1|Antologi UPI
Volume
Edisi No.
Juni 2016
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP PRO-SOSIAL SISWA Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini di latar belakangi oleh masalah yang ditemukan peneliti pada saat observasi di SDN Guruminda dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, yaitu rendahnya sikap sosial dan hasil belajar siswa. Pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru dan belum mampu menjadikan siswa memiliki perilaku, sikap dan keterampilan sosial yang baik yang disebabkan karena pendidikan cenderung mementingkan masalah nilai, angka-angka, dan ujian tulis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan sikap sosial siswa dengan menerapkan model Problem Based Learning pada materi masalah sosial. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Guruminda dengan subjek penelitian kelas IV-C yang berjumlah 31 siswa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan desain model John Elliot. Penelitian ini terdiri dari 3 siklus, dan setiap siklusnya terdiri dari 3 tindakan. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar wawancara siswa, lembar observasi siswa dan guru, catatan lapangan, lembar penilaian proses, lembar evaluasi, lembar kegiatan siswa, dan dokumentasi. Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa sikap sosial dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan atau perubahan setiap siklusnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata sikap sosial siswa pada siklus ke-1 yaitu 35,46, pada siklus ke-2 yaitu 53,44, dan pada siklus ke-3 yaitu 73,22. Sedangkan untuk rata-rata nilai hasil belajar siswa pada siklus ke-1 yaitu 53,52, pada siklus ke-2 yaitu 66,77, dan pada siklus ke-3 yaitu 75,69. Dengan demikian, peneliti merekomendasikan model Problem Based Learning untuk digunakan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan sikap sosial dan hasil belajar siswa khususnya pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Kata Kunci
: Problem Based Learning, Sikap Sosial, Ilmu Pengetahuan Sosial.
¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 2
THE IMPLEMENTATION OF PROBLEM BASED LEARNING MODEL IN SOCIAL STUDIES SUBJECT TO IMPROVE STUDENTS’ PRO-SOCIAL ATTITUDES ABSTRACT This research was conducted based on the issue found by the research whilst observing Social Studies (IPS) subject at SDN Guruminda, which was the lack of social attitude and students’ learning outcomes. The learning activity was still centered to the teacher and unable to shape the students to possess a good behavior, attitude, and social creativity, as the education system puts too much concerns on scores, numbers, and written exams. Therefore, this research was conducted to improve the students’ social attitude by practicing Problem-Based Learning using social issuesbased materials. This research was conducted at SDN Guruminda in the fourth grade (class C) that consists of 31 students as the research subjects. The research method used in this research is John Elliot’s Classroom Action Research model. This research consists of three cycles, and each of it consists of three actions. The research instruments used in this research are student interview sheet, teacher and student observation sheet, field notes sheet, research process sheet, evaluation sheet, student activity sheet, and documentation. The obtained data was analyzed by using qualitative and quantitative methods. Based on the data analysis, it can be concluded that social attitudes and the students’ learning outcomes show improvement in each cycle. It can be seen from the students’ social attitudes average scores in the first cycle was 35.46, in second cycle was 53.44, and in third cycle was 73.22. Meanwhile, the students’ learning outcomes average scores in the first cycle was 53.52, in second cycle was 66.77, and in third cycle was 75.69. Therefore, the researcher recommends Problem-based Learning model as one of the alternatives to improve students’ social attitudes and learning outcomes, especially in Social Studies (IPS) subject.
Keywords: Problem-based Learning, Social Attitudes, Social studies.
3|Antologi UPI
Volume
PENDAHULUAN Seiring perkembangan zaman dan pengaruh teknologi yang terus menerus mengalami perubahan yang pesat, menuntut masyarakatnya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki keterampilan yang membuatnya tidak ketinggalan zaman. Pendidikan menjadi hal yang penting untuk menghadapi tantangan tersebut, karena pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa. Suatu bangsa dikatakan bangsa yang maju apabila mutu pendidikan bangsa tersebut telah maju. Adapun pengertian pendidikan menurut undangundang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa: Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun salah satu tolak ukur dalam melihat keberhasilan pendidikan adalah dengan melihat hasil belajar yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran pada semua jenjang pendidikan formal. Di setiap jenjang pendidikan formal khususnya di Sekolah Dasar, terdapat beberapa mata pelajaran yang dipelajari salah satunya adalah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Susanto (2014. Hal. 6) menyebutkan “Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yaitu: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya.” Ruang lingkup Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah manusia pada konteks sosialnya atau sebagai anggota masyarakat. Pembelajaran Ilmu ¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Edisi No.
Juni 2016
Pengetahuan Sosial (IPS) dilakukan untuk mengembangkan nilai, sikap, moral, dan keterampilan sosial siswa untuk menelaah kehidupan sosial yang dihadapi sehari-hari yang berlaku dalam masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Hal ini sesuai dengan tujuan Kurikulum Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Sekolah Dasar (SD) tahun 2004 (dalam http://jurnal. upi.edu/file/Enok_Maryani.pdf), yaitu “mengkaji seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan diantisipasi untuk masa yang akan datang.” Dalam pembelajaran, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) selalu berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala macam tingkah laku dan kebutuhannya. Dalam hal ini Muhammad Nuh dalam Artikel tentang Kurikulum 2013 menyatakan bahwa “kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab.” Artinya, standar kompetensi sikap bukanlah untuk peserta didik, melainkan sebagai pegangan bagi pendidik bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), ada pesanpesan sosial yang terkandung di dalamnya. Sikap pada manusia tidak terbentuk begitu saja, melainkan terbentuk secara berangsur-angsur, sejalan dengan perkembangan hidupnya. Sikap di dalam kehidupan manusia mempunyai peran besar sebab apabila sikap sudah terbentuk dalam diri manusia, maka ia akan turut menentukan tingkah lakunya dalam
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 4 menghadapi suatu objek. Menurut Gagne (1977) dalam (Sutarjo, 2012 hlm. 67) merumuskan sikap dengan mengatakan seperti berikut: We define attitude as an internal state that influences (moderates) the choices of personal action made by the individual. Attitudes are generally considered to gave affective (emotional) components, cognitive aspects, and behavioral consequences. Jadi, dalam pandangan Gagne sikap dimengerti sebagai keadaan batiniah seseorang, yang dapat memengaruhi seseorang dalam melakukan pilihanpilihan tindakan personalnya. Sikap sendiri secara umum terkait dengan ranah kognitif dan ranah afektif serta membawa konsekuensi pada tingkah laku seseorang. Dengan karakteristik siswa seperti yang telah diuraikan di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa dengan baik. Pembelajaran harus dikaitkan dengan pengalaman belajar siswa, dengan menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari sehingga materi pelajaran dapat tersampaikan dengan baik, tidak abstrak dan lebih bermakna. Dalam pendidikan siswa dilatih dan dibiasakan untuk dapat berpikir kritis, disiplin, mengenal lingkungan hidupnya, dan mengetahui solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, siswa didorong untuk mengkonstruksikan pengalamannya sendiri agar terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh siswa. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam kegiatan tersebut. Namun dalam kenyataannya masalah pendidikan di Indonesia bukan saja tentang kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda
yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi. Hal ini terlihat nyata sesuai dengan pengalaman peneliti pada saat melakukan observasi dimana hasil pembelajaran mengenai mata pelajaran IPS dinyatakan masih belum berhasil, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. Dalam aspek kognitif hanya sebagian siswa yang sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan oleh Sekolah Dasar (SD) tersebut. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang kurang diminati oleh siswa karena pembelajaran yang cenderung membosankan dimana guru lebih banyak bercerita atau ceramah di depan kelas tanpa memperhatikan karakteristik siswa, guru hanya menggunakan model konvensional tidak memiliki keterampilan menggunakan model atau strategi pembelajaran. Dalam hal ini guru masih mendominasi dalam kegiatan pembelajaran, siswa hanya tergantung pada apa yang disampaikan oleh guru dan tidak berusaha mencari pengetahuan dari sumber lain, sehingga siswa cenderung pasif dan hanya bertindak sebagai pendengar setia. Hal ini berakibat pada kegiatan pembelajaran yang berlangsung hanya satu arah sehingga siswa tidak ikut aktif dalam kegiatan pembelajaran, siswa tidak mengerti apa yang diterangkan oleh guru sehingga akhirnya siswa merasa bosan dan jenuh serta malas untuk mengikuti pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sedangkan pada aspek afektif, pembelajaran belum mampu menjadikan siswa memiliki perilaku, sikap dan keterampilan sosial yang baik. Hal ini disebabkan karena pendidikan cenderung mementingkan masalah nilai, angkaangka, dan ujian-ujian tulis. Angka-angka inilah yang dijadikan tolak ukur keberhasilan sekolah. Pendidikan seolah menutup mata terhadap menurunnya
5|Antologi UPI
Volume
perilaku moral anak-anak pada zaman sekarang. Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan perbaikan untuk memecahkan masalah tersebut, salah satunya yaitu dengan melakukan penelitian tindakan kelas sebagai upaya pembaharuan dan perbaikan proses belajar mengajar untuk meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa, sehingga siswa memiliki sikap sosial yang baik. Dalam upaya memperbaiki keadaan tersebut maka peneliti menerapkan model atau metode pembelajaran yang menarik serta sesuai dengan permasalahan dan perkembangan siswa, yaitu dengan menggunakan model Problem Based Learning. “Problem Based Learning merupakan strategi pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain siswa belajar melalui permasalahan-permasalahan” (Made Wina, 2012: 91). Model Problem Based Learning memiliki keunggulan-keunggulan yang berdampak positif terhadap hasil belajar siswa terutama dalam aspek afektifnya, dimana dengan model ini siswa terbiasa belajar memecahkan suatu permasalahan yang kontekstual. Siswa belajar tentang bagaimana membangun kerangka masalah, mencermati, mengumpulkan data dan mengorganisasikan masalah, menyusun fakta, menganalisis data, dan menyusun argumentasi terkait pemecahan masalah, kemudian memecahkan permasalahan itu baik secara individu maupun dalam kelompok. Dengan demikian, model Problem Based Learning dapat menumbuhkan sikap sosial siswa dengan terbiasa berdiskusi kelompok, dan terjadinya rasa saling membutuhkan antara siswa dengan siswa atau guru dengan siswa sehingga terjalinnya keakraban dalam pembelajaran.
¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Edisi No.
Juni 2016
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Abidin (2011) penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilakukan untuk memecahakan masalah dengan cara menelaah langkah pemecahan masalah dan memperbaiki proses pembelajaran secara bersiklus. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain model John Elliot yang dilaksanakan sebanyak tiga siklus dan setiap siklusnya terdiri dari tiga tindakan. Partisipan pada penelitian ini adalah siswa kelas IV-C SD Negeri Guruminda dengan jumlah 31 siswa, yang terdiri dari 16 orang siswa laki-laki dan 15 orang siswa perempuan. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar wawancara, lembar observasi siswa dan guru, lembar penilaian proses, catatan lapangan, lembar evaluasi, lembar kegiatan siswa, dan kamera sebagai alat dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data kualitatif dan kuantitatif. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan temuan yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning sebagai upaya untuk meningkatkan sikap sosial siswa, dapat dilihat bahwa adanya peningkatan sikap sosial siswa dalam setiap siklusnya. Dengan model pembelajaran ini siswa akan belajar dari masalah-masalah dunia nyata yang bisa memnimbulkan rasa pedulinya. Selain itu, siswa juga akan terbiasa belajar dalam kelompok sehingga akan terjalin kerjasama dan tanggung jawab dalam diri setiap siswa. Dan sikap seperti percaya diri serta sopan santun secara tidak langsung akan tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan.
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 6 Penelitian dilakukan selama 3 siklus, yang setiap siklusnya terdiri dari tiga tindakan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan sikap sosial siswa pada pembelajaran IPS. Kegiatan pembelajaran dilakukan sesuai dengan tahapan atau langkah-langkah model Problem Based Learning, yaitu orientasi siswa kepada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya serta pameran, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Proses pembelajaran melibatkan siswa secara aktif pada setiap tahapan-tahapan yang terdapat dalam tahapan model Problem Based Learning, siswa belajar untuk berpendapat dan bertanya, serta melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap masalah-masalah sosial yang dijadikan topik pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Warsono & Hariyanto (2012 hlm. 152) yang menjelaskan bahwa “kelebihan dari penerapan model Problem Based Learning adalah siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, untuk memupuk solidaritas sosial siswa dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok atau teman-teman sekelasnya, dan makin mengakrabkan guru dengan siswa.” Pada siklus 1, terlihat bahwa siswa belum terbiasa belajar dengan menggunakan model Problem Based Learning atau bisa dikatakan siswa belum terbiasa belajar secara kelompok. Pada tahap pertama, yaitu orientasi siswa kepada masalah. Siswa masih belum bisa
terkondisikan, masih banyak siswa yang ribut dan mengobrol. Selain itu, ketika guru mulai membawa siswa ke dalam masalah, siswa masih terlihat pasif tidak berani bertanya atau berpendapat. Padahal, tahap orientasi ini adalah tahap yang penting sebagai langkah awal dalam memulai pembelajaran agar pembelajaran selanjutnya tercapai. Hal ini sejalan dengan pendapat Depdiknas (2004 hlm. 39-40) dalam (Abidin, 2014) yang menyebutkan bahwa “belajar berbasis masalah (problem based learning) adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai media untuk siswa belajar serta sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengethauan baru berdasarkan pengalamannya.” Untuk mengatasi hal tersebut, guru melakukan perbaikan dalam mengkondisikan siswa dengan cara melakukan permainan atau ice breaking yang menyenangkan seperti permainan cek bum, up and down, atau dengan tepukan seperti tepuk semangat, tepuk diam, dan dengan yel-yel lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suryoharjuno (2012) bahwa kalimat yang bersemangat mampu memotivasi siswa dalam KBM dan bersifat positif, serta salah satu fungsi melakukan ice breaking adalah mampu membangkitkan gairah atau semangat belajar siswa sebelum materi pembelajaran diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwanto (2008) yang menyebutkan bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan diri seseorang agar timbul keinginan untuk melakukan sesuatu sehingga memperoleh hasil atau tujuan tertentu. Selain itu, guru juga melakukan perbaikan untuk siswa yang pasif dengan cara pemberian bintang prestasi atau reward. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Skinner (dalam Suprijono, 2012) yang mengemukakan bahwa dengan menggunakan reward
7|Antologi UPI
Volume
diharapkan siswa dapat penguatan terhadap perilakunya sehingga perilaku tersebut memiliki dampak positif terhadap kegiatan pembelajaran. Dari upaya-upaya tersebut, maka terdapat perubahan pada siklus ke-2, siswa sudah mulai bisa dikondisikan meskipun masih ada beberapa orang siswa yang masih terlihat ribut serta pada pembelajaran siklus ke-2 ini sudah mulai nampak siswa yang aktif. Sedangkan pada siklus ke-3, siswa sudah bisa dikondisikan dengan cepat dan hanya sebagian kecil siswa yang terkadang membuat keributan, dan siswa yang awalnya terlihat pasif, pada siklus ke-3 sudah menunjukkan perubahan yang signifikan yaitu sebagian siswa sudah berani menunjukkan keaktifannya baik dalam bertanya ataupun berpendapat. Tahap kedua, yaitu mengorganisasikan siswa untuk belajar. Hal ini berkaitan dengan pembagian anggota kelompok untuk belajar. Pada siklus ke-1, guru membagi siswa mejadi 7-8 kelompok, setiap kelompoknya terdiri dari 3-4 orang siswa. Kelompok yang dibentuk bersifat heterogen, yaitu terdiri dari siswa lakilaki dan perempuan serta siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumantri dan Permana dalam (Purnamasari, 2011 hlm. 86) yang menjelaskan bahwa pembagian kelompok sebaiknya dilakukan secara heterogen (laki-laki dan perempuan), baik dari segi kemampuan belajar maupun jenis kelamin agar terjadi dinamika kegiatan belajar yang lebih baik dan kelompok tidak terkesan berat sebelah, yaitu ada kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah. Pembagian kelompok pada siklus ke-1 terutama tindakan 1 tampak terlihat gaduh dan tidak tertib, dikarenakan siswa tidak terbiasa belajar secara kelompok. Selain itu, siswa masih bermasalah dengan anggota sekelompoknya. Siswa tidak ingin dikelompokkan dengan orang yang ¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Edisi No.
Juni 2016
telah guru tentukan. Mengatasi hal tersebut, guru memberikan arahan dan penjelasan kepada siswa mengenai tujuan dibentuknya kelompok yang heterogen yaitu agar siswa mampu berinteraksi dengan semua siswa yang ada di kelas sehingga siswa tidak membeda-bedakan temannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Vygotsky (dalam Warsono dan Hariyanto, 2012) yang menyatakan bahwa melalui interaksi, siswa mampu mengembangkan fungsi mental kognitif ke yang lebih tinggi yaitu seperti bahasa, berhitung, memecahkan masalah, perhatian secara spontan, dan skema memorinya. Dalam mengembangkan fungsi mental yang lebih tinggi, siswa membutuhkan bantuan orang lain yang lebih kompeten. Setelah dilakukan perbaikan, maka pada siklus ke-2 siswa sudah mampu menunjukkan perubahannya. Hal ini terlihat dari kegiatan pembagian kelompok yang sudah mulai tertib karena siswa bersedia bergabung dengan siapa pun, serta siswa sudah mulai terbiasa belajar secara kelompok. Sedangkan pada siklus ke-3, perubahan yang signifikan ditunjukkan oleh siswa dengan tertibnya suasana pembagian kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah terbiasa belajar secara kelompok. Pada tahap penyelidikan mandiri dan kelompok, siswa berdiskusi untuk menyelesaikan masalah yang disajikan oleh guru, maka pada tahap ini siswa dituntut untuk mampu memecahkan masalah dan guru berperan sebagai fasilitator. Menurut Rusman (2014, hlm. 235) menyebutkan bahwa peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah salah satunya adalah harus mampu memfasilitasi pembelajaran kelompok kecil, karena belajar dengan kelompok kecil akan lebih mudah dilakukan apabila anggotanya berkisar antara 1-10 orang siswa atau bahkan lebih sedikit. Selain itu, guru harus bisa mengatur lingkungan belajar untuk mendorong penyatuan dan
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 8 pelibatan siswa dalam masalah. Dan pada tahap ini juga guru melakukan bimbingan apabila ditemukan siswa atau kelompok yang tidak memahai tugas-tugasnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sukmadinata (2009) yang menyebutkan bahwa bimbingan merupakan upaya untuk membantu siswa dalam mengoptimalkan perkembangannya. Pada siklus ke-1, hanya sebagian kecil siswa yang mampu memecahkan masalah. Kerjasama belum terjalin dengan baik sehingga siswa mengandalkan jawaban teman yang pandai yang ada pada kelompoknya. Sehingga guru melakukan perbaikan dengan cara memberikan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam mengerjakan atau memecahkan suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan teori kontruktivisme yang dikemukakan oleh Rahman, M & Sofan Amri (2014, hlm. 35-36) yaitu teori kontruktivisme adalah usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggung jawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah. Pada siklus ke-2, terdapat beberapa siswa yang sudah mampu memecahkan masalah tanpa mengandalkan temannya. Hal ini pun menunjukkan bahwa kerjasama di antara mereka sudah mulai terjalin dengan baik. Mereka mulai paham akan tugas-tugas yang diterimanya. Sedangkan pada siklus ke-3, siswa sudah menunjukkan bahwa mereka telah mampu menyelesaikan masalah yang diterimanya tanpa harus mengandalkan siapa pun. Selain itu, siswa sudah terbiasa belajar secara kelompok, bahkan cenderung lebih merasa nyama ketika belajar secara kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang positif dari setiap siklusnya.
Tahap berikutnya, yang dilaksanakan yaitu mempresentasikan hasil karya serta pameran. Pada tahap ini, setiap kelompok maju ke depan kelas mempresentasikan hasil diskusinya. Pada siklus ke-1, siswa masih malu-malu untuk berbicara di depan kelas dan baru ada beberapa orang siswa yang berani bertanya atau berpendapat. Akhirnya guru melakukan perbaikan dengan cara memberikan motivasi atau dorongan dan penghargaan berupa bintang prestasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Stoner (1992 hlm. 440) dalam (Rusman, 2014 hlm. 94) yang mengatakan bahwa motivasi diartikan sebagai faktor-faktor penyebab yang menghubungkan sesuatu dalam perilaku seseorang. Menurut Maslow (1970 hlm. 35) dalam (Rusman, 2014 hlm 94) sesuatu yang dimaksud oleh Stoner tersebut adalah dorongan berbagai kebutuhan hidup individu dari mulai kebutuhan fisik, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Akan tetapi, pada siklus ke-2 siswa sudah mulai memperlihatkan keberaniannya dalam berbicara atau pun berpendapat. Dan pada siklus ke-3 semakin banyak siswa yang berani bertanya dan berpendapat, serta ketika presentasi siswa sudah terlihat percaya diri. Tahap yang terakhir, yaitu menganalisis dan mengevaluasi proses pembelajaran selama pelaksanaan setiap tindakan dilaksanakan. Hal tersebut ditandai dengan kegiatan menyimpulkan pembelajaran yang dilaksanakan siswa. Pada siklus ke-1, siswa tidak mampu menyimpulkan kegiatan pembelajaran dengan baik karena siswa memiliki hambatan yaitu kurangnya keberanian siswa dalam berbicara secara mandiri. Pada siklus ke-2, siswa sudah mulai berani untuk menyimpulkan pembelajaran yang dilaksanakan meskipun baru hanya ada beberapa siswa. Sedangkan pada siklus ke-3, siswa
9|Antologi UPI
Volume
terlihat semakin percaya diri dan berani dalam menyimpulkan pembelajaran. Adapun sikap-sikap siswa selama pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut:
30 25 20 15 10 5 0
Edisi No.
Juni 2016
30 25 20 15 10 5 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Gambar Grafik 4.1 Sikap kerjasama siswa selama proses pembelajaran Berdasarkan grafik di atas, dapat dikatakan bahwa sikap kerjasama siswa pada setiap tindakannya mengalami peningkatan. Pada Siklus ke-1 siswa masih belum menunjukkan kerjasama yang baik ketika dalam kegiatan diskusi. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa belajar secara kelompok. Akan tetapi, pada siklus ke-2 siswa sudah mulai terbiasa dengan belajar secara kelompok sehingga kerjasama di antara mereka sudah mulai terlihat dan terjalin dengan baik. Sedangkan pada siklus ke-3, siswa sudah terbiasa belajar secara kelompok bahkan mereka merasa lebih nyaman belajar kelompok, sehingga pada siklus ke-3 ini kerjasama yang mereka tunjukkan sudah terlihat baik.
Gambar Grafik 4.2 Sikap tanggung jawab siswa selama proses pembelajaran Berdasarkan grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap tanggung jawab siswa mengalami perubahan pada setiap tindakan di setiap siklusnya. Pada siklus ke-1, hanya ada beberapa siswa yang menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugas-tugas yang diterimanya, sedangkan siswa yang lainnya masih banyak yang hanya mengandalkan temannya dan sendirinya malah bermainmain. Pada siklus ke-2, siswa menunjukkan perubahan yang baik yaitu siswa sudah mengerti dan paham akan tugas-tugasnya. Dan pada siklus ke-3, siswa sudah bisa bertanggung jawab dalam kelompoknya dengan tidak hanya mengandalkan salah satu temannya 30 25 20 15 10 5 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Gambar Grafik 4.3 Nilai sopan santun siswa selama proses pembelajaran
Berdasarkan grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap sopan santun ¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 10 siswa dalam setiap tindakan mengalami perubahan yang positif. Hal ini terlihat pada pembelajaran siklus ke-1 siswa awalnya tidak pernah menghargai teman bahkan guru. Kemudian ketika berbicara pun mereka tidak bisa membedakan dengan siapa mereka sedang berbicara. Pada siklus ke-2, siswa sudah menunjukkan perubahannya yaitu dengan mulai menunjukkan sikap sopannya kepada guru dan temannya, baik ketika dalam proses pembelajaran maupun ketika sedang di luar proses pembelajaan. Pada siklus ke-3, sebagian besar siswa sudah menunjukkan sopan santun yang baik. 30 25 20 15 10 5 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Gambar Grafik 4.4 Nilai percaya diri siswa selama proses pembelajaran
Berdasarkan grafik di atas, dapat dikatakan bahwa sikap percaya diri siswa pada setiap pembelajaran mengalami peningkatan. Pada siklus 1, beberapa siswa sudah menunjukan sikap percaya dirinya walaupun belum konsisten. Sementara sebagian besar siswa lainnya masih malu-malu untuk bertanya maupun berpendapat, hal ini dikarenakan mereka takut salah. Pada siklus 2, sebagian besar siswa mulai menunjukan sikap percaya dirinya dengan baik, dan jumlah siswa yang belum menunjukan sikap percaya diri berkurang dari siklus sebelumnya. Pada siklus 3, sikap percaya diri terus mengalami peningkatan, siswa
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Siswa selalu berebut ketika diberi kesempatan untuk bertanya atau memberikan pendapat. 35 30 25 20 15 10 5 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Gambar Grafik 4.5 Nilai peduli siswa selama proses pembelajaran Berdasarkan grafik di atas, dapat dikatakan bahwa sikap peduli siswa pada setiap pembelajaran mengalami peningkatan. Pada siklus 1, siswa belum menunjukan sikap pedulinya. Masih ada beberapa siswa yang belum mengikuti pembelajaran dengan baik, siswa-siswa tersebut masih terlihat ribut dan bermainmain di kelas. Pada siklus 2, sebagian besar siswa mulai menunjukan sikap peduli sesuai dengan indikator, dan jumlah siswa yang belum menunjukan sikap tersebut berkurang dari siklus sebelumnya. Pada siklus 3, sikap peduli terus mengalami peningkatan, siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan selalu memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Sikap peduli ini akan berimplikasi pada peningkatan sikap sosial siswa, karena jika siswa selalu berpartisispasi aktif dalam pembelajaran dengan sebaikbaiknya, maka sikap sosial siswa pun akan meningkat. Pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning dalam penelitian ini bertujuan untuk
11 | A n t o l o g i U P I
Volume
meningkatkan sikap sosial siswa khususnya dalam pembelajaran IPS. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan sikap sosial siswa dalam pembelajaran adalah dengan cara menggunakan model-model pembelajaran yang sesuai dan dirancang untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Oleh karena itu, hendaknya dalam memilih model atau strategi pembelajaran direncanakan secara matang. Hal ini sejalan dengan pendapat Warsono & Hariyanto (2012 hlm. 152) yang menjelaskan bahwa kelebihan dari penerapan model Problem Based Learning adalah siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, untuk memupuk solidaritas sosial siswa dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok atau teman-teman sekelasnya, dan makin mengakrabkan guru dengan siswa. Kemampuan sikap sosial merupakan salah satu kemampuan yang penting dan harus dimiliki oleh peserta didik sebagai makhluk sosial terutama dalam pembelajaran IPS. Hal itu sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS sendiri, yaitu IPS di tingkat sekolah dasar bertujuan untuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitude and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan masyarakat agar menjadi warga negara yang baik (good citizen) (Sapriya, 2014). Kemampuan sikap sosial dapat ditanamkan mulai pada anak sejak dini atau pada tingkat sekolah dasar, karena menurut Vigotsky (dalam Rusman, 2012 hlm. 244) meyakini bahwa interaksi ¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Edisi No.
Juni 2016
sosial dengan teman lain memicu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Ahmadi (2002, hlm.170) yang mengatakan bahwa sikap timbul karena ada stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Kemampuan sikap sosial dalam penelitian ini memuat lima indikator, yaitu kerjasama, tanggung jawab, percaya diri, sopan santun dan peduli. Kelima indikator tersebut sesuai dengan indikator yang terdapat dalam Kurikulum 2013 yang menyebutkan bahwa indikator sikap sosial diturunkan dari KD/ KI 2. Dalam penyusunan RPP, guru bisa memilih sikap sosial apa yang akan dinilai seperti disiplin, jujur, kerjasama, tanggung jawab, toleransi, santun, gotong royong, peduli, percaya diri, dan sebagainya. Untuk menilai sikap, digunakan teknik penilaian melalui observasi sebagai sumber utama (penilaian diri dan penilaian antarteman hanya sebagai penunjang). Adapun pencapaian kelima indikator sikap sosial siswa pada setiap siklusnya dapat digambarkan sebagai beriku 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Gambar Grafik 4.6 Skor rata-rata ketercapaian indikator sikap sosial Berdasarkan grafik di atas, rata-rata pencapaian tiap indikator sikap sosial
Siti Aisah¹, Nina Sundari², Husen Windayana³ Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Sikap Pro-Sosial Siswa | 12 mengalami siklusnya.
peningkatan
pada
setiap
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang tertuang dalam deskripsi, analisis, dan pembahasan sebagai jawaban atas rumusan masalah, pembelajaran dengan materi masalah-masalah sosial menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning di kelas IV-C SD Negeri Guruminda dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning adalah suatu model pengajaran yang menggunakan dunia nyata sebagai media untuk siswa belajar. Terdapat lima tahap dalam proses pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning, yaitu mengorganisasikan atau memberikan orientasi siswa kepada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing pengalaman mandiri dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta pameran, dan menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan masalah. Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada materi Masalah-masalah Sosial dengan menggunakan model Problem Based Learning menjadikan siswa lebih aktif, lebih termotivasi, dan pembelajaran menjadi lebih interaktif. Selain itu, dengan menggunakan model Problem Based Learning siswa bisa belajar dari masalah-masalah yang ada serta dapat menggali pengetahuannya sendiri. Sehingga, melalui model ini guru dapat meningkatkan sikap sosial siswa dengan cara membiasakan siswa untuk belajar secara kelompok. Sehingga terjadi rasa saling membutuhkan satu sama lainnya dan terjadinya interaksi sosial yang yang baik antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru. Hasil akhir rata-rata nilai kemampuan sikap sosial siswa dari lima indikator, yaitu kerjasama, tanggung jawab, percaya
diri, sopan santun, dan peduli, pada setiap tindakan dalam setiap siklusnya mengalami peningkatan. Dari kelima indikator tersebut, indikator tanggung jawab mengalami peningkatan paling signifikan dibandingkan dengan keempat indikator lainnya yaitu dengan nilai ratarata pada siklus I sebersar 1,5, pada siklus II 2,1 dan pada siklus III 3,2. Sedangkan indikator yang tidak terlalu mengalami peningkatan yang pesat adalah indikator peduli, yaitu hanya memperoleh nilai rata-rata pada siklus I 1,2, pada siklus II 2, dan pada siklus III 2,6. Adapun nilai rata-rata seluruh indikator sikap sosial siswa dalam setiap siklusnya yaitu pada siklus ke-1 35,46 , kemudian meningkat pada siklus ke-2 dengan nilai rata-rata 53,44 , dan meningkat kembali pada siklus ke-3 yaitu dengan nilai rata-rata 73,22. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2011). Penelitian Pendidikan dalam Gamitan Pendidikan Dasar dan PAUD. Bandung: Rizky Press. Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama. Adisusilo, S. J. R. (2012). Pembelajaran Nilai Karakter: Kontruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ahmadi, A. (2002). Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta. Depdiknas. (2013). UU sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fokusmedia.
13 | A n t o l o g i U P I
Volume
Maryani, E. & Syamsudin, H. (2009). Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial. [Online]. Diakses dari http://jurnal.upi.edu/file/Enokmar yani.pdf. Nuh, Muhammad (2013, 7 Maret). Kurikulum 2013. Kompas, 22/2. Purwanto. (2008). Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta: Pustaka Belajar. Rahman, M. & Amri, S. (2014). Model Pembelajaran ARIAS (Assurance, Relevance, Interest, Assesment, Satisfaction): Terintegratif dalam Teori dan Praktik untuk Menunjang Penerapan Kurikulum 2013. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. Rusman (2014). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Sapriya (2014). Bandung: Rosdakarya.
Pendidikan IPS. PT Remaja
Sukmadinata, N.S. (2009). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Suryoharjuno, K. (2012). 100+ Ice Breaker Penyemangat Belajar. Surabaya: Ilman Nafia. Susanto, A. (2014). Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
¹penulis penanggungjawab ²penulis penanggungjawab
Edisi No.
Juni 2016
Warsono & Hariyanto (2012). Pembelajaran Aktif: Teori dan Assesment. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Wena, M. (2012). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta Timur: Teruna Grafica.