PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET (RIBBED SMOKED SHEET)
SHINTA INDRIASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)” merupakan karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2005 Penulis
Shinta Indriasari P.052030281
ABSTRAK SHINTA INDRIASARI. Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet). Dibimbing oleh MOHAMAD YANI, ANDES ISMAYANA dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH. Emisi gas penyebab bau banyak ditimbulkan oleh industri, salah satunya adalah industri karet RSS. Efek yang ditimbulkan oleh gas tersebut meliputi berbagai segi antara lain mengganggu kenyamanan, masalah estetika serta munculnya masalah terhadap kesehatan manusia. Salah satu sumber emisi gas penyebab bau pada industri karet berasal dari gudang penyimpanan leum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan biofilter dalam mengatasi permasalahan emisi gas penyebab bau yang terdapat pada gudang leum industri karet, untuk menentukan kapasitas penghilangan emisi gas penyebab bau serta menentukan campuran bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter. Percobaan dilakukan menggunakan skala pilot dengan bahan pengisinya adalah kompos dan tanah, serta bahan tambahan (sekam, potongan daun karet dan chip kulit kayu karet) dengan perbandingan 4 : 2 : 1. Selain itu dilakukan penambahan dan tanpa penambahan sludge ke dalam biofilter. Parameter yang diukur adalah gas amonia (NH3) dan gas hidrogen sulfida (H2S). Kondisi media yang diukur meliputi pH, temperatur, kadar air, total N, S, C, nitrat dan mikroba. Analisis data menggunakan Metode Deskriptif dengan grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan. Selanjutnya penentuan bahan pengisi terbaik dengan menggunakan pembobotan atau scoring. Berdasarkan identifikasi terhadap emisi gas pada gudang penyimpanan leum maka didominasi oleh gas amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S), selain itu juga terukur gas CO, SOx dan NOx. Konsentrasi inlet gas amonia berada pada kisaran 12 – 100 ppm dan outletnya pada kisaran 1 – 6 ppm. Sedangkan untuk konsentrasi inlet gas hidrogen sulfida pada kisaran 0,045 – 0,402 ppm dan outletnya adalah 0,002 – 0,011 ppm. Efesiensi biofilter mampu dipertahankan hingga 95% selama 33 hari. Kemampuan biofilter dengan penambahan sludge menunjukkan kapasitas penghilangan 1,2 x 10-7 - 6,1 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,4 x 10-8 - 9,5 x 10-9 g-S/sel/hr dibandingkan dengan tanpa penambahan sludge menunjukkan kapasitas penghilangan 8,6 x 10-8 - 8,8 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,3 x 10-8 g-S/sel/hr. Berdasarkan scoring yang dilakukan untuk menentukan bahan pengisi terbaik maka diperoleh biofilter dengan bahan pengisi tambahan sekam dan penambahan sludge mempunyai kemampuan terbaik dalam penghilangan N, S dan penurunan permukaan terendah dibandingkan bahan pengisi tambahan yang lain.
ABSTRACT SHINTA INDRIASARI. Pilot Scale of Biofilter Technique Application on Removal Odor Gases Emission from Leum Storage at Latex Industry (Ribbed Smoked Sheet). Supervised by MOHAMAD YANI, ANDES ISMAYANA and MULYORINI RAHAYUNINGSIH. Malodorous gases emitted from many industrial facilities, one of them is RSS industry. This odorous gases cause some problems to people around the industry such as nuisance comfortable living, aesthetic factors and cause health problems. The main objectives are to study biofilter technique capability to treat odorous gases emission problems, to assess removal capacity of ammonia, hydrogen sulfide and to evaluated the effect of composition of packing material. The packing material of compost and soil, additional material (husk, grounded leaves and bark of Havea braciliensis) at ratio of 4 : 2 : 1. Inlet and outlet ammonia and hydrogen sulfide gases were measured. The conditional of material observed were pH, temperature, water content, nitrate, decomposition of N, S and C content and microorganisms. The data analyzed by Descriptive Methods with Graph that describe a whole parameter conditions as long as the research implementation. To choose the best filterbed media used scoring methods. Base on gases identification from leum storage were dominated by ammonia, hydrogen sulfide besides of CO, SOx and NOx. The result shows that inlet of ammonia consentration ranged from 12 to 100 ppm and the outlet ranged from 1 to 6 ppm. Whereas the inlet of hydrogen sulfide consentration ranged from 0,045 to 0,402 ppm and the outlet ranged from 0.002 to 0.011 ppm. The efficiency of ammonia (NH3) and hydrogen sulfide (H2S) were higher than 95% for 33-days operation. The removal capacity of ammonia for biofilter with sludge addition ranged from 1.2 x 10-7 – 6.1 x 10-8 g-N/cell/d and 1.4 x 10-8 – 9.5 x 10-9 gS/cell/d, while for biofilter without sludge addition were 8.6 x 10-8 – 8.8 x 10-8 gN/cell/d and 1.3 x 10-8 g-S/cell/d. By scoring methods, the biofilter with husk and sludge addition performs as the highest removal of ammonia, hydrogen sulfide and lowest compaction. Key words : Biofilter, odorous gas, leum, ribbed smoked sheet
© Hak cipta milik Shinta Indriasari, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET (RIBBED SMOKED SHEET)
SHINTA INDRIASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis
:
Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)
Nama
:
Shinta Indriasari
NRP
:
P052030281
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng. Ketua
Ir. Andes Ismayana, MT. Anggota
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 24 Oktober 2005
Tanggal Lulus :
PERSEMBAHAN Dengan
setulus
hati
ini
tulisan
ini
dipersembahkan
untuk : Bapak-Ibu tercinta…… “Kagem Bapak-Ibu………… Sebuah keindahan yang luar biasa memiliki orang tua seperti Bapak-Ibu Sebuah teladan yang mulia bagi ananda Terimalah bakti ananda…..yang hanya mampu mengucapkan……… Terima kasih yang sedalam-dalamnya……… Atas segala perjuangan sehingga ananda bisa berdiri seperti sekarang ini Suami tercinta…… “Mas…… tiada bisa dituangkan dalam kata-kata Rasa terima kasih atas cinta yang luar biasa… Damai yang selalu kau hadirkan Ketenangan jiwa, keikhlasan, pengertian, semangat… Semua itu ibarat pelita yang mampu menerangi gelap gulita…… Terima kasih Mas………” Anakku Angger Lintang …… “Nak, terima kasih yaa……. Kau adalah anugerah terindah bagi bunda…… Atas pengorbanan yang sudah diberikan untuk bunda Tapi perjuangan belum selesai…. Masih banyak yang harus dilakukan Semoga semua yang telah kita lalui bersama Selalu jadi semangat untuk mengejar cita-cita….. Jangan lupa ya …..setinggi bintang….ayo dek Lintang pasti bisa !!!!……. Saudaraku…… Mas Yok, Mbak Tini, Vira, Dek Dhian…………. Terima kasih atas seluruh dukungan dan doanya Tanpa kalian sesungguhnya aku bukan siapa-siapa………. Semua ini…. untuk kita……semoga menjadi jalan penerang bagi kita Ayo bergandengan tangan Mas, Mbak, Dek……. Untuk melakukan hal terbaik bagi sekeliling kita Sekali lagi terima kasih…………… Teman-temanku…….. Buat teman-teman seperjuangan Jangan pernah lupa untuk semua yang pernah kita lewati bersama Thanks to : Mb In (jadi pengusaha yg sukses ya..amin), Pak Khusnul (the inspiration man) , M Koko, Pak Fikri, Pak Acon n Pak Luther (makasi utk semangatnya), Bu Ida,
Mb Wik, Arif, M Tri Mb Sandra, Mb Aini-Pak Tri, Uji’, Tesa, Bang Edwar, M Teguh, M Lukman, Pak Jemi, Bu Nita Juga untuk : Pj, Zaki, Deuxi, Galih, Jauhar, Nia, Bang Ridwan,
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)” . Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng., Ir. Andes Ismayana, MT. dan Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi., atas segala arahan, masukan dan bimbingan dalam seluruh rangkaian proses penulisan tesis ini. Kepada seluruh staf dan teman-teman di Laboratorium Bioindustri dan Teknik Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB yang sedang menyelesaikan penelitian. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya tidak lupa penulis sampaikan kepada ke-empat orang tua, suami, anak, handai taulan serta teman-teman PSL (yang tidak dapat disebutkan satu persatu), atas segala doa, dorongan semangat serta pengertiannya hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian, semoga hasil yang dituangkan dalam tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Oktober 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Februari 1978, dari pasangan Bapak Amin Soeseno dan Ibu Endah Suminar, sebagai putra kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri Bibis Luhur I Surakarta tahun 1990, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri VII Surakarta tahun 1993 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri V Surakarta tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis melanjutkan kuliah ke Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto melalui jalur UMPTN, dan berhasil memperoleh gelar sarjana pada bulan Mei 2001. Pada akhir tahun 2001, penulis menikah dengan Moch. Choirul, SE. MM dan kemudian dikaruniai seorang putra yang bernama Angger Lintang Naufal Mochamad. Keinginan belajar yang tinggi serta dukungan yang besar dari keluarga maka pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ .
vii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN................................................................................... .
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
Latar Belakang................................................................................ . Tujuan Penelitian.............................................................................. Kerangka Pemikiran......................................................................... Perumusan Masalah........................................................................ . Hipotesis......................................................................................... . Manfaat Penelitian.......................................................................... .
1 2 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... .
6
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
Getah Karet Beku atau Leum................. ......................................... Biofilter........................................................................................... . Bahan Pengisi................................................................................... Amonia………................................................................................. Bakteri Pengoksidasi Amonia (Nitrifying bacteria)…................... . Hidrogen Sulfida (H2S)................................................................... . Bakteri Pengoksidasi Hidrogen Sulfida.......................................... . Bakteri Heterotrof........................................................................... .
6 8 10 12 14 16 18 19
METODE PENELITIAN........................................................................ .
21
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian......................................................... . 3.2. Bahan dan Alat Penelitian................................................................ 3.3. Tahapan Percobaan......................................................................... . 3.3.1. Karakterisasi Gas Penyebab Bau pada Industri Karet........ . 3.3.2. Pembuatan Reaktor Biofilter................................................ 3.3.3. Persiapan Bahan Pengisi……………................................. . 3.3.4. Penelitian Utama................................................................. . 3.4. Analisis Data................................................................................... .
21 21 21 21 22 22 23 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... .
27
4.1. Identifikasi Gas……………........................................................... . 4.2. Bahan Pengisi…………................................................................... 4.3. Kondisi Proses selama Penelitian................................................... . 4.3.1. Nilai pH……………………..………………….................. 4.3.2. Kadar Air…..….................................................................. .
27 29 31 31 33
II.
II.
Halaman 4.4. Aplikasi Penghilangan Gas Penyebab Bau oleh Biofilter................ 4.4.1. Amonia (NH3)……………………. ………..… ................. . a. Inlet Gas Amonia…...................................................... . b. Outlet Gas Amonia…................................................... . c. Bakteri Nitrosomonas sp di dalam Biofilter................. . d Kapasitas Penghilangan N oleh Biofilter...................... . e. Total Penghilangan N oleh Biofilter............................. . f. Penyerapan N Total pada Bahan Pengisi Biofilter....... . g. Kadar Nitrat (NO3-) pada Bahan Pengisi Biofilter….... . 4.4.2. Hidrogen Sulfida (H2S)…………………………………... . a. Inlet Gas Hidrogen Sulfida …….................................. . b. Outlet Gas Hidrogen Sulfida ......................................... c. Bakteri Thiobacillus sp di dalam Biofilter.................. . d. Kapasitas Penghilangan S oleh Biofilter........................ e. Total Penghilangan S oleh Biofilter............................... f. Penyerapan S Total pada Bahan Pengisi Biofilter……. 4.4.3. Hubungan C Total dan Bakteri Heterotrof………… …....... a. C Total…………………... …………............................. . b. Bakteri Heterotrof…………........................................... . 4.4.4. Perbandingan Uji Parameter pada Masing-masing Biofilter. 4.4.5. Pengelolaan Lingkungan ……………………………….... .
35 35 35 36 41 43 45 47 48 50 50 51 54 56 58 60 61 61 62 64 65
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... .
68
5.1. Kesimpulan……………................................................................. 5.2. Saran……….…………..................................................................
. .
68 68
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... .
69
LAMPIRAN……….........................................................................................
72
V.
.
DAFTAR TABEL Halaman 1. Baku Mutu Tingkat Kebauan...................................................................... .
8
2. Daftar Bakteri Pengoksidasi Nitrogen........................................................ .
14
3. Daftar Bakteri Pengoksidasi Sulfur............................................................ .
19
4. Daftar identifikasi gas-gas inlet ke dalam biofilter leum ....................... .
27
5. Kondisi bahan pengisi biofilter berupa kompos, tanah dan campuran bahan tambahan ……………...............
...................................................... .
29
6. Nilai pH pada masing-masing biofilter...................................................... .
32
7. Prosentase kadar air pada masing-masing biofilter…………....................
34
.
8. Besarnya N Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) yang terukur pada masingmasing bahan pengisi biofilter.................................................................... . 9. Kadar
Nitrat (NO3-) yang terukur
pada
48
masing-masing bahan
pengisi biofilter……................................................................................... .
49
10. Jumlah bakteri Thiobacillus sp di dalam masing-masing biofilter............. .
54
11. S total yang terukur pada masing-masing bahan pengisi biofilter......….... .
60
12. Kadar C total yang terukur pada masing-masing biofilter.......................... .
61
13. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing biofilter............................ .
62
14. Perbandingan parameter uji pada masing-masing biofilter........................ .
67
15. Tabel scoring terhadap parameter uji pada masing-masing biofilter...........
67
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kerangka
pemikiran pada penelitian ini....................... .
4
2. Proses pengolahan karet alam jenis Ribbed Smoke Sheet (RSS)................ .
7
3. Mekanisme penyerapan gas penyebab bau secara biologi………………..
.
10
4. Transformasi nitrogen yang terjadi dalam biofilter…………....................
.
13
5. Transformasi sulfur yang terjadi dalam biofilter........................................ .
17
6. Disain reaktor biofilter yang digunakan dalam penelitian.......................... . 22 7. Skema biofilter penerapan skala lapangan……………………..................
. 25
8. Grafik yang digunakan dalam analisis data................................................ . 26 9. Nilai pH pada masing-masing biofilter selama penelitian.......................... . 32 10. Konsentrasi inlet gas amonia (NH3) selama penelitian dilaksanakan.......... 35 11. Konsentrasi outlet dan efisiensi penghilangan gas amonia pada masingmasing 6 biofilter ………………………………………………………..
.
37
12. Jumlah Bakteri Nitrosomonas sp pada masing-masing 6 biofilter............ .
41
13. Kapasitas penghilangan N terhadap beban yang masuk ke dalam masingmasing 6 biofilter....................................................................................... . 14. Total penghilangan N pada masing-masing 6 biofilter…........................... . 46 15. Konsentrasi gas hidrogen sulfida yang terukur pada inlet biofilter............ . 50 16. Grafik konsentrasi outlet dan efisiensi penyerapan gas hidrogen sulfida (H2S) pada masing-masing 6 biofilter……………….................................
. 52
17. Jumlah bakteri Thiobacillus sp pada masing-masing 6 biofilter……........ . 55 18. Kapasitas penghilangan S terhadap beban yang masuk ke dalam masing-masing 6 biofilter………............................................................... . 57
44
19. Total penghilangan S pada masing-masing 6 biofilter……………….......
. 59
20. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing 6 biofilter ........................ . 63
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1a. Kurva Standar NH3……………………………………............................
. 72
1b. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 1.................................................................................................... . 73 1c. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2.................................................................................................... . 74 1d. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3.................................................................................................... . 75 1e. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4.................................................................................................... . 76 1f. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5.................................................................................................... . 77 1g. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6.................................................................................................... . 78 2a. Kurva Standar H2S……………………………………............................ 2b. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada
. 79
Biofilter 1.................................................................................................... . 80 2c. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2.................................................................................................... . 81 2d. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3.................................................................................................... . 82 2e. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4.................................................................................................... . 83 2f. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5.................................................................................................... . 84 2g. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6.................................................................................................... . 85 3. Cara Kerja Pengukuran Parameter Uji………………………....................
.
86
4. Cara Kerja Pengujian Mikroba Pendegradasi Polutan…. ........................... .
93
5. Lembar Kuisioner…………………………..……….…............................
96
6. Rangkuman hasil kuisioner………………………….…............................
.
. 98 Halaman
7. Leum atau getah karet beku yang menumpuk dalam gudang penyimpanan 99 8. Jenis bahan pengisi biofilter yaitu sekam, daun karet dan kulit kayu karet. 100 9. Reaktor
biofilter
yang
ditempatkan pada lokasi penelitian PTP
Nusantara VIII Kebun Cimulang - Bogor ……………..…………………
. 101
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanaman karet telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1876 sebagai salah satu komoditas perkebunan, kemudian pada pertengahan abad 19 lebih berkembang lagi dengan dibangunnya industri-industri pengolahan karet alam. Komoditas karet memberikan sumbangan yang nyata bagi pembangunan karena industri ini merupakan salah satu industri besar di Indonesia. Luas lahan karet di Indonesia berkisar antara 2,7-3,5 juta ha dengan produksi mencapai lebih dari 1,370 juta ton/tahun (BPS 2002). Namun demikian, selain dukungannya terhadap pembangunan, ada satu sisi yang harus diperhatikan mengenai kemungkinan dampak negatif yang menyertai perkembangan kegiatan pengolahan karet ini yaitu masalah emisi gas penyebab kebauan. Sumber emisi gas dari industri karet yang menyebabkan timbulnya bau berasal dari beberapa kegiatan antara lain adalah kegiatan penyimpanan getah karet beku (leum), ruang pengolahan sheet (karet berbentuk lembaran), instalasi pengolahan limbah cair serta ruang pengasapan (Warintek-Progressio 2000). Proses penyimpanan getah karet beku atau disebut dengan istilah leum merupakan salah satu kegiatan yang menyebabkan munculnya masalah kebauan. Hal ini terjadi karena pada kegiatan penyimpanan leum penumpukan terjadi secara terus menerus setiap hari, hingga jumlah yang cukup untuk dibawa ke pabrik lain untuk dilakukan pengolahan. Leum tersebut masih dapat diolah menjadi lembaran karet dengan teknologi yang tepat. Penumpukan leum di dalam gudang penyimpanan selama beberapa hari tanpa perlakuan apapun memicu terjadinya proses degradasi anaerobik yang menghasilkan gas yang sangat menyengat dan berbau. Hal ini akan menimbulkan masalah-masalah kesehatan baik bagi pekerja maupun penduduk yang tinggal berdekatan dengan sumber polusi (Cho et al. 2000). Emisi gas penyebab kebauan bersifat iritan pada paru-paru dan efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala yang ditimbulkan adalah kehilangan kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi selaput lendir mata,
muntah, pusing, sakit kepala dan pada konsentrasi bau yang tidak dapat ditolerir dapat menimbulkan kematian (Soemirat 2002). Pengendalian terhadap kebauan dapat dilakukan dengan pengolahan biologi, salah satunya dengan menggunakan biofilter. Biofilter adalah bioreaktor pengolahan emisi gas penyebab kebauan yang terdiri dari kolom yang berisi bahan pengisi dengan mikroorganisme terimobilisasi di dalamnya. Teknik biofilter lebih sering digunakan untuk mengolah gas penyebab bau karena bahan pengisi yang digunakan memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai bahan penyerap gas polutan sekaligus sebagai tempat hidup mikroorganisme penyerap gas polutan (Hartung et al. 2001). Teknik ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain adalah biaya operasional yang rendah, energi yang dibutuhkan lebih sedikit, tidak membutuhkan bahan kimia atau bahan bakar (fuels), mudah dalam perawatan serta ramah lingkungan (Hirai et al. 2001) dan ditambahkan oleh Lee et al. (2002) biofilter mampu digunakan untuk menangani beberapa gas polutan secara bersamaan. Adapun mekanisme kerja dari biofilter adalah penyerapan gas polutan pada fase padat oleh bahan pengisi hingga jenuh, kemudian gas tersebut dilarutkan dalam fase cair, dilanjutkan dengan biodegradasi oleh mikroorganisme yang terimobilisasi di dalam bahan pengisi (Hartikainen et al. 2000).
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan teknik biofilter dalam mengatasi permasalahan emisi gas penyebab bau pada industri karet. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1.
Menentukan kapasitas penyerapan emisi gas penyebab bau pada masingmasing biofilter pada gudang penyimpanan leum industri karet.
2.
Menentukan campuran bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter berdasarkan kemampuannya menghilangkan emisi gas bau dari gudang penyimpanan leum industri karet.
1.3. Kerangka Pemikiran Teknik biofilter merupakan sebuah teknik yang dapat diterapkan dalam usaha pengolahan emisi gas bau pada industri karet.
Untuk memaksimalkan
efisiensi biofilter, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menyeleksi bahan pengisi (packing material) terbaik dengan mikroorganisme terimobilisasi di dalamnya. Bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan sifat kimiawinya yaitu bahan pengisi organik dan anorganik. Namun demikian bahan pengisi organik lebih menjadi pilihan sebab bahan ini lebih murah dibandingkan dengan bahan anorganik. Bahan organik yang berasal dari residu biologi seperti kompos, gambut, tanah, kulit kayu, serasah daun telah banyak digunakan sebagai bahan pengisi biofilter. Penelitian biofilter menggunakan kompos, serpihan kulit kayu dan gambut sebagai bahan pengisi mampu menghilangkan amonia (NH3), bau dan senyawa organik yang mudah menguap (VOC) antara 75-85% (Sun et al. 2000). Penelitian lain mengenai biofilter menggunakan kompos sebagai bahan pengisi mampu menyerap gas H2S antara 99,3-100% (Sun et al. 2000). Penambahan sludge ke dalam biofilter diharapkan mampu memberikan tambahan mikroba pendegradasi polutan, sehingga kinerja biofilter menjadi lebih baik.
Penelitian mengenai biofilter dengan penambahan sludge pada bahan
pengisi gambut, dilaporkan telah berhasil menyisihkan amonia hingga 100% sampai hari ke 12 dan diatas 70% sampai akhir penelitian (Degorce-Dumas et al. 1997). Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1 berikut ini :
Industri karet
Pencemaran udara
Gudang penyimpanan leum
BIOFILTER
Emisi gas polutan penyebab bau
Bahan Pengisi Tanah dan Kompos Bahan Tambahan
Sekam/kulit padi
Tanpa
Dengan
Sludge
Serasah daun karet
Tanpa
Dengan
Kulit kayu karet
Tanpa
Sludge
Dengan
Sludge
Rekomendasi bahan pengisi biofilter terbaik untuk limbah leum pada industri karet
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini.
1.4. Perumusan Masalah Salah satu sumber emisi gas penyebab bau pada industri karet berasal dari kegiatan penyimpanan getah karet beku atau leum. Dalam kegiatan ini terjadi proses degradasi anaerobik bahan organik, akibat leum dalam jumlah banyak ditimbun dalam suatu gudang tanpa perlakuan apapun.
Proses degradasi
anaerobik ini menyebabkan keluarnya gas yang sangat menyengat dan berbau. Bau ini menimbulkan berbagai masalah antara lain ketidaknyamanan, estetika serta kesehatan.
Teknik pengolahan emisi gas penyebab bau dengan biofilter merupakan salah satu alternatif yang menarik untuk dikembangkan.
Hal yang harus
diperhatikan dalam pengoperasian biofilter adalah kaitannya dengan ketersediaan mikroorganisme yang mampu memanfaatkan gas polutan sebagai sumber energi di dalam bahan pengisi. Dengan penambahan sludge diharapkan mampu meningkatkan kinerja dari biofilter. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai optimalisasi biofilter dengan mengamati kapasitas penghilangan gas penyebab bau dengan dan tanpa penambahan sludge serta peranan dari bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter.
1.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1.
Kapasitas penyerapan emisi gas bau semakin tinggi dengan penambahan sludge.
2.
Jenis bahan pengisi tambahan yang berbeda akan memberikan kapasitas penyerapan emisi gas yang berbeda pula.
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai penerapan biofilter pada industri karet.
2.
Memberikan masukan kepada pengelola industri karet sebagai rekomendasi dalam
upaya
penghilangan
menggunakan biofilter.
emisi
gas
penyebab
kebauan
dengan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Getah Karet Beku atau Leum Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand dan pengekspor berbagai bentuk produk olahan karet. Ada tiga jenis produk yang dihasilkan dalam pengolahan karet yaitu latek pekat, sheet atau Ribbed Smoke Sheet (RSS) dan karet remah atau Standard Indonesia Rubber (SIR) (Wagiman 2001). Kegiatan pengolahan karet yang dimulai dengan penyadapan getah karet dari pohon hingga pengepakan (Gambar 2), ternyata menghasilkan limbah yang lazim disebut dengan istilah leum. Leum adalah getah karet yang telah membeku, hal ini menyebabkan leum ini tidak dapat diolah pada proses pengolahan getah karet cair (Lampiran 7). Leum masih dapat diolah menjadi bahan karet dengan teknologi yang memadai. Namun yang menjadi masalah adalah tidak semua pabrik atau industri karet mempunyai teknologi tersebut, sehingga leum harus dikirim ke pabrik lain untuk dilakukan pengolahan. Secara ekonomis pengiriman leum ke pabrik lain tidak dapat dilakukan setiap hari, karena biaya transport yang tinggi. Dengan demikian leum yang dihasilkan setiap hari tersebut, dikumpulkan dalam suatu gudang hingga mencapai jumlah tertentu sebelum kemudian dikirim ke tempat lain untuk diolah (Warintek-Progressio 2000). Leum
yang
dikumpulkan
dalam
gudang
penyimpanan
mengalami
penumpukan selama berhari-hari. Kondisi ini menyebabkan keadaan kekurangan oksigen pada tumpukan leum, terutama pada timbunan bagian bawah. Dengan keadaan ini maka terjadilah reaksi anaerobik yang memicu keluarnya gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat. Menurut Hartikainen et al. (2000), proses degradasi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari lepasan senyawa-senyawa sulfida, amonia, karbon monoksida, karbon dioksida serta senyawa organik lain yang mudah menguap (volatile organic compounds) seperti metan, asam asetat, keton, aldehid dan sebagainya. Ditambahkan oleh Lee et al. (2002) bahwa gas-gas penyebab bau ini tidak berwarna serta bersifat sangat korosif terhadap logam.
Emisi gas penyebab kebauan yang berasal dari gudang penyimpanan leum sangat mengganggu, dan yang lebih penting adalah gas ini dapat menimbulkan dampat negatif terhadap kesehatan, penurunan nilai estetika serta dampak negatif lainnya.
Kegiatan penyadapan karet
Lateks segar dari kebun + penambahan amonia
Saringan
Pencampuran
Pengenceran hingga kadar karet 20%
Saringan
Koagulasi dengan penambahan asam semut
Gilingan sheet
Perendaman dan pencucian
Pengasapan
Sortasi
Pengepakan
Getah karet beku (LEUM)
Gambar 2. Proses pengolahan karet alam jenis Ribbed Smoke Sheet (RSS) (Wagiman 2001)
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan, serta hal-hal yang menimbulkan pencemaran semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut menyebabkan banyak kelompok masyarakat yang menginginkan peraturan yang lebih tegas berkenaan dengan pencemaran lingkungan, salah satunya adalah masalah kebauan. Berkaitan dengan emisi gas penyebab kebauan dari industri yang menimbulkan ketidaknyamanan serta dapat mengganggu kesehatan bagi manusia maka pemerintah mengatur hal tersebut dalam suatu regulasi. Besarnya konsentrasi senyawa penyebab kebauan yang diperbolehkan terkandung dalam emisi gas buang suatu industri diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai baku mutu tingkat kebauan. Tabel 1. Baku Mutu Tingkat Kebauan*)
*)
No
Parameter
Satuan
Nilai Batas
1.
Amonia (NH3)
ppm
2,0
2.
Metil Merkaptan (CH3SH)
ppm
3.
Hidrogen Sulfida (H2S)
4. 5.
Metode Pengukuran
Peralatan
Metode Indofenol
Spektrofotometer
0,002
Absorbsi Gas
Gas Khromatografi
ppm
0,02
Merkuri Tiosionat dan Absorbsi Gas
Spektrofotometer Gas Khromatografi
Metil Sulfida ((CH3)2S)
ppm
0,01
Absorbsi Gas
Gas Khromatografi
Stirena (C6H5CHCH2)
ppm
0,1
Absorbsi Gas
Gas Khromatografi
KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996
2.2. Biofilter Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa metode penanganan yang digunakan untuk mengontrol emisi gas penyebab bau
yang meliputi metode
fisika, kimia maupun biologi antara lain adalah : 1. metode pengontrolan langsung dari sumbernya 2. penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau 3. menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan) 4. penambahan ozon (ozonisasi) 5. teknologi plasma non thermal 6. penerapan metode biofiltrasi
Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode pada no. 1 hingga 5 termasuk dalam metode fisika-kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya operasional metode ini cukup tinggi, sulit dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak ditinggalkan (Sun et al. 2000). Metode no. 6 adalah metode penanganan emisi gas penyebab bau dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al. (2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu biofilter, bioscrubber dan biotrickling filter (Ottengraf 1986). Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang bau yang berupa tower dengan bahan pengisi didalamnya (Devinny et al. 1999). Teknik biofilter ini terus dikembangkan sebagai alternatif teknologi untuk menggantikan metode fisika-kimia. Jika dibandingkan dengan metode fisika dan kimia, beberapa keunggulan metode biologi antara lain adalah biaya investasi dan pemeliharaan yang rendah, mudah perawatan, operasional alat yang stabil pada jangka waktu lama serta tidak menimbulkan polusi baru (Cho et al. 2000). Ditambahkan oleh Hirai et al. (2001) bahwa biofilter merupakan salah satu teknik yang efektif sebab tidak membutuhkan wilayah konstruksi yang besar. Menurut Ottengraf (1986), kinerja biofilter dalam penanganan gas penyebab bau dapat dinilai berdasarkan beberapa hal berikut ini yaitu : 1.
kapasitas penyerapan maksimum (g/kg-media kering/hari)
2.
efisiensi penyerapan gas oleh media biofilter sekitar 95% dalam waktu yang relatif lama
3.
kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu dan kadar air Mekanisme kerja dari biofilter ini adalah melewatkan gas penyebab bau ke
dalam kolom biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat dari bahan pengisi. Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat jenuh dengan gas maka penyerapan gas akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah membentuk
lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh mikroorganisme yang hidup dalam bahan pengisi (Yani 1999). Mikroorganisme menggunakan gas penyebab bau sebagai sumber energi dan nutrien bagi kelangsungan hidupnya. Produk utama yang dihasilkan dari reaksi ini adalah H2O, CO2, garam mineral, beberapa senyawa organik dan sel-sel mikroorganisme (Degorce-Dumas et al. 1997).
Fase Cair
Fase Gas
Gas penyebab bau
Larut (dissolution)
Oksidasi
Produk Oksidasi
Mikroorganisme
Gambar 3. Mekanisme penyerapan gas penyebab bau secara biologi
2.3. Bahan Pengisi Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter (Ottengraf 1986). Hal tersebut karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operasional suatu biofilter. Pemilihan bahan pengisi yang tepat sangatlah penting diperhatikan untuk memaksimalkan efisiensi biofilter. Fungsi bahan pengisi selain sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme, juga harus mampu menjamin ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Menurut Hirai et al. (2001), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan pengisi untuk biofilter antara lain adalah :
1. mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi 2. mempunyai tingkat porositas yang tinggi 3. mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah 4. tidak mengalami penurunan kinerja walapun kadar air menurun 5. tidak berubah dalam jangka panjang 6. ringan 7. murah 8. mampu menyerap gas penyebab bau 9. mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam. Bahan pengisi biofilter secara kimiawi dibagi menjadi dua jenis yaitu bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik misalnya berasal dari kalsinat kristobalit, keramik, batu karang, arang aktif, lava dan sebagainya. Efisiensi penghilangan bau yang dicapai biofilter dengan menggunakan bahan pengisi anorganik ini cukup tinggi. Beberapa permasalahan yang timbul dari penggunaan bahan anorganik ini adalah biaya yang cukup tinggi karena harga media memang cukup mahal, serta belum tersedianya nutrien secara alami pada bahan tersebut. Sedangkan bahan pengisi organik adalah bahan pengisi biofilter yang berasal dari residu-residu bahan alami misalnya tanah, kompos, serasah daun, kulit kayu, sabut kelapa, gambut, kulit padi/sekam dan sebagainya (Cho et al. 2000). Bahan-bahan tersebut mudah diperoleh, murah, telah mengandung nutrien anorganik yang melimpah bagi kehidupan mikroorganisme serta telah ada mikroorganisme alami pada bahan tersebut. Bahan pengisi yang digunakan sebagai media biofilter dalam penelitian ini adalah kompos, tanah, kulit padi/sekam, serasah daun karet dan kulit kayu karet. a. Kompos Kompos merupakan bahan organik yang mempunyai keragaman dan kelimpahan mikrorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan terhadap penurunan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan gambut.
Namun
karena bahan ini juga cepat memadat, maka untuk memperbesar pori media dapat ditambahkan bahan tambahan lain (Devinny et al. 1999). b. Tanah Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter sebab sangat murah, sangat mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, serta mengandung populasi mikroba yang tinggi pula. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan untuk menahan kehilangan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Namun kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan yang
besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada
media untuk lewat aliran udara. Tanah juga mempunyai permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat bagus digunakan untuk open-bed biofilter (Devinny et al. 1999). c. Bahan pengisi tambahan Bahan tambahan yang ditambahkan dalam media pengisi biofilter berfungsi untuk meningkatkan porositas campuran kompos dan tanah yang digunakan (Sun et al. 2000). Alasan dipilihnya sekam atau kulit padi, kulit kayu karet dan serasah daun karet sebagai bahan tambahan dalam penelitian ini adalah karena kemudahannya dalam memperoleh bahan tersebut di perkebunan karet.
Di perkebunan karet, bahan tersebut tersedia dengan
jumlah yang melimpah dan tidak dimanfatkan kecuali oleh penduduk sekitar sebagai bahan bakar.
2.4. Amonia Amonia merupakan produk dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena kondisi anaerobik. Amonia memiliki nilai kesetimbangan untuk pH yaitu 9,26. Menurut Saeni (1989) reaksi kimianya adalah sebagai berikut : NH4+
H+ + NH3
Reaksi tersebut memiliki arti bahwa bila nilai pH lebih dari 9,26 maka keseimbangan terletak di sebelah kanan yaitu amonia dalam bentuk NH3, sedangkan jika nilai pH kurang dari 9,26 maka keseimbangan akan terletak di sebelah kiri yaitu amonia berbentuk NH4+ (Jenie dan Rahayu 2004). Amonia mempuyai bau yang sangat menyengat, sangat korosif terhadap logam serta berbahaya bagi kesehatan manusia. Emisi gas amonia menyebabkan gangguan kesehatan gangguan pada saluran pernafasan, iritasi selaput lendir mata, pusing serta gangguan kesehatan yang lainnya (Soemirat 2002). Penerapan biofilter diharapkan mampu menghilangkan emisi gas amonia yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik leum pada industri karet.
Berikut merupakan transformasi nitrogen yang
mungkin terjadi di dalam biofilter.
Amonia (NH3) dari inlet Emisi Emisi : NO NH3 N2O N2
absorpsi
desorpsi
Amonium (NH4+) Nitrit (NO2-)
Bahan pengisi nitrifikasi
imobilisasi
denitrifikasi
mineralisasi
Nitrat (NO3-)
Leaching Biomassa mikroba
Gambar 4. Transformasi nitrogen yang terjadi dalam biofilter (Brady 1990)
Transformasi atau perubahan bentuk dari N yang mungkin terjadi di dalam sistem biofilter tersaji dalam Gambar 4. Gas NH3 yang masuk dari inlet ke dalam biofilter akan berada pada kondisi berikut ini : (1) akan digunakan oleh mikroorganisme dalam bentuk bahan organik menjadi biomassa, (2)
akan
langsung keluar kembali tanpa ada perubahan bentuk, khususnya jika pH media tinggi/basa, (3) dengan kondisi oksigen yang cukup akan dioksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi. 2.5. Bakteri Pengoksidasi Amonia (Nitrifying bacteria) Tiga bentuk utama nitrogen sebagai bahan organik dalam makhluk hidup adalah sebagai penyusun protein, dinding sel mikroba dan asam nukleat. Oleh karena itu apabila terjadi dekomposisi bahan organik yang mengandung nitrogen maka unsur N akan lepas dalam bentuk amonia (NH4+ dan NH3) (Jenie dan Rahayu 2004). Keadaan lingkungan yang aerobik akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi amonia menjadi nitrit (NO2-), dan masih pada kondisi yang sama nitrit dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). Proses nitrifikasi ini didukung oleh bakteribakteri yang disebut sebagai nitrifying bacteria.
Proses nitrifikasi adalah
perubahan dari amonia menjadi nitrat oleh kegiatan bakteri. Berikut merupakan daftar bakteri kemoautotrof pengoksidasi nitrogen. Tabel 2. Daftar Bakteri Pengoksidasi Nitrogen Genus
Spesies
Habitat -
Mengoksidasi amonia (NH3) menjadi nitrit (NO2 ) Nitrosomonas europea Nitrosospira briensis Nitrosococcus nitrosus oceanus mobilis Nitrosovibrio Tenuis
tanah, air dan air limbah tanah laut laut tanah tanah
Mengoksidasi nitrit (NO2-) menjadi nitrat (NO3-) Nitrobacter widogradskyi agilis Nitrospira gracilis Nitrococcus mobilis
tanah tanah, air laut laut
Sumber : Jenie dan Rahayu (2004)
Menurut Jenie dan Rahayu (2004) proses oksidasi amonia berlangsung dalam dua tahap kategori mikrobiologi yaitu : a. Perubahan dari NH4- menjadi NO2Jenis bakteri Nitrosomonas (seperti N. europea, N. briensis dan sebagainya) mampu mengoksidasi amonia menjadi nitrit. Reaksinya adalah sebagai berikut : NH4+ + 1,5 O2-
NO2- + 2H+ + H2O + 275 kJ
Bakteri lain yang mampu mengubah amonia menjadi bentuk nitrit adalah Nitrosospira, Nitrosococcus dan Nitrosovibrio. b. Perubahan dari NO2- menjadi NO3Jenis bakteri Nitrobacter (seperti N. agilis, N. widogradskyi dan sebagainya) mampu mengoksidasi nitrit menjadi nitrat, dengan reaksi sebagai berikut : NO2- + 0,5 O2-
NO3- + 75 kJ
Bakteri lain yang juga dapat mengubah nitrit menjadi nitrat adalah Nitrospora dan
Nitrococcus.
Oksidasi dari amonia menjadi nitrit kemudian
menjadi nitrat ini merupakan proses yang menghasilkan energi, energi inilah yang dimanfaatnya oleh bakteri nitrifikasi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Jenie dan Rahayu (2004), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses nitrifikasi adalah sebagai berikut : 1.
Nilai pH,
nilai pH yang optimum untuk mendukung terjadinya proses
nitrifikasi adalah pada kisaran 6,6 sampai dengan 8,0. Laju nitrifikasi akan menurun bila pH berada dibawah nilai 6,0 dan hampir tidak dapat terbaca dibawah nilai 4,5. Nilai pH yang rendah juga akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme, populasi terbanyak dapat dicapai pada nilai pH yang netral. Pada kondisi pH yang tinggi, NH4+ akan menghambat pembentukan NO2menjadi NO3-. 2.
Aerasi atau suplai oksigen (O2). Oksigen merupakan kebutuhan utama bagi semua kehidupan, hal inilah yang menyebabkan aerasi memegang peranan yang penting. Oksigen disediakan bagi kebutuhan hidup mikroorganisme.
Kandungan oksigen yang rendah akan menyebabkan laju oksidasi amonia menjadi rendah, hal ini menyebabkan akumulasi nitrat dalam tanahpun akan menjadi sangat sedikit. Proses difusi oksigen dari udara ke dalam tanah dapat dilihat dari kelembaban dan struktur tanah. 3.
Kelembaban.
Pembentukan NO3- di dalam tanah dipengaruhi oleh
kelembaban atau kadar air pada media. Tanah dengan kondisi kehilangan air yang tinggi akan menyebabkan proses nitrifikasi yang seharusnya terjadi, berubah menjadi sangat terhambat.
Hal ini terjadi karena kehidupan
mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh kadar air dalam media. Demikian pula dengan pertumbuhan bakteri nitrifier akan menjadi lambat dengan ketidakhadiran air. 4.
Temperatur. Proses nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh temperatur. Proses ini akan melambat pada suhu dibawah 5oC dan diatas 40oC.
Kondisi
optimum adalah pada kisaran temperatur 30 sampai 35oC. Interaksi antar temperatur, aerasi dan kelembaban memberi andil yang besar pada proses nitrifikasi. 2.6. Hidrogen Sulfida (H2S) Hidrogen sulfida (H2S) atau asam sulfida atau asam hidrosulfur merupakan senyawa yang mudah terbakar dan beracun.
Gas ini tidak berwarna dan
mempunyai bau yang sangat tidak enak yaitu seperti telur busuk. Sekalipun gas ini bersifat iritan pada paru-paru, tetapi ia digolongkan ke dalam asphyxiant karena efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Asphyxiant adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepaskan karbon dioksida. Sebab utamanya adalah gas-gas beracun yang berada dalam atmosfer seperti CO2, CO, H2S, NH3 dan CH4 (Soemirat 2002). Hidrogen sulfida juga bersifat korosif terhadap metal serta menghitamkan berbagai material dan bangunan. Karena berat molekulnya lebih tinggi dari udara maka senyawa ini sering terkumpul pada lapisan bagian bawah, pada sumur, saluran buangan air dan sebagainya (Saeni 1989). Hidrogen sulfida diperoleh secara alamiah dari aktivitas gunung berapi, dekomposisi bahan organik serta dari proses HDS (hydrodesulfurization) pada
proses desulfurisasi minyak mentah (Lens dan Pol 2000). H2S dapat dideteksi pada konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0.002 ppm. Kelarutan H2S pada air dengan suhu 20 oC hanya 0.40 gram/100 gram H2O (0.12 M), pada tekanan 1.013 bar. Kelarutan H2S menurun seiring dengan meningkatnya suhu.
Hidrogen sulfida (H2S) dari inlet
Emisi Emisi : H2S S organik
oksidasi
Biomassa mikroba Sulfur organik asimilasi
pemecahan
Sulfida (S2-)
Sulfat (SO42-) oksidasi
oksidasi
Sulfit (SO32-)
Leaching
oksidasi
Sulfur (S)
Gambar 5.
Transformasi sulfur yang terjadi dalam biofilter (Brady 1990)
Transformasi atau perubahan bentuk dari S yang mungkin terjadi di dalam sistem biofilter ditunjukkan dalam Gambar 5. Gas H2S yang masuk dari inlet ke dalam biofilter akan berada pada kondisi berikut ini : (1) akan digunakan oleh mikroorganisme dalam bentuk bahan organik menjadi biomassa, (2) akan lepas keluar kembali tanpa ada perubahan bentuk, (3) pada kondisi aerobik akan dioksidasi menjadi sulfat.
2.7. Bakteri Pengoksidasi Hidrogen Sulfida (H2S) Kelompok bakteri fotosintetik yang terlibat dalam transfer senyawa sulfur adalah
bakteri sulfur ungu
(Chromatiaceae) dan
bakteri sulfur hijau
(Chlorobioceae). Bakteri ini mendapatkan energi untuk proses metabolismenya melalui oksidasi H2S, serta menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Beberapa jenis dari kelompok ini mengoksidasi hidrogen sulfida (H2S) membentuk sulfur elemen (So) dan kelompok lainnya mengoksidasi sulfur elemen membentuk asam sulfat (H2SO4). Reaksi oksidasi H2S menghasilkan asam sulfat adalah sebagai berikut : 2H2S + O2
2S + 2H2O
2S + 2H2O + 3O2
4H+ + 2SO42- atau
S2O32- + H2O + CO2
2H+ + 2SO42-
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jenis Thiobacillus merupakan spesies kemolitotrophik sejati, yang artinya bakteri tersebut dapat menggunakan bahan yang dapat dioksidasi sebagai donor elektron, yang kemudian energi yang dihasilkan digunakan untuk keperluan proses metaboliknya. Beberapa bakteri yang dapat mengoksidasi senyawa sulfur adalah Thiobacillus thiooxidans dan Thiobacillus ferooxidans. Kedua jenis bakteri ini banyak ditemukan pada lingkungan yang mengandung hidrogen sulfida (H2S). Kedua mikroorganisme ini mengoksidasi H2S dan membentuk sulfur elemen yang disimpan dalam partikel selnya. Keduanya mengoksidasi bahan anorganik seperti hidrogen sulfida, sulfur elemen dan besi serta mengubahnya menjadi asam sulfat. Mereka dapat hidup pada keadaan yang sangat asam dengan nilai pH mencapai 2 (Edmonds 1978). Berikut merupakan daftar bakteri kemolitotrophik pengoksidasi sulfur.
Tabel 3. Daftar Bakteri Pengoksidasi Sulfur No
Kelompok Mikroorganisme
Spesies
1.
Autotrof
Thiobacillus spp
2.
Bakteri sulfur tidak berwarna
Thiotrix spp Beggiota spp
3.
Fototrof
Chlorobium spp Chromatorium spp Ectothiorodospira spp
4.
Methylotrops Cyanobacteria
Hypomicrobium spp
5.
Fungi
Sporomia concretifora
6.
Heterotrof lain
Xanthomonas spp
Sumber : Lens dan Pol (2000)
2.8.
Bakteri Heterotrof Lingkungan tanah mengandung banyak sekali jasad-jasad hidup yang
memiliki fungsi masing-masing.
Bakteri merupakan tumbuhan bersel satu,
dengan ukuran 0,005 mm, mikroorganisme ini yang paling banyak dijumpai. Bakteri dibagi dalam dua jenis yaitu bakteri autotrof dan heterotrof. Bakteri autotrof adalah bakteri yang mampu membentuk sendiri bahan organik dari CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari, contohnya adalah bakteri yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya yaitu antara lain Nitrosomonas, Nitrobacter, Thiobacillus dan sebagainya. Sedangkan bakteri heterotrof adalah bakteri yang tidak mampu membentuk bahan organik sendiri, sehingga membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbonnya.
Dalam kaitannya dengan ketersediaan
nitrogen di dalam tanah, jika bakteri autotrof (Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp) melakukan proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat, maka yang dilakukan oleh bakteri heterotrof adalah fiksasi/mengikat N dari udara dan melepaskan amonia pada proses amonifikasi. Fiksasi nitrogen secara biokimia sama untuk semua mikroorganisme yaitu gas nitrogen (N2) direduksi menjadi NH3 dengan menggunakan enzim nitrogenase.
Beberapa bakteri yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan fiksasi N adalah Azotobacter, Beijerinchia, Clostridium, Azotococcus dan sebagainya. Selain bakteri, fiksasi N juga dapat dilakukan secara simbiosis yaitu oleh Rhizobium, Frankia, Bradyrhizobium dan sebagainya, biasanya simbiosis dilakukan dengan tanaman kacang-kacangan
(Leguminaceae) (Wild 1995). Demikian juga mekanisme yang dilakukan untuk memfiksasi unsur S. Bakteri heterotrof yang mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi sulfur antara lain adalah Arthrobacter, Bacillus, Mikrococcus, Mycobacterium dan Pseudomonas (Wild 1995).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di PTP Nusantara VIII Kebun Cimulang, Bogor. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu bulan Januari 2005 sampai dengan Agustus 2005. Analisis parameter fisik, kimia dan biologi dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Teknik Manajemen Lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah emisi gas dari gudang penyimpanan leum industri karet, kompos, sekam, serasah daun karet, serpihan kulit kayu karet, sludge, dan bahan kimia untuk analisis laboratorium. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa paralon PVC ukuran 8 inci, tutup paralon, blower, plastik, kawat, rubber stop, kran udara, kertas pH, Spectrophotometer UV-Vis, labu ukur 50 ml, pipet Mohr 1 ml; 5 ml; 10 ml, Erlenmeyer, buret 50 ml, mikroskop, cawan petri, inkubator dan lain-lain. 3.3. Tahapan Percobaan 3.3.1. Karakterisasi Gas Penyebab Bau pada Industri Karet Sumber emisi gas bau dari industri karet yang akan dikaji dalam penelitian ini berasal dari gudang penyimpanan leum. Secara teori menurut Hartikainen et al. (2000), proses degradasi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari senyawa-senyawa sulfida, amonia, karbon monoksida, karbon dioksida serta senyawa organik lain yang mudah menguap
(volatile organic
compounds) seperti metana, asam asetat, keton, aldehid dan sebagainya. Berdasarkan teori yang ada akan dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan gas apa saja yang keluar dari proses degradasi anaerobik pada gudang leum, selanjutnya beberapa gas dengan konsentrasi besar akan dijadikan sebagai parameter utama yang akan diukur dalam penelitian ini.
3.3.2. Pembuatan Reaktor Biofilter Perancangan kolom biofilter adalah dengan menyiapkan pipa paralon PVC dengan diameter 8 inch dan panjang 70 cm sebanyak 6 buah. Pipa paralon diberi lubang yang berfungsi untuk mengambil sampel tanah untuk pengukuran parameter-parameter fisik-kimia dan mikrobanya. Lubang inlet berada pada bagian atas (1) dan lubang outlet pada bagian bawah (4). 1 2
Keterangan : 1. Kolom biofilter 2. Lubang inlet 3. Lubang sampling tanah 4. Lubang outlet
3
4
Gambar 6. Desain reaktor biofilter yang akan digunakan dalam penelitian 3.3.3. Persiapan Bahan Pengisi Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos, tanah, bahan tambahan (berupa sekam, serasah daun karet, kulit kayu karet) dan sludge. Secara lebih jelas bahan tambahan dapat dilihat pada Lampiran 8). Perbandingan yang digunakan dalam bahan pengisi untuk kompos, tanah, bahan tambahan dan sludge berturut-turut adalah 4 : 2 : 1 : 1 (Devinny et al. 1999). Komposisi bahan pengisi : •
Biofilter 1 berisi kompos, tanah, sekam dan sludge.
•
Biofilter 2 berisi kompos, tanah dan sekam.
•
Biofilter 3 berisi kompos, tanah, serasah daun karet dan sludge.
•
Biofilter 4 berisi kompos, tanah dan serasah daun karet.
•
Biofilter 5 berisi kompos, tanah, kulit kayu karet dan sludge.
•
Biofilter 6 berisi kompos, tanah dan kulit kayu karet.
Kompos yang digunakan sebagai bahan pengisi biofilter diperoleh dari pedagang tanaman komersial.
Hal ini dilakukan karena masyarakat di
sekitar pabrik tidak mengolah kompos sendiri untuk memupuk sawahnya, melainkan menggunakan pupuk kimia. Jenis kompos yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kompos daun dengan merk dagang Kompos Penyubur Tanaman Super yang diproduksi oleh Enka Saritani Jakarta. Tanah yang digunakan sebagai bahan pengisi berasal dari tanah yang ada di sekitar gudang leum. Hal ini bertujuan untuk memperoleh mikroba alami yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Sludge berasal dari endapan lumpur yang diperoleh dari sekitar pembuangan air limbah PTP Nusantara VIII. Sludge yang dipilih adalah sludge yang telah tua, bukan air limbah segar. Penambahan sludge ke dalam bahan pengisi bertujuan untuk meningkatkan kelimpahan serta keragaman populasi mikroorganisme di dalam biofilter.
Dengan mengoptimalisasi
jumlah serta jenis mikroorganisme, diharapkan kinerja biofilter menjadi lebih baik dalam pengolah emisi gas penyebab bau dari gudang leum. 3.3.4. Penelitian Utama Biofilter yang dipersiapkan sebanyak 6 kolom, dengan ukuran diameter 8 inci dan tinggi 70 cm, sedangkan untuk tinggi bahan pengisi adalah 40 cm.
Perlakuan dalam penelitian ini adalah perbedaan bahan
pengisi tambahan yaitu sekam/kulit padi, serasah daun karet dan kulit kayu karet.
Fokus penelitian ini adalah akan mengamati efisiensi biofilter,
kapasitas penyerapan serta daya tahan masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter. Secara operasional aliran gas inlet (flow) yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah konstan yaitu 10 liter per menit. Untuk mendapatkan hasil tersebut maka parameter-parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Senyawa N dalam bentuk amonia (NH3). Pengamatan juga akan dilakukan selama satu bulan dengan pengambilan sampel pada inlet dan outlet sebagai berikut minggu pertama akan dilakukan dua kali dalam sehari berfungsi untuk mengetahui tren input. Minggu kedua
pengambilan sampel dilakukan satu kali sehari, minggu ketiga dua hari sekali dan minggu keempat tiga hari sekali.
Metode yang
dipergunakan dalam pengukuran Amonia adalah Metode Nessler, prosedur pengukuran amonia secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. b.
Senyawa sulfida yaitu hidrogen sulfida (H2S). Pengamatan akan dilakukan selama satu bulan dengan pengambilan sampel pada inlet dan outlet sebagai berikut minggu pertama akan dilakukan dua kali dalam sehari berfungsi untuk mengetahui tren input sebab penelitian ini dilakukan pada skala industri. Minggu kedua pengambilan sampel dilakukan satu kali sehari, minggu ketiga dua hari sekali dan minggu keempat tiga hari sekali.
Metode yang dipergunakan dalam
pengukuran hidrogen sulfida adalah Metode Metilen Blue, prosedur pengukuran hidrogen sulfida secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. c.
Kadar air dan pH diukur satu minggu sekali untuk memastikan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan mikroba. Untuk parameter temperatur diukur setiap hari. Prosedur pengukuran kadar air, pH dan temperatur dapat dilihat pada Lampiran 3.
d.
Pengukuran parameter total C organik, total S dan total N untuk bahan pengisi dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir pengoperasian biofilter. Hal ini untuk mengetahui perubahan unsur-unsur tersebut selama penelitian di dalam biofilter. Prosedur pengukuran parameter total C, S dan N dapat dilihat pada Lampiran 3.
e.
Penghitungan jumlah mikroorganisme pada bahan pengisi dilakukan pada awal, tengah dan akhir pengoperasian biofilter. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan serta perkembangan mikroba yang ada dalam biofilter. Untuk penghitungan Nitrosomonas sp menggunakan metoda MPN, selanjutnya untuk penghitungan Thiobacillus sp, fungi dan bakteri heterotrof dengan menggunakan metoda TPC (Anas 1989). Secara lebih detail prosedur kerja serta cara penghitungan jumlah mikroba dapat dilihat pada Lampiran 4.
Skema reaktor biofilter yang diterapkan pada skala lapang disajikan pada Gambar 7 berikut ini dan secara lebih detil mengenai kondisi reaktor biofilter dapat dilihat pada Lampiran 9.
A
B
C
D G
. . .
E
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
F
Gambar 7. Skema biofilter penerapan skala lapangan (A. Gudang penyimpanan leum, B. Blower, C. Flow meter, D. Lubang inlet, E. Lubang sampling, F. Lubang outlet, G. Kolom biofilter). 3.4. Analisis Data Data yang diperoleh akan disajikan menggunakan Metode Deskriptif dengan Grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan (Walpole 1995).
Keandalan biofilter akan diukur berdasarkan
efisiensi, kapasitas penghilangan serta total penghilangan masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter.
Grafik efisiensi diperoleh dengan memetakan
antara sumbu x yaitu waktu dan sumbu y yaitu efisiensi.
Grafik kapasitas
penghilangan diperoleh dengan memetakan antara sumbu x yaitu beban dan sumbu y yaitu kapasitas penghilangan dengan satuan g/kg bhn kering/hari. Total penghilangan diperoleh dengan memetakan antara sumbu x yaitu waktu dan sumbu y yaitu penyerapan dan beban dalam g/kg bhn kering/hari. Penentuan bahan pengisi terbaik akan dilakukan dengan menggunakan teknik scoring terhadap parameter-parameter uji yang telah ditentukan.
Efisiensi (%)
100
(2)80
(1)
60
(1)
40 20 0 0
1
2
3
4
5
Kapasitas penghilangan (g/kg bhn kering/hr)
Waktu (hari)
6
(2)
4 2 0 0
2
4
6
Beban (g/kg bhn kering/hr)
g/kg bhn kering/hr
15 12
(3)
9 6 3 0 0
1
2
3
4
5
Waktu (hari) Gambar 8.
Grafik yang digunakan dalam analisis data : (1) Grafik efisiensi biofilter, (2) Grafik kapasitas penghilangan gas polutan, (3) Grafik total penghilangan gas polutan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Gas Identifikasi gas dilakukan untuk mengetahui gas-gas yang lepas karena adanya proses degradasi anaerobik pada leum atau getah karet beku. Hartikainen et al. (2000), menyatakan bahwa proses degradasi anaerobik bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa sulfida, NH3, CO, CO2, NOx, SOx serta beberapa senyawa organik yang mudah menguap seperti metan, asam asetat, aldehid dan sebagainya. Pengujian terhadap gas dilakukan pada awal penelitian. Hasil pengujian emisi gas yang terdapat pada gudang leum disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Daftar identifikasi gas-gas inlet ke dalam biofilter Gas
Satuan
Nilai
Nilai Batas Emisi yang diijinkan (Kep13/MenLH/3/1995)
Baku Mutu Tingkat Kebauan (KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996)
NH3
ppm
98,361
2,00
2,00
H2S
ppm
0,542
0,02
0,02
CO
ppm
0,205
-
-
NOx
ppm
0,031
1,00
-
SOx
ppm
0,031
0,80
-
Hasil pengukuran beberapa parameter gas yang telah dilakukan terhadap emisi gas dari gudang penyimpanan leum, diperoleh gas-gas yang dilepaskan adalah gas NH3, H2S, CO, NOx dan SOx berturut-turut dengan konsentrasi 98,361 ppm; 0,542 ppm; 0,205 ppm; 0,031 ppm dan 0,031 ppm (Tabel 4). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, dapat dilihat bahwa untuk parameter amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan parameter yang lain sekaligus jika dibandingkan dengan konsentrasi gas menurut baku mutu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tentang emisi gas yang diijinkan dan baku mutu tingkat kebauan.
Kemungkinan tingginya konsentrasi amonia (NH3) yang lepas dari gudang penyimpanan leum diduga berasal dari kandungan unsur penyusun pada lateks serta proses pada ruang produksi karet (Gambar 2).
Unsur penyusun lateks,
Wagiman (2001) menyatakan bahwa kadar N total pada lateks pekat mencapai 478 ppm. Hal ini berarti bahwa kandungan N total pada leum pun tinggi dan diduga berpengaruh secara linier terhadap konsentrasi gas amonia yang lepas karena adanya proses penguraian leum oleh bakteri. Ruang produksi karet juga diduga memberikan sumbangan terhadap tingginya konsentrasi amonia.
Di dalam ruang produksi terdapat proses
penambahan amonia pekat ke dalam lateks.
Penambahan amonia dilakukan
segera setelah getah karet cair sampai di pabrik. Penambahan amonia ini berfungsi untuk menunda terjadinya penggumpalan
getah karet secara cepat. Jumlah
amonia yang ditambahkan pada setiap proses produksi berbeda-beda, tergantung dari kadar karet yang diperoleh saat penyadapan. Amonia yang ditambahkan pada proses produksi karet diduga juga memberikan pengaruh terhadap tingginya konsentrasi gas amonia yang dilepaskan pada saat terjadi penguraian leum. Gas amonia yang lepas dari gudang penyimpanan leum juga berasal produk hasil dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena adanya kondisi anaerobik. Bau dari gas ini sangat menyengat, menyebabkan iritasi serta sifatnya sangat korosif terhadap logam (Sastrawijaya 2000). Gas ini sangat berbahaya terhadap manusia karena menyebabkan asphyxia. Menurut Soemirat (2002) asphyxia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mempu melepaskan karbon dioksida, sebab utamanya antara lain kehadiran gasgas beracun yang berasa di dalam atmosfer seperti CO2, H2S, CO, NH3 dan CH4. Asphyxia ini bersifat akut. Gas hidrogen sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran berasal dari adanya proses penguraian leum secara anaerobik oleh bakteri. Gas ini berbau sangat busuk, mempunyai efek yang sama dengan amonia yaitu dapat menyebabkan iritasi dan juga bersifat korosif terhadap logam. Menurut Soemirat (2002), senyawa hidrogen sulfida pada dosis yang tinggi dapat merusak saluran pernafasan.
Emisi kedua gas yang telah melebihi ambang batas baku mutu serta pengaruhnya yang negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan inilah yang menjadi alasan mengapa harus dilakukan pengolahan terhadap gas polutan yang lepas dari gudang penyimpanan leum. 4.2. Bahan Pengisi Keberhasilan kinerja suatu biofilter salah satunya dipengaruhi oleh bahan pengisi yang digunakan, Ottengraf (1986) menyatakan bahwa bahan pengisi adalah jantung dari biofilter.
Dengan demikian pemilihan bahan pengisi
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pembuatan suatu biofilter.
Berikut merupakan kondisi bahan pengisi yang digunakan dalam
penelitian ini : Tabel 5. Kondisi bahan pengisi biofilter berupa kompos, tanah dan campuran bahan tambahan Biofilter
Berat Basah (kg)
Berat Kering (kg)
Volume Kolom (liter)
Kadar Air (%)
pH
N total (%)
S total (ppm)
C total (%)
1
10,372
3,962
12,965
62,37
8,5
0,43
23,81
50,38
2
10,372
3,940
12,965
62,01
8
0,44
21,43
52,11
3
10,372
3,998
12,965
61,45
8
0,46
36,91
54,22
4
10,372
4,083
12,965
60,63
8,5
0,45
30,95
47,83
5
10,372
4,137
12,965
60,11
8,5
0,44
37,23
54,30
6
10,372
4,218
12,965
59,33
8
0,41
36,91
54,72
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa berat basah bahan pengisi yang digunakan pada masing-masing kolom biofilter adalah sama yaitu 10,372 kg. Berat basah bahan pengisi ini menempati kolom biofilter dengan diameter 8 inci dan tinggi 40 cm. Berdasarkan pengukuran terhadap berat kering bahan yang dilakukan maka diperoleh masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 3,962; 3,940; 3,998; 4,083; 4,137 dan 4,218 kg. Hasil pengukuran berat kering bahan pengisi pada masing-masing biofilter adalah berbeda, kondisi ini berdasarkan pada kadar air yang dimiliki oleh masing-masing
bahan pengisi. Berat basah yang sama dengan kondisi kadar air yang berbeda akan menghasilkan berat kering yang berbeda pula. Kadar air yang diukur pada awal penelitian masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 62,37; 62,01; 61,45; 60,63; 60,11 dan 59,33%. Kondisi kadar air pada bahan pengisi sangat erat hubungannya dengan keberlangsungan hidup mikroorganisme di dalam biofilter. Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan makhluk hidup (Wardana
1999), termasuk
mikroorganisme dalam biofilter. Prosentase kadar air yang diperoleh dari pengukuran untuk masing-masing biofilter berada diatas 50%, hal ini berarti kecukupan air bagi kehidupan mikroorganisme secara optimum di dalam biofilter telah terpenuhi. Devinny et al (1999) menyatakan bahwa kadar air di dalam biofilter yang optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme berada pada kisaran 40 – 80%. Nilai pH dari hasil pengukuran masing-masing bahan pengisi untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 8,5; 8; 8; 8,5; 8,5; 8. pH merupakan nilai yang menunjukkan suatu kesetimbangan antara asam dan basa pada suatu media. Nilai pH yang paling baik bagi perkembangan mikroorganisme tanah secara optimal adalah pH antara netral hingga alkalis/basa yaitu antara pada kisaran 7,0 8,5 (Wild 1995). Bahan pengisi pada masing-masing biofilter memiliki nilai pH diatas 7, hal ini berarti kondisi pH semua bahan pengisi pada biofilter adalah netral. Komposisi bahan pengisi yang dominan berisi campuran kompos dan tanah ternyata memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Menurut Devinny et al. (1999), kompos dan tanah mempunyai nilai pH yang netral yaitu antara 7 - 8,5. Dengan demikian kondisi pH bahan pengisi pada biofilter yang digunakan dalam penelitian telah terpenuhi, agar bakteri tumbuh dan berkembang secara optimal. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap N total bahan pengisi pada awal penelitian, maka diperoleh prosentase N total masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 0,43; 0,44; 0,46; 0,45; 0,44 dan 0,41%. Unsur N atau nitrogenium merupakan hara makro yang menjadi salah satu unsur penyusun protein yang penting dalam tubuh makhluk hidup. Keberadaan unsur N dalam suatu media sangat dibutuhkan bagi perkembangan mikroorganisme di dalamnya. Hara makro adalah sebutan bagi unsur yang
dibutuhkan serta terdapat dalam tubuh mikroorganisme dalam jumlah yang relatif besar. Unsur-unsur yang termasuk dalam hara makro adalah C, H, O, N, P, K, Ca, S dan Mg (Wild 1995). Devinny et al. (1999) menyatakan bahwa bahan pengisi biofilter berupa kompos dan campuran bahan organik mempunyai kandungan untuk masing-masing unsur N, P dan K berturut-turut adalah 0,40; 0,15 dan 0,15%.
Hal ini juga didukung oleh Degorce-Dumas et al. (1997) yang
menyatakan bahwa kadar N total dalam campuran kompos dan bahan organik lain berkisar antara 0,4 - 0,8%. Berdasarkan hal tersebut, berarti kadar N total yang terkandung dalam bahan pengisi biofilter pada penelitian ini yaitu antara 0,41 0,46%, berada pada kisaran prosentase nilai tersebut. Pengukuran yang dilakukan terhadap S total bahan pengisi pada awal penelitian, diperoleh prosentase S total masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 23,81; 21,43; 36,91; 30,95; 37,23 dan 36,91 ppm. Unsur S termasuk dalam unsur penyusun protein pada sel hidup (Fitzpatrick 1994). Menurut AAK (1991), unsur S, Ca dan Mg termasuk dalam kategori unsur makro sekunder, artinya unsur ini tidak dibutuhkan dalam jumlah yang terlalu banyak, namun harus terdapat cukup di dalam suatu media. Walaupun jumlah dari unsur S, Ca dan Mg tidak harus banyak, kehadiran salah satu unsur tersebut mutlak harus ada, jika tidak akan terjadi ketidaknormalan perkembangan mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengukuran parameter S total yang telah dilakukan maka unsur S telah tersedia dalam bahan pengisi biofilter dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap C total bahan pengisi pada awal penelitian, diperoleh jumlah C total pada masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 50,38; 52,11; 54,22; 47,83; 54,30 dan 54,72%. Karbon atau C merupakan salah satu unsur esensial yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme.
Unsur C adalah salah satu unsur utama
penyusun karbohidrat, selulosa, glukosa dan sebagainya selain unsur H dan O (Fitzpatrick 1994). Menurut Degorce-Dumas et al. (1997), kompos memiliki nilai C total sebesar 37 - 50%. Hal ini berarti kisaran C total pada bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini termasuk pada kisaran nilai tersebut.
4.3. Kondisi Proses selama Penelitian 4.3.1. Nilai pH Perubahan nilai pH yang diukur selama penelitian pada masingmasing biofilter yaitu biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 9 berikut ini. Tabel 6. Nilai pH pada masing-masing biofilter Biofilter
Nilai pH Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
8,5 8,0 8,0 8,5 8,5 8,0
7,0 7,5 7,0 7,5 7,5 7,5
6,5 7,0 6,5 6,5 7,0 7,0
6,0 6,5 6,0 6,0 6,5 6,5
1 2 3 4 5 6
9
N ila i p H
8
7
6
5 1 B iofilter 1 B iofilter 4
2 B iofilter 2 B iofilter 5
3 B iofilter 3 B iofilter 6
4
M ing g u
Gambar 9. Nilai pH pada masing-masing biofilter selama penelitian Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pH yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa pada masing-masing enam biofilter tersebut mengalami penurunan nilai pH (Gambar 9). Kondisi parameter pH bahan pengisi pada awal penelitian berada pada kisaran nilai 8 - 8,5. Kemudian pada minggu pertama pengoperasian biofilter, nilai pH mulai mengalami
penurunan dan hal itu terus berlanjut hingga pada akhir penelitian nilai pH mencapai kisaran 6 - 6,5. Penurunan nilai pH disebabkan oleh proses yang terjadi di dalam biofilter, antara lain seperti yang ditunjukkan oleh reaksi berikut : •
•
Proses Nitrifikasi NH4+ + 1,5 O2-
NO2- + 2H+ + H2O + 275 kJ
NO2- + 0,5 O2-
NO3- + 75 kJ dan
Proses Sulfonisasi 2H2S + O2
2S + 2H2O
2S + 2H2O + 3O2
4H+ + 2SO42- atau
S2O32- + H2O + CO2
2H+ + 2SO42-
Proses nitrifikasi adalah oksidasi gas amonia oleh nitrifying bacteria, produk akhir yang dihasilkan dari proses ini adalah asam nitrat (NO3-). Sedangkan
proses
sulfonisasi
adalah
oksidasi
gas
H2S
oleh
mikroorganisme pendegradasi senyawa S, yang akan menghasilkan produk akhir berupa asam sulfat (SO42-).
Asam nitrat dan asam sulfat yang
terbentuk secara terus menerus karena proses oksidasi ini, akan bersifat akumulatif di dalam media. Sifat kedua produk yang merupakan asam kuat, dengan jumlah yang terus bertambah akan menyebabkan turunnya pH di dalam media atau bahan pengisi biofilter.
Ketika nilai pH
mengalami penurunan, maka aktivitas kerja mikroorganisme di dalam biofilter menjadi terganggu. Cho et al. (2000) menyatakan bahwa polutan gas yaitu amonia dan hidrogen sulfida yang masuk ke dalam suatu biofilter akan didegradasi oleh mikroorganisme membentuk asam kuat yaitu nitrat dan sulfat yang selanjutnya akan terkumpul dalam media sehingga menyebabkan pH di dalam biofilter menurun. 4.3.2. Kadar Air Berikut hasil pengukuran kadar air bahan pengisi pada biofilter yang telah dilakukan selama penelitian berlangsung, data disajikan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Prosentase kadar air pada masing-masing biofilter No
Pengukuran
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Biofilter 1 Biofilter 2 Biofilter 3 Biofilter 4 Biofilter 5 Biofilter 6
Kadar Air (%) I
II
III
IV
62,37 62,01 61,45 60,63 60,11 59,33
60,84 61,52 60,35 59,22 58,26 58,12
59,21 58,90 58,11 57,16 56,41 56,51
57,77 57,84 56,17 56,23 55,23 55,13
Berdasarkan hasil pengukuran kadar air yang tersaji pada Tabel 7, dapat diamati bahwa kadar air pada masing-masing bahan pengisi dalam enam biofilter berada diatas 55%. Kandungan air dalam bahan pengisi merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme di dalam biofilter. Jika kandungan air dalam media bahan pengisi kurang atau mengalami penurunan maka akan berpengaruh pada aktivitas mikroorganisme di dalam biofilter sehingga kinerjanya pun menjadi kurang optimal. Wu et al. (1998) menyatakan bahwa kadar air dalam suatu bahan pengisi biofilter sangat penting untuk diperhatikan sebab air digunakan sebagai media pengangkutan hara-hara mineral
yang
sangat
dibutuhkan
untuk
kelangsungan
hidup
mikroorganisme serta sebagai media pembentukan biofilm oleh mikroba yang nantinya akan berfungsi untuk mendegradasi gas polutan yang masuk ke dalam biofilter. Selanjutnya menurut Sun et al. (2000), kadar air yang paling baik untuk perawatan (maintenance) suatu biofilter dengan bahan pengisi campuran kompos adalah antara 30 - 70%. Kondisi ini akan menyokong pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dengan baik pula. Dengan demikian kadar air yang terkandung dalam bahan pengisi masing-masing biofilter dalam penelitian ini masuk dalam kriteria tersebut sehingga mampu mendukung kehidupan mikroorganisme di dalam biofilter dengan optimal.
4.4. Aplikasi Penghilangan Gas Penyebab Bau oleh Biofilter 4.4.1. Amonia (NH3) a. Inlet Gas Amonia Pengukuran terhadap inlet gas amonia yang masuk ke dalam biofilter, yang berasal dari emisi gas gudang penyimpanan leum, diperoleh data hasil pengukuran seperti yang tersaji pada Gambar 10 berikut.
K onsentrasi Inlet gas N H 3 (ppm )
120
80
40
0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
W aktu (hari) Gambar 10. Konsentrasi inlet gas amonia (NH3) selama penelitian dilaksanakan Data inlet gas amonia pada Gambar 10, memperlihatkan bahwa konsentrasi gas yang lepas dari gudang penyimpanan leum sangatlah berfluktuasi. Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan konsentrasi gas amonia yang dilepaskan dari gudang penyimpanan leum mempunyai kisaran antara 12 – 100 ppm. Kondisi inlet gas yang sangat variatif ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Analisa lapangan yang dapat dilakukan secara visual, dapat dilihat bahwa ada hubungan antara konsentrasi inlet dengan volume leum. Konsentrasi inlet gas amonia yang terukur berbanding lurus dengan volume leum yang berada di dalam
gudang penyimpanan, semakin tinggi tumpukan leum di dalam gudang penyimpanan maka konsentrasi inlet gas amonia yang terukur juga semakin meningkat, walaupun tidak selalu menunjukkan pola seperti itu. Volume leum di dalam gudang penyimpanan selalu bertambah setiap hari hingga mencapai jumlah minimal 5 ton, untuk kemudian dibawa ke pabrik lain untuk diolah. Waktu untuk mencapai jumlah leum minimal 5 ton ini, sekitar 7 hingga 10 hari, tergantung dari cuaca pada saat itu. Selama penelitian dilaksanakan di pabrik karet, periode pengambilan leum yaitu saat volume leum mencapai minimal 5 ton adalah pada hari ke-9, 19 dan 28. Leum biasanya diambil pada siang hingga sore hari. Demikian pula yang terjadi saat leum telah diambil dan dibawa ke pabrik lain sehingga gudang hanya berisi sisa-sisa leum serta air lindi yang menggenang, hal ini juga akan berpengaruh pada besarnya konsentrasi gas amonia yang terukur. Kondisi ini menyebabkan konsentrasi gas amonia pada inlet akan mengalami penurunan. Adapun faktor lain yang memberikan pengaruh terhadap konsentrasi gas amonia yang terukur pada inlet adalah faktor angin. Gudang penyimpanan leum yang berupa sebuah ruangan dengan ukuran kurang lebih 6 x 5 x 4 meter ini, mempunyai ventilasi yang sangat banyak. Hal ini mengakibatkan gas amonia yang lepas dari proses degradasi anaerobik leum dapat dengan mudah terbawa oleh angin.
Kondisi tersebut
meyebabkan konsentrasi gas amonia yang terukur pada inlet menjadi sangat fluktuatif. b. Outlet Gas Amonia Berdasarkan pengukuran gas amonia dari lubang outlet biofilter, maka diperoleh data hasil pengukuran seperti yang tersaji pada Gambar 11 berikut.
0 10 0
(ppm )
75
(2)
6
50
4 2
25
0
0
10
100
8
75
(3)
6
50
4 2
25
0
0
10
100
8
75
6
(4)
50
4 2
25
0
0
(ppm )
10
E fisie n s i (% )
0
E fisie n si (% )
25
E fisie n s i (% )
2
E fis ie n s i (% )
50
4
100
8
75
(5)
6
50
4 2
25
0
0
10
1 00
8
75
6
(6)
50
4
25
2 0
E fis ie n s i (% )
75
(1)
6
E fisie n si (% )
K o n s e n tra si (p p m )
Kons entras i (ppm )
K ons entras i
8
8
K o n se n tra si (p p m ) K ons entras i
100
10
K ons entras i (ppm )
c
10
0 1
O u tle t
3
5
7
E fis ien s i
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
W aktu (hari)
Gambar 11. Konsentrasi outlet dan efisiensi penghilangan gas amonia pada masing-masing 6 biofilter.
Gambar 11 merupakan hasil pengukuran gas amonia yang dilakukan pada lubang
outlet dan efisiensi biofilter dalam menghilangkan gas
amonia, berturut-turut untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Besarnya konsentrasi gas amonia dari masing-masing biofilter yang terukur pada lubang outlet adalah berbeda-beda. Biofilter 1, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, sekam dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter dalam menghilangkan gas amonia tetap diatas 95%. Hari ke-7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 97,74% dan siang hari adalah 98,15%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 95,52%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 98,24%. Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan harinya hingga hari ke-10. Hari ke-18 dan 19, efisiensi kembali mengalami penurunan yaitu 98,46 dan 96,17%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke 18. Efisiensi kembali menurun pada hari ke-26 dan 28 yaitu 98,99 dan 97,46%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Biofilter 2, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan sekam. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter tetap diatas 95%. Hari ke-7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 96,26% dan siang hari adalah 97,74%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 94,65%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 97,88%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke 16.
Hari ke-17, 18 dan 19, efisiensi kembali
mengalami penurunan yaitu 98,15; 97,36 dan 95,42%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke-25. Efisiensi kembali menurun pada hari ke-26, 28 dan 30 yaitu 98,96; 97,44 dan 97,55%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Biofilter 3, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, daun karet dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas
amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter tetap diatas 95%. Hari ke-7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 98,00% dan siang hari adalah 98,35%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 95,44%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 97,84%. Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan harinya hingga hari ke-17. Hari ke-18 dan 19, efisiensi kembali mengalami penurunan yaitu 98,08 dan 97,74%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke-27. Efisiensi kembali menurun pada hari ke- 28 dan 30 yaitu 97,99 dan 98,20%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Biofilter 4, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan daun karet. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter tetap diatas 95%. Hari ke 7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 97,87% dan siang hari adalah 96,57%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 94,02%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 97,78%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke-17.
Hari ke-18 dan 19, efisiensi kembali
mengalami penurunan yaitu 97,81 dan 96,72%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke-26. Efisiensi kembali menurun pada hari ke 27, 28 dan 30 yaitu 97,25; 97,25 dan 97,55%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Biofilter 5, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, kayu karet dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter tetap diatas 95%. Hari ke-7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 97,89% dan siang hari adalah 98,04%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 95,40%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 97,32%. Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan harinya hingga hari ke-17. Hari ke-18 dan 19, efisiensi kembali mengalami penurunan yaitu 98,95 dan 96,89%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke-27. Efisiensi kembali
menurun pada hari ke 28 dan 29 yaitu 96,62 dan 98,77%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Biofilter 6, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan kayu karet. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas amonia lepas dari lubang outlet pada hari ke-7 dan ke-9, namun efisiensi biofilter tetap diatas 95%. Hari ke-7 efisiensi biofilter pengukuran pagi hari adalah 97,31% dan siang hari adalah 98,54%. Hari ke-9, efisiensi pada pagi hari turun menjadi 95,95%, kemudian pada siang harinya naik kembali menjadi 99,31%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke 16.
Hari ke-17, 18 dan 19, efisiensi kembali
mengalami penurunan yaitu 98,58; 97,93 dan 96,34%, hari berikutnya efisiensi kembali mencapai 100% hingga hari ke-25. Efisiensi kembali menurun pada hari ke-26, 28 dan 30 yaitu 97,35; 98,85 dan 98,61%, hari selanjutnya efisiensi naik menjadi 100% kembali hingga hari ke-33. Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi gas amonia pada lubang outlet biofilter (Gambar 11), terlihat bahwa pola konsentrasi gas amonia yang lepas dari outlet masing-masing biofilter ternyata memiliki korelasi dengan konsentrasi gas amonia pada inletnya (Gambar 10). Pengukuran pada hari-hari dimana efisiensi penghilangan gas amonia biofilter menjadi menurun adalah saat konsentrasi inlet gas amonia yang masuk ke dalam biofilter mengalami peningkatan, walaupun tidak selalu menunjukkan pola demikian.
Hal ini diduga akibat adanya pola yang tidak teratur dari
konsentrasi inlet gas amonia, sehingga biofilter membutuhkan waktu untuk dapat beradaptasi dengan pola masukan inlet yang tidak stabil tersebut. Menurut Lee et al (2002), short-lived peaks atau puncak-puncak lepasan gas akan terbentuk pada grafik akibat perubahan konsentrasi inlet gas yang mendadak, sebelum mikroorganisme mencapai re-aklimatisasi. Namun demikian secara keseluruhan, biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 mampu mempertahankan efisiensinya diatas 95%, kecuali biofilter 2 dan 4 yang pada hari ke 9 efisiensinya turun menjadi 94,65 dan 94,02%, tetapi kemudian pada hari berikutnya dapat stabil kembali hingga akhir penelitian. Penurunan efisiensi yang terjadi pada biofilter 2 dan 4 ini
diduga karena pengaruh faktor penambahan sludge. Biofilter 2, 4 dan 6 merupakan biofilter tanpa penambahan sludge. Sludge yang ditambahkan berfungsi untuk memperkaya bakteri pendegradasi gas polutan yang masuk ke dalam biofilter. Bakteri yang berasal dari sludge berperan pada awal pengoperasian biofilter karena mikroba yang secara alami ada dalam bahan pengisi pada awal pengoperasian biofilter masih dalam masa adaptasi. Menurut Degorce-Dumas et al. (1997) mikroorganisme yang berada dalam biofilter akan mengalami masa adaptasi pada awal pengoperasian, setelah masa tersebut dengan kondisi yang memadai bagi kehidupannya maka mikroorganisme ini akan mulai bekerja dengan baik. c. Bakteri Nitrosomonas sp di dalam Biofilter Penghitungan jumlah bakteri Nitrosomonas sp dilakukan dengan menggunakan metode MPN, data mengenai jumlah bakteri pada masingmasing biofilter disajikan pada Gambar 12 berikut ini :
Log cfu/gr bhn kerin g
8
6
4
2 1 B iofilter 1 B iofilter 4
2 B iofilter 2 B iofilter 5
3 B iofilter 3 B iofilter 6
4
S am p ling (m inggu)
Gambar 12. Jumlah bakteri Nitrosomonas sp pada masing-masing 6 biofilter Penghitungan
jumlah
bakteri
Nitrosomonas
sp
pada
awal
pengoperasian biofilter, untuk biofilter dengan penambahan sludge
(biofilter 1, 3 dan 5) jumlahnya berturut-turut adalah 1,6 x 105; 9,5 x 104; dan 1,6 x 105, sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) jumlahnya berturut-turut adalah 2,1 x 104; 7,0 x 103 dan 1,7 x 104. Berdasarkan hasil penghitungan, terlihat bahwa bakteri Nitrosomonas sp yang terdapat di dalam biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge memberikan jumlah yang berbeda, sehingga bisa dikatakan bahwa perbedaan ini karena pengaruh faktor penambahan sludge. Pengambilan sampel bakteri Nitrosomonas sp yang dilakukan pada minggu kedua, terlihat terjadi peningkatan jumlah bakteri Nitrosomonas sp pada masing-masing biofilter yaitu untuk biofilter dengan penambahan sludge berkisar antara 4,6 x 105 - 1,4 x 106, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 3,3 x 105 - 1,1.106 (Gambar 12). Jumlah bakteri antara biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge terlihat tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena memang bahan pengisi yang digunakan adalah campuran antara kompos, tanah dan bahan tambahan yang secara alami telah mengandung bakteri yang kelimpahan dan keragaman tinggi. Secara alami nutrien yang terdapat dalam bahan pengisi organik telah cukup untuk menyediakan zat hara yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam biofilter. Menurut Devinny et al. (1999), keuntungan menggunakan bahah pengisi kompos dan tanah adalah telah memiliki keragaman dan jumlah mikroorganisme yang tinggi dengan sendirinya, serta tidak perlu penambahan nutrien dari luar. Demikian juga pada saat pengambilan sampel bakteri Nitrosomonas sp yang ketiga, jumlahnya juga mengalami peningkatan dibanding pada saat sampling minggu sebelumnya, biofilter dengan penambahan sludge jumlahnya berkisar antara 7,0 x 106 - 2,5 x 107, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 9,5 x 106 - 2,1 x 107 kedua (Gambar 12).
Pengambilan sampel pada minggu empat, terlihat tidak terjadi
panambahan jumlah bakteri Nitrosomonas sp yang berarti. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi pH biofilter yang mulai menurun (Gambar 9). Pengambilan sampel bakteri pada minggu keempat, pada saat nilai pH
keenam biofilter berada pada kisaran 6 – 6,5.
Hal ini diduga
mengakibatkan turunnya aktivitas bakteri. Menurut Cho et al. (2000), gas polutan amonia yang didegradasi oleh nitrifying bacteria di dalam biofilter akan membetuk asam nitrat yang bersifat asam, sehingga akan menurunkan pH media biofilter. Ketika nilai pH mengalami penurunan, maka aktivitas kerja mikroorganisme di dalam biofilter menjadi terganggu. Hal ini didukung oleh Jenie dan Rahayu (2004) yang menyatakan bahwa aktivitas bakteri nitrifikasi akan mulai menurun pada saat pH media berada dibawah nilai 6,5. d. Kapasitas Penghilangan N oleh Biofilter Kapasitas penghilangan N oleh masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 13 berikut.
6
6
y = 0,9589x + 0,0738 R 2 = 0,999
Kapasitas Penghilangan (g-N/kg bhn kering/hr)
y = 0,9696x + 0,0575 R 2 = 0,9992
4
Kapasitas Penghilangan (g-N /kg bhn kering/hr)
4
(1)
2
(2)
2
0
0 0
2
4
0
6
6
4
4
Kapasitas Penghilangan (g-N /kg bhn kering/hr)
Kapasitas Penghilangan (g-N/kg bhn kering/hr)
6
y = 0,9639x + 0,0599 R 2 = 0,9989
y = 0,9741x + 0,046 R 2 = 0,9994
(3)
2
(4)
2
0
0
0
2
4
6
0
6
2
4
6
Beban (g-N/kg bhn kering/hr)
Beban (g-N/kg bhn kering/hr) 6
y = 0,9652x + 0,0562 R 2 = 0,9993
y = 0,9702x + 0,0521 R 2 = 0,9991 4
Kapasitas Penghilangan (g-N/k g bhn kering)
Kapas itas Penghilangan (g-N /kg bhn k ering/hr)
4
Beban (g-N/kg bhn kering/hr)
Beban (g-N/kg bhn kering/hr) 6
2
4
2
(5)
(6)
2
0
0
0
2
4
6
Beban (g-N/kg bhn kering/hr)
0
2
4
6
Beban (g-N/kg bhn kering/hr)
Gambar 13. Kapasitas penghilangan N terhadap beban yang masuk ke dalam masing-masing 6 biofilter.
Hasil penghitungan kapasitas penghilangan N yang telah dilakukan, disajikan pada Gambar 13. Keenam biofilter dengan bahan pengisi yang berbeda-beda, akan dibandingkan kemiringan yang terbentuk pada masing-masing biofilter. Kemiringan garis atau slope ini menggambarkan hubungan antara beban N yang masuk ke dalam biofilter (dalam g-N) terhadap kapasitas penghilangan N yang dilakukan oleh bahan pengisi (dalam g-N). Besarnya slope atau kemiringan pada biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) secara berturut-turut adalah 0,9696; 0,9741 dan 0,9702. Sedangkan besarnya slope atau kemiringan untuk biofilter tanpa tambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) berturut-turut adalah 0,9589; 0,9639 dan 0,9652. Berdasarkan data tersebut maka jika dibandingkan antara biofilter 1 dan 2, serta 3 dan 4,
terlihat bahwa
biofilter 1 dan 3 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan 2 dan 4, walaupun selisihnya hanya sedikit. Hal ini terkait dengan jumlah bakteri Nitrosomonas sp yang juga lebih tinggi pada awal penelitian dengan penambahan sludge (Gambar 12). Namun tidak demikian dengan biofilter 5 dan 6 yang tidak menunjukkan pola tersebut. Dengan demikian, untuk biofilter 1 dan 3 penambahan sludge memberikan perbedaan yaitu lebih tinggi dalam kapasitas penghilangan N walaupun hanya sedikit, tetapi pada biofilter 5 pemberian sludge tidak memberikan pengaruh. Menurut Degorce-Dumas et al. (1997), penambahan sludge ke dalam bahan pengisi suatu biofilter bertujuan untuk memperkaya mikroorganisme yang tumbuh didalamnya. Sampai hari ke-33 penghitungan kapasitas penghilangan N oleh biofilter, besarnya beban yang masuk ke dalam biofilter mampu diserap dengan baik oleh masing-masing bahan pengisi. e. Total Penghilangan N oleh Biofilter Total penghilangan N oleh masing-masing bahan pengisi biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 disajikan pada Gambar 14 berikut.
(g -N /kg b h n ke rin g/h r) (g -N / k g b h n k e rin g /h r) (g -N / k g b h n k e rin g / h r)
(g -N / kg b h n ke rin g / h r) (g -N / k g b h n k e rin g / h r)
(g -N / k g b h n k e rin g / h r) 12 9
6
(1)
3
0
12
9
6
(2)
3
0
12
9
(3)
6
3
0
12
9
6
(4)
3
0
12
9
6
(1) (5)
3
0
12
9
6
(6)
3
0
1
B eban
3
5
7
9
P enghilangan
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
Gambar 14. Total penghilangan N pada masing-masing 6 biofilter
33
W aktu (hari)
Hasil penghitungan terhadap total penghilangan N pada masingmasing biofilter dapat dilihat pada Lampiran 1b, 1c, 1d, 1e, 1f dan 1g. Total penghilangan N untuk biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) berturut-turut adalah 94,879; 92,572 dan 89,120 g-N/kg bahan kering, dengan rata-rata penghilangan N per hari adalah adalah 2,875; 2,805 dan 2,701 g-N/kg bahan kering/hari. Sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) total penghilangan N secara berturut-turut adalah 94,500; 90,480 dan 88,406 g-N/kg, dengan rata-rata penghilangan N per hari adalah 2,864; 2,742 dan 2,679 g-N/kg bahan kering/hari. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa untuk biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5), total penghilangan terhadap N lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6). Total penghilangan N dengan penambahan sludge menunjukkan
hasil
yang
lebih
tinggi,
karena
aktivitas
Nitrosomonas sp yang juga lebih tinggi (Gambar 12).
bakteri
Jika secara
keseluruhan dari enam biofilter tersebut dibandingkan besarnya total penghilangan N maka dapat dilihat bahwa
biofilter 1, dengan bahan
pengisi tambahan berupa sekam dengan penambahan sludge, memiliki kemampuan penghilangan terhadap N paling tinggi diantara biofilter yang lain yaitu 94,879 g-N/kg bahan kering dengan rata-rata penyerapan adalah 2,679 g-N/kg bahan kering/hari. f. Penyerapan N Total pada Bahan Pengisi Biofilter Berdasarkan perhitungan terhadap Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) yang ada di dalam bahan pengisi biofilter, maka diperoleh data hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Besarnya Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) yang terukur pada masing-masing bahan pengisi biofilter Biofilter
1 2 3 4 5 6
N total (TKN) Awal Akhir (g-N/kg bahan kering) (g-N/kg bahan kering) 4,30 4,60 4,40 4,50 4,10 4,38
79,54 76,72 77,64 74,85 76,55 72,91
Penyerapan N total (g-N/kg bahan kering) 75,24 72,12 73,24 70,35 72,45 68,53
Data pada Tabel 8 merupakan hasil penghitungan N total (TKN) yang terakumulasi di dalam bahan pengisi masing-masing biofilter dari awal pengoperasian, akhir pengoperasian dan penyerapannya.
Terlihat
adanya peningkatan jumlah g-N/kg bahan kering di dalam bahan pengisi dari awal hingga akhir penelitian ini dilakukan. Besarnya N total pada bahan pengisi biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) berturut-turut adalah 75,24; 73,24 dan 72,45 g-N/kg bahan kering, sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) berturut-turut adalah 72,12; 70,35 dan 68,53 g-N/kg bahan kering. Berdasarkan hasil penghitungan N total pada masing-masing bahan pengisi, terlihat bahwa biofilter dengan penambahan sludge mempunyai tingkat penyerapan terhadap N yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge.
Hal ini berkaitan dengan
aktivitas bakteri Nitrosomonas sp yang juga relatif lebih tinggi pada biofilter dengan penambahan sludge (Gambar 12), selain itu jumlah total N yang terakumulasi di dalam bahan pengisi juga dipengaruhi oleh total penghilangan N oleh biofilter (Gambar 14). Penghilangan N oleh biofilter dengan penambahan sludge relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge. g. Kadar Nitrat (NO3-) pada Bahan Pengisi Biofilter Penghitungan terhadap besarnya kadar nitrat yang terdapat di dalam bahan pengisi biofilter, disaji pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Kadar nitrat (NO3-) yang terukur pada masingmasing bahan pengisi biofilter Biofilter
Kadar Nitrat Awal Akhir (g-N/kg bahan kering) (g-N/kg bahan kering)
1 2 3 4 5 6
0,0037 0,0042 0,0036 0,0040 0,0038 0,0039
0,0750 0,0740 0,0590 0,0570 0,0560 0,0610
Penyerapan Nitrat (g-N/kg bahan kering) 0,0710 0,0700 0,0550 0,0530 0,0520 0,0570
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 9, terlihat bahwa terdapat kenaikan kadar nitrat dalam masing-masing bahan pengisi biofilter. Hal ini dapat diamati dari peningkatan jumlah g-N/kg bhn kering pada awal dibandingkan dengan akhir pengukuran. Selisih antara g-N/kg bhn kering pada pengukuran awal dan akhir merupakan nilai besarnya kadar nitrat di dalam bahan pengisi biofilter. Besarnya kadar nitrat pada masing-masing biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) berturut-turut adalah 0,0710; 0,0550 dan 0,0520 g-N/kg bahan kering, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6), kadar nitrat sampai akhir penelitian adalah sebesar 0,0700; 0,0530 dan 0,0570 g-N/kg bahan kering. Kadar nitrat pada biofilter 1 dan 3 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter 2 dan 4, hal ini diduga merupakan pengaruh dari faktor penambahan sludge, sehingga aktivitas bakteri Nitrosomonas sp juga lebih tinggi (Gambar 12). Namun kondisi ini tidak terjadi pada biofilter 6 yang kadar nitratnya lebih tinggi dibandingkan pada biofilter 5. Perbandingan kadar nitrat dari keseluruhan biofilter, diperoleh bahwa biofilter 1 dan 2 dengan bahan pengisi tambahan sekam lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini berkaitan dengan total penghilangan N dalam g-N/kg bhn kering yang mampu dilakukan oleh biofilter 1 dan 2 adalah lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter dengan bahan pengisi tambahan yang lain (Gambar 14).
4.4.2. Hidrogen Sulfida (H2S) a. Inlet Gas Hidrogen Sulfida Pengukuran terhadap inlet gas hidrogen sulfida yang masuk ke dalam biofilter, yang berasal dari emisi gudang penyimpanan leum, diperoleh data hasil pengukuran seperti yang tersaji pada Gambar 15 berikut ini :
Kons entras i Inlet H 2 S (ppm )
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
W a ktu (ha ri) Gambar 15. Konsentrasi gas hidrogen sulfida yang terukur pada inlet biofilter Data inlet gas hidrogen sulfida pada Gambar 15, memperlihatkan bahwa konsentrasi gas H2S yang lepas dari gudang penyimpanan leum juga sangat berfluktuasi, seperti halnya yang terjadi pada gas amonia. Hasil pengukuran yang telah dilakukan terhadap konsentrasi gas H2S dari gudang penyimpanan leum terdapat pada kisaran 0,045 – 0,402 ppm. Berdasarkan data hasil pengukuran terlihat bahwa besarnya konsentrasi gas H2S yang terukur tidaklah setinggi konsentrasi gas amonia. Namun demikian konsentrasi gas H2S yang lepas dari proses degradasi anaerobik tersebut telah melebihi batas dari baku mutu yang diijinkan oleh pemerintah (Tabel 4). Seperti halnya gas amonia, kondisi inlet gas H2S yang variatif inipun dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain volume leum yang berada di dalam gudang penyimpanan. Semakin tinggi
tumpukan leum di dalam gudang penyimpanan maka konsentrasi inlet gas H2S yang terukur juga semakin meningkat, walaupun tidak selalu menunjukkan pola seperti itu. Faktor angin juga ikut berpengaruh dalam hal ini, sehingga konsentrasi gas H2S yang terukur pada inlet menjadi sangat fluktuatif. b. Outlet Gas Hidrogen Sulfida Pengukuran gas hidrogen sulfida yang lepas dari lubang outlet biofilter yang telah dilakukan, diperoleh data hasil pengukuran seperti yang tersaji pada Gambar 16 berikut.
60
0 ,0 0
50
0 ,0 5
100
0 ,0 4
90 80
(2)
70
0 ,0 1
60
0 ,0 0
50
0 ,0 5
100
0 ,0 4
90
0 ,0 3
80
(3)
60
0 ,0 0
50
0 ,0 5
100
0 ,0 4
90
0 ,0 3
80
(4)
0 ,0 2
70
0 ,0 1
60
0 ,0 0
50
0 ,0 5
100
0 ,0 4
90
0 ,0 3
80
0 ,0 2
70
(5)
0 ,0 1
E fis ie n s i (% )
70
0 ,0 1
60
E fis ie n s i (% )
(p p m )
0 ,0 2
(p p m )
E fis ie n s i (% )
0 ,0 2
(p p m )
E fis ie n s i (% )
70
0 ,0 1
E fis ie n s i (% )
0 ,0 2
0 ,0 3
(p p m )
80
50
0 ,0 5
100
0 ,0 4
90
0 ,0 3
80
(6)
0 ,0 2
70
0 ,0 1
60
0 ,0 0
50 1
O u tle t
Gambar 16.
3
5
7
E fis ie n s i
9
E fis ie n s i (% )
(p p m )
K o n s e n tra s i
90
(1)
0 ,0 3
K o n s e n tra s i (p p m ) K o n s e n tra s i K o n s e n tra s i
K o n s e n tra s i
100
0 ,0 4
0 ,0 0
K o n s e n tra s i
c
0 ,0 5
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
W a k tu (ha ri)
Grafik konsentrasi outlet dan efisiensi penyerapan gas hidrogen sulfida (H2S) pada masing-masing 6 biofilter
Gambar 16 merupakan grafik konsentrasi gas hidrogen sulfida yang terukur dari lubang outlet biofilter, berturut-turut untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa besarnya konsentrasi gas hidrogen sulfida yang terukur dari lubang outlet tidak terlalu berbeda pada masing-masing biofilter. Biofilter 1, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, sekam dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan, gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-10, dengan efisiensi 98,58%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke-33. Biofilter 2, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan sekam. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-8 dan ke-10. Hari ke-8 efisiensi biofilter pengukuran siang hari adalah 98,46% dan hari ke-10 pagi hari adalah 97,30%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada
keesokan harinya hingga hari ke-33. Biofilter 3, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, daun karet dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-10, dengan efisiensi 96,63%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke-33. Biofilter 4, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan daun karet. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-8, dengan efisiensi 97,80%. Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan harinya hingga hari ke-33. Biofilter 5, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah, kayu karet dan sludge. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-10, dengan efisiensi 96,29%.
Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan
harinya hingga hari ke-33.
Biofilter 6, bahan pengisi yang digunakan adalah kompos, tanah dan kayu karet. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan gas hidrogen sulfida lepas dari lubang outlet pada hari ke-8 dan ke-10, dengan efisiensi 99,27 dan 96,32%. Selanjutnya efisiensi menjadi 100% kembali pada keesokan harinya hingga hari ke-33. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap konsentrasi outlet gas H2S pada Gambar 16, terlihat bahwa pola outlet pada masing-masing biofilter ternyata memiliki korelasi dengan konsentrasi pada inlet gas hidrogen sulfida (Gambar 16). Namun memang tidak seperti pada gas amonia yang terlihat lebih nyata, lepasnya gas hidrogen sulfida jauh lebih kecil dibandingkan dengan gas amonia sebab konsentrasi inlet gas hidrogen sulfida yang masuk pun lebih kecil. Dapat dikatakan hampir seluruh gas hidrogen sulfida yang masuk ke dalam biofilter dapat diserap dengan baik oleh biofilter.
Secara keseluruhan untuk penyerapan terhadap gas
hidrogen sulfida, biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 mampu mempertahankan efisiensinya diatas 96% hingga hari ke-33. c. Bakteri Thiobacillus sp di dalam Biofilter Penghitungan jumlah bakteri Thiobacillus sp dilakukan dengan menggunakan metode TPC, data mengenai jumlah bakteri disajikan pada Tabel 10 berikut ini : Tabel 10.
Jumlah bakteri Thiobacillus sp di dalam masingmasing biofilter
Biofilter
Jumlah Thiobacillus sp I
1 2 3 4 5 6
II 6
1,9 x 10 5,0 x 105 1,4 x 106 2,0 x 105 1,7 x 106 2,4 x 105
III 6
3,8 x 10 1,1 x 106 3,9 x 106 1,0 x 106 4,5 x 106 1,2 x 106
IV 7
3,1 x 10 2,6 x 107 2,2 x 107 1,2 x 107 3,1 x 107 1,9 x 107
2,3 x 106 1,9 x 106 3,1 x 106 2,1 x 106 2,5 x 106 1,8 x 106
log cfu/g-bhn kering
8
7
6
5
4 1 Biofilter 1 Biofilter 4
2 Biofilter 2 Biofilter 5
3 Biofilter 3 Biofilter 6
4
Sampling (minggu)
Gambar 17. Jumlah bakteri Thiobacillus sp pada masing-masing 6 biofilter Penghitungan
jumlah
bakteri
Thiobacillus
sp
pada
awal
pengoperasian biofilter, untuk biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) jumlahnya berturut-turut adalah 1,9 x 106; 1,4 x 106 dan 1,7 x 106, sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) jumlahnya berturut-turut adalah 5,0 x 105; 2,0 x 105 dan 2,4 x 105. Dari hasil penghitungan tersebut, terlihat bahwa bakteri Thiobacillus sp yang terdapat di dalam biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge memberikan jumlah yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan jumlah bakteri tersebut karena pengaruh faktor penambahan sludge yang telah dilakukan. Pengambilan sampel bakteri Thiobacillus sp yang dilakukan pada minggu kedua, terlihat terjadi peningkatan jumlah bakteri pada masingmasing biofilter yaitu untuk biofilter dengan penambahan sludge berkisar antara 3,8 x 106 - 4,5 x 106, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 1,0 x 106 - 1,2 x 106 (Tabel 10). Jumlah bakteri antara biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge terlihat tidak berbeda, yaitu sama berada pada posisi 106. Hal ini terjadi karena memang bahan pengisi
yang digunakan adalah campuran antara kompos, tanah dan bahan tambahan yang secara alami telah mengandung bakteri yang kelimpahan dan keragaman tinggi, nutrisi yang dibutuhkan bakteri pun telah tersedia dalam bahan pengisi tersebut. Menurut Devinny et al. (1999) penggunaan bahan pengisi kompos dan tanah untuk media biofilter, mempunyai keuntungan yaitu secara alami telah memiliki mikroorganisme, serta tidak perlu penambahan nutrien dari luar. Demikian juga pada saat pengambilan sampel bakteri Thiobacillus sp yang ketiga, jumlahnya juga mengalami peningkatan dibanding pada saat pengambilan sampel kedua, biofilter dengan penambahan sludge jumlahnya berkisar antara 2,2 x 107 - 3,1 x 107, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 1,2 x 107 - 2,6 x 107 (Tabel 10). Pengambilan sampel pada minggu empat, terlihat jumlah bakteri Thiobacillus sp sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan pengambilan sampel ketiga. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi pH biofilter yang mulai menurun (Gambar 9), sehingga aktivitas bakteri juga sedikit mengalami penurunan. Menurut Cho et al. (2000) gas polutan hidrogen sulfida yang didegradasi oleh bakteri di dalam biofilter akan membetuk asam sulfat yang bersifat asam, sehingga akan menurunkan pH media biofilter. Ketika nilai pH mengalami penurunan, maka aktivitas kerja mikroorganisme di dalam biofilter menjadi terganggu.
Namun
demikian diduga jumlah bakteri ini akan tetap stabil seperti ini karena bakteri Thiobacillus sp mampu hidup pada range pH yang tinggi yaitu 5 hingga 8, tetapi ada beberapa jenis bakteri Thiobacillus yang mampu hidup pada pH mencapai 2 (Paul and Clark 1989). d. Kapasitas Penghilangan S oleh Biofilter Kapasitas penghilangan S untuk masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 adalah seperti yang disajikan pada Gambar 18 berikut ini :
0,075
0,08
y = 0,9982x + 2E-06 2 R = 0,9999
0,05
0,03
Kapasitas penghilangan (g-S /kg bhn kering/hr)
Kapasitas Penghilangan (g-S/kg bhn kering/hr)
y=x 2 R =1
(1)
0,00 0,00
0,05
0,025
(2)
0 0,03
0,05
0
0,08
Beban (g-S/kh bhn kering/hr)
0,075
0,075
y = 0,9995x - 2E-05 2 R = 0,9999
y = 0,9981x + 1E-05 2 R = 0,9999
0,05
0,025
Kapasitas penghilangan (g-S/kg bhn k ering/hr)
Kapasitas penghilangan (g-S/kg bhn kering/hr)
0,05
Beban (g-S/kg bhn kering/hr)
0,075
(3)
0,05
0,025
(4) 0
0 0
0,025
0,05
0
0,075
0,025
0,05
0,075
Beban (g-S/kg bhn kering/hr)
Beban (g-S/kg bhn kering/hr) 0,075
0,075
y = 0,9963x + 3E-05 2 R = 0,9997
0,05
0,025
Kapas itas penghilangan (g-S/k g bhn k ering/hr)
Kapasitas penghilangan (g-S/kg bhn kering/hr)
0,025
(5)
0 0
0,025
0,05
0,075
Beban (g-S/kg bhn kering/hr)
y = 0,9949x + 2E-05 2 R = 0,9996
0,05
0,025
(6)
0 0
0,025
0,05
0,075
Beban (g-S/kg bhn kering/hr)
Gambar 18. Kapasitas penghilangan S terhadap beban yang masuk ke dalam masing-masing 6 biofilter.
Hasil penghitungan kapasitas penghilangan S yang telah dilakukan, disajikan pada Gambar 18. Keenam biofilter dengan bahan pengisi yang berbeda-beda, akan dibandingkan kemiringan atau slope yang terbentuk pada
masing-masing biofilter.
Kemiringan
garis
atau slope
ini
menggambarkan hubungan antara beban S yang masuk ke dalam biofilter (dalam g-S) terhadap kapasitas penghilangan S yang dilakukan oleh bahan pengisi (dalam g-S).
Besarnya slope atau kemiringan pada biofilter
dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) secara berturut-turut adalah 1; 0,9981 dan 0,9963. Sedangkan besarnya slope atau kemiringan untuk biofilter tanpa tambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) berturut-turut adalah 0,9982; 0,9995 dan 0,9949. Berdasarkan data tersebut maka jika dibandingkan antara biofilter 1 dan 2, serta 5 dan 6,
terlihat bahwa
biofilter 1 dan 5 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan 2 dan 6, walaupun selisihnya hanya sedikit. Hal ini terkait dengan jumlah bakteri Thiobacillus sp yang juga lebih tinggi pada awal penelitian dengan penambahan sludge (Gambar 17). Namun tidak demikian dengan biofilter 3 dan 4 yang tidak menunjukkan pola tersebut. Dengan demikian, untuk biofilter 1 dan 5 penambahan sludge memberikan perbedaan yaitu lebih tinggi dalam kapasitas penghilangan N walaupun hanya sedikit, tetapi pada biofilter 3 pemberian sludge tidak memberikan pengaruh. Menurut Yani (1999) sludge ditambahkan ke dalam suatu media biofilter agar keragaman dan kelimpahan mikroorganisme di dalam biofilter semakin bertambah. Sampai hari ke-33 penghitungan kapasitas penghilangan S oleh biofilter, besarnya beban yang masuk ke dalam biofilter mampu diserap dengan baik oleh masing-masing bahan pengisi. e. Total Penghilangan S oleh Biofilter Total penghilangan S untuk masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 19 berikut.
(g-S /k g bh n k ering /hr)
0,12 0,09 0,06 0,03
0, 12
b h n k e rin g /h r)
(g -S /k g
0,00
0, 09 0, 06 0, 03
0,12
b h n k e rin g /h r)
(g -S /k g
0, 00
0,09 0,06 0,03
b h n k e rin g /h r)
(g -S /k g
0,00 0,12 0,09 0,06 0,03
b h n k e rin g /h r)
(g -S /k g
0,00
0 ,12 0 ,09 0 ,06 0 ,03
(g-S /k g bhn k ering/hr)
0 ,00
0 , 12 0 , 09 0 , 06 0 , 03 0 , 00 1
3
5
7
B e ba n = P e ng h ila ng a n
9
11
13
15
17 19
21
23
25
27
29 31
33
W a ktu ( h a r i)
Gambar 19. Total penghilangan S pada masing-masing 6 biofilter.
Hasil penghitungan terhadap total penghilangan S pada masingmasing biofilter dapat dilihat pada Lampiran 2b, 2c, 2d, 2e, 2f dan 2g. Total penghilangan S pada biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) berturut-turut adalah 0,803; 0,812 dan 0,782 g-S/kg bahan kering, dengan rata-rata penghilangan S per hari adalah adalah 0,0240; 0,0243 dan 0,0237 g-S/kg bahan kering/hari. Sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) total penghilangan S secara berturut-turut adalah 0,823; 0,792 dan 0,769 g-S/kg bahan kering, dengan rata-rata penghilangan S per hari adalah 0,0249; 0,0240 dan 0,0330 gS/kg bahan kering/hari. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa untuk biofilter 3 dan 5 yaitu biofilter dengan penambahan sludge, total penghilangan terhadap S lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge, biofilter 4 dan 6. Tetapi pada biofilter 1 dan 2, total penghilangan lebih tinggi pada biofilter 2, namun begitu selisihnya hanya sedikit sekali. Total penghilangan S dengan penambahan sludge menunjukkan hasil yang lebih tinggi, karena aktivitas bakteri yang juga lebih tinggi (Gambar 17). f. Penyerapan S total pada bahan pengisi biofilter Berdasarkan perhitungan terhadap S total yang ada di dalam bahan pengisi biofilter, maka diperoleh data hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Tabel 11 berikut ini : Tabel 11. S total yang terukur pada masing-masing bahan pengisi biofilter Biofilter
1 2 3 4 5 6
S Total Awal Akhir (g-S/kg bahan kering) (g-S/kg bahan kering) 0,024 0,021 0,037 0,031 0,037 0,037
0,705 0,699 0,661 0,630 0,673 0,598
Penyerapan S total (g-S/kg bahan kering) 0,681 0,678 0,624 0,599 0,636 0,561
Data pada Tabel 11 merupakan hasil penghitungan S total yang terakumulasi di dalam bahan pengisi masing-masing biofilter dari awal
pengoperasian, akhir pengoperasian dan penyerapannya. Terlihat adanya peningkatan jumlah g-S/kg bahan kering di dalam bahan pengisi dari awal hingga akhir penelitian ini dilakukan. Besarnya S total pada bahan pengisi biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) berturut-turut adalah 0,681; 0,624 dan 0,636 g-S/kg bahan kering. Sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) berturut-turut adalah 0,678; 0,599 dan 0,561 g-S/kg bahan kering. Berdasarkan hasil penghitungan S total pada masing-masing bahan pengisi, terlihat bahwa biofilter dengan penambahan sludge mempunyai tingkat penyerapan terhadap S yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge.
Hal ini berkaitan dengan
aktivitas bakteri Thiobacillus sp yang juga relatif lebih tinggi pada biofilter dengan penambahan sludge (Gambar 17), selain itu jumlah total S yang terakumulasi di dalam bahan pengisi juga dipengaruhi oleh total penghilangan S oleh biofilter (Gambar 18). Penghilangan S oleh biofilter dengan penambahan sludge relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biofilter tanpa penambahan sludge. 4.4.3. Hubungan C total dan bakteri heterotrof a. C total Berdasarkan pengukuran kadar C total di dalam bahan pengisi biofilter, maka diperoleh data hasil pengukuran seperti yang tersaji pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Kadar C total yang terukur pada masing-masing biofilter Biofilter
1 2 3 4 5 6
C total (%) Awal
Akhir
50,38 52,11 54,22 47,83 54,30 54,72
25,96 28,92 23,45 27,74 20,47 27,57
C yang digunakan (%)
Prosentasi Penggunaan C total (%)
24,42 23,19 30,77 20,09 33,83 27,15
48,47 44,50 56,75 42,00 62,30 49,62
Berdasarkan data C total yang disajikan pada Tabel 12, terlihat bahwa terjadi penurunan kadar C di dalam media biofilter. Seperti data yang tercantum pada tabel diatas, bahan pengisi biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, pada awalnya mengandung C sebanyak 50,38; 52,11; 54,22; 47,83; 54,30 dan 54,72%.
Setelah penelitian berlangsung pengujian kadar C total
dilakukan kembali dan hasil yang diperoleh adalah kadar C total untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 25,96; 28,92; 23,45; 27,74; 20,47 dan 27,57 %. Hal ini berarti unsur C yang ada dalam bahan pengisi biofilter digunakan oleh mikroorganisme heterotrof sebagai sumber energi, bagi pertumbuhan dan perkembangnya. Menurut Degorce-Dumas et al. (1997) kadar C atau karbon akan berkurang antara 40 hingga 50% setelah digunakan sebagai media pengisi biofilter. Dalam penelitian ini kadar C pada biofilter 5 paling banyak digunakan yaitu hingga 62,30%. Hal ini berarti aktivitas bakteri heterotrof
pada biofilter 5 tinggi (Tabel 12),
sehingga C yang digunakanpun akan tinggi. b. Bakteri Heterotrof Berdasarkan penghitungan jumlah bakteri heterotrof di dalam bahan pengisi biofilter, maka diperoleh data hasil penghitungan seperti yang tersaji pada Tabel 13 berikut ini : Tabel 13. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing biofilter Biofilter
Pengambilan sampel I
1 2 3 4 5 6
II 6
2,4 x 10 1,7 x 106 2,1 x 106 2,0 x 106 3,0 x 106 2,2 x 106
III 6
5,9 x 10 3,0 x 106 7,1 x 106 3,3 x 106 9,5 x 106 1,9 x 106
IV 9
3,8 x 10 3,0 x 109 3,7 x 109 3,0 x 109 4,3 x 109 3,0 x 109
3,1 x 108 2,6 x 108 5,5 x 108 2,7 x 108 5,7 x 108 1,2 x 108
lo g cfu /g -b h n ke rin g
10 8
6
4
2 1 B iofilter 1 B iofilter 4
2 B iofilter 2 B iofilter 5
3 B iofilter 3 B iofilter 6
4
S a m p ling (m ing g u)
Gambar 20. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing 6 biofilter Penghitungan jumlah bakteri heterotrof pada awal pengoperasian biofilter, untuk biofilter dengan penambahan sludge (biofilter 1, 3 dan 5) jumlahnya berturut-turut adalah 2,4 x 106,
2,1 x 106 dan 3,0 x 106
sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge (biofilter 2, 4 dan 6) jumlahnya berturut-turut adalah 1,7 x 105, 2,0 x 105 dan 2,2 x 105. Berdasarkan hasil perhitungan, terlihat bahwa bakteri heterotrof yang terdapat di dalam biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge memberikan jumlah yang berbeda, sehingga bisa dikatakan bahwa perbedaan ini karena pengaruh faktor penambahan sludge. Pengambilan sampel bakteri heterotrof yang dilakukan pada minggu kedua, terlihat terjadi peningkatan jumlah bakteri pada masing-masing biofilter yaitu untuk biofilter dengan penambahan sludge berkisar antara 5,9 x 106 - 9,5 x 106, sedangkan biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 1,9 x 106 - 3,3 x 106 (Tabel 13). Jumlah bakteri antara biofilter dengan dan tanpa penambahan sludge terlihat tidak berbeda. Hal ini terjadi karena memang bahan pengisi yang digunakan adalah campuran antara kompos, tanah dan bahan tambahan yang secara alami telah mengandung bakteri yang kelimpahan dan keragaman tinggi, nutrisi yang
dibutuhkan bakteri pun telah tersedia. Penggunaan bahan pengisi kompos dan tanah untuk media biofilter, mempunyai keuntungan secara alami telah memiliki mikroorganisme, serta tidak perlu penambahan nutrien dari luar (Devinny et al. 1999), Demikian juga pada saat pengambilan sampel bakteri heterotrof yang ketiga, jumlahnya juga mengalami peningkatan dibanding pada saat pengambilan sampel kedua yaitu 3,7 x 109 – 4,3 x 109 untuk biofilter dengan penambahan sludge dan 3,0 x 109 untuk biofilter tanpa penambahan sludge. Sedangkan sampel pada minggu empat, terlihat jumlah bakteri heterotrof sedikit mengalami penurunan yaitu biofilter dengan penambahan sludge jumlahnya berkisar antara 3,1 x 108 - 5,7 x 108, sedangkan untuk biofilter tanpa penambahan sludge berkisar antara 1,2 x 108 - 2,7 x 108 (Tabel 13). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi pH biofilter yang mulai menurun (Gambar 9), sehingga aktivitas bakteri juga sedikit mengalami penurunan. Menurut Cho et al. (2000) gas polutan amonia dan hidrogen sulfida yang didegradasi oleh bakteri di dalam biofilter akan membetuk asam nitrat dan asam sulfat, sehingga akan menurunkan pH media biofilter. Ketika nilai pH mengalami penurunan, maka aktivitas kerja mikroorganisme di dalam biofilter menjadi terganggu. Namun demikian diduga jumlah bakteri ini akan tetap stabil seperti halnya bakteri Nitrosomonas sp dan Thiobacillus sp, hingga nilai pH turun secara lebih nyata lagi. 4.4.4. Perbandingan uji parameter pada masing-masing biofilter Parameter-parameter yang tercantum pada Tabel 14 merupakan parameter yang berfungsi untuk menentukan bahan pengisi yang selama penelitian dilaksanakan mempunyai kinerja yang terbaik dalam rangka mengolah gas polutan yang berasal dari gudang penyimpanan leum. Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 14, dapat dilihat ada 6 parameter yang dibandingkan yaitu kapasitas penghilangan N (g-N/kg bhn kering/hr), penghilangan N (dalam g-N/sel/hr), kapasitas penghilangan S (g-S/kg bhn kering/hr), penghilangan S (dalam g-S/sel/hr), perombakan C (dalam g-
C/sel/hr) dan penurunan permukaan (cm).
Perbandingan dari ke-6 parameter
tersebut adalah dengan cara pembobotan atau scoring. Berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan ternyata biofilter 1 mempunyai bobot atau score terkecil. Hal ini berarti biofilter 1 dengan bahan tambahan berupa sekam serta penambahan sludge mempunyai kemampuan terbaik dalam mengolah gas polutan penyebab bau, dibandingkan dengan bahan tambahan daun karet dan kulit kayu karet.
4.4.5. Pengelolaan Lingkungan Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar penentuan kebijakan dalam pengelolaan pencemaran udara yang disebabkan oleh gas penyebab kebauan. Dalam hal ini khususnya adalah penghilangan gas penyebab bau dari proses degradasi anaerobik yang terjadi di dalam gudang penyimpanan leum industri karet. Namun demikian masih memerlukan pengkajian faktor-faktor lingkungan yang banyak terkait, khususnya dalam skala yang lebih besar. Gas dominan yang terukur dari emisi gas bau dari gudang penyimpanan leum adalah amonia dan hidrogen sulfida, dengan konsentrasi berturut-turut adalah 98,361 ppm dan 0,542 ppm. Kedua gas tersebut berbahaya bagi kesehatan sebab sifatnya iritan terhadap paru-paru serta efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala awal yang ditimbulkan dari bau ini adalah kehilangan kemampuan membau. Berdasarkan kuisioner yang dibagikan kepada 10 orang pegawai yang setiap hari bekerja berdekatan dengan leum, 10 orang pegawai tersebut menyatakan bahwa leum mempunyai bau yang sangat tidak enak. Kemudian dari 10 orang pegawai tersebut 7 orang menyatakan bahwa sekarang leum tidak berbau lagi seperti pada awal mereka bekerja di tempat tersebut (lama masa kerja antara 5 – 40 tahun), sedangkan 3 orang menyatakan leum masih bau seperti dulu. Hasil tersebut memberi arti bahwa kemampuan membau pegawai yang terus-menerus berinteraksi dengan leum telah mengalami penurunan. Setelah mempengaruhi indera penciuman, pengaruh bau juga dapat menyebabkan mual, pusing, sesak nafas dan sebagainya. Dari 10 orang pegawai tersebut, 5 orang menyatakan bahwa mereka kadang merasakan mual dan sesak nafas namun hal itu terjadi pada awal masa kerja dan sekarang telah terbiasa, sedangkan 5 yang lainnya
menyatakan dari awal kerja mereka tidak merasakan pengaruh apa-apa (Lampiran 5). Bila dikaji lebih mendalam hal ini bukan berarti benar-benar tidak memberi dampak apa-apa namun pengaruh yang tidak dirasakan ini malah akan menimbulkan bahaya di hari kemudian. Faktor tanggung jawab kerja dan sumber penghasilan diduga sebagai faktor yang sangat penting bagi mereka sehingga mereka mau menerima resiko apapun, termasuk terhadap kesehatan mereka sendiri. Selain terhadap kesehatan manusia, kedua gas ini juga memberikan dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan.
Gas ini sangat korosif terhadap
bangunan dan metal sehingga tidak mengherankan bila sering dijumpai besi mudah sekali menjadi berkarat dan timbulnya noda-noda berwarna hitam pada bangunan. Pemanfaatan teknologi biofilter dalam penghilangan gas penyebab bau pada gudang
penyimpanan
leum
yang
dikaji
dalam
penelitian
ini
mampu
menghilangkan gas amonia dan hidrogen sulfida hingga diatas 95% dalam waktu 33 hari. Dengan hasil ini, berarti teknik biofilter setidaknya dapat menjadi metode alternatif untuk mengolah gas penyebab bau yang selama ini menjadi masalah. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan besarnya kemampuan biofilter untuk mengolah gas penyebab bau dalam jangka waktu yang lebih lama serta dalam skala yang lebih besar lagi.
Tabel 14. Perbandingan Parameter Uji pada Masing-masing Biofilter Biofilter
Slope N (Gbr. 4)
Penghilngan (g-N/kg bhn kering/hr)
Penghilngn N (g-N/sel/hr)
Slope S (Gbr. 7)
Penghilngan (g-S/kg bhn kering/hr)
Penghilngn S (g-S/sel/hr)
Perombakan Penurunan C permukaan (g-C/sel/hr) (cm)
Bulk density (kg/lt)
Porositas (%)
0,9696 0,0243 2,875 1,0000 1,4.10-8 5,2 1 2,4.10-11 0,35 84,43 1,3,10-7 -8 -8 -11 2 0,9589 2,864 8,6.10 0,9982 1,3.10 2,7.10 5,5 0,32 87,78 0,0249 -8 -9 -11 3 2,805 6,1.10 0,9980 0,0243 6,1.10 1,7.10 7,3 0,38 83,12 0,9741 -8 -8 -11 4 0,9639 2,742 8,8.10 0,9997 0,0240 1,3.10 2,3.10 7,0 0,38 85,62 5 0,9702 2,701 1,2.10-7 0,9948 0,0237 9,5.10-9 2,3.10-11 5,3 0,41 81,76 -8 -8 -11 6 0,9602 2,679 8,6.10 0,9990 0,0233 1,3.10 5,6 0,39 85,28 6,9.10 Catatan : Scoring dilakukan dengan cara memberikan score atau bobot nilai secara berurutan. Bobot nilai dimulai dari nilai 1 yaitu pada biofilter dengan hasil pengukuran terbaik, seterusnya dilakukan hingga biofilter terakhir. Pembobotan dilakuakn terhadap seluruh parameter uji. Tabel 15. Tabel Scoring terhadap Parameter Uji pada Masing-masing Biofilter Biofilter
1 2 3 4 5 6
Penghilngan (g-N/kg bhn kering/hr)
Penghilngn N (g-N/sel/hr)
Penghilngan (g-S/kg bhn kering/hr)
Penghilngn S (g-S/sel/hr)
1 2 3 4 5 6
1 4 5 3 2 4
2 1 2 3 4 5
1 2 4 2 3 2
Perombakan Penurunan C permukaan (g-C/sel/hr) (cm) 3 2 5 4 4 1
1 3 6 5 2 4
Scoring 9 14 25 21 20 22
Scoring 91 142 256 214 203 225
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1.
Penambahan sludge ke dalam biofilter memberikan sedikit perubahan pada penghilangan N. Kemampuan biofilter dengan penambahan sludge (1, 3 dan 5) menunjukkan kapasitas penghilangan 1,2 x 10-7 - 6,1 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,4 x 10-8 - 9,5 x 10-9 g-S/sel/hr dibandingkan dengan tanpa penambahan sludge (2, 4 dan 6) yang menunjukkan kapasitas penghilangan 8,6 x 10-8 8,8 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,3 x 10-8 - 1,3 x 10-8 g-S/sel/hr.
2.
Biofilter dengan bahan pengisi kompos, tanah dan bahan tambahan (sekam, daun karet dan kulit kayu karet) dari sekitar industri karet RSS mampu menghilangkan emisi gas NH3 dan H2S dari gudang penyimpanan leum dengan efisiensi • 95%. K apasitas penghilangan gas NH3 dan H2S oleh keenam biofilter tersebut hampir tidak berbeda yaitu pada kisaran 2,679 2,875 g-N/kg bhn kering/hr dan 0,0233 - 0,0249 g-S/kg bhn kering/hr.
3.
Biofilter dengan bahan pengisi kompos, tanah, bahan tambahan sekam dengan sludge memberikan hasil terbaik dalam penghilangan gas penyebab bau dari industri karet.
5.2. Saran Hingga akhir penelitian (hari ke-33) efisiensi biofilter mampu dipertahankan hingga diatas 95%, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan efisiensi tersebut (break throught point).
Sehingga
penerapan biofilter sebagai alat penghilangan gas penyebab bau dapat memberikan hasil yang baik. Pemeriksaan kesehatan setiap 6 bulan sekali perlu dilakukan terhadap para pegawai yang bekerja langsung berhubungan dengan leum, agar dampak negatif yang tidak diinginkan dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1991. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius, Yogyakarta. Anas, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Biologi Tanah Dalam Praktek. Institut Pertanian Bogor. Bogor. BPS. 2002. Perkebunan Besar. Badan Pusat Statistik. Indonesia. Brady, N.C. 1990. Nitrogen and sulfur economic of soil. In The Nature and Properties of Soils. 10th Ed. MacMillan. New York. 11:315-349. Cho, K.S., H.W. Ryu, and N.Y. Lee. 2000. Biological deodorization of hydrogen sulfide using porous lava as a carrier of Thiobacillus thiooxidans. Journal of Biosciensce and Bioengineering. 90(1):25-31. Degorce-Dumas, J.R., S. Kowal, and P. Le Cloirec. 1997. Microbiological oxidation of hydrogen sulphide in a biofilter. Can. J. Microbiol. 43:264271. Devinny, J.S., M.A. Deshusses, and T.S. Webster. 1999. Biofiltration for Air Pollution Control. Lewis, New York. Edmonds, P. 1978. Microbiology an Environmental Perspective. Collier Macmillan. New York. Fitzpatrick, E.A. 1986. An Introduction to Soil Science. 2nd Ed. John Wiley and Sons. New York. Hartikainen, T., P.J. Martikainen, M. Olkkonen, and J. Ruuskanen. 2000. Peat biofilters in long-term experiments for removing odorous sulphur compounds. Kluwer Academic. 133:335-348. Hartung, E., T. Jungbluth, and W. Büscher. 2001. Reduction of ammonia and odor emissions from a piggery with biofilters. American Society of Agricultural Engineers. 44(1):113-118. Hirai, M., M. Kamamoto, M. Yani, and M. Shoda. 2001. Comparison of the biological H2S removal characteristics among four inorganic packing materials. Journal of Biosciensce and Bioengineering. 91(4):396-402. Janni, K.A., L.D. Jacobson, J.R. Bicudo, D.R. Schmit, H. Guo, and R.G. Koehler. 2000. Livestock and poultry odor workshop 1 : Emmisions, Measurement, Control. Deptartement of Biosystems and Agricultural Engineering and Extension Servise. St. Paul. Jenie, B.S.L., dan W.P. Rahayu. 2004. Penanganan Limbah Industri Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Himpunan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Kementerian Lingkungan Hidup. Lee, E.Y., K.S. Cho, H.D. Han, and H.W. Ryu. 2002. Hydrogen sulfide effects on ammonia removal by a biofilter seeded with earthworm. Casts. J. Environ. Qual. 31:1782-1788. Lens, P., and L.H. Pol. 2000. Environmental Technologies to Treat Sulphur Pollution. IWA. London. Ottengraf, S.P.P. 1986. Exhaust Gas Purification; H.J. Rehm, and G. Reed [Editor]. Biotechnology. 8th Ed. VCH. Tokyo. 426-451. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soemirat, J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Sun, Y., C.J. Clanton, K.A. Janni, and G.L. Malzer. 2000. Sulfur and nitrogen balance in biofilters for odorous gas emission control. American Society of Agricultural Engineers. 43(6):1861-1875. Wagiman. 2001. Pengaruh F/M terhadap Penyisihan Nutrien secara Biologi dari Limbah Pengolahan Karet Alam Jenis Ribbed Smoked Sheet (RSS) [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wardhana, W.A. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta. Warintek-Progressio. 2000. Karet (Hevea brasiliensis) http://warintek.progressio.or.id/perkebunan/karet.htm. (2 Maret 2005). Wild, A. 1995. Soil and The Environment an Introduction. Cambridge. Melbourne. Wu, W., J.C. Chabot, J.J. Caron, and M. Heitz. 1998. Biological elimination of volatile organic compounds from waste gases in a biofilter. Kluwer Academic 101:69-78. Yani, M. 1999. Study of Ammonia Removal by Nitrifying Bacteria. PhD Thesis, Tokyo Institute of Technology. Tokyo.
Lampiran 1a. Kurva standar NH3 Kurva standar NH3 dengan menggunakan larutan standar NH4Cl 10 ppm
Volume larutan standar (ml)
Nilai absorbansi
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 0,097 0,236 0,360 0,483 0,615 0,720 0,802 0,989 1,059
(g-N) 0 0,153930731 0,307861462 0,461792194 0,615722925 0,769653656 0,923584387 1,077515118 1,231445849 1,385376581
K urva S tand ar NH 3 N ila i a b so rb a n si
1,2
y = 0,7897x - 0,0083 R 2 = 0,9968
0,9 0,6 0,3 0 0 0,2 K urva N Linear (K urva N )
Lampiran 1b.
Waktu
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
g -N
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 1
Inlet
Outlet
Efisiensi
(NH3)
(hari)
(ppm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
g-N/lt
32,17 27,00 35,55 50,54 55,95 38,97 69,44 67,62 100,73 51,00 16,57 29,76 18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
Lampiran 1c.
0,019 0,015 0,021 0,029 0,032 0,022 0,040 0,039 0,058 0,029 0,010 0,017 0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
0,529 3,112 3,338 4,879 5,413 1,662 2,052 3,159 4,401 4,774 7,000 2,276 1,872 3,342 6,359 6,607 9,167 0,784 10,473 5,474 7,943 2,368
(NH3)
Beban g-N/kg bhn kering/hari
(ppm)
g-N/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,57 1,25 4,51 0,90 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,10 3,21 0,00 0,00 0,00 0,00 0,52 1,76 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,0001 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000
(%) 100
0,000 0,000 0,000 0,101 0,193 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,074 0,268 0,000 0,000 0,000 0,000 0,067 0,233 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 97,74 98,15 95,52 98,24 100 100 100 100 100 100 100 98,49 96,17 100 100 100 100 98,99 97,46 100 100 100 100
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2
Inlet
Waktu (hari)
Beban g-N/kg bhn kering/hari
(NH3) (ppm)
g-N/lt
Outlet Beban g-N/kg bhn kering/hari
(NH3) (ppm)
g-N/lt
Efisiensi Beban g-N/kg bhn kering/hari
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
32,17 27,00 35,55 50,54 55,95 38,97 69,44 67,62 100,73 51,00 16,57 29,76 18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
Lampiran 1d.
0,019 0,015 0,021 0,029 0,032 0,022 0,040 0,039 0,058 0,029 0,010 0,017 0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
2
3,304 4,829 5,358 1,645 2,032 2,409 3,215 4,478 4,858 5,885 2,316 1,905 3,319 6,314 6,560 9,102 0,779 10,521 5,499 7,979
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,002 0,001 0,003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,000 0,001 0,000 0,000
Inlet (NH3) (ppm)
1
3,080
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,60 1,39 5,39 1,08 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,18 1,87 3,84 0,00 0,00 0,00 0,00 0,53 1,78 0,00 1,34 0,00 0,00
32,17 27,00 35,55
0,000 0,000 0,000 0,141 0,231 0,000 0,000 0,000 0,000 0,083 0,128 0,270 0,000 0,000 0,000 0,000 0,068 0,233 0,000 0,257 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 96,26 97,94 94,65 97,88 100 100 100 100 100 100 98,15 97,36 95,42 100 100 100 100 98,96 97,44 100 97,55 100 100
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3
Waktu (hari)
0,523
g-N/lt 0,019 0,015 0,021
Outlet Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,515
(NH3) (ppm)
g-N/lt
0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,000
(%)
100 100 100
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
50,54 55,95 38,97 69,44 67,62 100,73 51,00 16,57 29,76 18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
Lampiran 1e.
0,029 0,032 0,022 0,040 0,039 0,058 0,029 0,010 0,017 0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
2 3
4,757 5,278 1,620 2,001 2,339 3,121 4,347 4,716 5,713 2,248 1,849 3,257 6,198 6,439 8,934 0,764 10,105 5,282 7,664
0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,001 0,000 0,000
Inlet (NH3) (ppm)
1
3,255
0,00 0,00 0,00 1,39 1,12 4,59 1,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,36 1,89 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,40 0,00 0,99 0,00 0,00
0,000 0,000 0,087 0,198 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,090 0,129 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,180 0,000 0,181 0,000 0,000
100 100 100 98,00 98,35 95,44 97,84 100 100 100 100 100 100 100 98,08 97,74 100 100 100 100 100 97,99 100 98,20 100 100
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4
Waktu (hari)
3,034
32,17 27,00 35,55 50,54 55,95 38,97
g-N/lt 0,019 0,015 0,021 0,029 0,032 0,022
Outlet Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,505 2,974 3,191
(NH3) (ppm)
g-N/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
69,44 67,62 100,73 51,00 16,57 29,76 18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
Lampiran 1f.
0,040 0,039 0,058 0,029 0,010 0,017 0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
2 3 4 5
1,588 1,962 2,272 3,032 4,224 4,582 5,551 2,184 1,797 3,184 6,058 6,294 8,733 0,747 10,127 5,294 7,680
0,001 0,001 0,003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,000 0,001 0,000 0,000
Inlet (NH3) (ppm)
1
5,175
1,48 2,32 6,03 1,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,55 2,75 0,00 0,00 0,00 0,00 1,40 1,91 0,00 1,35 0,00 0,00
0,132 0,246 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,103 0,187 0,000 0,000 0,000 0,000 0,180 0,245 0,000 0,247 0,000 0,000
97,87 96,57 94,02 97,98 100 100 100 100 100 100 98,08 97,81 96,72 100 100 100 100 97,25 97,25 100 97,55 100 100
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5
Waktu (hari)
4,664
32,17 27,00 35,55 50,54 55,95 38,97 69,44 67,62 100,73
g-N/lt 0,019 0,015 0,021 0,029 0,032 0,022 0,040 0,039 0,058
Outlet Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,498 2,931 3,145 4,596
(NH3) (ppm)
g-N/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,47 1,32 4,64
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,003
Efisiensi Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,094
(%)
100 100 100 100 100 100 97,89 98,04 95,40
6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
51,00 16,57 29,76 18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
Lampiran 1g.
0,029 0,010 0,017 0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
2 3 4 5 6
1,933 2,220 2,962 4,127 4,476 5,423 2,134 1,755 3,128 5,951 6,183 8,579 0,734 9,909 5,179 7,515
0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,0001 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,0001 0,000 0,000
Inlet (NH3) (ppm)
1
1,565
1,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,74 2,61 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,35 0,00 0,68 0,00 0,00
32,17 27,00 35,55 50,54 55,95 38,97 69,44 67,62 100,73 51,00 16,57 29,76
0,202 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,047 0,169 0,000 0,000 0,000 0,000 0,180 0,290 0,000 0,122 0,000 0,000
97,32 100 100 100 100 100 100 100 98,95 96,89 100 100 100 100 100 96,78 100 98,77 100 100
Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6
Waktu (hari)
5,100
g-N/lt 0,019 0,015 0,021 0,029 0,032 0,022 0,040 0,039 0,058 0,029 0,010 0,017
Outlet Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,489 2,876 3,085 4,509 5,003 1,536
(NH3) (ppm)
g-N/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,87 0,98 4,08 1,37 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,001 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-N/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,096 0,183 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 97,31 98,54 95,95 97,31 100 100
7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
18,47 39,94 34,09 46,36 63,91 70,92 83,85 32,98 27,47 50,30 48,60 51,03 69,58 11,99 54,90 21,56 41,74
0,011 0,023 0,020 0,027 0,037 0,041 0,049 0,019 0,016 0,029 0,028 0,030 0,040 0,007 0,032 0,012 0,024
1,897 2,215 4,117 4,466 5,411 2,129 1,751 3,135 5,964 6,196 8,598 0,736 9,888 5,168 7,499
0,00 0,00 0,00 0,00 0,91 1,47 3,07 0,00 0,00 0,00 0,00 1,35 2,19 0,00 0,76 0,00 0,00
Lampiran 2a. Kurva standar H2S dengan Na2S.9H2O 0,12% Volume larutan standar (ml) 0 0,73 1,47 2,94 4,41 5,88 7,35
Nilai absorbansi 0 0,0039 0,0065 0,0098 0,0138 0,0191 0,0256
0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,001 0,000 0,0001 0,000 0,000
0,000 0,000 0,064 0,093 0,199 0,000 0,000 0,000 0,000 0,174 0,270 0,000 0,138 0,000 0,000
100 100 100 100 98,58 97,93 96,34 100 100 100 100 97,35 96,85 100 98,61 100 100
menggunakan larutan standar
g-S 0 0,000359385 0,000723692 0,001447385 0,002171077 0,002894769 0,003618462
K urva S tand ar H 2 S N ilai A bsorbansi
0 ,0 2 8
y = 6,5731x + 0,0007 R 2 = 0,9886
0 ,0 2 1 0 ,0 1 4 0 ,0 0 7 0 0
0 ,0 0 1
0 ,0 0 2
0 ,0 0 3
K u rva S L in e a r (K u rva S )
Lampiran 2b.
1 2 3 4 5
g-S
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 1
Inlet
Waktu (hari)
0 ,0 0 4
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,123 0,383 0,785 0,854 1,1653
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,004
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00001
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,000 0,228
(%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 98,58
6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
0,045 0,124 0,087 0,132 0,267 0,222 0,113 0,402 0,141 0,084 0,117 0,177 0,100 0,300 0,362 0,088 0,179 0,053 0,140
Lampiran 2c.
0,0018 0,0048 0,0034 0,0051 0,0106 0,0088 0,0045 0,0159 0,0056 0,0033 0,0046 0,0070 0,0039 0,0119 0,0144 0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
1 2 3 4 5 6 7
0,521 1,265 1,030 0,531 1,845 0,666 0,395 0,545 0,799 0,890 2,650 3,261 0,393 2,327 0,913 1,818
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2 Inlet
Waktu (hari)
0,409
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291 0,045 0,124 0,087
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113 0,0018 0,0048 0,0034
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,122 0,379 0,777 0,846 1,1534 0,405
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,004 0,00 0,008 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00001 0,000 0,00001 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,002 0,004 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 100 98,46 100 97,30 100 100 100
8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
0,132 0,267 0,222 0,113 0,402 0,141 0,084 0,117 0,177 0,100 0,300 0,362 0,088 0,179 0,053 0,140
Lampiran 2d.
0,0051 0,0106 0,0088 0,0045 0,0159 0,0056 0,0033 0,0046 0,0070 0,0039 0,0119 0,0144 0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3
Inlet
Waktu (hari)
0,515 1,288 1,049 0,540 1,877 0,678 0,402 0,554 0,793 0,883 2,631 3,238 0,391 3,270 0,917 1,827
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291 0,045 0,124 0,087 0,132 0,267 0,222
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113 0,0018 0,0048 0,0034 0,0051 0,0106 0,0088
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,120 0,373 0,766 0,833 1,136 0,398 0,508 1,250 1,018
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,010 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,000 0,005 0,000 0,000 0,000 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 96,63 100 100 100 100 100 100
10 11 12 13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
0,113 0,402 0,141 0,084 0,117 0,177 0,100 0,300 0,362 0,088 0,179 0,053 0,140
Lampiran 2e.
0,0045 0,0159 0,0056 0,0033 0,0046 0,0070 0,0039 0,0119 0,0144 0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4 Inlet
Waktu (hari)
0,524 1,822 0,658 0,390 0,538 0,779 0,867 2,583 3,178 0,383 3,141 0,881 1,755
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291 0,045 0,124 0,087 0,132 0,267 0,222 0,113 0,402 0,141
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113 0,0018 0,0048 0,0034 0,0051 0,0106 0,0088 0,0045 0,0159 0,0056
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,118 0,366 0,751 0,817 1,114 0,391 0,498 1,215 0,989 0,509 1,771 0,639
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,006 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,000 0,003 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 97,80 100 100 100 100 100 100 100 100 100
13 14 16 18 20 22 25 29 32 33
0,084 0,117 0,177 0,100 0,300 0,362 0,088 0,179 0,053 0,140
Lampiran 2f.
0,0033 0,0046 0,0070 0,0039 0,0119 0,0144 0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5 Inlet
Waktu (hari)
0,379 0,523 0,761 0,848 2,525 3,107 0,375 3,148 0,883 1,758
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291 0,045 0,124 0,087 0,132 0,267 0,222 0,113 0,402 0,141 0,084 0,117 0,177
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113 0,0018 0,0048 0,0034 0,0051 0,0106 0,0088 0,0045 0,0159 0,0056 0,0033 0,0046 0,0070
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,116 0,360 0,740 0,805 1,098 0,385 0,490 1,187 0,966 0,497 1,730 0,624 0,370 0,511 0,748
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,011 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,000 0,005 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 96,29 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
18 20 22 25 29 32 33
0,100 0,300 0,362 0,088 0,179 0,053 0,140
Lampiran 2g.
0,0039 0,0119 0,0144 0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 18 20 22
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100 100 100 100
Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6 Inlet
Waktu (hari)
0,833 2,480 3,052 0,368 3,080 0,864 1,721
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,087 0,117 0,055 0,102 0,155 0,175 0,087 0,269 0,192 0,291 0,045 0,124 0,087 0,132 0,267 0,222 0,113 0,402 0,141 0,084 0,117 0,177 0,100 0,300 0,362
0,0034 0,0045 0,0021 0,0040 0,0061 0,0068 0,0035 0,0104 0,0076 0,0113 0,0018 0,0048 0,0034 0,0051 0,0106 0,0088 0,0045 0,0159 0,0056 0,0033 0,0046 0,0070 0,0039 0,0119 0,0144
Outlet Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,114 0,354 0,726 0,789 1,077 0,378 0,481 1,184 0,964 0,496 1,726 0,623 0,369 0,510 0,749 0,834 2,485 3,058
(H2S) (ppm)
g-S/lt
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,002 0,00 0,011 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000003 0,000 0,00001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Efisiensi Beban g-S/kg bhn kering/hari 0,000 0,000 0,000 0,001 0,006 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
(%)
100 100 100 100 100 100 100 99,27 100 96,32 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
25 29 32 33
0,088 0,179 0,053 0,140
0,0035 0,0099 0,0021 0,0055
0,369 3,073 0,862 1,717
0,00 0,00 0,00 0,00
0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,000 0,000
100 100 100 100
Lampiran 3. Cara Kerja Pengukuran Parameter Uji Pengukuran Amonia (NH3) Prinsip Metoda yang digunakan untuk menentukan kadar amonia diudara adalah Metoda Nessler. Prinsip kerja metoda ini yaitu amonia akan bereaksi cepat dengan Nessler membentuk koloid berwarna merah coklat (NH2Hg2I3). Sistem Amonia-Nessler dapat mengabsorbsi pada panjang gelombang antara 400 - 425 nm. Cara kerja 1. Pengambilan sampel Dipersiapkan 10 ml larutan pengabsorpsi Asam Borat 0,01%, yang berfungsi untuk mengikat amonia di udara. Metode sampling gas NH3 adalah sebagai berikut selang dari biofilter dimasukkan ke dalam tabung sampling berisi larutan pengabsorbsi selama 3 menit.
Setelah selesai tabung ditutup,
kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. 2. Larutan kurva standard kalibrasi NH3 Larutan induk standard NH3 10 ppm diambil menggunakan pipet, sebanyak 0,2,5; 5; 10; 15; 20; 25 ml dimasukkan kedalam labu berukuran 50 ml. Selanjutnya masing-masing tabung ditambah 10 ml larutan pengabsorbsi Asam Borat 0,01% lalu dikocok, setelah rata ditambahkan 1 ml pereaksi Nessler. Larutan tersebut kemudian diencerkan hingga 50 ml dengan air suling.
Pengukuran absorbansinya dengan spektrometer pada panjang
gelombang 400-425 nm. Blanko dengan menggunakan labu ukur berisi 0 ml larutan standard induk NH3. 3. Larutan sampel Larutan pengabsorpsi yang telah mengandung sampel NH3 dipindahkan kedalam labu ukur 50 ml, ditambah dengan 1 ml pereaksi Nessler, kemudian diencerkan hingga 50 ml dengan air suling. Pengukuran selanjutnya sama dengan pengukuran larutan standard kalibrasi NH3.
4. Konsentrasi NH3 dalam satuan ppm 8,314 x (273 + t) x µgNH3/m3
NH3 (ppm) = keterangan : 8,314 µg/m3 t 103250 pascal Mr NH3
103250 x Mr NH3 = = = = =
Bilangan r µg/m3 sampel NH3 yang diperoleh dari grafik suhu dalam oC 1 atmosfer 17
Pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) Prinsip Metoda yang digunakan untuk menentukan kadar hidrogen sulfida diudara adalah Metoda Metilen Blue. Prinsip kerja metoda ini yaitu hidrogen sulfida akan bereaksi dengan diamin dalam suasana asam membentuk metilen blue yang berwarna biru. Pengukuran akan dilakukan pada panjang gelombang 670 nm. Cara kerja 1. Pengambilan sampel Dipersiapkan didalam tabung sampling berukuran 50 ml, larutan penyerap Zn Asetat 5% sebanyak 10 ml. Sampling gas H2S dilakukan dengan cara selang dari biofilter dimasukkan ke dalam tabung sampling berisi larutan penyerap
selama 3 menit. Setelah selesai tabung ditutup, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. 2. Larutan kurva standard kalibrasi H2S Enam buah labu ukur 50 ml disiapkan, selanjutnya masing-masing kedalam labu tersebut dimasukkan larutan induk standard H2S sebanyak 0,73; 1,47; 2,94; 4,41; 5,88 dan 7,35 ml H2S. Setelah itu masing-masing ke dalam labu ditambahkan larutan diamin sebanyak 1 ml, larutan FeCl3 sebanyak 1,5 ml dan larutan penyerap Zn asetat sebanyak 10 ml. Larutan tersebut lalu diencerkan dengan akuades hingga 50 ml, diamkan kira-kira 15-30 menit. Pengukuran absorbansi dilakukan pada dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm. Blanko dengan menggunakan labu ukur berisi 0 ml larutan standard induk H2S. 3. Larutan sampel Larutan penyerap yang telah mengandung sampel H2S dipindahkan kedalam labu ukur 50 ml, ditambah dengan 1 ml diamin dan 1,5 ml larutan FeCl3. Pengenceran dengan air suling hingga volume 50 ml, selanjutnya pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer. 4. Kandungan H2S dalam satuan ppm 8,314 x (273 + t) x µgH2S/m3
H2S (ppm) = keterangan : 8,314 µg/m3 t 103250 pascal Mr H2S
103250 x Mr H2S = = = = =
Bilangan r µg/m3 sampel H2S yang diperoleh dari grafik suhu dalam oC 1 atmosfer 34
Standardisasi larutan induk standard H2S Larutan induk standard H2S sebanyak 10 ml dimasukkan dalam Erlenmeyer, ditambah dengan 5 ml larutan iodin 0,1 N dan 5 ml larutan HCl 0,1 N. Kelebihan iodin dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat 0,1 N (dengan H2S (ì g/ml) =
(A – B) x N x 0,0017 x 1000 x 1000 0,1 x 10
keterangan : A = volume natrium tiosulfat untuk penitaraan blanko (ml) B = volume natrium tiosulfat untuk penitaraan sampel (ml) N = normalitas natrium tiosulfat
menggunakan indikator amilum). Untuk blanko titrasi dilakukan dengan menggunakan 10 ml air suling sebagai pengganti larutan induk standard H2S. Pengukuran pH Prinsip Metoda yang digunakan untuk menentukan nilai pH adalah Metoda Colorimetri. Prinsip metoda adalah dengan melihat perubahan warna yang terjadi, dengan menggunakan kertas pH dengan nilai antara 1-14. Bila kertas pH menunjukkan perubahan menjadi warna merah maka berarti asam, warna dicocokkan dengan nilai yang pH antara 1-7. Sedangkan bila warna kertas pH berubah menjadi biru maka berarti basa, warna dicocokkan dengan nilai pH antara 7-14. Cara kerja Sampel tanah sebanyak 1 gr disiapkan. Larutan akuabides sebanyak 9 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian sampel tanah yang telah disiapkan dimasukkan kedalam tabung, dikocok hingga rata, diamkan sebentar. Kertas pH dicelupkan dalam larutan tersebut, perubahan warna yang terjadi dicocokkan dengan tabel warna pH untuk menentukan nilai pH yang diperoleh. Pengukuran Temperatur Udara Prinsip Prinsip yang dilakukan pada pengukuran temperatur adalah mengamati pemuaian yang terjadi pada air raksa karena suhu yang ada di lingkungan udara pada saat pengukuran dilakukan. Cara kerja Pengukuran
temperatur
udara
dilakukan
dengan
menggunakan
alat
termometer air raksa Celcius. Cara kerjanya adalah dengan cara menggantung termometer pada tempat tersebut dan membiarakannya hingga temperatur yang yang ditunjukkan oleh alat tersebut konstan. kemudian dicatat.
Hasil yang diperoleh
Pengukuran Kadar Air (AOAC, 1998) Prinsip Metoda yang digunakan dalam pengukuran kadar air adalah Metoda Oven. Prinsip dari metode ini adalah melihat perubahan bobot sampel yang terjadi sebelum dan setelah dilakukan pengeringan dengan oven. Cara kerja 1. Cawan porselin kosong dimasukkan pada oven, dipanaskan pada suhu 105 oC selama 1 jam. Setelah selesai diangkat dan dimasukkan dalam eksikator atau pendingin agar berat stabil. Cawan kosong ditimbang dan beratnya dicatat (a). 2. Sampel tanah sebanyak 10 gr ditimbang, diletakkan dalam cawan porselin kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah itu sama dengan yang dikerjakan sebelumnya, cawan dan sampel dimasukkan dalam pendingin kemudian ditimbang (b).
Kadar air (%) =
b- a 10 gr
x 100 %
keterangan : a = bobot cawan kosong (gram) b = bobot akhir (gram)
Pengukuran Kadar Nitrogen Total dalam Tanah (AOAC, 1998) Prinsip Metoda yang digunakan dalam pengukuran nitrogen total dalam tanah ini adalah Metoda Kjeldahl. Cara kerja 1. Sampel tanah sebanyak 0,25 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2,5 ml.
Larutan tersebut didestruksi
hingga jernih. 2. Larutan hasil destruksi yang telah dingin dimasukkan kedalam labu destilasi, bilas sedikit dengan akuades, kemudian ditambahkan dengan NaOH 40% sebanyak 15 ml. Larutan penampung disiapkan dalam Erlenmeyer 100 ml yang terdiri dari 10 ml H3BrO3 4% dan BCG-MR (Bromocressol Green-
Methylene Red) dua atau tiga tetes. Destilasi dihentikan apabila tidak ada lagi gelembung-gelembung yang keluar pada larutan penampung. 3. Hasil dari destilasi tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N. Kadar nitrogen total dihitung sebagai berikut :
Kadar N total (%) =
(ml titrasi contoh–ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100 mg sampel
keterangan : N HCl = 36,5 14 = berat atom N
Pengukuran Kadar Sulfur Total dalam Tanah (AOAC, 1998) Prinsip Ion sulfat akan diendapkan dalam suasana asam (asam asetat) dengan Barium Klorida (BaCl2) membentuk kristal Barium Sulfat yang seragam. Absorpsi dari suspensi BaSO4 diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Pereaksi a. Larutan Dapar Dilarutkan sebanyak 30 gr Magnesium klorida, MgCl2.6H2O, 5 gr Natrium Asetat CH3COONa.3H2O, 1 gr Kalium Nitrat KHO3 dan 20 ml Asetat CH3COOH (99%) di dalam 500 air suling dan diencerkan sampai 1000 ml. b. Barium Klorida (BaCl2) Kristal BaCl2 dengan ukuran 20 – 30 mesh. c. Larutan standar sulfat Dilarutkan sebanyak 147,9 mg Na2SO4 Anhidrat dalam air suling hingga volume 1 liter (1 ml = 100 ì g SO4). Cara kerja 1. Sebanyak 100 ml sampel dipipet dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 20 ml larutan Dapar dikocok dengan alat pengaduk magnet. Selanjutnya ditambahkan 8 – 10 gr kristal BaCl2.
2. Larutan tersebut dikocok selama 1 menit dengan kecepatan yang konstan. Larutan segera dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. 3. Persiapan kurva standar Dibuat beberapa larutan standar yang mengandung 0 – 40 mg/lt dengan range 5 mg/lt. Selanjutnya caranya sama dengan yang dilakukan pada sampel. Perhitungan : Mg SO4/lt =
mg SO4 x 1000 ml sampel
Lampiran 4. Cara Kerja Pengujian Mikroba Pendegradasi Polutan
Pengujian Bakteri Heterotrof dengan Metoda TPC (Anas 1989) Pembuatan larutan fisiologis Cara pembuatan larutan fisiologis adalah sebagai berikut 8,5 g NaCl dilarutkan kedalam 1 liter akuades. Larutan ini kemudian disterilkan dengan mengautoklaf pada temperature 120 oC selama 20 menit. Setelah dingin baru digunakan. Sebanyak 9 ml larutan fisiologis dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berjumlah 7 buah yang akan digunakan untuk pengenceran. Pembuatan seri pengenceran Untuk membuat larutan sampel, tanah seberat 10 gr dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis ditempatkan dalam Erlenmeyer ukuran 250 ml, dicampur secara merata. Kemudian larutan sampel diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis yang telah disiapkan. Pengenceran ini adalah pengenceran 10-1, kegiatan ini terus dilakukan sampai pengenceran ke 10-7. Bahan yang disiapkan per liter media adalah sebagai berikut : 1. Nutrient Agar
10
gr
2. Akuades
1
lt
Bahan NA dilarutkan di dalam 1 liter akuades, kemudian diautoklaf selama 20 menit pada temperatur 120 oC. Setelah itu media dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 10 ml. Cawan petri yang disiapkan sebanyak 20 buah
(4 pengenceran yaitu 10-4, 10-5, 10-6 dan 10-7 dengan 5 ulangan), Setelah
kira-kira suhu media antara 40-45 0C, larutan sampel yang telah dilakukan pengenceran siap dituangkan ke dalam cawan. Selanjutnya ditunggu sebentar hingga media benar-benar padat, setelah media padat diinkubasi pada temperatur 28 0C, dengan kondisi cawan petri yang terbalik. Pengamatan dilakukan setelah 3 hari, inkubasi untuk bakteri dan fungi yang tumbuhnya cepat. Untuk memudahkan perhitungan digunakan Quebec Colony Counter.
Pengujian Thiobacillus sp dengan Metoda TPC (Anas 1989) Pembuatan larutan fisiologis
Pembuatan larutan fisiologis yang akan digunakan untuk pengenceran sama dengan cara yang telah dilakukan sebelumnya. Pembuatan seri pengenceran Cara pembuatan larutan sampel tanah juga sama dengan cara pembuatan seri pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya. Bahan yang disiapkan per liter media adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Agar Kosong KH2PO4 MgSO4.7H2O (NH4)2SO4 CaCl2 FeCl3.6H2O Akuades
10 3 0.5 0.3 0.25 0.02 1
gr g/lt g/lt g/lt g/lt g/lt lt
Bahan yang telah disiapkan dilarutkan di dalam 1 liter akuades, kemudian diautoklaf selama 20 menit pada temperatur 120 oC. Setelah itu media dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 10 ml. Cara selanjutnya sama dengan cara yang dilakukan pada bakteri heterotrof.
Pengamatan terhadap
Thiobacillus sp juga dilakukan setelah 3 hari inkubasi. Untuk memudahkan perhitungan digunakan Quebec Colony Counter.
Pengujian Nitrosomonas sp dengan Metoda MPN (Anas 1989) Pembuatan larutan fisiologis Pembuatan larutan fisiologis yang akan digunakan untuk pengenceran sama dengan cara yang telah dilakukan sebelumnya. Pembuatan seri pengenceran Cara pembuatan larutan sampel tanah juga sama dengan cara pembuatan seri pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya. Bahan yang disiapkan per liter media untuk Nitrosomonas sp. adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
(NH4)2SO4 KH2PO4 CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O Fe-sitrat Fenol-red (pH 6,2 – 8,4) Akuades
0,5 0,2 0,04 0,04 0,5 0,5 900
gr gr gr gr mg mg ml
Cara yang dilakukan yaitu semua bahan ini dicampur kemudian ditambahkan air sehingga volumenya menjadi 1 liter. Selanjutnya larutan media ini dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 20 buah (4 pengenceran yaitu 10-4, 10-5, 10-6 dan 10-7 dengan 5 ulangan), masing-masing sebanyak 9 ml, ditutup dan diautoklaf selama 20 menit pada temperatur 120 oC. Setelah media selesai dibuat, pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya diambil 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya tabung tersebut diinkubasi pada suhu 28 0C selama 4 minggu.
Tabung media yang berubah warna menjadi kuning
menandakan reaksi positif. Perhitungan nilai MPN Untuk menghitung MPN organisme yang ada dalam contoh, dipilih tabung dengan jumlah positif dengan konsentrasi pengenceran paling rendah, dimana semua tabung bereaksi positif. Untuk p2 dan p3 mewakili jumlah tabung yang positif pada pengenceran yang lebih tinggi dari p1. Selanjutnya angka dilihat pada Tabel Halvorson dan Ziegler untuk 5 tabung. Nilai diperoleh dari tabel tersebut dengan melihat angka p1, p2 dan p3, kemudia nilai dikalikan dengan factor pengenceran pada p1.
Lampiran 5. Lembar Kuisioner
LEMBAR KUISIONER Sensitifitas pegawai PT Perkebunan Nusantara VIII terhadap bau limbah leum Kami, mahasiswi Institut Pertanian Bogor Program Pascasarjana, ingin mengetahui tingkat sensitifitas pegawai/pekerja terhadap bau limbah leum, hasil dari kuisioner ini akan dirahasiakan dan digunakan hanya untuk keperluan penyelesaian tesis kami. Berilah tanda “X” (silang) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi Anda. 1. Berapakan usia Anda ? a. Dibawah 20 tahun b. 21 tahun – 30 tahun c. 31 tahun – 40 tahun d. Diatas 41 tahun 2. Sudah berapa lama Anda bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII ? a. Dibawah 1 tahun b. 1 tahun – 3 tahun c. 4 tahun – 6 tahun d. Diatas 6 tahun 3. Apakah Anda pernah ditempatkan di ruang produksi ? ya/tidak* Jika ya, berapa tahun Anda disana? a. Dibawah 1 tahun b. 1 tahun – 3 tahun c. 4 tahun – 6 tahun d. Diatas 6 tahun 4. Berapa lamakah setiap harinya Anda bekerja ditempat tersebut ? a. 1 – 2 jam b. 3 – 4 jam c. 5 – 6 jam d. Lebih dari 6 jam 5. Apakah menurut Anda leum mempunyai bau yang tidak enak ? a. Ya b. Tidak c. Biasa-biasa saja d. Tidak tahu 6. Menurut Anda bagaimanakah intensitas bau leum yang Anda cium saat pertama dibanding dengan sekarang ? a. Sama saja b. Sekarang tidak bau lagi c. Bertambah bau d. Tidak tahu
7. Jika menurut Anda leum sekarang tidak berbau seperti pada awal Anda bekerja, sejak kapankah Anda merasakan hal tersebut ? a. Dibawah 1 tahun b. 1 tahun – 3 tahun c. 4 tahun – 6 tahun d. Diatas 6 tahun 8. Apakah Anda pernah merasakan gangguan kesehatan (misalnya kepekaan terhadap bau berkurang, gangguan kulit, sakit kepala, iritasi mata/hidung dan sebagainya) sejak bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII ? a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang d. Tidak tahu 9. Apakah Anda pernah memeriksakan diri ke dokter akibat gangguan kesehatan tersebut? a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang d. Tidak tahu
Lampiran 6. Rangkuman Hasil Kuisioner No 1.
A -
B -
Jawaban*)
C 2
D 8
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10 3 5 -
1 7 5 10
2 3 6 5 -
8 6 4 -
Keterangan : Responden yang diberikan pertanyaan kuisioner tersebut berjumlah 10 orang pegawai PTP Nusantara VIII Kebun Cimulang Bogor. *) jumlah tersebut menunjukkan jumlah orang
Lampiran 7.
Leum atau getah karet beku yang menumpuk dalam gudang penyimpanan
Lampiran 8.
Jenis bahan pengisi biofilter yaitu sekam, daun karet dan kulit kayu karet
Lampiran 9.
Reaktor biofilter yang ditempatkan pada lokasi penelitian PTP Nusantara VIII Kebun Cimulang - Bogor