Penerapan Pendekatan Top-Down Approach dalam Menerjemahkan Teks Diskusi Nunun Tri Widarwati Program Studi Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Jl. Letjen. Sujono Humardani No. 1 Sukoharjo, 57512 Telp.: 0271 593156. Fax.: 0271 591065, email:
[email protected] Abstrak:Secara teori terdapat dua pendekatan yang dapat diterapkan penerjemah untuk menangani teks bahasa sumber sebelum dan pada saat mengalihkan pesannya ke dalam bahasa sasaran. Pendekatan pertama adalah pendekatan bawah-atas dimana penerjemah mulai dari tataran mikro dan berlanjut ke tataran makro. Pendekatan kedua disebut pendekatan atas-bawah dimana penerjemah mulai dari tataran tekstual dan kemudian berlanjut ke tataran yang lebih rendah. Masing-masing dari kedua pendekatan itu mempunyai kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan. Meskipun demikian, pendekatan atas-bawah lazim diterapkan dalam menerjemahkan teks berdasar genre. Namun, dalam praktiknya, pendekatan atas-bawah tidak akan dapat dilakukan dengan baik apabila penerjemah tidak memiliki kompetensi linguistik yang sangat memadai. Kata-kata Kunci: pendekatan, penerjemahan, bawah-atas, atas-bawah, tataran mikro, tataran teks,teks diskusi, kompetensi linguistik.
The Application of Top-Down Approach In Translating the Discussion Text Nunun Tri Widarwati EnglishDepartment Teacher Training and Education Fakulty, Veteran Bangun Nusantara University of Sukoharjo, 57521 Telp.: 0271 593156. Fax.: 0271 591065, email:
[email protected] Abstrac:,Theoretically speaking, there appear two approaches that a translator can apply to deal with a source text prior to and during the transfer its message into the target language. The first approach is bottom-up approach where the translator starts from the micro level and then goes on to the macro level. The second approach is top-down approach where the translator proceeds from macro to the micro level. Each of the two approaches has its own weaknesses and strenghts. Nevertheless, the top-down approach is generally practiced in rendering genre-based texts. In practices, however, the top-down approach cannot be well executed unless the translator has an adequate linguistic competence. Keywords: approach, translation, bottom-up, top-down, micro level, textual level, discussion text, linguistic competence.
255
256
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013 Pendahuluan
Dalam bukunya yang berjudul In Other Words, Mona Baker (1992) menyebutkan dua pendekatan terhadap penerjemahan, yaitu pendekatan bawah-atas (bottom-up approach) dan pendekatan atas-bawah (top-down approach). Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual yang lebih kecil dari teks (misalnya kata, frasa, klausa atau kalimat), dia menerapkan pendekatan bawah-atas. Sebaliknya, jika penerjemah mulai dari tataran yang paling tinggi, yaitu teks, dan dilanjutkan pada tataran yang lebih rendah, dia menerapkan pendekatan bawah atas (lihat Baker, 1992: 6; Harvey, Higgins, dan Haywood, 1995: 1). Masing-masing dari kedua pendekatan itu mempunyai kekuatan dan kelemahan. Baker (1992: 2), misalnya, berpendapat bahwa kedua pendekatan itu valid. Namun, dia lebih memilih pendekatan bawah-atas karena alasan-alasan pedagogik. Menurut Baker, pendekatan bawah-atas lebih mudah diterapkan atau diikuti oleh mereka yang penguasaan linguistiknya masih rendah. Karena alasanalasan yang sama, Harvey, Higgins, dan Haywood (1995: 1) juga mengadopsi pendekatan bawah-atas. Sementara itu, meskipun Newmark (1991) menyatakan bahwa kedua pendekatan itu sahih, dia cenderung berpendapat bahwa pendekatan atas-bawah lebih baik daripada pendekatan atas-bawah. Menurut Newmark (1991: 127), The second approach to translating is top to bottom, which every translation teacher recommends and the poor students follow, but perhaps few instinctive translators practice. Snell-Hornby (1995), Hatim and Mason (1990), and Kussmaul (1995) menganjurkan pendekatan atas-bawah. Snell-Hornby (1995), misalnya, mengatakan, "textual analysis, which is an essential preliminary step to translation, should proceed 'top down', from the macro to the micro level, from text to sign" (69). Pendekatan atas-bawah merupakan pendekatan yang sangat ideal, dan secara teoritis, pendekatan itu merupakan salah satu kecenderungan baru dalam studi penerjemahan, yang lebih mementingkan proses (daripada produk) pengalihan pesan satuan lingual yang paling tinggi, yaitu teks. Hasil penelitian Ruuskanen (1996) menunjukkan bahwa para penerjemah profesional menganalisis teks bahasa sumber secara komprehensif dalam hal leksikon / register, genre, gaya dan pembacanya sebelum mereka menerjemahkan teks tersebut ke dalam teks bahasa sasaran. Makalah ini membahas penerapan pendekatan atas-bawah dalam menerjemahkan dua buah teks diskusi (discussion text) yang berjudul The advantages and Disadvantages of Distance Learning (pixabay.com.) dan For Jokowi, Politics is Cultural (Jakarta Post). Sebelum pendekatan itu diterapkan akan dianalisis terlebih dahulu tujuan, fungsi sosial, fitur kebahasaan dan tata organisasi kedua teks diskusi tersebut.
Teks Diskusi: Tujuan, Fungsi Sosial, Tata Organisasi dan Fitur Kebahasaannya Sesuai dengan namanya, teks diskusi adalah teks yang memuat suatu diskusi tentang suatu isu. Pada umumnya, isu yang didiskusikan adalah isu yang sedang hangat diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya, teks diskusi acapkali dimuat di media cetak dalam bentuk editorial dan opini. Dalam teks diskusi terdapat dua sudut pandang. Sudut pandang yang satu mendukung isu yang dikemukan, sedangkan sudut pandang yang lain menentang isu
Nunun Tri Widarwati, Penerapan Pendekatan Atas Bawah…257 tersebut (Wiratno, 2003: 69). Kedua sudut pandang tersebut dikonfrontasikan oleh penulis dalam tulisannya dan selanjutnya dia menyimpulkan atau memposisikan diri apakah dia setuju ataukah tidak setuju terhadap isu yang dia kemukakan itu. Struktur teks diskusi dibangun atas empat bagian utama. Bagian pertama memuat pernyataan isu. Bagian kedua berisi argumen-argumen yang mendukung isu itu. Bagian ketiga berisi argumen-argumen yang menentang isu yang dilontarkan. Bagian keempat merupakan rekomendasi yang diwujudkan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan. Wiratno (2003: 72) mengatakan bahwa bentuk bahasa yang menandai teks diskusi adalah: (1) Teks diskusi lebih banyak menggunakan Simple Present Tense; (2) Teks diskusi mengandung kata kerja material, relasional dan mental sekaligus; (3) Teks diskusi menggunakan modalitas untuk membangun opini atau rekomendasi; dan (4) Konjungsi yang menonjol pada teks diskusi adalah konnjungsi yang menunjukkan kontras, seperti but, however, on the other hand dan in contrast. Konjungsi yang seperti itu digunakan untuk mempertentangkan dua gagasan yang berlawanan yang mewakili masing-masing sudut pandang.
Analisis Teks Analisis Teks 1: The Advantages and Disadvantages of Distance Learning. Dari judulnya dapat diketahui bahwa Teks 1 merupakan teks diskusi. Disebut demikian karena judul teks tersebut secara eksplisit menunjukkan dua pandangan yang saling bertentangan perihal belajar jarak jauh. Struktur teksnya juga mengindikasikan bahwa teks tersebut merupakan teks diskusi. Bagian pertama atau bagian awal teks itu merupakan pernyataan isu tentang belajar jarak jauh (distance learning). Bagian kedua memuat argumen yang mendukung belajar jarak jauh. Sebaliknya, bagian ketiga memuat sudut pandang yang berbeda, yang tidak setuju dengan belajar jarak jauh. Bagian akhir merupakan rekomendasi yang diberikan oleh penulis teks diskusi tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, teks diskusi lebih banyak menggunakan simple present tense. Fenomena tersebut juga ditemukan dalam teks 1. Hanya kalimat pertama pada teks 1 menggunakan simple past tense sedangkan yang lainnya menggunakan kalimat simple present tense. Ditinjau dari transtivitasnya, teks 1 mengandung kata kerja relasional (dicetak miring), kata kerja material (dicetak tebal) dan kata kerja mental (dicetak miring dan tebal). Di samping itu digunakan pula modalitas untuk membangun opini atau rekomendasi seperti would, may. Penggunaan konjungsi yang menunjukkan kontras, seperti but, however, despite merupakan penanda lainnya bahwa teks 1 adalah teks diskusi. Tabel 1. The advantages and Disadvantages of Distance Learning Pernyataan Isu
Argumen Mendukung
A few years ago, distance learning was seen as an inferior way but nowadays even famous and established traditional colleges and universities are providing distance learning courses and it is generally considered a way to improve one's life. However, people still argue whether distance learning give more advantage or disadvantage. Some of them who see the benefit of distance
258
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013
Argumen Menentang
Kesimpulan / Rekomendasi
learning will say that distance learning needs no commuting. Of course it saves money and time that students would take. Furthermore, distance learning can be done at any student’s convenience. Mostly of the classes of distance learning are asynchronous. It means that students do not have to attend a lecture at a fixed particular time and place. Students can review the assignments and do their homework during off-hours or from home. Additionally, distance learning gives more accessibility. No one can denyit. People with limited mobility may encounter the problem when they take traditional class. With the online class system, the problem is absent. Despite the many advantages, the other people will see that distance learning is costly and needs complex technology. To attend online learning, student must have a computer with possibly access to the internet. Admitted or not, such technology devices are not always available for common students. Another disadvantage of distance learning is that it does not provide immediate feedback. Unlikely traditional classroom, students have to wait for the feedback and comment until the instructor has review the works and sent response to them. Most of the time students will study alone. Distance learners may feel isolated or miss that social physical interaction that comes with attending a traditional classroom. Regarding the individual’s learning style, some students are able to learn when there is a live interaction between them and the available of accompanying teacher while others don’t really need it. So before deciding a choice of attending distance learning or not, each student needs to do a fair analysis regarding the kind of person he/she is.
Analisis Teks 2: For Jokowi, Politics is Cultural. Seperti halnya teks 1, judul teks 2 menunjukkan bahwa teks 2 juga merupakan teks diskusi, yang mengandung dua pandangan yang saling bertentangan walaupun hal itu dinyatakan secara implisit. Pernyataan For Jokowi, Politics is Cultural dapat dipertentangkan dengan For Others, Politics Is Not Cultural. Struktur teksnya juga mengindikasikan bahwa teks tersebut merupakan teks diskusi. Bagian pertama atau bagian awal teks itu merupakan pernyataan isu tentang bahasa tubuh Jokowi ketika dia mencium tangan Megawati. Di satu sisi, mencium tangan tersebut dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Jawa, yaitu menunjukkan rasa hormat pada yang lebih tua. Di sisi lain, bahasa tubuh yang dipahami sebagai pendekatan pragmatis Jokowi terhadap Megawati dalam meminta ijin untuk maju sebagai calon presiden di pemilu 2014. Bahkan cara yang demikian tidak tepat dipandang dari nilai-nilai demokrasi. Pada bagian akhir teks 2, penulis menyimpulkan bahwa bahasa tubuh yang dipraktikkan oleh Jokowi merupakan cara yang tepat dalam mengambil hati pimpinannya di partai. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, teks diskusi lebih banyak menggunakan simple present tense. Fenomena tersebut juga terjadi pada teks 2.Dikatakan demikian karena dalam teks 2 kehadiran simple present sangat dominan meskipun penulis teks tersebut juga menggunakan banyak simple past tense untuk menggambarkan hal-hal terkait yang telah dilakukan oleh Jokowi ketika menjabat sebagai walikota Solo. Ditinjau dari transtivitasnya, teks 1 mengandung kata kerja relasional (dicetak miring), kata kerja material (dicetak tebal) dan kata kerja mental (dicetak miring dan tebal). Di samping itu digunakan pula modalitas untuk membangun opini atau rekomendasi seperti should.
Nunun Tri Widarwati, Penerapan Pendekatan Atas Bawah…259 Penggunaan konjungsi yang menunjukkan kontras, seperti but merupakan penanda lainnya bahwa teks 1 adalah teks diskusi. Tabel 2. For Jokowi, Politics is Cultural Pernyataan Isu
Argumentasi Mendukung
Jakarta Post. Democracy is culturally bounded and it is true that the system of democracy includes universal principles and procedures, but to understand how power and politics operate within the system, we should include rites, gestures and styles for instance, as part of customs in a particular society. Cultural rites form part of the gestures of the most-liked contemporary politician, Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo. Many who observed Jokowi kissing the hand of former president and party chairperson Megawati Soekarnoputri in the recent 41st anniversary of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) speculated on its political significance ahead of the 2014 general election. Jokowi emphasized his gesture was merely part of the customary expression of deep respect for elders, and, therefore, should not be politically interpreted. The gesture should not be hastily associated with his probable presidential bid. However, I find that such a cultural gesture is inherent in Jokowi’s rites to acquire and maintain power and legitimacy. Jokowi has only been able to generate his political career on the national stage due to his previous achievements as Surakarta mayor. Surakarta, or Solo, is known as the Javanese heartland, the home of the Mataram dynasty, but more importantly as a major representation of the way of life of the common Javanese. For the Javanese, showing respect is a key element in maintaining social harmony. Within the tradition of the priayi, those considered the cultured elite, such gestures of respect are part of commoners’ obligations to the power holders and elite class in general. But since his political career in Solo, Jokowi has managed to exploit the cultural approach, demonstrating that the leader should also bestow respect on commoners. His much-cited source of popularity in Solo was when as mayor he managed to peacefully relocate die-hard vendors around the Banjarsari monument. There were hidden negotiations with informal actors. Residents cited his commitment to hold an unprecedented series of dialogs with the street vendors and even invited them for dinners to engage them in the process. He maintained such a deliberative style during the mayoralty, as he conducted mider projo, routine visits and talking to residents and many more rites to express his respect for the commoners. Jokowi is applying a similar approach in his impromptu visits known as blusukan, to break the ice in relations with city officials and residents. In Javanese norms, those rites are dubbed nguwongke uwong, treating a person as a person, an idiom of respect to the other. This is a cultural element of respect that Jokowi inserts in the practice of democracy in Solo and Jakarta. And by inserting the cultural element, he undoubtedly wins the hearts of large segments of Indonesians. Jokowi applies the above attitude in the entire political relations he
260
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013
Argumentasi Menentang
Kesimpulan /Rekomendasi
develops. Politics is a power game and Jokowi knows well that Indonesian politics is dominated by the culture of hierarchy, where paying respect to the elders and principals at the top of the pyramid of power, including potential rivals, is an effective strategy for winning the game. Those who observe democracy and power from liberal values would be cynical about the gesture of Jokowi kissing his chairperson’s hand, which goes against egalitarianism and reflects the oligarchic structure of power. But those seeing politics through rational choices would say that Jokowi is basically applying a pragmatic approach for the sake of his ambitions for the PDI-P presidential nomination. Regardless of such debates, for Jokowi, politics is cultural. Here, Jokowi adopted a culture of respect that he learned mainly as a Javanese commoner. His cultural awareness of nguwongke uwong is somewhat natural rather than constructed for his political career, though it can also be seen as part of his strategy to win the PDI-P presidential nomination. Though such cultural awareness may not fit well with the universal principles of egalitarianism required for an ideal democracy, his personality has nevertheless fascinated the hearts of the people. And for his party boss Megawati, it seems only a matter of time before she announces publicly that Jokowi’s attitude has stolen her political heart.
Penerjemahan Teks Diskusi 1 dan 2 dengan Pendekatan Atas-Bawah Nord (1994) menyebutkan ke lima langkah dalam menerapkan pendekatan atas-bawah. Ke lima langkah tersebut adalah:Langkah 1: Masalah yang timbul dalam penerjemahan (misalnya ungkapan idiomatis) dianalisis dalam kaitannya dengan fungsinya dalam teks dan situasi budaya bahasa sasaran.Langkah 2: Selanjutnya, penerjemah membuat keputusan apakah terjemahan harus disesuaikan norma-norma dan kebiasaan budaya sasaran (domesticating) ataukah mempertahankan budaya teks bahasa sumber di dalam teks bahasa sasaran (foreignizing). Keputusan ini menyangkut strategi penerjemahan dalam mengatasi persoalan ketaksepadanan atau ketakterjemahan (karena faktor linguistik atau ekstralinguistik) melalui penambahan (addition) dan penghilangan (deletion) informasi, penyesuasian struktur (structural adjustment) dan pergeseran tataran (rank shift).Langkah 3: Keputusan tersebut akan membatasi penerjemah dalam menggunakan piranti linguistik.Langkah 4: Dari piranti linguistik yang terbatas itu, penerjemah memilih satu piranti yang sesuai konteks tertentu, seperti tipe teks, register, gaya dsb.Langkah 5: Jika masih ada pilihan dari beberapa piranti linguistik yang tersedia, penerjemah memutuskan satu piranti yang paling sesuai. Kelima langkah dalam pendekatan atas-bawah tersebut diterapkan dalam menerjemahkan kedua teks diskusi di bawah ini. Dan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pendekatan atas-bawah dimulai dari tataran makro dan berlanjut ke tataran mikro. Analisis pada tataran makro sudah dilakukan dan bertujuan untuk mengidentifikasikan tujuan, fungsi sosial, struktur teks dan bentuk kebahasaan pada kedua teks sumber tersebut. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kedua teks sumber itu adalah teks diskusi.
Nunun Tri Widarwati, Penerapan Pendekatan Atas Bawah…261 Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan dari Perkuliahan Jarak Jauh Pernyataan Isu
A few years ago, distance learning was seen as an inferior way but nowadays even famous and established traditional colleges and universities are providing distance learning courses and it is generally considered a way to improve one's life.
Argumen Mendukung
However, people still argue whether distance learning give more advantage or disadvantage. Some of them who see the benefit of distance learning will say that distance learning needs no commuting. Of course it saves money and time that students would take. Furthermore, distance learning can be done at any student’s convenience. Mostly of the classes of distance learning are asynchronous. It means that students do not have to attend a lecture at a fixed particular time and place. Students can review the assignments and do their homework during off-hours or from home. Additionally, distance learning gives more accessibility. No one can deny it. People with limited mobility may encounter the problem when they take traditional class. With the online class system, the problem is absent.
Argumen Menentang
Despite the many advantages, the other people will see that distance learning is costly and needs complex technology. To attend online learning, student must have a computer with possibly access to the internet. Admitted or not, such technology devices are not always available for common students. Another disadvantage of distance learning is that it does not provide immediate feedback. Unlikely traditional classroom, students have to wait for the feedback and comment until the instructor has review the works and sent response to them. Most of the time students will study alone. Distance learners may feel isolated or miss that social physical interaction that comes with attending a traditional classroom
Kesimpulan / Rekomendasi
Regarding the individual’s learning style, some students are able to learn when
Beberapa tahun yang lalu, perkuliahan jarak jauh dipandang sebagai cara yang mutunya rendah tetapi akademi-akademi dan universitas tradisional yang sudah mapan menyediakan perkuliahan jarak jauh dan pada umumnya perkuliahan jarak jauh dianggap suatu cara untuk meningkatkan kehidupan seseorang. Akan tetapi, orang-orang masih mempertanyakan apakah perkuliahan jarak jauh memberikan keuntungan lebih atau merugikan. Beberapa dari mereka yang melihat adanya manfaat dari perkuliahan jarak jauh akan mengatakan bahwa perkuliahan jarak jauh tidak mengharuskan mahasiswa bolak balik ke kampus. Tentu, perkuliahan jarak jauh menghemat uang dan waktu mahasiswa. Lagi pula, perkuliahan jarak jauh dapat dilakukan kapan dan dimana saja yang dirasa nyaman oleh mahasiswa. Sebagian besar perkuliahan jarak jauh dilakukan tidak serempak. Itu berarti mahasiswa tidak harus mengikuti perkuliahan pada waktu dan tempat tertentu yang sudah ditetapkan. Para mahasiswa dapat mencermati tugastugas dan tugas rumah mereka di luar jam kerja atau dari rumah. Di samping itu, perkuliahan jarak jauh memberi aksesibilitas lebih. Tak seorangpun dapat mengingkarinya. Orang-orang yang memiliki mobilitas yang terbatas akan menghadapi masalah jika mereka mengambil kelas tradisional. Dengan sistem online, masalah tersebut tidak ada. Terlepas dari keuntungan-keuntungan yang diberikannya, ada orang-orang yang memandang bahwa perkuliahan jarak jauh mahal dan membutuhkan teknologi yang rumit. Untuk mengikuti perkuliahan secara online, mahasiswa harus memiliki komputer yang bisa akses ke internet. Diakui atau tidak, perangkat teknologi yang seperti itu tidak selalu tersedia bagi para mahasiswa jelata. Hal tidak menguntungkan lainnya dari perkuliahan jarak jauh adalah tidak adanya umpan balik langsung. Tidak seperti perkuliahan tradisional, mahasiswa harus menunggu umpan balik dan komentar setelah pengajar mengulas tugas-tugas mahasiswa dan mengirimkan tanggapannya kepada mereka. Sebagian besar waktu belajar mahasiswa dihabiskan seorang diri. Mahasiswa yang mengambil perkuliahan jarak jauh bisa merasa terisolir atau kehilangan interaksi fisik sosial, yang dapat mereka peroleh di perkuliahan tradisional. Terkait dengan gaya belajar seseorang, beberapa mahasiswa dapat belajar ketika
Pernyataan Isu
Argumen Mendukung
Argumen Menentang
Kesimpulan / Rekomendasi
262
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013 there is a live interaction between them and the available of accompanying teacher while others don’t really need it. So before deciding a choice of attending distance learning or not, each student needs to do a fair analysis regarding the kind of person he/she is.
ada interaksi langsung di antara mereka dan ketersediaan dosen yang mendampingi sedangkan beberapa di antara mereka tidak membutuhkan hal itu. Jadi, sebelum memutuskan apakah mengambil perkuliahan jarak jauh ataukah tidak, masing-masing mahasiswa perlu melakukan analisis yang adil perihal orang kayak apa dia.
Kemudian analisis dilanjutkan pada tataran mikro. Pada tahap ini ditemukan banyak masalah dalam hal pemadanan pada tataran kata dan frasa. Pada judul teks 1, misalnya, terdapat frasa distance learning, yang bisa dipadankan dengan belajar jarak jauh. Akan tetapi, penulis memutuskan untuk menerjemahkannya menjadi perkuliahan jarak jauh. Alasannya adalah kata belajar terlalu umum. Padahal secara eksplisit frasa distance learning itu digunakan dalam konteks perguruan tinggi (akademi dan universitas). Hal tersebut sesuai dengan konteks pendidikan jarak jauh di Indonesia yang hanya ditemukan pada tingkat akademi dan universitas. Masalah lain yang muncul terkait dengan pemadanan kata advantages dan disadvantages pada judul teks 1. Kedua kata tersebut dapat dipadankan menjadi keuntungan dan ketidakuntungan atau kelebihan dan kekurangan atau kekuatan dan kelemahan. Dari tiga alternatif itu, penulis memutuskan untuk memilih padanan kelebihan dan kekurangan karena dalam teks 1 dijelaskan kelebihan-kelebihan dan kekurangankekurangan dari perkuliahan jarak jauh. Kasus lainnya terjadi pada kata commuting. Dalam kamus Inggris-Indonesia (Echols dan Shadily) kata commuting diartikan menjadi pulang pergi kerja. Padahal, dalam teks 1, yang diperbincangkan bukan masalah kerja tetapi masalah perkuliahan. Oleh sebab itu, penulis memutuskan untuk memadankannya dengan bolak-balik ke kampus, agar sesuai dengan konteks situasinya. Kasus yang hampir sama terjadi pada kata teacher yang dipadankan dengan dosen bukan guru. Dalam teks 1 terdapat tiga istilah teknis di bidang teknologi komputer, yaitu online, internet dan access. Ketiga istilah tersebut belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu penulis memutuskan untuk mempertahankan ketiga istilah itu dalam teks terjemahan dengan menerapkan teknik peminjaman. Penulis berkeyakinan bahwa penggunaan ketiga istilah asing tersebut tidak akan mempersulit pembaca dalam memahami teks terjemahan karena ketiga istilah tersebut sudah akrab bagi sebagian besar pembaca sasaran. Pemadanan pada tataran teks juga dilakukan pada teks 2. Penulis tetap mempertahankan tujuan, fungsi sosial dan struktur teks tersebut sebagai teks diskusi dalam teks terjemahan.Penulis mengorientasikan terjemahannya pada sistem, budaya dan norma yang berlaku dalam bahasa sasaran dengan cara mempertahan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa, yang pada umumnya sudah akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan pada kata gesture. Dalam menerjemahkan teks 2, penulis banyak menerapkan teknik transposisi agar terjemahan terasa alamiah dan dapat dipahami dengan mudah. Frasa His much-cited source of popularity in Solo diterjemahkan menjadi Sumber popularitasnya di Solo, yang banyak disitir. Demikian pula kata mayorality pada frasa during the mayorality mengalami pergeseran dari tataran kata menjadi tataran frasa kepemimpinannya sebagai walikota.
Nunun Tri Widarwati, Penerapan Pendekatan Atas Bawah…263 Tabel 4. Bagi Jokowi, Politik Terkait Erat dengan Budaya Pernyataan Isu
Argumentasi Mendukung
Jakarta Post. Democracy is culturally bounded and it is true that the system of democracy includes universal principles and procedures, but to understand how power and politics operate within the system, we should include rites, gestures and styles for instance, as part of customs in a particular society. Cultural rites form part of the gestures of the most-liked contemporary politician, Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo. Many who observed Jokowi kissing the hand of former president and party chairperson Megawati Soekarnoputri in the recent 41st anniversary of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) speculated on its political significance ahead of the 2014 general election. Jokowi emphasized his gesture was merely part of the customary expression of deep respect for elders, and, therefore, should not be politically interpreted. The gesture should not be hastily associated with his probable presidential bid. However, I find that such a cultural gesture is inherent in Jokowi’s rites to acquire and maintain power and legitimacy.
Jokowi has only been able to generate his political career on the national stage due to his previous achievements as Surakarta mayor. Surakarta, or Solo, is known as the Javanese heartland, the home of the Mataram dynasty, but more importantly as a major representation of the way of life of the common Javanese. For the Javanese, showing respect is a key element in maintaining social harmony. Within the tradition of the priayi, those considered the cultured elite, such gestures of respect are part of commoners’ obligations to the power holders and elite class in general. But since his political career in Solo, Jokowi has managed to exploit the cultural approach, demonstrating that the leader should also bestow respect on commoners. His much-cited source of popularity in
Jakarta Post. Demokrasi terkait erat dengan budaya dan benar bahwa sistem demokrasi memasukkan prosedur dan prinsip-prinsip universal. Namun, untuk memahami cara kerja kekuasaan dan politik, kita harus memasukkan tatacara, gestur dan gaya, misalnya, sebagai bagian dari adat istiadat dalam masyarakat tertentu Tatacara budaya membentuk bagian dari bahasa tubuh dari politisi yang paling disukai sekarang ini, Gubernur Jakarta Joko “Jokowi” Widodo
Pernyataan Isu
Banyak orang yang mengamati Jokowi yang mencium tangan mantan presiden dan ketua PDI-P, Megawati Soekarnoputri di hari ulang tahun ke – 41 PDI-P baru-baru ini berspekulasi perihal arti politis ciuman tersebut menjelang pemilu 2014
Argumen Mendukung
Jokowi menekankan bahwa gesturnya hanyalah bagian dari ungkapan adat istiadat tentang rasa hormat yang tinggi terhadap orang-orang yang dituakan, dan oleh sebab itu, tidak perlu ditafsirkan secara politis. Gestur tersebut seharusnya tidak dihubungkan secara tergesa-gesa dengan kemungkinan pencalonannya sebagai presiden. Namun, menurut saya, gestur budaya yang seperti itu merupakan sifat yang melekat dari tatacara Jokowi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaaan dan legitimasi. Jokowi telah mampu membangkitkan karier politiknya pada tingkat nasional karena prestasi-prestasi yang dia capai sebelumnya sebagai walikota Surakarta. Surakarta atau Solo dikenal sebagi negeri masyarakat Jawa, tanah dinasti Mataram, tetapi yang lebih penting lagi sebagai representasi utama dari pandangan hidup masyarakat Jawa jelata. Bagi masyarakat Jawa, menunjukkan sikap hormat merupakan unsur utama dalam menjaga harmoni sosial. Dalam tradisi para priayi, orang-orang yang dipandang kaum elit secara budaya, gestur rasa hormat yang seperti itu merupakan bagian dari kewajiban masyarakat jelata kepada pemangku kekuasaan dan kelas elite pada umumnya. Namun, sejak karier politiknya di Solo, Jokowi telah berhasil mengeksploitasi pendekatan budaya, menunjukkan bahwa pemimpin seharusnya juga memberi rasa hormat kepada raknyat jelata. Sumber popularitasnya di Solo, yang banyak disitir banyak pihak adalah ketika sebagai walikota dia berhasil merelokasi secara damai para pedagang kaki lima, yang kuat bertahan, di sekitar monumen Banjarsari. Ada negosiasi terselubung dengan para aktor atau pemimpin informal. Penduduk setempat memuji
264
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013 Solo was when as mayor he managed to peacefully relocate die-hard vendors around the Banjarsari monument. There were hidden negotiations with informal actors. Residents cited his commitment to hold an unprecedented series of dialogs with the street vendors and even invited them for dinners to engage them in the process.
He maintained such a deliberative style during the mayoralty, as he conducted mider projo, routine visits and talking to residents and many more rites to express his respect for the commoners. Jokowi is applying a similar approach in his impromptu visits known as blusukan, to break the ice in relations with city officials and residents.
In Javanese norms, those rites are dubbed nguwongke uwong, treating a person as a person, an idiom of respect to the other. This is a cultural element of respect that Jokowi inserts in the practice of democracy in Solo and Jakarta. And by inserting the cultural element, he undoubtedly wins the hearts of large segments of Indonesians. Jokowi applies the above attitude in the entire political relations he develops. Politics is a power game and Jokowi knows well that Indonesian politics is dominated by the culture of hierarchy, where paying respect to the elders and principals at the top of the pyramid of power, including potential rivals, is an effective strategy for winning the game.
komitmennya untuk mengadakan serangkaian dialog, yang belum pernah terjadi selama ini, dengan pedangang kaki lima dan bahkan mengundang mereka makan malam dalam upaya melibatkan mereka dalam proses relokasi tersebut. Dia mempertahankan gaya yang tenang dan penuh kehati-hatian yang seperti itu selama kepemimpinannya sebagai walikota, ..dia melakukan minder projo, kunjungan rutin dan berdialog dengan penduduk dan masih banyak lagi tatacara untuk mengungkapkan rasa hormatnya kepada masyarakat jelata. Jojkowi menerapkan pendekatan serupa dalam kunjungan-kunjungan mendadaknya yang dikenal sebagai blusukan, untuk memecah kebekuan hubungan dengan para pejabat kota dan penduduk. Dalam norma-norma masyarakat Jawa, tatacara-tatacara tersebut dijuluki nguwongke uwong, memperlakukan orang sebagai manusia, sebuah ungkapan idiomatis untuk menujukkan sikap menghormati orang lain. Itulah unsur budaya rasa hormat yang disisipkan oleh Jokowi dalam mempraktikkan demokrasi di Solo dan Jakarta. Dan dengan menyisipkan unsur budaya tersebut, dia telah berhasil memikat hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Jokowi menerapkan sikap di atas dalam keseluruhan hubungan politik yang dia bangun. Politik merupakan permainan kekuasaan dan Jokowi mengetahui betul bahwa politik Indonesia didominasi oleh budaya hierarki, dimana memberi rasa hormat kepada yang dituakan dan para pimpinan puncak piramida kekuasaan, termasuk kepada lawan-lawan politik, merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan permainan.
Argumentasi Menentang
Those who observe democracy and power from liberal values would be cynical about the gesture of Jokowi kissing his chairperson’s hand, which goes against egalitarianism and reflects the oligarchic structure of power. But those seeing politics through rational choices would say that Jokowi is basically applying a pragmatic approach for the sake of his ambitions for the PDI-P presidential nomination.
Mereka yang memandang demokrasi dan kekuasaan dari nilai-nilai liberal akan bersikap sinis terhadap gestur Jokowi yang mencium tangan ketua partainya, yang bertentangan dengan egalitarianisme dan mencerminkan struktur kekuasaan yang oligarki. Namun, orang-orang yang memandang politik melalui pilihan-pilihat yang rasional akan berkata bahwa pada dasarnya Jokowi sedang menerapkan pendekatan pragmatis demi ambisinya dalam pencalonan dirinya sebagai capres dari PDI-P.
Argumen Menentang
Kesimpulan /Rekomendasi
Regardless of such debates, for Jokowi, politics is cultural. Here, Jokowi adopted a culture of respect
Terlepas dari perdebatan tersebut, bagi Jokowi, politik terkait erat dengan budaya. Disini, Jokowi mengadopsi budaya
Kesimpulan / Rekomendasi
Nunun Tri Widarwati, Penerapan Pendekatan Atas Bawah…265 that he learned mainly as a Javanese commoner. His cultural awareness of nguwongke uwong is somewhat natural rather than constructed for his political career, though it can also be seen as part of his strategy to win the PDI-P presidential nomination. Though such cultural awareness may not fit well with the universal principles of egalitarianism required for an ideal democracy, his personality has nevertheless fascinated the hearts of the people. And for his party boss Megawati, it seems only a matter of time before she announces publicly that Jokowi’s attitude has stolen her political heart.
menghormati yang dia pelajari terutama sebagai masyarakat Jawa jelata. Kesadaran politiknya nguwongke uwong agak berlangsung secara agak alamiah dan bukan dibangun demi karier politiknya, meskipun hal itu dapat juga dipandang sebagai bagian dari strateginya untuk memenangkan nominasi capres dari PDI-P. Meskipun kesadaran budaya yang seperti itu bisa saja tidak sesuai dengan prinsip-prinsip egalitarianisme yang diperlukan bagi sebuah demokrasi yang ideal, kepribadiannya telah memesona hati masyarakat Indonesia. Dan bagi ketua partainya, Megawati, hanyalah masalah waktu sebelum dia mengumumkan ke publik bahwa sikap Jokowi telah mencuri hati politiknya.
Simpulan dan Saran Teks diskusi merupakan salah satu genre teks yang tujuan dan fungsi sosialnya adalah untuk menyajikan isu atau argumen dan informasi dari dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang satu mendukung isu yang dilontarkan sedangkan sudut pandang yang lainnya menentang isu tersebut. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, teks terjemahan harus tetap mempertahankan tujuan dan fungsi sosial teks diskusi tersebut dan demikian pula dengan dengan struktur teksnya. Hal itu dapat diwujudkan apabila penerjemah menerapkan pendekatan atas-bawah. Karena sistem dan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran pada umumnya berbeda satu sama lain, pemadanan bentuk pada tataran mikro pada umumnya sulit dicapai. Oleh sebab itu, penerjemah perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian bentuk bahasa dengan tanpa melakukan distorsi makna atau pesan.
Daftar Rujukan Baker, M. (1992). In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication. Echols, J.M. and Shadily, H. (1996). Kamus Inggis-Indonesia.Ed 23. Jakarta: Gramedia. Hatim, B and Mason, I. (1990). Discourse and the Translator. New York: Longman, Inc. Hervey, S., Higgins, I., and Haywood, L. M. (1995). Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: Spanish into English. London; New York: Routledge. Kussmaul, P. (1995). Training the Translator. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Newmark, P. (1981). Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press. Nord, C. (1994). “Translation as a process of linguistic and cultural adaptation. Dalam Dollerup, C. and Lindegaard, A. (ed.). Teaching Translation and Interpreting 2: Insights, Aims, Visions. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 59-67.
266
JURNAL PENDIDIKAN, VOLUME 22, NOMOR 3, NOPEMBER 2013
Ruuskanen, D.D.K. (1996). “Creating the ‘Other’: A pragmatic translation tool”. Dalam Dollerup, Cay, Appel, and Vibeke (ed.). Teaching Translation and Interpreting 3 :New Horizons. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Snell-Hornby, M. (1995). Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Wiratno, Tri. (2003). Kiat Menulis Karya Ilmiah dalam Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.