend of high distribution of BC in Indonesian territory on average occured in September and October. The highest density was found in 2015 by 37,83x10-7kg/m2. The result of urban analysis showed the largest contribution of forest fires to the [BC] occur in Palangkaraya. Keywords
: Black carbon, MERRA, reanalysis, forest fires, Indonesia. ABSTRAK
Black Carbon adalah aerosol primer yang diemisikan secara langsung dari sumbernya dan merupakan hasil dari proses pembakaran tidak sempurna. Aerosol black carbon berperan sangat penting dalam mempengaruhi perubahan iklim karena kemampuannya yang sangat kuat dalam mengabsorpsi cahaya matahari dalam rentang spektral yang luas. Dalam penelitian ini telah dilakukan analisis secara spasial dan temporal distribusi densitas BC dengan menggunakan data reanalisis Modern EraRestrospective Analysis for Research and Application (MERRA), periode 2001 sampai 2015 dengan lokasi wilayah Indonesia (150 LS-150LU; 900-1500BT). Selain itu, dilakukan juga analisis pada beberapa lokasi perkotaan untuk melihat kontribusi kebakaran hutan terhadap [BC] di perkotaan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh kebakaran hutan cukup signifikan terhadap pola distribusi BC. Tren distribusi BC yang tinggi di wilayah Indonesia rata-rata terjadi pada bulan September dan Oktober. Densitas tertinggi ditemukan pada tahun 2015 sebesar 37,83x10 -7kg/m2. 74
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Hasil analisis perkotaan menunjukkan kontribusi kebakaran hutan terbesar terhadap [BC] terjadi di Palangkaraya. Kata-kunci: Black Carbon, MERRA, reanalisis, kebakaran hutan, Indonesia
1
PENDAHULUAN
Black Carbon [BC] merupakan komponen penting dari aerosol atmosfer yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna hidrokarbon yang mengandung bahan-bahan termasuk diantaranya bahan bakar fosil, bahan bakar-bio dan biomassa. Densitas BC aerosol di atmosfer yang berasal dari penggunaan batubara, minyak dan bahan bakar fosil lainnya, pembakaran lahan pertanian serta emisi gas buang kendaraan telah meningkat dengan pesat sejak revolusi industri (Zhang, 2011). Masalah BC saat ini harus sudah mendapat perhatian yang lebih bukan hanya karena pertimbangan sebagai kontributor kedua terbesar terhadap pemanasan global, tapi juga karena dampaknya yang sangat serius terhadap kesehatan manusia, karena ukurannya yang sangat halus dalam ukuran sub-micron yang sangat mudah terendapkan dalam sistem pernafasan. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dilakukan pengamatan-pengamatan aerosol BC secara global termasuk Asia Selatan (Steiner (2009); Beegum dkk. (2009); Corrigan dkk. (2007); Husain dkk. (2007). BC adalah unsur kimia inert dengan ukuran yang sangat halus dan mekanisme penghilangannya di atmosfer dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu deposisi kering, deposisi basah dan deposisi gravitasi. Tapi dari ketiga cara tersebut maka proses deposisi basah adalah cara yang paling signifikan (Babu and Moorthy, 2001). Waktu tinggal (lifetime) partikel BC kira-kira lebih dari 1 minggu lamanya yang memungkinkan partikel BC ini bertransport ke jarak yang cukup jauh. Hansen dkk. (2000); Jacobson (2001); Chung dan Seinfeld (2005); dan Ramanathan and Carmichael (2008), menjelaskan bahwa lamanya waktu tinggal yang ditambah dengan kemampuan yang sangat kuat dari BC untuk mengabsorpsi cahaya matahari pada rentang spektral yang luas (wide spectral range), mulai dari panjang gelombang visible sampai inframerah, menjadikan BC sebagai kontributor yang sangat potensial dalam pemanasan global. Selain itu BC juga dapat mempengaruhi albedo awan dengan mengubah sifat higroskopis awan dalam perannya sebagai inti kondensasi awan, yang kemudian mengkontribusi pada forcing iklim secara tidak langsung (Lohmann dkk., 2000; Ackerman 75
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
dkk., 2000). Oleh karena itu, walaupun dalam proporsi yang sangat kecil, kira-kira <10% dari total aerosols di atmosfer, namun dampaknya terhadap iklim dan lingkungan atmosfer tidak dapat diabaikan. Berdasarkan hasil analisis perhitungan secara detail yang dilakukan Bond dkk (2004) dan berdasarkan laporan yang dirilis IPCC (2007) diperkirakan emisinya telah mencapai 8,0 Tg C per tahun. Sumber emisi terbesar yang terjadi sebelum 1950 diperkirakan berasal dari Amerika Utara dan Eropa Barat, tapi saat ini sumber emisi tersebut berasal dari daerah tropis dan negara-negara berkembang di Asia Timur (Bond dkk., 2007). Di China, banyak sekali konsumen batubara, pembakaran batubara menjadi sumber utama dari emisi aerosol BC. Sumber lain dari aerosol BC di China adalah dari pembakaran jerami di daerah pedesaan. Cao dkk. (2007) mengestimasi bahwa China mengemisikan sekitar 1,5 Tg BC pada sekitar tahun 2000 dengan emisi terbesar terjadi di bagian timur China. Saat ini sudah semakin banyak dikenal dan diakui bahwa penelitian tentang BC penting untuk dilakukan. Terutama yang berkaitan dengan masalah sumber emisi, distribusi temporal dan spasialnya, serta pengaruh aerosol BC terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Bahkan penelitian ini sudah termasuk dalam subjek utama riset lingkungan atmosfer dan perubahan iklim. Hampir setiap tahun Indonesia dihadapkan dengan masalah kebakaran lahan gambut, terutama yang seringkali terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Berdasarkan laporan pengendalian kebakaran hutan dan lahan tercatat bahwa sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini telah terjadi kebakaran lahan hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera telah banyak menimbulkan dampak seperti asap yang selain mencemari lingkungan juga sangat mengganggu kesehatan (KLH, 2006; Sofiati dan Sinatra, 2012; Susanto, 2015). Dari informasi titik panas (hotspot) yang diperoleh dari LAPAN menunjukkan total titik panas pada bulan September 2015 sebanyak 37444 titik panas, dan sebanyak 34041 total titik panas terjadi pada bulan Oktober 2015 dengan tingkat kepercayaan data >80%. Titik-titik panas tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan. (LAPAN, 2016). Untuk mengetahui kondisi wilayah Indonesia terutama dari pengaruh BC aerosol pada saat kejadian kebakaran hutan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara spasial dan temporal distribusi massa aerosol BC di wilayah Indonesia. Penelitian ini menggunakan 15 tahun data reanalisis dari MERRA dengan resolusi temporal rata-rata bulan. 76
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
2
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data aerosol black carbon (BC) rata-rata bulan yang diunduh dari NASA-Giovanni (NASA, 2016). Data ini adalah data reanalisis yang diperoleh dari MERRA (Modern-Era Retrospective analysis for Research and Applications) dengan resolusi spasial data 0,625 longitud dan 0,5 latitud. Resolusi temporal data 15 tahun dari Januari 2001 sampai dengan Desember 2015 dengan format hdf. Lokasi penelitian yang dipilih adalah wilayah Indonesia, dan sebagai studi kasus, penelitian difokuskan pada wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan yaitu Kalimantan dan Sumatera. Pengolahan data dikerjakan dengan menggunakan GrADS versi 2. Pengolahan data diawali dengan menentukan nilai rata-rata bulan untuk mengidentifikasi dan menganalisi tren variabilitas distribusi temporal dan spasialnya. Kontribusi kebakaran hutan gambut juga dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap densitas massa aerosol BC dalam skala urban (perkotaan). Kemungkinan adanya fenomena ekstrim dilakukan dengan menganalisis anomalinya terhadap data klimatologisnya.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Variasi bulanan densitas massa black carbon (BC).
Untuk mengetahui tren perubahan secara temporal dan spasial distribusi BC dalam skala waktu panjang, dianalisis data rata-rata bulan selama 15 tahun data, yaitu dari Januari 2001 sampai dengan Desember 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa tren distribusi BC untuk rata-rata di wilayah Indonesia cukup berfluktuasi. Rentang terendah dari distribusinya berfluktuasi diantara nilai lebih besar dari 2x10-7kg/m2 sampai kira-kira kurang dari 10x10-7kg/m2 (Gambar 1).
77
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Gambar 1 Tren distribusi bulanan aerosol black carbon (BC) dari Januari 2001 sampai Desember 2015 di wilayah Indonesia.
Pada umumnya, distribusi yang tinggi rata-rata terjadi pada musim peralihan ke penghujan yaitu antara bulan September dan Oktober. Dari hasil olahan data, ditemukan nilai [BC] yang tinggi yaitu pada bulan Oktober 2002 dengan densitas tertinggi yang dicapai sebesar 23,40x10-7 kg/m2. [BC] mengalami sedikit penurunan pada bulan Oktober 2004 sampai dengan 19,73x10-7 kg/m2. Pada tahun 2003 dan 2005 tidak terlihat adanya pelonjakan dan nilai densitasnya hanya berfluktuasi pada nilai 2x10-7kg/m2 sampai <10x10-7kg/m2. Peningkatan mulai terlihat lagi pada bulan Agustus 2006 dengan nilai yang diperkirakan sudah lebih dari 10x10-7kg/m2. Nilai tersebut terus meningkat sampai terjadi pelonjakkan yang sangat dramatis yang mencapai nilai densitas yang tinggi sekali yaitu sebesar 36,91x107kg/m2, dan peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 2006. Peristiwa ini berulang terjadi pada tahun 2015 dengan nilai puncak tertinggi yang dicapai pada Oktober 2015 dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada Oktober 2006 yaitu 37,83x10-7kg/m2. Berdasarkan informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup (2014) bahwa efek dari fenomena iklim El Nino dapat memperluas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan kenaikan jumlah titik panas karena terjadi kekeringan yang panjang dan peningkatan suhu udara. Pada tahun 2015 Indonesia dipengaruhi oleh El Nino level moderat yang kekuatannya lebih dibandingkan dengan fenomena iklim El Nino yang 78
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
terjadi pada tahun 2006 (KLH, 2014). Dampak kekeringan yang ditimbulkannya mengakibatkan kejadian kebakaran hutan pada tahun 2015 tersebut menjadi sangat tidak terkendali dan mengakibatkan akumulasi asap yang sangat tebal di Kalimantan dan Sumatera antara Agustus dan Oktober 2015 (BNPB, 2015). Oleh karena itu, penulis memperkirakan bahwa tingginya densitas BC pada tahun 2015 adalah akibat adanya pengaruh El Nino level moderat yang pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2006. Secara spasial dapat diidentifikasi perubahan nilai densitas BC dari munculnya warna merah yang mengindikasikan tingginya nilai densitas BC dengan nilai lebih besar dari 21x10-7kg/m2. Pola spasial pada Gambar 2 adalah pola spasial rata-rata klimatologis.
Gambar 2
Pola spasial klimatologis densitas massa aerosol black carbon (BC) dari 2001 – 2015.
Kemunculan BC pada bulan Agustus di atas Sumatera dan Kalimantan dipresentasikan oleh munculnya warna merah dengan luasan yang cukup besar. Sebarannya mencapai puncak dan hampir menutupi sebagian besar wilayah Kalimantan, Sumatera dan Pulau 79
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Jawa pada Oktober 2015. Berdasarkan pola spasial rata-rata bulan, juga menunjukkan variasi perubahan rata-rata bulan yang hampir sama, perbedaanya adalah bahwa [BC] yang densitasnya kurang dari 10x10-7kg/m2 tidak selalu terjadi pada bulan Oktober. Distribusi spasial rata-rata bulanan, menunjukkan pola distribusi spasial yang sangat fluktuatif. Hal ini diperkirakan karena sumber emisi dan komposisi partikel BC yang bervariasi dan sangat tergantung pada jenis bahan yang terbakar. Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa BC terbentuk dari proses pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna. Menurut Bond (2007), yang termasuk dalam kategori sumber utama proses pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan partikel BC adalah mesin diesel yang digunakan untuk transportasi atau industri, bahan bakar rumah tangga seperti kayu atau arang, dan proses-proses industri. Hal lain yang diperkirakan mempengaruhi distribusi BC adalah ratio BC yang menurut AMAP (2011) relatif lebih tinggi pada pembakaran bahan bakar fosil dibandingkan dengan ratio BC pada pembakaran bahan bakar biomasa. 3.2
Kontribusi kebakaran hutan pada [BC] di perkotaan.
Aktivitas pembakaran hutan gambut terutama yang sudah seringkali terjadi di Sumatera dan Kalimantan, saat ini sudah menjadi masalah substansial yang sangat sulit untuk diselesaikan. Aerosol BC, memang bukan komponen utama yang dihasilkan dari pembakaran hutan gambut dan dari jumlah hasil pembakarannya pun relatif sangat kecil dibandingkan dengan total aerosolnya. Namun seperti yang dijelaskan dalam pendahuluan, keberadaan aerosol BC di atmosfer tidak dapat diabaikan karena karakteristiknya yang sangat kuat dalam mengabsorpsi sinar matahari dan dapat menjadikannya sebagai kontributor terhadap pemanasan global. Selain itu ukurannya yang sangat halus dapat mempengaruhi kesehatan manusia bila terhirup pernafasan. Tren distribusi [BC] untuk beberapa kota di Indonesia sangat bervariasi. Hasil pengolahan data dari Januari 2001 sampai dengan Desember 2015 menunjukkan bahwa hampir di setiap tahun terjadi distribusi [BC] dengan densitas massanya yang sangat bervariasi. Dalam penelitian ini dianalisis beberapa kota di wilayah Indonesia seperti Jakarta, Pekanbaru, Medan, Palangkaraya, Pangkalpinang, Surabaya, Ambon, Makassar dan Biak, untuk melihat kontribusi kebakaran hutan pada [BC] pada kota-kota tersebut. Titik panas merupakan salah satu indikator dari kejadian 80
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
kebakaran hutan. Berdasarkan data titik panas (hotspots) dari sumber data Kementrian Kehutanan menunjukkan jumlah titik panas yang cukup besar dan rata-rata terkonsentrasi di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Gambar 3).
Gambar 3. Sebaran titik panas (hotspots) di wilayah Indonesia dari tahun 2000 sampai 2012. (Sumber data dari Kementrian Kehutanan, 2012 ).
Namun sayangnya data sebaran titik panas tersebut adalah jumlah total titik panas rata-rata provinsi tahunan dan uraiannya tidak secara detail sampai ke perkotaan. Berkaitan dengan kontribusi kebakaran hutan terhadap densitas BC di perkotaan, penulis memperkirakan bahwa kejadian kebakaran hutan yang dipresentasikan oleh jumlah sebaran titik panas baik yang terjadi di Sumatera ataupun di Kalimantan berkontribusi pada peningkatan densitas BC di perkotaan. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002, menunjukkan jumlah total titik panas yang tertinggi pada saat itu terjadi di Kalimantan Tengah sebanyak 20504 titik panas dan di Kalimantan Barat sebanyak 10892 titik panas (Gambar 3). Berdasarkan analisis perkotaan (Gambar 4), densitas BC di Palangkaraya mencapai puncak tertinggi terjadi pada bulan September 2002 sebesar 5. 44x10-5kg/m2, nilai tersebut merupakan nilai tertinggi yang terjadi selama perioda 2001-2015. Pada bulan berikutnya (Oktober 2002), [BC] kemudian turun nilainya sampai kira-kira setengahnya dari nilai pada bulan 81
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
sebelumnya yaitu 3,08x10-5kg/m2.
Gambar 4. Tren distribusi [BC] di perkotaan dari Januari 2001 sampai Desember 2015.
Peningkatan [BC] yang terjadi diduga merupakan kontribusi dari peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu. Sebaran emisi BC pada bulan September 2002 tersebut juga terpantau sampai ke beberapa kota lain seperti Pekanbaru, Pangkalpinang, Medan dan bahkan sampai ke Jakarta dengan densitas yang sangat rendah yang rata-rata nilainya kurang dari 1. 0x10-5kg/m2. Kemudian pada tahun 2006, terjadi sebaran titik panas di Kalimantan Tengah yang jumlah totalnya mencapai 40897 titik panas. Jumlah sebaran titik panas tersebut merupakan jumlah terbesar yang terjadi selama perioda 2000–2012. Namun dari analisis perkotaan, densitas BC di Palangkaraya pada Oktober 2006 hanya mencapai 3,39x10-5kg/m2, kira-kira setengah dari nilai densitas BC yang terjadi pada tahun 2002. Sebaran emisi aerosol BC tersebut juga menyebar ke Pekanbaru, dan Pangkalpinang dengan desitas BC yang nilainya lebih besar dari 1. 0x10-5kg/m2, kira-kira 2x lipat dari yang terjadi pada tahun 2002. Berdasarkan data titik panas yang diperoleh dari LAPAN, kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015, menunjukkan jumlah total titik panas (hotspot) tertinggi yang terpantau LAPAN untuk wilayah Indonesia dengan tingkat kepercayaan >80% pada bulan September dan Oktober 2015 adalah > 30000 titik panas. Titik-titik panas tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan yang terbesar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan. 82
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Gambar 5. Sebaran titik panas (hotspots) rata-rata bulanan di wilayah Indonesia tahun 2015. (Sumber data LAPAN, 2016 ).
Berdasarkan analisis perkotaan (Gambar 4), dipresentasikan Palangkaraya merupakan kota yang sangat terpolusi oleh [BC] karena densitasnya yang relatif selalu tinggi terutama pada saat kejadian kebakaran hutan. Penulis menduga bahwa kebakaran hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera telah menyumbang pada peningkatan [BC] di perkotaan. Dari hasil analisis rata-rata bulanan pada bulan September dan Oktober 2015 terjadi peningkatan jumlah sebaran titik panas di Kalimantan Tengah masing-masing 12327 dan 11252 titik panas, dan pada saat yang sama data [BC] di Palangkaraya juga mengalami peningkatan sampai sekitar 1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2. Analisis secara spasial menunjukkan bahwa (Gambar 6), luasan spasial yang berwarna merah pada tahun 2002 tidak seluas yang terjadi pada bulan Oktober 2015, tetapi densitas BC yang terpantau pada tahun 2015 di Palangkaraya hanya mencapai kira-kira setengah bagian dari yang terjadi pada tahun 2002. Kebakaran hutan yang terjadi saat itu mengemisikan aerosol BC dari Palangkaraya sampai ke Pangkalpinang, Pekanbaru dan jika dianalisis secara mendetail kemungkinan sampai ke Medan, Makassar dan Jakarta. Pada Gambar 4 ditunjukkan densitas BC tertinggi ditemukan di Palangkaraya sebesar 2,01x10-5 kg/m2, berikutnya densitas BC di Pekanbaru, Pangkalpinang dan Medan nilainya diantara 1,7x10-5 kg/m2 dan 1x10-5 kg/m2. Densitas BC di beberapa kota lain yang posisinya jauh dari Sumatera dan Kalimantan seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, Ambon dan Biak menunjukkan nilai yang cukup 83
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
kecil yaitu antara 8x10-6 dan 2x10-6.
Gambar 6. Pola spasial anomali densitas BC rata-rata Oktober pada tahun 2002, 2006 dan 2015.
Seperti yang dijelaskan Babu and Moorthy (2001), dan juga penjelasan Hansen dkk. (2000) bahwa walaupun BC hanya mempunyai waktu tinggal antara 3 – 7 hari saja, tapi karena BC ini termasuk partikel yang sangat ringan (fine particle), maka BC mampu melakukan transport ke jarak yang jauh. Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis menduga bahwa BC yang terdeteksi di beberapa kota yang jaraknya relatif jauh dari sumber kebakaran , adalah berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Secara spasial dapat dilihat pola spasial anomali dari sebaran densitas BC pada bulan Oktober 2002 dan 2006 yang menyebar hampir menutupi seluruh wilayah Indonesia, bahkan pada tahun 2015 menutupi seluruh wilayah Indonesia.
4
KESIMPULAN
Untuk wilayah Indonesia densitas BC berfluktuasi dari nilai terendah ~ 2x10-7 kg/m2 sampai nilai BC ~ 38x10-7 kg/m2. Dari tren 84
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
distribusi bulanan untuk rata-rata wilayah Indonesia pada umumnya ditemukan nilai BC yang tinggi rata-rata terjadi pada bulan September dan Oktober yang diperkirakan berkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Pada peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002, 2006 dan 2015 diperkirakan memberikan kontribusi BC tertinggi dengan densitas masing-masing sebesar 23,4x10-7 kg/m2, 36,91x107 kg/m2 dan 37,83x10-7 kg/m2. BC pada tahun 2015 adalah BC tertinggi yang ditemukan selama perioda data 2001-2015. Kebakaran hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera juga telah mengkontribusi pada peningkatan BC di perkotaan. Dari hasil analisis rata-rata bulanan pada bulan September dan Oktober 2015 terjadi peningkatan jumlah sebaran titik panas di Kalimantan Tengah masingmasing 12327 dan 11252 titik panas, dan pada saat yang sama data BC di Palangkaraya juga mengalami peningkatan sampai sekitar 1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima penulis ditujukan kepada rekan-rekan terutama kepada Indah Susanti, yang telah banyak menyumbangkan pemikiran yang sangat bermanfaat sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kementrian Kehutanan yang telah memberikan ijin penggunaan data hotspots (titik panas) dalam tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN Ackerman, A. S., O. B. Toon, D. E. Stevens, A. J Heymsfield, V. Ramanathan, E.J. Welton, 2000: Reduction of tropical cloudiness by soot. Science 288, 1042–1047. AMAP, 2011. The Impact of Black Carbon on Arctic Climate. By: P. K. Quinn, A. Stohl, A. Arneth, T. Berntsen, J. F. Burkhart, J. Christensen, M. Flanner, K. Kupiainen, H. Lihavainen, M. Shepherd, V. Shevchenko, H. Skov, and V. Vestreng. Arctic Monitoring and Assessment Programme (AMAP), Oslo, 72 pp. Babu, S. S., K. K. Moorthy, 2001: Anthropogenic impact on aerosol black carbon mass concentration at a tropical coastal station: a case study. Current Science 81, 1208 –1214. Beegum, S.N., K. Krishna Moorthy, S.S. Babu, S.K. Satheesh, V. Vinoj, K.V.S. Badarinath, P.D. Safai, P.C.S. Devara, S. Singh, Vinod, U. C. 85
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Dumka, P. Pant, 2009: Spatial distribution of aerosol black carbon over Indis during pre-monsoon season, Atmospheric Environment 43, 1071-1078, doi:10. 1016/j. atmosenv. 2008. 11. 042 BNPB, 2015. Dampak EL-Nino Tahun 2015 terhadap Kekeringan di Indonesia, http://www. bnpb. go. id/berita/2554/dampak-el-ninotahun-2015-terhadap-kekeringan-di-indonesia Bond, T. C. , D. G. Streets, K. F. Yarber, 2004: A technology-based global inventory of black and organic carbon emissions from combustion. J. Geophys. Res. , 109(14203), doi: 10. 1029/2003JD003697. Bond, T. C. , E. Bhardwaj, and R. Dong, 2007: Historical emissions of black and organic carbon aerosol from energy-related combustion, 1850-2000. Global Biogeochem. Cycles, 21, doi: 10. 1029/2006GB002840. Bond, T., 2007: ‘Testimony for the Hearing on Black Carbon and Climate Change’, Testimony to the House Committee on Oversight and Government Reform, 16 pp . Cao, G., X. Zhang, and Y. Wang, 2006: Inventory of black carbon emission from China. Adv. Clim. Change Res. (in Chinese), 2(6), 259264. Chung, S.H., J. H. Seinfeld, 2005: Climate response of direct radiative forcing of anthropogenic black carbon. Journal of Geophysical Research 110, D11102. doi: 10. 1029/2004JD005441. Corrigan, C. E., G.C. Roberts, M.V. Ramana, D. Kim, V. Ramanathan, 2007: Capturing vertical profiles of aerosols and black carbon over the Indian Ocean using autonomous unmanned aerial vehicles. Atmospheric Chemistry and Physics Discussions 7, 11429–11463. Hansen, J., M. Sato, R. Ruedy, A. Lacis, V. Oinas, 2000: Global warming in the twenty-first century: An alternative scenario, Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), NASA, vol. 97, no. 18, 9875–9880 pp, DOI: 10. 1073/pnas. 170278997. Husain, L. , Dutkiewics, V. A. , Khan, A. J. , Ghauri, B. M. , 2007: Characterization of carbonaceous aerosols in urban air. Atmospheric Environment 41, 6872–6883. IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S. dkk., Eds. , Cambridge University press, 996pp. Jacobson, M. Z. , 2001: Strong radiative heating due to the mixing state of black carbon in atmospheric aerosols. Nature 409, 695–697. 86
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
Kementerian Lingkungan Hidup, Republik Indonesia (KLH), 2006: Press Release Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Kementrian Lingkungan Hidup, 1 September 2006, http://www. menlh. go. id/press-release-pengendalian-kebakaran hutan-dan-lahan kementerian-lingkungan-hidup/ Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), 2014: Pengaruh El Nino Pada Kebakaran Hutah Dan Lahan, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Dan Perubahan Iklim, Kementrian Linglungan Hidup, http://www. menlh. go. id/ LAPAN, 2016: Hotspots Information, as Forest/Land Fire’s Alert, http://modis-catalog. lapan. go. id/monitoring/ Lohmann, U. , Feichter, J. , Penner, J. E. , Leaitch, W. R. , 2000: Indirect effect of sulfate and carbonaceous aerosols: a mechanistic treatment. Journal of Geophysical Research 105, 12193–12206. NASA, 2016: Black Carbon Column Massa Density, Giovanni, http://giovanni. sci. gsfc. nasa. gov/giovanni/#service=TmAvMp&starttime=&endtime=&bbox=-180,90,180,90&data=M2TMNXAER_5_12_4_BCCMASS&variableFacets=d ataFieldDiscipline%3AAerosols%3BdataFieldMeasurement%3ABlack %20Carbon%3B Ramanathan, V., and G. Carmichael, 2008: Global and regional climate changes due to black carbon. Nature, 1, 221-227. Steiner, A. , 2009: A Major Scientific Study on Black Carbon Intercomparison. Black Carbon e-Bulletin, The United Nations Environment Programme (UNEP) in collaboration with the Science Team of Atmospheric Brown Cloud (ABC), Volume 1, Number 2. Sofiati, I., Sinatra, T. , 2012: Analisis polutan saat kebakaran hutan serta kaitannya dengan fenomena ElNino di PalangkarayaKalimantan Tengah, Lingkungan Tropis, Vol 6, No. 1, 41-50. Susanto A., 2015. Apa yang paling banyak menyebabkan kebakaran hutan di Indonesia?, http://www. rappler. com/indonesia/104764kebakaran-hutan-indonesia-cifor Zhang, H. , and Z. Wang, 2011: Advances in the Study of Black Carbon Effects on Climate. Advances in Climate Change Research 2(1), 2330. DOI: 10. 3724/SP. J. 1248. 2011. 00023.
87
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016 Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono Peneliti Ilmu Lingkungan Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN e-mail: saipulh@yahoo. com ABSTRACT Solar eclipse is occured when moon cover solar disk, and blocks solar radiation toward the earth. Shifting of solar irradiation pattern caused by solar eclipse has been studied in Bandung and Pasuruan. Incoming solar radiation of ultraviolet A, B, and global are measured for this purpose. The shifting of solar irradiation pattern has been observed in Pasuruan, whereas in Bandung is not observed. The shifting is shown by increasing of rasio of UVA/Global intensity as well 4. 5% on full eclipse. On March 9th Solar Eclipse, decreasing of global solar radiation in Bandung and Pasuruan is 425. 19 kJ/m2 and 863. 28 kJ/m2 respectively. Also, it has been observed delay of increasing surface temperature related to average surface temperature in 8 days (before and after) at solar eclipse. Keywords
: solar spectrum, solar eclipse, incoming solar radiation ABSTRAK
Gerhana matahari terjadi ketika bayangan bulan menutupi piringan matahari dan menyebabkan terhalangnya sinar matahari yang menuju bumi. Pengaruh gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016 terhadap pergeseran pola intensitas radiasi matahari diamati di Bandung dan Pasuruan melalui pengukuran insolasi ultraviolet A, ultraviolet B, dan insolasi global matahari. Diperoleh hasil bahwa di Pasuruan teramati pergeseran pola intensitas radiasi matahari sedangkan di Bandung tidak teramati. Pergeseran ini ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Diperoleh juga penurunan intensitas radiasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar 425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret 2016. Teramati pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana). Kata-kunci: spektrum matahari, gerhana matahari, insolasi
88
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
1
PENDAHULUAN
Gerhana matahari merupakan peristiwa alam biasa, yang tidak ada gejalanya tetapi kejadiannya dapat diperhitungkan dengan tepat dan memiliki dampak pada bumi. Berbeda dengan gempa dan gunung meletus yang ada gejala awalnya, tetapi kejadiannya tidak dapat diprediksi. Gerhana matahari terjadi saat posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya matahari (Dermawan dkk., 2015). Jika bulan menutupi sebagian cahaya matahari maka disebut sebagai gerhana matahari sebagian, dan gerhana matahari total terjadi ketika seluruh cahaya matahari tertutup oleh bulan. Pada peristiwa gerhana matahari, sinar matahari di puncak atmosfer mengalami pelemahan, bahkan mencapai nol untuk daerah yang dilintasi bayangan umbra.
Gambar 1. Spektrum radiasi matahari dari spektrum ultraviolet hingga infra merah jauh dan gelombang elektromagnetik lainnya (https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing. png).
Pancaran energi radiasi matahari mengikuti kaidah black body radiation, distribusi Planck, serta hukum pergeseran Wien (Planck, 1901). Spektrum radiasi matahari terdiri dari sinar dengan panjang gelombang kurang dari 1 nm sampai gelombang radio dengan panjang gelombang sampai ratusan kilometer, dan puncak maksimum intensitas terjadi pada panjang gelombang (400 -700) nm, bersesuaian dengan temperatur matahari sekitar 6000 K. Semua panjang gelombang tersebut tidak sampai ke permukaan bumi hanya sinar 89
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
tampak dan gelombang radio yang mampu menembus atmosfer bumi, sedangkan sinar tidak mampu menembus atmosfer bumi. Intensitas radiasi yang sampai ke terrestrial bumi dipengaruhi oleh jarak matahari-bumi yang mengalami siklus dalam satu tahun, dan aktivitas matahari memiliki siklus 11 tahun. Radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer bumi adalah sebesar 1360 W/m 2 dan rata-rata setengah dari nilai tersebut diterima di permukaan bumi setelah mengalami proses pemantulan dan penyerapan oleh awan (Handoko, 1993). Radiasi yang diterima di permukaan bumi nilainya bervariasi terhadap letak lintang, keadaan atmosfer di tempat tersebut, faktor ketinggian tempat, serta sudut zenith matahari (sudut yang dibentuk antara garis vertikal pada lokasi tersebut dan arah datangnya sinar matahari) (Hanggoro, 2011). Pengaruh utama dari gerhana matahari adalah pada radiasi matahari, yang selanjutnya berpengaruh terhadap parameter meteorologi lain, diantaranya adalah suhu, tekanan udara, kelembapan relatif, dan angin (Anderson dkk., 1972; Gonzales, 1997; Aculinin and Smicov, 2006). Terhalangnya radiasi matahari selama berlangsungnya proses gerhana matahari memberikan dampak pada perubahan struktur dan dinamika atmosfer pada daerah yang dilintasi gerhana (Sartika, dkk., 2015). Ketika terjadi gerhana matahari total ataupun mendekati total, maka penampang matahari dari inti sampai kromosfer tertutup oleh bulan, tetapi tidak sampai menutup bagian korona. Bagian korona memiliki temperatur yang lebih tinggi dari kromosfer, bahkan temperatur kromosfer dapat mencapai 10. 000 K. Radiasi yang dipancarkan oleh seluruh sistem matahari dengan temperatur rata-rata mendekati 6. 000 K memiliki intensitas spektrum dengan intensitas maksimum pada daerah cahaya tampak sebagaimana digambarkan pada Gambar 1. Oleh karena itu ada kemungkinan jika hanya bagian korona dengan temperatur sampai 10. 000 K yang radiasinya sampai ke permukaan bumi, maka pola intensitas radiasi maksimum yang sampai ke permukaan bumi bergeser dari cahaya tampak ke arah radiasi ultraviolet. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya pergeseran pola intensitas radiasi matahari dan pengurangan intensitas radiasi matahari pada saat terjadinya gerhana matahari 2016, serta dampaknya pada perubahan temperatur di Bandung dan Pasuruan.
90
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
2
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan adalah radiasi UV-A (300-400) nm, UV-B (280 – 315) nm, dan radiasi global (semua panjang gelombang). Lokasi pengamatan di Bandung (6°53'40"LS; 107°35'12"BT) dan Pasuruan (7°34'0"LS ; 112°40'37"BT). Waktu dan durasi gerhana di kedua
tempat tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Waktu gerhana matahari Bandung 6:19:55 WIB 7:21:45 WIB 8:32:06 WIB 86 %
Awal gerhana Puncak gerhana Akhir gerhana Maksimum gerhana
Pasuruan 6:21:20 WIB 7:25:45 WIB 8:39:12 WIB 82 %
Sumber: http://eclipse. gsfc. nasa. gov/SEgoogle/SEgoogle2001/ SE2016Mar09Tgoogle. html
Pendekatan persamaan untuk menghitung sudut zenith () yang menentukan besarnya intensitas radiasi matahari sampai ke permukaan bumi, dituliskan pada persamaan (1).
cos( ) sin( ) sin( ) cos( ) cos( ) cos( )
(1)
Dengan adalah derajat lintang posisi Bandung (6°53'40"LS = -6,89°) dan Pasuruan (7°34'0"LS = -7,67°) , adalah sudut jam matahari nilainya setiap 15° setara dengan satu jam dan dengan acuan 0 pada jam 12. 00 waktu matahari, dan adalah sudut deklinasi matahari dirumuskan sebagai berikut, dengan N adalah Julian day: 𝛿 = 23,45 𝑠𝑖𝑛 (
284+𝑛 365
(2)
)
Korelasi antara waktu matahari (Tsol) dan waktu setempat (Tloc = WIB) adalah ditunjukkan pada persamaan (3).
Tsol Tloc EoT 4 loc std menit Dengan : Tsol Tloc EoT
: : :
waktu matahari, waktu setempat (WIB) equation of time 91
(3)
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
loc std
bujur setempat (104,73 BT) bujur standar waktu (105 BT) Equation of time menurut Lunde dalam Naima dan Majeeb (2011) dirumuskan dengan persamaan (4): : :
𝑛−1
) − 5, 1 < 𝑛 < 100
(4a)
) − 5, 1 < 𝑛 < 100
(4b)
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = 18,6 𝑠𝑖𝑛 (39,248) − 2, 243 ≤ 𝑛 ≤ 366
(4c)
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (
28,648 𝑛−1
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (
28,648 𝑛−242
Untuk mengetahui adanya pergeseran pola intensitas radiasi matahari, digunakan perbandingan intensitas radiasi UV-A terhadap radiasi global (UV-A/Global). Jika pada saat gerhana tidak ada perubahan nilai perbandingan (rasio), maka diartikan tidak ada pergeseran pola intensitas radiasi matahari. Sebaliknya, jika terjadi perubahan nilai perbandingan antara radiasi UV-A terhadap radiasi global maka terjadi pergeseran pola intensitas radiasi matahari .
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sudut zenith dan hasil perhitungan sudut zenith menggunakan persamaan (1) – (4) di Bandung dan Pasuruan selama persitiwa gerhana matahari ditunjukkan pada Gambar 2. Pada jam yang bersamaan, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar dibandingkan dengan di Pasuruan. Hal ini karena posisi geografis (meredian) Pasuruan lebih Timur dibandingkan dengan posisi Bandung. Semakin tinggi elevasi matahari maka semakin kecil sudut zenith yang terbentuk, dan sudut zenith mencapai nol derajat saat
matahari berada pada kulminasinya. Untuk mencapai sudut zenith yang sama maka terjadi penundaan waktu kira-kira satu jam untuk Kota Bandung.
92
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
Gambar 2. Besarnya sudut zenith matahari selama gerhana matahari di Bandung dan Pasuruan.
terjadi
Perubahan insolasi pada spektrum UV-A, UV-B, dan radiasi global pada saat terjadi gerhana matahari tanggal 9 Maret di Pasuruan dan Bandung ditunjukkan pada Gambar 3. Insolasi rata-rata dihitung pada 8 hari sebelum dan 8 hari setelah gerhana matahari, dan di dalam rentang waktu ini sudut zenith matahari dianggap tidak berubah secara signifikan pada jam yang sama. Analisa dilakukan pada rentang waktu pukul 05:00 hingga 10:00 yaitu saat terjadinya gerhana matahari seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Radiasi matahari yang diterima oleh bumi disebut sebagai insolasi (insolation = incoming solar radiation) yang tersebar pada pita panjang gelombang yang disebut spektrum matahari. Meskipun spektrum matahari sangat lebar namun puncak energi dan sebagian besar energi radiasi total terletak pada batas cahaya tampak yang sangat sempit (Tjasyono, 2008). Insolasi yang sampai ke permukaan bumi berbanding terbalik dengan sudut zenith matahari. Semakin kecil sudut zenith matahari maka semakin besar insolasi. Ketika terjadi gerhana matahari, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar daripada di Pasuruan, maka insolasi rata-rata pada jam yang bertepatan dengan gerhana matahari di Pasuruan lebih besar daripada di Bandung sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini berdampak juga pada pelemahan energi radiasi akibat gerhana matahari di Pasuruan lebih besar daripada di Bandung, meskipun maksimum gerhana di Pasuruan lebih kecil daripada di Bandung. Perhitungan pada Tabel 2 tidak mempertimbangkan penutupan awan di kedua tempat tersebut.
93
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
Bandung
Radiasi Global
UV-B
UV-A
Pasuruan
Gambar 3. Perubahan insolasi di Pasuruan dan Bandung pada saat gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016. Tabel 2.
Pelemahan energi radiasi matahari akibat gerhana. Bandung 27,55 0,32 425,19
Radiasi UV-A (kJ/m2) Radiasi UV-B (kJ/m2) Radiasi global (kJ/m2)
Pasuruan 53,14 1,41 863,28
Perbandingan insolasi UV-A terhadap insolasi global (UVA/Global), dan insolasi UV-B terhadap insolasi global (UV-B/Global) pada saat gerhana dan rata-ratanya dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana) ditunjukkan pada Gambar 4. Daerah yang dibatasi oleh persegi empat berwarna gelap adalah saat terjadinya gerhana matahari. Pembahasan pergeseran pola intensitas radiasi matahari dilakukan pada daerah berwarna gelap ini. 94
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
Bandung
UV-B/Global
UV-A/Global
Pasuruan
Gambar 4. Perbandingan antara insolasi UV-A dan UV-B terhadap insolasi global di Pasuruan dan Bandung.
Insolasi UV-A yang sampai ke permukaan bumi sebanding dengan insolasi global. Hal ini ditunjukkan oleh nilai perbandingan antara insolasi UV-A dan insolasi global yang bernilai hampir konstan. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa dalam satu hari perbandingan UV-A/global memiliki variabilitas yang tinggi. Hal ini disebabkan adanya penyerapan UV-A untuk reaksi fotokimia di atmosfer. Selain itu, disebabkan juga oleh adanya dinamika aktivitas matahari. Pada saat terjadinya penutupan matahari oleh bulan, di Pasuruan teramati adanya pergeseran pola intensitas radiasi matahari ke arah pita UV-A. Hal ini ditunjukkan oleh rasio UV-A/Global pada saat gerhana matahari meningkat sekitar 4,5 %. Pada waktu puncak gerhana matahari, rasio UV-A/Global juga meningkat tinggi. Kejadian seperti di Pasuruan tidak terjadi di Bandung. Pada saat gerhana matahari justru rasio UV-A/Global menurun sekitar 2,1 %. Pergeseran pola intensitas ke arah pita ultraviolet tidak teramati di Bandung. Kondisi ini diduga karena reaksi fotokimia yang tinggi dari polutan-polutan reaktif di troposfer. Intensitas UV-B yang sampai ke permukaan bumi akan menjadi semakin besar jika radiasi total yang sampai ke permukaan bumi juga besar, yang berarti kemampuan lapisan ozon menyerap UVB tidak sebanding dengan intensitas radiasi UV-B yang menembus 95
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
stratosfer, tetapi memiliki kapasitas tertentu dalam penyerapannya. Dilihat dari melemahnya insolasi UV-A, UV-B, dan global di Bandung dan Pasuruan (Tabel 2), perbandingan pelemahan insolasi UV-A dan insolasi global di kedua tempat pengamatan memiliki perbandingan yang hampir sama, yaitu di Bandung sekitar 2 kalinya di Pasuruan, sementara untuk insolasi UV-B di Pasuruan sekitar empat kalinya di Bandung. Hal ini menunjukkan adanya reaksi penyerapan UV-B yang kompleks di atmosfer, khususnya dalam reaksi fotolisis ozon stratosfer. 35
temperatur (°C)
30 25 20
rata-rata 9-Mar
15 5:00
6:00
7:00
8:00
9:00
temperatur (°C)
35
Bandung
25 20 15 5:00
10:00
Waktu (WIB)
Pasuruan
30
rata-rata 9-Mar 6:00
7:00
8:00
9:00
10:00
Waktu (WIB)
Gambar 5. Penurunan suhu permukaan saat terjadinya gerhana matahari (9 Maret) dibandingkan dengan rata-rata 8 hari sebelum dan sesudah kejadian gerhana.
Selain mengamati terjadinya penurunan intensitas insolasi, diamati juga penundaan kenaikan suhu pada saat terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana). Gambar 5 menunjukkan penundaan kenaikan suhu. Penundaan kenaikan suhu pada pagi hari disebabkan gagalnya matahari memanasi atmosfer bumi karena terhalang oleh bayangan bulan. Di Bandung, penundaan kenaikan suhu mulai terlihat sejak pukul 6:30 ketika bulan mulai menutupi piringan matahari, dan tidak terjadi kenaikan suhu yang signifikan hingga pukul 7:30. Setelah puncak gerhana yang dibarengi dengan semakin berkurangnya sudut zenith matahari, hal yang berbeda terjadi di Pasuruan yang daerahnya hanya dilintasi oleh penumbra. Penurunan suhu mulai terjadi pada pukul 07:20 dan mulai meningkat lagi secara normal pada pukul 08:00. Penundaan yang sangat singkat ini disebabkan karena Pasuruan hanya dilalui oleh bayangan penumbra yang menyisakan sedikit insolasi untuk memanasi atmosfer bumi. Selain itu, dengan posisinya yang lebih ke timur menyebabkan sudut zenith matahari sudah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Bandung. 96
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
4
KESIMPULAN
Pergeseran pola intensitas radiasi matahari teramati di Pasuruan selama gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016. Pergeseran ini ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Sebaliknya, pergeseran spektrum matahari tidak teramati di Bandung, bahkan terjadi penurunan rasio sebesar 2,1%. Selain itu, diperoleh juga penurunan insolasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar 425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret 2016. Diketahui pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Bandung dan Balai Pengamatan Atmosfer dan Antariksa Pasuruan yang telah menyediakan data pengamatan untuk digunakan di dalam tulisan ini, rekan-rekan peneliti di Subpoklit Lingkungan Atmosfer atas diskusinya, serta para reviewer yang telah banyak menyumbang pemikiran, membantu dalam pengolahan data, diskusi dan konsultasi, serta saran.
DAFTAR RUJUKAN Aculinin, V. Smicov, 2006: Ground-Based Observation of Shortwave Solar Radiation During Solar Eclipse on October 3, 2005 in Chicinau, Moldova. Moldovian Journal of The Ohysical Science, 5. Anderson, R. C. , Keefer, D. R. , Myers, O. E. , 1972: Atmospheric Pressure and Temperature Changes during The 7 March 1970 Solar Eclipse. Atmospheric Science, 29, 583-587. Dermawan, A. , E. S. Mumpuni, R. Priyatikanto, J. Murjaya, 2015: Gerhana Matahari Total 2016: Informasi dari Bidang Ilmiah mengenai Persiapan dan Pelaksanaan Pengamatan, Media Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169. Gonzales, G. , 1997: Ground Level Humidity, Pressure and Temperature Measurement during The October 24, 1995 Total Solar Eclipse. Kodaikanal Obs. Bull. ,113, 151-154. Handoko, 1993: Klimatologi Dasar. Bogor. Jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB. Hanggoro, W. , 2011: Pengaruh Intensitas Radiasi Saat Gerhana 97
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
Matahari Cincin Terhadap Beberapa Parameter Cuaca, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol 12 Nomor 2, 137-144. Naima, F. , Majeed, B. A. , 2011: Spline-Based Formula for the Determination of Equation of Time and Declination Angle, ISRN Renewable Energy, Vol. 2011. Article ID 217484, DOI:10. 5402/2011/217484. Planck, M. , 1901: Distribution of Energy in The Spectrum. Annalen der Physik, vol 4. , 553-563. Sartika, F. Mumtahana, 2015: Gerhana Matahari dan Dampaknya pada Atmosfer Bumi, Media Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169. Tjasyono, B. , Meteorologi Indonesia Volume I Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer, Badan Meteorologi dan Geofisika, pp. 100. http://eclipse. gsfc. nasa. gov/SEgoogle/SEgoogle2001/SE2016Mar09Tgoogle. html https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing. png (diunduh tanggal 30 September 2016).
98
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT) BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer e-mail: s_berlianasipayung@yahoo. com ABSTRACT This paper emphasizes the importance of the analysis of climate change impact that occurred in the Cimanuk Watershed, West Java. It is related to the needed of fast and reliable information of past, present, and future rain fall based on Climate Research Unit (CRU) and Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) monthly data analysis for 104 years (1901-2014). The analysis is focused on drought frequency in that region using Standard Index Precipitation (SPI) methods. SPI is one of drought indicator in a region. Analyses were conducted per each 30 years observation, namely 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, and 1991-2014 takes 24 years for Pamegatan and Cimanuk stations. The result show that there has been a drought for both of them, but relatively stable in 60-65 event since 1901-1990. Significant changes occured from 1991 to 2014, where the drought decreased until 56 events. This indicates that dry season in Cimanuk Watershed is decrease or rain season is increase. Meanwhile, SPI analysis show that only 3-month period SPI is most suitable for describing the highest of dry and rain seasons in Cimanuk Watershed. Keywords
: Climate Change, SPI, and Cimanuk Watershed ABSTRAK
Makalah ini menekankan pentingnya analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Hal ini terkait dengan adanya satu kebutuhan informasi yang cepat dan tepat tentang kondisi curah hujan di masa lalu, kini dan mendatang. Berbasis hasil analisis data Climate Research Unit (CRU) dan Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) selama 104 tahun pengamatan (1901-2014) rata-rata bulanan data in-situ dan data luaran model. Analisis difokuskan pada frekuensi kejadian kekeringan di kawasan tersebut menggunakan teknik/metode Standard Precipitation Index (SPI) yang merupakan salah satu indikator terjadinya kekeringan di suatu wilayah. Analisis dilakukan setiap 30 tahun pengamatan yang dibagi menjadi 3 periode, yakni periode 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, dan satu periode lagi yang lamanya hanya 24 tahun (1991-2014) masing-masing untuk Stasiun Pamegatan dan Cimanuk. Hasilnya menunjukkan bahwa memang telah terjadi kekeringan di dua 99
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
stasiun tersebut, tetapi relatif stabil yakni berkisar 60-65 kali sejak 1901-1990. Perubahan signifikan terjadi sejak 1991 hingga 2014, dimana terjadinya penurunan kekeringan hingga mencapai sekitar 56 kejadian kekeringan. Ini mengindikasikan jika di DAS Cimanuk tren musim kemaraunya berkurang atau kecenderungan terjadinya musim penghujan bertambah. Sementara dari SPI diperoleh hanya SPI periode 3 bulanan saja yang relatif paling sesuai menggambarkan musim kemarau dan basah paling tinggi yang terjadi di kawasan tersebut. Kata kunci
1
: Perubahan iklim, SPI dan DAS Cimanuk
PENDAHULUAN
Ada satu kebutuhan nasional yang sangat dinantikan oleh Pusat Air (PUSAIR), yakni analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di beberapa waduk yang terdapat di Jawa Barat. Hal ini penting dilakukan, karena informasi yang cepat, tepat dan akurat terkait dengan ketersediaan air di beberapa waduk yang terdapat di Jawa Barat, baik masa kini ataupun mendatang penting untuk menjaga stabilitas produksi tanaman pangan, khususnya padi yang ditanam di Jawa Barat. Sebagaimana diketahui, perubahan iklim didefinisikan sebagai indikasi atau tanda-tanda meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, yang pada akhirnya dapat mengubah pola curah hujan di suatu wilayah (IPCC, 2007). Perubahan iklim dapat terjadi karena proses alam internal maupun aktivitas manusia yang terus-menerus (IPCC, 2007). Perubahan tata guna lahan dan industrialisasi adalah salah satu pemicu penyebab perubahan iklim. Perubahan tata guna lahan memicu berubahnya komposisi atmosfer, salah satunya adalah konsentrasi karbon dioksida (CO2). Peningkatan konsentrasi CO2 sebanyak dua kali lipat diperkirakan akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8°C (IPCC, 2001). Analisis perubahan iklim membutuhkan data dengan rentang waktu yang panjang. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran (in-situ), satelit, maupun proyeksi luaran model iklim. Sebagai contoh, data observasi dengan periode 1906–2005 menunjukkan rata-rata suhu permukaan global meningkat dengan laju 0,74°C ± 0,18° telah mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat, termasuk di Indonesia (IPCC, 2007). Data satelit juga dapat digunakan untuk kajian 100
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
perubahan iklim. Analisis data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) (Bappenas, 2010). Suhu permukaan udara di keseluruhan Asia telah meningkat sekitar 1-3°C selama satu abad terakhir (Cruz dkk., 2007). Hulme dan Sheard (1999), menemukan bahwa Indonesia lebih hangat sejak tahun 1900 dan suhu rata-rata tahunannya telah meningkat sekitar 0,3°C. Kenaikan suhu sebesar 0,2-0,3 °C per dekade juga disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH, 2012). Perubahan iklim juga mempengaruhi curah hujan. Kenaikan curah hujan untuk periode Desember–Januari–Februari (DJF) terjadi di hampir seluruh Pulau Jawa dan Indonesia bagian tengah seperti Bali, NTB, dan NTT. Berdasarkan data historis perubahan per tahun menunjukkan peningkatan suhu di Jakarta dan Bogor (Hidayati, 1990), sedangkan sebagian besar wilayah Indonesia suhu mengalami penurunan (Hidayati dkk., 2009). Indikator perubahan iklim lainnya adalah keterlambatan musim hujan tahunan 30-hari, dengan kategori 10% kenaikan curah hujan di musim tanam (April-Juni), dan 75% penurunan curah hujan di musim kemarau (Juli-September) (Hulme and Sheard, 1999; Boer and Faqih, 2004; Naylor dkk., 2007). Hasil proyeksi dengan menggunakan data luaran model skenario diketahui bahwa telah terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia kecuali di Indonesia bagian selatan (Hulme and Sheard, 1999). Boer and Faqih (2004); Naylor. dkk. (2007). Hasil proyeksi ke depan juga menyebutkan kenaikan curah hujan tahunan di sebagian besar pulaupulau, kecuali di Indonesia bagian selatan, yang menurun hingga 15%. Perubahan musiman curah hujan di sebagian Sumatera dan Kalimantan sekitar 10-30% lebih basah di tahun 2080 selama periode Desember-Februari, sedangkan Jakarta diproyeksikan lebih kering sekitar 5 sampai 15% selama Juni-Agustus (KLH, 2012). Indonesia yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi (banjir, kekeringan, tanah longsor, dan angin puting beliung) yang disebabkan oleh perubahan iklim harus tanggap untuk melakukan langkahlangkah mitigasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dampak peningkatan suhu 2°C di atas tingkat pra-industri (WWF, 2007). Untuk pertama kalinya pada tahun 2016 air Waduk Jatigede 101
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk mulai digunakan untuk mengairi areal pesawahan di daerah pantai utara (pantura), seperti Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Waduk Jatigede (Sumedang) dianggap mampu menyuplai air ke daerah pantura dalam beberapa tahun ke depan dan mampu mengairi Daerah Irigasi seluas 90. 000 ha, yang mencakup Kab. Indramayu, Cirebon, Majalengka dan sekitarnya. Waduk Jatigede nantinya juga akan difungsikan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas terpasang (install capacity) sebesar 110 MW. PLTA akan dikelola oleh Perusahaan Litrik Negara (PLN) (http://sumedangonline. com/). DAS Cimanuk merupakan salah satu penopang utama sumber daya air di Jawa Barat yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu sub-DAS Cimanuk Hulu, sub-DAS Cimanuk Tengah dan sub-DAS Cimanuk Hilir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan iklim, khususnya curah hujan dan temperatur yang terjadi di DAS Cimanuk, Jawa Barat berbasis hasil analisis data CRU dan model dengan menggunakan metode Standard Precipitation Index (SPI).
2
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan adalah data curah hujan dan temperatur dari tahun 1901 hingga 2014 (diwakili lokasi Pamegatan dan Cimanuk) yang diperoleh dari Climate Research Unit (CRU). Sebagai data koreksi digunakan data satelit dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), data luaran model dari Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) dan data in-situ (dari stasiun klimatologi). Data CRU dan luaran model bulanan digunakan untuk melihat pola perubahan iklim dan indeks kekeringan berdasarkan nilai ambang batas (threshold ± 1). Periode data CRU sudah lebih dari 30 tahun sehingga cukup representative digunakan untuk analisis perubahan iklim. Lokasi penelitian adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk (Jawa Barat) yang terletak pada koordinat (6,20 LS – 7,450 LS dan 107,60 BT -108,80 BT). Gambar 1 menyajikan lokasi penelitian dan peta penggunaan lahan di DAS Cimanuk yang didominasi oleh sawah tadah hujan, sawah irigasi dan tegalan. Metode yang digunakan mengacu pada analisis perubahan iklim konsep dari Naylor (2007). Selain itu juga menggunakan metode Standard Precipitation Index (McKee dkk., 1993). Metode SPI digunakan untuk mengetahui suatu daerah mengalami kekeringan atau tidak. SPI merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menghitung indeks presipitasi yang menjelaskan kondisi anomali basah dan anomali kering 102
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah dengan memperhitungkan input presipitasi sebagai data utamanya dan tidak memperhitungkan parameter lain dan telah digunakan di lebih dari 60 negara (Svoboda, 2009).
Gambar 1. Kondisi lokasi penelitian dan penggunaan lahan di DAS Cimanuk
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan salah satu dari beberapa DAS yang terdapat di Jawa Barat. DAS Cimanuk memiliki luas 347. 697 ha yang mencakup wilayah administrasi Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka dan Indramayu. DAS Cimanuk memiliki curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Berdasarkan analisis data curah hujan stasiun klimatologi yang terletak di DAS Cimanuk selama periode 1901-2014 menghasilkan, bahwa DAS Cimanuk mempunyai pola curah hujan tahunan tipe monsunal. Gambar anomali curah hujan, wavelet, spektrum daya wavelet dan variansi curah hujan bulanan DAS Cimanuk diwakili dua stasiun yaitu stasiun Cimanuk (atas) dan Pamegatan (bawah) disajikan dalam grafik time series pada Gambar 2a, 2b, 2c dan 2d. 103
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Gambar 2. Anomali (a), wavelet power spectrum (b), spektrum daya wavelet (c), dan variansi rata-rata fenomena 2-8 tahunan (d), curah hujan bulanan
Gambar 2. a Cimanuk, merupakan anomali yang berbentuk gelombang memiliki karakteristik durasi waktu terbatas dan rataratanya nol (0) dengan garis vertikal antara positip lima dan minus lima menggunakan dekomposisi waktu frekuensi. Gambar 2. b dan c Cimanuk merupakan transformasi wavelet yang dapat digunakan untuk menganalisis mode variabilitas dominan dan variansinya terhadap waktu dengan mendekomposisi deret waktu ke dalam domain waktu frekuensi (Torrence dan Compo, 1998). Kejadian yang mendominasi besarnya curah hujan di Cimanuk berdasarkan data CRU pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh fenomena 3 tahunan 104
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
(interannual) yang kemungkinan adalah fenomena IOD atau ENSO (Saji and Yamagata, 1999) di Pamegatan dan Cimanuk. Berdasarkan hasil plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8 tahunan mencapai variansi yang tinggi tahun 1916, 1948, 1978, 1982, dan 1992 (Gambar 2.d, Cimanuk). Kejadian yang mendominasi besarnya curah hujan di Pamegatan berdasarkan data CRU pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh fenomena 3 tahunan (interannual) (Gambar 2.b, Pamegatan), fenomena kejadian sama dengan di Cimanuk (Gambar 2.c Pamegatan). Berdasarkan hasil plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8 tahunan mencapai variansi yang tinggi tahun 1913, 1925, dan 1992 (Gambar 2.d, Pamegatan). Hal ini terlihat bahwa pola curah hujan dari analisis power spectrum daya (PSD) wavelet, memberikan hasil yang sama pada fenomena dan konsisten dalam melihat periode osilasinya dari masing-masing kedua stasiun. Tabel 1 merupakan koefisien korelasi antara curah hujan bulanan antara data stasiun, CRU dan model yang diwakili di stasiun Cimanuk dan Pamegatan. Hasil analisis koefisien korelasi (r) menunjukkan besarnya r antara 0,5 – 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara keempat (4) data terdapat korelasi yang baik. Tabel 1.
Sta vs CRU 0. 55
Koefisien Korelasi Antara Berbagai Data Curah Hujan Bulanan di DAS Cimanuk Korelasi Curah Hujan Bulanan di DAS Cimanuk Stasiun Cimanuk Stasiun Pamegatan Sta vs CRU vs Sta vs Sta vs Sta vs CRU vs TRMM TRMM CCAM CRU TRMM TRMM 0. 68 0. 87 0. 58 0. 68 0. 79 0. 87
Sta vs CCAM 0. 72
Berdasarkan data dari CRU TS3. 23 selama periode 1901-2014, menunjukkan rata-rata kenaikan dan penurunan curah hujan di Indonesia yang lebih rincinya dapat dilihat per periode 30 tahunan 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990 dan periode 1991-2014. Selama periode 30 tahunan, curah hujan menunjukkan bervariasi. Curah hujan mengalami peningkatan dan penurunan selama 30 tahunan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.a dan 3.b di stasiun Cimanuk dan Pamegatan. Berdasarkan kedua gambar, pada periode pertama (19011930) terjadi penurunan curah hujan sebesar 4,46 mm, sebaliknya pada periode kedua (1931-1960) terjadi peningkatan sebesar 9,80 mm sedangkan periode ketiga (1961-1990) dan keempat (1991-2014) sebesar -3,9 (menurun) dan 2,79 mm (meningkat). 105
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
a
b
Gambar 3. Tren curah hujan rata-rata per 30 tahunan wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Menurut IPCC (2007), bahwa suhu global berdasarkan data historis mengalami kenaikan hingga mencapai antara 0,74 ± 0,18 derajat Celsius. Hasil analisis dilakukan terhadap data suhu observasi global yang disusun oleh Climate Research Unit dari University of East Anglia (CRU, 2008) diterapkan untuk stasiun Cimanuk dan Pamegatan seperti yang tercantum pada Gambar 4.a dan 4.b. Berdasarkan analisa data dari CRU, ke dua lokasi (Cimanuk dan Pamegatan) menunjukkan peningkatan suhu yang tidak jauh beda. Hal ini menunjukkan bahwa data CRU TS3. 23 mempunyai resolusi rendah.
106
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
a
b
Gambar 4. Tren temperatur rata-rata per 30 tahunan untuk wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Gambar 5 menyajikan frekuensi curah hujan untuk 4 periode di Cimanuk hulu. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa grafik frekuensi curah hujan pada kategori 100-500mm (warna merah) terjadi penurunan. Selain itu periode data pada tahun 1991-2014 terdiri dari 24 tahun namun terdapat perubahan signifikan (warna hijau) yaitu frekuensi tertinggi yaitu diatas >500mm, artinya telah terjadi perubahan iklim dan berdampak pada peningkatan curah hujan.
Grafik Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu Frekuensi
400
<100
100-500
200 0 1901-1930
1931-1960
1961-1990
Perioda Gambar 5. Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu 107
1991-2014
>500
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Perubahan curah hujan dan temperatur spasial DAS Cimanuk berbasis model CCAM dapat ditunjukkan pada Gambar 6a, b dan c dan 7a, b dan c yaitu anomali curah hujan dan temperatur rata-rata 20402069 terhadap rata-rata baseline tahun 1971 -2000. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dari anomali curah hujan dan temperatur pada Gambar 6c dan 7c terjadi perubahan iklim ditinjau dari rata-rata baseline tahun 1971-2000 seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan akan berdampak terhadap kekeringan di DAS Cimanuk itu sendiri. Anomali curah hujan dan temperatur dari tahun 1971 hingga 2000 dibandingkan dengan 2040-2069 mempunyai pola yang sama di Cimanuk Hulu yaitu terjadi peningkatan.
a
b
c
Gambar 6. Perubahan curah hujan spasial dan anomali rata-rata 2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971-2000 DAS Cimanuk
a
b
c
Gambar 7. Perubahan temperatur spasial dan anomali rata-rata 2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971 -2000 DAS Cimanuk 108
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Tabel. 2.
No
1. 2.
Perubahan curah hujan dan temperatur DAS Cimanuk yang diwakili stasiun Cimanuk dan Pamegatan Nama stasiun
Cimanuk Pamegatan
Curah Hujan
Temperatur
Perubahan
% Perubahan
Perubahan
% Perubahan
-3. 8 -3. 83
9. 46% 10. 97%
2. 54 2. 68
10. 80% 11. 44%
Standard Precipitation Index (SPI) dirancang untuk dapat mengkuantifikasi kondisi presipitasi dan menghitung kondisi kering dan basah. Berdasarkan skala waktu presipitasi, SPI digolongkan ke SPI-1 yang mengkuantifikasi kondisi presipitasi satu bulanan, SPI-3 untuk tiga bulan, SPI-6 untuk 6 bulan, SPI-12 untuk 12 bulan, dan SPI-24 untuk 24 bulan. Pada kajian ini yang digunakan adalah SPI-3 dalam periode 30 tahunan yaitu untuk mengidentifikasi jumlah kejadian bulan kering di wilayah Cimanuk dan Pamegatan. Hal ini berkaitan dengan wilayah Indonesia yang beriklim tropis dan rata-rata cuacanya berubah selama 3 bulan sekali seperti yang tercantum pada Gambar 8.
109
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Gambar 8. Gambar SPI curah hujan per 30 tahunan untuk wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Perubahan iklim itu sendiri dipercaya dapat mempengaruhi jumlah kejadian cuaca ekstrem di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Gambar 9 menunjukkan bahwa baik di daerah Cimanuk dan Pamegatan, frekuensi kejadian kekeringan meningkat dalam kurun waktu 30 tahun. Pada kurun waktu 1901-1930, jumlah frekuensi kejadian kekeringan di Cimanuk maupun di Pamegatan berkisar 58 kejadian. Pada tahun 1931-1960, frekuensi kejadian kekeringan meningkat. Frekuensi Kejadian Kekeringan Menurut SPI di Cimanuk dan Pamegatan
80 60 40 20 0
1901-1930
1931-1960
Pamegatan
1961-1990
1991-2014
Cimanuk
Gambar 9. Grafik frekuensi kejadian kekeringan menurut SPI-3 di Cimanuk dan Pamegatan 110
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Di daerah Cimanuk, jumlah frekuensi kejadian kekeringan meningkat sebanyak 64 kejadian, di Pamegatan sekitar 62 kejadian. Pada kurun waktu 1961-1990, jumlah kejadian kekeringan di dua lokasi sama-sama meningkat menjadi 65 kejadian. Sedangkan pada 24 tahun terakhir, jumlah kejadian kekeringan yang sejauh ini terekam adalah 46 kejadian di Pamegatan dan 48 kejadian di Cimanuk. Pada Tabel 3, terdapat frekuensi kejadian bulan kering dan bulan basah di Pamegatan dan Cimanuk, yang lebih spesifik adalah pada SPI 3 bulanan yaitu pada atribut yang berwarna merah. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa untuk menganalisis kondisi iklim kering dan basah di lokasi Pamegatan dan Cimanuk adalah iklim tiga bulanan. Hal ini disebabkan pada periode bulan tersebut terdapat kejadian kering dan basah yang paling tinggi. Tabel 3.
Frekuensi kejadian bulan kering dan bulan basah di Pamegatan dan Cimanuk
Pamegatan
Cimanuk
Kering
Basah
Tahun
1
3
6
12
1
3
6
12
56
59
54
63
60
62
63
63
59
59
59
57
55
56
64
61
65
61
67
60
58
41
46
40
47
55
52
4
Kering
Basah
1
3
6
12
1
3
6
12
19011930
55
58
54
58
64
65
59
46
60
19311960
60
62
60
48
53
64
53
47
46
57
19611990
48
65
64
63
59
59
56
57
44
47
19912014
40
48
42
37
41
42
38
47
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa memang telah terjadi dampak perubahan iklim di DAS Cimanuk yang diwakili oleh Stasiun Cimanuk dan Pamegatan berupa kejadian musim kering yang relatif konstan (stabil) antara 56-65 kejadian di sepanjang periode 1901-1990. Kemudian mengalami degradasi (penurunan) kejadian musim kering di dua stasiun tersebut mulai 1991-2014. Ini mengindikasikan jika ada kecenderungan menaiknya musim basah (hujan) sejak 1991-2014 dan perubahannya signifikan. Terjadinya penurunan musim kemarau, diduga terkait erat dengan menaiknya temperatur permukaan di kedua Stasiun tersebut sejak 1991-2014. Hasil analisis berbasis SPI (Standard Precipitation Index) sebagai 111
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
indikator terjadinya kekeringan di kedua stasiun tersebut menunjukkan ternyata hanya SPI 3 bulanan saja yang dianggap paling sesuai menggambarkan terjadinya musim kemarau dan musim hujan ekstrem selama periode tersebut (1901-2014).
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer atas fasilitas yang mendanai program tahun anggaran 2016, sehingga makalah ini berhasil diselesaikan.
DAFTAR RUJUKAN Bappenas 2010: Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap- ICCSR: Basis Sintifik: Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Laut dan Cuaca Ekstrim, edited by Bappenas, Republik Indonesia. Boer, R. and A. Faqih. 2004: Current and Future Rainfall Variability in Indonesia. In An Integrated Assessment of Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability in Watershed Areas and Communities in Southeast Asia, Report from AIACC Project No. AS21 (Annex C, 95-126). International START Secretariat, Washington, District of Columbia. http://sedac. ciesin. org/aiacc/ progress/ Final Rept_AIACC_AS21. pdf. Cruz, R. V. , H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, 2007: Asia. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M. L. Parry, O. F. Canziani, J. P. Palutikof, P. J. van der Linden and C. E. Hanson, Eds. , Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506. CRU, 2008: Climate Research UnitTimes Series (TS) high resolution gridded datasets, [Internet]. NCAS British Atmospheric Data Centre, edited by I. H. (Phil Jones). Hidayati, Rini, 1990: Kajian Iklim kota Jakarta, Perubahan dan Perbedaan dengan daerah sekitarnya. Thesis Program Studi Agroklimatologi. Institut Pertanian Bogor. Hidayati, R. , A. Buono, A. Rakhman, Fitriyani, R. Boer. 2009: Health Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta 112
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
Hulme and Sheard 1999: Climate Change Scenarios for Indonesia. Climatic Research Unit, Norwich, UK, 6pp. IPCC, 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. IPCC, 2007: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [B. Metz, O. R. Davidson, P. R. Bosch, R. Dave, L. A. Meyer (eds)], Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. KLH, 2012: Grand Design Penyelamatan Ekosistem Danau Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup. McKee, T. , Noland Doesken, dan John Kleist, 1993: The relationship of drought frequency and duration to time scales. 8th Conference on Applied Climatology, 17-22 January, Anaheim, CA, pp 179-184. Naylor, R. L., D. S. Battisti, D.J.Vimont, W. P. Falcon, and M. S. Burke. 2007: Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104(19):7752-7757. Saji, H. Yamagata, T. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Svoboda. 2009: Applying the Standardized Precipitation Index as a Drought Indicator. Torrence and Compo. 1998: A Practical Guide to Wavelet Analysis. WWF (World Wide Fund For Nature). 2007: Climate Change: Why we need to take action now. Available at http:// assets. panda. org/ownloads/2_vs_3_degree_impacts_1oct06. pdf [Accessed 25 October 2007].
113
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN tiin. sinatra@lapan. go. id ABSTRACT The theme of this research is to study variation of upper tropospheric Ice Water Content (IWC) and water vapour (H2O) based on the Aura Microwave Limb Sounder (MLS) measurement. We also see the variation of IWC and H2O when La Niña was active identified by Sea surface temperature (SST) from AQUA/MODIS, southern oscillation index (SOI) and Niño 3.4 SST. We found that H2O and IWC increased significantly especially above Java Island during La Niña 2010 compared to 10-years climatological mean in dry season and transition. Keywords
: cloud, ice water content, water vapor, Southern Oscillation Index, upper troposphere. ABSTRAK
Makalah ini membahas mengenai variasi Ice Water Content (IWC) dan uap air (H2O) di troposfer atas berdasarkan hasil pengukuran Aura Microwave Limb Sounder (MLS). Sebagai studi kasus, dipilih waktu kejadiaan saat La Niña yang teridentifikasi melalui temperatur muka laut (Sea Surface Temperature, SST), Southern Oscillation Index (SOI) dan Niño 3.4. Hasil studi menunjukkan adanya peningkatan H2O dan IWC yang cukup tinggi terutama di atas Pulau Jawa saat kejadian La Niña tahun 2010 dibandingkan dengan rata-rata 10 tahun, yaitu pada musim kemarau dan transisi. Kata kunci
1
: awan, ice water content, uap air, Southern Oscillation Index, troposfer atas.
PENDAHULUAN
Awan memiliki peran yang penting dalam mengatur iklim di bumi karena mempengaruhi neraca energi di bumi melalui hamburan, absorpsi, dan emisi. Keberadaannya di atmosfer tersebar secara stokastik dalam ruang dan waktu sehingga jenis awan pun dapat terbagi berdasarkan tinggi dasar awan. Salah satunya adalah awan tinggi yang mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km di daerah tropis. 114
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Ice Water Content (IWC) merupakan salah satu besaran yang penting untuk memahami awan. IWC yang tinggi menandakan adanya konveksi yang kuat (Jiang, dkk., 2010). IWC didefinisikan sebagai massa es awan dalam satuan volume udara atmosfer. Awan es di troposfer memiliki pengaruh yang kritis terhadap kesetimbangan energi dan radiasi atmosfer. Sebagai contoh, kesalahan 1 mg/m3 IWC setara dengan kesalahan sebanyak 10 ppmv uap air troposfer dimana jumlah tersebut sangat berpengaruh secara signifikan terhadap efek gas rumah kaca pada model iklim (Wu dkk., 2009). H2O juga memiliki peran yang penting dalam regulasi iklim di bumi dan sistem cuaca melalui perubahan wujudnya antara gas dan fase kondensasinya di troposfer. Hal-hal tersebut bersifat kompleks yang masih terus dipelajari. Indonesia merupakan benua maritim yang terletak di daerah beriklim tropis yang rentan terhadap perubahan iklim (Aldrian, 2014). Hal ini terjadi karena Indonesia terletak di antara benua Asia dan Australia serta di antara dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan Hindia. Posisi Indonesia mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu pusat kendali sistem iklim dunia (Robertson dkk., 2011). Interaksi antara atmosfer dan laut dapat mempengaruhi curah hujan di Indonesia, salah satunya adalah fenomena el niño–southern oscillation (ENSO). Kolam hangat di bagian barat Pasifik diduga menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia pada saat La Niña (Gutman, dkk., 2000). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa La Niña terjadi pada bulan April sampai November (musim kemarau dan transisi) dengan puncak pengaruh di Indonesia terjadi pada bulan Agustus dan September (As-syakur, 2010). Gambar 1 menunjukkan ilustrasi secara skematik proses fisika yang mempengaruhi variabilitas interannual awan dan uap air di troposfer atas. Pemicu utama yang menyebabkan terjadinya dipole mode IWC dan H2O di atas Samudra Hindia adalah SST Samudra Hindia. Selain faktor SST lokal, kondisi troposfer atas di Samudra Hindia juga dipengaruhi oleh SST di Samudra Pasifik, yaitu ENSO ( Zhong, dkk., 2005).
115
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Gambar 1. Diagram skematik memperlihatkan efek skala luas terkait dengan perubahan IWC dan dan H2O di atas Samudra Hindia. WIO: Western Indian Ocean. EIO: Eastern Indian Ocean. (Sumber: Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su. 2011: Variation of upper tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos. Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011.)
Gambar 1 menunjukkan bahwa ENSO dapat mempengaruhi kondisi di troposfer atas sebagai konsekuensi dari aktivitas konvektif yang kuat. Terdapat beberapa indeks ENSO untuk mengidentifikasi karakteristik ENSO. Salah satu indeks ENSO yang digunakan untuk mengkaji hubungan antara curah hujan di Indonesia dan ENSO adalah the Southern Oscillation Index-SOI (Nicholls, 1981; Aldrian, dkk., 2007) serta anomali SST Niño 3.4 (Estiningtyas, dkk., 2007; Anisa dan Sutikno, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di troposfer atas dilihat dari variabel IWC dan H2O di atas Samudra Pasifik dan di wilayah Indonesia.
2
METODE PENELITIAN
Wilayah yang diamati dalam penelitian adalah Pulau Jawa dan sebagian Samudera Pasifik (15°LU-15°LS dan 60°BT-260°BT). Periode pengamatan yaitu Januari 2005 hingga Desember 2014. Variabel yang diamati dalah IWC, H2O, dan SST. Variasi IWC diamati dengan metode 116
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
kualitatif yaitu analisis terhadap perbandingan kondisi variabel yang diamati pada lokasi dan waktu yang sama. Data IWC dan H2O diperoleh dari hasil pengukuran Satelit AURA sensor MLS level 2 versi 4.2. Data IWC yang dapat digunakan berada pada ketinggian 215-83 hPa, sedangkan H2O dapat digunakan dalam rentang 316-0,002 hPa. Adapun data yang digunakan pada makalah ini adalah data pada ketinggian 215-100 hPa. Resolusi horizontal adalah 300 km dan resolusi vertikal sebesar 3 km. Data IWC dan H2O berupa data swath yang selanjutnya dirata-ratakan (gridding) dalam grid 3°x1,485°. Nilai anomali IWC dan H2O dihitung dalam skala bulanan dan musiman terhadap rata-rata tahun 2005-2014. Data serta dokumen mengenai kualitas data diperoleh dari http://mls.jpl.nasa. gov/products/iwc_product.php. Nilai SST diperoleh dari http://neo.sci.gsfc.nasa.gov/view. php?datasetId=MYD28M. Data SST adalah nilai temperatur pada ketinggian beberapa millimeter dari permukaan laut. Adapun produk SST yang digunakan adalah produk level 3 dengan resolusi 1°×1°. Data Southern Oscillation Index (SOI) bulanan yang diperoleh dari http://www.bom.gov.au/climate/ current/soi2.shtml serta data SST nino 3.4 yang diperoleh dari http://www.cpc.ncep.noaa .gov/data/indices/ untuk mengidentifikasi kondisi La Niña.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi IWC musiman selama 10 tahun menunjukkan nilai IWC tertinggi di atas wilayah Indonesia terlihat pada saat musim hujan (DJF) dan IWC terendah pada musim kemarau (JJA). Gambar 2 menunjukkan kondisi anomali musiman Juni-Agustus (JJA) untuk SST, IWC dan H2O pada ketinggian 215 hPa. Kondisi SST pada Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan SST di bagian timur Samudra Pasifik saat JJA pada tahun 2007, 2010 dan 2013, tetapi tahun 2010 terlihat penurunan SST yang memanjang dari timur hingga tengah Samudra Pasifik kejadian La Niña. Gambar 3 menunjukkan seperti Gambar 2, tetapi untuk periode SON. Gambar 2 dan 3 secara umum menunjukkan bahwa selama periode pengamatan (JJA dan SON 20052014) saat suhu muka laut meningkat, terdapat peningkatan IWC dan H2O. Peningkatan IWC paling terlihat pada JJA 2010 dan SON 2010 di Indonesia, terutama di atas Pulau Jawa. Begitu pula dengan H 2O yang meningkat cukup tinggi pada JJA dan SON 2010. Peningkatan tersebut ditunjukkan oleh anomali positif terbesar terjadi pada 2010 terhadap kondisi klimatologisnya. 117
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
IWC
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
SST
118
H2O
2014
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Gambar 2. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk JJA tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.
IWC
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
SST
119
H2O
2014
2013
2012
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Gambar 3. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk SON tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.
Pola IWC dan H2O saat JJA dan pola H2O saat SON 2010 terlihat mengikuti pola SST. Konsentrasi IWC dan H2O menurun di sebagian besar Samudra Pasifik dan terjadi peningkatan konsentrasi H 2O di Indonesia terutama di bagian selatan Indonesia. IWC saat SON 2010 memiliki pola yang berbeda di atas Pasifik, dimana meskipun terjadi penurunan suhu muka laut dan penurunan konsentrasi H 2O di sebagian besar Pasifik, tetapi terlihat ada sedikit peningkatan IWC di Pasifik timur. Selain itu kedua gambar juga memperlihatkan bahwa Pulau Jawa adalah wilayah yang sensitif terhadap La Niña. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan SST yang cukup tinggi di Samudra Hindia saat La Niña. Konsentrasi IWC dan H2O cukup tinggi di atas Pulau Jawa pada JJA dan SON saat La Niña berlangsung. Terdapat kesesuaian dari studi-studi sebelumnya (Gutman, dkk., 2000; Hendon, 2003; Aldrian, 2003) yang menyebutkan bahwa La Niña menyebabkan peningkatan curah hujan di Indonesia. Hal ini menunjukkan aktivitas konvektif yang tinggi meningkatkan konsentrasi IWC di troposfer atas.
120
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Gambar 4. Deret waktu anomali IWC di atas Pulau Jawa di 215 hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 20052014.
Deret waktu kondisi IWC di atas Pulau Jawa dengan Niño 3.4 dan SOI ditunjukkan oleh Gambar 4. Panel atas memperlihatkan variasi temporal anomali IWC dengan Niño 3.4 dan panel bawah menunjukkan deret waktu anomali IWC dengan SOI dari Januari 2005-Desember 2014. Fase positif dari SOI menunjukkan periode La Niña, sebaliknya fase negatif dari SST Niño 3.4 yang menunjukkan La Niña. Dari kedua indeks tampak bahwa La Niña tahun 2010 lebih kuat dibandingkan dengan La Niña tahun 2007. Terjadi peningkatan IWC dan H2O (anomali positif) saat terjadi peningkatan SOI (penurunan Niño 3.4). Dari Gambar 4 terlihat bahwa nilai IWC tertinggi selama periode pengamatan (anomali positif terbesar) di atas Pulau Jawa adalah pada bulan Juli dan November 2010.
121
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
Gambar 5. Deret waktu anomali H2O di atas Pulau Jawa di 215 hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 20052014.
Gambar 5 menunjukkan deret waktu kondisi H 2O selama 10 tahun. Kondisi H2O tertinggi (anomali positif terbesar) terjadi pada bulan Mei dan September 2010. Terdapat jeda 2 bulan antara puncak H2O dengan IWC. SOI tinggi pada bulan Juli dan September, sedangkan Niño 3.4 terendah terjadi pada bulan September di mana mulai terjadi penurunan SST sejak bulan Mei. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah H2O di troposfer atas sensitif terhadap perubahan SST.
4
KESIMPULAN
Studi ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun pengamatan kondisi IWC dan H2O tertinggi terjadi pada musim hujan (DJF) dan rendah pada musim kemarau. Terdapat peningkatan IWC dan H 2O yang cukup tinggi di atas Pulau Jawa pada bulan Mei dan September 2010. Hal ini terjadi bersamaan dengan kejadian La Niña dengan moderate-strong. Anomali positif terbesar IWC di atas Pulau Jawa 122
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
adalah pada bulan Mei 2010 (8,421 mg/m3) dan September 2010 (9,726 mg/m3), sementara untuk H2O terjadi pada bulan Mei 2010 (36,92 ppmv) dan September 2010 (29,2 ppmv).
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang telah menyediakan data IWC dan H2O, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) atas data Niño 3.4, dan Bureau of Meteorology (BOM), Australia's national weather, climate and water agency untuk data indeks SOI. Penulis berterima kasih kepada PSTA LAPAN yang telah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR RUJUKAN Aldrian, E. dan R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. of Climat., 23 (12), 1435-1452. Aldrian, E., L.D. Gates, dan Widodo, F.H., 2007: Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theor. Appl. Climatol., 87, 41–59. Aldrian, E., 2014: Pemahaman Dinamika Iklim Di Negara Kepulauan Indonesia Sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa. (http://dataweb.bmkg.go.id/PDF/Artikel/Orasi_Prof_Edvin_Aldrian_ 2014.pdf, diakses September 2016) Anisa, K.N. dan Sutikno, 2015: Analisis hubungan curah hujan dan indicator El- Niño Southern Oscillation di sentra produksi padi Jawa Timur dengan pendekatan Copula. J. Sains dan Seni ITS, 4(1), 23373520. As-syakur, A.R., 2010: Pola spasial pengaruh kejadian la nina terhadap curah hujan di Indonesia tahun 1998/1999; observasi menggunakan data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII dan Kongres V Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), 9 Agustus 2010, Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor-Indonesia. pp. 230-234. Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su., 2011: Variation of upper tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos. Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011. Estiningtyas, W., F. Ramadhani, dan E. Aldrian, 2007: Analisis korelasi curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah Indonesia, serta 123
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus Kabupaten Cilacap). J. Agromet Indonesia., 21(2), 46-60. Gutman, G., I. Csiszar, P. Romanov, 2000: Using NOAA/AVHRR products to monitor El Niño impacts: Focus on Indonesia in 1997– 98. Bull. Am. Meteorol. Soc. 81, 1189–1205. Hendon, H. H., 2003: Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air–sea interaction. J. Climate, 16, 1775–1790. Jiang, J.H., H. Su., S. Pawson, H-C. Liu, W. Read, J.W. Waters, M. Santee, D.L. Wu, M. Schartz, A. Lambert, R. Fuller, J.N. Lee, dan N. Livesey, 2010: Five-year climatology of upper tropospheric water vapour and cloud ice from Aura MLS and GEOS5. J. Geophys. Res. 115, DOI:10.1029/2009JD013256 Nicholls, N., 1981: Air–sea interaction and the possibility of long-range weather prediction in the Indonesian archipelago. Month. Weather Rev.,109, 2435–2443. Robertson, A., V. Moron, J. Qian, C.P. Chang, F. Tangang, E. Aldrian, T.Y. Koh, dan L. Juneng, 2011: The Maritime Continent Monsoon, in The Global Monsoon System: Research and Forecast, 2nd Ed. Eds. CP Chang, Y Ding, NC Lau, RH Johnson, B Wang and T Yasunari, World Scientific Series on Asia-Pacific Weather and Climate, Vol. 5, World Scientific Publication Company, 608 pp. Wu, D.L., R.T. Austin, M. Deng, S.L. Durden, A.J. Heymsfield, J.H. Jiang, A. Lambert, J-L. Li, N.J. Livesey, G.M. McFarquhar, J.V. Pittman, G.L. Stephens, S. Tanelli, D.G. Vane, dan D.E. Waliser, 2009: Comparisons of global cloud ice from MLS, CloudSat, and correlative data sets.J. of Geophysical Research, 114, D00A24. Zhong, A., H.H. Hendon, dan O. Alves, 2005: Indian Ocean variability and its association with ENSO in a Global coupled model. J. Climate. 18, 3634-3649.
124
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG) Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN e-mail: wiwieksetyawati21@gmail. com ABSTRACT Aim of the paper is to study characteristic of pollutants in urban ambient, Bandung city. Air pollution data for variables of THC (CH4 + NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 were result of monitoring using Air Quality Monitoring System (AQMS) in LAPAN office, Bandung from 2010-2011. Based on one-sample KolmogorovSmirnov test it was found that distribution of air quality variables was not normal and homogen, therefore non-parametric statistical Kendall’s tau method was applied to understand correlations and influences between each air pollution variables to THC concentration. Significant correlation was found between different carbon compounds (p < 0,01). Weak and positive correlations (0,00 – 0,399) were shown between THC vs CO, NO and SO 2 indicating different emission sources between those compounds with THC. Four variables CO, NO, NO2, NOx dan SO2had significant influences to THC’s sink direct or indirectly (p<0,01). Based on Mann-Kendalls ‘s time series and Sen’s slope method applied during period June 1st, 2010-May 31st, 2011 decreasing trends of daily average of THC, NMHC and COconcentrationswere observed. On the contrary, increasing trend was observed for daily average of CH4concentrations. Keywords
: THC, CH4, NMHC, CO, Bandung city ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik polutanpolutan di udara ambien di wilayah Kota Bandung. Data kualitas udara untuk variabel THC (CH4+ NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 merupakan hasil monitoring menggunakan Air Quality Monitoring System (AQMS) di kantor LAPAN Bandung tahun 2010 2011. Berdasarkan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov ditemukan bahwa distribusi dari variabel-variabel kualitas udara adalah tidak normal dan tidak homogen, oleh sebab itu maka digunakan metode non- parametrik Kendall’s tau untuk melihat korelasi dan pengaruh masing-masing variabel kualitas udara tersebut terhadap konsentrasi THC. Korelasi yang signifikan ditemukan antar senyawa karbon (p<0,01). Korelasi linear yang lemah (0,00 – 0,399) dan positif (p<0,01) juga ditemukan antara THC dengan CO, NO dan SO2 yang mengindikasikan perbedaan sumber emisi 125
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
antara ketiganya dengan THC. Kelima variabel yaitu CO, NO, NO2, NOx dan SO2 diketahui memiliki pengaruh yang signifikan (p < 0,01) baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rosot dari THC. Berdasarkan metode Mann-kendall’s time series dan Sen’s slope selama periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 diketahui bahwa terjadi penurunan tren rata-rata harian konsentrasi THC, NMHC dan CO berturut-turut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari, namun sebaliknya rata-rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari. Kata-kunci: THC, CH4, NMHC, CO, Kota Bandung
1
PENDAHULUAN
Hidrokarbon merupakan molekul organik yang terdiri atas atomatom hidrogen yang terikat pada rantai ikatan karbon dan seringkali juga dengan oksigen, nitrogen dan halogen (Ahmed dkk., 2015). Total hidrokarbon (THC) di udara terdiri atas metan (CH4) dan Non-metan hidrokarbon (NMHC). Keduanya dapat berperan sebagai gas rumah kaca baik secara langsung maupun tidak langsung (Backstrand, dkk., 2008; Chen, dkk., 2014). Metan merupakan gas rumah kaca terpenting kedua yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Sejak tahun 1700-an konsentrasi global CH4 terus meningkat 2 hingga 3 kali lipat (Wuebles dan Katharine., 2002). Emisi metan dihasilkan dari aktifitas bakteri methanogenic selama proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dan merupakan komponen utama fluks THC dari tanah organik dan gambut (Ahmed dkk., 2015). Namun demikian aktifitas manusia seperti kegiatan pertanian dan peternakan, penggunaan bahan bakar fosil dan penanganan limbah juga mengemisikan CH4 dalam jumlah besar (Wuebles dan Katharine, 2002). NMHC adalah senyawa hidrokarbon rantai pendek yang terdiri atas 2 – 12 atom karbon yang merupakan kelompok senyawa polutan udara di atmosfer yang penting karena sebagian besar memiliki sifat beracun dan karsinogen (Borbon dkk., 2006 dalam Ahmed dkk., 2015). Oksidasi fotokimia dari NMHC dapat menyebabkan pembentukan ozon dan pada akhirnya mempengaruhi waktu tinggal dari spesies gas telusur lainnya di troposfer (Platt dkk., 2013; Poisson dkk., 2000). Oksidasi metan di troposfer oleh radikal hidroksil (OH) dengan adanya oksida nitrogen (NOx) dalam konsentrasi yang cukup akan menghasilkan formaldehida (CH2O), karbon monoksida (CO) dan ozon (O3) (Wuebles dan Katharine. , 2002). CO merupakan salah satu produk 126
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
senyawa karbon dan polutan utama yang dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna (Ahmed dkk., 2015). Keberadaan CO di udara ambien dalam konsentrasi tertentu dapat mengganggu kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan hemoglobin memiliki daya ikat yang lebih tinggi terhadap CO daripada dengan oksigen (O2). Selain itu CO juga berperan penting dalam proses fotokimia smog di atmosfer yaitu sebagai prekursor pembentukan ozon (Badr dan Probert. , 1994). Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 Kota Bandung memiliki kepadatan penduduk tertinggi se-Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 14. 491 orang/km2 (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015). Pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa dari tahun 1980 – 2010 yaitu sebesar ±40% (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015) mengakibatkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Kota Bandung yang sangat pesat yaitu 4,63% selama tahun 20102011 (BPS, 2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Kota Bandung juga merupakan kota wisata yang banyak menarik wisatawan baik mancanegara maupun domestik dengan peningkatan jumlah kunjungan yang luar biasa tahun 2010-2011 sebesar 113,41% (BPS, 2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Secara topografi Bandung berada pada wilayah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan sehingga memberikan kondisi iklim yang lembab dan sejuk. Kombinasi antara jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor dan kondisi iklimnya yang unik membuat Kota Bandung menjadi sangat rentan mengalami penurunan kualitas udara. Pengukuran konsentrasi hidrokarbon dan CO telah dilakukan di kota-kota besar di Amerika, Timur Tengah dan Asia dengan tujuan untuk melakukan pemantauan kualitas udara di wilayah tersebut (Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001; Abdul-Wahab dan AlAlawi, 2002; Barletta dkk., 2002; Chan dkk., 2006; Sahu dan Lal, 2006; Guo dkk., 2007; Baker dkk., 2008; Von Schneidemesser dkk., 2010; Kim dkk., 2013; Ahmed dkk., 2015). Beberapa hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 1990-an konsentrasi CH4 di Kota Meksiko (Meksiko) dan Santiago (Chili) telah berada diatas 2 ppmv (Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001). Konsentrasi CH4 di Karachi (Pakistan) malah telah berada diatas 6 ppmv (Barletta dkk., 2002). Lain halnya dengan rata-rata konsentrasi CO di Kota Khaldiya, Kuwait telah mencapai nilai di atas 2,5 ppmv (Abdul-Wahab dan AlAlawi, 2002). Mengingat pentingnya peran dari hidrokarbon dan CO terhadap kualitas udara dan pemanasan global maka LAPAN sejak 127
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
bulan Februari 2010 – Desember 2011 melakukan pengukuran konsentrasi THC, CH4 dan NMHC di udara ambien secara kontinyu. Namun pada tahun 2012 pengukuran terpaksa dihentikan karena kerusakan pada instrumen dan kesulitan mencari spare part dan tenaga ahli yang dapat memperbaikinya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku dari polutan-polutan di wilayah Bandung dan pengaruhnya terhadap konsentrasi THC di udara ambien dengan menggunakan metode statistik non-parametrik.
2
METODE PENELITIAN
Lokasi pengukuran berada di Kota Bandung (6,50 LS; 107,250 BT) yang terletak pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut (Gambar 1). Instrumen pengukuran diletakkan di atas gedung LAPAN Bandung pada ketinggian ± 15 m dari atas permukaan tanah dan berjarak ± 100 m arah Barat Daya jalan raya Pasteur yang padat dengan kendaraan.
Gambar 1. Lokasi pengukuran di kota Bandung
Data yang digunakan dalam analisis adalah data konsentrasi ambien THC, CO, NO, NO2 dan SO2 per-30 menit dalam satuan ppm (by volume) periode tahun 2010 – 2011. THC diukur menggunakan instrumen hydrocarbon analyser (Model APHA 370, Japan) berdasarkan metode cross flow modulated selective combustion type yang dikombinasi dengan metode hydrogen ion detection. Konsentrasi THC merupakan total dari konsentrasi CH4 dan NMHC. Konsentrasi CO diukur menggunakan metode non-dispersive cross modulation infra-red analysis (Model APMA 370, Japan). Konsentrasi NO dan NO2 diukur 128
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
menggunakan metode a cross-flow modulated semi decompression chemiluminescence (merek Horiba, model APNA 370, Jepang). Konsentrasi SO2 diukur menggunakan metode UV fluorescence (merek Horiba, model APSA 370, Jepang). Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS Statistics v.21. Uji one-sample Kolmogorov-Smirnov terhadap residual digunakan untuk menguji distribusi normal dan homogenitas dari data rata-rata harian konsentrasi THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 periode tahun 2010-2011. Data dikatakan terdistribusi normal dan homogen jika nilai signifikansi dari Kolmogorov-Smirnov Z adalah lebih besar dari 0,05 dan sebaliknya. Metode non-parametrik Kendall’s tau digunakan untuk mempelajari korelasi bivariate antara rata-rata harian konsentrasi THC terhadap CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2. Jika nilai koefisien korelasi mendekati 1 atau -1 maka hubungan semakin erat atau kuat, namun jika mendekati 0 maka hubungan semakin lemah seperti disajikan pada Tabel 1. Freeware Make Sens versi 1.0 (Finish Meteorological Institute, 2002) yang dikembangkan oleh Institut Meteorologi Finlandia digunakan untuk analisa non parametrik Mann-Kendall time series dan Sen’s slope untuk rata-rata mingguan konsentrasi THC dan CO. Tabel 1.
Rentang nilai koefisien korelasi dan interpretasinya
Rentang nilai koefisien korelasi 0,00 – 0,199 0,20 – 0,399 0,40 – 0,599 0,60 – 0,799 0,80 – 1,000
Interpretasi Sangat rendah Rendah Sedang Kuat Sangat kuat
Sumber: Sugiyono, 2007 dalam Priyatno, 2012.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi rata-rata tahunan THC, CO, NO, NO2 dan SO2 pada tahun 2010 dan 2011 disajikan pada Tabel 2. Data yang digunakan untuk perhitungan rata-rata tahunan merupakan data rata-rata konsentrasi harian dari masing-masing variabel. Rata-rata tahunan konsentrasi THC dan CO mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2011 masing-masing sebesar 4,03% dan 69,57%. Hal ini berkaitan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung yaitu sebesar 106. 271 unit/tahun (BPS, 2007; BPS, 2015). Sedangkan rata-rata tahunan konsentrasi NO, NO2 dan SO2 mengalami 129
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
penurunan masing-masing sebesar 90,9%, 20,0% dan 85,0%. NO merupakan produk dari pembakaran pada temperatur tinggi, sedangkan NO2 merupakan produk oksidasi lanjutan dari NO dan O 2 dengan reaksi sebagai berikut: 1
1
O2 ⇄ NO
(1)
𝑁𝑂 + 𝑂2 ⇄ 𝑁𝑂2
(2)
2
N2 +
2
1 2
SO2 merupakan produk dari pembakaran bahan bakar fosil yang banyak mengandung sulfur seperti solar. Komposisi solar 48 produksi Pertamina diketahui mengandung sulfur maksimum 0,35% m/m (ESDM, 2006a), sedangkan bensin 88 mengandung sulfur maksimum 0,05% m/m (ESDM, 2006b). Penurunan yang signifikan dari konsentrasi rata-rata tahunan ketiganya kemungkinan disebabkan oleh penurunan konsumsi bahan bakar jenis bensin dan solar di Kota Bandung yaitu masing-masing sebesar 15% dan 44% (BPS, 2007; BPS, 2015). Tabel 2.
Statistik deskriptif rata-rata tahunan Kota Bandung
Parameter THC (ppmv) CH4 (ppmv) NMHC (ppmv) CO (ppmv) NO (ppmv) NO2 (ppmv) NOx (pmv) SO2 (ppmv)
Tahun 2010 2,48a±0,15b 2,11c – 2,88d 240e 1,08a±0,35b 0,21c-2,22d 240e 1,42a ±0,21b 0,69c-2,02d 240e 0,23a±0,29b 0,06c – 4,85d 287e 0,11a±0,13b 0,004c – 0,40d 68e 0,05a±0,05b 0,04c – 0,40d 43e 0,06a±0,01b 0,04c-0,08d 42e 0,02a±0,06b 0,00c – 0,20d 276e
2011 2,58a±0,32b 2,05c – 5,31d 312e 0,83a±0,48b 0,10c-3,39d 312e 1,81a±0,44b 0,84c-3,50d 313e 0,39a±0,39b 0,007c – 5,78d 283e 0,01a ±0,01b 0,001c – 0,18d 216e 0,04a ±0,03b 0,001c – 0,06d 203e 0,044a±0,027b 0,005c-0,124d 211e 0,003a±0,001b 0,002c – 0,01d 321e
Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel 130
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
Perbandingan antara hasil pengukuran rata-rata tahunan konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di udara ambien di Kota Seoul (Korea Selatan) tahun 2010-2011 dengan Kota Bandung (Indonesia) disajikan pada Tabel 3. Rata-rata tahunan konsentrasi CH4 di Kota Bandung tahun 2010-2011 adalah 0,94 ± 0,44 ppmv atau lebih rendah dibandingkan Kota Seoul. Hal ini mengindikasikan bahwa Global Warming Potential (GWP) untuk parameter CH4 di Kota Bandung adalah lebih rendah dibanding Kota Seoul. Selain itu rata-rata tahunan konsentrasi CO di Kota Bandung sebesar 0,31 ± 0,35 ppmv adalah juga lebih rendah dibandingkan Kota Seoul, namun demikian untuk ratarata tahunan konsentrasi NMHC dan THC di Kota Bandung yaitu berturut-turut sebesar 1,64 ± 0,41 ppmv dan 2,53 ± 0,26 ppmv adalah lebih tinggi jika dibandingkan Kota Seoul. Hal ini perlu diwaspadai karena dampak buruk senyawa THC dan NMHC terhadap kesehatan manusia. Tabel 3.
Perbandingan konsentrasi hidrokarbon dan CO tahun 2010-2011 di Kota Bandung dan kota lainnya di Korea Selatan
Lokasi studi
THC (ppmv)
CH4(ppmv)
NMHC (ppmv)
Guro, Seoul, Korea Selatan10
2,44a ± 0,29b 1,98c – 3,79d 722e
2,14a ± 0,17b 1,82c – 2,99d 722e
0,30a ± 0,17b 0,03c – 1,32d 722e
Nowon, Seoul, Korea Selatan10
2,50a ± 0,25b 1,89c – 3,45d 699d
2,18a ± 0,22b 1,50c – 2,91d 699e
0,32a ± 0,07b 0,18c – 0,71d 699e
Kota Bandung, Indonesia
2,53a±0,26b 2,05c – 5,31d 552e
0,94a±0,44b 0,10c-3,39d 552e
1,64a±0,41b 0,69c- 3,5d 553e
CO (ppmv) 0,61a ± 0,23b 0,24c – 2,09d 723e 0,47a ± 0,25b 0,11c – 2,33d 723e 0,31a± 0,35b 0,01c – 5,78d 570e
Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel (Sumber: Kim dkk. (2013))
Tabel 4 menyajikan hasil uji normalitas terhadap data pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011 untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas untuk nilai kepercayaan 131
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
95% memberikan hasil nilai signifikansi (p) = 0,000 untuk semua polutan, kecuali untuk CH4. Hasil pengujian normalitas memberikan nilai p ≤ 0,05, kecuali untuk CH4, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung tahun 2010-2011 adalah tidak normal, kecuali untuk CH4 yang memiliki sebaran normal. Tabel 4.
Hasil uji normalitas menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov
Parameter THC (ppmv) CH4 (ppmv) NMHC (ppmv) CO (ppmv) NO (ppmv) NO2 (ppmv) NOx (ppmv) SO2 (ppmv)
Kolmogorov-Smirnov Z 2,495 0,877 2,985 5,339 7,129 3,767 3,568 12,213
p 0,000 0,425 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Tabel 5 menyajikan hasil uji homogenitas terhadap data pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011 untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji homogenitas untuk nilai kepercayaan 95% semuanya memberikan hasil nilai signifikansi (p)=0,000. Dikarenakan semua hasil pengujian homogenitas memberikan nilai p ≤ 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung tahun 2010-2011 adalah tidak homogen. Tabel 5.
Hasil uji homogenitas menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov
Parameter THC (ppmv) CH4 (ppmv) NMHC (ppmv) CO (ppmv) NO (ppmv) NO2 (ppmv) NOx (ppmv) SO2 (ppmv)
Kolmogorov-Smirnov Z 15,653 11,614 8,834 20,602 13,805 13,221 5,917 22,311
p 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas diketahui bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung tahun 2010-2011 adalah tidak normal dan tidak homogen oleh sebab itu maka digunakan analisis non-parametrik untuk korelasi bivariate 132
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
antar variabel yaitu korelasi Kendall’s tau. Analisis non-parametrik atau disebut juga metode distribution-free tidak membutuhkan pengetahuan mengenai distribusi dari populasi kecuali data harus kontinyu (Walpole dkk., 2012). Tabel 6.
THC CH4 NMHC CO NO NO2 NOx SO2
THC 1,000
Nilai koefisien korelasi bivariate Kendall’s tau (satuan konsentrasi dalam ppmv) CH4 0,462** 1,000
NMHC -0,219** -0,745** 1,000
CO 0,253** 0,060* 0,051 1,000
NO 0,118** 0,409** -0,332** -0,077 1,000
NO2 0,457** -0,164** 0,328** 0,043 -0,060 1,000
NOx 0,515** 0,008 0,171** 0,024 0,212** 0,705** 1,000
SO2 0,211** 0,079** 0,040 0,255** 0,239** -0,058 -0,041 1,000
**Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-arah) *Korelasi siginfikan pada level 0,05 (2-arah)
Korelasi Kendall’s tau digunakan untuk melakukan analisa korelasi bivariate untuk mengetahui hubungan antar variabel. Berdasarkan hasil korelasi pada Tabel 6 diketahui bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara THC dengan CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan karakteristik sumber emisi senyawa-senyawa tersebut dan adanya pengaruh yang signifikan terhadap rosot dari THC baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik THC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 kesemuanya memiliki peran dalam pembentukan polutan sekunder yaitu ozon di atmosfer. Analisa non parametrik Mann-Kendall’s time series dan Sen’s slope digunakan untuk mengetahui tren linear dari rata-rata harian konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di Kota Bandung dari tanggal 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 menggunakan MakeSens versi 1,0. Gambar 2 menunjukkan grafik dari tren linear untuk senyawa karbon. Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata harian konsentrasi THC, NMHC dan CO mengalami tren penurunan berturutturut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari selama periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011. Sebaliknya rata-rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari. Hal ini perlu diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global Warming Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada CO2. 133
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
Gambar 2.
4
Tren rata-rata harian senyawa karbon di Kota Bandung beserta nilai Sen’s slopenya (Q)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil korelasi Kendall’s tau diketahui bahwa terdapat korelasi yang signifikan antar senyawa karbon THC dengan CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan karakteristik sumber emisi senyawasenyawa tersebut dan adanya pengaruh yang signifikan terhadap rosot dari THC baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hasil analisa time series menggunakan metode statistik non-parametrik Mann-Kendall’s time series dan Sen’s slope diketahui bahwa selama periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 rata-rata harian konsentrasi THC, NMHC dan CO mengalami tren penurunan dan sebaliknya untuk ratarata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan. Hal ini perlu diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global Warming Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada CO2.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih saya tujukan kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN yang telah memberikan ijin penggunaan data AQMS guna penulisan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Abdul-Wahab, S. A. , S. M. Al-Alawi, 2002: Assessment and prediction of tropospheric ozone concentration levels using artificial neural 134
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
networks. Environ. Model Softw. 17, 219–22 pp. Ahmed, E., K. Ki-Hyun, J. Eui-Chan, J. C. B. Richard, 2015: Long term trends of methane, non methane hydrocarbon and carbon monoxide in urban atmosphere. Science of the Total Environment. 516 – 519: 595 – 604 Bäckstrand, K., P. M. Crill, M. Mastepanov, T. R. Christensen, D. Bastviken, 2008: Total hydrocarbon flux dynamics at a subarctic mire in northern Sweden. J. Geophys. Res. Biogeosci. 2005–2012, 113. Badr, O dan Probert, S. D. , 1994: Carbon-Monoxide Concentration in the Earth’s Atmosphere. Applied Energy. 49: 99 – 143 pp Baker, A. K., A. J. Beyersdorf, L. A. Doezema, A. Katzenstein, S. Meinardi, I. J. Simpson, D.R. Blake, F.S. Rowland, 2008: Measurements of nonmethane hydrocarbons in 28 United States cities. Atmos. Environ. 42, 170–182 pp. Barletta, B., S. Meinardi, I. J. Simpson, H. A. Khwaja, D. R. Blake, F. S. Rowland, 2002: Mixingratios of volatile organic compounds (VOCs) in the atmosphere of Karachi, Pakistan. Atmos. Environ. 36, 3429–3443 pp. Blake, D. R. and F. S. Rowland, 1995: Urban Leackage of liquified Petroleum Gas and Its Impact on Mexico City air Quality. Science, 269, 953-956 pp BPS, 2007: Bandung dalam Angka 2007. BPS BPS, 2015: Kota Bandung dalam Angka 2015. BPS Chan, L. Y. , K. W. Chu, S. C. Zou, C. Y. Chan, X. M. Wang, B. Barletta, D. R. Blake, H. Guo, W.Y. Tsai, 2006: Characteristics of nonmethane hydrocarbons (NMHCs) in industrial, industrial‐urban, and industrial‐suburban atmospheres of the Pearl River Delta (PRD) region of south China. J. Geophys. Res. Atmos. 1984–2012, 111. Chen, T. Y. , I. J Simpson, D. R. Blake, F. S. Rowland, 2001: Impact of the leakage of liquefied petroleum gas (LPG) on Santiago air quality. Geophys. Res. Lett. 28, 2193–2196 pp. Chen, S. -P. , W. -C. Liao, C. -C. Chang, Y. -C. Su, Y. -H. Tong, J. S. Chang, J. -L. Wang, 2014: Network monitoring of speciated vs. total non-methane hydrocarbon measurements. Atmos. Environ. 90, 33– 42. ESDM, 2006a: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Solar 48. Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No. 3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006. ESDM, 2006b: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Bensin 88. 135
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No. 3674 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006. Finish Meteorological Institute, 2002: MakeSens versi 1,0. www. ilmanlaatu. fi, diunduh pada bulan Juni 2016 Guo, H. , So, K. , I. Simpson, B. Barletta, S. Meinardi, D. Blake, 2007: C1–C8 volatile organic compounds in the atmosphere of Hong Kong: overview of atmospheric processing and source apportionment. Atmos. Environ. 41, 1456–1472 pp. Kim, K. -H. , H. -O. Yoon, R. J. Brown, E. -C. Jeon, J. -R. Sohn, K. Jung, C. -G. Park, I. -S. Kim, 2013: Simultaneous monitoring of total gaseous mercury at four urban monitoring stations in Seoul, Korea. Atmos. Res. 132, 199–208 pp. Platt, S., I. E. Haddad, A. Zardini, M. Clairotte, C. Astorga, R. Wolf, J. Slowik, B. Temime-Roussel, N. Marchand, I. Ježek, 2013: Secondary organic aerosol formation from gasoline vehicle emissions in a new mobile environmental reaction chamber. Atmos. Chem. Phys. 13, 9141–9158. Poisson, N., M. Kanakidou, P.J. Crutzen, 2000: Impact of non-methane hydrocarbons on tropospheric chemistry and the oxidizing power of the global troposphere: 3- dimensional modelling results. J. Atmos. Chem. 36, 157–230. Priyatno, D., 2012: Belajar Praktis Analisis Parametrik dan Non Parametrik dengan SPSS. Gava Media, Yogyakarta Sahu, L., S. Lal, 2006: Distributions of C2–C5 NMHCs and related trace gases at a tropical urban site in India. Atmos. Environ. 40, 880– 891pp. Setyawati, W., S. Hamdi, Mulyono, Suparno, 2015: Variabilitas Temporal Total Hidrokarbon dan Karbon Monoksida di Udara Ambien Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung), Prosiding Seminar Nasional Sains dan Atmosfer. Von Schneidemesser, E., P. S. Monks, C. Plass-Duelmer, 2010: Global comparison of VOCand CO observations in urban areas. Atmos. Environ. 44, 5053–5064 pp. Walpole, R. E., R. H. Myers, S. L. Myers, K. Ye, 2012: Probability and Statistics for Engineers and Scientists. Pearson Education Inc. , 655 pp. Wuebles, D. J dan H. Katharine, 2002: Atmospheric Methane and Global Change. Earth-Science Reviews. 57 : 177 – 210 pp.
136