PENERAPAN STATE OF NECESSITY DALAM BILATERAL INVESTMENT TREATY Ignatia Oktavia Simorangkir, Hikmahanto Juwana, Hadi Rahmat Purnama Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Transnasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Ketentuan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty (“BIT”) merupakan suatu dasar bagi para pihak dalam BIT untuk mengesampingkan pelaksanaan tanggung jawab negara atas tindakan pelanggaran kewajibankewajiban internasional yang berasal dari BIT. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kasus atas sengketa LG&E Energy Corp., LG&E Capital Corp., LG&E International Inc. (“LG&E”) melawan Republik Argentina melalui pendekatan metode yuridis normatif. Adapun permasalahan utama dari penerapan State of Necessity dalam kasus tersebut antara lain sifat self-judging klausul State of Necessity dalam BIT serta akibat penerapan State of Necessity terhadap keberlakuan BIT dan kewajiban pemberian ganti rugi. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya pengaturan State of Necessity dalam BIT yang disepakati oleh setiap negara, termasuk dalam BIT yang disepakati oleh Indonesia, untuk menyeimbangkan kewajiban perlindungan investasi dan kepentingan esensial negara. Kata kunci: Bilateral Investment Treaty; State of Necessity; tanggung jawab negara
IMPLEMENTATION OF STATE OF NECESSITY IN BILATERAL INVESTMENT TREATY ABSTRACT The provision of State of Necessity in Bilateral Investment Treaty (“BIT”) is a basis for the Parties to preclude the implementation of state responsibility against its wrongful act violating international obligations of BIT. This study will be conducted with regard to the case of LG&E Energy Corp., LG&E Capital Corp., LG&E International Inc. (“LG&E”) against Argentine Republic by using normative legal method. The main problems of the implementation of state of necessity in the case are the self-judging characteristic of State of Necessity provision in BIT and the consequences of its implementation on the enforceability of BIT and the obligation of reparation. The result of this study suggests the importance of the regulation of State of Necessity in the BIT, including the BIT agreed by Indonesia, in order to balance investment protection and the safeguarding of essential interests of the State. Keywords: Bilateral Investment Treaty; State of Necessity; state responsibility
Pendahuluan Bilateral Investment Treaty (“BIT”) merupakan sebuah perjanjian antara dua negara yang saling berjanji untuk memperlakukan penanam modal dari masing-masing negara secara menguntungkan. BIT memberikan standar-standar perlakuan bagi masing-masing negara yang menjadi pihak dalam BIT terhadap penanam modal dan investasi dari masing-masing negara. BIT memuat hak dan kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pihak dalam BIT. Adapun kewajiban yang diatur dalam BIT biasanya berkaitan dengan pelaksanaan jaminan
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
perlindungan terhadap risiko-risiko non-komersial, seperti: jaminan atas tindakan nasionalisasi, jaminan atas tindakan non-diskriminasi, jaminan atas repatriasi, jaminan atas subrogasi, dan jaminan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa. Apabila kewajibankewajiban internasional dalam BIT dilanggar oleh negara-negara yang terikat dalam BIT, maka negara yang dirugikan dapat melaksanakan haknya untuk menuntut tanggung jawab dari negara yang melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional dalam BIT. Prinsip tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional karena prinsip ini muncul berdasarkan sifat dasar sistem hukum internasional serta ajaran mengenai kedaulatan negara dan persamaan negara-negara. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan tertentu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan suatu negara bertanggung jawab terhadapnya. Salah satu keadaan yang mengesampingkan pelaksanaan tanggung jawab negara adalah State of Necessity. Pada praktiknya, State of Necessity dianggap sangat rentan dengan kemungkinan penyalahgunaan oleh negara karena dapat digunakan secara non-diskriminatif untuk menghentikan pemenuhan kewajiban-kewajiban internasionalnya. ILC sampai saat ini masih hanya mencapai tahap perumusan syarat-syarat State of Necessity dalam Pasal 33 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 1980, yang kemudian diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) pada 12 Desember 2001 melalui Resolusi 56/83 dalam Pasal 25 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (“Draft Articles on States Responsibility”). ILC memutuskan tidak meminta Majelis Umum PBB untuk segera menjadikan Draft Articles on State Responsibility sebagai sebuah perjanjian multilateral sehinga ketentuan State of Necessity yang dimuat dalam Draft Articles on State Responsibility mengikat negara-negara hanya sebagai hukum kebiasaan internasional ataupun sebagai prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara. Dengan fakta bahwa State of Necessity belum diatur dalam suatu perjanjian multilateral, maka pencantuman State of Necessity sebagai salah satu klausul dalam BIT telah menjadi corak baru terhadap penerimaan State of Necessity dalam hukum internasional. State of Necessity mempunyai daya mengikat sebagai suatu perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dalam BIT. Namun demikian, pengaturan State of Necessity dalam BIT ternyata menimbulkan beberapa permasalahan. Adanya pengaturan State of Necessity dalam BIT dipandang bertentangan dengan maksud dan tujuan utama dari BIT. Klausul State of Necessity memungkinkan para pihak dalam BIT untuk mengesampingkan pelaksanaan jaminan-jaminan perlindungan terhadap risiko-risiko non-komersial dan penghormatan terhadap kerjasama antar negara yang telah terjalin melalui kesepakatan BIT. Padahal pelaksanaan jaminan perlindungan terhadap risiko-risiko non-komersial dan penghormatan terhadap kerjasama antarnegara merupakan maksud dan tujuan utama dari terciptanya suatu BIT. Adapun penerapan State of Necessity dalam BIT dapat memunculkan permasalahan kewajiban pemberian reparation dari negara yang melakukan pelanggaran BIT kepada negara yang dirugikan. Hal ini karena salah satu bentuk penyampingan pelaksanaan tanggung jawab negara atas tindakan pelanggaran kewajiban internasional yang paling nyata adalah melalui pembebasan tanggung jawab negara untuk memberikan reparation atas kerugian yang ditimbulkan. State of Necessity memang telah diakui sebagai salah satu keadaan yang dapat menyampingkan pelaksanaan tanggung jawab negara, namun masih terdapat perdebatan mengenai keadaaan State of Necessity yang dapat secara langsung membebaskan negara atas kewajiban pemberian reparation bagi negara yang dirugikan. Penelitian ini membahas sebuah kasus yang melibatkan LG&E Energy Corp., LG&E Capital Corp., LG&E International Inc. (“LG&E”) dengan Republik Argentina. Pada kasus tersebut, LG&E sebagai pihak yang dirugikan menuntut Argentina atas pelanggaran beberapa klausul
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
dalam BIT Argentina-Amerika Serikat. LG&E keberatan dengan pembelaan State of Necessity yang diajukan Argentina yang didasarkan pada Pasal XI Treaty Between United States Of America And The Argentine Republic Concerning The Reciprocal Encouragement And Protection Of Investment (“BIT Argentina-Amerika Serikat”). Selain membahas kasus tersebut, penelitian ini juga membahas praktik pengaturan State of Necessity dalam BIT yang telah disepakati oleh Indonesia. Pembahasan ini menjadi penting karena adanya klausul State of Necessity dalam BIT dapat dikatakan sebagai suatu klausul yang bermanfaat bagi negara. Pengaturan State of Necessity dalam BIT memberikan hak kepada negara untuk tetap melindungi kepentingan esensial negara. Hal yang wajar jika negara lebih mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan esensialnya dibandingkan perlindungan kepentingan para investor asing di negaranya ketika kepentingan esensial negara sedang berada dalam ancaman bahaya yang sangat serius dan mungkin segera terjadi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: i) bagaimana penerimaan State of Necessity sebagai dasar penyampingan pelaksanaan tanggung jawab negara dalam hukum internasional; ii) bagaimana pengaturan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty; dan iii) bagaimana penerapan State of Necessity sebagai dasar penyampingan pelaksanaan tanggung jawab negara atas tindakan pelanggaran kewajiban internasional dalam Bilateral Investment Treaty. Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu: i) untuk mengetahui penerimaan State of Necessity sebagai dasar penyampingan pelaksanaan tanggung jawab negara dalam hukum internasional; ii) untuk mengetahui pengaturan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty; dan iii) untuk menganalisis penerapan State of Necessity sebagai dasar penyampingan pelaksanaan tanggung jawab negara atas tindakan pelanggaran kewajiban internasional dalam Bilateral Investment Treaty. Tinjauan Teoritis Pembahasan penerapan State of Necessity dalam BIT dalam penelitian ini menggunakan dua teori yang utama, yakni: • Teori penerimaan State of Necessity dalam hukum internasional ILC berusaha membuat perumusan mengenai State of Necessity dengan syarat-syarat yang sangat terbatas. Hal ini untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan State of Necessity oleh negara-negara. Adapun syarat-syarat terhadap State of Necessity sebagaimana dirumuskan oleh ILC dalam Pasal 25 Draft Articles on State Responsibility, yaitu: i) adanya kepentingan yang esensial; ii) adanya bahaya yang sangat serius dan mungkin segera terjadi; iii) tidak ada cara lain yang dapat digunakan; iv) tidak secara serius membahayakan kepentingan esensial dari negara lain yang terikat dengan kewajiban internasional yang ada atau kepentingan esensial dari komunitas internasional sebagai suatu keseluruhan; v) tidak adanya kewajiban internasional yang mengecualikan pengajuan State of Necessity; dan vi) tidak adanya kontribusi negara atas keadaan State of Necessity. Syarat-syarat yang dirumuskan dalam Draft Articles State Responsibility sampai saat ini memang belum diterima sebagai suatu perjanjian multilateral yang mengikat negara-negara, namun hal tersebut tidak membuat aturan-aturan yang terdapat dalam Draft Articles State Responsibility menjadi tidak berlaku bagi negara-negara. State of Necessity memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara sebagai hukum kebiasaan internasional maupun prinsip umum hukum. Adapun State of Necessity dalam memperoleh validitasnya sebagai hukum kebiasaan internasional harus memenuhi dua unsur yang berupa unsur material dan unsur psikologis. Unsur material merujuk pada tingkah laku dan praktik negara-negara yang dapat dibuktikan antara lain melalui: i) bahan-bahan yang dipublikasikan dalam surat kabar mengenai tindakan aktual yang diambil oleh negara; ii) pernyataan yang dibuat oleh jurubicara pemerintah kepada parlemen, media, konferensi internasional, dan pertemuanpertemuan organisasi internasional; iii) hukum nasional dan putusan-putusan peradilan
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
nasional; iv) surat-menyurat dengan negara lain; v) dokumen-dokumen PBB; vi) tulisantulisan dari ahli hukum internasional dan putusan peradilan internasional. Salah satu sumber unsur material State of Necessity sebagai hukum kebiasaan internasional dapat ditemukan dalam Dissenting Opinion dari hakim Anzilotti dan Huber pada kasus S.S.Wimbledon. Kedua hakim tersebut menyatakan bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk mengadopsi tindakan-tindakan yang dianggap paling sesuai untuk menghadapi keadaan darurat dari keamanan negara dan mempertahankan integritasnya. State of Necessity membenarkan tindakan Jerman untuk melindungi kepentingannya sebagai negara yang netral. State of Necessity merupakan hak semua bangsa yang diterima berdasarkan kebiasaan internasional. Selain unsur material, unsur psikologis (opinio juris sive necessitatis/opinio juris) juga menjadi unsur yang wajib dipenuhi agar State of Necessity dapat diakui sebagai hukum kebiasaan internasonal. Opinio juris merupakan keyakinan subjektif dari negara-negara bahwa tingkah laku maupun praktik-praktik negara bersifat wajib dan bukan pilihan. Salah satu penerimaan unsur psikologis dari State of Necessity dalam hukum internasional dapat ditemukan kasus The Gabčíkovo-Nagymaros Project yang merupakan kasus antara Pemerintah Hungaria dan Czechoslovakia. ICJ yang mengadili kasus tersebut secara tegas menyatakan: “The Court considers, first of all, that the state of necessity is a ground recognized by customary international law for precluding the wrongfulness of an act not in conformity with an international obligation. It observes moreover that such ground for precluding wrongfulness can only be accepted on an exceptional basis.” Adapun pengategorian State of Necessity sebagai prinsip umum hukum diperlihatkan dalam pandangan Bin Cheng yang menyatakan: “If after every conceivable legal means of self-preservation has first been exhausted, the very existence of the State is still in danger, and if there exists only one single means of escaping from such danger, the State is justified in having recourse to that means in self-preservation, even though it may otherwise be unlawful.” ILC dalam travaux préparatoires-nya tidak memberikan banyak contoh-contoh kasus yang menunjukkan penerimaan State of Necessity sebagai suatu prinsip umum hukum. Salah satu kasus yang mendukung penerimaan State of Necessity sebagai prinsip umum hukum yaitu kasus The Oscar Chinn Case. ILC dengan tegas menyatakan bahwa kasus The Oscar Chinn merupakan bukti dari adanya penerimaan State of Necessity sebagai prinsip umum hukum. Hal ini ditegaskan ILC dengan pernyataan: “The admissibility of the plea of necessity as a principle in international law is evident from this opinion (Anzilotti’s opinion in The Oscar Chinn Case). At the same time, the concept of necessity accepted in international legal relations is very restrictive. It is restrictive as regards the determination of the essential importance of the interest of the State which must be in jeopardy in order for the plea to be effective.” • Teori pengaturan State of Necessity dalam BIT Adanya State of Necessity dalam BIT memang bukan merupakan suatu pengaturan yang secara umum dimuat dalam BIT, namun dalam perkembangannya negara-negara mulai mengatur State of Necessity dalam BIT yang disepakati. Pengaturan State of Necessity dalam
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
BIT dipandang lebih menjamin kepastian hukum karena diatur dalam suatu perjanjian internasional yang diadakan secara tertulis. Pengaturan State of Necessity dalam BIT menjadi cara bagi para pihak dalam BIT untuk semakin menguatkan daya mengikat State of Necessity. Hal ini didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda atas BIT yang mengakibatkan klausul State of Necessity mengikat para pihak dalam BIT untuk melaksanakannya dengan itikad baik. State of Necessity sebagai sebuah bentuk pengecualian umum atas kewajiban-kewajiban dalam BIT merupakan sebuah mekanisme yang memberi keseimbangan antara kewajiban perlindungan penanaman modal dan hak perlindungan kepentingan esensial negara. Namun demikian, BIT yang memuat klausul State of Necessity pada umumnya tidak mengatur secara definitif mengenai syarat ataupun pembatasan terhadap keadaan-keadaan yang dapat dikategorikan sebagai State of Necessity. Para pihak diberikan fleksibilitas untuk menentukan sendiri kasus per kasus mengenai kepentingan esensial yang dipandang penting untuk dilindungi oleh para pihak. Apabila timbul sengketa berkaitan dengan penerapan ataupun interpretasi klausul State of Necessity dalam BIT, maka majelis peradilan ataupun arbitrase internasional yang memeriksa dan mengadili kasus yang bersangkutan dapat membuat penilaiannya sendiri berkaitan dengan penentuan pemenuhan keadaan State of Necessity oleh negara yang mendalilkannya. Pelanggaran atas BIT yang dikarenakan oleh State of Necessity pada dasarnya tidak secara serta merta mengakhiri atau menangguhkan keberlakuan BIT yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat melalui dua dimensi, yaitu berdasarkan hukum perjanjian internasional dan hukum tanggung jawab negara. Berdasarkan dimensi hukum perjanjian internasional, pelanggaran utama terhadap suatu perjanjian bilateral oleh salah satu pihak memberikan hak pada pihak lainnya untuk memajukan pelanggaran itu sebagai dasar untuk mengakhiri perjanjian atau menangguhkan pelaksanaan perjanjian tersebut seluruhnya atau sebagian. Namun demikian, ILC menegaskan bahwa adanya pelanggaran sebuah perjanjian tidak secara langsung (ipso facto) mengakhiri atau menangguhkan perjanjian tersebut. Jika memang salah satu pihak dalam BIT telah melakukan pelanggaran utama terhadap BIT yang dikarenakan adanya State of Necessity, maka pihak lainnya dapat mengakhiri ataupun menangguhkan perjanjian yang dilanggar melalui prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 65 VCLT 1969: Selain itu, pengakhiran atau penangguhan BIT karena adanya State of Necessity hanya terbatas pada dua bentuk pelanggaran utama perjanjian, yakni: i) penolakan perjanjian yang tidak diberikan sanksi oleh VCLT 1969 dan ii) pelanggaran terhadap suatu ketentuan yang esensial untuk memenuhi maksud atau tujuan dari suatu perjanjian. Apabila State of Necessity tidak mengakibatkan terjadinya dua bentuk pelanggaran utama tersebut, maka para pihak tidak dapat mengajukan pelanggaran yang terjadi sebagai dasar untuk mengakhiri atau menangguhkan pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan dimensi hukum tanggung jawab negara, akibat penerapan State of Necessity terhadap keberlakuan BIT dirumuskan dalam Pasal 27 (a) Draft Articles on State Responsibility. Namun demikian, Pasal 27 (a) Draft Articles on State Responsibility yang disusun dengan klausul “without prejudice to” tidak memberikan suatu kepastian yang jelas karena ada kemungkinan bahwa State of Necessity dapat mengakibatkan pengakhiran kewajiban internasional yang dilanggar. Hal ini terutama dapat terjadi pada pelanggaran kewajiban-kewajiban internasional yang berasal dari BIT. Negara yang dirugikan oleh pelanggaran utama dari suatu BIT dapat memilih untuk mengakhiri BIT yang bersangkutan dengan melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam Pasal 65 VCLT 1969. Sebaliknya, negara yang dirugikan juga dapat memilih untuk mengembalikan atau memulihkan pelaksanaan kewajiban-kewajiban dalam BIT sesuai dengan kesepakatan. Adanya penerapan klausul State of Necessity dalam BIT juga sangat berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk memberikan perbaikan (reparation) atas setiap kerugian yang ditimbulkan, baik berupa kerugian secara materiil maupun secara moral. Bentuk reparation
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
yang harus dipenuhi oleh negara yang bertanggung jawab akan bergantung pada permintaan dari negara yang dirugikan berdasarkan notifikasi tuntutan yang diberikan oleh negara yang dirugikan kepada negara yang bertanggung jawab. Jika tindakan suatu negara yang melanggar kewajiban internasional tertentu dapat dimaklumi dengan adanya pembelaan State of Necessity, maka seharusnya tidak ada lagi kewajiban untuk memberikan reparation. Namun demikian, adanya keadaan State of Necessity ternyata tidak memberikan suatu kepastian bahwa keadaan-keadaan tersebut dapat secara langsung mengakibatkan negara yang bertanggung jawab bebas dari kewajiban pemberian reparation terhadap negara yang dirugikan. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 (b) Draft Articles on State Responsibility.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan yang bersifat normatif. Dengan metode ini, maka data-data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data-data yang berupa tulisan-tulisan yang terdiri dari: • Bahan hukum primer Bahan hukum primer yang digunakan yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat antara lain: Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, International Law Commission Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001, dan konvensi-konvensi internasional lain yang terkait. • Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang dimaksud merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks, travaux préparatoires dari ILC, jurnal, majalah, surat kabar, artikel ilmiah, makalah, dan skripsi. • Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang digunakan berupa kamus. Bahan hukum tersier ini merupakan bahan penunjang yang digunakan untuk memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Penelitian hukum ini akan menggambarkan seteliti mungkin mengenai penerapan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian evaluatif yakni bahwa peneliti berusaha untuk memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. Adapun penelitian evaluatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk menilai penerapan State of Necessity yang telah diatur dalam ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. Pengumpulan data dengan menggunakan metode studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri berbagai bahan pustaka hukum yang berkaitan dengan penerapan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty. Menurut tujuannya, tipe penelitian ini adalah fact finding dan problem finding yakni untuk menemukan fakta-fakta yang terjadi dan menemukan sumber permasalahan mengenai penerapan State of Necessity dalam Bilateral Investment Treaty.
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembahasan penerapan State of Necessity dalam BIT pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sebuah kasus yang melibatkan LG&E Energy Corp., LG&E Capital Corp., dan LG&E International Inc. (“LG&E”) sebagai pihak yang mengajukan tuntutan dan Republik Argentina (“Argentina”) sebagai pihak yang dituntut. Analisis dilakukan dengan mengaitkan permasalahan hukum dalam kasus dengan dua teori utama yang telah dipaparkan pada tinjauan teoritis. Pada kasus tersebut, LG&E merupakan korporasi asing yang melakukan investasi di Argentina dengan menjadi pemegang saham pada tiga perusahaan distribusi gas nasional Argentina, yakni: Distribuidora de Gas del Centro (“Centro”), Distribuidora de Gas Cuyana S.A. (“Cuyana), dan Gas Natural BAN S.A. (“GasBan”). Argentina mengalami krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an yang ditandai dengan penurunan drastis dari Gross Domestic Product (“GDP”) Argentina, tingkat konsumsi privat dan pelaksanaan kegiatan investasi yang semakin memburuk, penurunan nilai aset-aset yang berada di Argentina, serta pengangguran dan tingkat kemiskinan yang semakin meningkat. Pemerintah Argentina telah melakukan tindakan yang sangat merugikan LG&E selama masa krisis ekonomi tersebut. Pemerintah Argentina melakukan penundaan pelaksanaan penyesuaian tarif untuk pertama kalinya pada 6 Januari 2000 dalam Acta Acuerdo. Oleh karena keadaan ekonomi Argentina semakin memburuk, Pemerintah Argentina kemudian melakukan masa penundaan penyesuaian tarif yang kedua melalui Decree No.669/00 pada 17 Juli 2000. Selanjutnya, Kongres Argentina pada 6 Januari 2002 memberlakukan the Public Emergency and Foreign Exchange System Reform Law (“the Emergency Law”) dan mencabut keberlakuan Convertibility Law. The Emergency Law secara umum mengatur mengenai: pelaksanaan penghitungan tarif atas jasa publik dalam peso, penghapusan semua ketentuan yang berkaitan dengan penyesuaian tarif dalam U.S. dollar atau mata uang asing lainnya, penghapusan semua mekanisme indexing, dan pengaturan proses renegosiasi atas perjanjianperjanjian publik dan privat untuk menyesuaikannya dengan sistem penukaran yang baru. Tindakan Pemerintah Argentina tersebut dianggap telah sangat merugikan LG&E. LG&E dalam Memorial-nya yang diajukan kepada Majelis Arbiter pada 31 Maret 2003 menuntut agar Majelis Arbiter menyatakan bahwa Argentina telah melanggar beberapa kewajiban dalam BIT Argentina-Amerika Serikat, yakni: i) Pasal II ayat (2) (a) yang memuat kewajiban pemberian perlakuan yang adil dan wajar; ii) Pasal II ayat (2) (b) yang memuat kewajiban pembebasan tindakan yang bersifat diskriminatif dan sewenang-wenang; iii) Pasal II ayat (2) (c) yang memuat pelaksanaan setiap kewajiban yang mungkin dimiliki terkait dengan investasi (The Umbrella Clause); dan iv) Pasal IV ayat (1) yang memuat kewajiban atas jaminan terhadap tindakan ekspropriasi. LG&E meminta adanya reparation berupa kompensasi atas setiap kerugian yang dialami oleh LG&E sejumlah 248 juta US$ disertai dengan bunga dan biaya-biaya selama proses Arbitrase. Argentina dalam Counter-Memorial-nya terhadap substansi perkara pada 18 Juni 2004 menolak tuntutan LG&E yang menyatakan bahwa Argentina telah melanggar kewajibankewajibannya dalam BIT Argentina-Amerika Serikat. Argentina sebagai alternatif dari pembelaannya menyatakan bahwa apabila Argentina memang terbukti melanggar kewajibankewajibannya dalam BIT Argentina-Amerika Serikat, maka tindakan pelanggaran tersebut dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XI BIT Argentina-Amerika Serikat. Argentina juga menyatakan bahwa Argentina selama masa State of Necessity juga dibebaskan atas tanggung jawab pemberian reparation atas setiap kerugian berdasarkan Pasal IV ayat (3) BIT Argentina-Amerika Serikat. Ada beberapa permasalahan hukum yang muncul terkait dengan penerapan klausul State of Necessity dalam BIT Argentina-Amerika Serikat dalam kasus tersebut. Permasalahan pertama
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
yaitu adanya pandangan mengenai sifat self-judging dari Pasal XI BIT Argentina-Amerika Serikat yang mengatur mengenai State of Necessity. Hal ini karena Pasal XI BIT ArgentinaAmerika Serikat tidak secara jelas mengatur mengenai siapa yang harus menentukan bahwa tindakan para pihak diperlukan sebagai perlindungan kepentingan keamanan yang esensial dari para pihak. Majelis Arbiter dalam kasus ini tidak secara eksplisit menegaskan penerimaan ataupun penolakan terhadap sifat self-judging dari ketentuan State of Necessity dalam BIT Argentina-Amerika Serikat. Majelis Arbiter hanya mengakui bahwa keadaan State of Necessity pada prinsipnya akan didasarkan pada pendapat subjektif negara. Kasus ini menunjukkan bahwa sekalipun BIT Argentina-Amerika Serikat telah menerapkan klausul State of Necessity, Majelis Arbiter tetap membutuhkan pandangan mengenai State of Necessity dari segi hukum kebiasaan internasional maupun prinsip umum hukum sebagaimana telah dimuat dalam Pasal 25 Draft Articles on State Responsibility dan travaux préparatoires yang dibuat oleh ILC. Adanya klausul State of Necessity dalam BIT masih dianggap begitu abstrak dan luas. Tidak ada pembatasan atau syarat-syarat yang ditentukan terhadap penerapan klausul State of Necessity dalam BIT. Adanya Pasal 25 Draft Articles on State Responsibility dan travaux préparatoires dari ILC menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Arbiter untuk mengurangi penilaian sifat self-judging dari klausul State of Necessity dalam BIT. Permasalahan kedua yaitu adanya interpretasi LG&E yang memandang bahwa klausul State of Necessity dalam BIT Argentina-Amerika Serikat hanya terbatas pada ancaman keamanan yang bersifat fisik. Majelis Arbiter secara tegas menolak pandangan LG&E tersebut. Menurut Majelis Arbiter, kondisi di Argentina pada Desember 2001 telah memaksa Argentina untuk segera bertindak mengembalikan ketertiban masyarakat dan menghentikan kemerosotan ekonomi. Majelis Arbiter menambahkan bahwa ketika dasar perekonomian sebuah negara berada di bawah ancaman yang sangat serius secara terus-menerus, ancaman tersebut dapat disamakan dengan setiap bentuk invasi militer. Pandangan LG&E tersebut juga bertentangan dengan pemahaman ILC yang dalam travaux préparatoires-nya secara tegas menolak adanya military necessity sebagai bagian dari kepentingan esensial yang hendak dilindungi oleh negara. ILC memandang bahwa military necessity cenderung digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak menghormati pembatasan dan metode-metode dalam perang. Military necessity dipandang bertentangan dengan maksud dan tujuan hukum humaniter internasional serta penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. Permasalahan ketiga adalah mengenai akibat State of Necessity terhadap kewajiban reparation. LG&E dan Argentina mengajukan dua dasar pembelaan yang berbeda dalam penentuan mengenai kewajiban reparation. LG&E mendasarkan Pasal 27 Draft Articles on State Responsibility, sedangkan Argentina mendasarkan pada Pasal IV ayat (3) BIT Argentina-Amerika Serikat. Dasar pembelaan yang diajukan LG&E pada kenyataannya tidak cukup meyakinkan Majelis Arbiter. Hal ini karena Pasal 27 Draft Articles on State Responsibility sebenarnya tidak memberikan suatu kepastian mengenai pembebasan kewajiban reparation atas penerapan State of Necessity. Ketentuan Pasal 27 (b) Draft Articles on State Responsibility hanya mengatur bahwa pengajuan State of Necessity dilakukan tanpa mengabaikan (“without prejudice to”) permasalahan mengenai kompensasi atas setiap kerugian materiil yang diakibatkan oleh tindakan pelanggaran yang bersangkutan. Adapun penggunaan istilah kompensasi dalam Pasal 27 (b) Draft Articles on State Responsibility pada dasarnya juga tidak berkaitan dengan kompensasi sebagai salah satu bentuk reparation sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Draft Articles on State Responsibility namun lebih dimaksudkan kepada permasalahan bahwa setidaknya ada kewajiban untuk memberikan penggantian atas setiap kerugian materiil yang secara langsung diderita akibat adanya penerapan State of Necessity. Begitu pula halnya dengan Pasal IV ayat (3) BIT Argentina-
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
Amerika Serikat yang juga tidak memberikan suatu kejelasan mengenai kewajiban reparation atas penerapan klausul State of Necessity dalam BIT. Para pihak dalam BIT dapat memutuskan untuk membayar atau justru membebaskan kewajiban pemberian reparation sepanjang keputusan tersebut dilakukan secara non-diskriminasi. Adanya ketidakpastian pengaturan mengenai kewajiban reparation terhadap penerimaan State of Necessity, baik dalam Draft Articles on State Responsibility maupun dalam BIT Argentina-Amerika Serikat, mengimplikasikan bahwa kewajiban reparation terhadap penerimaan State of Necessity juga hanya dapat ditentukan kasus per kasus. Ada kemungkinan kompensasi tersebut akan diberikan atau justru tidak ada pemberian kompensasi sama sekali, meskipun tindakan yang dilakukan suatu negara telah terbukti melanggar kewajiban-kewajiban internasional. Ketentuan dalam Draft Articles on State Responsibility maupun BIT Argentina-Amerika Serikat sama-sama memberikan fleksibilitas dan diskresi bagi majelis peradilan ataupun majelis arbitrase internasional untuk menentukan kewajiban pemberian reparation maupun kompensasi atas setiap kerugian yang diakibatkan oleh State of Necessity. Adapun permasalahan keempat adalah mengenai akibat penerapan State of Necessity terhadap keberlakuan BIT Argentina-Amerika Serikat. Permasalahan ini dapat dipandang dari dua segi yaitu segi hukum tanggung jawab negara dan segi hukum perjanjian internasional. Berdasarkan hukum tanggung jawab negara, Pasal 27 (a) Draft Articles on State Responsibility mengimplikasikan bahwa negara yang dirugikan atas penerapan State of Necessity dapat memilih untuk mengakhiri atau menangguhkan BIT yang bersangkutan atau memilih untuk memulihkan pelaksanaan kewajiban-kewajiban dalam BIT sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena dalam kasus ini pihak yang dirugikan oleh tindakan pelanggaran selama masa State of Necessity bukan merupakan sebuah negara, maka hal ini mengakibatkan semakin kecilnya kemungkinan terjadinya pengakhiran atau penangguhan atas keberlakuan BIT Argentina-Amerika Serikat. Namun demikian, pelanggaran atas kewajiban-kewajiban dalam BIT Argentina-Amerika Serikat dapat menjadi pertimbangan bagi para pihak dalam BIT, khususnya dalam kasus ini adalah Amerika Serikat, untuk melakukan pengakhiran ataupun penangguhan atas keberlakuan BIT. Berdasarkan hukum perjanjian internasional, tidak ada ketentuan dalam BIT Argentina-Amerika Serikat yang mengatur mengenai keberlakuan BIT jika terjadi pelanggaran berdasarkan State of Necessity. Argentina dalam kasus ini memang terbukti telah melakukan pelanggaran utama terhadap BIT Argentina-Amerika Serikat dengan melanggar beberapa ketentuan yang esensial untuk memenuhi maksud atau tujuan BIT. Majelis Arbiter dalam putusannya menyatakan bahwa Argentina telah melakukan pelanggaran terhadap BIT Argentina-Amerika Serikat yakni: Pasal II ayat (2) (a) mengenai perlakuan yang adil dan wajar, Pasal II ayat (2) (b) mengenai jaminan bebas dari tindakan diskriminatif, dan Pasal II ayat (2) (c) mengenai pelaksanaan setiap kewajiban yang mungkin dimiliki terkait dengan penanaman modal/The Umbrella Clause. Adanya pelanggaran utama atas BIT yang dilakukan Argentina seharusnya dapat menjadi alasan bagi Amerika Serikat untuk mengajukan pengakhiran atau penangguhan keberlakuan BIT. Namun demikian, pengakhiran BIT oleh Amerika Serikat seharusnya tidak menjadi pilihan utama dalam menanggapi tindakan Argentina yang melanggar kewajiban dalam BIT berdasarkan State of Necessity. Pandangan ini merujuk pada prinsip itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 VCLT 1969 yang menyatakan: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” Tindakan pelanggaran utama atas kewajiban-kewajiban dalam BIT Argentina-Amerika Serikat yang dilakukan Argentina selama masa State of Necessity pada dasarnya tidak didasarkan pada itikad buruk Argentina. Argentina berada dalam keadaan yang benar-benar mengancam kepentingan esensial negaranya dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu,
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
lebih tepat jika para pihak menerapkan pandangan ILC yang menyatakan bahwa State of Necessity dapat digunakan sebagai dasar penangguhan pelaksanaan perjanjian untuk sementara waktu. Apabila keadaan State of Necessity telah berakhir, maka para pihak dengan sesegera mungkin dapat kembali melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang dimuat dalam perjanjian dengan itikad baik. Selain membahas kasus tersebut, penelitian ini juga membahas pengaturan State of Necessity dalam BIT yang disepakati Indonesia. Tidak banyak BIT Indonesia yang memuat klausul State of Necessity. Sebagian besar BIT yang disepakati oleh Indonesia justru hanya memuat mengenai kewajiban para pihak untuk memberikan reparation atas setiap kerugian yang diakibatkan oleh penerapan State of Necessity. Ketentuan ini antara lain dimuat dalam Pasal 5 Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Russian Federation on The Promotion and Protection of Investments (BIT Indonesia-Rusia) yang menyatakan: “Investors of one Contracting Party whose investments in the territory of the other Contracting Party suffer losses owing to war or other armed conflict, revolution, a state of national emergency, revolt, insurrection or riot in the territory of the latter Contracting Party, shall be accorded by the latter Contracting Party a treatment, as regards restitution, indemnification, compensation or other settlement no less favorable than that which the latter Contracting Party accords to its own investors or investors of any third State, whichever is more favorable to the investors concerned.” Adapun beberapa BIT Indonesia lainnya yang juga memuat ketentuan yang identik dengan Pasal 5 BIT Indonesia-Rusia tersebut, antara lain: BIT Indonesia-China, BIT IndonesiaMalaysia, BIT Indonesia-Singapura, BIT Indonesia-Algeria, BIT Indonesia-Australia, BIT Indonesia-Belanda, BIT Indonesia-Cambodia, BIT Indonesia-Chili, BIT Indonesia-Cuba, BIT Indonesia-Czech, BIT Indonesia-Korea, BIT Indonesia-Lao People Democratic Republic, BIT Indonesia-Mesir, BIT Indonesia-Srilanka, BIT Indonesia-Sudan, BIT Indonesia-Swedia, BIT Indonesia-Syria, BIT Indonesia-Turki, BIT Indonesia-Ukraina, BIT Indonesia-Uzbekistan, BIT Indonesia-Yemen Republic, BIT Indonesia-Zimbabwe. Bentuk pengaturan klausul State of Necessity dalam BIT Indonesia juga dapat ditemukan dalam Pasal 12 Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Republic of India for The Promotion and Protection of Investments (BIT Indonesia-India) yang menyatakan: Article 12 Applicable Laws • Except as otherwise provided in this Agreement, all investments shall be governed by the laws in force in the territory of the Contracting Party in which such investments are made. • Notwithstanding paragraph 1 of this Article nothing in this Agreement precludes the host Contracting Party from taking action for the protection of its essential security interests or in circumstances of extreme emergency in accordance with its laws normally and reasonably applied on a nondiscriminatory basis. Selain itu, BIT Indonesia-India juga mengatur mengenai kewajiban reparation atas penerapan State of Necessity yakni pada Pasal 6 yang menyatakan:
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
“Investors of one Contracting Party whose investments in the territory of the other Contracting Party suffer losses owing to war or other armed conflict, a state of national emergency or civil disturbances in the territory of the latter Contracting Party shall be accorded by the latter Contracting Party treatment, as regards restitution, indemnification, compensation or other settlement, no less favourable than that which the latter Contracting Party accords to its own investors or to investors of any third state. Resulting payments shall be freely transferable.” BIT Indonesia-India memuat ketentuan-ketentuan mengenai State of Necessity yang lebih komprehensif dibandingkan dengan BIT Indonesia-Rusia dan beberapa BIT Indonesia lainnya. Selain memberikan hak kepada para pihak dalam BIT untuk melindungi kepentingan esensial negara, BIT Indonesia-India juga mengatur mengenai akibat pelaksanaan perlindungan kepentingan negara yang esensial terhadap kewajiban pemberian reparation. Indonesia dalam kedudukannya sebagai negara penerima modal masih sangat membutuhkan pengaturan State of Necessity dalam BIT yang disepakati. Adanya pengaturan State of Necessity dalam BIT dapat menjadi suatu tindakan pencegahan atas risiko kerugiankerugian tertentu yang mungkin disebabkan oleh adanya ancaman bahaya yang sangat serius dan mungkin segera terjadi terhadap kepentingan esensial negara. Bukan tidak mungkin Indonesia di masa mendatang mengalami keadaan-keadaan yang mengancam kepentingan esensial negara seperti krisis ekonomi, politik, dan sosial yang dialami oleh Argentina. Indonesia secara historis bahkan pernah mengalami keadaan-keadaan yang tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami oleh Argentina. Jika suatu saat Indonesia menghadapi ancaman bahaya yang serius terhadap kepentingan esensial negara, maka Indonesia tentu saja akan mengutamakan terlebih dahulu penyelamatan kepentingan esensial negara dibandingkan dengan akibat-akibat yang akan terjadi pada para investor asing yang menanamkan modal di Indonesia. Dengan adanya klausul State of Necessity dalam BIT, Indonesia dapat mengajukan pembelaan State of Necessity dan meminimalkan tanggung jawabnya atas pelaksanaan hak negara untuk melindungi kepentingan yang dipandang fundamental bagi negara. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa State of Necessity telah diterima dalam hukum internasional sebagai keadaan yang dapat menyampingkan pelaksanaan tanggung jawab negara. Bentuk penerimaan State of Necessity dalam hukum internasional adalah sebagai hukum kebiasaan internasional maupun prinsip umum hukum. Adapun ILC yang ditugaskan untuk mengembangkan dan mengodifikasikan hukum tanggung jawab negara merefleksikan penerimaan State of Necessity dalam hukum internasional melalui penyusunan Pasal 25 Draft Articles on State Responsibility dan pemaparan dalam travaux préparatoiresnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa State of Necessity dalam suatu BIT telah diterapkan dalam praktik negara. Hal ini secara nyata diperlihatkan dalam kasus LG&E Energy Corp., LG&E Capital Corp., LG&EInternational Inc. v. Argentine Republic. Majelis Arbiter dalam kasus tersebut membebaskan Argentina dari pelaksanaan tanggung jawabnya terhadap LG&E selama masa terjadinya State of Necessity di Argentina, termasuk pembebasan dari kewajiban reparation. Adapun penelitian mengenai praktik pengaturan klausul State of Necessity dalam BIT yang disepakati oleh Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih kurang mempertimbangkan keseimbangan antara jaminan-jaminan perlindungan penanaman modal yang diberikan dalam BIT dan hak negara untuk memberikan perlindungan atas kepentingan-kepentingan negara yang esensial. Saran
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang dapat diberikan yakni: (1) perlu adanya pengadopsian hukum tanggung jawab negara dan secara khusus State of Necessity dalam suatu perjanjian multilateral yang mengikat negara-negara. Selain itu, perlu adanya pengaturan yang lebih spesifik mengenai penerimaan State of Necessity karena selama ini terdapat beberapa pengaturan yang masih begitu kabur, misalnya: pembatasan atas kepentingan esensial yang dapat diajukan oleh negara, akibat State of Necessity terhadap keberlakuan kewajiban-kewajiban yang dilanggar, dan akibat State of Necessity terhadap kewajiban reparation. Adanya pengaturan State of Necessity yang lebih spesifik bertujuan untuk meminimalkan pandangan bahwa State of Necessity bersifat subjektif dan mencegah penggunaan State of Necessity oleh negara secara sewenang-wenang. (2) jika Indonesia menempatkan kedudukannya sebagai negara penerima modal, maka BIT yang disepakati Indonesia seharusnya lebih mempertimbangkan pengaturan klausul State of Necessity. Hal ini sebagai tindakan pencegahan atas risiko kerugian-kerugian tertentu yang mungkin disebabkan oleh adanya ancaman bahaya yang sangat serius dan mungkin segera terjadi terhadap kepentingan esensial negara. Bukan tidak mungkin Indonesia di masa mendatang menghadapi keadaan-keadaan yang mengancam kepentingan esensial negara dan memaksa Indonesia melakukan tindakan pelanggaran atas BIT yang telah disepakati.
Daftar Referensi Cheng, Bin. General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals. London: Penerbit tidak diketahui, 1953. Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 12 Desember 2001. UN Doc A/56/49 (Vol.I)/Corr.4. Hillier, Timothy. Public International Law. Great Britain: Cavendish Publishing Limited, 1994. Malanczuk, Peter. Modern Introduction To International Law. Ed.7. London and New York: Roudledge, 1997. Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Reading, Michael R. “The Bilateral Investment Treaty In ASEAN : A Comparative Analysis”. Duke Law Jurnal. Vol.42 No.3. (Desember 1992). Shaw, Malcolm N. International Law. Ed.5. United Kingdom: Cambridge University Press, 2003. Soekanto, Soerjono. Indonesia,2010.
Pengantar
Penelitian
Hukum.
Jakarta:
Universitas
Suraputra, Sidik. Hukum Internasional Dan Berbagai Permasalahannya. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.
United Nations Conference on Trade and Development. Bilateral Investment Treaties 1995-2006: Trends in Investment Rulemaking. UNCTAD/ITE/IIT/2006/5. New York and Geneva: United Nations, 2007. United Nations. Yearbook Of The International Law Commission: Report of the Commission to the General Assembly on the work of its fifty-third session 2001. Volume II Bagian 2. UN Doc A/56/10. Vienna Convention on the Law of Treaties. Vienna. 23 Mei 1969. Yackee, Jason Webb. Sacrificing Sovereignty: Bilateral Investment Treaties, International Arbitration, And The Quest For Capital. Chapel Hill: Proquest Information and Learning Company, 2007.
Penerapan state..., Ignatia Oktavia Simorangkir, FH UI, 2013.