PENERAPAN TEORI DAN PENGATURAN MENGENAI MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG DALAM APLIKASINYA PADA RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA Andanawari Satwika dan Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ilmu Hukum Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Kampus UI Depok, Jawa Barat, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Pada era global saat ini, kebutuhan akan pembuatan perjanjian internasional dalam rangka membangun kerjasama antar negara semakin tinggi. Indonesia sebagai negara berkembang juga kemudian banyak terlibat dalam perjanjian internasional. Untuk dapat mengadopsi dan menerapkan perjanjian internsional tersebut, Indonesia butuh untuk meratifikasinya melalui peraturan hukum nasional. Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional pada saat ini telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional, dimana di dalamnya diatur bahwa ratifikasi dapat dilakukan melalui jenis peraturan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Permasalahan yang kemudian kerap kali muncul adalah kebingungan untuk kemudian menentukan jenis peraturan yang akan digunakan untuk meratifikasi, apakah semata-mata hanya melihat materi yang diatur saja atau membutuhkan parameter lain. Permasalahan ditambah dengan pengaturan mengenai materi muatan yang berbeda di beberapa Undang-Undang. Kebingungan ini kemudian dapat diminimalisasi dengan pemahaman atas materi muatan undang-undang yang komprehensif dan pengaturan atas materi muatan yang seragam.
THEORY AND REGULATION OF SPECIFIC SUBSTANCE OF ACT TO BE APPLIED AT INTERNATIONAL AGREEMENT’S RATIFICATION IN INDONESIA Abstract In nowadays’ global era, the need for an international agreement-making in order to establish cooperation between countries is increasing. Indonesia as a developing country also involved in much of international agreement. To be able to adopt and implement the international agreement, Indonesia needs to ratify it through national legislation. The mechanism for ratification of an international agreement is currently governed by Law No. 24 of 2000 regarding International Agreement, where it is stipulated that ratification can be done through a type of law rules or regulations of the President. The problem that then arises is a confusion to then determine the type of rules that would be used to ratify, whether merely saw the substance regulated or require any other parameters. Problems coupled when regulation on specific substance of Act is different in some regulation. This confusion can then be minimized by understanding the specific substance of the legislation comprehensively and setting up a uniform regulation about that.
Keywords: Specific Substance, Science of Legislation, Ratification, International Agreement
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Dalam perkembangan sejarah hubungan internasional, perjanjian yang dilakukan
antar negara mempunyai peranan penting yang sangat mendasar, apalagi perjanjian itu sendiri merupakan sumber hukum internasional dan sekaligus sebagai cara bagi semua negara untuk mengembangkan kerjasama yang damai sekalipun sistem sosial atau konstitusinya berbeda
1
Perjanjian ini kemudian lazim disebut sebagai perjanjian
internasional, yang kemudian berperan mengatur hidup dan hubungan antar negara dalam masyarakat internasional. Hal ini sejalan dengan definisi perjanjian internasional yang diberikan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.”2 Sebagaimana juga kontrak-kontrak di dalam kehidupan nasional, perjanjian internasional benar-benar merupakan pokok hubungan dalam masyarakat internasional.3 Suatu perjanjian internasional kemudian pada dasarnya merupakan persetujuan antara para pihak mengenai berbagai persoalan internasional yang kemudian akan diatur dalam naskah perjanjian.4 Perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajibankewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta (para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara-negara untuk melaksanakan dengan itikad baik kewajiban-kewajibannya.5 Sampai dengan tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur dalam hukum kebiasaan internasional. Mengenai mekanisme untuk membentuk aturan-aturan baru dalam hukum internasional adalah masih sangat terbatas. Kebiasaan tersebut hanya mengandalkan pada tindakan dalam praktik negara yang didukung oleh 1
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2008), hal. 1.
2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 117. 3
William L. Tung, International Law in Organizing World, (New York: 1968), hal. 327.
4
Para pihak disini tidak kemudian terbatas hanya pada perjanjian negara dengan negara, tetapi juga untuk perjanjian negara dengan organisasi internasional yang kemudian pada intinya juga menyangkut hubungan antara negara dan tanggung jawab negara. Mengenai perjanjian internasional dengan Organisasi Internasional sebagai salah satu pihaknya telah diakomodasi dengan disahkannya Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional. 5
F. Isjwara, Pengantar Hukum Internasional, 4th Edition, (Bandung: Alumni, 1972), hal. 201.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
opinio juris. 6 Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. 7 Konferensi inilah yang kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties (untuk selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969) yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969.8 Di dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969 kemudian memberikan definisi untuk perjanjian internasional: “Treaty means an international agreement concluded between states in written form governed by international law, whether embodied in a single instrument or two or more related instruments and whatever is particular designation.”9 (cetak tebal dari Penulis untuk memperjelas poin yang dituju)
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional, yang lazim kemudian dikenal sebagai treaty (traktat), merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara-negara dalam bentuk tertulis dan seterusnya, sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan ke dalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional. Pengertian ini kemudian diakomodasi dan dikembangkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Permerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau 6
Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, hal. 1.
7
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal. 83. 8
Konvensi Wina 1969 mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan menjadi hukum internasional positif. Sampai dengan Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada konvensi tersebut. Indonesia sendiri belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut dan belum meratifikasinya, tetapi keterikatan Indonesia terhadap Konvensi Wina 1969 melalui mekanisme hukum kebiasaan internasional telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan Tahun 2002 (sumber: ICJ Case Sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, 17 Desember 2002, para. 37). 9
Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, hal. 31, dengan terjemahan: “Traktat (Perjanjian) diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antara negara di dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik itu tersusun di dalam satu instrument tunggal, dua atau lebih instrument yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus.”
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”
Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian tertulis yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, termasuk juga Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat.10 Pada umumnya perjanjian internasional akan segera mengikat bagi negara-negara pesertanya apabila telah melalui proses ratifikasi.11 Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional bagi suatu negara. Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional. Implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (untuk selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional). Pedoman yang digunakan untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 hanya didasarkan pada pengaturan yang ada pada konstitusi sampai kemudian dikeluarkannya Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang mengatur mengenai pengesahan melalui Undang-Undang atau Keputusan Presiden.12 Sebelum UU Perjanjian Internasional berlaku masih terdapat kesimpangsiuran dan belum terdapat keseragaman dan pedoman yang jelas mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan dan yang ada hanya Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat (untuk selanjutnya disebut DPR) mengenai
10
Kedaulatan Indonesia untuk kemudian membentuk perjanjian internasional dengan negara lain diberikan dan diatur oleh Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” 11
Pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Dalam hal pengesahan, adakalanya suatu negara mengikat dirinya dengan syarat bahwa persetujuan atas sebuah perjanjian harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya atau kemudian lazim dikenal dengan sebutan ratifikasi sebagaimana juga di Indonesia. Dalam hal demikian, persetujuan yang diberikan dengan penandatangan bersifat sementara. (lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Bandung: PT. Alumni, 2003, hal. 125 – 136) 12
Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Cet. 2, (Bandung: Remadja Karya CV, 1988), hal. 85.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
penafsiran terhadap Pasal 11 tersebut, khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional. Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua pengertian, yaitu perjanjian terpenting (treaties), yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR13 dan perjanjian lain (agreements) yang akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. 14 Walaupun Surat Presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan kriteria perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting, tetapi dalam perkembangan dewasa ini terdapat ketidakjelasan atas bidang perjanjian tersebut,
sehingga
pembuatan
dan
pengesahannya
mengalami
keracuan
dan
kesimpangsiuran. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang Perjanjian internasional, yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahkanlah UU Perjanjian Internasional yang kemudian menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia.15 Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional, dalam praktiknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu melalui UndangUndang dan Keputusan Presiden (untuk selanjutnya disebut Peraturan Presiden). 16 Dalam menentukan suatu perjanjian internasional akan diratifikasi melalui Undang 13
Hal ini diatur di dalam butir keempat Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. Perjanjian yang kemudian membutuhkan persetujuan DPR lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut: a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat memperngaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas. b. Ikatan-ikatan yang demikian rupa sifatnya, sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri. Dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang. c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem perundangundangan kita harus diatur dengan Undan-Undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soalsoal kehakiman. (lihat Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Cet. 2, Bandung: Remadja Karya CV, 1988, hal. 77) 14
Jenis perjanjian lain (agreements) yang kemudian tidak jelas kriteria dan batasannya justru menimbulkan kerancuan tersendiri. Pada akhirnya, pembedaan antara treaty dan agreements mengarahkan pemikiran kepada perbedaan nama (nomenclature) menentukan jenis dan kedudukan dari suatu perjanjian internasional. 15
www.dfa-deplu.go.id, diakses pada 17 September 2013 pukul 17.48.
16
Perubahan nama dari “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Presiden” adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana dalam Pasal yang berisi mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut telah mengganti sebutan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Presiden” yang di dalam tata urutan berada di urutan keempat setelah UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Undang atau dengan Peraturan Presiden akan dilihat dari substansi atau materi perjanjian, bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional. 17 Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:18 a. Masalah politik, perdamaian, dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia; c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru; f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri. Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk di atas dilaksanakan dengan Peraturan Presiden.19 Pengesahan perjanjian melalui Peraturan Presiden dilakukan bagi perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran, niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.20 Berdasarkan ketentuan tersebut sedikit terdapat kejelasan bagaimana suatu perjanjian internasional akan kemudian diratifikasi dengan jenis peraturan yang mana. Namun, dalam penerapannya di dunia praktik masih banyak kesimpangsiuran dalam 17
Hal ini sesuai dengan bunyi dari Penjelasan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional: “Pengesahan perjanjian internasional melalui Undang-Undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang.” (cetak tebal diberikan Penulis untuk menunjukkan poin penting yang dituju Penulis) 18
Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU Nomor 24 Tahun 2000, Lembaran Negara RI No. 185 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4012, Pasal 10. 19
Ibid, Pasal 11 ayat (1).
20
Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
melaksanakan ratifikasi ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional. Kesimpangsiuran ini berkaitan dengan pengaturan mengenai materi muatan peraturan perudang-undangan yang kemudian menjadi pembeda utama bentuk peraturan perundangundangan di Indonesia. Hal ini yang kemudian akan menjadi bahasan penulis untuk mensinkronisasikan ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk peraturan perundangundangan yang tepat sesuai dengan teori pengaturan materi muatan peraturan perundangundangan. Materi muatan peraturan perundang-undangan pada saat ini diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (untuk selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011). Di dalam UU No. 12 Tahun 2011, perjanjian internasional termasuk dalam materi muatan undang-undang secara tersendiri.21 Hal ini berbeda dengan kemudian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (untuk selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 2004) yang tidak mengklasifikasikan secara tersendiri perjanjian internasional sebagai materi muatan undang-undang. Walaupun di dalam UU No. 12 Tahun 2011 mengatakan hanya perjanjian internasional tertentu22, pemisahan ini secara tidak langsung berimplikasi pada jenis peraturan untuk ratifikasi perjanjian internasional yang cenderung akan melalui Undang-Undang. Hal ini kemudian tidak sejalan dengan semangat dari UU Perjanjian Internasional yang membuat klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang. Padahal secara sistem pengesahan, Peraturan Presiden lebih mudah dan lebih singkat. Jenis peraturan perundang-undangan yang akan dipilih dalam meratifikasi suatu perjanjian juga harus kemudian disesuaikan dengan teori dan pengaturan dari materi muatan peraturan perundang-undangan dengan melihat kemudian materi muatan dari perjanjian yang akan diratifikasi. Yang menjadi permasalahan dasar untuk menerapkan teori materi muatan peraturan perundang-undangan dalam kemudian menentukan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat untuk ratifikasi adalah pengertian mengenai materi muatan sendiri masih belum terlalu banyak dipahami. Oleh karena itu, Penulis berpendapat perlunya pembahasan 21
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran Negara RI No. 82 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5234, Pasal 10 ayat (1) huruf c. 22
Penulis meyakini bahwa kata tertentu di sini adalah untuk membatasi jenis perjanjian internasional yang dapat diratifikasi melalui Undang-Undang sesuai dengan kriteria dan materi yang telah diatur di dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
mengenai teori dan pengaturan materi muatan peraturan perundang-undangan terutama dalam penerapannya pada ratifikasi perjanjian internasional untuk menentukan jenis peraturan yang tepat dan mendukung keberlakuannya secara nasional. Berdasarkan latar belakang tersebut Penulis mencoba menulis skripsi dengan judul: PENERAPAN TEORI DAN PENGATURAN MENGENAI MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG DALAM APLIKASINYA PADA RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA. 1.2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dikemukakan
beberapa pertanyaan untuk penelitian ini: 1. Bagaimana teori dan pengaturan mengenai materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Presiden di Indonesia? 2. Bagaimana penilaian mengenai materi muatan suatu perjanjian internasional dalam menentukan jenis peraturan perundang-undangan untuk ratifikasi perjanjian internasional selama ini? 3. Bagaimana penentuan jenis peraturan perundang-undangan untuk ratifikasi perjanjian internasional yang lebih tepat disesuaikan dengan materi muatan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia? 1.3.
Tujuan Penulisan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan teori dan
pengaturan materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tujuan khusus dari penelitian ini, berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang ada, yaitu: 1. mengetahui bagaimana teori dan pengaturan mengenai materi muatan UndangUndang dan Peraturan Presiden di Indonesia; 2. mengetahui dan memperjelas bagaimana penerapan materi muatan Undang-Undang dalam menentukan jenis peraturan untuk ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia selama ini; dan 3. menjawab bagaimana seharusnya penentuan bentuk peraturan perundang-undangan untuk ratifikasi perjanjian internasional disesuaikan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2.
Tinjauan Teoritis
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
2.1.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan menjadi kerangka teori pertama yang
harus diketahui karena dari pemahaman adanya hierarki peraturan perundang-undangan maka akan dipahami adanya perbedaan yang spesifik dari materi muatan setiap peraturan. Hierarki adalah tata susunan yang dalam konsep norma atau peraturan perundang-undangan pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen melalui teorinya Stufentheorie. 23 Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi ini juga bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis (Grundnorm).24 Salah seorang murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky, mengembangkan teori Kelsen tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Teorinya disebut dengan die Theorie von Stufenordnung der Rechtsnormen (hierarki norma hukum negara). 25 Nawiasky berpendapat bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara menurutnya terdiri atas empat kelompok besar, yaitu: Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Nawiasky mencoba menyempurnakan konsep Grundnorm Hans Kelsen yang dianggapnya mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, sedangkan di dalam suatu negara memungkinkan Norma Dasar Negara itu berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu kudeta atau pemberontakan, sehingga lebih tepat disebut dengan Staatsfundamentalnorm.26 Di Indonesia, yang menempati kedudukan ini adalah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila. 23
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 41. 24
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz). Teori ini menyatakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas dia bersumber dan berdasar pada norma yang ada di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi hukum di bawahnya. (lihat Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal. 41 – 42) 25
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan…, hal. 44.
26
Jimly Ashiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hal. 155.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Kelompok II : Staatsgrundgezets (Aturan Dasar Negara) Di Indonesia yang menempati kelompok ini adalah Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. Kelompok III : Formell Gezets (Undang-Undang Formal) Di Indonesia yang dimaksud sebagai Undang-Undang Formal adalah Undang-Undang sebagaimana yang dibentuk oleh DPR selaku badan legislatif dengan persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom) Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom ini merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang.27 Di Indonesia, hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan saat ini diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, yakni: a. UUD NRI Tahun 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hierarki ini kemudian mempengaruhi materi muatan dari setiap peraturan yang ada, sehingga tidak saling menyimpangi materi muatan yang sudah seyogyanya diatur dengan salah satu jenis peraturan. 2.2.
Materi Muatan Undang-Undang
27
Seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai konsep Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom yang lahir dari kewenangan delegasi dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih renda atau dari kewenangan atribusi dari peraturan yang lebih tinggi. Yang perlu dipahami di sini adalah peraturan yang lebih tinggi di sini terbatas hanya sampai Undang-Undang, tidak kemudian sampai pada taraf UUD NRI Tahun 1945, sehingga kemudian tidak dapat dikatakan bahwa Undang-Undang adalah sebuah “peraturan delegasian” dari UUD NRI Tahun 1945.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Materi Muatan Undang-Undang adalah suatu istilah yang pertama kali dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun ke IX, Mei 1979, sebagai pengganti kata Belanda “het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet.” 28 A. Hamid S. Attamimi yang diterjemahkan oleh beliau sebagai “materi muatan yang khas dari Undang-Undang”, yakni materi pengaturan yang khas dan hanya semata-mata dimuat dalam Undang-Undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan Undang-Undang.29 Dari dapat ditentukannya materi muatan Undang-Undang, akan kemudian dapat ditentukan juga materi muatan dari jenis peraturan lain yang berada di bawahnya, termasuk juga materi muatan Peraturan Presiden. Pendapat A. Hamid S. Attamimi ini berbeda dengan pandangan ahli hukum pada umumnya. Para ahli umumnya berpendapat materi muatan Undang-Undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya, mengingat Undang-Undang merupakan perwujudan kedaulatan raja atau kedaulatan rakyat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.30 Kedaulatan itu sendiri kemudian bersifat mutlak, ke luar tidak bergantung pada siapapun dan ke dalam merupakan kekuasaan tertinggi di atas segalanya. Dengan demikian, menurut para ahli tersebut, semua materi yang dikehendaki diatur oleh undang-undang adalah materi muatan Undang-Undang.
31
Pengertian ini kemudian diperjelas oleh Dosen Ilmu
Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sony Maulana Sikumbang, S.H., M.H., di dalam perkuliahannya:
“Materi Muatan Undang-Undang adalah materi-materi yang jika hendak diatur maka pengaturan pertama kali atas materi itu adalah harus dengan jenis UndangUndang. Materi tersebut baru kemudian dapat diatur dengan peraturan perundang-undangan lain sepanjang peraturan peraturan perundang-undangan
28
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan…, hal. 234.
29
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hal. 192. 30
Ibid., hal. 235
31
Ibid.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
lain yang bersangkutan mendapatkan atribusian atau delegasian kewenangan dari Undang-Undang.”32 (cetak tebal diberikan oleh Penulis untuk menandai poin utama dari penjelasan di atas)
Di dalam pemaparannya, Sony Maulana berusaha memperjelas apa yang kemudian dibawa oleh A. Hamid S. Attamimi dengan konstruksi frasa “pengaturan pertama kali” untuk kemudian membatasi bahwa materi yang sudah pernah diatur melalui UndangUndang maka pengaturan selanjutnya tidaklah lagi harus dengan Undang-Undang, melainkan Undang-Undang dapat memberikan atribusi atau delegasi untuk membuat peraturan lanjutan tersebut. Hal ini untuk kemudian membatasi bahwa tidak semua pengaturan harus melalui Undang-Undang karena Indonesia sendiri telah diberikan instrumen pengaturan dalam beberapa jenis sesuai dengan hierarki yang telah diatur di dalam Undang-Undang. Berbeda dengan para ahli pada umumnya dan mengembangkan kedua pendapat terdahulunya, A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang, khususnya di Indonesia, merupakan hal yang penting untuk diteliti dan dicari batasannya. A. Hamid S. Attamimi memandang materi muatan Undang-Undang kemudian berbeda, setidaknya dalam lingkup Indonesia. Hal ini berbeda kemudian dengan wet di negara Belanda yang memang tidak dapat ditentukan batas-batas lingkupnya. Hal ini dikarenakan wet dan Grondwet di negara Belanda dibentuk oleh lembaga-lembaga yang sama, yang juga menyelenggarakan kedaulatan rakyat. 33 Sementara, Undang-Undang di Indonesia berbeda dengan wet, selain karena lingkup bidangnya khusus, juga dibentuk oleh suatu lembaga tinggi negara (Presiden) dengan persetujuan lembaga tinggi negara lain (DPR) yang keduanya tidak menyelenggarakan kedaulatan rakyat.34 Oleh karena itu, A. Hamid S. Attamimi juga kemudian berpendapat bahwa materi muatan sebuah peraturan perundangundangan negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada cita negara dan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan negara yang menentukannya. Menurut A. Hamid S. 32
Pengertian ini disampaikan oleh Sony Maulana Sikumbang, S.H., M.H. di dalam perkuliahan “Ilmu Perundang-Undangan” yang diikuti penulis pada tahun 2010 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 33
Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia…”, hal. 211.
34
Kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Attamimi, dengan konstruksi Indonesia sebagai negara presidensiil seharusnya mencukupi segala pengaturan melalui sebuah Peraturan Presiden. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Namun, apabila dilihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan yang menyebutkan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” maka jelaslah bahwa kewenangan Presiden dalam membentuk Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR. Persetujuan DPR inilah yang kemudian memiliki “wujud yang khusus” yang dapat diterapkan batas lingkupnya karena suatu bagian yang khusus selalu merupakan bagian tertentu dan karena itu dapat diterapkan batas-batasnya.35 Berikut uraian A. Hamid S. Attamimi mengenai materi muatan Undang-Undang dengan tiga pedoman: (i)
Dari Ketentuan Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945
(ii)
Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar atas Hukum (Rechtstaat)
(iii)
Berdasarkan
Wawasan
Pemerintahan
berdasarkan
sistem
Konstitusi
(Konstitusionalisme) Adapun dari tiga pedoman tersebut yang kemudian menjadi materi muatan Undang-Undang adalah 9 butir di bawah ini (i)
yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR;
(ii)
yang mengatur lebih lanjut Ketentuan UUD;
(iii)
yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
(iv)
yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
(v)
yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
(vi)
yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;
(vii)
yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
(viii)
yang
mengatur
siapa
warga
negara
dan
cara
memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan; (ix)
yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Adapun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang kemudian mengatur
mengenai materi muatan antara lain adalah UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti menjadi UU No. 12 Tahun 2011, serta UU Perjanjian Internasional yang membatasi ruang lingkup materi perjanjian yang diratifikasi melalui Undang-Undang. 35
Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia…, hal. 207.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
2.3.
Peraturan Presiden Peraturan Presiden dalam tulisan ini adalah apa yang kemudian dikatakan oleh A.
Hamid S. Attamimi sebagai Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan.36 Kewenangan Presiden dalam membuat Peraturan Presiden lahir dari Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang tampuk kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” 37 Berdasarkan pendapat Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan negara secara formal itu mengandung kekuasaan mengatur dan memutus, sedangkan secara material mengandung unsur memerintah dan menyelenggarakan maka sebenarnya Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara dapat membentuk semua peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. 38 Di bidang pembentukan semua peraturan perundang-undangan negara, tugas dan fungsi untuk itu berada di tangan Presiden dan oleh karena itu diselenggarakan oleh Presiden sendiri, kecuali hal-hal yang menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 harus dilakukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR, yaitu dalam hal membentuk Undang-Undang. Pembentukan Peraturan Presiden yang dilakukan Presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan yang dalam sistem Trias Politika dikenal sebagai kekuasaan eksekutif. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa: a. pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (Peraturan Presiden delegasian)39; dan 36
Untuk selanjutnya di dalam pembahasan skripsi ini, seluruh teori yang masih menggunakan terminologi Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan akan diganti penyebutannya oleh Penulis menjadi Peraturan Presiden tanpa mengubah makna dan isi dari apa yang dikutip langsung oleh Penulis. 37
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1).
38
Maria Farida Indrati S., “Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara di Republik Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2002), hal. 124. 39
Delegasian dari Peraturan Pemerintah kepada Peraturan Presiden adalah sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Namun, di dalam bukunya, Maria Farida menuliskan bahwa Peraturan Presiden juga dapat merupakan delegasian dari Undang-Undang. Hal ini dikarenakan Maria Farida menganggap bahwa yang perlu diingat dari delegasi adalah dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah. Dengan konstruksi bahwa Undang-Undang secara hierarkis berada di atas Peraturan Presiden maka Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada Peraturan Presiden walaupun lazimnya Undang-Undang mendelegasikan kepada Peraturan Pemerintah terlebih dahulu. (lihat Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal. 225 dan 244)
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
b. pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas (Peraturan Presiden yang bersifat mandiri).40 Walaupun di dalam Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk di dalam Pasal 10 dilakukan dengan Peraturan Presiden, bukan berarti kemudian Peraturan Presiden di sini adalah Peraturan Presiden delegasian karena Undang-Undang tidak mendelegasikan langsung pengaturan mengenai suatu hal yang khusus kepada Peraturan Presiden di sini. Peraturan Presiden yang kemudian digunakan sebagai salah satu jenis peraturan untuk meratifikasi perjanjian internasional adalah Peraturan Presiden yang bersifat mandiri, yang merupakan kewenanagan yang diberikan oleh Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 2.4.
Ratifikasi Kata ratifikasi berasal dari “ratificare” dalam bahasa Latin artinya “pengesahan”
atau “persetujuan”. Istilah “pengesahan” yang dipergunakan dalam praktik hukum perjanjian internasional di Indonesia, khususnya UU Perjanjian Internasional diambil dan diterjemahkan dari istilah “ratifikasi”.41 Menurut Pasal 2 (1) b Konvensi Wina 1969, ratifikasi adalah:
“’Ratification’, ‘acceptance’. ‘approval’, and ‘accession’ mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty;” (cetak tebal diberikan Penulis untuk menekankan bahwa yang dituju Penulis di sini adalah kata “ratifikasi”)42
Selanjutnya menurut Konvensi Wina 1969, ratifikasi adalah salah satu cara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan lazimnya selalu didahului dengan adanya penandatanganan. Contoh formula baku yang selalu dirumuskan untuk menggambarkan 40
Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia…”, hal. 234.
41
Hal ini yang kemudian mendasar penulis akan menggunakan istilah ratifikasi sekalipun di dalam pengaturan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “pengesahan”. 42
Diterjemahkan oleh Penulis: “Ratifikasi”, “Penerimaan”, “Pengesahan”, “Aksesi”, dalam setiap kasus diartikan sebagai tindakan internasional apapun namanya dimana suatu negara dalam taraf internasional membuat kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
persyaratan ratifikasi adalah dengan adanya klausul “The present agreement shall come into force on the date of its signing.” Berbagai literatur di Indonesia menjelaskan kedua jenis perjanjian berdasarkan tahapan pembuatannya, yaitu: a. Perjanjian yang dibuat tiga tahap, yaitu melalui perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. b. Perjanjian
yang
dibuat
dua
tahao,
yaitu
melalui
perundingan
dan
penandatanganan. Dari rumusan di atas maka ratifikasi adalah perbuatan hukum lebih lanjut suatu negara guna mengonfirmasi perbuatan penandatanganan yang mendahuluinya. 43 Istilah ratifikasi yang digunakan di dalam skripsi ini adalah istilah ratifikasi dari perspektif prosedur internal, yaitu hukum nasional Indonesia yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan perjanjian internasional serta mengatur produk hukum apa yang harus dikeluarkan, apakah Undang-Undang atau Peraturan Presiden.44 2.5.
Perjanjian Internasional Dalam skripsi ini perlu dipahami terlebih dahulu konsep dan definisi perjanjian
internasional yang menjadi lingkup bahasan dalam penelitian ini. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 International Court of Justice Statue (untuk selanjutnya disebut ICJ Statue), perjanjian internasional termasuk salah satu sumber hukum internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus.45 Untuk kemudian lebih memahami apa pengertian sesungguhnya dari perjanjian internasional maka perlu dipahami definisi hukum seperti apa yang dirumuskan oleh hukum internasional. Hukum perjanjian internasional telah berkembang pesat dan telah terkodifikasi ke dalam berbagai konvensi internasional, seperti Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Definisi perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969, yaitu: 43
Damos Damoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian teori dan Praktik Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 70 44
Pengertian secara hukum tata negara diambil dari tulisan A. Hamid S. Attamimi, “Pengesahan/Ratifikasi Perjanjian Internasional ‘Diatur’ oleh Konvensi Ketatanegaraan”, Majalah Hukum dan Pembangunan, FHUI, 1982, hal. 341. Dari perspektif prosedur eksternal, ratifikasi diartikan sebagai tindakan pengikatan diri terhadap suatu perjanjian secara internasional yang validitasnya diatur oleh hukum perjanjian internasional. 45
Lihat pasal 38 ICJ Statue menyatakan bahwa yang merupakan sumber hukum internasional, yakni treaty (perjanjian internasional), customary international law (hukum kebiasaan internasional), general principles (prinsip-prinsip umum), dan judicial decision (putusan pengadilan).
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
“Treaty means an international agreement concluded between states in written form governed by international law, whether embodied in a single instrument or two or more related instruments and whatever is particular designation.”
Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh UU Perjanjian Internasional dengan sedikit modifikasi, yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”46
Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu: a.
Perjanjian
tersebut
harus
berkarakter
internasional
(an international
agreement) b.
Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law)
c.
Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by international law
Perjanijian Internasional terdiri dari banyak nomenklatur atau nama. Dari sisi praktik Indonesia sendiri, nomenklatur ternyata tidak menentukan apakah perjanjian tersebut kemudian akan diratifikasi melalui Undang-Undang ataupun Peraturan Presiden, walaupun kemudian dalam penjelasan di atas dikatakan ada perjanjian yang lebih penting secara kedudukan. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, yaitu:
46
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Pasal 10 ayat (1) huruf c.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
“Pengesahan perjanjian internasional melalui Undang-Undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang.”
Penjelasan ini juga kemudian didukung oleh hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Ibu Dyah Kusumastuti, S.H., LL.M. selaku Kepala Bidang Ratifikasi Kedeputian Polhukam Setkab. 47 Dalam wawancara tersebut, beliau memaparkan bahwa dalam menentukan jenis peraturan perundang-undangan untuk ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya melihat nomenklatur dan judul dari perjanjian, melainkan melihat substansi dari perjanjian tersebut untuk kemudian ditentukan jenis peraturan untuk meratifikasinya. 3.
Metode Penelitian
1.
Bentuk penelitian Penilitian ini adalah penilitian yuridis-normatif.
2.
Tipologi penelitian Tipologi penelitian ini adalah deksriptif dan evaluatif.
3.
Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa wawancara dengan narasumber dan data sekunder berupa data kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, risalah pembahasan undang-undang, buku, internet, tesis, disertasi, dan jurnal.
4.
Alat pengumpulan data Untuk dapat mengumpulkan data primer, penulis akan mencari dan mengunjungi narasumber untuk melakukan wawancara secara langsung. Sementara untuk dapat mengumpulkan data sekunder, penulis akan mencari data melalui internet, perpustakaan, dan sumber lain yang memungkinkan.
47
Wawancara dilakukan oleh Penulis pada tanggal 23 Desember 2013, pukul 10.19, bertempat di Kantor Sekretaris Kabinet, Kompleks Sekretariat Negara Gedung III Lantai 3.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
5.
Metode analisis data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
4.
Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah Penulis lakukan dan analisis di dalam Bab 4
dalam pembagian 3 periode maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa aplikasi teori dan pengaturan materi muatan dalam ratifikasi perjanjian internasional sudah cukup berjalan, tetapi belum sepenuhnya sampai pada satu pemahaman yang penuh karena instrumen pengaturan atas materi muatan peraturan perundang-undangan belum seragam. Akibatnya masih ditemukan beberapa kesalahan penerapan peraturan yang sesungguhnya dapat dihindari apabila sudah ada keseragaman pemahaman mengenai materi muatan dan apabila sudah dapat ditentukan suatu formula baku untuk kemudian menentukan penilaian untuk menentukan jenis peraturan di Indonesia. Oleh karena itu, solusi terdingkat adalah menciptakan keseragaman pemahaman mengenai materi muatan peraturan perundangundangan di Indonesia, sehingga kemudian dapat menentukan ruang lingkup perjanjian internasional yang materi nya seperti apa yang harus diratifikasi melalui Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Format penilaian yang lebih baku dan terstruktur juga kemudian dibutuhkan untuk mencapai keseragaman dan keharmonisan pengaturan maupun aplikasinya dalam meratifikasi perjanjian internasional. 5.
Pembahasan Setelah membahas baik Teori maupun Pengaturan mengenai materi muatan
Undang-Undang di Indonesia, Penulis di sini ingin mencoba memberikan suatu formula untuk memudahkan penilaian dalam menentukan jenis peraturan untuk meratifikasi perjanjian internasional. Walaupun kemudian, pada dasarnya yang akan berlaku mutlak dalam menentukan hal tersebut sesungguhnya adalah UU Perjanjian Internasional sesuai dengan asas lex specialis. Namun, di sini penulis mencoba memformulasikan untuk kepentingan penulisan skripsi ini semata. Adapun formula yang akan penulis gunakan terdiri dari 4 (empat) penilaian yang kemudian akan dinilai parameternya untuk menentukan jenis peraturan yang akan digunakan untuk ratifikasi, yaitu:
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
1. Materi muatan perjanjian internasional48 2. Objek dari keberlakuan perjanjian internasional tersebut 3. Pengaruh peraturan terhadap Indonesia 4. Kecepatan akan kebutuhan ratifikasi dan adaptasi (fleksibilitas)49 Ketiga penilaian tersebut kemudian penulis elaborasikan ke dalam tabel sebagai berikut: Materi HAM
dan
Lingkungan
Objek
Pengaruh
Fleksibilitas
Luas, dalam artian
Besar, mempengaruhi
Rigid, perjanjian
mencakup masyarakat
keadaan, sistem, dan
yang akan
Indonesia secara luas
tatanan hukum
diratifikasi
Indonesia
cenderung tidak akan banyak berubah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga kebutuhan akan kecepatan meratifikasinya cenderung tidak butuh terlalu cepat.
Masalah
Politik,
Perdamaian Pertahanan,
dan
Keamanan Negara
Sempit, dalam artian
Kecil, hanya berupa
Fleksibel, perjanjian
hanya tertuju kepada
prosedur atau
yang akan
suatu lembaga atau
operasional sederhana
diratifikasi
instansi pemerintahan
cenderung cepat mengalami perubahan karena mengikuti kebutuhan zaman yang mana pada akhirnya berimplikasi pada kebutuhan untuk meratifikasinya
48
Materi muatan yang akan penulis jadikan sebagai penilaian adalah elaborasi dari pembahasan teori dan pengaturan materi muatan Undang-Undang yang kemudian berkaitan dengan perjanjian internasional. 49
Tolak ukur ini diambil melihat perkembangan perjanjian internasional di era global ini yang semakin cepat berkembang dan beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Jenis perjanjian yang cenderung cepat mengalami perubahan maka akan lebih baik diratifikasi melalui jenis peraturan yang lebih terbuka untuk perubahan (lebih fleksibel) agar kemudian Indonesia juga dapat beradaptasi dengan perubahan perjanjian yang terjadi.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
dengan cepat agar Indonesia dapat beradaptasi. Perubahan
Wilayah
atau Penetapan Batas Wilayah Hak dan Kewajiban Warga Negara Kedaulatan
Negara
dan Kewarganegaraan Amandemen jenis
dan
peraturan
amandemen sebelumnya
Cenderung diratifikasi dengan jenis peraturan Undang-Undang Cenderung diratifikasi dengan jenis peraturan Peraturan Presiden
Kemudian, Penulis akan mencoba mengambil sampel peraturan perundangundangan yang merupakan ratifikasi perjanjian internasional. Sampel akan dibagi ke dalam 3 periode, yaitu: 1.
Periode I: Periode Tahun 2000 – 2004. Periode ini adalah periode sejak berlakunya UU Perjanjian Internasional (setelah 23 Oktober 2000) sampai dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 (22 Juni 2004). Periode ini diambil dengan adanya perbedaan pengaturan materi muatan Undang-Undang di dalam kedua peraturan tersebut.
2.
Periode II: Periode Tahun 2004 – 2011. Periode ini adalah periode setelah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 sampai dengan digantikan keberlakuannya dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang berjalan beriringan dengan masih berlakunya UU Perjanjian Internasional.
3.
Periode III: Periode 2011 – sekarang. Periode ini adalah periode setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 yang keberlakuannya berjalan beriringan dengan UU Perjanjian Internasional. Perbedaan pengaturan kriteria materi muatan Undang-Undang dalam kedua peraturan ini kemudian menarik dibahas untuk penerapannya di dalam ratifikasi perjanjian internasional.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Penulis akan mencoba mengambil 5 (lima) sampel Undang-Undang dan 5 (lima) sampel Peraturan Presiden yang kemudian akan terdiri dari 2 (dua) sampel yang penulis anggap kurang tepat penerapannya (urutan nomor 1 dan 2 di dalam tabel) dan 3 (tiga) sampel penerapan yang penulis anggap tepat (urutan nomor 3 – 5 di dalam tabel), sesuai dengan formula materi muatan yang telah Penulis coba formulasikan di dalam Bab 2 skripsi ini (lihat kembali Tabel 1). Parameter utama yang akan Penulis gunakan dalam penilaian terhadap sampel adalah dari Judul Perjanjian dengan alasan bahwa judul (nama) suatu peraturan perundang-undangan haruslah merupakan kalimat singkat yang mencerminkan “isi” dan materi muatan dari peraturan perundang-undangan tersebut.50 1.1.
Periode I No.
Undang-Undang
1.
Peraturan Presiden -
21/2003 – Protokol 9 Dangerous Goods
2.
-
-
3.
1/2001 – Perjanjian Ekstradisi dengan
2/2001
Hong Kong
Slovakia
–
Perjanjian
untuk
Indonesia-
Pecegahan
Pajak
Berganda 4.
5.
21/2003 – ILO Convention Perawatan
24/2002
Tenaga Kerja di Bidang Industri dan
Sudan dalam Perlindungan Penanaman
Perdagangan
Modal
17/2004 – Pengesahan Protokol Kyoto
56/2003 Romania
–
–
Persetujuan
Indonesia-
Persetujuan
Indonesia-
mengenai
Dinas
Penerbangan Berjadwal
Dalam periode ini, Penulis tidak menemukan pengesahan perjanjian internasional melalui Undang-Undang yang penerapannya tidak tepat. Seluruh ratifikasi perjanjian internasional melalui Undang-Undang dalam periode ini sudah sesuai dinilai dari formula yang Penulis buat dan dari peraturan yang berlaku pada saat itu, yakni UU Perjanjian Internasional. Namun, di sisi Peraturan Presiden, Penulis menemukan satu perjanjian internasional dalam periode ini yang masih belum tepat penerapannya. Protokol 9 Dangerous Goods secara materi dapat diklasifikasikan sebagai isu keamanan, sehingga 50
Naskah Pidato Maria Farida Indrati S. pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum yang berjudul Pemahaman tentang Undang-Undang Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 28 Maret 2007.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
jika hanya melihat sisi pengaturan UU Perjanjian Internasional secara mutlak maka penerapannya adalah salah sepenuhnya. Namun, jika melihat dari formula yang Penulis coba buat pada Bab 2, Protokol tersebut sesungguhnya hanya memberikan daftar barang berbahaya dan kewajiban pemerintah dari tiap negara untuk lebih waspada. Dampak yang diberikan tidak terlalu luas hingga mungkin membutuhkan jenis Undang-Undang untuk ratifikasinya. Dalam hemat penulis, penerapan ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Dengan data dan penilaian yang sudah dilakukan dalam Periode ini, Penulis dapat mengatakan Periode I sudah baik. 1.2.
Periode II No.
Undang-Undang
1.
Peraturan Presiden -
47/2005
–
Basel
Amandemen tentang
Konvensi
Pengawasan
Perpindahan Lintas Batas Limbah -
3/2010 – MoU dengan Pemerintah Rusia untuk Pemberantasan Teroris
15/2008 – Perjanjian dalam Bantuan
4/2005
Timbal Balik Masalah Pidana
Venezuela di Bidang IPTEK
47/2007
4/2011
–
Perjanjian
RI-Australia
– –
Persetujuan Persetujuan
dalam Kerangka Kerjasama Keamanan
Amerika di Bidang IPTEK
19/2009 – Konvensi Stockholm tentang
6/2006
Bahan
Singapura
Persisten
Pencemar
Organik
yang
–
Persetujuan di
Bidang
IndonesiaIndonesiaIndonesia Penanaman
Modal
Dalam Periode II, kembali Penulis tidak menemukan pengesahan perjanjian internasional melalui Undang-Undang yang penerapannya tidak tepat. Namun, dalam Periode ini Penulis berhasil menemukan dua Peraturan Presiden yang menurut Penulis kurang tepat digunakan untuk meratifikasi materi perjanjian internasionalnya berdasarkan penilaian melalui formula yang Penulis coba buat. Konvensi Basel adalah suatu konvensi yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagaimana hal tersebut jelas merupakan salah satu materi dari perjanjian internasional yang diratifikasi melalui Undang-Undang. Namun, kemudian Penulis menyadari bahwa Konvensi Basel diratifikasi pada awalnya melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993, sehingga untuk amandemennya memang dapat dilakukan dengan peraturan setingkat sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Perjanjian Internasional bahwa amandemen dapat dilakukan melalui peraturan setingkat.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
Dengan demikian, melalui satu dasar pembenar tersebut, Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2005 tidak dapat dikatakan salah atau tidak tepat. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2010 mengenai MoU untuk Pemberantasan Teroris sesungguhnya masuk ke dalam materi pertahanan dan keamanan sebagaimana seharusnya diratifikasi melalui Undang-Undang. Namun, materi yang diatur dalam MoU pada umumnya bersifat praktis dan prosedural ataupun operasional teknis. Dengan demikian, dari data yang Penulis ambil dan analisis, Periode II masih berhasil mempertahankan ketepatan ratifikasi melalui jenis Undang-Undang sebagaimana Periode I. Mengenai ratifikasi melalui Peraturan Presiden, Periode II sedikit mulai memperlihatkan adanya penurunan. 1.3.
Periode III No.
Undang-Undang
1.
Peraturan Presiden -
29/2012 – Pengesahan Annex III – Annex VI dari Konvensi 1973 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal.
2.
-
8/2013 – Perjanjian Indonesia-Ceko dalam Kerangka Keamanan
3. 4. 5.
19/2011
–
Konvensi
Hak-Hak
78/2011 – Konvensi Proteksi dan
Penyandang Disabilitas
Promosi Keanekaragaman Budaya
1/2012 – Traktat Pelarangan Uji Coba
1/2013 – Perjanjian Indonesia-Portugal
Nuklir
Bebas Visa Diplomatik, Dinas, Khusus
10/2013 mengenai
–
Rotterdam
Convention
20/2012 – Persetujuan Keistimewaan
Prosedur
Persetujuan
dan Kekebalan PBB Asia Tenggara
Informasi Awal tentang Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya
Tabel 4 Peraturan Perundang-Undangan dalam Periode III Dalam Periode III, kembali Penulis tidak menemukan pengesahan perjanjian internasional melalui Undang-Undang yang penerapannya tidak tepat. Namun, di dalam pengesahan melalui Peraturan Presiden, Penulis menemukan dua Peraturan Presiden yang kurang tepat. Yang pertama adalah Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2012. Peraturan Presiden ini mengesahkan Annex (Lampiran), tetapi annex ini tetap masih memiliki materi
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
pengaturan dalam bidang lingkungan. Kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah kemudian Annex diratifikasi melalui Peraturan Presiden kecuali memang diratifikasi satu kesatuan dengan perjanjian induknya.51 Hal yang sama juga pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2013. Dapat dilihat langsung dari judul saja, materi di dalamnya adalah materi pertahanan dan kemanan Negara yang mana seharusnya menjadi materi muatan Undang-Undang ratifikasi. Selain dengan Ceko, Indonesia juga pernah membuat Perjanjian Kerangka Keamanan dengan Australia dan pada saat itu perjanjian diratifikasi melalui Undang-Undang, tepatnya Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007. Dengan demikian, berdasarkan data yang Penulis ambil dan analisis, Periode III masih berhasil mempertahankan konsistensi ratifikasi melalui Undang-Undang yang sepenuhnya tepat secara materi muatan. Namun, Periode III mengalami penurunan dalam pengesahan melalui Peraturan Presiden. 5.
Kesimpulan 1.
Teori Materi muatan Undang-Undang adalah suatu istilah yang pertama kali dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun ke IX, Mei 1979, sebagai pengganti kata Belanda “het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet.” A. Hamid S. Attamimi menerjemahkannya dengan “materi muatan yang khas dari Undang-Undang”, yakni materi pengaturan yang khas dan hanya semata-mata dimuat dalam Undang-Undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan Undang-Undang. Materi muatan undang-undang ini kemudian menjadi 9 butir. Sementara itu pembentukan Peraturan Presiden yang dilakukan Presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan yang dalam sistem Trias Politika dikenal sebagai kekuasaan eksekutif. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa: a.
pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (Peraturan Presiden delegasian); dan
51
Dijelaskan oleh Ibu Dyah dalam wawancara dengan Penulis. Ibu Dyah juga menambahkan terkadang walaupun ingin mengenyampingkan dan memang seharusnya dikesampingkan, ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia dalam praktiknya masih terkadang melihat nomenklatur dari perjanjian.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
b.
pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas (Peraturan Presiden yang bersifat mandiri).
Adapun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang kemudian mengatur mengenai materi muatan antara lain adalah UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti menjadi UU No. 12 Tahun 2011, serta UU Perjanjian Internasional yang membatasi ruang lingkup materi perjanjian yang diratifikasi melalui Undang-Undang. 2.
Penilaian mengenai materi muatan perjanjian internasional yang utama adalah melalui UU Perjanjian Internasional. Melihat perbandingan antara teori dan pengaturan, serta praktik yang ada di lapangan, penulis akhirnya mencoba membuat suatu formula (lihat Tabel 1) yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menentukan jenis peraturan yang akan meratifikasi suatu perjanjian internasional, apakah melalui Undang-Undang atau melalui Peraturna Presiden.
3.
Berdasarkan penelitian yang telah Penulis lakukan dan analisis di dalam Bab 4 dalam pembagian 3 periode maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa aplikasi teori dan pengaturan materi muatan dalam ratifikasi perjanjian internasional sudah cukup berjalan, tetapi belum sepenuhnya sampai pada satu pemahaman yang penuh karena instrumen pengaturan atas materi muatan peraturan perundang-undangan belum seragam.
6.
Saran 1.
Harus diciptakan suatu keseragaman pemahaman mengenai materi muatan undang-undang di Indonesia.
2.
Formula atau parameter untuk kemudian menentukan jenis peraturan untuk meratifikasi harus segera dibuat secara komprehensif.
3.
Dibutuhkan kerjasama diantara semua instrumen, baik pemerintahan maupun akademisi, untuk kemudian mendorong proses penyeragaman mengenai hal ini guna mencapai harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
7.
Daftar Referensi
BUKU DAN ARTIKEL Agusman, Damos Dumoli. 2010. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian teori dan Praktik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. Ashiddiqie, Jimly dan Safa’at, M. Ali. 2012. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press. Attamimi, A. Hamid S. 1990. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”. Disertasi Doktor Universitas Indonesia. Jakarta Indrati S., Maria Farida. 2002. “Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara di Republik Indonesia”. Disertasi Doktor Universitas Indonesia. Jakarta Indrati S., Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. Indrati S., Maria Farida. 2007. Pemahaman tentang Undang-Undang Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Naskah Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Isjwara, F. 1972. Pengantar Hukum Internasional, 4th Edition. Bandung: Alumni. Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta. Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Etty R. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kedua. Bandung: PT. Alumni, 2003 Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua. Bandung: PT. Alumni. Suryokusumo, Sumaryo. 2008. Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT. Tatanusa Suryono, Edy. 1988. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Cet. 2. Bandung: Remadja Karya CV. Tung, William L. 1968. International Law in Organizing World. New York.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ICJ Case Sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, 17 Desember 2002, para. 37 Republik Indonesia. Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia. Undang-Undang Perjanjian Internasional. UU Nomor 24 Tahun 2000. Lembaran Negara RI No. 185 Tahun 2000. Tambahan Lembaran Negara RI No. 4012. Republik Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (telah diganti UU Baru). UU Nomor 10 Tahun 2004. Lembaran Negara RI No. 53 Tahun 2004. Tambahan Lembaran Negara RI No. 4389. Republik Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011. Lembaran Negara RI No. 82 Tahun 2011. Tambahan Lembaran Negara RI No. 5234.
Penerapan teori dan..., Andanawari Satwika, FH UI, 21014