Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Amelia Fitriani 108083000057
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yaag be{udul:
PENERAPA}i TI{E POLICY OF PEACE AI{D PROSPERITY KOREA SELATAN
TERII{DAI' KOREA UTARA DI BAWAH PEMERINTAIIAN ROH
[email protected]
l'
Merupakan tarya asli saya yang diajukacr rmtuk memenshi sala6 satu persyaratan memperoleh gelar stuata
I di universitas Istam Negeri (uF,D syarif Hidayatullatr
Jat€rta-
2' Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisaa id telah saya cantumkan dengan ketentuaa yaag berlaku di universitas Islam Negeri
sesuai
{uff{) syarif Hidaiatulla}r
Jal(arta
3'
Jika di kemudiaa hari t€rbutti bahwa karya ini bukan hasil karya salra atau merupakan
lusil jiplaka; dari karya oraog
lairro maka saya bersedia menedma saaksi yang
berlaku di universitas Islam Negeri (urND syarifHidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 20I 3 '.. . - : - . -:a:--.-::.---
::- ::t,
AmeliaFitriani
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
:
NIM
: 108083000057
AmeliaFitriani
Program Studi : Hubungan Internasional
Tehh
menyel
penulisao slaispi dengan judul:
Penerapan The Policy o{Peace and ProsperigrKorea Selatan Terhadap Korea Utara di
Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun dan telah memenuhi persyaratan untuk
diuji.
Jakarta 3 September 2013
Menyetujui Pembimbing,
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI PENERAPAN TT{E POUCY OF PEACE AND PROSPERITY KOREA SELATAN TERHADAP KOREA UTARA DI BAWAH PEMERINTAHAN ROH MOO HYI''N oleh Amelia Fitriani 108083000057
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullatr, Jakarta pada tanggal 25 gelar Septcmber 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh smjana sosial (s.sos) pda Program studi Hubungan Internasional'
Ketua,
Kil
Penguji I,
Dr. Pribadi Sutiono Su$ono
Penguji II,
W
Bpdi Satari.M^{
Ditoima dan dinptakan memenuhi sprat kelulumn pada tanggal 25 September 2013
Ketua Program Studi Hubungan [nternasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Kikv Rizkv. M.Si MP. 1973032 I 200801 1002
ABSTRAK Nama : Amelia Fitriani NIM
: 108083000057
Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun Skripsi ini melakukan analisa mengenai penerapan the Policy of Peace and Prosperity yang merupakan kebijakan resmi Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapkan, serta instrumen apa saja yang digunakan dalam penerapannya. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dalam melakukan penelitian ini. Dalam temuan penulis, the Policy of Peace and Prosperity mampu meningkatkan partisipasi aktif Korea Utara dalam berbagai instrumen yang digunakan, seperti dalam kerjasama ekonomi melalui Kaesong Industrial Complex dan proyek wisata Gunung Kumgang. Selain itu, kebijakan itu juga mampu melibatkan Korea Utara melalui program pertemuan kembali keluarga yang terpisah. Korea Selatan dan Korea Utara juga secara bersamasama terlibat dalam Pembicaraan Enam Pihak (Six Party Talks) bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang untuk membahas masalah Semenanjung Korea. Akan tetapi, kebijakan Roh Moo-hyun mendapat hambatan eksternal, terutama dari Amerika Serikat yang sejak dipimpin oleh pemerintahan George W Bush melakukan perubahan dalam kebijakannya terhadap Korea Utara. Perubahan sikap Amerika Serikat yang cenderung keras terhadap Korea Utara kemudian memicu pada gagalnya penerapan Agreed Framework 1994. Kegagalan Agreed Framework 1994 turut membawa perubahan sikap Korea Utara menjadi lebih agresif dengan menarik diri dari NPT dan menghidupkan kembali reaktor nuklirnya sebagai respon terhadap Amerika Serikat. Sikap Korea Utara yang cenderung lebih agresif tersebut kemudian mempengaruhi penerapan the Policy of Peace and Prosperity. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana penerapan the Policy of Peace and Prosperity diterapkan kepada Korea Utara, penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri, konsep diplomasi, dan bantuan luar negeri. Keyword: the Policy of Peace and prosperity, Diplomasi, Roh Moo-hyun
v
KATA PENGANTAR
Sujud sukur atas rahmat Allah SWT yang telah memberikan penulis kesempatan, kekuatan, kesadaran serta kesabaran untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul „Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun‟ demi penyelesaian pendidikan tingkat tinggi ini. Selama proses pengerjaan skripsi, penulis banyak menghadapi kendala dan juga rintangan. Namun di saat yang bersamaan, penulis mendapat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dan jasa dari pihak-pihak tersebut, penulis tidak akan mampu bertahan sejauh ini dalam proses pendidikan maupun dalam pengerjaan skripsi ini. Sehingga, dalam lembaran ini, penulis ingin setidaknya menuliskan dan mencurahkan rasa terimakasih kepada mereka, agar jasanya dapat penulis kenang seumur hidup. Dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayahanda penulis, Drs. H. Supiyanto yang selalu bersedia memeras keringat dan memutar otaknya demi memperjuangkan pendidikan penulis dan ketiga adik penulis. Terimakasih, Pah atas perjuanganperjuangan Papa yang tidak kenal lelah. Terimakasih atas setiap tetes keringat yang telah Papa keluarkan untuk membuat keluarga dan anakanaknya hidup layak dan mendapatkan pendidikan terbaik. Papa adalah ayah terbaik.
vi
2. Ibunda penulis, Hj. Ikrolilah yang tidak pernah berhenti melafadzkan ayat-ayat suci dan menyebut nama penulis serta ketiga adik penulis dalam setiap munajatnya. Terimakasih, Mah atas pengorbanpengorbanan Mama. Terimakasih atas setiap tetes air mata yang telah Mama keluarkan dalam menangani kenakalan anak-anaknya dan kesabaran Mama dalam membimbing kami ke jalan yang lurus. Mama adalah ibu terbaik. 3. Bapak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan sabar membimbing dan memberikan arahan berharga kepada penulis mengenai penyusunan skripsi serta wawasan lainnya. Terimakasih, Pak, atas berbagai kesempatan berharga yang telah Bapak berikan. Saya tidak akan menyia-nyiakan dan akan berusaha lakukan yang terbaik dalam menjalankan kesempatan-kesempatan tersebut. 4. Bapak Armein Daulay selaku dosen pembimbing akademik penulis yang selalu membimbing, memberikan nasehat berharga, serta memberikan informasi-informasi penting kepada penulis sejak pertama menduduki bangku kuliah. Terimakasih, Pak, Saya memang bukan mahasiswi yang pintar, tapi Insyaallah saya bisa menyerap dan mengamalkan hal-hal positif yang telah bapak contohkan. 5. Adik-adik penulis, M. Fajar Sidiq, Anisa Nurul Hidayah, dan M. Syahrul Fallah yang selalu kompak dan selalu membuat penulis dapat tersenyum bahagia, di masa-masa sulit sekalipun. Terimakasih banyak ya dek, Kakak sayang kalian.
vii
6. Moh. Hasyim yang selalu bersedia memapah serta menuntun penulis, agar bisa berdiri dan berjalan dengan kaki sendiri, sekalipun penulis sering terjatuh. Terimakasih, karena tetap mau bertahan menjadi embun di pintu senja. 7. Dosen-dosen, khususnya di jurusan HI yang telah banyak memberikan penulis pelajaran berharga. Terutama kepada Ibu Muti, Ibu Rara, Ibu Eva, Ibu Dina, Pak Kiki, Pak Adian, Pak Agus, dan Pak Afri, yang telah menginspirasi penulis secara pribadi, dan merupakan dosendosen terbaik yang dapat membimbing mahasiswanya dengan ramah, sabar, dan tepat. Terimakasih banyak Bapak, Ibu. Saya memang tidak pintar, tapi saya akan berusaha amalkan ilmu yang telah kalian berikan. 8. Om Amet yang telah membelikan penulis buku „Sunshine Policy‟ dan rela mengantarkannya ditengah hujan. Terimakasih banyak Om atas keihlasannya. 9. Sahabat-sahabat tercinta, Nur Aini „bebey‟, Uwe, Bunda Rahma, Haqi Zou, dan Atho yang memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan pengerjaan skripsi dengan selalu bertanya “kapan lulus?” Terimakasih, kalian sahabat yang terbaik yang pernah penulis miliki. 10. Sahabat-sahabat seperjuangan, terutama di kelas HI B angkatan 2008, Neti, Rina, Fitri, Mida, Fili, Ika, Naila, Hanifah, Aya, dan Ahla yang sering penulis mintai bantuannya. Juga Waldi dan Uli, teman seperjuangan dalam pengerjaan skripsi. Serta teman-teman HI
viii
angkatan 2008 lainnya, terimakasih atas kenangan yang telah samasama kita buat bersama. 11. Seluruh staf akademik di jurusan HI UIN yang telah banyak membantu penulis dalam pengurusan administrasi serta dokumen-dokumen lainnya. Terutama untuk Pak Jajang yang selalu ramah menyapa dan sigap melayani kebutuhan akademik para mahasiswa FISIP secara umum, dan penulis secara khusus. Terimakasih banyak, Pak. 12. Profesor Chung-in Moon serta Seung-chan Boo yang juga secara langsung dan tidak langsung telah membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini. 감사합니다. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak mampu menyebutkan satu per satu dalam lembaran ini. Namun penulis menghargai dukungan tersebut dan mengucapkan terimakasih banyak.
Jakarta, September 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Pernyataan Penelitian........................................................
9
C. Kerangka Teori .................................................................
9
1. Kebijakan Luar Negeri ..............................................
9
2. Diplomasi ...................................................................
11
3. Bantuan Luar Negeri...................................................
14
D. Metode Penelitian .............................................................
17
E. Sistematika Penulisan .......................................................
19
KEBIJAKAN KOREA SELATAN TERHADAP KOREA UTARA SEBELUM PEMERINTAHAN ROH MOO-HYUN A. Sejarah Konflik Semenanjung Korea ...............................
21
1. Kronologi Pendudukan Jepang di Korea ...................
21
2. Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian Dua Korea ....................................................................................
x
24
3. Perang Korea (1950-1953) .........................................
26
B. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum Pemerintahan Roh Moo-hyun 1. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Militer (1948-1992) ............................
29
2. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Sipil (1992-2002) ...............................
37
BAB III THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY A. Prinsip dan Tujuan ..........................................................
43
B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity ......
48
1. Diplomasi ..................................................................
48
2. Pemberian Bantuan ...................................................
58
C. Six-Party Talks .................................................................
59
1. Agreed Framework dan Nuklir Korea Utara .............
60
2. Pembentukan dan Tujuan Six Party Taks .................
63
3. Pelaksanaan Six Party Talks Periode 2003-2007 ......
65
4. Second Korean Summit ............................................
67
BAB IV PENERAPAN THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY A. Penerapan the Policy of Peace and Prosperity di Masa Pemerintahan Roh Moo-hyun ..........................................
68
B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity .......
70
xi
BAB V
KESIMPULAN Kesimpulan ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
82
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Peta Korea .................................................................... 22
Gambar III.2
Bagan Tujuan dari Particopatery Government ............. 46
Gambar III.3
Peta Kaesong ............................................................. 50
xii
DAFTAR TABEL
Tabel. II. A. 1
Tabel. III.B.1
Tabel. III.B.2
Tabel. III.B.3
Tabel. III.B.4
Tabel. III.B.5
Implementation Strategy by Stages for Establishment of a Peace Regime on the Korean Peninsula ..........................................
45
Key Statistics for the Kaesong Industrial Complex .......................
51
Production by Category in the Kaesong Industrial Complex .........................
52
Number of South Korean Tourist Visiting Mount Kumgang ........................................
54
Number of Families Involves in Face to Face Family Reunions and Video Conference (1985, 2000-2007) ..............
56
South Korea’s Humanitarian Aid to North Korea (in US$ million) .............................
58
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APPC
Asia-Pacific Peace Committee
DK
Dewan Keamanan
DPRK
Democratic People Republik Korea
IAEA
International Atonomic Energy Agency
KIC
Kaesong Indusrial Complex
NPT
Nuclear Non-Poliferation Treaty
PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa
ROK
Republic of Korea
USAMGIK
United States Army Military Government in Korea
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Wawancara Dengan Seung-chan Boo ..............................
xvi
Lampiran II
Agreed Framework of 21 October 1994 .........................
xxiii
Lampiran III
Six Party Talks ................................................................
xxvii
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenanjung Korea merupakan dataran yang membentang sepanjang 1.100 kilometer dari arah utara ke selatan. Pada tahun 1910, Korea dijajah oleh Jepang dan merdeka pada akhir Perang Dunia kedua, yakni tahun 1945. (Pelayanan Kebudayaan, 2008: 14). Sekalipun akhir Perang Dunia kedua membawa pembebasan secara nasional bagi penjajahan Jepang, namun hal tersebut tidak serta membawa jaminan atas otonomi dan kemerdekaan penuh di Korea. Adanya kekuasaan politik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan terjadinya pembagian dua Korea sepanjang garis 38 derajat lintang utara yang memperdalam konfrontasi ideologi maupun militer antara Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya intervensi serta pembagian nasional turut mengarahkan dua Korea kepada dua jalur perkembangan yang berbeda, baik dalam hal perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun militer. Korea Selatan menerapkan prinsip demokrasi ala barat (westernstyle democracy) dan kapitalisme. Sementara, Korea Utara melakukan proses Sovietisasi (a process of Sovietization) dimana kediktatoran proletariat dan sosialisme
menjadi
prinsip
yang
diterapkan
pada
tata
perpolitikan
dan
perekonomiannya. (Soong dan Moon, 2001: 9). Dalam skripsi ini, penulis menempatkan kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008) sebagai tema serta pembahasan utama. Konsep kebijakan tersebut lebih dikenal dengan nama the Policy of Peace and Prosperity.
1
The Policy of Peace and Prosperity merupakan kebijakan resmi Korea Selatan terhadap Korea Utara yang secara resmi dideklarasikan oleh Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008). Pada pidato perdananya (25 Februari 2003), Roh Moo-hyun mendeklarasikan bahwa ia melanjutkan Sunshine Policy terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintahan Presiden Kim Daejung. (Kim, 2006: 37). Pemerintah Roh melanjutkan kebijakan tersebut dengan modifikasi dan penamaan baru melalui konsep Kebijakan Perdamaian dan Kesejahteraan (Policy of Peace and Prosperity). (Do-Hyeong, 2004: 97).
Sunshine Policy (햇볕정책) atau Kebijakan Sinar Matahari merupakan bentuk kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan Korea Utara yang digagas oleh Presiden Kim Dae-jung (1998-2003). Kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan Kim Dae-jung pada tahun 1998 (dikutip dari Moon, 2012: 21). Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea Utara. Kedua, prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Ketiga, prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara Korea Selatan-Korea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi tahun 1991. (Moon, 2012: 21). Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama dalam bidang keamanan. (Moon, 2000: 6).
2
Istilah Sunshine Policy (dalam Haggars dan Noland, 2008: 111) diambil dari dongeng Korea mengenai angin dan matahari. Dalam dongeng diceritakan tentang matahari dan angin yang bersaing untuk melihat siapa yang mampu membuat seorang pejalan kaki melepaskan jas yang sedang dikenakannya. Ketika angin gagal melakukannya
walaupun
sudah
berhembus
keras,
matahari
menggunakan
kehangatannya untuk membuat pejalan kaki itu melepaskan jasnya. Kim Dae-jung berpendapat bahwa sinar matahari akan lebih dapat memberikan dampak efektif dibandingkan dengan kekuatan angin dalam mempengaruhi Korea Utara untuk tidak lagi mengisolasi diri dan tidak lagi bersikap konfrontatif.
Presiden Kim membentuk Sunshine Policy dengan tujuan utamanya yaitu membangun perdamaian bersama untuk mengendurkan tensi politik maupun militer dalam hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara. (Kyung-suk, 2002: 3-4). Untuk mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Kim menggunakan instrumen kebijakan antara lain adalah dengan melakukan pemisahan politik dari ekonomi (separation of politics from economics) yang
berarti mendorong
pertukaran dan kerjasama di bidang ekonomi tanpa menghubungkannya dengan masalah atau situasi politik maupun
militer
yang
terjadi. Serta mengijinkan
perusahaan-perusahaan perorangan atau swasta untuk menanamkan modal di Korea utara dalam sektor-sektor industri. Selain itu, instrumen lain yang digunakan adalah memberikan subsidi gandum, penyediaan reaktor air ringan, pertemuan kembali keluarga yang terpisah, serta pertukaran sosial-budaya. Namun seiring berjalannya waktu, pendekatan dan pemulihan kembali hubungan diplomatik antara Korea utara dengan negara-negara Barat menjadi salah satu prioritas utama. Karena hal tersebut
3
akan membantu Korea Utara keluar dari isolasi negara-negara Barat. (Yoo, 2004: 110).
Menurut data yang dikutip dari artikel Chae Kyung-suk berjudulThe Future of the Sunshine Policy: Strategic for Survival. (2002: 7-8), salah satu bentuk implementasi dari instrumen-instrumen kebijakannya tersebut adalah seperti pada tahun 1998, Korea Selatan memberikan total 11 juta dolar jagung (30.000 ton) dan tepung (10.000 ton) dalam bantuan ke Utara yang disalurkan melalui Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP). Selain itu, Sejak 1999, Korea Selatan juga membantu menyelesaikan akar penyebab permasalahan ketersedian pangan di Korea Utara dengan mengirimkan pupuk. Kemudian pada tahun 1999, Korea Selatan menghabiskan 46.2 juta won untuk mengirim 155 ribu ton pupuk kepada Korea Utara. Penyediaan pupuk ini dilakukan kembali pada tahun 2001, ketika Korea Selatan menyediakan 200.00 ton pupuk untuk Korea Utara. Selain itu, Korea Selatan juga memberikan 500 dollar obat-obatan melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk program pemberantasan penyakit di Korea Utara. Selain itu juga, pada Mei 2001, Korea Selatan mengirim obat-obatan, peralatan pengendali hama, vaksin imunisasi dan produk perawatan medis lainnya kepada Korea Utara.
Atas bantuan-bantuan yang telah diberikan tersebut, Korea Selatan menerapkan karakteristik kebijakan yang bersifat timbal balik serta fleksibel terhadap Utara Korea (apolicy of flexible reciprocity towards North Korea). Timbal balik berarti bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara hanya perlu dibalas dengan menjaga dan memperbaiki
4
hubungan antar-Korea dan tidak dengan diberi balasan atau ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan). (Govindasamy, 2012: 5).
Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Daejung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme Gunung Kumgang dan proyek komplek industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea (Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4). Penerapan Sunshine Policy dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dilanjutkan oleh
pemerintahan
selanjutnya,
yakni
Roh
Moo-hyun.
Pemerintahan
Rohmemodifikasi namanya menjadi ‘the Policy of Peace and Prosperity’. Kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun tersebut, oleh para ahli/cendikiawan dalam tulisan baik berupa buku, jurnal, maupun artikel secara garis besar dikategorikan sebagai Sunshine Policy (karena melanjutkan kebijakan pemerintah terdahulu: Kim Daejung). Sebagai contoh: (1) dalam buku yang ditulis oleh profesor ilmu politik di Yonsei University,South Korea,berjudul „The Sunshine Policy: In Defense of Engagement as a Path to Peace in Korea‟ yang diterbitkan oleh Yonsei University Press pada tahun 2012, ia menuliskan pada halaman kata pengantarnya (preface) halaman ix bahwa “The Sunshine Policy, the theme of this book, was introduced by the late president Kim Dae-jung with the vision of attaining a lasting peace on the Korean Peninsula ... This Policy was continued, both in spirit and letter, by his successor, President Roh Moo-hyun, under the rubric of the Peace and Prosperity
5
Policy.”; (2) Kang In-duk, Menteri Unifikasi Korea Selatan periode 2001-2002, menulis dalam artikel yang berjudul „Toward Peace and Prosperity: The New Government’s North Korea Policy’ yang diterbitkan dalam jurnal East Asian Review, Vol. 15, No. 1, Spring 2003 menuliskan bahwa “In his inaugural address, Roh outlined his new Peace andProsperity Policy which will maintain the general framework of theSunshine Policy while aiming at a more widespread nationalconsensus
and
bipartisan
cooperation,
two
areas
that
the
previousadministration neglected.” (halaman 3-4); (3) Hong Nack Kim menulis artikel dalam International Journal of Korean Studies Vol. XII, No. 1Fall/Winter 2008 halaman 3 berjudul The Lee Myung-Bak Government’s North Korea PolicyAnd the Prospects for Inter-Korean Relationsbahwa ‘For ten years, from February 1998 to February 2008, under the two left-leaning governments, South Korea pursued the so-called "Sunshine Policy" of engagement toward North Korea. This policy was initially advocated by former President Kim Dae-Jung from 1998 to 2003 and retained by his successor, Roh Moo-Hyun, as the policy of "Peace and Prosperity" from 2003 to February 2008.‟ Akan tetapi, Sunshine Policy yang dijalankan oleh pemerintahan Roh Moohyun memiliki beberapa modifikasi atau penambahan prinsip/konsep kebijakan, sehingga lebih spesifik dikenal dengan istilah The Policy of Peace and Prosperity. Perbedaan tersebut antara lain adalah, Kim Dae-jung dalam melaksanakan kebijakannya melakukan pemisahan antara ekonomi dan Politik. Tetapi Roh Moohyun mencoba meletakkan kebijakan antar Korea, kebijakan regional, serta aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat ke dalam satu rumusan kebijakan. (Kim, 2005: 14). Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah the Policy of Peace
6
and Prosperity yang juga merupakan istilah umumuntuk merujuk secara spesifik pada kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun. Pemerintah Roh dalam menjalankan kebijakannya berada pada kondisi internasional yang berbeda dari pemerintah sebelumnnya.Roh Moo-hyun mewarisi peluang sekaligus tantangan dari penerapan kebijakan tersebut.Ia memiliki keuntungan karena sudah ada bentuk dasar atau bentuk nyata, hasil dari „warisan‟ pemerintah sebelumnya atas Sunshine Policy. Misalnya, proyek pariwisata Mt. Kumgang yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 dan Korean Summit bersejarah yang terjadi pada tahun 2000. Terkait hal tersebut, pemerintah Roh mendapat keuntungan, yakni dapat melanjutkan dan mengembangkan program yang sudah dicapai oleh pemerintahan sebelumnya demi melancarkan tujuan kebijakannya terhadap Korea Utara. (Do-Hyeong, 2004: 97). Namun disamping itu, pemerintah Roh Moo-hyun juga menghadapi tantangan dalam menjalankan kebijakannya tersebut. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Sunshine Policydatang dari Amerika Serikat. Selama masa pemerintahan Kim Dae-jung, Presiden Amerika Serikat yang pada saat itu adalah Bill Clinton (1993-2001), turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara. Bill Clinton turut terlibat dengan Korea Utara serta membuat terobosan dalam hubungan Amerika Serikat-Korea Utara, salah satunya adalah dengan dilakukanya kunjungan Madeleine Albright (menteri luar negeri Amerika Serikat pada masa Bill Clinton) ke Pyongyang pada Oktober 2000. Sementara itu, berbeda dengan masa pemerintahan Bill Clinton, pada masa pemerintahan George W. Bush yang secara resmi diawali pada tahun 2001
7
menerapkan kebijakan keras (hardline policy) terhadap Korea Utara yang dikenal dengan istilah informal ‘Anything but Clinton’ (ABC). (Moon, 2012: 79). Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan sikap dari Amerika Serikat yang pada masa Bill Clinton sebelumnya mendukung kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara dengan soft diplomacy yang dilakukannya, berubah dengan hardline policy yang diterapkan oleh Presiden George W. Bush. Salah satu hardline policy yang dilakukan oleh presiden Bush adalah ketika ia menyebut Korea Utara sebagai salah satu poros setan (exis of evil) tahun 2002 pasca peristiwa 9/11. Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy (dikutip dari Moon, 2012: 79) secara terbuka menyalahkan presiden Bush dan pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di Korea. Ia juga menyatakan bahwa sebutan „poros setan‟ yang disebutkan oleh presiden Bush terhadap Korea Utara serta sikap presiden Bush yang menunjukkan keinginannya untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive membuat kejutan bagi masyarakat Korea Selatan. Disamping itu, tantangan lain yang juga dihadapi oleh pemerintah Roh Moohyun adalah sikap dari Korea Utara yang pada bulan Januari 2003 menarik diri dari Non-Proliferation Treaty (NPT) dan membuang peralatan pemantauan milik International Atomic Energy Agency (IAEA) di reaktor nuklir di Yongbon. Setelah itu, Korea Utara kembali menghidupkan reaktor nuklirnya tersebut. (Kim, 2005: 13). Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara kembali bersikap agresif kepada dunia internasional dengan mengoperasikan reaktor nuklirnya. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Roh Moo-hyun, yang pada saat itu baru
8
memulai masa jabatannya, dalam mengaplikasikan kebijakannya yang melanjutkan prinsip-prinsip dari kebijkan terdahulu. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul Penerapan „The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun‟
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penlitian yang diajukan oleh peneliti adalah :
Bagaimana Penerapan the Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara selama pemerintahan Roh Moo-hyun?
C. Kerangka Teori
C.1
Kebijakan Luar Negeri
Setiap negara memiliki kepentingan serta tujuan nasional yang ingin dicapai dengan melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik internasional. Rumusan kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri.Setiap negara dan setiap periode pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang berbeda, tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang terjadi.
9
Kebijakan Luar negeri menurut Rosenau (1974) merupakan tindakan otoritatif yang diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang diinginkannya dari lingkungan internasional, maupun mengubah aspek yang tidak diinginkan. Kebijakan luar negeri dibuat bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan yang akan dicapai. Bentuk kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. (Hara, 2011: 13).
Selain itu, kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral. (Perwita dan Yani, 2005: 49)
Dengan kata lain. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan Negara dalam menghadapi Negara lain atau aktor politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.
Dalam proses kebijakan luar negeri suatu Negara, ada dua tahap utama yang dilaluinya,
yakni:
proses
pembuatan
kebijakan
dan
proses
implementasi
(pelaksanaan) dari kebijakan tersebut. Dalam pandangan sederhana, pembuatan kebijakan luar negeri merupakan urusan ekslusif pemerintah.Sehingga, kebijakan
10
luar negeri merupakan pencapaian kepentingan nasional suatu Negara yang prosesnya dirumuskan, diawasi, dan dikontrol oleh pemerintah.Setelah membuat keputusan kunci, mereka kemudian menyerahkannya kepada Departemen Luar Negeri untuk diimplementasikan.(Baylisdan Smith, 2005: 396).
Kebijakan luar negeri menurut Aleksius Jemadu (2008: 61) merupakan instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara berdaulat untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor lain dalam politik dunia demi mencapai tujuan nasionalnya.
Sementara itu, menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) kebijakan luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan, yaitu:penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumberdaya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksaan (implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan.
C.2
Diplomasi
Menurut buku John Baylis dan Steve Smith (2005: 396-397)., diplomasi dalam hubungan internasional merupakan salah satu dari serangkaian instrumen (one of a set of instruments) yang mengimplemantasikan dan merealisasikan keputusankeputusan yang telah diambil pemerintah (melalui Departemen Luar Negeri). Diplomasi sebagai kegiatan pemerintah tidak hanya merujuk pada instrumen kebijakan tertentu, tapi juga untuk seluruh proses permbuatan kebijakan dan pelaksanaanya.
11
Disamping itu, diplomasi juga merupakan istilah yang dapat memiliki makna berbeda, tergantung pada pengguna dan penggunaanya.Diplomasi dapat dibagi menjadi dua perspektif dalam konteks politik dunia (world politic), yakni perspektif makro, dan perspektif mikro.(Baylisdan Smith, 2005: 398). Dalam perspektif makro politik dunia, diplomasi mengacu pada proses komunikasi yang merupakan pusat kerja dari sistem global. Jika politik dunia ditandai hanya dengan ketegangan antara konflik dan kerjasama, diplomasi bersama dengan perang (diplomacy together with war), dapat dikatakan mewakili lembaga yang menentukan. Jika konfik dan kerjasama ditempatkan pada dua ujung sebuah spektrum, diplomasi dapat diletakan pada kerjasama dan mewakili bentuk interaksi yang fokus pada resolusi konflik dengan melalui dialog dan negosiasi. Diplomasi secara fundamental berkaitan dengan upaya untuk menciptakan stabilitas dan ketertiban dalam sistem global, keberadaanya diperkuat untuk mencegah konflik agar tidak berujung dengan perang.
Semantara, dalam perspektif mikro erat kaitannya dengan aktor internasional seperti negara.Pemahaman tentang diplomasi memberikan wawasan ke dalam mengungkapkan perilaku para aktor itu sendiri dalam sistem global. Dari perspektif ini, diplomasi dapat diidentifikasi sebagai instrumen kebijakan daripada sebuah proses global. Semua aktor memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana perilaku kebijakan luar negeri mereka diarahkan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, aktor membutuhkan „sarana‟ atau lebih sering disebut dengan istilah „instrumen‟. Diplomasi menyediakan salah satu instrumen yang digunakan oleh aktor internasional untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya. Diplomasi
12
dapat digunakan secara langsung (diplomasi murni/pure diplomacy) dengan pihak lain atau sebagai sarana berkomunikasi atau menggunakan acaman dari instrumen lain (diplomasi campuran/mixed diplomacy). (Baylisdan Smith, 2005: 388-389).
Persuasi atau diplomasi murni (pure diplomacy) dapat dikatakan cukup untuk memperoleh kebijakan suatu negara di luar negeri. Namun, diplomasi juga terhubung dengan instrumen kebijakan lainnya untuk menghasilkan apa yang disebut dengan diplomasi campuran (mixed diplomacy). Dari sini, diplomasi menjadi jalur komunikasi apakah ancaman atau instrumen lainnya yang akan diterapkan kepada pihak lain. Sikap persuasif dalam diplomasi lebih sering berhasil jika negara menerapkan konsep „sticks’and/or ‘carrots’. (Baylis& Smith, 2005: 398).
Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Semua aktor memiliki tujuan, dan ke arah mana perilaku kebijakan luar negeri mereka tergantung pada tujuanya masing-masing. (Baylis& Smith, 2005: 398-399).
Terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam berbagai cara, baik sebagai manfaat potensial atau sebagai hukuman dalam upaya perilaku pihak lain, seperti yang dikutip dalam Baylis& Smith(2005: 398), yakni : 1. Angkatan militer sebagai instrumen kebijakan dapat digunakan sebagai ancaman atau dikerahkan sebagai „otot‟ dalam negosiasi. Diplomasi dan kekuatan militer, sering digunakan secara bersamaan dan dianggap
13
sebagai instrumen kebijakan luar negeri secara tradisional. Hal tersebut menyebabkan Negara-negara berkembang berupaya mencari instrumen lain sebagai alternatif untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi. 2. Instrumen
kedua
ekonomi.Diplomasi
adalah menggunakan
penggunaan
langkah-langkah
instrumen-instrumen
ekonomi
bukanlah hal yang baru dalam hubungan internasional.Penggunaan instrumen ekonomi dalam diplomasi baik berupa perdagangan maupun bantuan luar negeri juga dapat digunakan sebagai „stick‟ maupun „carrot‟ bagi negara lain yang dituju. 3. Instrumen ketiga adalah dengan menargetkan pemerintah secara langsung, atau disebut juga dengan subversi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1346) subversi merupakan gerakan, usaha, atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang. Berbeda dengan instrumen-instrumen sebelumnya, karena instrumen ini difokuskan pada upaya mendukung kelompokkelompok tertentu dalam negara lain dengan tujuan merusak atau menggulingkan pemerintahan negara tersebut. Instrumen subversi mencakup berbagai teknik, termasuk propaganda, kegiatan intelejen, dan membantu kelompok pemberontak.
C.3
Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat
14
didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain yang dapat berbentuk barang atau dana. (Perwitadan Yani, 2005: 81). Parson dan Payasilian (dalamPerwitadan Yani, 2005: 81- 82)mengajukan empat teori mengenai batuan luar negeri, yaitu : 1. Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi untuk proyeksi ‘power’ secara nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional. 2. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian, melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara penerima bantuan. Sehingga para penganut teori dependensia menganggap bawa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kayak ke miskin, sebuah sistem untuk mengekalkan ketergantungan. 3. Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong 15
dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia, hukum, dan ketertiban internasional. 4. Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung terlibat
dalam
proses
pembuatan
kebijakan
yang
mempromosikan
kepentingan nasional melalui agenda politik. Teori ini juga menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik internasonal, antara lain adalah kombinasi tujuan kemanusiaan, geopolitik, ideologi, kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai faktor dalam politik domestik. Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukkan untuk kepentingan politik jangka pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan ekonomi jangka panjang.Dalam jangka panjang, bantuan luar negeri dimaksudkan untuk membantu menjamin beberapa tujuan politik negara donor yang tidak dapat dicapai hanya dengan melalui diplomasi, propaganda, atau kebijakan publik. (Perwitadan Yani, 2005: 82). Aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan luar negeri dapat berupa pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang diberikan oleh negara-negara donor atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman luar negeri, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), dan Sebagainya. (Perwita dan Yani, 2005: 83). 16
Holsti (dikutip dari Perwita dan Yani, 2005: 81) membagi program bantuan luar negeri ke dalam empat jenis, yaitu : 1. Bantuan militer 2. Bantuan teknik 3. Grant dan program komoditi impor 4. Pijaman pembangunan
D. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif analitis.Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menafsirkan suatu penelitian seperti asumsi/dugaan, nilai, dan pendapat dari peneliti sehingga menjadi jelas dalam hasil akhir suatu penelitian. (Creswell,1994: 147).Sehingga, penulis melakukan analisa atas data-data kualitatif dengan menggunakan
teori
serta
kerangka
pemikiran
agar
dapat
mengelaborasi
permasalahan tersebut secara lebih jelas.
Dalam proses pengumpulan data penelitian, menurut Creswell(1994: 148), terdapat tiga langkah dalam mengumpulkan data penelitian. Pertama, adanya pengaturan tentang pembatasan dalam pembahasan suatu masalah penelitian.Kedua, mengumpulkan informasi dengan melakukan pengamatan, wawancara, pengumpulan dokumen-dokumen dan bahan visual.Ketiga, membuat suatu protokol untuk mencatat atau merekam setiap informasi.
17
Oleh karena itu, penulis memberikan batasan masalah pada kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara dibawah pemerintahan Roh Moo-hyun, tepatnya pada periode 2003-2008, yakni ketika presiden Roh Moohyun secara resmi dilantik menjadi presiden Korea Selatan (25 Februari 2003) hingga akhir masa jabatannya (24 Februari 2008). Masalah utama yang dikaji adalah kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara dalam kerangka dan penerapan konsepthe Policy of Peace and Prosperity.Penelitian ini juga berupaya menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapakan terhadap Korea Utara.
Terkait teknik pengumpulan data, penulis menggunakan kajian literatur serta studi pustaka terhadap data-data dengan menggunakan sumber baik berupa jurnal, buku, artikel, hasil penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya.Selain itu juga, penulis menghimpun data kuantitatif yang sesuai dengan pembahasan dan dapat mendukung argumen/penulisan skripsi ini.
Selain itu, dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan internet research atau penggunaan data-data yang diperoleh dari situs (website) internet.Namun penulis hanya menggunakan data dari situs yang dianggap relevan dan otoritatif sesuai dengan data yang dibutuhkan.Data yang diperoleh melalui internet research ini bersifat sebagai data tambahan/pendukung.
18
E. Sistematika Penulisan
Bab 1
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Kerangka Teori
D.
Metode Penelitian
E.
Sistematika Penulisan
Bab 2
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum Pemerintahan Roh Moo Hyun
A.
B.
Sejarah Konflik Semenanjung Korea A.1.
Kronologi Pendudukan Jepang di Korea
A.2.
Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian dua Korea
A.3.
Perang Korea (1950-1953)
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum pemerintahan Roh Moo-hyun
B.1.
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Militer (1948-1992)
B.2.
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Sipil (1992-2002)
19
Bab 3
The Policy of Peace and Prosperity
A.
Prinsip dan Tujuan
B.
Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity
B.1.
Diplomasi
B.2.
Pemberian Bantuan
C.
Six-Party Talks
Bab 4
Pencapaian Penerapan The Policy of Peace and Prosperity
A.
Pencapaian The Policy of Peace and Prosperity
B.
Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity
Bab 5
Kesimpulan
Daftar Pustaka
20
Bab II KEBIJAKAN KOREA SELATAN TERHADAP KOREA UTARA SEBELUM PEMERINTAHAN ROH MOO-HYUN
A. Sejarah Konflik Semenanjung Korea
Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai letak geografis Korea, sejarah Korea, dan pemerintahan Korea sejak masa kepemimpinan Syngman Rhee hingga masa pemerintahan Kim Dae-jung. Penulis juga mengambil contoh kebijakankebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada masa pemerintahan pertama di Korea Selatan, Rhe Syngman hingga masa pemerintahan Kim Dae-jung.
1. Kronologi Pendudukan Jepang di Korea
Korea terletak di ujung timur benua Asia, terdiri dari semenanjung Korea dan 3,305 pulau disekitarnya. Wilayah Korea secara keseluruhan meliputi luas 220.000 kilometer persegi, sementara luas Korea Selatan adalah 98.000 kilometer persegi, sisanya adalah milik Korea Utara. Wilayah Korea pada bagian utara berbatasan dengan Sungai Yalu dan Tumen. Sementara bagian timur dan barat dikelilingi oleh perbatasan laut. (Hoom dan Moon, 2001: 11).
21
Gambar II.1. Peta Korea
Sumber: Oberdorfer, Don. 2001. The Two Koreas: A Contemporary History. USA: Basic Books 2001, hal x
Menurut Soong Hoom Kil dan Chung-in Moon (2001: 11), karena letak geografisnya, semenanjung Korea secara tradisional menjadi jembatan penghubung antara benua Asia (Cina) di Utara dengan wilayah Jepang di Selatan. Selama abad kesembilanbelas, Jepang dan kekuatan Barat melihat Korea sebagai batu loncatan dimana mereka dapat meproyeksikan kekuatan dan pengaruhnya ke Manchuria.
22
Sementara itu, China dan Rusia menggunakan Korea sebagai batu loncatan untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka ke pasifik utara.
Karena letaknya yang strategis itulah, Jepang menduduki Korea pada tahun 1910 (Lew, 2000:23). Jepang secara efektif menduduki Korea melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea. Selama penjajahan, sekalipun Jepang membangun jalan dan jaringan komunikasi modern, namun kehidupan rakyat Korea kritis. Hal itu dikarenakan sistem kerja paksa yang diberlakukan oleh Jepang. Selain itu juga, ekspor tanaman Korea ke Jepang menyebabkan kekurangan pangan terjadi di Korea. (news.bbc.co.uk diakses pada tanggal 25 Maret 2013). Jepang melakukan eksploitasi ekonomi terhadap Korea dengan memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan perang dan pertahanan Jepang. (Cahyo. 2012: 76).
Dari sisi kebudayaan, Jepang juga melakukan asimilasi kebudayaan di Korea. Jepang pada tahun 1937 melarang penggunaan bahasa Korea, dan pengajaran sejarah dan budaya Korea di sekolah. Jepang juga menerapkan larangan penggunaan nama Korea. (news.bbc.co.uk diakses pada tanggal 25 Maret 2013).
Menurut Lew (2000: 23), terdapat tiga fase kepemimpinan Jepang di Korea. Jepang memerintah Korea melalui Gubernur Jendral yang biasanya adalah seorang militer Angkatan Darat atau Angkatan Laut dari Jepang. Selama tahap pertama pendudukan Jepang (1910-1919), masyarakat Korea dikendalikan oleh sistem yang merampas kebebasan dasar masyarakat sipil Korea. Adanya kontrol sosial yang ketat akhirnya menghasilkan gerakan berupa demonstrasi nasional pada tanggal 1 Maret 1919 disebut sebagai Gerakan Pertama Maret (the March First Movement).
23
Demonstrasi tersebut memaksa Jepang untuk melonggarkan konstruksi peraturan mereka konstriksi pada masyarakat Korea. Pada fase kedua pemerintahan kolonial (1919-1932), Pemerintah Jenderal memberikan kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi masyarakat Korea. Pada awal 1920-an, misalnya, tiga surat kabar Korea diterbitkan dalam bahasa asli Korea. Selain itu, pada tahun 1927, terbentuk partai politik Korea yang terdiri dari partai nasionalis sayap kanan dan sayap kiri, Sin'ganhoe (masyarakat Korea baru). (Lew, 2000: 23). Fase ketiga dari pemerintahan Jepang (1932-1945) kembali memberlakukan aturan keras ke masyarakat Korea, dengan cara mengeksploitasi tenaga serta sumber daya yang dimiliki masyarakat Korea untuk mendukung upaya Jepang menyarang ke Manchuria (1932), Cina daratan (setelah 1937), dan Pasifik (setelah tahun 1941). Masyarakat Korea dipaksa untuk berhenti menggunakan bahasa mereka sendiri dan diwajibkan mengadopsi nama Jepang serta beribadah di kuil Shinto. (Lew, 2000: 23).
2. Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian dua Korea
Memasuki akhir Perang Dunia II, negara-negara sekutu melakukan pertemuan untuk membahas masalah Asia, termasuk permasalahan Korea di Kairo, Mesir. Pertemuan ini menghasilkan Konferensi Kairo (Cairo Conference) pada Desember 1943. Konferensi Kairo merupakan konferensi yang berlangsung dari tanggal 23-26 November dan 3-7 Desember 1943. Dalam Deklarasi Kairo, yang dikeluarkan pada 1 Desember 1943 oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Cina Chiang
24
Kai-shek, ketiga pemimpin Sekutu, untuk mengantisipasi kekalahan Jepang, berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada orang-orang Korea ‘pada waktunya’. Marsekal Stalin menunjukkan dukungannya terhadap deklarasi ini pada Juli 1945 ketika ia menandatangani Deklarasi Potsdam. (Lew, 2000: 24).
Menurut Fact File situs berita BBC (diakses pada 25 Juni 2012), dalam konferensi ini juga, sekutu memutuskan untuk melucuti Jepang di semua daerah yang telah diperoleh sejak awal Perang Dunia I (1914), Amerika Serikat, Cina, dan Inggris telah sepakat di Kairo bahwa Korea akan diizinkan untuk menjadi bebas dan merdeka pada waktunya setelah kemenangan Sekutu. Uni Soviet juga menyetujui prinsip yang sama dalam deklarasi perang melawan Jepang.
Pada tanggal 8 Agustus 1945, selama hari-hari terakhir Perang Dunia II, Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang dengan meluncurkan invasi Manchuria dan Korea. Pada saat itu, Jepang telah habis oleh perang berlarut-larut melawan Amerika Serikat dan Sekutu. Peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan juga 9 Agustus telah membuat pemerintah Jepang berupaya mencari cara untuk mengakhiri perang. Hingga akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Sejak kemunduran Jepang, Uni Soviet mendaratkan pasukannya di Korea dari arah utara. Hal tersebut juga diikuti oleh Amerika Serikat yang mendaratkan pasukannya dari arah selatan sebagai upaya untuk mencegah salah satu pihak menguasai seluruh Semenanjung Korea. (Henneka. 2006: 21).
Ketika perang berakhir dengan menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945, rakyat Korea menerima berita pembebasan mereka dengan kegembiraan sekaligus
25
kecemasan. Rakyat Korea gembira bahwa mereka dibebaskan dari penindasan Jepang tetapi cemas karena negara mereka harus dibagi sepanjang garis 38 derajat Lintang Utara (38th parallel) menjadi dua zona pendudukan militer. Garis 38 derajat Lintang Utara dipelopori oleh para pembuat kebijakan AS di Washington sepanjang malam 10-11 Agustus yang diklaim sebagai cara terbaik untuk mencegah Uni Soviet menempati seluruh semenanjung Korea. (Lew, 2000: 24).
Presiden Harry S. Truman menjamin dan membuat perjanjian dengan Marsekal Joseph Stalin untuk menghormati garis 38 derajat Lintang Utara pada 16 Agustus tanpa harus berkonsultasi dengan Korea. Di bawah garis 38 derajat Lintang Utara, Korea bagian selatan diduduki oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat pada bulan September, satu bulan setelah militer Soviet mulai menempati bagian utara. Pasukan pendudukan AS menyelenggarakan pemerintahan militer sementara di Korea bagian selatan dengan nama Pemerintah Militer Amerika Serikat di Korea (United States Army Military Government in Korea/USAMGIK) di Seoul dan memerintah Korea Selatan selama tiga tahun dengan dukungan dari Partai Demokrat Korea. (Lew, 2000: 24).
Hingga kemudian, pada 15 Agustus 1948, Korea Selatan yang didukung oleh Amerika Serikat memerdekakan diri sebagai sebuah negara dengan nama resmi Republic of Korea (ROK) dan diakui oleh PBB sebagai pemerintahan yang sah. Sementara itu, Uni Soviet juga mendukung berdirinya pemerintahan di Pyongyang dan menghasilkan kemerdekaan Korea Utara dengan nama resmi Democratic People Republik Korea (DPRK) pada 9 September 1948. (Yukhoon, 2007: 83).
3. Perang Korea (1950-1953)
26
Pasca berdiri sebagai dua negara yang memiliki kedaulatannya masingmasing, hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara diliputi konfrontasi dan ketegangan militer yang merupakan upaya untuk menyatukan kembali kedua Korea. Konfrontasi milite pasca kemerdekaan menemukan titik puncak ketika pecahnya Perang Korea pada tanggal 25 Juni 1950. Ketika itu pasukan Korea Utara secara tiba-tiba menyerang Korea Selatan pada pagi hari dan melintasi perbatasan garis 38 derajat Lintang Utara, yang merupakan garis batas antara wilayah Korea Utara dengan Korea Selatan. Penyerangan tersebut didukung oleh rezim Kim Il Sung yang juga mendapat dukungan dari Uni Soviet dan Cina. (Yukhoon, 2007: 84). Penyerangan inilah yang disebut sebagai awal dari Perang Korea. Perang Korea berlangsung dari 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang ini disebut juga sebagai proxy war (perang yang dimandatkan) antara Amerika Serikat dan sekutunya dari Blok Barat dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan Uni Soviet dari Blok Timur. (Cahyo, 2012: 175-176) Beberapa jam pasca penyerangan, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan melalui Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. PBB pun kemudian menerbitkan resolusi 83 yang merekomendasikan negara anggota untuk memberikan bantuan militer ke Korea Selatan pada 27 Juni 1950. Hal ini membuat wakil menteri luar negeri Uni Soviet menilai Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan. (Cahyo, 2012: 177). Korea Utara kemudian mengajukan perundingan gencatan senjata pada 10 Juli 1951 di Kaesong, wilayah Korea Utara bagian selatan. Negosiasi gencatan senjata pun berlanjut dua tahun kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea).
27
Akhirnya, pada 27 Juli 1953, AS, RRC, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presien Korea Selatan, Syngman Rhee menolak menandatangani namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Walaupun begitu, secara resmi, perang ini belum berakhir. (Cahyo, 2012: 177-178).
B. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum Pemerintahan Roh Moo-hyun
Pasca berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat, Korea Selatan telah mengalami masa krisis dari segi tatanan konstitusional dan ketidakstabilan politik. Sejak 1948 yang merupakan tahun kelahiran konstitusi Korea, sampai 1987, tidak kurang dari enam republik didirikan di Korea. Selama jangka waktu tiga puluh sembilan tahun, konstitusi direvisi sembilan kali, dan Korea dipimpin oleh presiden dengan latar belakang militer selama periode 1961-1992. Baru kemudian pada tahun 1993, Korea dipimpin oleh pemerintahan demokratis di bawah pimpinan sipil, yakni pada masa pemerintahan Kim Young Sam yang mulai menjabat secara resmi pada 23 Februari 1993. (Hoom dan Moon, 2001: 33). Republik pertama di bawah Presiden Syngman Rhee, didirkan pada tahun 1948, dan runtuh pada 19 April 1960 oleh revolusi Mahasiswa. Runtuhnya Syngman Rhee melahirkan republik kedua di bawah Perdana Menteri Chang Myon. Republik kedua (1960-1961) tidak berlangsung lama, namun, berakhir dengan kudeta militer oleh Park Chung Hee pada tanggal 16 Mei 1961. Park Chung Hee kemudian muncul sebagai pemimpin republik ketiga (1961-1973) dan republik keempat (1973-1979). Kemudian republik kelima (1980-1988) dan keenam dipimpin oleh Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo. (Hoom dan Moon, 2001: 34).
28
Baik di bawah kepemimpinan militer maupun sipil, kebijakan reunifikasi Korea Selatan terhadap Korea Utara sejak berdirinya Republik Korea pada tahun 1948, mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk meredam potensi konflik terutama dalam bidang militer dengan Korea Utara yang diharapkan dapat menyatukan kembali Korea(reunifikasi) sebagai tujuan jangka panjang. Hanya saja, instrumen yang digunakan oleh setiap pemerintahan Korea Selatan untuk mencapai tujuan itu berbeda satu sama lain. Pilihan instrumen yang digunakan itu terkat dengan sifat dasar masig-masing pemerintahan. (Yoon dan Mas’oed.2004: 31).
B.1.
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea
Utara di
Bawah
Pemerintahan Militer (1948-1992)
1. Masa pemerintahan Syngman Rhee/ 이승만 (26 Maret 1875 - 19 Juli 1960)
Presiden pertama Korea Selatan yang juga merupakan salah satu tokoh perintis kemerdekaan Korea Selatan ialah Syngman Rhee (1948-1960). Dalam kepemimpinannya di awal kemerdekaan, Syngman Rhee mengusung kebijakan resmi pemerintahannya dengan nama march north for unification, yang secara jelas menerapkan kebijakan unifikasi dengan kekuatan bersenjata dan menolak untuk hidup berdampingan dengan damai besama Korea Utara. (Cha, 2011: 6). Dalam usaha mewujudkan reunifikasi Korea, pemerintahan Presiden Rhee Syngman mempertahakan sifat permusuhan yang tidak dapat didamaikan terhadap Korea Utara dan berusaha mencapai reunifkasi melalui penaklukan terhadap komunisme Korea Utara. Kebijakan reunifikasi Presiden Rhee Syngman itu terkait dengan dua faktor, yaitu rasa antisipasi dan tidak percaya terhadap komunisme serta
29
klaim Korea Selatan untuk menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah di Semenanjung Korea. Klaim ini didasarkan pada Resolusi Dewan Umum PBB, No. 195 (III) tahun 1948 dan tetap dipertahankan oleh pemerintahan-pemerintahan Korea Selatan selanjutnya. Resolusi ini menyatakan bahwa pemerintahan Republik Korea adalah pemerintahan Semenanjung yang sah karena dibentuk melalui pemilu yang sah dan wilayah Republik Korea didiami oleh sebagian besar rakyat Korea. (Yoon dan Mas’oed,2004: 31-32). Instrumen utama yang digunakan oleh Presiden Rhee untuk mencapai tujuan politiknya adalah diplomasi, terutama dengan negara sekutu. Ia mengandalkan kekuatan Amerika Serikat untuk mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan Korea Selatan dan untuk menyatukan kembali dua Korea. Presiden Rhee adalah seorang
internasionalis
yang
mengeluarkan
kebijakanya
didasarkan
pada
kepentingan internal Korea Selatan, karenanya, ia menggunakan kekuatan asing (negara lain) untuk kepentingan bangsanya. (Han, 2001: 110). Dalam pemerintahannya, Presiden Rhee mendesak komandan pasukan Amerika Serikat bahwa Amerika Serikat yang menjaga keamanan di Korea Selatan untuk memanfaatkan monopoli nuklirnya dalam memaksa Soviet untuk menarik diri dari Semenanjung Korea. Ketika Amerika Serikat memasuki negosiasi gencatan senjata (pasca perang Korea), Presiden Rhee dengan terbuka menentang penghentian permusuhan. Rhee menuntut agar Eisenhower (Presiden Amerika Serikat saat itu) untuk menarik pasukan Amerika Serikat dari Semenanjung jika gencatan senjata itu akan ditandatangani, dan juga gertak bahwa Korea Selatan lebih memilih bertarung sendirian melawan Korea Utara, Cina, dan Soviet daripada memilih gencatan senjata. (Cha, 2011: 6).
30
Selain itu, Presiden Rhee melakukan tindakan destruktif yang sengaja dirancang untuk menyalakan kembali permusuhan dengan Korea Utara. Salah satu tindakan Prsiden Rhee yang provokatif terjadi pada bulan Juni 1953 ketika ia secara sepihak mengumumkan adanya 25.000 tawanan perang Korea yang ditawan di Selatan. Tindakan ini merupakan salah satu upaya yang disengaja untuk melemahkan negosiasi gencatan senjata, yakni dengan cara melakukan repatriasi/pengembalian tawanan perang ke negeri asalnya. Repatisi tersebut merupakan titik utama negosiasi. (Cha, 2011: 6). Pada Akhirnya, Perjanjian Gencatan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan terjadi. Namun presiden Rhee menolak untuk menandatangani perjanjian, ia berjanji untuk menghormati perjanjian gencatan senjata tersebut. Kontribusi Presiden Rhee terhadap sejarah politik Korea salah satunya adalah kemampuanya melindungi negaranya dari ancaman komunis selama masa awal kemerdekaan. Sementara itu, ideologi politik yang ia terapkan selama masa pemerintahanya adalah ideologi anti-Jepang dananti-komunis. (Han, 2001: 109). Pemerintahan Presiden Rhee berakhir pada April 1960, ketika ia digulingkan oleh aksi pemberontakan mahasiswa.
2. Masa Perdana Menteri Chang Myon/ 장면 (1960-1961)
Pasca pemberontakan mahasiswa di Korea Selatan yang menggulingkan Presiden Rhee Syngman, pemerintah peraihan Korea dipimpin oleh Ho Chong/ 허정 yang memegang kekuasaan Korea Selatan selama tiga bulan. Di bawah pemerintahannya, Korea Selatan mulai bersedia untuk memperlunak sikapnya mengenai reunifikasi Korea. Meskipun di sisi lain, Ho Chong tetap mempertahankan
31
dua kunci utama politik luar negerinya, yakni berusaha memperbaiki hubungan Korea Selatan dengan Jepang dan negara-negara non-blok, dan bersedia melakukan usaha-usaha untuk mengakhiri pemisahan Semenanjung Korea sesuai dengan prinsip-prinsp resolusi PBB. (Yoon dan Mas’oed, 2004: 34). Pemerintahan peralihan Ho Chong kemudian digantikan oleh kepemimpinan Perdana Menteri Chang Myon yang melanjutkan kebjakan Ho Chong tersebut. Dua hal yang jelas berbeda dari politik luar negeri yang dijalankan oleh Presiden Rhee dan Perdana Menteri Chang Myon adalah bahwa Chang secara eksplisit menyatakan Korea Selatan tidak akan menggunakan kekuatan militer untuk mencapai reunifikasi dan mengembangkan sikap fleksibel teradap negara-negara non-blok. (Yoon dan Mas’oed, 2004: 34). Chang Myon hanya memimpin selama delapan bulan sebagai Perdana Menteri sebelum akhirnya mundur akibat kudeta militer yang dilakukan oleh Jendral Park Chung Hee pada bulan Mei 1961. (Han, 2001: 108). 3. Masa pemerintahan Park Chung-hee/ 박정희 (1963-1979),
Setelah kudeta yang dilakukannya, Jendral Park Chung-hee muncul sebagai Presiden. Presiden Park mengkonsentrasikan semua kekuatan sosial, politik, dan ekonomi Korea Selatan di bawah komandonya. Sebagai mantan militer, Presiden Park tertarik untuk menciptakan stabilitas, membangun perekonomian, dan memperkuat pertahanan nasional. Ia tidak mengenal prinsip-prinsip demokrasi atau cara hidup demokrasi. Menurutnya, cara demokrasi tidak hanya akan membawa kemajuan ekonomi yang lamban tetapi juga pemisahan sosial dan memperlemah pertahanan nasional. Baginya yang berlaku adalah demokrasi ‘terbatas’, membatasi kebebasan sipil, kebebasan bicara dan pers. Ia sangat dekat dengan birokratisme dan
32
kepemimpinan militer ala Jepang pada periode Meiji, yang di bawah kepemimpinan militer yang kuat mendorong modernisasi ekonomi dan pembangunan militer melalui ideologi Yishin atau revitalisasi. (Nahm, 1993: 196). Park Chung-hee membuat pemerintahannya bertumpu pada kekuatan yang berasal dari militer, birokrat, dan teknokrat. Oleh karena itu rezim Korea Selatan di bawah Park Chung-hee disebut Rezim Otoriter Birokratis.Presiden Park termasuk salah seorang peletak dasar strong military-dominated government di Asia. Dalam rangka memenuhi tuntutan untuk mengatasi kebutuhan ekonomi yang mendasar dan mendesak, pemerintahan militer di bawah Park Chung-hee mengambil beberapa langkah penting. Pertama, membuka hubungan diplomasi dengan Jepang untuk mengundang arus perdagangan dan bantuan ekonomi dari negara tersebut. Kedua, mengambil sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan dari Amerika Serikat (terutama untuk mendapatkan dukungan politik dan pengakuannya) serta menerima saran dari kelompok teknokrat untuk menggalakkan usaha-usaha ekspor, terutama ekspor hasil-hasil industri manufaktur. (Jakti, 1995: 114). Sementara, terkait kebijakan reunifikasi dengan Korea Utara, Pemerintahan Park Chung-hee mendasarkanya pada tiga hal, yaitu: 1. Anti komunisme sebagai tujuan nasional terpenting dan terus memperkuat rasa anti komunisme tersebut, 2. Menghormati piagam PBB, melaksanakan perjajian-perjanjian inernasional, dan memperkuat ikatan dengan Amerika Serikat dan negara-negara bebas lainnya,
33
3. Menggunakan
seluruh
tenaga
untuk
membangun
kekuatan
yang
memungkinkan untuk melawan komunisme demi tercapainya unifikasi nasional. (Yoon dan Mas’oed.2004: 35). Ketiga hal tersebut merupakan kelanjutan dari kebijakan luar negeri pemerintahan sebelumya. Hal yang membedakan kebijakan presiden Park dengan kebijkan pemerintaan sebeumnya adalah, strategi reunifikasi yang digunakan oleh Presiden Park menekankan pada pentingnya pelaksanaan pembangunan kekuatan nasional sebagai langkah pendahulan atas hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai reunifikasi. (Yoon dan Mas’oed.2004: 35). Selain itu, menurut Yoon dan Mas’oed (2004: 35), salah satu hal penting yang tercakup dalam politik luar negeri Presiden Park adalah apa yang disebut sebagai good will diplomacy yang diterapkan terhadap negara-negara non-blok dengan tujuan
untuk
meningkatkan
pemahaman
negara-negara
tersebut
terhadap
permasalahan Semenanjung Korea. Di samping kemajuan politik, Presiden Park juga memberikan perhatian pada perkembangan perekonomian Korea Selatan. Laju perekonomian Korea Selatan terus ditingkatkan melalui pembangunan ekonomi. Selain itu, peningkatan hubungan dengan Amerika Serikat juga dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan militer. (Yoon dan Mas’oed.2004: 197). Pemerintahan Park mengejar laju industrialisasi yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama tahun 1960-an dan 1970-an, yang sering dijuluki sebagai ‘Keajaiban Sungai Hangang”. Tapi di sisi lain, kekuasaannya itu sejalan dengan pembatasan yang ketat
34
terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil rakyat. (Pelayanan Kebudayaan, 2008: 27). Menurut Ki-shik S.J Han (2001: 117), Pemerintahan Park Chung-hee yang dijalankan selama delapan belas tahun adalah pemerintahan yang sukses dalam hal pertahanan nasional, kesejahteraan ekonomi, dan perkembangan national pride. Presiden Park tewas pada penembakan yang terjadi pada Oktober 1979.
4. Masa pemerintahan Chun Doo-hwan/전두환 (1980-1988)
Setelah pembunuhan Presiden Park, Korea Selatan mengalami periode transisi di bawah darurat perang. Perdana menteri, Choi Kyu-hah/최규하 (1979-1980) dilantik sebagai Presiden sementara dan mengundurkan diri pada 1980. (Pelayanan Kebudayaan, 2008: 27).
Setelah mundurnya Choi Kyu-hah, Chun Doo-hwan/전두환 (1980-1988), Kepala Pertahanan Komando Korea Selatan mengambil alih kekuasaan. Menurut Kishik S.J. Han (2001: 126) terdapat kontribusi yang diberikan oleh pemerintah Presiden Chun, antara lain adalah: pertama, kekacauan politik setelah pembunuhan Presiden Park berhasil diredam dan stabilitas politik Korea Selatan kembali terjaga. Kedua, perdagangan Korea Selatan pada saat itu berhasil mencatat surplus untuk pertama kalinya dalam sejarah Korea, ia memegang periode pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan melengkapi dan mendorong kemajuan industri Korea yang telah diawali sejak masa pemerintahan Presiden Park. Ketiga, Presiden Chun mampu memperluas diplomasi Korea Selatan serta meningkatkan hubungan dengan Negara lain. Salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan Korea Selatan menjadi 35
tuan rumah Asian Games 1986 dan Olimpiade ke-24 pada tahun 1988. Presiden Chun mundur setelah tujuh tahun masa jabatannya dan melakukan transisi kekuasaan secara damai dan tanpa kudeta.
4. Masa pemerintahan Roh Tae-woo/노태우 (1988-1993)
Kekuatan ekonomi Korea Selatan semakin berkembang pada tahun 1980-an, dan hal tersebut muncul sebagai salah satu instrumen diplomatik dalam kebijakan terhadap Korea Utara yang dikenal dengan istilah Nordpolitik dari pemerintahan Presiden Roh Tae Woo. Kebijakan di masa pemerintahan Roh Tae Woo berfokus pada pendekatan Korea Selatan dengan sekutu komunis Korea Utara agar mau membuka hubungan dalam bidang ekonomi dan politik. Nordpolitik berhasil membangun hubungan antara Korea Selatan dan negara-negara komunis di Eropa Timur, termasuk Uni Soviet yang pada akhirnya mengakui Korea Selatan pada tahun 1990. Sementara itu untuk Korea Utara, Presiden Roh mengajukan visi antar-Korea berupa kerjasama yang merupakan langkah menuju unifikasi menjadi Masyarakat Nasional Korea (Korean National Community). (Armstrong, 2005: 6). Usulan Utama Korea Selatan terhadap Korea Utara terkait unifikasi, yang diusulkan Roh adalah adalah konfederasi/negara perserikatan dari dua sistem politik yang ada di Semenanjung Korea, pertama kali dijelaskan pada tahun 1980. Korea Utara telah menunjukan fleksibilitasnya dalam menjalankan usulan Presiden Roh untuk konfederasi dan bersedia untuk melihat konfederasi bukan sebagai tujuan akhir penyatuan (unifikasi) tetapi merupakan institusi transisi/peralihan dalam upaya pemersatuan dua ‘pemerintah daerah’ (Korea Utara dan Korea Selatan). (Armstrong, 2005: 7).
36
B.2.
Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea
Utara di
Bawah
Pemerintahan Sipil (1992-2002)
1.Masa pemerintahan Kim Young-sam/김영삼 (1993-1998) Setalah Uni Soviet dan blok Eropa Timur runtuh pada akhir tahun 80-an sampai awal tahun 90-an, sikap Korea Utara jauh lebih keras daripada masa-masa sebelumnya di mana Korea Utara masih mendapatkan bantuan dan dukungan besar dari masyarakat sosialis internasional. Menyadari kedaan Korea Utara khususnya keadaan perekonomian nasionalnya yang semakin memburuk, pemerintah Kim Young Sam mencoba mendekati Korea Utara seperti halnya Jerman Barat terhadap Jerman Timur. Namun usaha pemerintahan Kim Young Sam itu justru mengarahkan Korea Utara menuju ke arah yang lebih keras lagi, memperkuat kekuatan militer sambil mengembangkan kekuatan senjata modern. (Yoon dan Mas’oed, 2010: 167).
2. Masa pemerintahan Kim Dae-jung/김대중 (1998-2003)
Pemerintah Kim Dae-jung diresmikan pada Februari 1998 ditandai dengan peralihan kekuasaan politik secara damai yang terjadi pertama kali di Korea Selatan. Pada
awal
kepemimpinannya,
pemerintahan
Kim
Dae-jung
meluncurkan
kebijakannya yang diberi nama ‘Sunshine Policy’, atau kebijakan untuk melakukan kerjasama, mengendurkan ketegangan militer, melakukan pertukaran dan kerjasama, serta membangun perdamaian dengan membangun kepercayaan bersama dengan Korea Utara. (Moon, 2012: 1). Kebijakan pemerintah Kim Dae-jung terhadap Korea Utara secara resmi bernama the Policy of Reconciliation and Co-operation, tapi
37
presiden Kim secara pribadi lebih suka menggunakan Sunshine Policy. (Moon, 2012: 17).
Kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan Kim Dae-jung pada tahun 1998. Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea Utara. Kedua, prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Ketiga, prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara Korea SelatanKorea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi tahun 1991. (Moon,2012: 21). Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian
itu, Seoul dan
Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama dalam bidang keamanan. (Moon, 2000: 6).
Melalui kebijakannya, pemerintahan presiden Kim Dae-jung menekankan pentingnya keadaan kebersamaan, perdamaian, dan peningkatan kerjasama dengan Korea Utara daripada masa pemerintahan sebelumnya. Melalui kebijakannya, pemerintah Kim Dae Jung memilih kebijakan penyatuan Korea secara de facto melalui lebih banyak kontak dan kerjasama antara Utara dan Selatan daripada penyatuan sistem dan hukum (de jure). (Yoon dan Mas’oed, 2004: 41). Menurut Geetha Govindasamy (2012: 2), reunifikasi kedua Korea merupakan tujuan akhir Kim Dae-jung. Namun ia mengerti bahwa reunifikasi sulit direalisaikan tanpa mengakhiri kebijakan ala Perang Dingin yang diadaptasi oleh pemerintahan sebelumnya. Kim percaya bahwa kebijakan bermusuhan dan blokade hanya
38
memperburuk situasi dan mengintensifkan kemungkinan konfrontasi militer antara kedua Korea. Sebagai alternatif, Kim Dae-jung merancang formula unifikasi tiga tahap yang mencakup ko-eksistensi damai, pertukaran damai antar-Korea dan unifikasi damai. Hal tersebut senada dengan apa yang dituliskan oleh Chung-in Moon (2012: 22), bahwa Presiden Kim merumuskan konsep perdamaian ke dalam tiga prinsip utama,
yakni:
hidup
berdampingan
secara
damai/peaceful
co-existence
(pembangunan perdamaian dengan mengakhiri hubungan permusuhan, perungan penggunaan senjata, dan pengawasan bersama serta membangun rezim keamanan dan kerjasama multilateral); pertukaran perdamaian/peaceful exchange (restorasi identitas nasional bersama melalui interaksi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan,
serta
perluasan
kepentingan
bersama
melalui
peningkatan
pertukaran/kerjasama dalam bidang ekonomi ekonomi); dan unifikasi damai/ peaceful unification (peningkatan unifikasi dan penolakan terhadap unifikasi dengan kekuatan militer maupun tindak manipulasi). Sunshine policy dapat dilihat sebagai bentuk dari tiga prinsip perdamaian tersebut. Semua kebijakan, baik kebijakan publik, domestik, maupun luar negeri merupakan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.Tujuan tersebut menjadi dasar perumusan kebijakan dan pengarah kebijakan. Menurut Chung-In Moon (2012: 21-25), dasar perumusan. Sunshine policy ditujuan untuk mencapai lima tujuan besar, yakni: Tujuan pertama adalah penolakan mutlak dari setiap perang atau konflik militer besar di semenanjung Korea. Presiden Kim berulang kali menyatakan bahwa
39
tidak ada yang bisa membenarkan perang dan bahwa hal itu harus dicegah dengan biaya apapun. Perang bisa membawa sebuah unifikasi nasional, tetapi penyatuan dicapai melalui cara-cara kekerasan kemungkinan akan menelurkan benih kebencian dan menetaskan divisi nasional lainnya. Tujuan kedua adalah untuk memperoleh unifikasi secara de facto. Sunshine Policy mengasumsikan bahwa de jure atau unifikasi kelembagan melalui musyawarah dan referendum nasional akan memakan waktu lebih lama. Menyadari kendala yang realistis, pemerintah Kim Dae-jung bertujuan untuk menciptakan tahap awal unifikasi (quasi-unification) untuk mengaktifkan pertukaran pekerja, barang, dan jasa demi mewujudkan pembangunan kepercayaan bersama dan pengawasan senjata secara bersama-sama. Tujuan ketiga yang mendasari Sunshine Policy adalah keyakinan Kim Daejung bahwa kebijakan keterlibatan dan akomodasi (policy of engagement and accommodation) bisa membawa perubahan di Korea Utara, dan bahwa transformasi menjadi keadaan normal bisa menawarkan momentum menentukan bagi koeksistensi damai di semenanjung Korea. Tujuan keempat adalah sentralitas Korea Selatan dalam mengelola masalah Korea dan lingkungan keamanan eksternal.Sunshine Policy mengakui pentingnya Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang dalam mempengaruhi masa depan semenanjung Korea, namun membantah determinisme tradisional dalam menilai keseimbangan kekuasaan ini atau tingkat pengaruh mereka. Tujuan terakhir adalah Kim Dae Jung mencoba untuk mencapai konsensus dalam negeri dan dukungan politik bipartisan dalam melaksanakan Sunshine Policy.
40
Presiden Kim menyadari bahwa di bawah sebuah pemerintahan yang demokratis, tidak mudah untuk membangun dukungan politik bipartisan untuk kebijakan apapun, baik itu asing maupun domestik. Namun, Presiden Kim percaya bahwa sejauh kebijakan terhadap Korea Utara dan unifikasi nasional yang bersangkutan dapat membentuk konsensus dalam negeri, memenangkan dukungan bipartisan bukan merupakan hal yang mustahil. (Moon, 2012: 21-25)
Selain itu, ciri lain kebijakan pemerintah Kim Dae-jung adalah membangun kebijakan yang bersifat timbal balik (reciprocity) dan fleksibel terhadap Korea Utara. Timbal balik berarti bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara tidak perlu diberi balasan atau ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan), namun Korea Utara hanya perlu meningkatkan hubungan baik dengan Korea Selatan. Selain itu, sekalipun nuklir Korea Utara telah diakui sebagai salah satu masalah utama, namun secara resmi, hal tersebut dipisahkan dari kebutuhan untuk memperbaiki hubungan antar-Korea. Pemerintah Kim tidak memprioritaskan kebijakannya pada masalah senjata nuklir Korea Utara. Sebaliknya, pemerintah Kim menekankan kebijakannya pada kebutuhan ekonomi dan kemanusiaan Korea Utara. (Govindasamy, 2012: 5).
Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Daejung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme Gunung Kumgang dan proyek Komplek Industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu
41
juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea (Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4).
42
BAB III THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY
A.
Prinsip dan Tujuan
Roh Moo-hyun secara resmi menjadi presiden Korea Selatan setelah dilantik pada tanggal 25 Februari 2003. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Roh Moohyun menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pendahulunya, yakni Kim Dae-jung, dan juga untuk memperluas cakupan dan konten dari Sunshine Policy tersebut dalam rangka membangun sebuah ‘struktur perdamaian’ pada semenanjung Korea. Kebijakan tersebut diberi nama the Policy of Peace and Prosperity. (Kim, 2006: 37). Pemerintahan Roh Moo-hyun dikenal juga dengan nama Participatory Government. (The Ministry of National Defense of the ROK, 2003: 34). The Policy of Peace and Prosperity didasarkan pada empat prinsip dasar, yakni: (1) menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan semua masalah yang tertunda; (2) membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan timbal balik (upholding reciprocity); (3) mempromosikan kerjasama internasional pada prinsip-prinsip partisipasi langsung dan timbal-balik; dan (4) meningkatkan transparansi, memperluas partisipasi warga, dan mengamankan dukungan bipartisan (bipartisan support). (In-duk, 2003: 5-6). Menurut Ko Jae-nam (2004: 7) prinsip pertama dari kebijakan Roh Moohyun, yakni menyelesaikan masalah melalui dialog, muncul karena adanya kemungkinan untuk timbulnya konflik bersenjata di Semenanjung Korea yang
43
diakibatkan oleh ketidakstabilan rezim militer di Korea Utara dan juga gencatan senjata yang masih belum usai antara dua Korea. Maka dari itu, diperlukan penyelesaian secara damai melalui dialog. Prinsip kedua adalah membangun kepercayaan satu sama lain antara dua Korea. Hal tersebut dilakukan supaya meningkatkan hubungan dan mendorong kerjasama yang saling menyehatkan/menguntungkan (healthy mutual cooperation) dengan Korea Utara dan negara-negara di sekitarnya. (Jae-nam, 2004: 7). Prinsip ketiga adalah meningkatkan kerjasama internasional berdasarkan prinsip ‘parties directly concerned’, yakni pembagunan rezim perdamaian di semenanjung Korea serta menciptakan komunitas ekonomi Utara-Selatan (SouthNorth Korea economic community), atas dasar ini, Korea Utara akan secara alami bekerjasama dengan komunitas internasional dan berkontribusi bagi perdamaian dan kemakmuran di kawasan Asia Timur. Prinsip terakhir adalah adanya perluasan partisipasi masyarakat. Dalam proses melaksanakan the Policy of Peace and Prosperity, Korea menjamin transparansi eksternal dalam proses pembuatan kebijakan. (Jae-nam, 2004: 7). Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of Korea (2003: 32), dalam jangka pendek prinsip-prinsip tersebut digunakan sebagai pedoman dalam bekerjasama dengan negara tetangga untuk membawa resolusi perdamaian pada pemasalahan nuklir Korea Utara. Atas dasar itu, tujuan jangka menengah adalah meningkatkan kerjasama substantif, mewujudkan kepercayaan militer antara dua Korea dan membangun rezim perdamaian di Semenanjung Korea dengan mendukung normalisasi hubungan antara Korea Utara dengan Amerika
44
Serikat dan Jepang. Hal tersebut menjadi permulaan dari tujuan jangka panjang, yakni untuk membentuk kemakmuran umum/bersama, membangun dasar untuk reunifikasi dan membangun semenanjung Korea sebagai pusat ekonomi Asia Timur. Dalam mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Roh Moo-hyun memiliki tiga tahap pembangunan, yakni; pada tahap pertama, Korea Selatan berusaha memfasilitasi perdamaian di semenanjung Korea. Pada tahap kedua, Korea Selatan berupaya untuk mengembangkan lebih lanjut kerjasama antar-Korea sebagai dasar dari rezim perdamaian. Pada tahap ketiga, adalah meluncurkan sebuah rezim perdamaian di Korea. (Kim, 2006: 37). Tiga tahapan tersebut secara lebih detil ditampilkan dalam bagan di bawah ini. Tabel II. A. 1 Implementation Strategy by Stages for Establishment of a Peace Regime on the Korean Peninsula Stage 1: Resolution of the North Korean Nuclear Issues and Promotion of Peace
Endeavor to create a breakthrough for a peaceful resolution of the North Korean nuclear issue Continue to promote reconciliation and cooperation between South and North Korea and regularize inter-Korean military talks Provide a foundation for the firm establishment of peace through inter-Korean summits and other forums Create an environment for peace and cooperation in Northeast Asia on the basis of strengthened diplomatic capabilities Reach an agreement on the peaceful resolution of the North Korean nuclear issue and missile issues
Stage 2: Expansion of Inter-Korean Cooperation and Laying the Foundation for a Durable Peace Regime on the Korean Peninsula
Undertake concrete measures for the implementation of matters agreed upon for the resolution of the North Korean nuclear and missile issues Deepen substantive cooperation and promote military confidence-building measures between the South and the North Propose and promote an initiative for a forum for peace and cooperation in Northeast Asia
45
Stage 3: Conclusion of an Inter-Korean Peace Agreement and Creation of a Durable Peace Regime
Conclude a South-North Korea peace agreement and secure guarantees for it Take the various necessary steps following the transition to a peace regime Promote the formation of an inter-Korean economic community and the reinforcement of operational arms control Establish a forum for peace and cooperation in Northeast Asia
Sumber :Ministry of Unification, Policy of Peace and Prosperity of the Participatory Government, (March 2004), hal. 1 dalam Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South KoreaRussia Cooperation.East Asian Review.Vol.16, No. 3, Auntum 2004 hal. 6
Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of Korea (2003: 34), tujuan dari participatory government yang dipimpin oleh Roh Moo-hyun adalah untuk mendapatkan hal-hal berikut, yakni: demokrasi dengan masyarakat/ democracy with the people, pembangunan masyarakat yang seimbang/a society of balanced development, and era perdamaian dan kesejahteraan di Asia Timur/era of peace and prosperity in northeast Asia. Tujuan-tujuan tersebut tergambar dalam bagan di bawah ini.
Gambar III. 2 Bagan Tujuan dari Participatory Government
Sumber: The ministry of National Defense of the republic of Korea. 2003. Participatory Government Defense Policy, hal. 34
46
The Policy of Peace and Prosperity secara umum bertujuan untuk membangun perdamaian dan kemakmuran di Timur Laut Asia berdasarkan pada penyelesaian secara damai terhadap permasalahan Korea Utara dan membangun komunitas ekonomi antar Korea (inter-Korean economic community). Kebijakan tersebut merupakan strategi pembangunan nasional yang meliputi permasalahan reunifikasi, kebijakan luar negeri, dan keamanan. Sehingga, bukan hanya menekankan pada pengembangan sektor ekonomi, tapi juga sektor militer dan keamanan. Sehingga, dengan kata lain, kebijakan tersebut melakukan pendekatan keseimbangan antara perdamaian dan kesejahteraan. (The Ministry of National Defense of the ROK, 2003: 31-32). Dengan demikian, target utama dari The Policy of Peace and Prosperity pertama adalah untuk mempromosikan perdamaian di Semenanjung Korea, yang berarti secara damai menyelesaikan dan menekan isu nuklir Korea Utara, sementara pada saat yang sama, mengatasi konflik antara Utara-Selatan yang masih berlangsung. Atas dasar ini, tujuan berikutnya adalah untuk mendirikan sebuah rezim perdamaian di Semenanjung Korea dengan meningkatkan kerjasama dan membangun kepercayaan militer antara dua Korea. Tujuan kedua adalah membentuk kesejahteraan bersama. Jika integrasi ekonomi Korea Selatan dan Korea Utara direalisasikan,
maka
akan
membuka
kemungkinan
bahwa
perekonomian
semenanjung Korea akan dapat bersatu. Kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun adalah visi untuk meletakkan dasar bagi unifikasi damai, serta sebagai dasar untuk mengembangkan pusat ekonomi Asia Timur Laut dengan membawa perdamaian ke semenanjung Korea dan berusaha mencapai kesejahteraan bersama kedua Korea. (Jae-nam, 2004: 5).
47
B.
Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity
Negara sebagai aktor internasional dalam melakukan interaksi dengan sesama negara maupun sistem global, memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana perilaku kebijakan luar negeri mereka diarahkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara membutuhkan sarana atau dalam istilah hubungan internasional dikenal dengan istilah instrumen. Dalam the Policy of Peace and Prosperity yang diterapkan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara juga menggunakan beberapa instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan Korea Selatan melalui kebijakan tersebut. Instrumen-instrumen yang digunakan antara lain ialah diplomasi, pemberian bantuan, dan kerjasama.
1.
Diplomasi
Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri menurut John Baylis dan Steve Smith (2005: 398) mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Dalam The Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara, diplomasi yang digunakan antara lain mencakup dua hal, yakni diplomasi ekonomi dan perdagangan serta diplomasi sosial-budaya.
a. Diplomasi Ekonomi dan Perdagangan (Economic and Trade Diplomacy)
48
Pemerintah Roh Moo-hyun berupaya meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi melalui penerapan kebijakannya dengan tujuan untuk memicu partisipasi aktif Korea Utara. Dengan demikian, akan tercipta hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan antar-Korea. Hal tersebut akan mempermudah proses pencapaian tujuan dari kebijakan Roh Moo-hyun. Pemerintah Roh percaya bahwa peningkatan dalam rekonsiliasi dan kerjasama antara Korea Selatan dan Korea Utara penting untuk mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea dan untuk penyelesaian akhir dari masalah nuklir. Sehingga, pemerintahan Roh berupaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar Korea dengan mendukung proyek kerjasama ekonomi utama, yakni pembangunan Kaesong Industrial Complex (KIC) serta pengembangan lanjutan dari Mount Kumgang Torism Zone. (Kim, 2006: 38-39). 1. Kaesong Industrial Complex (KIC) Komplek Industri Kaesong/Kaesong Industrial Complex (KIC) dihasilkan dari inisiatif yang dipimpin oleh Hyundai Group (prusahaan swasta Korea Selatan) pada awal tahun 1998 yang bertepatan dengan Sunshine Policy yang sedang diterapkan oleh pemerintah terhadap Korea Selatan. KIC terletak sekitar 106 km sebelah tenggara dari Pyongyang dan 43 km sebelah utara dari Seoul, tepat di seberang Zona Demiliterisasi (DMZ) di Korea Utara. Tujuan pembangunan KIC adalah mengembangkan komplek industri yang mampu menampung perusahaan Korea Selatan untuk menghasilkan produk dan menggunakan tenaga kerja Korea Utara. Disamping itu juga adalah untuk memberikan peluang bagi Korea Utara untuk
49
meliberalisasi dan reformasi ekonomi, dan meredakan ketegangan di DMZ. (Manyin dan Nanto, 2011: 5). Gambar III.3. Peta Kaesong
Sumber:Manyin, Mark E. and Dick KNanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research Service. Hal, 2.
Setelah berbagai perbedaan pendapat pada permasalahan seperti upah pekerja Korea Utara dan harga lahan, kedua Korea akhirnya mampu memutuskan kesepakatan secara resmi pada April 2004 (pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun di Korea Selatan) ketika Hyundai Group (dari Korea Selatan) dan Komite Perdamaian Asia Pasifik (Asia-Pacific Peace Committee/APPC) dari Korea Utara membentuk kesepakatan pembangunan KIC tersebut. (Kim, 2006: 41).
Meskipun diawali sebagai komplek perusahaan swasta, namun pemerintah Korea Selatan turut terlibat dalam proyek tersebut dengan cara memberikan intensif tertentu kepada perusahaan Korea Selatan yang beroperasi di Kaesong. Disamping
50
itu, KIC juga memiliki beberapa keistimewaan lainnya seperti: zona bebas bea, tidak ada pembatasan pada penggunaan mata uang asing atau kartu kredit, tidak membutuhkan visa untuk keluar-masuk area, hak kepemilikan poperti dijamin oleh pemerintah, serta pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warga Korea Selatan di KIC tidak akan diadili di Korea Utara, melainkan di Korea Selatan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Korea Selatan. (Manyin dan Nanto, 2011: 5-6).
Terkait perkembangan KIC di masa pemerintahan Roh Moo-hyun dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. III.B.1 Key Statistics for the Kaesong Industrial Complex End 2005 11
End 2006 15
End 2007 65
6,000
11,000
23,000
Approx. No. of South Korean Workers
n.a
700
800
Annual Production Value Exports to 3rd Countries (i.e., not South Korea)
$15 mil.
$74 mil.
$185 mil.
–
$20 mil.
$40 mil.
No. of South Korean Manufacturing Firms Approx. No. of North Korean Workers
Sumber: South Korean Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K Nanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research Service. Hal, 1
Dari tabel tersebut, dijelaskan bahwa perusahaan swasta Korea Selatan yang beroperasi di KIC mengalami peningkatan sejak tahun pertama produksi (2005). Dari semula 11 perusahaan, kemudian meningkat menjadi 15 perusahan pada tahun 2006, dan meningkat drastik pada tahun 2007 menjadi 65 perusahaan. Peningkatan jumlah perusahaan yang beroperasi di KIC sejalan dengan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja Korea Utara di KIC meningkat sejak tahun 2005 yang berjumlah 51
6.000 orang, menjadi 11.000 orang pada tahun 2006, dan 23.000 orang pada tahun 2007. Jumlah tenaga kerja Korea Utara yang bekerja di KIC jumlahnya lebih dari sepuluh kali lipat dari pekerja Korea Selatan. Pada tahun 2006, tenaga kerja Korea Selatan hanya berjumlah 700 orang, dan hanya bertambah 100 orang pada tahun berikutnya. Dengan jumlah perusahaan dan pekerja di KIC tersebut, nilai produksi tahunan yang diterima mencapai $15 juta pada tahun awal produksi, kemudian meningkat menjadi $74 juta pada tahun 2006, dan $185 juta pada tahun berikutnya. Sedangkan total ekspor ke negara di luar Korea Selatan adalah sebesar $20 juta pada tahun 2006, dan $40 juta pada tahun 2007. Sejak beroperasi pada tahun 2005, jumlah produksi pada perusahaanperusahaan yang beroperasi di KIC tersebut mengalami peningkatan, Hal tersebut tergambar lebih jelas dalam tabel di bawah ini. Tabel. III.B.2 Production by Category in the Kaesong Industrial Complex (US $1,000) Textiles and Clothing
Chemical Products
Metals and Machinery
Electric and Electronic Products
Total
2005
6,780
1,768
5,250
1,108
14,906
2006
27,793
10,900
20,853
14,191
73,737
2007
85,543
18,262
41,947
39,027
184,779
Sumber: ROK, Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K Nanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research Service. Hal,8
52
Menurut tabel diatas, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di KIC hingga tahun 2007 antara lain bergerak di bidang tekstik dan pakaian, produk kimia, logam dan mesin, serta produk listrik dan elektronik. Jenis produk yang lebih banyak menghasilkan keuntungan dibanding jenis produk lainnya yang diproduksi di KIC adalah produksi tektil dan pakaian. Pada tahun 2005, jumlahnya mencapai $6,7 juta. Kemudian mengalami peningkatan lebih dari empat kali lipat pada tahun berikutnya yang mencapai $27,7 juta, dan $85,5 juta pada tahun 2007. Menurut Mark E Manyin dan Dick K Nanto (2011:8), semua produk yang dibuat di KIC yang dikirim ke Korea Selatan untuk dijual di sana atau untuk ekspor. Negara tujuan ekspor antara lain adalah Uni Eropa, Rusia, dan China.
2. Mountain Kumgang Tourism zone Menurut situs The National Committee on North Korea advances (ncnk.org diakses pada 20 Juli 2013), dijelaskan bahwa proyek pariwisata Gunung Kumgang (Mt. Kumgang tourism zone) pertama kali juga digagas oleh Hyundai Grup pada masa pemerintahan Kim Dae-jung. Pada tanggal 29 Oktober 1998, Hyundai Grup dan Korea Utara Komite Perdamaian Asia-Pasifik (Asia-Pacific Peace Committee) menandatangani perjanjian proyek pariwisata Gunung Kumgang. Kapal pesiar pertama berangkat ke Gunung Kumgang pada 18 November 1998. Kemudian
di
masa
pemerintahan
Roh
Moo-hyun,
Hyundai
Grup
mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk merevitalisasi proyek pariwisata Gunung Kumgang tersebut. Setelah debutnya pada tahun 1998, proyek pariwisata Gunung Kumgang mengalami stagnansi karena adanya penurunan permintaan dan popularitas program tur. Namun proyek pariwisata gunung Kumgang tersebut
53
menunjukan tanda-tanda revitalisasi setelah Korea Utara setuju untuk menerima permintaan Korea Selatan untuk membuat program tur darat ke Gunung Kumgang yang dilakukan pada bulan September 2003. Ketersediaan transportasi darat dari Korea Selatan ke gunung Kumgang menghidupkan kembali popularitas proyek pariwisata gunung Kumgang dan membuatnya layak secara finansial. (Kim, 2006: 40). Tabel III.B.3 Number of South Korean Tourists Visiting Mount Kumgang Year
Number of Tourists
By ship
By bus/private car
1998
10,554
10,554
-
1999
148,074
2000
213,009
213,009
-
2001
57,879
57,879
-
2002
84,727
84,727
-
2003
74,334
39,902
34,432
2004
268,420
449
267,971
2005
298,247
-
298,247
2006
243,446
-
243,446
2007
345,006
-
345,006
2008
62,405
-
62,405
Total
1,797,101
554,594
1,242,507
148,074
-
Sumber: Ministry of Unification, 2011 Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean relations: Humanitarian Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy : An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1, June 2012. Hal, 6
54
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah warga Korea Selatan yang mengunjungi Gunung Kumgang antara tahun 1998 hingga 2002 (ketika masa pemerintahan Kim Dae-jung) terbesar terjadi pada tahun 2000, yakni sebanyak 213,009 orang pengunjung. Kunjungan yang dilakukan pun hanya terbatas melalui jalur air (dengan kapal laut). Namun adanya pembangunan transportasi darat ke Gunung Kumgang di masa pemerintahan Roh Moo-hyun, membuat jumlah pengunjung Gunung Kumgang meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2007, yakni sebanyak 345,006. .Adanya akses darat menuju gunung Kumgang membuat akses laut kurang diminati (pada tahun 2004, hanya terdapar 449 pengunjung yang menggunakan akses laut), sehingga membuat akses laut menuju Gunung Kumgang tidak lagi digunakan sejak tahun 2005.
b. Socio-cultural Diplomacy
Selain melalui kerjasama ekonomi dan perdagangan, the Policy of Peace and Prosperity juga diarahkan untuk meningkatkan hubungan baik dengan Korea Utara melalui diplomasi sosial dan budaya. Salah satunya adalah melalui pertemuan keluarga yang terpisah.
1. Pertemuan Keluarga yang Terpisah
Adanya pembagian Korea menjadi dua wilayah negara yang berbeda pasca Perang Dunia II bukan hanya memisahkan kedua wilayah, yang semula satu, secara teritori dan politik, tapi juga turut memisahkan banyak warga Korea itu sendiri. Sejak pembagian Korea menjadi dua wilayah negara, banyak keluarga yang harus terpisah ke dua negara yang berbeda. Hal tersebut melatarbelakangi pemerintah
55
Korea Selatan untuk melakukan pertemuan keluarga yang terpisah antara warga Korea Selatan dan Korea Utara. Menurut Geetha Govindasamy (2012: 8), pertemuan keluarga yang terpisah pertama kali dilakukan pada tahun 1985. Kemudian pertemuan tersebut dilakukan kembali pasca terjadinya Korean Summit pada tahun 2000 (pada masa pemerintahan Kim Dae-jung), dan terus dilanjutkan pada pemerintahan Roh Moo-hyun. Pertemuan kembali keluarga yang terpisah tersebut dilakukan melalui dua metode, yakni tatap muka dan konferensi melalui video. Pertemuan ini biasanya diadakan di markas Palang Merah Korea Selatan (South Korean Red Cross headquarters), daerah wisata Gunung Kumgang atau pusat reuni (reunion centers) di Korea Utara. (Govindasamy, 2012: 8). Jumlah keluarga yang dapat kembali dipertemukan sejak tahun 1985 dan 2000-2007 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel III.B.4 Number of families involved in face to face family reunions and video conferences (1985, 2000-2007) Method of
Families from South
Families from North
Reunion
Korea
Korea
Total
Face to face
1.683
1.695
3.378
Video conferences
279
278
557
Total
1.962
1.973
3.935
Sumber : Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean relations: Humanitarian Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy : An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1, June 2012. Hal, 8
56
Dalam tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah keluarga yang berhasil ditemukan melalui metode tatap muka (baik keluarga dari Korea Selatan maupun Korea Utara) jumlahnya adalah 3.378 keluarga. Sementara itu, jumlah keluarga yang berhasil dipertemukan kembali melalui metode konferensi video jauh lebih sedikit, yaitu 557 keluarga. Dengan demikian, jumlah keseluruhan keluarga yang dapat dipertemukan kembali sepanjang tahun 1985, 2000-2007 adalah 3.935 keluarga.
2. Pawai Bersama pada Olimpiade
Pasca Korean Summit tahun 2000, dunia internasional memberikan pengakan terhadap pentingnya pertemuan untuk merundingkan perdamaian di semenanjung Korea. Hal tersebut dimunculkan dalam bentuk penghargaan berupa Peace Prize Nobel yang diberikan kepada Kim Dae-jung pada tahun yang sama. Sementara itu, di dalam negeri Korea Selatan, menurut Geetha Govindasamy (2012: 9), Korean Summit membawa kesadaran bagi masyarakat bahwa mereka berbagi kebangsaan, etnis, bahasa, dan budaya yang sama dengan Korea Utara. Hal tersebut salah satunya memunculkan gerakan simbolik dalam bidang olahraga. Tiga bulan setelah Korean Summit berlangsung, para atlet dan pejabat Korea Utara melakukan pawai bersama dengan para atlet dan pejabat Korea Selatan pada upacara pembukaan Olimpiade Sydney tahun 2000. Gerakan simbolik tersebut tidak hanya menunjukkan kekerabatan, namun juga meredam persepsi Korea Utara sebagai ancaman. Pawai bersama yang dilakukan oleh para atlet dan pejabat Korea Utara dengan korea Selatan juga kembali terjadi pada Olimpiade Musim Panas tahun 2004 di Athena dan Olimpiade Musim Dingin tahun 2006 di Turin, ketika masa pemerintahan Roh Moohyun di Korea Selatan.
57
2.
Pemberian Bantuan
Sejak tahun 1995, yakni masa pemerintahan Kim Young Sam, pemerintah Korea Selatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah mengirimkan beberapa bantuan kepada Korea Utara dalam bentuk sumbangan, makanan dan pupuk. Kemudian pada masa Kim Dae-jung, hingga Roh Moo-hyun, jumlah total bantuan yang diberikan oleh pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara mengalami peningkatan. (Govindasamy, 2012: 7-8). Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas dalam tabel di bawah ini. Tabel III.B.5 South Korea’s Humanitarian Aid to North Korea (in US$ million) Sector
Kim Young Sam
Kim Dae Jung
Roh Moo Hyun
Total
1993-1998
1998-2003
2003-2008
Government
26,172
49,977
140,253
216,402
Private
2,236
19,125
43,246
64,607
Total
28,408
69,102
183,500
281,010
Sumber : Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean relations: Humanitarian Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy : An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1, June 2012. Hal, 8.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara sejak masa pemerintahan Kim Young Sam dilakukan melalui sektor pemerintahan maupun swata/LSM. Jumlah bantuan kemanusaiaan baik yang diberikan melalui pemerintah maupun swasta mengalami peningkatan drastis pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun, yakni dari
58
$28,408 pada masa pemerintahan Kim Yong Sam dan $69,102 pada masa pemerintahan Kim Dae Jung, menjadi $183,500 pada masa pemerintahan Roh Moo Hyun. Dari total tersebut, sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah, yakni sebesar $140,253. Menurut Govindasamy (2012: 7-8), pemberian bantuan yang diberikan tersebut merupakan salah satu intrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity. Sementara itu, menurut Hong Nack, Kim (2006: 38-39) peningkatan pemberian bantaun ekonomi dan kemanusiaan yang dilakukan Korea Selatan terhadap Korea Utara dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada Semenanjung Korea. C.
Six-Party Talks Pembicaraan Enam Pihak atau Six-Party Talks merupakan salah satu
instrumen yang juga dimanfaatkan oleh pemerintah Roh Moo-hyun dalan menerapkan kebijakannya. Munculnya Six-Party Talks tidak dapat dipisahkan oleh latar belakang pembentukannya. Six-Party Talks hadir setelah berbagai rangkaian kejadian terjadi dalam dinamika hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat terutama mengenai keberlangsungan Agreed Framework 1994 pasca pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat pada tahun 2001 yang turut membawa perubahan bagi kebijakan terhadap Korea Utara. Hubungan Korea Utara-Amerika Serikat tersebut juga turut menyeret kepentingan Korea Selatan, sebagai negara tetangga, untuk terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, penulis memulai pembahas mengenai Six-Party Talks sejak pembentukan Agreed Framework 1994.
59
1.
Agreed Framework 1994 dan Nuklir Korea Utara
Pada tanggal 23 September hingga 21 Oktober 1994 berlangsung perbincangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat di Jenewa, Swiss membahas mengenai masalah nuklir di Semenanjung Korea. Perbincangan tersebut menghasilkan kesepakatan bersama yang lebih dikenal dengan Agreed Framework 1994. Menurut data yang dipublikasikan di situs resmi International Atonomic Energy Agency (IAEA), dalam Agreed Framework 1994 tersebut disepakati bahwa Korea Utara akan membekukan program pengembangan nuklir miliknya serta mengijinkan pihak IAEA untuk melakukan pemantauan rutin di Korea Utara. Sebagai gantinya, Amerika Serikat akan mengirimkan bantuan antara lain berupa pembangunan reaktor air ringan di Korea Utara yang dijadwalkan selesai pada tahun 2003. Selain itu Amerika juga akan mengirimkan bantuan berupa bahan bakar minyak ke Korea Utara untuk penghangat di musim dingin dan juga untuk pembangkit tenaga listrik. Dalam perjanjian disebutkan bahwa sekitar 500.000 ton bahan bakar minyak dikirimkan oleh Amerika Serikat ke Korea Utara setiap tahunnya. Selain itu, dalam Agreed Framework 1994 juga disepakati mengenai peningkatan kerjasama antara Korea Utara dan Amerika Serikat. Kedua belah pihak sepakat bahwa mereka akan melakukan upaya normalisasi hubungan politik dan ekonomi, menciptakan perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea, serta memperkuat rezim internasional terhadap non-poliferasi nuklir. (Isi Agreed Framework 1994 selengkapnya terdapat pada lampiran II).
60
Penerapan Agreed Framework 1994 tersebut kemudian mengalami jalan buntu ketika Amerika Serikat mengalami pergantian kepemimpinan, dari Presiden Bill Clinton ke Presiden George W Bush pada tahun 2001. Menurut situs Center for Nonproliferation Studies (CNS, 2012: 6) yang diakses pada tanggal 29 Agustus 2013 (terdapat pada lampiran III), pergantian kepemimpinan Amerika Serikat tersebut membawa kekhawatiran bagi Korea Utara akan perubahan kebijakan Amerika Serikat terdahulu. Pada awal kepemimpinanya, Presiden Bush sempat melakukan kajian komprehensif terhadap kebijakanya ke Korea Utara. Kemudian pada 13 Juni 2001, Amerika Serikat memutuskan untuk melanjutkan kembali perundingan dalam kerangka Agreed Framework 1994 dengan Korea Utara setelah melakukan pertemuan dengan utusan Korea Utara untuk PBB di New York. Namun kebijakan Amerika Serikat tersebut tidak berlangsung lama. Sikap Presiden Bush berubah terhadap Korea Utara setelah terjadi peristiwa 9/11 pada akhir tahun 2001 di Amerika Serikat. Menyusul kejadian tersebut, dalam pidato resmi Presiden Bush pada 29 Januari 2002, Amerika Serikat secara sepihak menyebut bahwa Korea Utara merupakan poros setan (Axis of Evil), bersama dengan Iran dan Irak yang menurut klaim Amerika Serikat merupakan negara-negara yang terdindikasi memiliki senjata nuklir berbahaya. (CNS, 2012: 5-6). Tudingan negatif yang dinyatakan sepihak oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara membawa keresahan bagi Korea Selatan, karena mengancam keberlangsungan Agreed Framework 1994 yang dapat membawa peluang ancaman bagi perdamaian di Semenanjung Korea.
61
Oleh karena itu, Korea Selatan yang pada saat itu masih berada di bawah pemerintahan Kim Dae-jung melakukan berbagai upaya untuk membahas kemungkinan dimulainya kembali perundingan Amerika Serikat dengan Korea Utara. Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 6), Pembantu Presiden, Lim Dong Won melakukan pertemuan dengan pejabat Korea Utara termasuk Pemimpin, Kim Jong-il yang kemudian setuju untuk melakukan pertemuan dengan Diplomat Amerika Serikat Jack Pritchard. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Pasalnya Korea Utara menuntut agar Amerika Serikat merampungkan pembangunan Reaktor Air Ringan yang berdasarkan pada Agreed Framework 1994 dijadwalkan rampung pada tahun 2003. Namun Amerika Serikat menuntut bahwa pembangunan Reaktor Air Ringan tersebut akan dilakukan setelah tim IAEA selesai melakukan pemeriksaan persenjataan Nuklir di Korea Utara yang akan memakan waktu selama 3-4 tahun. Korea Utara menolak usulan tersebut. Kemudian, Amerika Serikat melakukan kunjungan lanjutan ke Korea Utara pada 3-5 Oktober 2002. Pasca kunjungan tersebut, Asisten Menteri James A. Kelly dan delegasinya mengklaim bahwa Korea Utara tengah menjalankan program pengayaan uraniumnya. Klaim tersebut mendapatkan sambutan negatif dari Korea Utara yang pada akhir Oktober menonaktifkan dan melarang dilanjutkannya inspeksi IAEA. Atas tindakan Korea Utara tersebut, Presiden Bush merespon dengan pernyataanya pada 14 November 2002 yang menyatakan bahwa pengiriman kapal bermuatan bahan bakar minyak bagi Korea Utara (seperti ketentuan yang tertulis dalam Agreed Framework 1994) yang dilakukan pada tahun itu merupakan pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan program nuklirnya. 62
Klaim, tudingan, dan ancaman sepihak yang dilancarkan Amerika Serikat tersebut membuat Korea Utara meningkatkan kewaspadaanya serta sikap agresifnya. Sebagai respon atas pernyataan Presiden Bush, Korea Utara mengusir inspektur IAEA dan membuka kembali fasilitas nuklir miliknya pada akhir tahun 2002. (CNS, 2012: 6). Kemudian pada 10 Januari 2003, Korea Utara mengundurkan diri dari keanggotaanya di Nuclear Non-Poliferation Treaty (NPT) dan kembali mengaktifkan reactor nuklirnya di Yongbon dengan tujuan untuk memproduksi listrik (yang sebelumnya mengandalkan bantuan minyak mentah Amerika Serikat untuk pembangkit listrik). Meskipun Korea Utara menjamin penggunaan reaktor nuklirnya untuk program damai, namun IAEA tetap melaporkan kasus tersebut sebagai ancaman ke Dewan Keamanan PBB pada 12 Februari 2003. (CNS, 2012: 5). Pada bulan yang sama, Amerika Serikat dengan segera merespon sikap Korea Utara dengan mengumumkan bahwa pihaknya akan melakukan latihan militer bersama pada bulan Maret dengan Korea Selatan (yang pada saat itu tengah melakukan selebrasi atas dilantiknaya presiden baru Korea Selatan, Roh Moo-hyun). Masa awal pemerintahan Roh Moo-hyun pun disambut dengan peluncuran misil Korea Utara pada 24 Februari dan 10 Maret 2003, sebagai bentuk reaksi atas sikap Amerika Serikat. (CNS, 2012: 5).
2. Pembentukan dan Tujuan Six Party Talks
Pasca
peluncuran
misil
yang
dilakukannya,
menurut
Center
for
Nonproliferation Studies (2012: 5), Korea Utara pada 12 April 2003 secara resmi mengindikasikan keinginannya untuk membuka kembali pembicaraan multilateral. 63
Cina kemudian menjadi penengah serta tuan rumah atas Pertemua Tiga Pihak (Three-Party Talks) antara Amerika Serikat, Korea Utara dan Cina. Namun tidak ada kesepakatan yang dihasilkan dari perundingan tersebut.
Perundingan kembali dilakukan, namun dengan melibatkan tiga pihak lain, yakni Rusia, Jepang dan Korea Selatan. Perundingan tersebut kemudian dikenal dengan istilah Six Party-Talks.
Secara ringkas, menurut Pang Zhongying (2009:4), Profesor hubungan internasional di Renmin University of China, Six Party talks dapat dipahami sebagai berikut: a. Sebuah proses menanggapi dan mengelola krisis nuklir atau isu nuklir Korea Utara b. Sebuah cara diplomatik untuk mencapai penyelesaian damai masalah nuklir c. Sebuah proses membangun saling kepercayaan dan keyakinan d. Sebuah proses negosiasi yang memakan waktu dengan kemajuan bertahap e. Eksplorasi mekanisme keamanan multilateral untuk kerjasama keamanan regional. Sementara itu, secara garis besar, tujuan utama yang ingin dicapai dari terbentuknya Six Party Talks adalah: a. Menyelesaikan denuklirisasi semenanjung Korea b. Secara resmi mengakhiri Perang Korea dengan perjanjian damai
64
c. Membangun sebuah mekanisme regional (di luar Asia Timur Laut) untuk memelihara perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di abad ke-21. (Zhongying, 2009:4)
3.
Pelaksanaan Six Party Talks Periode 2003-2007
Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 5), Six Party Talks pada putaran pertama (27-29 Agustus 2003), putaran kedua (25-28 Februari 2004), dan putaran ketiga (23-26 Juni 2004) belum menunjukan hasil maupun keputusan jelas mengenai permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.
Six Party Talks baru menemukan pergerakan yang jelas pada putaran keempat. Putaran keempat Six Party Talks dilakukan dalam dua tahap, yakni dari 27 Juli-7 Agustus 2005 yang tidak menemukan kesepakatan yang jelas dan tahap kedua yang dilakukan pada 13-19 September 2005 yang menghasilkan ‘pernyataan prinsip’ yang ditandatangani oleh Korea Utara. Pernyataan prinsip tersebut salah satunya adalah menuntut Korea Utara untuk meninggalkan kembali program nuklirnya dan kembali bergabung dengan NPT. Dengan demikian, Amerika Serikat akan melanjutkan pembangunan reaktor air ringan. Namun penerapan ‘pernyataan prinsip’ tersebut ditunda akibat sikap Amerika Serikat yang secara sepihak membekukan aset Korea Utara di Banco Delta Asia karena diklaim terlibat dalam pencucian uang terkait masalah nuklir Korea Utara. Tindakan tersebut kembali memicu respon negatif dari Korea Utara dengan menolak untuk kembali kepada perundingan dan memulai kembali pembangunan reaktor nuklir miliknya. (CNS, 2012: 5).
65
Six Party Talks mengalami stagnansi yang kemudian disusul dengan tindakan Korea Utara yang melakukan tes pertama atas perangkat nuklir miliknya pada 9 Oktober 2006. Namun kemudian dengan bantuan negosiasi Cina, Korea Utara kembali dalam Six Party Talks pada Novenber (tahap pertama) dan Desember (tahap kedua) 2006. Di mana para pihak menegaskan kembali pernyataan prinsip (yang pernah dibahas pada tahun 2005) yang kemudian dibahas lebih lanjut pada pertemuan tahap ketiga pada tahun 2007.
Pada tahap ketiga perundingan pada 13 Februari 2007, Korea Utara menyepakati ‘rencana aksi’ yang didasarkan pada pernyataan prinsip tahun 2005. Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Utara akan menutup fasilitas nuklirnya di Yongbyon dalam waktu 60 hari dengan imbalan sebanyak 50.000 ton bantuan bahan bakar. Selanjutnya, sesuai dengan tahap kedua Rencana Aksi, yang lain 950.000 ton bahan bakar minyak akan disampaikan bersama dengan bantuan ekonomi, energi, dan kemanusiaan lainnya jika Korea Utara menonaktifkan program senjata nuklirnya.
Kemudian pada tanggal 19 Maret 2007 aset Korea Utara di Banco Delta Asia dirilis dan kembali dapat dicairkan. Kemudian pada tanggal 14 Juli, IAEA menegaskan penutupan fasilitas nuklir Yongbyon di Korea Utara. Pada bulan Oktober 2007, Six Party Talks sepakat untuk Rencana Aksi tahap kedua yang menyerukan Korea Utara untuk menonaktifkan fasilitas nuklir utamanya di Yongbyon dan selanjutnya menyerahkan deklarasi penuh bahwa Korea Utara telah menonaktifkan seluruh program nuklirnya pada 31 Desember 2007.
66
4. Second Korean Summit Menurut situs Global Asia yang penulis akses pada 2 Agustus 2013, Korean Summit kedua dilakukan pada tanggal 2-4 Oktober 2007. Roh Moo-hyun mendatangi Korea Utara melalui jalan darat. Dalam Korea Summit tersebut kedua Korea menandatangani 45 kesepakatan mengenai penyelesaian permasalahan Semenanjung Korea, terutama dalam hal perdamaian, rekonsiliansi dan kesejahteraan bersama, serta pertukaran dan unifikasi bersama.
67
BAB IV
PENERAPAN THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY
Dalam bab ini, penulis melakukan analisa serta mengelaborasi mengenai penerapan dari the Policy of Peace and Prosperity yang dijalani oleh pemerintah Roh Moo-hyun. Pembahasan dalam bab ini adalah terkait instrumen kebijakan luar negeri yang digunakan. Penulis melakukan analisa terhadap penerapan kebijakan Roh Moohyun dengan menggunakan tiga konsep teori utama yang telah dibahas pada bab pertama, yakni kebijakan luar negeri, diplomasi, dan bantuan luar negeri.
A. Penerapan the Policy of Peace and Prosperity di Masa Pemerintahan Roh Moohyun
Kebijakan luar negeri menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) harus mencakup tiga elemen dasar, yaitu: penentuan tujuan yang hendak dicapai, pengerahan sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut, dan pelaksaan dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan.
The Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan luar negeri yang resmi dijalankan oleh pemerintahan Korea Selatan terhadap Korea Utara juga mencakup ketiga elemen yang dikonsepkan oleh Howard Lenter tersebut. Elemen pertama adalah penentuan tujuan yang hendak dicapai. Menurut white paper dari the Policy of Peace and
68
Prosperity (dalam The Ministry of National Defense of the Republic of Korea, 2003: 3132) tujuan kebijakan tersebut secara umum yakni untuk membangun perdamaian dan kemakmuran di Timur Laut Asia berdasarkan pada penyelesaian secara damai terhadap permasalahan Korea Utara dan membangun komunitas ekonomi antar Korea. Dengan kata lain, tujuan yang ingin dicapai bukan hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga dalam sektor militer/keamanan. Kebijakan tersebut menekankan pada pendekatan keseimbangan antara perdamaian dan kesejahteraan.
Elemen kedua dalam kebijakan luar negeri adalah pengerahan sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah Roh Moo-hyun mendasarkan kebijakannya pada visi yang ditujukan untuk membentuk Semenanjung Korea yang damai dan sejahtera. Kebijakanya tersebut meliputi kerjasama politik, ekonomi dan keamanan antara Korea Selatan dan Korea Utara. (Kim, 2006: 37).
Elemen terakhir dalam kebijakan luar negeri yang dikonsepkan oleh Howard Lentner adalah pelaksaan dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan. Dalam pelaksanaanya, the Policy of Peace and Prosperity mengikuti empat prinsip dasar yang telah diulas dalam bab sebelumnya, yakni: menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan semua masalah yang tertunda, membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan timbal-balik, mempromosikan kerjasama internasional pada prinsip-prinsip partisipasi langsung dan timbal-balik, serta meningkatkan transparansi, memperluas partisipasi warga, dan mengamankan dukungan bipartisan. (In-duk, 2003: 5-6). Sementara itu dalam
69
pelaksannya, the Policy of Peace and Prosperity menggunakan instrumen kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasionalnya.
B. Instrumen dalam The Policy of Peace and Prosperity
Berdasarkan empat prinsip utama dari the policy of peace and prosperity, pemerintah Roh Moo-hyun menekankan penggunaan diplomasi sebagai instrumen utama yang digunakan dalam penerapan kebijakannya. Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri menurut John Baylis dan Steve Smith (2005: 398-399) mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan instrumen lainya, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Secara garis besar, terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang digunakan dalam kebijakan luar negeri, yakni penggunaan angkatan militer, penggunaan langkah-langkah ekonomi, dan subversi.
Pemerintah Roh Moo-hyun dalam kebijakannya cenderung menerapkan instrument kedua dari tiga jenis instrumen yang dikonsepkan tersebut, yakni penggunaan langkah-langkah ekonomi. Dalam penerapan kebijakannya, ia meningkatkan kerjasama ekonomi, maupun pemberian bantuan terhadap Korea Utara. Perningkatan hubungan ekonomi antara Korea Selatan dengan Korea Utara dilakukan bukan hanya untuk mengurangi permasalahan ekonomi di Korea Utara, tapi juga untuk memoderatori perubahan perilaku dan kebijakan Korea Utara terhadap dunia internasional. Upaya peningkatan kerjasama ekonomi tersebut antara lain dilakukan melalui pembangunan Kaesong Industrial Complex (KIC) dan melanjutkan pengenbangan Gunung Kumgang. 70
Melalui KIC, pemerintah Roh Moo-hyun terlibat salah satunya melalui pemberian bantuan/insentif kepada perusahaan-perusahaan swata Korea Selatan yang beroperasi di Kaesong yang bertujuan untuk merangsang para pemilik modal agar mau menanamkan modalnya di KIC, dengan demikian maka akan turut mengembangkan KIC. Pemberian insentif terhadap perusahaan Korea Selatan di KIC dilakukan dengan menggunakan anggaran negara. Proyek KIC tersebut menunjukkan hasil seperti ketika pada tahun 2007, sebanyak 65 perusahaan swasta milik Korea Selatan beroperasi di Kaesong dengan mempekerjakan sebanyak 23,000 pekerja Korea Utara dan menghasilkan keuntungan $185 juta dalam satu tahun.
KIC merupakan perusahaan bersama antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Menurut analisa penulis, KIC merupakan elemen yang mampu menjadi penengah dari kedua Korea melalui pendekatan ekonomi dan perdagangan. KIC di satu sisi memberikan keuntungan bagi Korea Selatan karena dengan memberikan modal serta teknologinya ke KIC, perusahaan-perusahaan Korea Selatan dapat menekan biaya produksi seperti upah pekerja dan sewa lahan. Di sisi lain, Korea Utara juga mendapatkan nilai ekonomis, karena dengan beroperasinya KIC, tenaga kerja Korea Utara dapat terserap dan menekan angka pengangguran di Korea Utara.Seperti yang dapat dilihat pada tabel III.B.1 (Halaman 53), bahwa jumlah tenaga kerja yang lebih banyak mengoperasikan persahaanperusahaan di KIC adalah berasal dari Korea Utara. Seperti data pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa jumlah pekerja Korea Utara yang bekerja di KIC berjumlah 23,000 pekerja. Jumlah yang lebih besar daripada pekerja dari Korea Selatan yang hanya berjumlah 800 pekerja.
71
Akan tetapi, menurut penulis, KIC pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun belum memiliki dasar hukum atau upaya membentuk dasar hukum yang kuat. Sehingga pasca pemerintahannya, proses produksi di KIC terganggu dengan hubungan Korea Selatan-Korea Utara yang belum stabil. Sehingga ketika terjadi ketegangan terutama dalam hal militer atau senjata nuklir, perusahaan-perusahaan di KIC bisa tiba-tiba dibekukan untuk beroperasi. Sehingga hal tersebut mengganggu produksi barang yang juga berpengaruh pada kepercayaan pihak lain terhadap produksi barang dari KIC yang dapat berhenti setiap saat. Upaya membentuk dasar hukum yang kuat di KIC muncul baru-baru ini (September 2013) dimana Korea Selatan dan Korea Utara melakukan perjanjian pembukaan kembali KIC (setelah ditutup sejak Maret 2013) dan sepakat untuk melakukan upaya menarik invenstor asing untuk menanam modal di KIC. Bagi Korea Selatan, upaya tersebut penting dilakukan agar memberkuat dasar hukum KIC, sehingga Korea Utara tidak lagi dapat membekukan KIC secara sepihak.
Selain KIC, pemerintah Roh juga melakukan upaya revitalisasi Gunung Kumgang yang terletak di Korea Utara, dan berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Revitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Roh Moo-hyun antara lain adalah dengan menyediakan akses transportasi melalui jalan darat, dan menghapus jalur laut yang selama ini biasa digunakan oleh warga Korea Selatan untuk menuju ke Gununng Kumgang. Revitalisasi ini, menurut penulis, merupakan salah satu gerakan simbolis dari Korea Selatan untuk melakukan pendekatan terhadap Korea Utara. Gunung Gumgang secara geografis berada di perbatasan yang langsung dapat terhubung ke wilayah Korea Selatan. Disamping itu, Gunung Kumgang juga merupakan salah satu tempat dilakukannya pertemuan kembali keluarga yang terpisah, yang merupakan program antara Korea Selatan dengan Korea 72
Utara. Dengan demikian, adanya revitalisasi di Gunung Kumgang yang didukukung pemerintahan Roh Moo-hyun merupakan simbol dari adanya keinginan dari Korea Selatan untuk mempererat kembali hubungan kekeluargaanya dengan Korea Utara.
Revitalisasi Gunung Kumgang tersebut menurut penulis, memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Karena Korea Utara dapat terbantu dengan meningkatkanya nilai jual Gunung Kumgang dapat menarik wisatawan (terutama yang berasal dari Korea Selatan) untuk berkunjung. Peningkatan pengunjung tersebut dapat merangsang pembangunan perekonomian masyarakat Korea Utara di sekitar Gunung Kumgang dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat pendukung bagi wisatawan. Sementara itu, bagi Korea Selatan, Gunung Kumgang dapat menjadi lokasi wisata alternatif.
Disamping diplomasi yang dilakukan melalui ekonomi, pemerintah Roh Moohyun juga menerapak diplomasi sosial kebudayaan. Salah satunya adalah dengan melanjutkan program pemerintah sebelumnya, yakni melakukan pertemuan kembali keluarga yang terpisah. Hal tersebut, menurut pendapat penulis, selain ditujukan untuk mempererat kembali jalinan keluarga yang sempat terpisah karena pembagian nasional Korea, juga dimaksudkan untuk mempererat hubungan baik dengan Korea Utara melalui tindakan kemanusiaan. Selain itu juga, pertemuan keluarga yang terpisah ditujukan untuk memunculkan citra positif Korea Selatan bagi Korea Utara.
Dengan adanya program pertemuan kembali keluarga yang terpisah, menurut penulis, Korea Selatan berupaya melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan menunjukkan identitas mereka. Identitas yang penulis maksudkan disini adalah hubungan 73
Korea Utara dengan Korea selatan yang merujuk pada sejarah merupakan sebuah wilayah yang satu, tempat dimana satu ‘keluarga’ dulu bersatu. Namun karena adanya pembagian kedua Korea tersebut, maka keluarga yang satu itupun harus terpisah. Sehingga program pertemuan kembali keluarga yang terpisah ini, menurut penulis, merupakan pendekatan historis yang berupa mengingatkan kembali baik kepada Korea Utara maupun dunia internasional, bahwa kedua Korea berasal dari satu keluarga yang sama.
Selain melalui pertemuan kembali keluarga yang terpisah, indikasi penerapan kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun juga dapat dilihat melalui gerakan simbolik berupa pawai yang dilakukan bersama ketika Olimpiade 2004 dan 2006. Menurut pedapat penulis, gerakan simbolik berupa pawai bersama yang dilakukan kedua Korea menunjukkan upaya kedua Korea yang pada saat itu sama-sama terlibat dalam olimpiade, bahwa antara kedua Korea memiliki semangat persatuan kembali yang ditunjukkan kepada dunia internasional melalui olimpiade dengan cara melakukan pawai bersama, seolah mereka merupakan satu bangsa.
Selain kerjasama ekonomi, Pemerintah Roh Moo-hyun juga meningkatkan bantuan ekonomi dan kemanusiaan terhadap Korea Utara sebagai instrumen penggerak kebijakannya. Menurut Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani (2005: 81), bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain yang dapat berbentuk barang atau dana.
74
Berdasarkan teori ketergantungan (dependensia) yang dikonsepkan oleh Pearson, Fredick S, dan Simon Payaslian (dalam Perwita dan Yani, 2005: 81- 82) menyatakan bahwa bantuan luar negeri digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Pemerintah Roh Moohyun meningkatkan pemberian bantuan ekonomi dan kemanusiaan terhadap Korea Utara dengan tujuan untuk mengikatkan hubungan baik dengan Korea Utara dan secara persuasif berupaya mengubah sikap agresif Korea Utara terkait isu nuklir dan keamanan Semenanjung Korea. Fakta yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah bahwa pemberian bantuan yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kepada Korea Utara mengalami peningkatan pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun. Program pemberian bantuan kepada Korea Utara untuk tujuan kemanusiaan sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak masa pemerintahan Kim Young Sam, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun. Bantuan yang diberikan kepada Korea Selatan berasal dari sektor swata maupun pemerintahan. Namun sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah. Jumlah bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Roh Moo-hyun meningkat signifikan, sejak semula $28,408 pada masa pemerintahan Kim Yong Sam dan $69,102 pada masa pemerintahan Kim Dae Jung, menjadi $183,500 pada masa pemerintahan Roh Moo Hyun. Dari total tersebut, sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah, yakni sebesar $140,253.
75
Govindasamy (2012: 7-8) menyebutkan bahwa pemberian bantuan yang diberikan tersebut merupakan salah satu intrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity. Namun penulis berpendapat bahwa pemberian bantuan tersebut tidak efektif untuk mencapai tujuan-tujuan dari the Policy of Peace and Prosperity meningkatkan kepercayaan antar Korea, meningkatkan hubungan baik, serta meredam tensi politikmiliter antara kedua Korea. Hal tersebut dikarenakan pemberian bantuan yang dilakukan bersifat fleksibel. Fleksibel dalam arti bahwa bantuan yang diberikan kepada Korea Utara tidak perlu dibalas setara (dalam nominal), namun hanya perlu dibalas dengan menjaga dan memperbaiki hubungan antar-Korea. (Govindasamy, 2012: 5).
Dengan penerapan seperti itu, menurut penulis, Korea Selatan seolah memberikan bantuan kemanusiaan dengan nominal yang besar kepada Korea Utara secara ‘cumacuma’, karena Korea Utara tidak membalasnya dengan memperbaiki hubungan antarKorea. Hal tersebut ditunjukkan seperti misalnya dengan adanya krisis nuklir kedua pada tahun 2006. Dengan kata lain, pemberian bantuan tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Korea Selatan. Berbeda dengan kebijakan lainnya seperti mendorong pembangunan KIC dan revitalisasi Gunung Kumgang. Dalam kebijakan tersebut,
Korea
Selatan
turut
bekerjasama
dengan
Korea
utara
dalam
mengembangkannya. Sehingga terjadi perputaran ekonomi yang pada akhirnya memberikan timbal-balik secara ekonomis bagi kedua Korea.
Namun di sisi lain, penulis menilai bahwa sikap agresif yang ditunjukkan oleh Korea Utara dengan melakukan aktivitas produksi dan percobaan senjata nuklirnya bukan semerta-merta untuk mengancam korea Selatan, melainkan sebuah bentuk respon
76
terhadap tindakan sepihak Amerika Serikat. Hubungan Korea Utara-Amerika Serikat mulai menunjukkan potensi ketegangan sejak awal terpilihnya George W Bush menjadi pengganti Bill Clinton pada tahun 2001. Presiden Bush sempat ragu untuk melanjutkan penerapan Agreed Framework 1994 dengan Korea Utara, sehingga ia dan pemerintahannya sempat melakukan kajian komprehensif tentang kebijakannya terhadap Korea Utara. Hingga pada 13 Juni 2001, Presiden Bush mengeluarkan pernyataan resmi untuk melanjutkan Agreed Framework 1994 terhadap Korea Utara.
Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, karena Presiden Bush secara sepihak menuding Korea Utara sebagai Axis of Evil pada pidato resmi tanggal 29 Januari 2002, karena menilai bahwa Korea Utara terindikasi memiliki senjata pemusnah massal. Lebih lanjut Presiden Bush juga mengeluarkan pernyataan pada 14 November 2002 bahwa pengiriman kapal bantuan berisi bahan bakar minyak mentah dari Amerika Serikat ke Korea Utara yang sebenarnya sudah tercantum dalam Agreed Framework 2014, akan menjadi pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan produksi nuklirnya.
Korea Utara yang telah memenuhi aturan Agreed Framewok 1994 dengan membekukan produksi reaktor nuklir serta mengijinkan adanya inspeksi rutin tim IAEA, menyambut negatif tudingan sepihak yang dilontarkan Amerika Serikat. Sebagai respon atas tudingan Amerika Serikat, pada akhir tahun 2002, Korea Utara mengusir tim inspeksi IAEA dan membuang peralatan pengawasan milik IAEA.
Lebih lanjut, dengan adanya ancaman Amerika Serikat mengenai penghentian bantuan bahan bakar minyak, Korea Utara kembali membuka fasilitas nuklirnya pada akhir tahun 2002 dengan tujuan untuk pembangkit tenaga listrik, dan bukan membuat 77
senjata nuklir. Karena bantuan minyak mentah dari Amerika Serikat setiap tahunya sejak pemberlakuan Agreed Framework 1994, digunakan oleh Korea Utara untuk energi pembangkit tenaga listrik dan digunakan juga sebagai penghangat bagi masyarakat Korea di musim dingin. Sehingga ketika Amerika Serikat menghentikan bantuan minyak, Korea Utara membutuhkan energi lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Disamping itu, keluarnya Korea Utara dari keanggotaanya di NPT yang dilakukan jelang pelantikan Roh Moo-hyun juga merupakan bentuk protes Korea Utara terhadap sikap Amerika Serikat. Dengan keluarnya Korea Utara dari NPT membuat tidak adanya jaminan mengenai keamanan nuklir di Semenanjung Korea. Hal tersebut turut berdampak pada penerapan the Policy of Peace and Prosperity yang dijalankan oleh Roh Moo-hyun.
Sehingga, penulis sependapat dengan pernyataan Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy (dikutip dari Moon, 2012: 79) yang secara terbuka menyalahkan Presiden Bush dan pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di Korea. Ia juga menyatakan bahwa sebutan Axis of Evil yang ditujukan oleh Presiden Bush terhadap Korea Utara serta sikap Presiden Bush yang menunjukkan keinginannya untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive yang juga membuat kejutan bagi masyarakat Korea Selatan.
Karena dengan ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea, Roh Moo-hyun sulit untuk menerapkan prinsip kebijakannya, terutama untuk meningkatkan kepercayaan antara kedua Korea.
78
Namun dalam menghadapi sikap Korea Utara, Presiden Roh Moo-hyun tetap menjalankan prinsip-prinsip kebijakannya. Seung-chan Boo yang merupakan research fellow di
Kim Dae-Jung Presidential Library, Yonsei University Korea Selatan
menyatakan bahwa Presiden Roh tetap menjalankan berbagai kerjasama dengan korea Utara, termasuk juga mengirimkan bantuan (wawancara melalui surat elektronik (email) pada 29 Mei 2013 terdapat pada lampiran I). Roh Moo-hyun juga terlibat aktif dengan Korea Utara dalam melakukan dialog, termasuk di dalam Six Party Talks. Hal tersebut sejalan dengan prinsip the Policy of Peace and Prosperity yang mengutamakan dialog untuk mencari jalan keluar permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.
Seung-chan Boo menyatakan bahwa pemerintahan Roh Moo-hyun menjalankan the policy of peace and prosperity terhadap Korea Utara dengan menekankan pada ketidaksetujuan atas senjata nuklir Korea Utara, resolusi damai atas masalah nuklir Korea Utara, serta peran aktif dari pemerintah Korea Selatan. Pemerintah Roh Moo-hyun memanfaatkan jalur dialog dalam penerapan kebijakannya tersebut, baik dialog bilateral (the South-North dialogue) maupun dialog multilateral (Six-Party Talks).
Menurut Penulis, hubungan antar-Korea mencakup berbagai isu baik politik, ekonomi, dan keamanan. Presiden Roh Moo-hyun menyadari kebutuhan peningkatan akan isu-isu tersebut terhadap Korea Utara. Oleh karena itu, ia melakukan pendekatan kembali antara dua Korea bergantung tidak hanya pada konteks politik dan ekonomi, tapi juga pada kenyataan pada politik internasional dalam menerapkan kebijakannya. Prinsipprinsip kebijakannya menurut penulis mampu mengeliminir penggunaan nuklir di
79
Semenanjung Korea. Karena Roh Moo-hyun menggunakan cara-cara damai tanpa konfrontasi senjata maupun militer.
Namun upaya Roh Moo-hyun tersebut terhambat dengan sikap Amerika Serikat yang dipimpin oleh George W Bush. Presiden Bush kerap memberlakukan kebijakankebijakan maupun klaim sepihak terhadap Korea Utara yang memicu timbulnya ketegangan di Semenanjung. Sehingga Roh Moo-hyun mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya seperti mencari resolusi damai terhadap nuklir Korea Utara serta membangun kepercayaan militer antara kedua belah pihak.
Roh Moo-hyun memiliki tiga tahap pembangunan hubungan dengan Korea Utara berdasarkan kerangka kebijakannya. Menurut penulis, Roh Moo-hyun bisa dikatakan behasil membangun dua tahap pertama, yakni melakukan upaya perdamaian dan mengembangkan kerjasama ekonomi kedua belah pihak. Namun Roh Moo-hyun kesulitan dalam menjalankan tahap ketiga, yakni meluncurkan rezim perdamaian di Semenanjung Korea. Pasalnya, Roh Moo-hyun tidak berhasil mencari penyelesaian atas perjanjian gencatan senjata tahun 1953 dan menggantinya dengan perjanjian damai. Dengan demikian, Korea Selatan dan korea Utara secara resmi masih berada dalam keadaan konflik.
Menurut Seung-chan Boo, isu antar Korea dapat dianalisa melalui berbagai perspektif termasuk ideologi, politik, ekonomi dan kekuatan militer. Permasalahan utama antara kedua Korea terletak pada perbedaan metodologi untuk membangun sistem perdamaian di Semenanjung Korea.
80
Pasca perjanjian gencatan senjata, Korea Selatan dan Korea Utara menfokuskan legitimasi keamanan pada masing-masing pemerintahan dan inisiatif dalam konteks keamanan. Seung Chan-boo menilai bahwafaktor utama yang juga menjadi penghambat atas perdamaian sepenuhnya di Semenanjung Korea adalah karena kedua Korea memiliki cara pandang yang berbeda mengenai penyelesaian masalah di Semenanjung Korea. Seung Chan-boo menggambarkan perbedaan metodologi tersebut. Bagi Korea Selatan terutama pada masa pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun, tahapan penyelesaian permasalahan semenanjung Korea adalah sebagai berikut: ‘maintaining cease-fire’ → ’enlarging exchange and cooperation’ → ’confidence building measures’ → ’signing peace agreement’ → ’US troop withdrawal’ → ‘building permanent peace’. Sementara itu, bagi Korea Utara, tahapan penyelesaian masalah Semenanjung Korea adalah sebagai berikut: ‘abrogating cease-fire agreement’ → ‘signing North-US peace agreement’ → ‘US troop withdrawal’ → ‘building permanent peace’. Perbedaan cara pandang tersebut itulah yang juga menjadi penghambat dan alasan mengapa kebijakan Roh Moo-hyun tidak sepenuhnya dpaat mencapai tujuan yang diharapkan.
81
BAB V KESIMPULAN
The Policy of Peace and Prosperity yang diterapkan melalui beberapa prinsip seperti menyelesaikan masalah melalui dialog, membangun kepercayaan satu sama lain antara dua Korea, dan meningkatkan kerjasama internasional, dan yakni pembagunan rezim perdamaian di Semenanjung Korea merupakan kebijakan yang menyadari bahwa permasalahan Semenanjung Korea mencakup berbagai isu termasuk ekonomi, politik dan keamanan. Roh Moo-hyun berhasil merangkumnya dalam rumusan kebijakannya tersebut.
Penerapan kebijakan Roh Moo-hyun melalui instrumen kerjasama ekonomi seperti melalui KIC dan Gunung Kumgang merupakan langkah yang tepat dan efektif. Pasalnya, dalam kerjasama ekonomi tersebut, sekalipun belum memiliki landasan yang sempurna, namun dapat mengikutsertakan Korea Utara untuk berperan dan berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, kerjasama ekonomi juga membawa keuntungan secara ekonomis bagi kedua belah pihak.
Instrumen kebijakan yang diterapkan melalui program pertemuan kembali keluarga terpisah dan berbagai gerakan simbolik cukup memberikan pengaruh bagi pencitraan hubungan baik kedua Korea di mata internasional. Hal tersebut membawa serta kesadaran nasional mengenai kesamaan identitas kedua Korea yang semula berasal dari ‘satu keluarga’.
Namun penerapan kebijakan melalui pemberian bantuan kemanusiaan merupakan instrumen yang kurang efektif untuk diterapkan. Pasalnya tidak ada aturan
82
yang jelas mengenai mekanisme timbal balik yang diterapkan oleh Korea Selatan. Sehingga anggaran pemerintah yang merupakan sumber pendaan terbesar bagi pemberian bantuan tersebut, tidak membawa perubahan yang cukup signifikan bagi perbaikan hubungan kedua Korea. Akan lebih efektif jika anggaran tersebut dialokasikan pada peningkatan pembangunan kerjasama ekonomi antara kedua Korea, sehingga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi lebih besar bagi kedua belah pihak yang kemudian dapat berujung pada saling hubungan ketergantungan dalam bidang ekonomi. Dengan meningkatnya hubungan saling ketergantungan ekonomi tersebut di sisi lain akan mampu mengeliminasi potensi konflik dan penggunaan senjata di Semenanjung Korea.
Akan tetapi, kebijakan pemberian bantuan tersebut juga patut diapresiasi sebagai bentuk konsistensi Roh Moo-hyun dalam menjalankan kebijakan yang telah dirumuskannya. Roh Moo-hyun bertahan dengan kebijakannya, sekalipun dalam keadaan yang tidak menguntungkan bagi Korea Selatan.
Selain itu, kebijakan Roh Moo-hyun yang dilakukan dengan keterlibatannya di Six Party Talks menunjukkan bahwa ia menerapkan prinsip kebijakannya dengan baik, yakni melalui jalur dialog. Akan tetapi, Six Party Talks yang dijalankan pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dan berpengaruh bagi perbaikan hubungan kedua Korea.
Penerapan kebijakan Roh Moo-hyun tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal. Dalam hal ini, Amerika Serikat ditempatkan pada posisi yang berpengaruh dalam keberlangsungan hubungan Korea Selatan dan Korea Utara.
83
Memburuknya hubungan Korea Utara dengan Amerika Serikat yang disebabkan oleh kebijakan serta berbagai tudingan sepihak yang dilontarkan oleh Korea Utara. Dengan demikian, Amerika Serikat turut menjadi penyebab atas kurang sempurnanya pencapaian yang diraih dari penerapan the Policy of Peace and Prosperity. Disamping itu, Korea Selatan dan Korea Utara memiliki pandangan serta metodologi yang berbeda mengenai tahapan menuju penyelesaian masalah Semenanjung Korea. Hal tersebut dapat juga dikatakan sebagai salah satu penghambat proses perdamaian seutuhnya di Semenanjung Korea.
84
Daftar Pustaka 1. Buku
Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics. United States : Oxford University Press
Cahyo, Agus N. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal, Dari KlasikSampai Modern. Yogyakarta: Bukubiru
Eby Hara Abubakar. 2011. Analisis Politik Luar Negeri. Bandung: Nuansa.
Han, Ki-shik S.J. 2001. Understanding Korean Politics. USA: State University of New York Press
Jakti, Kuntjoro. 1995.
Ekonomi Politik Internasional di Asia Pasifik.
Jakarta: Erlangga
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. 2008. Departemen Pendidikan Nasional
Lew, Young Ick. 2000. Brief History of Korea; A Bird's Eye View. New York: The Korea Society
xvi
Moon, Chung-In. 2012. The Sunshine Policy; In Defense of Engagement as a Path to Peace in Korea. ROK: Yonsei University Press
Nahm, Andrew C. 1993. Introduction to Korean History and Culture,. Seoul: Hollym International
Oberdorfer, Don. 2001. The Two Koreas: A Contemporary History. USA: Basic Books
Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea. 2008. Fakta-Fakta Tentang Korea. Seoul, Republik Korea
Soong Hoom dan Chung-in Moon. 2001. Understanding Korean Politics; an Introduction. USA: State University of New York Press Yoon, Yung Seung dan MohtarMas’oed. 2004.
Politik Luar Negeri
Korea Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yukhoon, Kim. 2007. Korean History for International Citizens. Seoul: Northeast Asia Foundation
Zhongying, Pang. 2009. The Six-Party Progress, Regional Security Mechanism, and China-US Cooperation: Toward a Regional Security Mechanism for a New Northeast Asia?. USA: The Brookings Institution
2. Jurnal
Armstrong, Charles K. Inter-Korean Relations in Historical Perspective. Vol. 14, No. 2, 2005
xvii
Cha, Victor D, Rhee-straint: The Origins of the U.S.-ROK Alliance. International Journal of Korean Studies Vol. XV, No. 1, 2011
Moon, Chung-in. The Sunshine Policy and the Korean Summit: Assessment and Prospects. East Asia Review, Vol. 12, No. 4, Winter 2000
Creswell, J.W. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publications, 1994 Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities: The Participatory Government’s Policy Toward North Korea. East Asian Review. Vol. 16, No. 2. Summer 2004
Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy: An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana. Vol. 27. No. 1, June 2012
Henneka, Andreas. Reflections on Korean history and Its Impacts on the US-North Korean Conflict. ISYP Journal on Science and World Affairs, Vol. 2, No. 1, 2006
Haggars Stephan dan Marcus Noland. North Korea in 2007 Shuffling in from the Cold. Asian Survey, Vol. XLVIII, No. 1, January/February 2008
Hosup Kim, Masyuki Tadokor dan Brian Bridges. Managing Another North Korea Crisis: South Korean, Japanese, and US Approaches. Asian Perspective, the Institute for Far Eastern Studies: Kyungnam University, Seoul, Korea. Vol. 27 no. 3, 2003 In-duk, Kang. Toward Peace and Prosperity: The New Government’s North Korea Policy. East Asia Review, Vol. 15, No. 1, Spring 2003
xviii
Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South Korea-Russia Cooperation. East Asian Review.Vol. 16, No. 3, Auntum 2004 Kim Choong Nam. The Roh Moo Hyun Government’s Policy Toward North Korea. International Journal of Korean Studies, Vol. IX, Fall/Winter, No. 2005
Kim, Hong Nack. South-North Korean Relations Under The Roh MooHyun Government. International Journal of Korean Studies., Vol. X, No.1, 2006 Kim, Hong Nack. The Lee Myung-Bak Government’s North Korea Policy And the Prospects for Inter-Korean Relations. International Journal of Korean Studies. Vol. XII, No.1
Kyung-suk, Chae. The Future of the Sunshine Policy: Strategic for Survival. East Asian Review, Vol. 14, No. 4, Winter 2002
Manyin, Mark E. and Nanto, Dick K. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. USA: Congressional Research Service, 2011 Yoo, Chanyul. South Korea’s Sunshine Policy Revisited. Korean Social Science Journal, XXXI No. 2. 2004
3. Dokumen elektronik
The ministry of National Defense of the Republic of
Korea. 2003.
“Participatory Government Defense Policy” diunduh 27 April 2013 (merln.ndu.edu/whitepapers/SouthKorea2003main_eng.pdf)
xix
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Six Party Talks. Diunduh 29 Agustus 2013, Center for Nonproliferation Studies (cns.miis.edu/inventory/pdfs/6ptalks.pdf)
Agreed Framework of 21 October 1994 (www.iaea.org/Publications/Documents/Infcircs/.../infcirc457.pdf)
4. Internet http://news.bbc.co.uk/2/hi/7317086.stm diakses pada 25 Juni 2012 http://www.koreafocus.or.kr diakses pada 25 Februari 2013 http://www.ncnk.org/resources/briefing-papers/all-briefing-papers/mt.kumgang-and-inter-korean-relations diakses pada 20 Juli 2013 http://globalasia.org/articles/issue4/iss4_8.html diakses pada 2 Agustus 2013
xx
Lampiran I Narasumber
: Seung-chan Boo
Jabatan
: Research Fellow with Kim Dae-Jung Presidential Library & Museum in Yonsei University
Waktu Wawancara
: 29 Mei 2013
Keterangan
: Wawancara dilakukan melalui surat elektronik (email). Penulis terlebih dahulu menghubungi profesor ilmu politik Yonsei University, Chung-in Moon dengan alamat email
[email protected] untuk mengajukan wawancara dan kemudian disetujui oleh Profesor Chungin Moon. Namun karena kesibukannya, wawancara dialihkan oleh Profesor Chung-in Moon ke Seung-chan Boo dengan alamat email
[email protected].
HASIL WAWANCARA 1. Q: In continuing the policy of his predecessor (Sunshine Policy under Kim Dae-jung administration), would you please tell me, what are the barriers and the challenging that faced by the Roh Moo-hyun administration at the beginning of his reign? Is the changing of international condition, such as the aggressiveness of US government policy toward DPRK under President George W. Bush influenced the application of that policy?
A: The impediments Roh Moo-hyun administration faced can be divided into national and international factors. Nationally Roh administration faced South-South conflict that was triggered by Kim-Dae-jung administration‟s Sunshine Policy and the controversy over compensation of the inter-Korean summit and over-policization of policy toward North Korea. Internationally, motive for continuing Sunshine Policy was considerably weakened as President Bush indicated North Korea as „a rogue state‟, „an axis of evil‟ along with Iraq and Iran. Especially on October 2002 the xxi
second nuclear crisis broke out, on December of the same year North Korea demanded monitoring system on Yongbyon facilities be removed and on January 2003 unilaterally declared withdrawal from NPT. These all contributed to unfolding worst conditions for US-north Korea relationships as well as inter-Korean relationships.
2. Q: In addition to diplomacy, foreign aid, and cooperation, what are the instrument used by the Roh Moo-hyun‟s administration in implementing the Policy of Peace and Prosperity? How those instruments applied in inter-Korean relations?
A: Roh Administration, in carrying policy of peace and prosperity toward North, emphasized disapproval of North Korean nuclear arms, peaceful resolution of nuclear issues and an active role of South Korean Government. Roh Administration made use of both bilateral (the South-North dialogue) and multilateral (six-party talks) diplomatic channels. Also, while participating in United Nations Security Council Resolution on North Korea, Roh Administration tried to solve nuclear issues peacefully through dialogue.
3. Q: Generally, I am curious, actually how did ROK Society„s response to President Roh Moo-hyun‟s policy toward DPRK compared to the Kim Dae-jung‟s policy at that time?
A: Roh Administration faced poor conditions for policy toward North Korea as did Kim Dae-jung administration. Both of them saw ideological conflicts within Korea and rampant discords. Conservative civil society and political powers disparaged xxii
economic exchange and humanitarian assistance for North as “giving too much”. Especially Roh Administration had to suffer more criticism and distrust than Kim Administration did as concerns for the first nuclear test and North Korea‟s human rights issues rose.
4. Q: How did the Roh Moo-hyun‟s administration respond -through the Policy of Peace and Prosperity- in the face of DPRK‟s aggressiveness through DPRK‟s nuclear crisis in 2003 & 2006?
A: Roh Administration, through three inter-Korean ministerial-level talks in 2003, urged North Korea to engage in dialogues, emphasizing the necessity of multi-lateral talks to solve nuclear issues. This contributed to Beijing trialogue in April 2003, the first Six-Party Talks in August 2003 and the second six-party talk in February 2004 to be held. In May 2003 Roh Administration, thorough Korea-US summit, drew consensus of solving North Korean nuclear issues with USA and paralleling interKorean relations. In the third Six-Party Talk in June 2004, South Korea demanded North Korea dismantle all the nuclear programs transparently and thoroughly under international verification. USA and Japan joined South Korea, demanding transparent and thorough dismantling nuclear weapons program. North Korean nuclear test of 9th October, 2006 greatly aggravated circumstances inside Korean Peninsula. South Korean government made it clear that it will never put up with any nuclear test and that it will respect United Nations Security Council Resolution 1718. Yet, after the nuclear test, South Korean government endeavored continuously to effectively solve nuclear problems by reopening Six-Party Talks and contacting with members of Six-Party Talks. Later in xxiii
February 2007 members of Six-Party Talks drew 2.13 nuclear agreements as initial actions for fulfilling September agreement.
5. Q: In the application of the policy, Roh Moo-hyun sought to put the inter-Korean policy, regional policy, and ROK-US alliances in „one basket‟.
How did these
policies influence the relationship between two Korea, especially during the period of 2003 to 2008?
A: Roh Administration‟s 5-year-policies toward North Korea greatly contributed to peace in Korean Peninsula. Even in the time of the second nuclear crisis, Roh Administration proceeded with the policy of peace and prosperity, regularizing interKorean talks and advancing inter-Korean exchange and cooperation, which finally led to the second inter-Korean summit. Particularly nongovernmental interchange and economic cooperation saw active advancement, establishing foundations for institutionalization of separated families. In 2003 temporary rail links on the east and west were constructed and in 2004 passing through land route kicked into high gear. Inter-Korean economic cooperation steadily expanded with Kaesong Industrial Complex and tours to Mount Kumgang. Roh Administration, regarding security concerns such as US troop reduction and withdrawl, saw condition changes which necessitated alliance reestablishment from a new perspective. Roh Administration put forth a new perspective in regard to alliance reestablishment: cooperative self-reliant defense that emphasized Korean military capabilities and power restoration along with national defense reorganization. This was in search for relieving the reduction of the US Forces in Korea, national xxiv
security vacuum and anxiety that were likely to follow Global Defense Posture Review and wartime operational control transfer. Under these difficulties, despite both domestic and international controversies, Roh Administration sent troops to Iraq for political considerations for US-Korean alliance and national interests from participating in the restoration project.
6. Q: In addition to Second Korean Summit, Mt. Kumgang tourism project, and development of Kaesong Industrial Complex, what the achievement of the Roh Moohyun‟s policy? How did they influence the reunification progress of two Korea?
A: First, deciding to regularly hold the South-North dialogues such as high-level talks, inter-Korean military talks and the South-North Red Cross talks, motives for inter-Korean relationships development were made possible even in the face of Korean Peninsula crisis. Second, humanitarian assistance for North Korea was expanded. Humanitarian assistance for North Korea included policies for improving quality of life in agriculture, health and medical treatment and vulnerable social group, helping North Korean defectors settle down and improving North Koreans‟ human rights. Third, separated families faced improvements both in quality and quantity. Interchange between private sectors as well as government made active progress.
7. Q: How did the role of Six Party Talks in advance of the Policy of Peace and Prosperity‟s implementation?
xxv
A: China introduced itself as a mediator after the second nuclear issue and the Three Party Talks between South Korea, North Korea and the USA were held in Beijing, April 2003. The talks, however, produced no fruits other than confirming each other‟s intentions. Three Party Talks turned to Six-Party Talks including North Korea, South Korea and four surrounding powerful nations. These nations tried to solve problems by discussing and consulting with each other. Accordingly, starting with the first SixParty Salks, six times of six party talks were held in times of Roh Government. The fourth six party talks produced 9.19 joint declarations with 6 provisions including principle of denuclearization of the Korean peninsula which provided a fundamental base for solving North Korean nuclear issues. In 2007 2.13 nuclear agreements provided a clue for solving North Korean nuclear issues. 8. Q: Refer to your point of view, what are your criticism to the ROK‟s policy toward the DPRK, both in the Kim Dae-jung and the Roh Moo-hun‟s administrations? And how do you respond about the Sunshine Policy (and also the Policy of Peace and Prosperity) that in some writings questionable on effectiveness and even blamed for a failed policy?
A: President Roh Moo-hyun, tried to carry forward the engagement policy towards North Korea in the midst of citizens‟ agreements and participations. However, challenged by the conservatives which resulted in South-South conflicts, the policy met with serious difficulties. The conservatives argued that, as North Korea tried developing nuclear weapons for their own safety and thus threatening the peace of Korean peninsula, the engagement policy showed its limitations in persuading North Korea which enlarged controversy over “giving too much”. Also, they criticized that xxvi
as humanitarian assistance was intermittently suspended, North Koreans‟ food shortage and financial difficulties were enlarged and made North Korea continue military adventurism.
9. Q: In your opinion, what are, actually, the main problems between two Korea, looking back from the history and the current issue? Why it seemed so hard to make a „peace‟ in the Peninsula? What are the constraints? What it takes to make Korean Unification become real?
A: While inter-Korean issues can be analyzed from a variety of perspectives including ideology, politics, economy and military powers, the core to the issue lies in the difference of methodology for peace system of Korean peninsula. After the cease-fire agreement, North and South Korea have focused on securing legitimacy of each government and taking the initiative in terms of power. While Kim and Roh government brought in stages of „maintaining cease-fire‟ → ‟enlarging exchange and cooperation‟ → ‟confidence building measures‟ → ‟signing peace agreement‟ → ‟US troop withdrawal‟ → „building permanent peace‟, North Korea insisted in stages of „abrogating cease-fire agreement‟ → „signing North-US peace agreement‟ → „US troop withdrawal‟ → „building permanent peace‟. The difference found in this term cannot be narrowed down unless nuclear issues are solved. The perceived gap, yet, drew the fruits for reaching for the nexus however insignificant. Inter-Korean relationships faced the worst as events like North Korea's attack on the Cheonan and Yeonpyeong Island, missile and long-range rocket launches and the second, third nuclear tests broke out. Therefore, taking a lesson from Kim and Roh‟s policies xxvii
toward North, strong response to North Korea‟s provocations and continued exchange and cooperation are necessary for peace to settle in Korean peninsula. Of course, governmental endeavors to solve South-South conflicts should precede to carry those policies.
10. Q: On last wednesday (10/04/13), I attend to the festival of Kim Il Sung flower in Jakarta, Indonesia. I met DPRK‟s ambassador for Indonesia, Ri Jong Ryul. Related to ROK-DPRK‟s issue, he said that, "We (DPRK) actually want peace, we do not want war. But we are also not afraid of war”. Refer to his statement, I can conclude that actually, in DPRK‟s point of view, they want to make a peace in Peninsula. Then, I am curious about your opinion, how does the ROK‟s point of view toward making peace with DPRK? Are they „feel‟ the same?
A: South Korea and North Korea both agree to establish a peace regime on the Korean Peninsula. However, due to different political systems and national power gap, they are of different opinions in terms of approach. As Lee Myung-bak government‟s policies showed, North Korea, due to these recent circumstances, is threatened of reunification through absorption. Hence, Korean government should help North Korea to relieve the anxiety and enter into reform an open-door policy. Only in that way is easier the peace establishment. There is no discussion over peace regime on the Korean Peninsula at present. North and South are making a trial of strength and burning energy out. Other than multi-lateral talks like Six Party Talks, resolution of nuclear issues is hard to find. Korean government should not be too subordinate to North Korean nuclear issues, but continue private humanitarian
xxviii
assistance to build inter-Korean trust and endeavor to build structural basis for interKorean exchange and cooperation. Q: Question/pertanyaan
|
xxix
A: Answer/jawaban
INF INFCIRC/457 2 November 1994
International Atomic Energy Agency
INFORMATION CIRCULAR
GENERAL Distr. Original: ENGLISH
AGREED FRAMEWORK OF 21 OCTOBER 1994 BETWEEN THE UNITED STATES OF AMERCIA AND THE DEMOCRATIC PEOPLE’S REPUBLIC OF KOREA
The attached text of the Agreed Framework between the United States of America and the Democratic People’s Republic of Korea, signed in Geneva on 21 October 1994, is being circulated to all Member States of the Agency at the request of the Resident Representative of the United States of America.
94-04871
INFCIRC/457 Attachment
AGREED FRAMEWORK BETWEEN THE UNITED STATES OF AMERICA AND T H E D E M O C R A T I C P E O P LE ' S R E P U B L I C O F K O R E A GENEVA, OCTOBER 21, 1994 Delegations of the Governments of the United States of America (U.S.) and the Democratic People's Repub lic of Korea (DPRK) held talks in Geneva from September 23 to October 21, 1994, to negotiate an overall resolution of the nuclear issue on the Korean Peninsula. Both sides reaffirmed the importance of attaining the objectives contained in the August 12, 1994 agreed statement between the U.S. and the DPRK and upholding the principles of the June 11, 1993 joint statement of the U.S. and the DPRK to achieve peace and security on a nuclear- free Korean Peninsula. The U.S. and DPRK decided to take the following actions for the resolution of the nuclear issue: I. Both sides will cooperate to replace the DPRK's graphite- moderated reactors and related facilities with light - water reactor (LWR) power plants. 1)
In accordance with the October 20, 1994 letter of assurance from the U.S. President, the U.S. will undertake to make arrangements for the provision to the DPRK of a LWR project with a total generating capacity of approximately 2,000 MW(E) by a target date of 2003. --
The U.S. will organize under its leadership an international consortium to finance and supply the LWR project to be provided to the DPRK. The U.S., representing the international consortium, will serve as the principal point of contact with the DPRK for the LWR project.
--
The U.S., representing the consortium, will make best efforts to secure the conclusion of a supply contract with the DPRK within six months of the date of this document for the provision of the LWR project. Contract talks will begin as soon as possible after the date of this document.
--
As necessary, the U.S. and the DPRK will conclude a bilateral agreement for cooperation in the field of peaceful uses of nuclear energy.
- 2-
2)
3)
I n a c c o r d a n c e w i t h t h e O c t o b e r 2 0 , 1 99 4 l e t t e r o f assurance from the U.S. President, the U.S., representing the consortium, will make arrangements to offset the energy foregone due to the freeze of the DPRK's graphite- moderated reactors and related facilities, pending completion of the first LWR unit. --
Alternative energy will be provided in the form of heavy oil for heating and electricity production.
--
Deliveries of heavy three months of the will reach a rate of accordance with an
oil will begin within date of this document and 500,000 tons annually, in agreed schedule of deliveries.
Upon receipt of U.S. assurances for the provision of LWR's and for arrangements for interim energy alternatives, the DPRK will freeze its graphite- moderated reactors and related facilities and will eventually dismantle these reactors and related facilities. --
The freeze on the DPRK's graphite- moderated reactors and related facilities will be fully implemented within one month of the date of t h is d o c u m e n t . D u r i n g t h i s o n e - m o n t h p e r i o d , and throughout the freeze, the International Atomic Energy Agency (IAEA) will be allowed to monitor this freeze, and the DPRK will provide full cooperation to the IAEA for this purpose.
--
Disma ntlement of the DPRK's graphite- moderated reactors and related facilities will be completed when the LWR project is completed.
--
The U.S. and DPRK will cooperate in finding a method to store safely the spent fuel from the 5 MW(E) experimental reactor during the construction of the LWR project, and to dispose of the fuel in a safe manner that does not involve reprocessing in the DPRK.
- 3-
4)
II.
As soon as possible after the date of this document, U.S. and DPRK experts will hold two sets of experts talks. --
At one set of talks, experts will discuss issues related to alternative energy and the replacement of the graphite- moderated reactor program with the LWR project.
--
At the other set of talks, experts will discuss specific arrangements for spent fuel storage and ultimate disposition.
The two sides will move toward full normalization of political and economic relations. 1)
Within three months of the date of this document, b o t h s id e s w i l l r e d u c e b a r r i e r s t o t r a d e a n d investment, including restrictions on telecommunications services and financial transactions.
2)
Each side will open a liaison office in the other's capital following resolution of consular and other t e c h n ic a l i s s u e s t h r o u g h e x p e r t l e v e l d i s c u s s i o n s .
3)
As progress is made on issues of concern to each side, the U.S. and DPRK will upgrade bilateral relations to the ambassadorial level.
III. Both sides will work together for peace and security on a n u c le a r - f r e e K o r e a n P e n i n s u l a . 1)
The U.S. will provide formal assurances to the DPRK, against the threat or use of nuclear weapons by the U.S.
2)
The DPRK will consistently take steps to implement t h e N o r t h- S o u t h J o i n t D e c l a r a t i o n o n t h e Denuclear ization of the Korean Peninsula.
3)
T h e D P R K w i l l e n g a g e i n N o r t h- S o u t h d i a l o g u e , a s this agreed framework will help create an atmosphere that promotes such dialogue.
- 4-
IV. Both sides will work together to strengthen the i n t e r n a t i o n a l n u c l e a r n o n- p r o l i f e r a t i o n r e g i m e . 1)
The DPRK will remain a party to the Treaty on t h e N o n- P r o l i f e r a t i o n o f N u c l e a r W e a p o n s ( N P T ) a n d w i l l allow implementation of its Safeguards Agreement under the Treaty.
2)
U p o n c o n c l u s i o n o f t h e s u p p l y c o n t r a c t f o r t he provision of the LWR project, ad hoc and routine inspections will resume under the DPRK's Safeguards Agreement with the IAEA with respect to the facilities not subject to the freeze. Pending conclusion of the supply contract, inspections r e q ui r e d b y t h e I A E A f o r t h e c o n t i n u i t y o f safeguards will continue at the facilities not subject to the freeze.
3)
When a significant portion of the LWR project is completed, but before delivery of key nuclear components, the DPRK will come into full compliance with its Safeguards Agreement with the IAEA (INFCIRC/403), including taking all steps that may be deemed necessary by the IAEA, following consultations with the Agency with regard to verifying the accuracy and completeness of the DPRK's initial report on all nuclear material in the DPRK.
____________________ Kang Sok Ju
____________________ Robert L. Gallucci
Head of the Delegation of the Democratic People's Repub lic of Korea, First Vice- Minister of Foreign Affairs of the Democratic People's Republic of Korea
Head of the Delegation of United States of America, Ambassador at Large of the United States of America
SIX-PARTY TALKS
SIX-PARTY TALKS Initiated: 27 August 2003 Participants: China, Democratic People’s Republic of Korea (DPRK), Japan, Russian Federation, Republic of Korea (ROK), and the United States.
Background: The goal of the Six-Party Talks is to identify a course of action to bring security and stability to the Korean Peninsula. The main issue that the talks address is the DPRK’s nuclear weapons program. The Six-Party Talks began in 2003, shortly after the DPRK announced its intention to withdraw from the Treaty on the Non-proliferation of Nuclear Weapons (NPT). The United States requested the participation of China, Japan, South Korea, and Russia due to the DPRK’s breaches of the bilateral Agreed Framework of 1994. Talks have taken place in Beijing, China.
Participants: China: China, the DPRK’s main trading partner, has provided Pyongyang with an enormous amount of humanitarian and energy assistance. Because of this relationship, China plays a vital role in acting as a mediator for the Six-Party Talks. China has an interest in preserving stability in the DPRK due to the large number of refugees it would receive if tensions rose. Regional stability is also needed to ensure China’s continued economic growth. DPRK: The leadership of the DPRK has made it clear that it believes its nuclear weapons program provides vital national security benefits. Energy production is also one of the primary concerns of the DPRK leadership. The DPRK economy is weak, and the nation has suffered multiple famines in recent years that have killed large numbers of its citizens. Within the Six-Party Talks, the leaders of the DPRK seek to gain security, energy, and economic benefits. Japan: Japan believes that the DPRK’s nuclear weapons program directly threatens its national security. Besides seeking the denuclearization of the Korean Peninsula, Japan wishes to address other issues in the Six-Party Talks, such as the abduction of Japanese citizens by the DPRK government.
Russian Federation: Russia exerts less influence on the DPRK than China, as Russian trade with the DPRK has hit historic lows in recent years. Due to a shared border, Russia is also concerned about the flow of refugees that would occur in the event of a conflict. Russia wishes to see the DPRK’s nuclear weapons program dismantled in order to prevent the proliferation of nuclear materials and technology to both state and non-state actors. Republic of Korea: In 1953 the United States, China, and the DPRK reached an armistice that ended the fighting of the Korean War. This agreement was not signed by South Korean President Syngman Rhee; therefore, the two Koreas technically remain at war. South Korea is interested in seeing the DPRK dismantle its nuclear weapons program as it poses a direct security threat to peace and security on the Korean Peninsula. Due to a change in policy towards the DPRK that occurred in the late 1990’s with the Sunshine Policy, which aimed at promoting reunification, another one of South Korea’s main goals within the Six-Party Talks is to create a political atmosphere in which reunification of the two nations can be achieved. United States: The United States wishes to see the DPRK nuclear weapons program dismantled in order to prevent the proliferation of nuclear technology and materials to both state and non-state actors. The United States is committed to defend South Korea in accordance with the Mutual Security Agreement signed in 1953. The United States has approximately 37,000 troops stationed in South Korea.
Developments: For related information, see sections on Joint Declaration of South and North Korea, KEDO, and IAEA 2012: On 23 February, talks between the United States and North Korea resumed in Beijing. The DPRK agreed to halt their nuclear tests, long-range missile launches and enrichment activities at Yongbyon nuclear complex. In addition, they promised to allow IAEA inspectors to monitor the moratorium on uranium enrichment at the complex. In return, the United States pledged to resume
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-1
SIX-PARTY TALKS 240,000 metric-tons of food aid. The agreement was known informally as the “Leap –day agreement.” In commemoration of the late president Kim IlSung’s 100th birthday, North Korea launched the Kwangmyongsong-3 satellite on April 6, which failed to reach orbit. The United States and South Korea viewed the act as a test of missile technology and suspended food aid to the DPRK. The United States has since been meeting with other Six-Party members including ROK and Japan individually regarding a peaceful solution to the issue. On May 3 during the first preparatory meeting for the 2015 NPT Review Conference in Vienna, the five permanent members of the UN Security Council issued a joint statement strongly urging the DPRK to “fulfill its commitments under the 2005 Joint Statement of the Six-Party Talks, and to fully comply with the obligations under UN Security Council Resolutions 1718 and 1874, including abandoning all its nuclear weapons and existing nuclear programs and immediately ceasing all related activities.” On May 22, North Korea vowed to move ahead with its nuclear program and take “self-defense” measures to protect itself from U.S. hostility regarding its satellite launch in April. There is concern among the Six-Party members that a nuclear test could follow shortly, as it has in the case of past rocket/satellite launches. In response, U.S. Special Envoy Glyn Davies emphasized the need for sanctions against the DPRK during meetings with Chinese officials in Beijing. Despite statements by North Korea that it does not intend to test a nuclear device, satellite images indicate construction at rocket launch sites is progressing rapidly. 2011: Despite threats from North Korea, the United States and South Korea started their annual joint military exercises on February 28. The exercises, designed to test force preparedness for a conflict with North Korea, were described by both parties as “defensive in nature” but were viewed by the DPRK as acts of aggression. They will continue through 30 April. On March 15, North Korea indicated to Russia its willingness to return to the Six-Party Talks if they were resumed unconditionally. Russia responded the next day indicating its readiness to restart the SixParty Talks. Also on March 15 the G8 Foreign Ministers condemned DPRK’s continued violation of UN Security Council Resolutions 1718 and 1874 following DPRK’s disclosure of uranium enrichment activities.
On 17 March, South Korea rejected North Korean proposals to return to the Six-Party Talks to discuss its uranium enrichment capabilities. The South Korean Foreign Minister Kim Sung-hwan said that the DPRK must show its commitment to disarmament not just in words but also in action, demanding disarmament steps taken by the DPRK before resuming negotiations. On July 22, nuclear negotiators from South Korea and the DPRK met on the sidelines of the ASEAN Regional Forum in Bali. The meeting represented the first direct engagement between the two countries since 2008. After the meeting, both sides confirmed that they were prepared to undertake efforts to restart Six-Party Talks. U.S. Secretary of State Hillary Clinton, who attended the ASEAN Regional Forum, declared that the United States was encouraged by the dialogue between the North and South, but that the DPRK must undergo a “change in behavior” before talks can be resumed. Clinton then met with Japanese Foreign Minister Takeaki Matsumoto and South Korean Foreign Minister Kim Sung-hwan. Following the meeting, they issued a trilateral statement declaring that talks between the two Koreas must be “a sustained process” and that Six-Party dialogue would not resume until the DPRK displayed a “sincere effort” to reconcile with South Korea. On the last day of the Bali forum, Clinton invited Kim Kye Gwan, North Korea’s vice foreign minister and former chief nuclear envoy, to New York for “exploratory” talks on the resumption of Six-Party dialogue. On July 28 and 29, the U.S. Special Envoy to North Korea, Stephen Bosworth, met with North Korean First Vice Minister Kim Kye Gwan in New York to discuss the possibility of a resumption of Six-Party Talks. Following their meetings, Kim stated, “I am satisfied with talks this time,” and expressed North Korea’s intention to continue dialogue in the future. Kim specifically called for “more bilateral” talks to precede a resumption of Six-Party negotiations. On August 10, South Korea's top security advisor, Chun Young-woo, arrived in the United States for three days of meetings with top U.S. officials to discuss recent developments surrounding the possible resumption of Six-Party Talks. On August 24, Kim Jong-Il met with Russian President Dimitry Medvedev to discuss the possible resumption of Six-Party Talks. The North Korean leader declared that he would be willing to return to talks without preconditions and to negotiate a moratorium on the production and testing of nuclear weapons once the talks had resumed. Kim Jong-Il
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-2
SIX-PARTY TALKS and Medvedev also discussed a range of joint energy and infrastructure projects, and Russia pledged to provide the DPRK with 50,000 tons of wheat. South Korea and the United States responded skeptically to Kim Jong-Il’s statements, and both called for the DPRK to take meaningful, tangible steps toward denuclearization before Six-Party talks could resume. On September 27, DPRK Deputy Foreign Minister Pak Kil Yon stated at the United Nations, that the DPRK was ready for an ‘unconditional resumption’ of Six-Party Talks. Pak Kil Yon also called for mechanisms that will make Security Council Resolutions related to peace and security (i.e. sanctions and use of force), subject to United Nations General Assembly approval. On 19 December, North Korea announced that Kim Jong-Il died. 2010: On 11 January, DPRK Foreign Minister Paek Nam Sun stated that the formation of a peace treaty with the United States was a precondition for his country’s return to the Six-Party Talks. On 4 February, Kurt Campbell, U.S. Assistant Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs responded by announcing that United States would continue to hold the DPRK’s return to the Six-Party Talks as an essential precondition to discussing a peace treaty or lifting any sanctions imposed by the United Nations. On 26 March, a South Korean warship, the Cheonan, sank after coming into contact with a torpedo, killing 46 soldiers. In May, South Korea formally accused DPRK of launching a torpedo against its warship, but North Korea denied having any involvement in the explosion. South Korean officials stated they would not resume Six-Party Talks until the Cheonan incident was resolved and an official policy response from North Korea was given. On 22 April, Russian Foreign Minister Sergei Lavrov called for a reconvening of Six-Party Talks, after DPRK announced it would not eliminate its nuclear weapons program, but instead wanted to work with “other nuclear weapons states” in their nonproliferation efforts. On 27 August, North Korea’s Kim Jong-Il met with Chinese President Hu Jintao in an attempt by China to re-engage North Korea in Six-Party Talks. During the meeting Kim Jong-Il expressed hope for “the early resumption of the talks.”
On November 8, IAEA Director General Yukiya Amano called on Six-Party countries to resume talks “at an appropriate time.” However, South Korean military exercises near a disputed sea border prompted DPRK to shell South Korean Yeonpyeong Island on November 23. Artillery fire was exchanged amidst international fears of further attacks and military escalation. On November 28, China called for emergency talks with the Six-Party nations in an attempt to ease tensions on the Korean peninsula and strengthen communication among the Six-Party members. Although China stated that emergency consultations do not mean a resumption of Six-Party Talks, the idea was negatively received by South Korea, Japan, and the United States who felt the timing was not right for talks and that DPRK needed to fulfill its disarmament obligations before Six-Party talks could resume. In that same month, North Korea unveiled its secret 2,000 centrifuge uranium enrichment facility at the Yongbyon complex. North Korea stated that the facility would produce LEU for a light-water reactor under construction in the same complex. However, the plant can also be converted to produce HEU for nuclear weapons. After returning from an unofficial visit to North Korea on December 20, New Mexico Governor Bill Richardson announced that DPRK agreed to allow IAEA inspectors into its enrichment facility to verify that it is not producing HEU. Both the United States and South Korea expressed skepticism about the offer, while China called on North Korea to follow through and accept an inspection. In his annual New Years message, South Korea President Lee Myung-bak called for a revival of SixParty Talks with North Korea in an attempt to ease tensions on the peninsula and reopen diplomatic channels. 2009: On April 5, 2009, the DPRK attempted to place a satellite into orbit with a 3-stage Taepodong-2 missile. The DPRK attempted unsuccessfully to launch the same missile in 2006. During the 2009 test, stage one of the missile fell into the Sea of Japan while the remaining stages along with the payload landed in the Pacific Ocean. This missile test was widely condemned by the international community and was recognized as a violation of United Nations Resolutions 1695 and 1718. On 13 April, members of the United Nations Security Council unanimously adopted a presidential statement condemning the rocket launch as a
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-3
SIX-PARTY TALKS violation of United Nations Security Council Resolution 1718. The statement demanded that the DPRK not conduct any additional launches. It also established a committee to determine whether an adjustment of sanctions would be possible. This statement was drafted after the permanent members of the Security Council failed to agree on a new resolution that included sanctions. In response to the Security Council statement, on April 14, the DPRK announced its withdrawal from the Six-Party Talks and its intention to restore the nuclear facilities that had been shut down under the disablement process. On the same day, the DPRK’s state-run Korean Central News Agency reported: “The DPRK threatened to conduct a nuclear test and more ballistic missile tests if the United Nations Security Council does not apologize to the DPRK and withdraw its condemnation of Pyongyang’s rocket launch earlier this month.” On May 25, the DPRK conducted an underground nuclear test about 70 kilometers northwest of Kimchaek, the site of the 2006 underground nuclear test. The international community, including all five permanent members of the United Nations Security Council, strongly condemned this act. On June 12, the United Nations Security Council unanimously adopted Resolution 1874. This resolution imposed further economic and commercial sanctions on the DPRK and authorized UN Member States to interdict and search DPRK vessels for prohibited cargo. The resolution also called upon the DPRK to retract its announced withdrawal from the NPT and return to the Six-Party Talks. In September, DPRK leader Kim Jong-Il was quoted by China’s Xinhua news agency as saying that he would be open to bilateral talks with the United States in order to resolve relevant issues. In October, Chinese Prime Minister Wen Jiabao visited the DPRK and met with Kim Jong-Il. Afterwards, the Prime Minister announced that the DPRK was ready to return to the Six-Party Talks. He also made it clear that DPRK participation in the talks would be dependant on whether progress was made in the bilateral negotiations with the United States. At the time of this announcement, the South Korean news agency Yonhap reported that the DPRK had nearly completed the restoration of its main nuclear facility in Yongbyon. In December, U.S. special representative to North Korea Stephen Bosworth met with DPRK officials in Pyongyang. The talks did not produce any concrete commitments, though Bosworth reported that he had
reached a common understanding with his counterparts that the DPRK needed to reaffirm its 2005 commitment to abandon nuclear weapons in return for economic aid. 2008: In May 2008, the DPRK provided the United States with the documents that outlined its nuclear program. A month later they released a declaration of all nuclear activities to all members of the Six-Party Talks. The United States reported having found traces of highly enriched uranium on the documents, which was problematic since the DPRK denied having an active uranium enrichment program. The United States also felt that the DPRK documents were insufficient because they did not give an account of proliferation actions with other countries such as Libya and did not contain the exact number of nuclear weapons that the DPRK had produced. While behind schedule, disablement of Yongbyon was reported to be nearing completion and the DPRK submitted its long-overdue nuclear declaration on June 26. The following day, in an effort to demonstrate its commitment to the denuclearization process, the DPRK destroyed the cooling tower of its 5 Mw(e) experimental reactor at Yongbyon. The SixParty Talks resumed negotiations to map out a verification plan. In October, the DPRK agreed to a number of verification measures, and the United States removed it from their list of State Sponsors of Terrorism. In November, the DPRK prevented environmental samples from being taken from its main nuclear complex. These samples would have been used to verify the DPRK’s account of past nuclear activities. 2007: On February 13, the DPRK agreed to an “Action Plan” based on the 2005 Statement of Principles. Under the deal, the DPRK would shut down its nuclear facilities at Yongbyon within 60 days in exchange for 50,000 tons of heavy-fuel aid. Separate bilateral talks with the United States and Japan would also begin in order to normalize relations. Furthermore, in accordance with the Action Plan’s second phase, another 950,000 tons of heavy fuel oil would be delivered along with other humanitarian, economic, and energy aid if the DPRK disabled its nuclear weapons program entirely. On 19 March, DPRK assets in Banco Delta Asia were released and on July 14, the IAEA confirmed the shutdown of Yongbyon nuclear facilities. In October 2007, the six parties agreed to a SecondPhase Action Plan which called for the DPRK to disable its key nuclear facilities at Yongbyon and
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-4
SIX-PARTY TALKS furthermore to submit a full declaration of its entire nuclear program by December 31, 2007. 2006: As a result of failed talks, North Korea tested seven missiles including several long-range missiles in July and announced plans to test a nuclear device. On 9 October 2006, the DPRK tested its first nuclear device at 10:35am (local time) at Mount Mant’ap near P’unggye-ri, Kilchu-kun, North Hamgyong Province. The yield from the test appeared to be less than 1 kiloton; the DPRK reportedly was expecting at least a 4 kiloton yield, possibly indicating that the nuclear program still had a number of technical hurdles to overcome before it could deploy a usable warhead. In reaction to the test, the UN Security Council passed Resolution 1718 placing sanctions on the DPRK. With Beijing’s behind the scenes negotiations, the DPRK returned to the Six-Party Talks in from November (phase 1) and December 2006 (phase 2) in which the parties reaffirm the September 19, 2005 Joint Statement. The talks would continue into a third phase in 2007. 2005: On 10 February, the DPRK announced that it had manufactured nuclear weapons and was suspending talks for an indefinite period. In April, the ROK claimed the North has shut down its reactor to extract fissile material for nuclear weapons. On May 1, the DPRK partook in another missile test. A fourth round of Six-Party Talks took place in two phases: from July 27 to August 7 and from September 13 to 19. The first phase of the Fourth Round of Six-Party Talks was largely unsuccessful in that no agreements could be made, thus they were recessed until September’s second phase. On 19 September, the DPRK’s delegation to the SixParty Talks signed a “Statement of Principles” whereby Pyongyang agreed to abandon all nuclear programs and return to the NPT and restore IAEA safeguards in exchange for a U.S.-provided lightwater reactor. Implementation was delayed because the DPRK and the United States had desired that the other side fulfill its obligations under the agreement first. Despite the “Statement of Principles,” the Six-Party Talks process was put on hold for over a year. A key issue holding back the talks was a disagreement over financial sanctions placed by the United States on businesses working with the DPRK. In September 2005, Washington froze the assets of Macao-based Banco Delta Asia. The reasons for this action was
controversial, with the United States claiming that the bank was involved in money laundering unrelated to the nuclear issue, while experts claimed it was to gain negotiating leverage over the DPRK nuclear weapons program. As a result, North Korea refused to return to talks and sought to resume building its own nuclear reactor in light of U.S. refusal to implement the Agreed Framework. 2004: In January, U.S. nuclear scientist Dr. Siegfried Hecker was allowed unofficial access to the Yongbyon nuclear facilities. Although he did not find enought evidence to prove they had a weapons program, he did discern they “most likely” have the ability to produce plutonium. The Second Round of Six-Party Talks resumed from February 25-28. While mostly inconclusive, the participants did express their commitment to a nuclear-weapon-free Korean Peninsula and their willingness to coexist peacefully. All parties agreed to coordinate steps to address the nuclear and related concerns and to hold a third round of talks. The Third Round of Six-Party Talks took place June 23-26 in Beijing where parties stressed the need for “words for words” and “actions for actions” and reaffirmed their commitments to the denuclearization of the Korean Peninsula. They agreed, in principle, to a fourth round of talks to be held in September 2004. 2003: On 10 January, DPRK announced its withdrawal from NPT. On 5 February, North Korean officials declared they had reactivated the Yongbyon nuclear reactor to produce electricity “at the present stage.” Despite the DPRK’s reassurances of the peaceful nature of program, the IAEA referred the case to the UN Security Council on February 12. On February 17, the U.S. and the ROK announce they will hold joint military exercises in March, which the DPRK responds to with a missile launch on February 24 and a second on March 10. On April 12, North Korean officials indicated interest in returning to multilateral talks. China hosts trilateral talks between the U.S. and DPRK in Beijing at the end of April. No agreement was made between the parties during the first round of Six-Party Talks held from August 27-29, but all participants expressed a willingness to continue talks at a future date. 2002: On January 29 during his State of the Union address, U.S. President George W. Bush referred to
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-5
SIX-PARTY TALKS North Korea as a member of the “axis of evil” due to their suspected nuclear weapons program. Through April, U.S. and South Korean officials attended several meetings to discuss the possible resumption of U.S. negotiations with North Korea to reinvigorate the 1994 Agreed Framework. South Korean presidential aide Lim Dong Won met with North Korean officials, including leader Kim Jong-Il, who agreed to receive U.S. diplomat Jack Pritchard to discuss restarting U.S.-North Korean negotiations on the Agreed Framework. At issue were the IAEA inspections of North Korea’s nuclear facilities, called for in the 1994 agreement when a “significant portion” of the new reactors was completed. U.S. officials said the inspections could take three to four years to conduct, making their early commencement necessary to avoid interruption or delay in U.S. aid for building the two LWRs intended to supply electricity to North Korea. North Korean officials, however, were reluctant to allow the inspections in the wake of U.S. President Bush’s January “axis of evil” speech, and due to concerns that the United States would renege on its pledge to help the country complete the LWRs. During a visit to the DPRK from October 3-5, U.S. Assistant Secretary James A. Kelly and his delegation advised the North Koreans that the United States had recently acquired information indicating that North Korea had a program to enrich uranium for nuclear weapons in violation of the Agreed Framework and other agreements. On October 16, U.S. officials claimed that North Korea acknowledged they had such a program; however, there is still much conflict over the interpretation of North Korean statements if they really “admitted” possession or asserted their “right” to possession. The following day, Kim Jong-Il stated he would allow inspections of decommissioned nuclear facilities. On November 14, U.S. President George W. Bush declared that November oil shipments to North Korea would be the last if the North did not agree to put a halt to its weapons programs. On December 12, the DPRK threatened to reactivate nuclear facilities for energy generation as a consequence of the Americans’ decision to halt oil shipments Finally, North Korea expelled IAEA inspectors and stated plans to reopen its reprocessing facilities. 2001: On February 22, North Korea threatened to abandon its participation in the Agreed Framework if the Bush administration followed a “different” North Korea policy from that of the Clinton administration.
North Korea also accused the United States of not sincerely implementing the Agreed Framework and emphasized that, should the United States continue to delay implementation, it would not be bound to the agreement any longer. The United States stated in response that it was willing to continue dialogue with the DPRK on security issues and that it would honor the Agreed Framework. On 6 March, U.S. Secretary of State Colin Powell announced that the United States planned to engage with North Korea and pick up where President Clinton had left off. The administration noted some “promising elements” that had been left on the table. President Bush further noted that he was looking forward, at some point in the future, to having a dialogue with the DPRK. However, such dialogue would require complete verification of the terms of a potential agreement. The DPRK called the new U.S. policy hostile. On 6 June, the United States announced its determination to resume “serious discussions” on a “broad agenda” with the DPRK, i.e., comprehensive negotiations, including “improved implementation of the Agreed Framework, verifiable missile ban and North Korean conventional forces on the peninsula.” Some experts interpreted the new comprehensive approach as linkage between progress on nuclear issues with missile, and conventional issues in dealing with North Korea. The DPRK refused to resume talks with the United States on such a comprehensive basis, accusing the Bush administration of committing to a policy of isolation and suppression of North Korea. The DPRK stated that instead of holding comprehensive discussions, bilateral talks should focus on compensating the DPRK for the loss of electricity due to delays in the construction of the Light Water Reactor (LWR) under the Agreed Framework and warned that the accord was in danger of collapse. The Bush administration stated that it was committed to the Agreed Framework; however, construction of the LWR, required by the accord, had not yet begun. However, on 7 June, President Bush announced that his administration would not immediately resume negotiations with the DPRK, he expressed concerns about the ability to verify any agreement with a closed society like North Korea. U.S. officials stated that the administration was conducting a comprehensive review of U.S. policy towards the DPRK. US Congressional Republican leaders urged the administration to reconsider the terms of the Agreed Framework by abandoning the LWR project in favor
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-6
SIX-PARTY TALKS of conventional power plants to meet North Korea’s civilian energy needs. They called into question Pyongyang's “track record” and said that North Korea's regime could hardly be trusted with LWR technology or fissile material. On 13 June, U.S. special envoy Jack Pritchard met North Korea’s UN envoy in New York, beginning a dialogue between the Bush administration and the government in Pyongyang. This meeting was followed by the U.S. administration’s decision to resume negotiations with North Korea after a threemonth review.
Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies Last updated: 05/24/2012
SP-7