PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SRAGEN) Oleh: Ayu Ratnasari Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui penerapan UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen. 2) Mengetahui kendala-kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen. Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis sosiologis, Pendekatan ini dilakukan dengan cara mencari data melalui kegiatan wawancara mengenai penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen. Berdasarkan data-data yang berhasil didapat tersebut akan dikaji pelaksanaanya dengan ketentuan hukum yang berlaku. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, di mana kekerasan terhadap perempuan dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan kekerasan psikologis / emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. 2) Kendalakendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor petugas penegak hokum. c. Faktor sarana dan fasilitas. 3) Cara mengatasi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban KDRT adalah menciptakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam sistem terpadu tersebut diharapkan ada keterkaitan antar instansi/ pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kata Kunci: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1
LATAR BELAKANG MASALAH Rumah tangga merupakan komunitas terkecil dari suatu masyarakat. Rumah tangga yang bahagia, aman, dan tentram menjadi dambaan setiap orang. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga untuk melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama dan teologi kemanusiaan. Hal ini penting ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan hal tersebut, bergantung pada setiap orang dalam satu lingkup rumah tangga, terutama dalam sikap, perilaku dan pengendalian diri setiap orang di lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu, jika sikap, perilaku dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara (state) wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku. Menurut Pasal 1 butir 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) : “KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,seksual,psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Menurut Muladi kekerasan terhadap perempuan (KDRT) merupakan rintangan terhadap pembangunan karena kekerasan dapat menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana. KDRT merupakan masalah yang cukup menarik untuk diteliti mengingat angka KDRT yang dilaporkan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Komnas HAM menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 tercatat 8.315 kasus kekerasan terhadap istri, atau 66 persen dari kasus yang ditangani oleh Komnas HAM. Hampir setengah, atau 46 persen, dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28 persen kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan 8 persen kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan. Menurut laporan Komnas HAM kasus kekerasan dalam rumah tangga kerap diperlakukan 2
sebagaimana kasus kriminal lainnya, dimana aparat penegak hukum hanya menggunakan perspektif normatif dan berdasarkan pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat bukti. KDRT yang terjadi antara suami dan istri dilandasi oleh hubungan dalam lembaga perkawinan yang diatur pula oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kedudukan pelaku dan korban yang demikian ini menyebabkan KDRT masih dipandang sebagai bagian dari hukum privat sehingga penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk damai atau diselesaikan secara internal keluarga. Terlepas dari penyebab dan upaya penanggulangan KDRT. Terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selain faktor ekonomi dan perselingkuhan. Tetap kembali di tangan komunitas keluarga (suami dan istri) yang sakral itu. Untuk mengerti, mengetahui, dan taat atau tidak taat (obey/ disobey) pada aturan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai lex specialis KUHP. Dan bukankah negara ini menganut asas “iedereen wordt geacht de wet te kennen” semua orang mesti dianggap tahu tentang hukum (Andari, 2005: 14). Undang-Undang P-KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, dengan diundangkannya UU P-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu public. Dengan demikian diharapkan dapat merunrunkan hambatan psikologis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib. Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus dari tindak kekerasan. Ketiga, UU P-KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nol kekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa tahun yang lalu. Ada dua hal pokok penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pertama, faktor ekonomi. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah penghasilan suami, sehingga seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang berakibat terjadinya kekerasan fisik. Alasan ekonomi memang pada umumnya menjadi penyebab. Adanya tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami, sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencela sang suami bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah 3
tangga. Bukan karena kurang uang, melainkan berlebih hanya dalam hal ini disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok, maka biasanya berujung pada kekersan fisik. Kedua, faktor perselingkuhan. Selain masalah ekonomi biasanya bukan karena kekurangan tetapi berlebih atau cukup, sehingga selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk membiayai hidup perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung memaki-maki atau memukul istrinya karena untuk menutupi perselingkuhannya. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan memiliki data bahwa sepanjang tahun 2006 angka KDRT di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan tahun 2005. Temuan ini tentu amat mengejutkan mengingat telah diratifikasikannya UU No.23 Tahun 2004 tentang undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka melaporkan hasil penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat jumlah sejak tahun 2010 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah tersebut meningkat 61% pada tahun 2011 (5.163 kasus). Pada tahun 2012, kasus meningkat kembali 66% menjadi 7.787 kasus, lalu tahun 2004 meningkat 56% (14.020) dan tahun 2013 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada tahun 2014 penambahan diperkirakan 70%. Semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia tidak terlepas dari banyak faktor. Faktor budaya, kehidupan sosial dan ekonomi dan kondisi bangsa dan negara saat ini memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak pada meningkatnya angka kekerasan tadi. Meski upaya-upaya sudah banyak dilakukan untuk menekan angka tersebut, namun rupanya belum terlalu signifikan mengurangi jumlah kasusnya. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang jika tidak teratasi secara sehat akan menjadi gangguan trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila diatasi secara sehat dan efektif, trauma psikologis selain dapat dipulihkan juga akan membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting bagi korban KDRT untuk mendapatkan pendampingan baik secara hukum, medis dan psikologis. Banyak pihak yang akan terlibat dalam penatalaksanaan korban kekerasan tersebut. Pada intinya semua kegiatan atau program akan terarah pada memperkuat resiliensi perempuan korban 4
kekerasan agar dapat menyelesaikan problemnya secara mandiri dan konstruktif. Bahwa pengalaman tidak menyenangkan itu akan terus ada, dan perempuan harus menyadari bahwa mereka tidak layak untuk mengalami (kekerasan) kembali. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen? 2. Kendala-kendala apa saja dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen? TUJUAN PENELITIAN 1.
Mengetahui penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen.
2.
Mengetahui kendala-kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen.
METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian ini adalah yuridis sosiologis, untuk mengkaji dan membahas permasalahan-permasalahan yang dikemukakan, yaitu mengkaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhankebutuhan konkret dalam masyarakat. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mencari data melalui kegiatan wawancara mengenai penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen. Berdasarkan data-data yang berhasil didapat tersebut akan dikaji pelaksanaanya dengan ketentuan hukum yang berlaku. Metode analisis data dalam penulisan hukum ini dilakukan secara kualitatif yaitu data yang telah diperoleh dari penelitian di lapangan secara tertulis dan lisan dipelajari secara utuh dan menyeluruh kemudian dianalisis dan disajikan secara deskrptif dalam satu kesatuan yang utuh mengenai objek yang diteliti, sehingga dapat menghasilkan suatu alur pemikiran yang sistematis yang akan menjelaskan mengenai objek yang diteliti.
5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen Model penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dibagi menjadi 4 bentuk tindak pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik Berdasarkan keterangan Pasal 6 di atas, dapat diambil kesimpulan yakni ada dua unsur kekerasan fisik dalam pengaturan UU PKDRT yaitu : a. Adanya perbuatan dan adanya akibat perbuatan ditimbulkan. b. Adanya perbuatan, yaitu adanya perbuatan atau adanya aksi dalam melakukan kekerasan fisik atau penganiayaan berupa memukul, menendang, mencubit, mendorong, baik dengan tangan/kakinya maupun dengan alat atau senjata. c. Adanya akibat perbuatan, yakni adanya akibat dari perbuatan tersebut, yaitu rasa sakit dan luka pada tubuh. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa bentuk kekerasan fisik yang dialami istri dalam rumah tangga antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, mendorong secara kasar, penginjakan, pencekikan, pelemparan benda keras, penyiksaan dengan benda-benda tajam seperti: pisau, gunting, setrika, serta pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, dan luka berat bahkan sampai meninggal dunia. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis terhadap istri dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan dan ancaman) yang menekan emosi perempuan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya dirinya, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Menngenai kekerasan piskis terhadap istri diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu: “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud 6
dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis yang berat terhadap seseorang. Sedangkan menurut Venny kekerasan psikologis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Adapun bentuk-bentuk kekerasan psikologis yang dilakukan oleh suami kepada istri menurut Andari adalah sebagai berikut : diabaikan dalam pengambilan keputusan diancam akan dicerai, dipermalukan, dibentak, dibohongi, diintimidasi, dimarahai karena berbagai hal, dipaksa untuk cerai, poligami, pindah agama, diancam, dicaci maki, difitnah, dcemburui dan diingkari janji. 3. Kekerasan seksual Secara faktual, tindak kekerasan terhadap istri dalam perkawinan merupakan masalah yang serius dan kurang mendapat perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tindak kekerasan itu berada dalam ruang lingkup rumah tangga (keluarga). Disamping itu, berkaitan dengan kekerasan seksual, tindak kekerasan tersebut di anggap wajar sebab suami adalah kepala rumah tangga dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anggota keluarganya. Kenyataan itu juga didukung oleh budaya yang masih menganggap tabu menceritakan aib rumah tangga sendiri, dan mereka lebih memilih diam dengan alasan untuk menjaga keutuhan keluarga. Keengganan orang untuk membicarakan masalah “perkosaan suami terhadap istri”, karena suatu hal yang sangat pribadi dalam sebuah perkawinan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, persoalan kekerasan seksual terhadap istri, tampaknya tidak mengenal strata sosial dan pendidikan. Sebagaimana hal itu sering kali terjadi pada wilayah sejak dari status ekonomii rendah sampai dengan ekonomi sangat mapan. Pemahaman terhadap ‘sah’nya melakukan tindak kekerasan seksual terhadap istri secara garis besar setidaknya dilatari oleh dua hal: 1) asumsi masyarakat bahwa
7
suami pemimpin keluarga dalam rumah tangga dan 2) Pemahaman yang keliru terhadap teks keagamaan. Secara umum, istilah pemerkosaan didefinisikan sebagai proses intimidasi yang disadari, dimana laki-laki berusaha untuk menguasai perempuan (secara fisik dan seksual) dengan ketakutan. Atau lebih umum lagi dikatakan bahwa perkosaan adalah suatu hubungan seksual, yang salah satu pelaku (terutama perempuan) tidak menghendakinya. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 tahun 2004 diartikan sebagai setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / tujuan tertentu. Dalam Deklarasi PBB pada tanggal 20 Desember 1993 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 2 huruf a tentang bentukbentuk kekerasan terhadap perempuan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, diantaranya: mencakup perkosaan dalam perkawinan (Marital Rape). Artinya marital rape telah diakui secara Internasional sebagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan (pasangan/istri). Karenanya pemerintah Indonesia secara moral terikat untuk mengimplementasikan ketentuan dalam pasal ini. 4. Kekerasan ekonomi Yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi nafkah secara rutin atau dalam jumlah yang cukup, membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut. Ancaman pidana bagi yang melakukan penelantaran rumah tangga diatur dalam Pasal 49 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
8
B. Kendala-kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen Adapun kendala-kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri. Kelemahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu terletak pada delik aduan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimana meskipun sudah jelas-jelas perbuatan yang dilakukan pelaku adalah tindak pidana dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia namun tanpa adanya pengaduan dari korban maka pelaku tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang dilakukannya. Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hanya beberapa pasal dari tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang tergolong ringan) yang menjadi delik aduan, selebihnya merupakan delik biasa (berdasarkan Pasal 15 UU PKDRT). Tetapi pada prakteknya, karena sulitnya membuktikan dan menemukan saksi, maka kemudian menjadi delik aduan. Demi terwujudnya keadilan dan jaminan kepastian hukum perlu adanya kejelasan bahwa tindakan-tindakan kekerasan internal rumah tangga bukan hanya merupakan delik aduan tetapi delik pidana umum. 2. Faktor petugas penegak hukum Petugas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih banyak yang bersikap bias gender, bahkan acapkali menggunakan pendekatan victim blaming dan victim participating dalam merespon kasus kekerasan. Korban kekerasan memiliki keraguan, kekhawatiran, dan ketakutan untuk melaporkan kejadian yang dialami. Korban merasa takut pada proses hukum yang akan dijalani. Kesadaran dan kepekaan gender para penegak hukum masih kurang, sehingga kadang-kadang korban justru menjadi obyek. Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender alam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/ pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus
9
kekerasan terhadap perempuan. (SPPT-PKKTP) menuntut adanya penegak hukum yang memiliki visi berkeadilan gender dan tidak bias gender. Kasus KDRT terkadang sulit untuk diproses. Biasanya mengalami kesulitan dalam hal pembuktian (saksi biasanya tidak ada), perkara dicabut oleh korban sendiri (karena cinta/ karena perkara nafkah). Di kepolisian, ditemukan adanya kekurangsiapan dalam menangani kasus KDRT dengan Ruang Pelayanan Khususnya (RPK). Idealnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ditangani oleh polisi wanita. Namun demikian saat ini jumlah Polwan masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suhartono selaku Panitera Pengadilan Negeri Sragen menyatakan bahwa: Kendala kami dalam penanganan kasus KDRT yaitu belum tersedianya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) bagi korban KDRT, di samping itu masih terkendala dengan jumlah petugas, sehingga dari beberapa kasus KDRT yang dilaporkan saat ini masih banyak ditangani oleh petugas laki-laki, sehingga para korban KDRT kurang terbuka ketika memberikan informasi, hal tersebut dikarenakan korban KDRT kurang nyaman dengan petugas lakilaki. Pada sisi lain, petugas sendiri sering menghadapi kendala dalam menangani kasus KDRT adalah berkaitan dengan ketiadaan saksi, sehingga menyulitkan untuk proses pemberkasan dan lemahnya kasus tersebut jika sampai di pengadilan. Di lembaga Kejaksaan, yang melaksanakan tugasnya sebagai penuntut umum, berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2004. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hokum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana, dalam hal ini tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). 3. Faktor sarana dan fasilitas. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Dalam hal sarana dan fasilitas, di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sragen telah ada LSM yang bergerak di bidang kewanitaan. Akan tetapi belum bisa maksimal dalam melakukan pendampingan. Terlebih wilayahnya sangat luas. Selain itu, belum adanya pendampingan korban oleh LSM untuk dengan memberikan pendampingan terhadap korban secara litigasi maupun non litigasi. Pendampingan ini penting, karena untuk dapat mengembalikan kepercayaan diri korban, dan juga untuk mengembalikan trauma. 10
Adapun bentuk fasilitas pelayanan yang ada untuk penanganan korban KDRT adalah: a. Program layanan kesehatan gratis bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelayanan kesehatan gratis bagi korban KDRT tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan membantu pelayanan terhadap korban KDRT di Wilayah Sragen. Alasanya, tindak KDRT dianggap dapat memberi dampak turunnya mental psikologis korban. Karenanya, pihak Pengadilan Negeri Sragen bekerjasama dengan rumah sakit berupaya memberikan pelayanan yang khusus terhadap mereka yang menjadi korban. Harapannya agar mental korban KDRT yang menjadi korban tidak menurun,
sehingga
lingkungannya
mampu
beradaptasi
layaknya sebelum menjadi
dengan korban
masyarakat KDRT.
di
Pada
pelaksanaannya pihak rumah sakit memberikan dua pelayanan kesehatan, yakni medis dan psikologis. Pelayanan medis merupakan pelayanan awal yang diberikan bagi korban KDRT saat korban dirujuk. Dalam hal ini melalui Unit Gawat Darurat (UGD). Sedang pelayanan psiologis merupakan pasa pemulihan mental korban KDRT agar kembali dapat berbaur dan diterima masyarakat di lingkungannya melalui Tipeker dengan melibatkan sejumlah dokter ahli, yakni dokter ahli porensik, dokter ahli masalah hukum, UGD, medical record, dan apoteker. b. Pendampingan dan Layanan Konseling Pendampingan adalah segala tindakan konseling, terapi psikologis, advokasi dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Sragen bekerjasama dengan petugas penyelenggara pemulihan yaitu tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.
11
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, di mana kekerasan terhadap perempuan dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan kekerasan psikologis / emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Di mana masingmasing kekerasan terhadap istri diancam dengan pidana denda dan pidana penjara. 2) Kendala-kendala dalam penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Sragen yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri, di mana kelemahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu terletak pada delik aduan, dimana meskipun sudah jelas-jelas perbuatan yang dilakukan pelaku adalah tindak pidana dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia namun tanpa adanya pengaduan dari korban maka pelaku tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang dilakukannya.
b. Faktor petugas penegak hokum, yaitu petugas penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim) masih banyak yang bersikap bias gender dalam merespon kasus kekerasan.
c. Faktor sarana dan fasilitas. Sarana atau fasilitas
tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. 3) Cara mengatasi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban KDRT adalah menciptakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam sistem terpadu tersebut diharapkan ada keterkaitan antar instansi/ pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. DAFTAR PUSTAKA Adi Sugiharto, 2011, Perlindungan Hak-Hak Korban Tindak Pidana Dalam Proses Peradilan Pidana. Andari, 2005, Tindak kekerasan terhadap perempuan di Yoyakarta. Jurnal Perempuan, Volume 29 Tahun 2005, Hal. 22-33. 12
Fathiyah Wardah, Komnas Perempuan: 60 Persen Korban KDRT Hadapi Kriminalisasi, dalam http://www.voaindonesia.com/, diakses Minggu 18 November 2014. Farha Ciciek, 1999, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Penerbit Perserikatan Solidaritas Perempuan, Jakarta. Elli Nur Hayati, 2004, Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebuah Kejahatan Yang tersembunyi, Bandung: Mizan. Joeniarto dalam Natangsa Surbaki. 2005. Hukum Pidana. Sragen: UMS. Prayudi, 2008, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Merkid Press. Romli Atmasasmita, 1998, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung. Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Shecyndi.blogspot.com, Analisis Korban pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diakses Senin 17 Desember 2014, Pukul 20.45 wib Sudaryono dalam Natangsa Surbakti. 2005. Hukum Pidana. Sragen: UMS. Sagung Putri, 2008, Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, Vol. 33 No. 1, Januari 2008. Siti Zumrotun, 2006, Membongkar Fiqh Patriarkhis; Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga, STAIN Press.
13