Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
1
PENERAPAN INKUIRI DAN SIKAP ILMIAH SISWA SEKOLAH DASAR DAN PENGEMBANGANNYA DALAM PEMBELAJARAN PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP
Oleh Evi Apriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa dalam pembelajaran pelestarian makhluk hidup melalui analisis kebutuhan, studi dokumentasi, dan studi lapangan. Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Kualitatif (Qualitative Research), dilakukan menggunakan metode observasi langsung pada siswa kelas VI semester I yang mengikuti pembelajaran pelestarian makhluk hidup di tiga SD Kota Banda Aceh dan wawancara mendalam (deep interview) dengan informan (key person) guru dan siswa. Setelah mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa maka dilakukan pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup menggunakan analisis pengembangan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan. Dari observasi dan wawancara diperoleh hasil bahwa penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa tidak ada perencanaan pada perangkat pembelajaran pelestarian makhluk hidup, nilai rata-rata persentase aktivitas inkuiri adalah 29% (rendah), nilai rata-rata persentase aktivitas sikap ilmiah adalah 61% (sedang), dan harus ditingkatkan melalui pembelajaran pelestarian makhluk hidup. Pengembangan silabus inkuiri berbasis sikap ilmiah, bahan ajar, lembar kegiatan siswa (LKS), tes pelestarian makhluk hidup, dan skala sikap terintegrasi ke dalam sasaran, prinsip, dan metode dalam model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah. Pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah diharapkan mampu membangun kesadaran siswa dan masyarakat akan pelestarian hutan dan lingkungan Aceh secara berkelanjutan. Kata kunci : Pembelajaran pelestarian makhluk hidup, aktivitas inkuiri, aktivitas sikap ilmiah
Kegiatan pelestarian alam bertujuan untuk mempertahankan spesies-spesies tumbuhan dan hewan agar tetap lestari dan berfungsi sebagai sumber gen (DNA, pembawa sifat) (Apriana, 2012). Upaya untuk melakukan pelestarian alam dapat dilakukan melalui pendidikan dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi (Munandar, 2009). Salah satu strategi yang dapat digunakan sekolah dasar untuk menyadarkan kepedulian siswa terhadap lingkungan melalui pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa melalui analisis kebutuhan, studi dokumentasi, studi lapangan, dan merupakan penelitian awal untuk pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah.
METODA PENELITIAN Penelitian ini menerapkan desain Penelitian Kualitatif (Qualitative Research) (Creswell, 2008). Analisis kebutuhan dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan produk (model pembelajaran). Studi dokumentasi dilakukan dengan mengkaji perangkat pembelajaran pelestarian makhluk hidup dari tiga SD Kota Banda Aceh. Studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, kemudian diolah menggunakan pendekatan kualitatif sesuai dengan karakter data dan kebutuhan informasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kebutuhan Pembelajaran pelestarian makhluk hidup idealnya mempelajari aspek kognitif (pengetahuan), afektif (minat, motivasi), dan
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
2
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
psikomotorik (keterampilan; tindakan; tujuh aktivitas inkuiri: mengamati fenomena, merumuskan masalah, melakukan analisis, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan pengumpulan data, melakukan interpretasi dan menjawab pertanyaan, dan menyampaikan hasil, implikasi logis dan memaknainya (Aulls & Shore, 2008: 150); dan aktivitas sikap ilmiah: jujur, terbuka pada ide-ide baru (willnesti change opinions), bertanggung jawab, objektif, bekerja sama (cooperative), pemikiran kritikal (critical mindedness), berlandaskan pada bukti (respect for evidence), rasa ingin tahu, sikap mawas diri (hati-hati), kedisiplinan diri, kesadaran atau peduli terhadap lingkungan (Amin, 1994; BSNP, 2005: 2)). Sementara pembelajaran pelestarian makhluk hidup yang dilaksanakan selama ini hanya mempelajari aspek kognitif (pengetahuan ekologi dan pelestarian makhluk hidup) saja. Sehingga sangat diperlukan adanya pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah yang mempelajari pengetahuan, dan melibatkan beberapa aktivitas inkuiri berbasis aktivitas sikap ilmiah yaitu: 1) Mengamati fenomena berbasis
jujur, objektif. 2) Merumuskan masalah berbasis rasa ingin tahu. 3) Melakukan analisis berbasis pemikiran kritikal (critical mindedness). 4) Merumuskan hipotesis berbasis terbuka pada ide-ide baru (willnesti change opinions). 5) Menguji hipotesis dan pengumpulan data berbasis terbuka pada ideide baru (willnesti change opinions), bekerja sama (cooperative), sikap mawas diri (hatihati), kedisiplinan diri. 6) Melakukan interpretasi dan menjawab pertanyaan berbasis berlandaskan pada bukti (respect for evidence), kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. 7) Menyampaikan hasil, implikasi logis dan memaknainya berbasis jujur, bertanggung jawab, kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. B. Studi Dokumentasi Data hasil identifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan studi dokumentasi. Dokumen yang diperoleh dari tiga sekolah dasar berupa perangkat pembelajaran pelestarian makhluk hidup dianalisis dan ditabulasi, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekap Data Berdasarkan Dokumen Rencana Program Pembelajaran Berkaitan dengan Rencana Penerapan Inkuiri dan Rencana Penerapan Sikap Ilmiah No.
Sekolah Dasar
1.
SD Swasta
2.
SD Negeri A
3.
SD Negeri B
Metode yang Digunakan Ceramah dan diskusi Ceramah dan diskusi kelompok Ceramah, diskusi kelompok, dan demonstrasi
Media yang Digunakan
Papan tulis
Rencana Penerapan Inkuiri Tidak ada
Rencana Penerapan Sikap Ilmiah Tidak ada
Papan tulis
Tidak ada
Tidak ada
Papan tulis dan tumbuhan langka Aceh (bunga jeumpa dan bunga seulanga)
Tidak ada
Tidak ada
C. Studi Lapangan Data hasil observasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode observasi langsung pada siswa kelas VI
semester I yang mengikuti pembelajaran pelestarian makhluk hidup di tiga SD Kota Banda Aceh dan wawancara mendalam (deep interview) dengan informan (key person) guru dan siswa.
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
Evi Apriana, Penerapan Inkuiri dan Sikap Ilmiah Siswa Sekolah Dasar
3
Tabel 2. Data Hasil Observasi Penerapan Inkuiri dalam Pembelajaran Pelestarian Makhluk Hidup
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aktivitas Inkuiri yang Diamati (Diadaptasi dari Aulls & Shore, 2008: 150) Mengamati fenomena Merumuskan masalah Melakukan analisis Merumuskan hipotesis Menguji hipotesis dan pengumpulan data Melakukan interpretasi dan menjawab pertanyaan Menyampaikan hasil, implikasi logis dan memaknainya Jumlah
SD Swasta 0 0 0 0 0
Sekolah Dasar SD SD Negeri A Negeri B 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Persentase Aktivitas dari Tiap Langkah Inkuiri 2 (67%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
1
1
1
3 (100%)
0
0
1
1 (33%)
1 (14%)
2 (29%)
3 (43%)
Rata-rata 2 (29%)
Tabel 3. Data Hasil Observasi Penerapan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Pelestarian Makhluk Hidup
No.
Aspek-Aspek Sikap Ilmiah
1. 2.
Jujur Terbuka pada ide-ide baru (willnesti change opinions) Bertanggung jawab Objektif Bekerja sama (cooperative) Pemikiran kritikal (critical mindedness) Berlandaskan pada bukti (respect for evidence) Rasa ingin tahu Sikap mawas diri (hati-hati) Kedisiplinan diri Kesadaran atau peduli terhadap lingkungan
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jumlah
SD Swasta 1 0
Sekolah Dasar SD SD Negeri A Negeri B 1 1 0 1
Persentase Aktivitas dari Tiap Aspek Sikap Ilmiah 3 (100%) 1 (33%)
0 0 0 0
1 0 1 0
1 0 1 0
2 (67%) 0 (0%) 2 (67%) 0 (0%)
0
0
1
1 (33%)
1 0 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
3 (100%) 2 (67%) 3 (100%) 3 (100%)
4 (36%)
7 (64%)
9 (82%)
Rata-rata 6,7 (61%)
Hasil wawancara dengan pendidik (guru) adalah pembelajaran pelestarian makhluk hidup dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan penugasan. Praktikum dan praktek lapangan tidak dilakukan karena memerlukan waktu khusus dan lebih lama, biaya mahal, dan persiapan ke lapangan. Sebagian siswa kurang aktif dalam proses belajar mengajar, tidak termotivasi mengajukan pertanyaan, dan tidak termotivasi mengemukakan pendapat. Buku
sulit didapat (terutama dalam bahasa Indonesia). Pembelajaran pelestarian makhluk hidup kurang mengangkat isu-isu yang ada di masyarakat dan guru sangat dominan, materi yang dibahas sangat teksbook tentang riset-riset yang ada di dalam negeri dan di luar Aceh, guru tidak mengaitkan materi dengan situasi nyata kehidupan siswa sesuai kehidupan masyarakat Aceh (hasil wawancara dengan siswa). Hal ini disebabkan terbatasnya
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
dokumentasi atau bahan bacaan tentang keanekaragaman hayati Aceh yang berhubungan dengan pelestarian. Selama ini guru belum mengeksplorasi berbagai keanekaragaman hayati yang ada di masyarakat Aceh dan mengembangkannya dalam pembelajaran. Kasus pelestarian alam Aceh tersebut masih kurang mendapat perhatian secara seksama. Mengingat konsep-konsep konservasi alam di Indonesia masih tetap menekankan pada konsep dari luar, seperti konsep Barat, yang sistem sosial ekonomi dan budayanya sangat berlainan dengan Indonesia (hasil wawancara dengan guru). Setelah mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa yang merupakan penelitian awal maka dilakukan pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah. Pengembangan silabus inkuiri berbasis sikap ilmiah, bahan ajar, lembar kegiatan siswa (LKS), tes pelestarian makhluk hidup, dan skala sikap yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan analisis pengembangan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan. Pengembangan silabus pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah menitikberatkan pada pengembangan konsep, aktivitas inkuiri, aktivitas sikap ilmiah, metode, lembar kegiatan siswa (LKS), indikator, dan instrumen pembelajaran. Beberapa aktivitas inkuiri dan berbasis aktivitas sikap ilmiah yang dapat diterapkan adalah : 1) Mengamati fenomena berbasis jujur, objektif. 2) Merumuskan masalah berbasis rasa ingin tahu. 3) Melakukan analisis berbasis pemikiran kritikal (critical mindedness). 4) Merumuskan hipotesis berbasis terbuka pada ide-ide baru (willnesti change opinions). 5) Menguji hipotesis dan pengumpulan data berbasis terbuka pada ideide baru (willnesti change opinions), bekerja sama (cooperative), sikap mawas diri (hatihati), kedisiplinan diri. 6) Melakukan interpretasi dan menjawab pertanyaan berbasis berlandaskan pada bukti (respect for evidence), kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. 7) Menyampaikan hasil, implikasi logis dan memaknainya berbasis jujur, bertanggung jawab, kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. Pembelajaran pelestarian makhluk
4
hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah ini melibatkan tujuh aktivitas inkuiri yaitu: mengamati fenomena, merumuskan masalah, melakukan analisis, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan pengumpulan data, melakukan interpretasi dan menjawab pertanyaan, dan menyampaikan hasil, implikasi logis dan memaknainya (Aulls & Shore, 2008: 150) dan berbasis aktivitas sikap ilmiah yaitu: jujur, terbuka pada ide-ide baru (willnesti change opinions), bertanggung jawab, objektif, bekerja sama (cooperative), pemikiran kritikal (critical mindedness), berlandaskan pada bukti (respect for evidence), rasa ingin tahu, sikap mawas diri (hati-hati), kedisiplinan diri, kesadaran atau peduli terhadap lingkungan (Amin, 1994; BSNP, 2005: 2). Pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai metode yang menarik agar siswa mempunyai kapasitas dan tingkat kesadaran yang tinggi terhadap pelestarian makhluk hidup. Pengembangan bahan ajar pelestarian makhluk hidup yang berhubungan dengan isuisu lingkungan terdiri dari konsep hewan dan tumbuhan langka (hewan yang mendekati kepunahan dan tumbuhan yang mendekati kepunahan), pentingnya pelestarian makhluk hidup (melindungi tempat hidupnya dan perkembangbiakan secara buatan). Pengembangan lembar kegiatan siswa (LKS) terdiri dari lembar kerja sebagai penuntun kegiatan dan hasil pekerjaan siswa merupakan bahagian dari bahan ajar. Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau yang dimiliki individu atau kelompok (Arikunto, 2002). Pengembangan tes pelestarian makhluk hidup yang disusun dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pelestarian makhluk hidup. Pengembangan tes pelestarian makhluk hidup ini mengacu pada materi dan hasil belajar yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Skala sikap adalah sejumlah pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi dari responden tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya (Arikunto, 2002). Pengembangan skala sikap dalam penelitian ini berbentuk skala bertingkat mencakup skala sikap dan tanggapan. Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap siswa
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
Evi Apriana, Penerapan Inkuiri dan Sikap Ilmiah Siswa Sekolah Dasar
terhadap pelestarian makhluk hidup sebelum dan setelah pembelajaran dijalankan, serta untuk menggali tanggapan siswa terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan. Kategori penilaian skala sikap menggunakan skala likerts yang mencakup lima kategori yaitu sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
SIMPULAN Penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa tidak ada perencanaan pada perangkat pembelajaran pelestarian makhluk hidup, nilai rata-rata persentase aktivitas inkuiri adalah 29% (rendah), nilai rata-rata persentase aktivitas sikap ilmiah adalah 61% (sedang), dan harus ditingkatkan melalui pembelajaran pelestarian makhluk hidup. Identifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa ini sangat penting untuk pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah. Materi pembelajaran pelestarian makhluk hidup dapat diintegrasikan dengan sasaran, prinsip, dan metode dalam model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah (pengembangan silabus inkuiri berbasis sikap ilmiah, bahan ajar, lembar kegiatan siswa (LKS), tes pelestarian makhluk hidup, dan skala sikap). Model pembelajaran pelestarian makhluk hidup yang efektif, terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan lapangan yang mampu memperjelas pembelajaran di kelas, mengembangkan inkuiri dan sikap ilmiah siswa.
5
Arikunto, S. (2002). Penilaian Program Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjend. Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Aulls, M.W. & Shore, B.M. (2008). Inquiry in Education. The Conceptual Foundations for Research as a Curricular Imperative. Volume 1. New York: Lawrences Erlbaum Associates. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2005). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Third Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Munandar, A., dkk., (2009). Konservasi Fauna Indonesia. Bandung: Rizqi Press.
DAFTAR PUSTAKA Amin, M. (1994). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Apriana, E. (2012). Pengembangan Program Perkuliahan Biologi Konservasi dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Aceh untuk Meningkatkan Literasi Lingkungan dan Tindakan Konservasi. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
6
PENINGKATAN AKTIVITAS SISWA DAN HASIL BELAJAR MATRIKS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW SISWA KELAS XII IA2 SMA NEGERI 6 BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh Nursyamsu* Abstrak Karya tulis ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan Aktivitas siswa dan hasil belajar Matriks dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa kelas XII-IA2 SMA Negeri 6 Banda Aceh tahun pembelajaran 2012/2013. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, observasi, tugas, dan tes. Dokumentasi nilai ulangan harian pada bab sebelumnya digunakan sebagai nilai dasar. Pada setiap pertemuan dilaksanakan observasi dengan menggunakan lembar pedoman observasi untuk mengamati berlangsungnya proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Tugas yang diberikan kepada siswa berupa tugas kelompok yang diberikan pada setiap pertemuan pada setiap siklus dan tugas individu (PR) diberikan pada setiap pertemuan I dan II pada setiap siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Pada pertemuan I dan II, selama 2 jam pelajaran dilaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Pada pertemuan III, digunakan untuk melaksanakan tes akhir siklus. Hasil observasi dari Kegiatan Belajar Siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw aktivitas siswa dikatagorikan aktif dilihat dari persentase bekerja dengan sesama kelompok, mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa serta antara siswa dengan guru mengalami kenaikan yang signifikan yakni sebesar 22,1%, 20,8% dan 15,0%. dan rata-rata nilai hasil belajar siklus 1 adalah sebesar 64,78.dan hanya 65,22% tuntas belajar Jika dibandingkan dengan rata-rata nilai dasar yaitu 51,13 dan 42,30 % tuntas belajar maka terjadi peningkatan sebesar 21,07%. Pada siklus 2 diperoleh rata-rata nilai hasil belajar sebesar 72,61 dan tuntas belajar 78,26% dengan peningkatan sebesar 10,78%. Pada siklus 3 diperoleh rata-rata nilai hasil belajar sebesar 80,00 dan tuntas belajar 86,96% dengan peningkatan sebesar 9,24%.Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas siswa dan hasil belajar matematika pokok bahasan Matriks siswa di kelas XII-IA2 SMA Negeri 6 Banda Aceh tahun pembelajaran 2012/2013. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan bagi guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran di kelas, siswa diharapkan untuk lebih aktif dan kreatif dalam belajar dengan membiasakan diri bekerjasama dalam kelompok belajar, dan diharapkan sekolah dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang kreatif dengan menyediakan fasilitas yang dapat menunjang berlangsungnya proses pembelajaran. Kata Kunci: Aktivitas Siswa, Hasil Belajar, dan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Terkait dengan mutu pendidikan khususnya pendidikan menengah pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) sampai saat ini masih jauh dari apa yang kita harapkan. Betapa kita masih ingat dengan hangat akan standarisasi Ujian Nasional (UN) dengan nilai masing – masing mata pelajaran 5,50 dikeluhkan oleh para pendidik bahkan oleh orangtua – orang tua
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
siswa sendiri, karena anak atau siswanya tidak dapat lulus. Melihat kondisi rendahnya prestasi atau hasil belajar siswa tersebut beberapa upaya dilakukan salah satunya adalah pembelajaran model kooperatif tipe jigsaw pada pokok bahasan Matriks yang diharapkan siswa dapat meningkatkan aktifitas belajarnya, sehingga terjadi pengulangan dan penguatan terhadap materi yang diberikan di
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
sekolah dengan harapan siswa mampu meningkatkan hasil belajar atau prestasi siswa. Dari pengamatan terungkap bahwa hasil belajar siswa kelas XII-IA2 pokok bahasan Matriks pada SMAN 6 Banda Aceh secara umum masih rendah, hal ini dapat dibuktikan dari penilaian hasil belajar Kompetensi Dasar Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013, dimana Peneliti sebagai guru matematika untuk siswa kelas XII-IA2 yang berjumlah 26 orang siswa terdiri dari 11 orang siswi dan 15 orang siswa. Dari keseluruhan siswa kelas XII-IA2 hanya 11 orang siswa (41,8%) saja hasil belajar sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 65 dan 15 orang siswa (58,2%) lainnya harus melalui remidial untuk mencapai KKM 65 atau memiliki ratarata nilai 51,13. Munculnya masalah di atas, adalah menjadi permasalahan dalam penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut (1) Apakah dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar Matriks bagi siswa kelas XII-IA2 pada SMAN 6 Banda Aceh; (2) Apakah dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas XII-IA2 pokok bahasan Matriks pada SMAN 6 Banda Aceh. Tujuan Penelitian ini merupakan untuk mengetahui dan dapat meningkatkan : (1) Prestasi belajar Matriks bagi siswa kelas XII-IA2 dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada SMAN 6 Banda Aceh; dan (2) Keaktifan siswa kelas XII-IA2 pokok bahasan Matriks dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada SMAN 6 Banda Aceh. Hasil penelitian ini akan memberikan banyak manfaat bagi semua pihak , meliputi : (1) Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran matematika; (2) Guru, menjadikan bahan pertimbangan dalam menentukan Model Pembelajaran Koopera tif Tipe Jigsaw dalam penyampaian pokok bahasan Matriks yang dapat memberikan manfaat bagi siswa; dan (3) Siswa, dapat meningkatkan hasil belajar dan melatih sikap sosial untuk saling peduli terhadap keberhasilan siswa lain dalam mencapai tujuan belajar.
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
7
METODA PENELITIAN Metode yang digunakan metode Metode Deskriptif. Penelitian diawali dengan pengkondisian (pra tindakan), yaitu menentukan dahulu subyek penelitian yakni; siswa XII-IA2 SMA Negeri 6 Banda Aceh yang berjumlah 26 siswa, membentuk kelompok, menentukan nilai standar ketuntasan kompetensi minimal (KKM)yakni 65.00. Pembentukan kelompok secara acak dengan mempertimbangkan prestasi akademik sebelumnya. Selanjutnya siswa dikelompokan ke dalam 4 kelompok dengan formasi 5 dan satu kelompok lagi dengan formasi 6 orang siswa yang berprestasi baik, sedang dan kurang. Rancangan penelitian adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian terdiri atas 3 siklus. Siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 02 Februari 2013, siklus 2 dilaksanakan tanggal 20 Februari 2013, dan siklus 3 dilaksanakan tanggal 07 Maret 2013 . Prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dilaksanakan dalam kegiatan yang berbentuk siklus dengan mengacu pada model yang diadaptasi dari Kemmis dan Mc Taggart (1990:14). tiap siklus terdiri dari empat komponen, yaitu a) perencanaan (planing), b) tindakan (acting), c) pengamatan (Observing), dan d) tindakan (reflecting). Untuk komponen tindakan dan pengamatan untuk model ini dijadikan sebagai satu kesatuan. Indikator keberhasilan yang sesuai dengan tujuan akhir dari penelitian tindakan kelas ini adalah meningkatnya presentase kemampuan hasil belajar siswa dan meningkatnya Aktivitas belajar siswa melalui pendekatan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pada Siklus 1 Pada tahap perencanaan guru mengidentifikasi masalah-masalah Matematika yang berkaitan dengan topik Matriks. Pada saat menganalisis dan merumuskan masalah, guru melakukan diskusi dengan pembimbing dan observer untuk memperoleh persamaan persepsi tentang topik, sehingga konsep/materi yang akan dibahas dalam pembelajaran menjadi lebih mantap. Setelah selesai menganalisis dan merumuskan
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
asalah, dan berdikusi guru merancang model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw kerja kelompok yang akan diterapkan pada pembelajaran Matematika di kelas XII-IA2. Dalam merancang model pembelajaran guru menyusun kelompok belajar peserta didik dan merencanakan tugas kelompok. Guru juga menyiapkan instrumen berupa angket, pedoman observasi, dan tes akhir. Pada saat melakukan tindakan, peneliti berupaya untuk melaksanakan langkah-langkah pembelajaran sesuai perencanaan. Namun karena kegiatan tersebut belum biasa dilakukan peneliti, maka masih ada beberapa kendala yang dihadapi seperti kurangnya referensi terhadap materi yang sedang dibahas. Untuk mengatasi kendala tersebut peneliti mencoba menjadi lebih giat membaca beberapa buku materi Matematika lainnya selain buku wajib Matematika yang dimiliki peserta didik. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan sehingga peneliti menjadi lebih percaya diri. Peneliti selain sebagai pengajar juga berperan sebagai nara sumber dan sebagai fasilitator saat proses pembelajaran. Agar lebih mantap dalam mengelola kelas, peneliti sangat terbuka menerima masukan dari pembimbing sehingga memudahkan peneliti menggali lebih dalam untuk memperkaya data penelitian sehingga komunikasi antara peneliti dengan pembimbing,dan observer menjadi lebih harmonis. Dalam menerapkan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Matematika di SMA dengan kerja kelompok peserta didik, pada awalnya sulit untuk bekerja dalam kelompok, terutama karena peserta didik yang pintar/pandai tidak mau bergabung dengan peserta didik yang tidak/kurang pandai. Peserta didik yang merasa dirinya pandai lebih suka belajar dan bekerja sendiri, umumnya tidak mau diganggu maupun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
mengganggu orang lain. Peserta didik terkesan egois. Untuk dapat menyatukan peserta didik dalam kelompok dan bekerja sama, guru berusaha memberi penjelasan tentang pentingnya berbagi, bekerja sama, dan bersahabat tanpa melihat/memperhatikan kepintaran atau kemampuan orang lain. Justru peserta didik yang memiliki kelebihan daripada teman-temannya dapat membantunya dengan memberikan penjelasan tentang materi pelajaran yang belum dipahami dan dimengerti. Setelah diberi penjelasan oleh guru tentang arti persahabatan dan manfaat kerja sama serta kerja kelompok, akhirnya peserta didik mau membentuk kelompok, melakukan diskusi, dan bekerja kelompok. Dalam terapan tipe jigsaw, materi pelajaran diberikan pada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan. Anggota dari kelompok yang lain mendapat tugas topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli (Ibrahim, dkk. 2000 : 52). Langkah-langkah model jigsaw dibagi menjadi enam tahapan, yaitu : (1) Menyampaikan tujuan belajar dan membangkitkan motivasi (2) Menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi disertai penjelasan verbal, buku teks, atau bentuk lain (3) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar (4) Mengelola dan membantu siswa dalam belajar kelompok dan kerja di tempat duduk masing-masing (5) Mengetes penguasaan kelompok atas bahan ajar (6) Pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa (Nurhadi dan Agus Gerrard, 2003 : 40)
Tabel.1 Aktivitas Siswa pada siklus 1 Aktivitas siswa yang diamati Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru Membaca buku Bekerja dengan sesama anggota kelompok Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru Menyajikan hasil pembelajaran Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide Menulis yang relevan dengan KBM Merangkum pembelajaran Mengerjakan tes evaluasi
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
8
Presentase 16,67 12,08 17,29 14,38 4,16 10,63 9,38 7,08 8,33
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa aktivitas siswa yang paling dominan adalah mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru yaitu 16,67 %. Aktivitas lain yang presentasinya cukup besar adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok 17,29%, diskusi antara siswa atau antara siswa dengan guru 14,38%, dan membaca buku yaitu 12,08 %.
9
Pada siklus I, secara garis besar kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sudah dilaksanakan dengan baik, walaupun peran guru masih dominan untuk memberikan penjelasan dan arahan, karena masih dirasakan belum biasa mengajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw disampaikan kepada siswa.
Tabel.2 Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus I Hasil No Uraian Siklus I 1 Nilai rata-rata tes formatif 64,78 2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 15 Persentase ketuntasan belajar 65,22 3 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 64,78 dan ketuntasan belajar mencapai 65,22% atau ada 15 siswa dari 23 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 65,22% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa belum
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
biasa apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. B. Pada Siklus 2 Kerja kelompok yang dilakukan peserta didik dalam pembelajaran Matematika memotivasi peserta didik untuk belajar Matematika lebih baik. Peserta didik berusaha memahami topik-topik Matematika dan mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat membaca dan belajar topik-topik Matematika.
Tabel.3 Aktivitas Siswa pada siklus 2 Aktivitas siswa yang diamati Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru Membaca buku Bekerja dengan sesama anggota kelompok Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru Menyajikan hasil pembelajaran Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide Menulis yang relevan dengan KBM Merangkum pembelajaran Mengerjakan tes evaluasi
Berdasarkan tabel.3 di atas, tampak bahwa aktivitas siswa yang paling dominan pada siklus 2 adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok yaitu (21%). Jika dibandingkan dengan siklus I, aktifitas ini mengalami peningkatan. Aktifitas siswa yang mengalami penurunan adalah mengajukan/menanggapi pertanyaan/ide
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
Presentase 17,9 12,1 21,0 13,8 4,6 5,4 7,7 6,7 10,8
(5,40%). merangkum pembelajaran(6,7%), dan menulis yang relevan dengan KBM (7,7%) Adapun aktifitas siswa yang mengalami peningkatan adalah membaca buku (12,1%), menyajikan hasil pembelajaran (4,6%), mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru (17,9%), dan mengerjakan tes evaluasi (10,8%).
10
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
Tabel.4. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus 2 No 1 2 3
Uraian Nilai rata-rata tes formatif Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar
Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 72,61 dan ketuntasan belajar mencapai 78,26% atau ada 21 siswa dari 26 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus 2 ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan dinginkan guru dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hasil Siklus II 72,61 21 78,26
C. Pada Siklus 3 Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperha- tikan revisi pada siklus 2, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus 2 tidak terulang lagi pada siklus 3. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 3 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif 3. Adapun data hasil penelitian pada siklus 3 adalah sebagai berikut:
Tabel.5 Aktivitas Siswa pada siklus 3 Aktivitas siswa yang diamati Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru Membaca buku Bekerja dengan sesama anggota kelompok Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru Menyajikan hasil pembelajaran Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide Menulis yang relevan dengan KBM Merangkum pembelajaran Mengerjakan tes evaluasi
Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa aktivitas siswa yang paling dominan pada siklus 3 adalah bekerja dengan sesama anggota kelompok yaitu (22,1%) dan mendengarkan/memperhatikan penjelasan
Presentase 20,8 13,1 22,1 15,0 2,9 4,2 6,1 7,3 8,5
guru (20,8%), aktivitas yang mengalami peningkatan adalah membaca buku siswa (13,1%) dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru (15,0%). Sedangkan aktivitas yang lainnya mengalami penurunan.
Tabel.6 Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus 3 No 1 2 3
Uraian Nilai rata-rata tes formatif Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar
Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 80,00 dari 26 siswa (3 siswa keluar) sehingga tinggal 23 siswa dan yang telah tuntas sebanyak 20 siswa
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
Hasil Siklus III 80,00 20 86,96
dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 86,96% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus 3
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus 2. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus 3 ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif
11
tipe jigsaw yang membuat siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan.
Tabel 4.1 Hasil Tiap Aspek PTK Selama Dua Siklus No
Siklus ke-1 (%)
Siklus ke-2 (%)
Siklus ke-3 (%)
a. Bekerja dengan sesama anggota kelompok
17.29
21.00
22.10
b. Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru
16.67
17.90
20.80
c. Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru Hasil Belajar Siswa a. Ketuntasan Belajar b. Rataan Nilai Formatif
14.38
13.80
15.00
65.22 64.78
78.26 72.61
86.96 80.00
Aspek Penelitian Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
1
2
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki dampak positif dalam meningkatkan aktivitas siswa dilihat dari hasil pengamatan selama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung dimana persentase bekerja dengan sesama kelompok, mendengarkan/ mem perhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa serta antara siswa dengan guru mengalami kenaikan yang signifikan yakni sebesar 22,10%, 20,80% dan 15,00%. 2. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berpengaruh baik terhadap hasil be lajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap sik -lus, yaitu siklus 1 (65,22%), siklus 2 (78,26%), dan siklus 3 (86,96%). Dan rataan nilai formatif dari 64.78 siklus 1, 72.61 siklus 2, menjadi 80.00 siklus 3. 3. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw juga mempunyai pengaruh positif, dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara de ngan beberapa siswa, rata-rata jawaban
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
siswa menyatakan bahwa mereka tertarik dan berminat dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sehingga mereka menjadi ter motivasi untuk belajar. 1. Saran-saran Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar matematika lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai berikut: 1. Untuk melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal. 2. Dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagai metode pengajaran, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. 3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil penelitian ini masih sangat
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
4.
sederhana dan perlu disempurnakan di tahun –tahun mendatang. Untuk penelitian yang serupa hendaknya dilakukan perbaikan-perbaikan agar diperoleh hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1993. Mengajar Secara Jakarta: Rineksa Cipta.
Manajemen Manusiawi.
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Jakarta. Balai Pustaka. Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta. Felder,
Ngalim,
Nur,
12
Purwanto M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhammad. 1996. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya.
Rustiyah, N.K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: PAUPPAI, Universitas Terbuka. Soetomo. 1993. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya Usaha Nasional. Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Richard M. 1994. Cooperative Learning in Technical Corse, (online), (Pcll\d\My % Document\Coop % 20 Report.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodogi Research. Yayasan Penerbitan FakuLearning Togetheras Psikologi Universitas Gajah Mada. Yoyakarta.
Wahyuni, Dwi. 2001. Studi Tentang Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Matematika. Malang: Program Sarjana Universitas Negeri Malang.
Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hasibuan. J.J. dan Moerdjiono. 1998. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hudoyo, H. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: IKIP Malang. KBBI. 1996. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Margono, S. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineksa Cipta. Mursell, James ( - ). Succesfull Teaching (terjemahan). Bandung: Jemmars.
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
13
IMPROVING THE STUDENTS' COMPREHENSION IN DESCRIPTIVE TEXT THROUGH TEAM PRODUCT IN COOPERAITVE LEARNING IN THE VIII/8 CLASS STUDENTS OF SMP 2 BANDA ACEH 2013/2014 ACADEMIC YEARS
By Cut Zuraidah* Abstract The problems of this research were how to improve students' comprehension in Descriptive text through Team Product in Cooperative Learning. The research was guided by a conceptual framework leading to the using team product through group work to improve their comprehension in English subject. The research type was an action research. The subject consisted of 26 students of the second class (VIII/8) of SMP 2 Banda Aceh 20132014 academic years. The research data were collected using test (test after first treatment and test after the second treatment), observation for collecting data on the students' motivation in improving the students' comprehension using Team Product. Data on students' comprehension using Team Product were analyzed using the descriptive and statistic analysis, using the increasing of mean after the first and the second treatment. The study concluded that using Team Product through group work as a teaching strategy variation has brought a new nuance in English language teaching in improving their comprehension in Descriptive Text. Keywords : Students' Comprehension, Descriptive Text, Cooperaitve Learning
Fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah menengah pertama adalah untuk mendukung pencapaian kompetensi lulusan SMP yang memiliki pengetahuan, nilai, dan sikap terhadap empat keterampilan bahasa sebagaimana digariskan dalam kurikulum KTSP 2006, yaitu 1) keterampilan mendengarkan, 2) keterampilan berbicara, 3) keterampilan membaca, dan 4) keterampilan menulis. Dalam konteks tugas sekolah, para siswa kadang-kadang ditugaskan untuk membuat teks yang berisikan informasi tentang penjelasan suatu phenomena baik yang bersifat natural ataupun non-natural. Penjelasan disini bukan hanya penjelasan tentang proses terjadi atau terbentuknya fenomena, akan tetapi penjelasan deskripsi, yang berfungsi untuk memberikan informasi yang bersifat scientific dan knowledgeimproving, yang bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan (knowledge) kepada para pembaca. Proses pembelajaran Bahasa Inggris yang dilaksanakan masih bersifat satu arah (teacher centered), yaitu guru hanya menyampaikan pesan/informasi materi pelajaran dan siswa sebagai penerima yang
pasif. Kecenderungan pembelajaran demikian mengakibatkan lemahnya pengembangan potensi diri siswa dalam pembelajaran sehingga partisipasi siswa dalam belajar tidak optimal. Dalam rangka mencapai harapan bahwa hasil belajar dalam kegiatan belajar ini dapat meningkat, dikemukakan salah satu altemative melalui sebuah penelitian yang berjudul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa Memahami Teks Dekriptif Bahasa Inggris melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Product di Kelas VIII/8 SMP Negeri 2 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014”. Dengan menggunakan metode ini diharapkan siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik yang bertujuan meningkatkan hasil belajar siswa pada materi teks Descriptive.
TINJAUAN PUSTAKA Menurut Henry E. Garret (dalam konsep dan makna pembelajaran:13) "Belajar adalah proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa perubahan pada diri dan perubahan cara mereaksi terhadap
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
suatu perangsang tertentu". Pembelajaran sebagai suatu proses dimana suatu organisasi berubah tingkah lakunya sebagai akibat dari pengalaman. "Hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa" (Nana Sudjana, 1989:111). Investigasi Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok secara heterogen dilihat dari kemampuan dan latar belakang, baik dari segi jenis kelamin, suku, dan agama, untuk melakukan investigasi terhadap suatu topic (Eggen & Kauchak, 1998:305) Teks descriptif bertujuan untuk menjelaskan orang, tempat, atau benda tertentu. Jadi, dalam teks deskriptif, kita dapat menjelaskan orang, tempat, atau benda yang kita lihat atau miliki.
METODA PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kelas VIII/8 SMP Negeri 2 Banda Aceh semester 2 tahun ajaran 2013/2014. Lokasi penelitian ini adalah di SMP Negeri 2 Banda Aceh yang beralamat di Desa Lampriet Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII/8, yang berjumlah 26 orang siswa terdiri atas 13 siswa perempuan dan 13 siswa laki-laki. Subjek penelitian ini sangat heterogen dilihat dari kemampuannya, yakni, ada sebagian siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Data dari penelitian ini berupa data hasil tes, data hasil pengamatan pengelolaan pembelajaran, dan data pengamatan aktivitas siswa secara individu. Sumber data untuk memperoleh data penelitian adalah siswa kelas VIII/8. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah (1) Soal Kuis (2) Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran melalui Team Product (3) Lembar pengamatan aktivitas siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa terjadi peningkatan dari 50% pada siklus I menjadi 82,9% di siklus II. Sebagian besar aspek pengamatan telah dilakukan dengan baik. Persentase di atas telah mencapai indikator yang ditetapkan yaitu mencapai kategori BAIK (76%-86%). Dari
14
hasil tes siswa, data pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan aktivitas siswa dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dianggap berhasil karena telah mencapai indicator keberhasilan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model Team Product memberi dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya nilai siswa pada hasil tes materi teks deskriptif bahasa Inggris. (Ketuntasan belajar meningkat dari siklus I ke siklus II) yaitu masing-masing 42% pada siklus I meningkat menjadi 88,4% pada siklus Pada siklus II indicator keberhasilan telah tercapai karena indicator yang ditetapkan adalah sebesar 85% siswa mencapai nilai KKM 70. Berdasarkan analisis data, diperoleh informasi bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran juga meningkat persentasenya dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I, kemarnpuan guru mengelola pembelajaran mencapai 64,6% dan pada siklus II mencapai 82,2% berarti telah mencapai kategori BAIK (76%-86%). Nilai hasil tes siswa mencapai persentase ketuntasan 88,4%, pengelolaan pembelajaran mencapai 82,2% atau berada pada kategori baik, dan aktivitas siswa juga mencapai 82,85% sesuai dengan indikator yang ditetapkan telah mencapai kategori BAIK.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan: Penerapan model Team Product dalam pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan siswa menguasai materi Teks Deskriptif bahasa Inggris. -Melalui Team Product guru dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran. -Penerapan model Team Product dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks Deskriptif
DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 2002. Classroom Instruction and Management. USA: The Mc. Graw Hill Companies, Inc. Blatner, A. 2002. "Drama In Education As Mental Hygiene: A Child
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Cut Zuraida, Improving The Students' Comprehension In Descriptive Text
Psychiatrist's Perspectii;e". Youth Theatre Journal, 9, 92-96. Depdiknas, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Atas; Pedoman Pembelajaran Tuntas. Jakarta. Hamalik, O. 2002. Pengajaran Unit: Studi Kurikulum dan Metodologi. Bandung: Penerbit Alumni. ______. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. ______.
2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Haryati, H. 2007. Model Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press. Joyce, B. 2000. Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall International. Karo-Karo, U. 1981. Metodologi Pengajaran. Salatiga: CV. Saudara. Kasbolah, K. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Mulyasa, E. 2003. Implementasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosda Karya. Prawiradilaga, D. S. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Sardiman, A.M. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudjana.
2001. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
15
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
16
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA TERHADAP PEMAHAMAN TEKS BERBENTUK NARRATIVE DAN REPORT MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DI KELAS XI IS-1 SMA NEGERI 2 BANDA ACEH SEMESTER GANJIL 2012/2013
Oleh Ratnawati* Abstrak Penelitian ini mengkaji masalah bagaimana peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris, serta bagaimana peningkatan aktivitas guru dan siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris, serta peningkatan aktivitas guru dan siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) melalui pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh sebanyak 24 orang. Hasil penelitian menunjukkan persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 45,83% dengan rata-rata hasil belajar siswa 63,75, persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus II sebesar 75,00% dengan rata-rata hasil belajar siswa 71,25, serta persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus III sebesar 95,83% dengan rata-rata hasil belajar 78,33. Dengan demikian, hasil belajar siswa terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklusnya. Rata-rata tingkat aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) pada siklus I sebesar 3,17 dengan persentase 63,40%, rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus II sebesar 3,95 dengan persentase 79,00%, dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus III sebesar 4,42 dengan persentase 88,40%. Dengan demikian, aktivitas guru selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklus sehingga pembelajaran yang diterapkan guru efektif. Rata-rata tingkat aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada siklus I sebesar 2,54 dengan persentase 50,77%, rata-rata aktivitas siswa pada siklus II sebesar 4,08 dengan persentase 81,60%, dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus III sebesar 4,23 dengan persentase 84,62%. Dengan demikian, aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklus sehingga siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Kata kunci: hasil belajar siswa, contextual teaching and learning (CTL), bidang studi bahasa Inggris
Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang selalu berupaya menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Pendidikan di sekolah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan tersebut akan
tercapai dengan pemilihan pendekatan pembelajaran yang tepat. Djamarah dan Zain (2002:7) berpendapat, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar berhasil sesuai yang diharapkan perlunya memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode, prosedur atau teknik penyajian untuk memotivasi siswa agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya dalam memecahkan masalah. Siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran dapat membuat kondisi kelas bersifat pasif, siswa mudah bosan, apalagi jika guru hanya mengajarkan materi dengan pembelajaran monoton. Kondisi ini terjadi pada siswa kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Berdasarkan hasil observasi penulis, menunjukkan bahwa siswa sering merasa bosan dan mengalami kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan khususnya pada pelajaran bahasa Inggris. Hal ini mungkin disebabkan karena umumnya guru menyampaikan materi secara monoton dengan metode ceramah tanpa mengaktifkan siswa dalam kegiatan diskusi dan tanya jawab. Akibatnya hasil belajar yang diperoleh siswa pada pelajaran bahasa Inggris juga rendah. Hal ini terlihat rata-rata hasil tes ulangan siswa pada pelajaran bahasa Inggris yaitu 56,5 yang masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh yaitu minimal 65. Untuk mengatasi kondisi tersebut, upaya yang dapat dilakukan guru adalah melalui penerapan kegiatan contextual teaching and learning (CTL). Hal ini dikarenakan konsep dari CTL adalah mengaitkan konsep/materi dengan kehidupan nyata (real) sehingga memudahkan siswa untuk memahami konsep materi. Sejalan dengan hal ini, Johar dkk (2006:72) menjelaskan Contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, dikarenakan siswa dapat memahami konsep dari materi yang diajarkan. Siswa dalam contextual teaching and learning (CTL) dituntut untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa dimotivasi untuk dapat mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan penerapan di dunia nyata ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
17
Berkenaan dengan hal tersebut, Johar dkk (2006:72) menambahkan bahwa Contextual teaching and learning (CTL) merupakan salah satu pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan lebih bermakna karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Berkaitan dengan contextual teaching and learning (CTL), Sanjaya (2005:109) menyatakan bahwa CTL merupakan suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pada pembelajaran bahasa Inggris, khususnya materi teks berbentuk descriptive yang diajarkan di sekolah akan lebih bermakna serta dapat diaplikasikan oleh siswa secara langsung apabila contextual teaching and learning (CTL) diterapkan. Penerapan kontekstual dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report, merupakan salah satu alternatif yang baik untuk mengembangkan pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Siswa belajar menghubungkan materi dengan dunia nyata, sehingga proses belajar diharapkan akan lebih bermakna bagi siswa. Selain itu, siswa diharapkan dapat menemukan dan membangun ide-ide serta konsep yang diajarkan baik dari fenomena sehari-hari ataupun dari masalah yang dapat dibayangkan, sehingga mendidik siswa bersikap kritis, logis serta mampu memecahkan masalah. Dari uraian tersebut, maka diperlukan suatu upaya dalam meningkatkan hasil belajar siswa terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui contextual teaching and learning (CTL) pada mata pelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda aceh semester ganjil 2012/2013.
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
Tujuan Penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada mata pelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh; dan (2) Untuk mengetahui peningkatan aktivitas guru dan siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada mata pelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Contextual Teaching and Learning (CTL) Djamarah (2000:12) menjelaskan Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada siswa. Sedangkan Sanjaya, (2007:253) menjelaskan bahwa Contextual teaching and learning (CTL) merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan konsep materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan. Berkenaan dengan konsep contextual teaching and learning (CTL), Johar dkk (2006:72) menjelaskan bahwa Contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, dikarenakan siswa dapat memahami konsep dari materi yang diajarkan. Sejalan dengan pendapat di atas, Sanjaya (2007:259) menjelaskan (1) kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya pada proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan
18
menemukan sendiri konsep materi pelajaran; (2) kontekstual mendorong siswa agar dapat menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan menghubungkan konsep materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata bukan hanya akan membuat materi lebih bermakna bagi siswa, bahkan materi yang telah dipelajari akan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak mudah dilupakan; (3) kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkan materi dalam kehidupan nyata, artinya kontekstual bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya tetapi juga bagaimana materi pelajaran dapat mewarnai perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks kontekstual bukan hanya untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal bagi siswa dalam menjalani kehidupan nyata. Oleh karena itu, penerapan kontekstual dalam pembelajaran bahasa Inggris merupakan alternatif yang baik untuk mengembangkan pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Siswa belajar menghubungkan materi dengan dunia nyata, sehingga proses pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna bagi siswa. Selain itu, siswa dapat menemukan dan membangun ide-ide serta konsep yang diajarkan baik dari fenomena sehari-hari ataupun dari masalah yang dapat dibayangkan, sehingga mendidik siswa bersikap kritis, logis serta mampu memecahkan masalah. Pada contextual teaching and learning (CTL), program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan autentik assesmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
dikerjakannya bersama siswanya. Menurut Johar dkk (2006:72), secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program contextual teaching and learning (CTL). Sekali lagi, yang membedakan hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai yaitu jelas dan operasional dengan titik tujuan adalah hasil, sedangkan program untuk contextual teaching and learning (CTL) lebih menekankan pada skenario pembelajarannya dengan menitikberatkan pada proses dan kebermaknaan bagi siswa.
19
Pada contextual teaching and learning (CTL) pembelajaran lebih ditekankan pada proses. Selain itu CTL siswa dilibatkan dalam situasi dunia nyata ataupun masalah kehidupan sehari-hari, sehingga siswa mampu menemukan substansi atau konsep dari materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Contextual teaching and learning (CTL) lebih menempatkan siswa sebagai subjek dalam kegiatan dan bukan sebagai objek. Oleh karena itu, siswa dalam CTL dituntut untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Tabel 1. Perbedaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Konvensional No
Contextual Teaching and Learning (CTL)
1.
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang. Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok). Perilaku dibangun atas kesadaran diri Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut keliru dan merugikan. Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
11. 12.
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting. 13. Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik. Sumber: Johar dkk (2006:74). Contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa
Konvensional (Tradisonal) Pemilihan informasi ditentukan oleh guru. Siswa secara pasif menerima informasi. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis. Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan. Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu. Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual). Perilaku dibangun atas kebiasaan Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan. Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman. Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik. Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas. Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan atau konteks ke permasalahan atau konteks lainnya. Contextual teaching and learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pada pembelajaran bahasa Inggris lebih bermakna serta dapat diaplikasikan langsung oleh siswa apabila contextual teaching and learning (CTL) diterapkan. Hal ini karena pembelajaran kontektual menekankan pada lingkungan alamiah serta menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan dunia nyata, siswa diberikan kesempatan aktif dalam pembelajaran. Sehingga materi yang sampaikan guru lebih mudah dipahami oleh siswa baik dari segi konsep, penerapan maupun manfaatnya. Sehingga diharapkan hasil belajar yang diperoleh juga optimal. B. Tujuh Unsur Dalam Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Sehingga pengetahuan terbentuk dari dua faktor yaitu pengalaman dan kemampuan seseorang untuk menginterpretasi pengalaman tersebut (Sanjaya, 2006:262). Konstruktivisme adalah landasan berpikir (filosofi) dalam contextual teaching and learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan manusia dibangun secara bertahap, sedikit demi sedikit. Johar dkk (2006:75) menjelaskan bahwa Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu, dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan dasar ini, pembelajaran harus
20
dikemas dengan mengkonstruksi dan bukan menerima pengetahuan. Dengan demikian, dalam pandangan konstruktivisme strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan agar siswa mampu membangun pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada pengetahuan awal siswa. Sehingga siswa akan dapat menemukan serta memahami sindiri konsep dari materi yang diajarkan. 2.
Menemukan (Inquiry) Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari contextual teaching and learning (CTL). Pengetahuan dan keterampilan siswa diharapkan bukan hasil mengingat sejumlah fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Johar dkk (2006:75) mengatakan bahwa Siklus inquiry terdiri dari kegiatan mengamati, bertanya, menyelidiki, menganalisis dan menemukan teori atau membuat kesimpulan. Sejalan dengan hal ini, Sanjaya (2006:163) menjelaskan Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta dari hasil mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam inquiry terjadinya proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman siswa. Proses menemukan merupakan cara belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis yang mengakibatkan siswa mampu memaknai hakikat konsep materi yang dipelajari. 3.
Bertanya (Questioning) Bertanya (questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya bukan hanya bersumber dari guru, tetapi juga bersumber dari siswa dengan kata lain komunikasi dua arah. Johar dkk (2006:75) mengatakan bahwa Bertanya dalam kegiatan pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran berbasis inquiry. Sejalan dengan hal tersebut, Sanjaya (2006:264) menjelaskan bahwa Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap orang, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses contextual teaching and learning (CTL), guru tidak menyampaikan materi
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
begitu saja akan tetapi mendorong siswa untuk dapat menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap konsep materi yang dipelajarinya. 4.
Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar dalam kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam sekelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, maupun antar kelompok (Sanjaya, 2006:265). Johar dkk (2006:76) berpendapat bahwa Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar dan bekerja sama dengan orang lain akan lebih baik dari pada belajar sendiri. Selain itu, dalam konsep masyarakat belajar dapat terjadinya tukar pengalaman serta berbagi ide antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. 5.
Pemodelan (Modeling) Johar dkk (2006:76) menjelaskan, Pemodelan dalam contextual teaching and learning (CTL) maksudnya keterampilan atau pengetahuan tertentu yang dipedomani dari model yang bisa ditiru. Model yang dimaksud dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu, mempraktekkan atau memperagakan suatu materi atau dapat juga berupa benda atau orang yang dijadikan model. Sejalan dengan tersebut, Sanjaya (2006:265) menjelaskan bahwa Pemodelan (modeling) merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dengan demikian, pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar serta mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
21
6.
Refleksi (Reflection) Johar dkk (2006:77) mengatakan bahwa Refleksi adalah cara tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah dilakukan. Sanjaya (2006:266) menjelaskan bahwa Refleksi merupakan proses menyimpulkan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilalui siswa. Refleksi dapat berbentuk langkahlangkah atau juga trik-trik dalam menemukan konsep dari suatu materi yang telah dipelajari. Sehingga siswa mudah mengingat apa saja yang telah dilakukannya dalam menemukan substansi dari materi pelajaran. 7.
Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment) Johar dkk (2006:145) menjelaskan bahwa Assesmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan hasil belajar siswa. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu, diperlukan disepanjang proses pembelajaran. Assesmen tidak hanya dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada awal serta dalam proses pembelajaran. Jadi, kemajuan dalam belajar siswa bukan hanya dinilai pada hasil saja, tetapi juga pada prosesnya. Dengan melakukan assesmen di awal, dalam proses serta pada akhir pembelajaran maka guru akan dengan mudah memantau perkembangan hasil belajar siswa. Selain itu juga berguna untuk membuat serta mengambil suatu kebijakan dalam memaksimalkan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran. C. Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Materi Teks Berbentuk Narrative dan Report Materi teks berbentuk Narrative dan Report adalah salah satu materi mata pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan pada kelas XI IS-1 SMA semester I. Standar Kompetensi (SK) pada materi ini yaitu memahami makna dalam teks lisan fungsional dan monolog pendek sederhana berbentuk Narrative dan Report untuk berinteraksi dalam konteks kehidupan sehari-hari. Adapun Kompetensi Dasar (KD) materi ini adalah merespon makna yang terdapat dalam monolog pendek sederhana secara akura[----t,
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
lancar, dan berterima untuk berinteraksi dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk . Penerapan model contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report dilakukan dalam tiga kali pertemuan. 1.
Kegiatan Pendahuluan Pada kegiatan pendahuluan, guru menyampaikan tujuan pembelajaran materi teks berbentuk Narrative dan Report dan memotivasi siswa untuk belajar. Langkah selanjutnya, guru mengaitkan materi teks berbentuk Narrative dan Report dengan contoh kehidupan sehari-hari, misalnya kegiatan jual beli di teks berbentuk Narrative dan Report. 2.
Kegiatan Inti Pada kegiatan inti, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok belajar yang beranggotakan 4 – 5 orang. Membagikan LKS tiap kelompok, serta meminta siswa berdiskusi dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam LKS. Guru mengajukan masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan teks berbentuk Narrative dan Report, dan membagikan LKS yang berisi rangkuman tentang teks berbentuk Narrative dan Report , siswa dituntut untuk menentukan pengertian teks berbentuk Narrative dan Report , macam-macam teks berbentuk Narrative dan Report, serta bentuk teks berbentuk Narrative dan Report. Selanjutnya guru memantau jalannya diskusi dalam kelompok, membimbing dan mempersilahkan siswa untuk menjelaskan pada anggota kelompok masing-masing jika terdapat materi yang kurang dipahami. Selanjutnya guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya mengenai materi teks berbentuk Narrative dan Report. Guru mempersilahkan kelompok lainnya untuk menanggapi hasil kerja kelompok penyaji. Kemudian guru memberikan pertanyaan kepada masingmasing siswa untuk mewakili kelompok, dan tidak boleh dibantu teman kelompoknya. Skor kelompok diperoleh dari penjumlahan nilai jawaban anggota kelompok masing-masing. Selanjutnya guru memberikan penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memperoleh nilai yang tertinggi.
22
3.
Kegiatan Penutup Pada kegiatan ini, guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang telah dipelajari. Memberikan penghargaan kepada kelompok terbaik dalam diskusi dan kuis. Langkah terakhir adalah menilai hasil belajar siswa terhadap materi teks berbentuk Narrative dan Report dengan memberikan tes. Kemudian ditutup dengan memberikan PR kepada siswa.
METODA PENELITIAN A. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan merujuk pada gambaran penelitian di lapangan berdasarkan data kualitatif. Berkenaan dengan data kualitatif, Riduwan (2003:31) menjelaskan Data kualitatif adalah data yang berhubungan dengan kategori, karakteristik data berwujud pernyataan atau berupa kata-kata. Jadi, pendekatan kualitatif lebih menekankan pada jenis data yang diperoleh dalam penelitian. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji keadaan alamiah siswa mengikuti pembelajaran bahasa Inggris melalui contextual teaching and learning (CTL) sesuai dengan karakteristiknya. Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), yang merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan (peneliti), yang dilakukan untuk meningkatkan pemantapan rasional dari tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat pelaksanaan, memperdalam pemahaman serta memperbaiki kondisi di mana praktek atau pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan (Wiriaatmadja, 2007:94). B.
Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini siswa kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh yang berjumlah 24 orang. Pemilihan subjek penelitian didasarkan pada pertimbangan rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. C.
Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan prosedur penelitian mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (dalam
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Wiriaatmadja, 2007:66) berupa siklus spiral, meliputi kegiatan perencanaan, pemberian tindakan, pengamatan, dan refleksi yang membentuk siklus demi siklus sampai tuntas penelitian, sehingga diperoleh data yang dapat dijadikan jawaban dari permasalahan penelitian. 1. Tahap perencanaan (plan); Pada tahap perencanaan, yang dilakukan adalah merencanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan contextual teaching and learning (CTL). Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan yaitu: (1) menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); (2) menyiapkan sumber belajar; (3) menyusun Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk masing-masing tindakan; serta (4) menyiapkan media yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). 2. Tahap pelaksanaan tindakan (actuat); Tahap pelaksanaan tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Pemberian tindakan dalam penelitian ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) siklus, dengan materi penelitian adalah teks berbentuk. Pada siklus I, contextual teaching and learning (CTL) diterapkan pada pokok bahasan teks berbentuk Narrative dan Report. Untuk siklus II contextual teaching and learning (CTL) diterapkan pada pokok bahasan teks berbentuk Narrative dan Report. Sedangkan untuk siklus III contextual teaching and learning (CTL) diterapkan pada pokok bahasan teks berbentuk Narrative dan Report. 3. Tahap observasi (observe); Tahap observasi merupakan kegiatan pengamatan terhadap jalannya proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas guru (peneliti) dan aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Observasi dilakukan oleh
4.
D. 1.
2.
E. 1.
23
seorang guru bahasa Inggris yang mengajar di sekolah tersebut dan dibantu oleh seorang teman sejawat peneliti. Semua kegiatan penerapan contextual teaching and learning (CTL) diamati dan dicatat untuk dijadikan bahan perbaikan pembelajaran selanjutnya. Tahap refleksi (reflect); Refleksi merupakan kegiatan mengevaluasi proses dan hasil tindakan yang dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji apa yang telah terjadi dan apa yang akan dilakukan pada tindakan selanjutnya, dengan mengacu hasil refleksi yang telah diperoleh pada tindakan sebelumnya. Hasil refleksi merupakan acuan (pedoman) peneliti dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus selanjutnya. Teknik Pengumpulan Data Tes belajar, digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh pada setiap tindakan. Observasi, dilakukan oleh pengamat (observer) selama pelaksanaan tindakan untuk mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran bahasa Inggris dengan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Aktivitas guru diamati oleh seorang guru bahasa Inggris yang mengajar di sekolah tersebut, sedangkan aktivitas siswa diamati oleh seorang teman sejawat.
Teknik Analisis Data Data Hasil Belajar Siswa Data hasil belajar siswa untuk setiap siklus ditinjau berdasarkan ketuntasan belajar siswa secara individual yang mengacu pada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang ditetapkan SMA Negeri 2 Banda Aceh. Untuk ketuntasan belajar secara klasikal, penulis mengacu pada pendapat Mulyasa (2004:99) yang menyebutkan Tuntas belajar secara klasikal apabila di kelas tersebut terdapat
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
minimal 85% dari jumlah siswa tuntas belajar individual. Besarnya persentase hasil belajar secara klasikal dihitung dengan rumus: P=
F x 100% N
Keterangan: P = Persentase ketuntasan siswa F = Jumlah siswa yang tuntas. N = Jumlah seluruh siswa (Sudijono, 2005:43). Apabila persentase ketuntasan belajar klasikal siswa masih di bawah 85%, maka akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses kegiatan pembelajaran pada siklus selanjutnya.
24
3. Data Aktivitas Siswa Data yang diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas siswa kemudian dianalisis, untuk menentukan persentase Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) selama kegiatan penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Penentuan besarnya persentase tingkat aktivitas siswa digunakan rumus yaitu: Persentase TAS = Jumlah skor x 100% Skor maksimal
2.
Tabel 3. Kriteria Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) Tingkat Aktivitas No. Kriteria Siswa (TAS) 1. 0,00% – 60,00% sangat kurang 2. 60,01% – 70,00% kurang 70,01% – 80,00% cukup 3. 4. 80,01% – 90,00% baik 5. sangat baik 90,01% – 100,00% Sumber: Arif (2003:68).
Persentase TAG =
Arif (2003:71) menjelaskan bahwa Aktivitas siswa selama pembelajaran dikatakan mencapai taraf keberhasilan jika berada pada kategori baik atau sangat baik. Apabila hasil analisis data tidak memenuhi kategori baik atau sangat baik pada penelitian ini akan dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran pada siklus selanjutnya.
Data Aktivitas Guru Observasi aktivitas guru dilakukan oleh observer (pengamat) selama pelaksanaan tindakan, dengan berpedoman pada lembar observasi. Analisis data hasil observasi aktivitas guru selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dilakukan dengan menghitung persentase skor rata-rata Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada setiap indikator yang diamati, yaitu:
Jumlah skor Skor maksimal
x 100%
Tabel 2. Kriteria Tingkat Aktivitas Guru (TAG) Tingkat Aktivitas No. Kriteria Guru (TAG) 1. 0,00% – 60,00% sangat kurang 60,01% – 70,00% kurang 2. 3. 70,01% – 80,00% cukup 80,01% – 90,00% baik 4. 90,01% – 100,00% sangat baik 5. Sumber: Arif (2003:71). Arif (2003:69) menjelaskan bahwa Aktivitas guru selama pembelajaran dikatakan mencapai taraf keberhasilan jika berada pada kategori baik atau sangat baik. Apabila hasil analisis data tidak memenuhi dari salah satu kategori baik atau sangat baik pada penelitian ini akan dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran pada siklus selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Belajar Siswa Dari hasil belajar siswa melalui contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 11 orang atau 45,83%, sedangkan 13 orang atau sebesar 54,17% belum mencapai ketuntasan belajar. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh siswa adalah 63,75 dan berada di bawah nilai KKM mata pelajaran bahasa Inggris. Oleh karena persentase ketuntasan belajar siswa masih berada di bawah 85%, maka hasil belajar siswa kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I belum mencapai ketuntasan belajar klasikal.
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Dari hasil belajar siswa pada siklus II menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 18 orang atau 75,00%, sedangkan 6 orang atau 25,00% lainnya belum mencapai ketuntasan belajar. Adapun rata-rata hasil belajar yang diperoleh siswa adalah 71,25 dan berada di atas nilai KKM yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh. Walaupun hasil belajar siswa pada siklus II lebih baik dari pada hasil belajar siswa pada siklus I, namun persentase ketuntasan belajar siswa masih berada di bawah 85%. Dengan demikian, hasil belajar siswa yang diterapkan dengan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus II belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal atau keseluruhan. Oleh karena itu, pada siklus III selanjutnya hasil belajar siswa perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan aktivitas guru dan siswa agar ketuntasan belajar klasikal tercapai. Sementara itu, hasil belajar siswa melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus III menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar individual sebanyak 23 orang atau 95,83%, sedangkan 1 orang atau 4,17% belum mencapai ketuntasan belajar. Adapun rata-rata hasil belajar yang diperoleh siswa adalah 78,33 dan berada di atas nilai KKM yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh untuk mata pelajaran bahasa Inggris. Persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 95,83% lebih besar dari 85% untuk mencapai ketuntasan klasikal. Dengan demikian, disimpulkan hasil belajar siswa melalui penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report dan siklus III di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh sudah mencapai ketuntasan belajar klasikal. Hal tersebut membuktikan hasil belajar siswa dengan penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklusnya. Hal ini secara tidak langsung juga menggambarkan adanya upaya guru dalam meningkatkan
25
kualitas pembelajaran yang dilakukan, sehingga berdampak positif terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa. B.
Aktivitas Guru Selama Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) Dari hasil penelitian, rata-rata Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada tindakan I diperoleh skor rata-rata 3,17 dengan persentase sebesar 63,4%, sehingga secara umum tingkat aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari aspek: memotivasi siswa dan menginformasikan tujuan dari pelajaran, menginformasikan langkah-langkah pembelajaran, mendorong para siswa agar berpikir kritis melalui pertanyaan, menghargai berbagai pendapat siswa dan memberikan penghargaan terhadap hasil belajar siswa sebagai motivasi belajar, serta pengelolaan waktu, yang berada pada kategori penilaian kurang dengan skor 2. Begitu juga untuk aspek pengamatan: membuka pelajaran, mengaitkan materi dengan materi sebelumnya, menjelaskan dan mengajukan masalah yang real/nyata kepada siswa, mendorong siswa untuk membandingkan jawaban dengan jawaban teman sekelompok, mendorong siswa untuk mau bertanya, mengeluarkan pendapat atau menjawab pertanyaan, mengevaluasi hasil belajar siswa dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada siswa untuk mempertahankan ingatan siswa, mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri dan menarik kesimpulan tentang konsep/prinsip/teorema/rumus, menegaskan hal-hal penting atau intisari berkaitan dengan pembelajaran, menyampaikan judul sub materi berikutnya dan memberikan PR serta menutup pelajaran, dan antusias siswa yang masih berada pada kategori penilaian cukup dengan skor 3. Oleh karena itu, pada penerapan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus II selanjutnya, aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran terutama pada aspek-aspek tersebut perlu ditingkatkan. Tingkat Aktivitas Guru (TAG) untuk siklus II menunjukkan aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) semakin meningkat, hal ini terlihat dari rata-rata tingkat aktivitas guru sebesar 3,95 dengan persentase 79,00% yang lebih baik
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
dari siklus sebelumnya. Jika ditinjau berdasarkan kriteria penilaian, maka aktivitas guru dalam penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus II di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh berada pada kategori cukup. Berdasarkan aspek-aspek yang diamati, masih terdapat aspek pengamatan yang berada pada kategori kurang baik. Aspek-aspek pengamatan yang perlu ditingkatkan untuk siklus III selanjutnya antara lain yaitu: menginformasikan langkahlangkah pembelajaran, mendorong para siswa agar berpikir kritis melalui pertanyaan, mendorong siswa untuk mau bertanya, mengeluarkan pendapat atau menjawab pertanyaan, mengevaluasi hasil belajar siswa dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada siswa untuk mempertahankan ingatan siswa, menegaskan hal-hal penting atau intisari berkaitan dengan pembelajaran, serta pengelolaan waktu masih berada pada kategori cukup dengan skor 3. Oleh karena itu, aspek ini perlu mandapat perhatian dalam merevisi atau melakukan perbaikan-perbaikan pada siklus selanjutnya. Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada siklus III menunjukkan aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus III sudah baik. Hal ini terlihat dari skor rata-rata tingkat aktivitas guru yang diperoleh yaitu 4,42 dengan persentase 88,4%. Sehingga dengan mengacu pada kriteria yang ditetapkan maka dapat dikatakan bahwa aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh adalah baik dan efektif. Hal ini juga didukung dari catatan lapangan selama pelaksanaan tindakan, guru pada tiap penerapan contextual teaching and learning (CTL) untuk tiap siklusnya selalu berusaha untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, dengan pembelajaran yang berpusat pada keaktifan dan kreativitas siswa sehingga membuat pembelajaran lebih kondusif, inovatif, serta menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa, adanya upaya perbaikan yang dilakukan guru dalam menerapkan contextual teaching and learning
26
(CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report yang diajarkan di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh untuk tiap siklusnya. C.
Aktivitas Siswa Selama Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) Dari hasil penelitian, rata-rata Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus I adalah 2,54 dengan persentase 50,77% yang menunjukkan skor tingkat aktivitas siswa dalam mengikuti penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I masih sangat kurang. Oleh karena itu, aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh masih belum efektif. Tingkat aktivitas siswa yang diamati menunjukkan bahwa untuk aspek: menjawab pertanyaan guru yang berkaitan dengan materi pembelajaran sebelumnya; memperhatikan penjelasan guru; membaca atau memahami naskah teks berbentuk Narrative dan Report ; memerankan naskah teks berbentuk Narrative dan Report ; bertanya kepada siswa, kelompok lain, atau guru; membuat rangkuman atau kesimpulan; serta menggunakan bahasa, intonasi, dan bahasa dengan baik yang masih kurang baik karena hanya memperoleh skor 2. Begitu juga aspek pengamatan: memperhatikan dan memahami tujuan pembelajaran, melakukan kerjasama kelompok, berdiskusi antara siswa-guru atau siswa-siswa, mengerjakan soal yang diberikan, berusaha memperbaiki kelemahan yang masih berada pada kategori penilaian cukup dengan skor 3. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi dan perbaikan terhadap jalannya proses pembelajaran dan penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus selanjutnya. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) selama mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dengan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus II menunjukkan aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini terlihat dari rata-rata tingkat aktivitas siswa sebesar 4,08 juga dari persentase sebesar
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
81,60% yang menunjukkan bahwa aktivitas siswa sudah lebih baik dari siklus I sebelumnya. Apabila ditinjau berdasarkan kriteria penilaian, Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris melalui contextual teaching and learning (CTL) pada materi teks berbentuk Narrative dan Report untuk siklus II di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh berada pada kategori baik. Walaupun tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran bahasa Inggris melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus II sudah baik, namun masih terdapat aspek pengamatan yang perlu ditingkatkan yaitu berdiskusi antara siswaguru atau siswa-siswa, menggunakan bahasa, intonasi, dan bahasa dengan baik yang masih memperoleh skor 2. Sehingga untuk siklus III selanjutnya guru perlu melakukan perbaikan terhadap kegiatan pembelajaran CTL, serta melibatkan siswa dalam pembelajaran terutama terhadap aspek yang kurang optimal. Sementara itu, Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) selama mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dengan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus III menunjukkan aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini terlihat dari rata-rata tingkat aktivitas siswa sebesar 4,23 dengan persentase sebesar 84,62%. Jika ditinjau berdasarkan kriteria tingkat aktivitas siswa yang ditetapkan, maka aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) untuk siklus III di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh berada pada kategori baik, sehingga pembelajaran yang diterapkan juga efektif. Hasil penelitian tersebut tentunya membuktikan bahwa dalam penerapan contextual teaching and learning (CTL), guru berusaha untuk memaksimalkan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Sehingga aktivitas siswa selama pembelajaran yang dilakukan guru untuk tiap pertemuannya terus mencapai aktivitas yang efektif. Oleh karena itu, penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran,
membuat pembelajaran lebih inovatif, dan menyenangkan.
27
kondusif,
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 45,83% dengan rata-rata hasil belajar siswa 63,75, persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus II sebesar 75,00% dengan rata-rata hasil belajar siswa 71,25, serta persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus III sebesar 95,83% dengan rata-rata hasil belajar 78,33. Dengan demikian, hasil belajar yang diperoleh siswa terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris materi di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklusnya. 2. Rata-rata tingkat aktivitas guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) pada siklus I sebesar 3,17 dengan persentase 63,40%, ratarata tingkat aktivitas guru pada siklus II sebesar 3,95 dengan persentase 79,00%, dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus III sebesar 4,42 dengan persentase 88,40%. Dengan demikian, aktivitas guru selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklus sehingga pembelajaran yang diterapkan guru efektif. 3. Rata-rata tingkat aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada siklus I sebesar 2,54 dengan persentase 50,77%, ratarata aktivitas siswa pada siklus II sebesar 4,08 dengan persentase 81,60%, dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus III sebesar 4,23 dengan persentase 84,62%. Dengan demikian, aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklus sehingga
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
siswa aktif pembelajaran. 1. a.
b.
c.
dan
kreatif
dalam
Saran-saran Mengingat penerapan contextual teaching and learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar siswa, aktivitas guru dan aktivitas siswa, serta membuat pembelajaran lebih efektif. Penulis menyarankan kepada para guru untuk menggunakan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, dan menciptakan pembelajaran yang kondusif serta efektif. Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan masukan dan bahan pertimbangan guru dalam menerapkan contextual teaching and learning (CTL) dengan maksud untuk memberikan penekanan pada aspek-aspek aktivitas guru dan aktivitas siswa yang masih belum optimal pada penelitian ini. Dengan demikian, diharapkan melalui upaya perbaikan tersebut, aktivitas guru dan aktivitas siswa tercapai secara optimal sehingga mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Disarankan pada pihak lain untuk melakukan penelitian yang sama pada materi lain sebagai bahan perbandingan dari hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Arif.
2003. Belajar Kooperatif dengan Pendekatan Struktural Untuk Pemahaman Konsep Statistika Siswa Kelas II SLTP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis. Malang: Universitas Negeri Malang.
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful B. 2000. Guru dan Peserta Dididk dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. ________. 2002. Psikologi Belajar. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S.B dan Zein, A. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
28
Johar, Rahmah dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: FKIP Universitas Syiah Kuala. Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas VII SMP Negeri I Pallangga. Tesis. Universitas Negeri Surabaya. Nasution, Noehi. 1993. Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Cetakan III. Jakarta: Universitas Terbuka. Nurhadi, M. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Nurkancana, Wayan. 2000. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Purwanto, M. Ngalim. 1995. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Cetakan X. Bandung: Remaja Rosdakarya. Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistika. Cetakan III. Edisii Revisi. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana. _______. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Cetakan IV. Jakarta: Rineka Cipta. Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Winkel, W.S. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia. Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan V. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
29
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA MATERI SHALAT JUM’AT MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA KELAS VII-3 DI SMP NEGERI 2 BANDA ACEH
Oleh Silmi T.Abdullah*
Abstract Participation of students is a motivation in the learning process is used as a measure of the progress of the student's achievements, both individually and collectively. The purpose of this study was to determine the extent of the application of the method demonstration on the subjects of Islamic Education. The subjects were students of class VII-3, SMP Negeri 2 Banda Aceh. This research was conducted in two cycles twice face to face. Each cycle of data obtained from the student's ability to practice the Friday Prayers. In terms of mastery learning, congregational Friday prayers material using demonstarsi reached 85%, which means that teachers targeted ≤ 80%. Keywords: Improved Learning Outcomes, Methods Demonstration.
Pendidikan agama merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama yang didalamnya termasuk pendidikan agama islam terdapat disemua jalur dan jenjang pendidikan yang menjadi penentu tercapainya tujuan pendidikan nasional, karena salah satu tujuanya adalah mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu jalur jenjang pendidikan tersebut adalah pendidikan dasar baik SD maupun SMP. Pendidikan Agama Islam (PAI) disekolah atau madrasah dalam pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan, seperti halnya proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang saat ini hanya menyampaikan pengetahuan tentang agama islam, sangat sedikit pada proses internalisasi nilai-nilai islam pada diri siswa. Kondisi dilapangan yang terjadi pada siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh yang nilai ketuntasan bekajarnya masih rendah, khusunya pada materi shalat Jum’at. Pemahaman siswa terhadap materi ini belum memuaskan . Hal ini ditunjukkan dengan nilai ketuntasan formatif masih 45% dari VII-3 siswa hanya orang yang memiliki KKM yang sudah ditentukan yaitu . Oleh karena itu guru PAI berinisiatif untuk melakukan pembelajaran dengan mengunakan metode yang variatif. Salah satu metode tersebut
adalah metode demonstrasi yang diterapkan dalam materi shalat sunnah berjamaah. Metode demonstrasi merupakan salah satu metode mengajar yang tidak pernah lepas pada proses pebelajaran Pendidikan Agama Islam, khususnya pada materi-materi yang berkenaan dengan ibadah seperti shalat, wudhu’, tayamum, haji dan akhlak. Bagi siswa sekolah menegah pertama, penerapan metode demonstrasi sangat penting, karena pada dasarnya siswa belum sempurna kekuatan akalnya untuk menerima materi yang disampaikan secara lisan saja, sehingga diperlukan latihan atau demonstrasi.Penerapan metode demonstrasi khususnya materi ibadah shalat jum’at, akan meningkatkan kualitas intelektual siswa baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, karena dengan metode demonstrasi siswa diajak terlibat langsung sehingga mendapatkan pengalaman baru. Berdasarkan latar belakang diatas , maka rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut: (1) Apakah dengan penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar PAI pada materi shalat jum’at siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh; dan (2) Apakah dengan penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar siswa pada proses pembelajarn PAI kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh.
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Adapun tujuan penelitian sebagai berikut: (1) Tujuan Umum, Untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh dengan menggunakan metode demonstrasi; dan (2) Tujuan Khusus, Untuk meningkatkan pemahaman siswa pada materi shalat jum’at siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh dengan mentode demonstrasi, serta meningkatkan aktivitas belajar PAI siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh Adapun manfaat penelitian ini adalah : (1) Manfaat teoritis, mendapatkan teori-teori baru guna meningkatkan hasil dan mutu pendidikan, disamping mendapatkan teoriteori baru dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya; (2) Manfaat praktis, bagi siswa adalah untuk meningkatkan aktifitas siswa dan pemahaman terhadap mata pelajaran PAI khususnya materi shalat jum’at, bagi guru adalah sebagai bahan kajian dan acuan untuk meningkat kualitas pembelajaran dan pengembagan metode belajar yang dikondiskan dengan siswa sekaligus menambah kreatifitas, bagi peneliti merupakan kegiatan ini sebagai salah satu kegiatan pengembangan profesi yang akan diadakan guru untuk memperoleh angka kredit melalui tim penilai sebagai kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi, serta bagi sekolah adalah sebagai masukan dan dapat dikembagkan dalam pembelajaran pada mata pelajaran yang lain.
METODA PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh tahun 2013, penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu atau 2 jam tatap muka dengan alokasi waktu 4 x 40 Menit. Semua umur siswa sama sedangkan kecerdasan heterogen , Adapun objek penelitian adalah dokumen pembelajaran, dokumen nilai dan rekaman kegiatan pembelajaran yan didokumentasikan dalam bentuk foto-foto penelitian. Indikator Kinerja Adapun indikator yang diharapkan pada penelitian ini adalah : terjadinya peningkatan hasil belajar siswa dengan kriteria sangat aktif dan aktif, kemudian pada peningkatan belajar mengajar yang
30
diselenggrakan oleh guru dengan kriteria A (bobot nilai 85- 100) , B (69-84 ) dan C (≥69).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Siklus 1, diperoleh nilai ratarata siswa adalah 84 , siswa yang mencapai nilai KKM 79 bertambah menjadi 19 siswa atau 65 % dari 29 siswa dan yang belum mencapai nilai ketuntasan adalah 35% atau 10 siswa . Adapun nilai tertinggi pada siklus 1 adalah 90 dan nilai terndah adalah 76, dengan demikian terjadi peningkatan hasil belajar pada siklus 1 yaitu 20%. Sedangkan pada Siklus 2, diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 88. Siswa yang mencapai nilai KKM 79 bertambah menjadi 26 siswa atau 95 % dari 29 siswa dan yang belum mampu mencapai nilai ketuntasan adalah 5 % atau 3 siswa. Adapun nilai tertinggi pada siklus 2 adalah 90 dan yang terendah 75. Dengan demikian terjadi peningkatan hasil belajar pada siklus 2 yaitu 20%.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Melalui penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan aktivitas belajar dan proses pembelajaran PAI pada materi shalat sunnah berjamaah pada siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh. 2. Melalui penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar PAI pada siswa VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh tahun 2013. 3. Ketuntasan belajar materi shalat jum’at dengan menggunakan metode demonstarsi mencapai 85 % , Artinya sesuai dengan target guru yaitu ≤ 80 % 1. Saran-saran Adapun saran terhadap pelaksanaan metode demonstrasi yaitu : 1. Hendaknya guru PAI lebih kreatif dalam memilih metode pembelajaran yang akan ditetapkan, karena metode pembelajaran memberikan pengaruh dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Silmi T.Abdullah, Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam
2.
Dalam pemilihan metode demonstrasi hendakya guru juga mempertimbangkan berbagai media pembelajaran ya ng lain seperti Pemutaran CD dan media belajar lainnya.
Daftar Pustaka Aminudin Rosyad , 2002, Pembelajarann Pendidikan Islam, Jakarta,Bumi Aksara
Metode Agama
Anni, 2004 , Psikologi Belajar, , Semarang, Unnes Press Dimyati, 2006, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta Djamarah, 2006, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta Muhibbin Syah,2006, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya Muazayyin Arifin,1987, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Balai Aksara Oemar
Hamalik,2001, Proses Mengajar, Jakarta, Rajawali
Belajar
Sadirman, 2007, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar , Yogyakarta,UNY Press W.J.S Poerwadarmita,1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
31
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
32
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PADA MATERI SUMBER DAYA ALAM DI KELAS IV SD NEGERI 14 BANDA ACEH
Oleh Ruhadi*
Abstrak Penelitian ini berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Materi Sumber Daya Alam di Kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam dan bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV dan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan jenis penelitian menggunakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah siswa di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang berjumlah 20 orang yang terdiri dari 8 laki-laki dan 12 perempuan. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan tes. Hasil penelitian pada aktivitas siswa siklus I memperoleh rata-rata 3,00 pada kategori cukup dan siklus II aktivitas siswa memperoleh rata-rata 3,62 pada kategori baik. Hasil belajar siswa siklus I rata-rata mencapai 64,00 ketuntasan belajar secara individu sebanyak 8 siswa dengan persentase 40%. Pada siklus II rata-rata hasil belajar mencapai 76,50 ketuntasan belajar secara individu sebanyak 16 siswa dengan persentase 80%. Kata kunci : model pembelajaran kooperatif tipe STAD, hasil belajar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran diajarkan di sekolah, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil pembelajaran IPA akan memberikan andil yang penting dalam pencapaian tujuan pendidikan secara umum, yaitu membentuk manusia yang mampu berpikir cermat, sistematis, dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan dikarenakan masih lemahnya proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran IPA di SD memberikan latihan berpikir siswa secara kritis. Penerapan pembelajaran IPA di sekolah dasar diajarkan melalui percobaanpercobaan yang dilakukan oleh siswa sendiri tanpa bantuan guru. Proses pembelajaran IPA
lebih ditekankan pada keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang pada akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. Menurut Wahyana (dalam Trianto, 2010:136) “pembelajaran IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik dan dalam penggunaannya secara umum, terbatas pada gejala-gejala alam”. Hasil observasi awal di kelas IV di SD Negeri 14 Banda Aceh, aktivitas siswa pada saat pembelajaran IPA tidak efektif, masih banyak ditemukan siswa yang kurang memahami materi yang diajarkan dan kurang mampu menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru, pada akhirnya nanti akan mempengaruhi hasil belajar siswa pada
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
umumnya. Nilai yang diperoleh siswa dari setiap evaluasi rata-rata berkisar antara 61 sampai dengan 65. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar IPA di akhir semester, masih ada siswa yang memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Kinimal (KKM) secara individual sebesar 65 yang ditetapkan di SD Negeri 14 Banda Aceh. Melihat kondisi tersebut guru mempunyai tugas untuk mengupayakan model pembelajaran yang tepat untuk mengatasinya. Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (dalam Rusman, 2011:214) gagasan utama kooperatif tipe STAD adalah “memacu siswa agar saling mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai keterampilan yang diajarkan guru”. Menurut pengamatan peneliti selama observasi awal, penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD jarang digunakan oleh guru di SD Negeri 14 Banda Aceh, maka peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa di SD Negeri 14 Banda Aceh di kelas IV pada sumber daya alam. Berdasarkan latar belakang masalah di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh?; dan (2) Bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh? Berdasarkan rumusan masalah di atas yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh; dan (2) Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh
33
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan sebagai berikut. 1. Bagi siswa hasil penelitian ini bermanfaat meningkatkan aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. 2. Bagi siswa hasil penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran IPA. 3. Bagi guru hasil penelitian ini bermanfaat sebagai memberikan informasi yang berguna bagi guru kelas dalam memilih model pembelajaran yang tepat dalam menerapkan dan meningkatkan proses kegiatan belajar mengajar. 4. Bagi sekolah hasil penelitian ini menjadi wawasan berguna tentang model pembelajaran yang inovatif dan efektif sehingga tidak terpaku pada satu model pembelajaran saja. 5. Bagi peneliti pengalaman dalam melaksanakan penelitian ini dapat melath diri mengembangkan keterampilan mengajar di sekolah dan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah dasar dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pembelajaran IPA Hakikat pembelajaran IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, menurut Marsetio (dalam Trianto, 2010:137) mengatakan “IPA dipandang sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur”. Oleh karena itu, secara umum IPA dipahami sebagai ilmu kealaman, yaitu ilmu tentang dunia zat baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. Secara umum IPA dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, menyusun hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep. B. Keterampilan Proses Pembelajaran IPA Model pembelajaran IPA yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme ini memperhatikan dan
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah. Agar pengetahuan siswa diperoleh di luar sekolah dipertimbangkan sebagai pengetahuan awal siswa dalam sasaran pembelajaran, karena sangat mungkin terjadi miskonsepsi. Sebaliknya apabila guru tidak mempedulikan konsepsi atau pengetahuan awal siswa, besar kemungkinan kiskonsepsi yang terjadi akan semakin kompleks. Menurut pandangan konstruktivisme dalam proses pembelajaran IPA seyogianya disediakan serangkaian berupa kegiatan nyata yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan memungkinkan terjadinya interaksi secara langsung dengan kegiatan nyata. Menurut Wahyana (dalam Trianto, 2010:136) mengatakan bahwa “IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik dan dalam penggunaannya secara umum, terbatas pada gejala-gejala alam”. Dengan demikian, proses belajar mengajar pembelajaran IPA lebih ditekankan pada keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsepkonsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang pada akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. C. Tujuan Pembelajaran IPA di SD Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah. Mata pelajaran IPA berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, pengembangan keterampilan, wawasan, dan kesadaran tehnologi dalam kaitannya dengan pemanfaatan bagi kehidupan sehari. Di samping itu, diperlukan juga kemampuan mengadakan pengamatan secara teliti, menggunakan prinsip, menyelesaikan percobaan sederhana, menyusun data, dan mengemukakan dugaan. Menurut Tim Pengajar IPA PGSD (2007:1) mengatakan “ilmu pengetahuan alam adalah penyelidikan yang terorganisir untuk mencari pola atau keteraturan dalam alam”.
34
D. Model Pembelajaran Kooperatif Manusia adalah makhluk individual yang berbeda satu sama lain. Karena sifatnya yang individual, manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Model pembelajaran kooperatif merupakan interaksi yang saling mengasihi antar sesama siswa. Menurut Suprijono (2010:54) “model pembelajaran kooperatif adalah konsep yang luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru”. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran di dalam kelas sehingga yang terjadi interaksi antara guru dan siswa, siswa dan siswa. Dengan model ini tidak ada lagi kelas yang sunyi selama proses pembelajaran. Para siswa aktif, kreatif, dan menyenangkan dalam menuntaskan materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran efektif untuk mencapai tujuannya. Meskipun berbagai prinsip model pembelajaran kooperatif tidak berubah, ada empat model pembelajaran kooperatif yang bisa digunakan oleh guru Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar siswa berupa prestasi belajar, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Sedangkan menurut Lie (dalam Suprijono, 2010:56) “model pembelajaran kooperatif didasarkan pada falsafat homo homini sicius”. Untuk mencapai hasil belajar penerapan model pembelajaran kooperatif menuntut untuk bekerja sama dan interdependensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur rewardnya. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas yang diorganisir di dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika siswa saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Menurut Suprijono (2010:58) untuk mencapai
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
hasil yang maksimal, ada lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan, 5 (lima) unsur tersebut adalah sebagai berikut: “(1) positive interdependence (saling ketergantungan positif), (2) personal responsibility (tanggung jawab perseorangan), (3) pace to face promotive interaction (interaksi promotif), (4) interpersonal skill (komunikasi antar anggota), dan (5) group processing (pemprosesan kelompok)”. Berdasarkan pendapat di atas, model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan kerja sama antar sesama siswa dalam kelompok guna memahami suatu materi dan siswa bertanggung jawab tidak hanya dirinya sendirinya melainkan setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk menguasai materi yang diberikan oleh guru di dalam proses pembelajaran Model pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecenderungan siswa untuk saling berinteraksi antar sesama siswa. Sejumlah penelitian dalam setting kelas, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman lainnya antara sesama siswa bila dibandingkan dengan belajar dari guru. Model pembelajaran kooperatif sangat menguntungkan baik bagi siswa yang berkemampuan tinggi maupun yang rendah untuk saling membantu di dalam proses pembelajaran di dalam kelas. E. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Model pembelajaran kooperatif tipe STAD para siswa di bagi menjadi beberapa tim belajar secara heterogen beranggotakan empat sampai lima orang. Materi yang disajikan kepada siswa berbentuk tes dan setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan materi yang diberikan oleh guru dan bekerja sama dalam tim belajar. STAD adalah singkatan dari Student Team Achiements Division. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu proses kegiatan pembelajaran di kelas yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa secara heterogen serta menekankan kerja sama dan tanggung jawab kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Slavin (dalam Istarani, 2011:19) “menyatakan bahwa pada model
35
pembelajaran ini siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku”. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD para siswa dibagi menjadi beberapa tim belajar secara heterogen yang beranggotakan empat sampai lima orang siswa. Materi yang disajikan kepada siswa berbentuk tes dan setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan materi yang diberikan. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya. Dengan demikian, siswa saling ketergantungan satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu di antara teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan materi. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung-jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. F. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Menurut Slavin (dalam Istarani, 2011:19) memaparkan gagasan utama model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah “memacu siswa agar saling mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai keterampilan yang diajarkan guru”. Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Istarani (2011:20) adalah sebagai berikut. 1. Membentuk kelompok yang beranggotakan ± 4 (empat) orang secara heterogen (prestasi, jenis kelamin, suku, dll). 2. Guru menyajikan pelajaran. 3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota anggotaanggota kelompok. 4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu. 5. Memberi evaluasi. 6. Kesimpulan.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
G. Sumber Daya Alam Sumber daya alam meliputi tumbuhan, hewan, dan bahan alam tidak hidup. Berbagai bagian tumbuhan dibuat menjadi bahan pangan, bahan sandang, peralatan rumah tangga, serta produk kesehatan, dan perawatan tubuh. Berbagai bagian hewan dibuat menjadi bahan pangan, bahan sandang, serta produk kesehatan. Bahan alam tidak hidup yang banyak dimanfaatkan antara lain tanah, batuan, dan bahan tambang. 1. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui Sumber daya alam yang dapat diperbaharui adalah SDA tetap tersedia walaupun terus menerus dipakai. SDA seperti ini dapat diusahakan agar selalu tersedia, tumbuhan, hewan, tanah, udara merupakan SDA yang dapat diperbaharui akan tetapi meskipun SDA tersebut dapat diperbaharui hendaknya manusia dapat berhati-hati dalam penggunaanya. SDA harus digunakan dengan baik, jika tidak demikian dikhawatirkan generasi mendatang akan kehabisan SDA. Untuk menjaga agar SDA ini tidak rusak, maka diperlukan usaha untuk melestarikannya, usaha yang perlu kita lakukan antara lain: a. Usaha pelestarian tanah Tanah merupakan tempat berlangsungnya kehidupan makhluk hidup, tanah juga merupakan tempat sumber bahan makanan bagi semua makhluk hidup. Oleh karena itu, pelestarian tanah harus kita jaga. Pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara berikut ini. b. Melakukan penghijauan Penghijauan adalah menanami tanah yang sudah gundul dengan pepohonan sehingga menjadi daerah yang hijau. Penghijauan akan memperbaiki susunan tanah. penghijauan juga dilakukan untuk mendapatkan udara yang sejuk,pemandangan yang menyegarkan,selian itu penghijauan dikota dapat mengurangi polusi udara. 2. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah SDA yang akan habis terpakai karena manusia tidak membuat atau memperbanyak sumber daya alam itu. Sumber dara alam yang tidak dapat diperbaharui meliputi semua barang tambang contohnya.
36
a.
Batu bara Batu bara terjadi akibat pembusukan penimbunan sisa tumbuhan selama ribuan bahkan jutaan tahun, batu bara merupakan bahan bakar yang penting, dahulu batu bara hanya digunakan sebagai bahan bakar otomotif saja. Sekarang batu bara telah banyak digunakan di pabrik-pabrik besar dan rumah penduduk. b.
Minyak bumi Setiap hari kebanyakan orang menggunakan minyak bumi seperti bensin, untuk bahan dasar kendaraan dan minyak tanah untuk kompor dan lampu. Dari penyulingan minyak bumi akan dihasilkan bahan sebagai berikut bensin untuk bahan bakar kendaraan bermotor, kerosin minyak tanah. untuk bahan bakar kompor, vaselin untuk kosmeti,campuran salep dan obatobatan, parafin untuk bahan pembuatan lilin, solar untuk bahan bakar kendaraan diesel/mesin berat, oli untuk pelicin gigi roda, dan aspal : untuk bahan pengeras jalan raya. Timah ada dua jenis, yaitu timah hitam dan putih: timah hitam sering digunakan sebagai campuran logam lain, timah putih digunakan untuk melapisi logam lain agar tidak berkarat. H. Hasil Belajar Hasil belajar digunakan oleh guru untuk mengetahui dan mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan prestasi belajar siswa dan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Pengolahan hasil belajar merupakan bagian yang sangat erat di mana prestasi belajar akan tercemin dan diaplikasikan ke dalam berbagai kegiatan pengembangan pembelajaran. Menurut Sudjana (2009:22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peningkatan hasil belajar siswa selama penelitian berlangsung dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di dalam proses pembelajaran pada materi sumber daya alam.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
METODA PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Classroom Action Research (CAR), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan di dalam kelas. Menurut Rochiati (2008:56) “penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru dikelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan memperbaiki kinerja sehingga hasil belajar siswa meningkat”. Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan salah satu perspektif baru dalam penelitian yang mencoba menjembatani antara praktik dan teori dalam pendidikan. PTK dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui pada setiap siklus, yaitu (a) perencanaan tindakan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi, dan (d) refleksi. Dalam penelitian ini direncanakan dalam 2 (dua) siklus. Secara garis besar terdapat empat tahap yang harus dilalui dari setiap siklus, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Data yang dikumpulkan berupa data pengamatan di lapangan. Sedangkan untuk lebih jelasnya rancangan penelitian ini peneliti menuangkannya dalam bentuk siklus kegiatan dengan desain PTK. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang beralamat di jalan Utama Pango Raya Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh. C. Subjek Penelitian Menurut Arikunto (2010:172) “subjek penelitian adalah sumber data dalam penelitian”. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang berjumlah 20 orang yang terdiri dari 8 laki-laki dan 12 perempuan.
37
D. Rancangan Penelitian Adapun rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perencanaan Tindakan a. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tentang materi sumber daya alam. c. Mempersiapkan alat dan perlengkapan. d. Menyusun instrumen penelitian, yaitu lembar observasi. Observasi digunakan untuk mengukur ataupun proses kegiatan yang dapat diamati, dalam proses pembelajaran. Observasi dilakukan oleh peneliti dan guru kelas selama pelaksanaan tindakan. 2.
Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan judul penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dalam RPP yang dilaksanakan dalam kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. 3.
Observasi Tahap observasi merupakan kegiatan pengamatan terhadap jalannya proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan oleh 1 (satu) observer dengan menceklist lembar aktivitas siswa yang disediakan peneliti, yang menjadi observer dalam penelitian ini, yaitu guru kelas. Tugas observer (pengamat) merupakan hal penting dalam pembelajaran dan berguna untuk mengetahui sejauh mana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Semua kegiatan yang diamati dicatat untuk dijadikan bahan perbaikan dalam pembelajaran siklus selanjutnya. 4.
Refleksi Refleksi merupakan kegiatan melihat kembali proses dan hasil tindakan yang dilakukan dari hasil pengamatan. Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti dan
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
observer. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji apa yang telah terjadi dan apa yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. Hasil dari refleksi dirangkum untuk dilanjutkan keperbaikan siklus berikutnya. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah. 1. Observasi dilakukan terhadap siswa yang difokuskan pada aktivitas kelompok maupun individu pada saat pembelajaran berlangsung. Menurut Arikunto (2009:35) kriteria penilaian aktivitas siswa dengan memberi tanda checklist pada lembar observasi sesuai dengan kriteria skor 1 = kurang sekali, skor 2 = kurang, skor 3 = cukup, skor 4 = baik, skor 5 = baik sekali. 2. Hasil belajar siswa digunakan untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa, dari setiap siklusnya setelah diadakan tindakan.
38
sebelumnya. Berikut ini akan diuraikan data hasil penelitian. A. Siklus I 1. Perencanaan tindakan peneliti ini akan menguraikan dan membahas hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri 14 Banda Aceh. Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menyusun RPP siklus I sesuai dengan materi pelajaran yang akan diajarkan, yaitu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Peneliti juga menyiapkan lembar kerja siswa (LKS), media pembelajaran, lembar observasi aktivitas siswa, dan lembar evaluasi. 2.
F. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul secara keseluruhan, tahap selanjutnya adalah mengolah data. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting karena pada tahap inilah hasil penelitian dirumuskan. Analisis data dinilai melalui tes yang dianalisis dengan menggunakan statistika sederhana dengan hasil persentase. Tes diberikan setiap akhir pembelajaran. Menurut Sudjana (2009:131) persentase dari setiap tes dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. f P=
x 100% N
Keterangan : P = Persentase ketuntasan f = Frekuensi N = Jumlah subjek 100% = Bilangan konstanta tetap
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis hasil penelitian dengan menggunakan data deskriptif, yaitu persentase untuk tujuan penelitian yang telah dirumuskan
Pelaksanaan tindakan Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I materi yang diajarkan adalah materi sumber daya alam seperti yang tertera dalam RPP siklus I. Pelaksanaan tindakan siklus I dilakukan pada tanggal 15 Mei 2014 dengan alokasi waktu 2 x 35 menit. Pelaksanaan tindakan dilakukan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diikuti siswa sebanyak 20 orang siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Adapun pelaksanaan tindakan siklus I penulis melaksanakan penelitian dengan mengikuti langkah-langkah di dalam RPP, adapun kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. 3. a.
Observasi Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) Untuk menilai kriteria aktivitas siswa sesuai dengan kriteria penilaian yang ditentukan oleh peneliti. Menurut Arikunto (2009:35) kriteria penilaian aktivitas siswa dengan memberi tanda checklist pada lembar observasi sesuai dengan kriteria skor 1 = kurang sekali, skor 2 = kurang, skor 3 = cukup, skor 4 = baik, skor 5 = baik sekali.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I belum optimal. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama siklus I yang dilakukan di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Menunjukkan bahwa rata-rata Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus I memperoleh rata-rata 3,00 yang menunjukkan bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada kategori cukup. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada siklus I masih belum efektif dan perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap proses pembelajaran pada siklus selanjutnya. b.
Hasil belajar siswa Penilaian hasil belajar siswa dilakukan setelah pembelajaran selesai pada siklus I diperoleh melalui tes hasil belajar. Dari tes hasil belajar yang diberikan kepada seluruh siswa kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh diketahui hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I Dari hasil belajar siswa setelah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh seperti pada tabel di atas, berdasarkan nilai KKM yang telah ditetapkan oleh SD Negeri 14 Banda Aceh, yaitu minimal 65 pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh menunjukkan rata-rata hasil belajar siswa mencapai 64,00. Menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 8 orang siswa dari 20 siswa sebesar 40%, sedangkan 12 orang siswa dari 20 siswa sebesar 60% lainnya belum mencapai ketuntasan belajar secara individu. Oleh karena itu, persentase ketuntasan belajar siswa masih berada di bawah nilai yang ditetapkan sebesar 65, maka hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal.
39
4.
Refleksi Berdasarkan hasil analisis aktivitas siswa dan hasil belajar siswa selama siklus I, dapat disimpulkan hasil refleksi terhadap peristiwa-peristiwa selama pelaksanaan siklus I, yaitu sebagai berikut. a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus I memperoleh rata-rata 3,00 yang menunjukkan bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada kategori cukup. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada siklus I masih belum efektif dan perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap proses pembelajaran pada siklus selanjutnya. b. Rata-rata hasil belajar siswa mencapai 64,00. Menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 8 orang siswa dari 20 siswa sebesar 40%, sedangkan 12 orang siswa dari 20 siswa sebesar 60% lainnya belum mencapai ketuntasan belajar secara individu. Oleh karena itu, persentase ketuntasan belajar siswa masih berada di bawah nilai yang ditetapkan sebesar 65, maka hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. c. Hasil refleksi pada siklus I menunjukkan kekurangan pada proses pembelajaran yang dilakukan pada siklus I pada aktivitas siswa dan hasil belajar siswa belum mencapai nilai KKM yang ditetapkan oleh SD Negeri 14 Banda Aceh. Oleh karena itu, penulis masih perlu memperbaiki dan memperhatikan pelaksanaan pembelajaran pada siklus II. B. Siklus II 1. Perencanaan tindakan Peneliti akan menguraikan dan membahas hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri 14 Banda Aceh. Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menyusun RPP siklus II sesuai dengan materi pelajaran yang akan diajarkan, yaitu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Peneliti juga menyiapkan lembar kerja siswa (LKS), media pembelajaran, lembar observasi aktivitas siswa, dan lembar evaluasi. 2.
Pelaksanaan tindakan Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus II materi yang diajarkan adalah materi sumber daya alam seperti yang tertera dalam RPP siklus II. Pelaksanaan tindakan siklus II dilakukan pada tanggal 22 Mei 2014 dengan alokasi waktu 2 x 35 menit. Pelaksanaan tindakan dilakukan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diikuti siswa sebanyak 20 orang siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Adapun pelaksanaan tindakan siklus II penulis melaksanakan penelitian dengan mengikuti langkah-langkah di dalam RPP, adapun kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. 3. a.
Observasi Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) Untuk menilai kriteria aktivitas siswa sesuai dengan kriteria penilaian yang ditentukan oleh peneliti. Menurut Arikunto (2009:35) kriteria penilaian aktivitas siswa dengan memberi tanda checklist pada lembar observasi sesuai dengan kriteria skor 1 = kurang sekali, skor 2 = kurang, skor 3 = cukup, skor 4 = baik, skor 5 = baik sekali. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus II sudah optimal. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama siklus II yang dilakukan di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Menunjukkan bahwa rata-rata Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus II memperoleh rata-rata 3,62 yang menunjukkan
40
bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada kategori baik. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada siklus II sudah efektif. b.
Hasil belajar siswa Penilaian hasil belajar siswa dilakukan setelah pembelajaran selesai pada siklus II diperoleh melalui tes hasil belajar. Dari tes hasil belajar yang diberikan kepada seluruh siswa kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh diketahui hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus II. Dari hasil belajar siswa setelah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh, berdasarkan nilai KKM yang telah ditetapkan oleh SD Negeri 14 Banda Aceh, yaitu minimal 65 pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh menunjukkan rata-rata hasil belajar siswa mencapai 76,50. Menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 16 orang siswa dari 20 siswa sebesar 80%, sedangkan 4 orang siswa dari 20 siswa sebesar 20% lainnya belum mencapai ketuntasan belajar secara individu. Oleh karena itu, persentase ketuntasan belajar siswa berada di atas nilai yang ditetapkan sebesar 65, maka hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus II mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. 4.
Refleksi Berdasarkan hasil analisis aktivitas siswa dan hasil belajar siswa selama siklus II, dapat disimpulkan hasil refleksi terhadap peristiwa-peristiwa selama pelaksanaan siklus II, yaitu sebagai berikut. a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus II memperoleh rata-rata 3,62 yang menunjukkan bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
kategori baik. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada siklus II sudah efektif. Rata-rata hasil belajar siswa mencapai 76,50. Menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 16 orang siswa dari 20 siswa sebesar 80%, sedangkan 4 orang siswa dari 20 siswa sebesar 20% lainnya belum mencapai ketuntasan belajar secara individu. Oleh karena itu, persentase ketuntasan belajar siswa berada di atas nilai yang ditetapkan sebesar 65, maka hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada siklus II mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. Hasil refleksi pada siklus II menunjukkan kekurangan pada proses pembelajaran yang dilakukan pada siklus I pada aktivitas siswa dan hasil belajar siswa sudah terjawab pada siklus II. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan telah terjawab dan meniadakan perpanjangan siklus berikutnya.
41
C. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, menunjukkan adanya peningkatan aktivitas siswa untuk setiap siklusnya. Hal ini terlihat jelas dari hasil analisis Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) yang memperlihatkan skor aktivitas siswa untuk siklus I dan siklus II. Hal ini membuktikan bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh selama pembelajaran dapat ditingkatkan. Sehingga aktivitas siswa selama pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti untuk setiap pertemuannya terus mencapai peningkatan. Pada siklus I aktivitas siswa memperoleh rata-rata 3,00 pada kategori cukup dan pada siklus II aktivitas siswa memperoleh rata-rata 3,62 pada kategori baik.
terlihat jelas dari rata-rata hasil belajar siswa pada masing-masing persiklus, yaitu pada siklus I dan siklus II. Menurut Rusman (2011 : 13) “penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran”. Begitu juga dengan persentase ketuntasan belajar siswa, yaitu untuk siklus I siklus II. Hal ini membuktikan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dan lebih baik untuk setiap siklusnya. Pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa mencapai 64,00 jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak 8 orang siswa dengan persentase 40%. Pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa mencapai 76,50 jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara individu sebanyak sebanyak 16 orang siswa dengan persentase 80%. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang diterapkan guru di kelas VI SD Negeri 14 Banda Aceh. Menurut Rusman (2011 : 79) “pengolahan hasil belajar merupakan bagian yang sangat berkaitan erat di mana pengolahan hasil belajar yang baik akan tercermin pada penggunaan hasil belajar yang diaplikasikan ke dalam berbagai kegiatan pengembangan pembelajaran”. Hal ini secara tidak langsung juga menggambarkan adanya upaya-upaya guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan yang ditunjukkan dari adanya peningkatan hasil belajar siswa untuk setiap siklusnya. Sehingga hal ini juga berdampak positif terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
D. Hasil Belajar Siswa Dari hasil analisis hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa untuk setiap siklusnya. Hal ini
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa. 1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas siswa pada
b.
c.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
2.
materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
1. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis memberikan beberapa saran untuk mempermudah guru dalam melaksanakan pembelajaran. adapun beberapa saran yang ingin dikemukakan adalah sebagai berikut. 1. Diharapkan kepada guru-guru di SD Negeri 14 Banda Aceh untuk dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD karena telah terbukti bahwa siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Disarankan kepada Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Banda Aceh agar dapat meningkatkan sarana dan prasarana di SD Negeri 14 Banda Aceh demi kemajuan pendidikan di masa yang akan datang.
Rusman.
42
2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rochiati, Wiraaatmadja. 2008. Metoda Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Cetakan ketiga belas. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Trianto.
2010. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Cetakan kedua. Jakarta : Bumi Aksara.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2009. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta. _________ . 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta . Haryanto. 2004. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas IV KTSP. Jakarta : Penerbit Erlangga Istarani. 2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif Referensi Guru dalam Menentukan Model Pembelajaran. Medan : Media Persada. Mukhlis. 2005. Metode Statistik. Surabaya: Tesis PPS Unesa.
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
43
UPAYA GURU DALAM MEMOTIVASI BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR (ANALISIS SISTEM PENGELOLAAN MENUJU PEMBELAJARAN YANG MENYEANGKAN)
Oleh M. Husin* Abstrak Guru telah melakukan usaha-usaha yang bisa membangkitkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran IPS antara lain menghubungkan pengajaran dengan pengalaman dan minat siswa, menerapkan modelling, melaksanakan komunikasi terbuka, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan informasi yang telah dimilikinya, menggali prasyaratprasyarat, memberikan latihan/praktek, memberikan latihan terbagi untuk memudahkan pemahaman siswa, mengkondisikan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran, serta membimbing siswa disaat siswa mendapat kesulitan dalam belajar. Usaha lain yang dilakukan guru dalam membangkitkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran IPS antara lain menambahkan program remedial, menggunakan metode pembelajaran yang variatif, serta guru menerapkan metode karya wisata setiap semester dengan membawa siswa keluar kelas mengunjungi situs-situs sejarah dan situs budaya. Kata Kunci : Upaya, motivasi, belajar dan pembelajaran IPS
Pasal 4 UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa “Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demoktratis serta bertanggung jawab ”. (http://www.bpkp.go.id.) Mencapai tujuan tersebut, maka seorang guru harus berusaha agar anak didik melakukan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran akan berjalan dengan baik bila guru mampu memotivasi anak dalam belajar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apabila anak tidak memiliki motivasi belajar, maka tidak akan terjadi kegiatan belajar pada diri anak tersebut. Walaupun begitu, hal itu kadang-kadang menjadi masalah karena motivasi bukanlah suatu kondisi. Apabila motivasi anak itu rendah, umumnya diasumsikan bahwa prestasi yang bersangkutan akan rendah dan besar kemungkinan ia tidak akan mencapai tujuan belajar. Bila hal ini tidak diperhatikan, tidak dibantu, siswa gagal dalam belajar. Sebagai pengajar, guru selalu membantu perkembangan siswa untuk dapat
menerima dan memahami serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu guru harus memotivasi siswa agar senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan. Pada akhirnya, seorang guru dapat memainkan perannya sebagai motivator dalam proses belajar mengajar bila guru itu menguasai dan mampu melakukan keterampilan-keterampilan didaktik dan metodik yang relevan dengan situasi dan kondisi para siswa. Dengan demikian siswa dapat menyerap apa yang telah diajarkan oleh guru dan besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensinya. Motivasi belajar kerap dikenali sebagai daya dorong untuk mencapai hasil yang baik yang biasanya diwujudkan dalam bentuk tingkah laku belajar atau menunjukkan usaha-usaha untuk mencapai tujuan belajar. Kenyataan di sekolah sekolah masih banyak ditemukan bahwa guru kurang meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa, sehingga menyebabkan kurangnya keaktifan serta motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu materi yang tersampaikan belum dapat dipahami siswa dengan baik. Hal ini menyebabkan hasil belajar siswa masih kurang.
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
44
Motivasi Dalam Belajar Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kedudukan. (Hamalik, 2010:36). Pengertian belajar merupakan suatu diantara beberapa faktor psikologis yang turut berpengaruh dan berkaitan erat. Motivasi itu sesungguhnya merupakan seluruh proses gerakan yang mencakup berbagai rangsangan, dorongan, atau daya pembangkit bagi terjadinya suatu prilaku. Dorongan dalam proses gerakan itu pada dasarnya adalah rangsangan pembangkit bagi terjadinya perilaku, dalam rangka mencapai suatu tujuan. Motivasi-motivasi yang timbul pada diri individu mempunyai peranan dan fungsi ganda yaitu sebagai pembangkit aktivitas individu dan sebagai penyeleksi setiap aktivitas yang dilakukan. Fungsi dan peranan motivasi memiliki kecenderungan yang sangat dominan dalam membentuk kepribadian individu secara optimal. Hamalik (2010:121) menjelaskan bahwa: ”Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai oleh timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi memiliki komponen dalam dan komponen luar. Ada kaitan yang erat antara motivasi dan kebutuhan, dan drive, dengan tujuan, dan insentif”. Dari pendapat di atas mengenai motif dan motivasi dapat diambil kesimpulan bahwa motif adalah suatu tenaga yang mendorong atau menggerakkan individu untuk bertindak melakukan sesuatu sedangkan motivasi adalah suatu kondisi yang tercipta atau diciptakan untuk membangkitkan dalam diri individu agar mencapai tujuan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan motivasi belajar adalah kekuatan-kekuatan atau tenaga-tenaga yang dapat memberikan dorongan kepada kegiatan belajar siswa. Tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi sangat dipengaruhi oleh seberapa besarnya motivasi yang ditimbulkan pada diri individu berarti pula perubahan energi yang dimanfaatkanpun akan semakin besar, serta didahului adanya reaksi-reaksi yang ingin dicapai. Jadi motivasi belajar sebagai sistem bimbingan internal yang berusaha untuk menetapkan fokus anak dalam hal belajar,
namun harus berdiri pada dirinya sendiri dan berkompetisi melawan semua hal menarik lain pada eksistensi keseharian. Sardiman (2011:75) mengemukakan bahwa: ”Dalam kegiatan belajar motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai”. Hamalik (2010:105) mengatakan bahwa: ”Perbuatan belajar akan berhasil bila berdasarkan motivasi pada diri siswa. Siswa mungkin dapat dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi dia tidak mungkin dipaksa untuk menghayati perbuatan itu sebagaimana mestinya”. Motivasi belajar adalah dorongan atau kekuatan dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan serta arah belajar untuk mencapai tujuan yang dikehendaki siswa. Pendekatan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Pengajaran IPS untuk tingkat pendidikan dasar, merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan paedagogis/psikologis pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila (Saidihardjo, 2007:5). Perbedaan yang menonjol antara Pendidikan Ilmu Sosial dengan Pengajaran IPS terletak pada tingkat kesukaran bahan dan intensitas penelitian sosial serta kontribusinya dalam penyiapan guru-guru IPS pada tingkat pendidikan dasar. Pada Pendidikan Ilmu Sosial untuk tingkat pendidikan tinggi, tidak ada istilah penyederhanaan, memodifikasi bahan dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial seperti yang ada pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, namun yang ada adalah seleksi bahan, walaupun demkian tetap tidak boleh merubah keutuhan dan sistematika struktur disiplin ilmu sosial itu sendiri. Sebenarnya bahan untuk pengajaran IPS untuk pendidikan dasar bisa saja diorganisir secara sistematis, tetapi untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah ada masalah yaitu tingkat kecerdasan dan membantu dalam hidup bermasyarakat. Oleh
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
45
karena itu bahannya harus disusun secara psikologis agar lebih menarik dan sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa materi IPS diambil atau dipilih (setelah disederhanakan sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan siswa) dari bagian-bagian pengetahuan atau konsep-konsep Ilmu-ilmu Sosial yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan usia siswa. Dengan demikian berarti Ilmu-ilmu Sosial merupakan sumber materi atau isi dari IPS. Sebagai bidang studi dalam kurikulum sekolah, IPS berbeda dengan Ilmu-ilmu Sosial. IPS sebagai disiplin ilmu yang memiliki obyek kajian, metodologi penyelidikan dan struktur konsep, generalisas, dan teori tersendiri. Menurut Hidayati (2007:8) bahwa: “Materi IPS yang diambil dari penyederhanaan/pengadaptasian bagian pengetahuan dari Ilmu-ilmu Sosial terdiri dari: (1) Fakta, konsep, generalisasi, dan teori; (2) Metodologi penyelidikan dari masing-masing ilmu-ilmu Sosial; (3) Keterampilanketerampilan intelektual yang diperlukan dalam metodologi penyelidikan Ilmu-ilmu Sosial”. Dalam pengajaran IPS menekankan pada proses atau keterampilan proses dalam pencapaian hasil belajar. Metode yang digunakan ditekankan pada kegiatan pendidikan (inquiry) dan pembelajaran berpusat pada cara belajar siswa aktif. Metodologi pengajaran yang digunakan antara lain: model pembelajaran inquiry-discovery, model pembelajaan konsep, model klasifikasi nilai, dan model kontekstual, cooperative learning dan inkuiri. Pengajaran IPS pada saat sekarang ini memiliki beberapa ciri khusus antara lain: 1. Tujuan pengajaran IPS adalah menjadikan “warga negara yang baik” (good zitizen). Hal ini menjadi tujuan utama pengajaran IPS dalam masyarakat demokratis. 2. IPS bukan sekedar “Ilmu-ilmu Sosial yang disederhanakan untuk keperluan pendidikan di sekolah”, karena IPS selain mencakup pengetahuan (knowledge) dan metode penyelidikan ilmiah dari Ilmu-ilmu Sosial juga mencakup komponen-komponen lain seperti pendidikan, etika, filsafat, agama, sosial, serta bahan pengetahuan dari sumber-sumber disiplin lainnya.
Komponen “pengambilan keputusan” secara rasional harus dilakukan oleh seorang warga negara yang baik dan “pendidikan nilai”, keduanya merupakan bagian penting dalam pengajaran IPS. 4. Komponen “keterampilanketerampilan dasar” (basic skill) yang terdiri dari keterampilan berfikir (intelektual), keterampilan melakukan penyelidikan inquiry dalam Ilmu-ilmu Sosial, keterampilan studi (akademis), dan keterampilan sosial, juga harus diajarkan dalam pengajaan IPS. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat mencapai tujuan sebagai warga negara yang baik dan dapat mengambil keputusan secara rasional. 5. Strategi pengajaran yang dianut dalam IPS menekankan pada modelmodel pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar (misalnya CBSA, activity based learning) seperti strategi pembelajaran inquirydiscovery (social science inquiry), strategi pembelajaran konsep, model klarifikasi nilai, dan sebagainya. Berdasarkan kelembagaannya, pendidikan di Indonesia dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu: (1) Sekolah Pendidikan Dasar. (2) Sekolah Pendidikan Menengah. (3) Perguruan Tinggi dan Akademi. Setiap lembaga pendidikan tersebut memiliki tujuan institusional masing-masing. Ditinjau dari sistem pendidikan secara menyeluruh, tujuan institusional tersebut merupakan penjabaran dari Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh karena itu Tujuan Institusional Pendidikan Dasar menurut Hidayati (2007:9) dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Membekali anak didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar untuk dapat mengembangkan pribadinya sebagai anggota masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan dirinya sendiri dan dapat ikut mensejahterakan masyarakat. 2. Membekali anak didik dengan kemampuan ilmu dan pengetahuan dasar untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. Dengan pengetahuan, nilai, sikap, dan kemampuan yang demikian, keluaran sekolah
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
3.
46
pendidikan dasar diharapkan dapat mengembangkan pribadinya sebagai warga masyarakat yang secara minimal mampu berdiri di atas kaki sendiri dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mengingat hakikat IPS merupakan perpaduan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan harus mencerminkan sifat interdisipliner, oleh karena itu tujuan pengajaran IPS menurut Hidayati (2007:9) sebagai berikut: 1. Membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan di masyarakat. 2. Membekali anak didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis, dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat. 3. Membekali anak didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan dengan berbagai bidang keilmuan serta berbagai keahlian. 4. Membekali anak didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif, dan keterampilan terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupannya yang tidak terpisahkan. 5. Membekali anak didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembangan kehidupan, perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu, dan teknologi. Berdasarkan taksonomi tujuan pendidikan dari Bloom, tujuan instruksional dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : cognitive domain, affective-domain dan psychomotor domain (Bloom Benjamin dalam Hidayati, 2007:9). Dalam ranah kognitif dapatlah dikatakan bahwa dalam hal-hal tentang manusia dan dunianya itu harus dapat dinalar supaya dapat dijadikan alat pengambilan keputusan yang rasional dan tepat. Jadi bahan kajian IPS bukanlah hal yang bersifat hafalan belaka, melainkan yang mendorong daya nalar yang kreatif. Dengan demikian yang dikehendaki bukanlah hanya fakta tentang manusia dan dunia sekelilingnya, malainkan terutama adalah konsep dan generalisasi yang diambil dari analisis tentang manusia dan lingkungannya. Pengetahuan yang diperoleh dari hafalan kurang dapat bermakna, akan
tetapi pengetahuan yang diperoleh dengan pengertian dan pemahaman akan lebih fungsional. Apabila perolehan pengetahuan dan pemahaman dapat mendorong tindakan yang berdasarkan nalar, diharapkan dapat dijadikan alat berkiprah dengan tepat dalam kehidupan siswa, oleh karena itu semangat ilmiah dan imajinasi juga sangat penting. Inilah bagian yang termasuk dalam afektif disamping nilai dan sikap terhadap pengetahuan (dalam hal ini IPS) juga yang lebih penting nilai dan sikap terhadap masyarakat dan kemanusiaan, seperti menghargai martabat manusia dan peka terhadap perasaan orang lain, lebih-lebih lagi nilai dan sikap terhadap negara dan bangsa. Tujuan keterampilan yang dapat diraih dalam pengajaran IPS adalah sangat luas. Keterampilan-keterampilan yang harus dikembangkan sudah barang tentu juga meliputi keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan, nilai dan sikap. Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran IPS Sebagai pengajar dan pendidikan guru seharusnya membantu perkembangan siswa untuk dapat menerima dan memahami serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu guru harus memotivasi siswa agar senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan. Pada akhirnya, seorang guru dapat memainkan perannya sebagai motivator dalam proses belajar mengajar bila guru itu menguasai dan mampu melakukan keterampilan-keterampilan didaktik dan metodik yang relevan dengan situasi dan kondisi para siswa. Dengan demikian siswa dapat menyerap apa yang telah diajarkan oleh guru dan besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensinya. Guru dapat membangkitkan motivasi belajar siswa dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebermaknaan Sesuatu yang dirasakan penting, berharga, akan mempunyai nilai tertentu bagi siswa. Menurut Hamalik (2010:156) bahwa: ”Siswa akan suka dan termotivasi belajar apabila hal-hal yang dipelajari mengandung makna tertentu baginya. Kebermaknaan sebenarnya bersifat personal karena dirasakan sebagai sesuatu yang penting bagi diri seseorang”. Ada kemungkinan pelajaran yang
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
47
disajikan oleh guru tidak dirasakan sebagai bermakna berusaha menjadikan pelajarannya dengan makna bagi semua siswa. Caranya ialah dengan mengaitkan pelajarannya dengan pengalaman masa lampau siswa, tujuan-tujuan masa mendatang, minat serta nilai-nilai yang berarti bagi mereka. a) Hubungan pengajaran dengan pengalaman para siswa Pelajaran akan bermakna bagi siswa jika guru berusaha menghubungkan dengan pengalaman masa lampau, atau pengalaman-pengalaman yang telah mereka miliki sebelumya. Misalnya guru menjelaskan suatu topik dalam pelajaran IPS, maka guru dapat menghubungkannya dengan pengalaman siswa misalnya tentang kegiatan-kegiatan IPS yang telah mereka lakukan sebelumnya. Cara itu berdasarkan pada asumsi bahwa apaapa yang telah mereka miliki sebagai pengalaman akan merangsang motivasinya untuk mempelajari masalah itu lebih lanjut b) Hubungan pengajaran IPS dengan minat siswa Sesuatu yang menarik minat dan nilai tertinggi bagi siswa berarti bermakna baginya. Karena itu, guru hendaknya berusaha menyesuaikan pelajaran (tujuan, materi, dan metodik) dengan minat para siswanya. Caranya antara lain memberikan kesempatan ada pada siswa berperan serta memilih. 2. Modelling Siswa akan suka memperoleh tingkah laku baru bila disaksikan dan ditirunya. Pelajaran akan lebih mudah dihayati dan diterapkan oleh siswa jika guru mengajarkannya dala bentuk tingkah laku model, bukan dengan hanya menceramahkan/menceritakannya secara lisan. Dengan model tingkah laku itu, siswa dapat mengamati dan menirukan apa yang diinginkan oleh guru. Menurut Hamalik (2010:157) terdapat beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan dalam teknik modelling adalah sebagai berikut: 1) Guru supaya menetapkan aspek-aspek penting dari tingkah laku yang akan dipertunjukkan sebagai model. Jelaskan setiap tahap dan keputusan
2)
3)
4)
5)
yang akan ditempuh agar mudah diterima oleh siswa. Siswa yang dapat meniru model yang telah dipertunjukkan hendaknya diberikan ganjaran yang setimpal. Model harus diamati sebagai suatu pribadi yang lebih tinggi daripada siswa sendiri, yang mempertujukkan hal-hal yang lebih ditiru oleh siswa. Hindarkan jangan sampai tingkah laku model berbenturan dengan nilainilai atau keyakinan siswa sendiri. Modelling disajikan dalam teknik mengajar atau dalam keterampilan sosial.
3. Komunikasi terbuka Siswa lebih suka belajar bila penyajian terstruktur supaya pesan-pesan guru terbuka terhadap pengawasan siswa. Menurut Hamalik (2010:158), Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk melaksanakan komunikasi terbuka, yaitu sebagai berikut: 1) Kemukakan tujuan yang hendak dicapai kepada para siswa agar mendapat perhatian siswa mereka. 2) Tunjukkan hubungan-hubungan, kunci agar siswa benar-benar mamahami apa-apa yang sedang diperbincangkan. 3) Jelaskan pelajaran secara nyata, diusahakan menggunakan media instruksional sehingga lebih menjelaskan masalah yang sedang dibahas. Pelajaran dirasakan akan bermakana bagi diri siswa apabila pelajaran itu dapat dilaksanakan atau digunakan pada kehidupan sehari-hari diluar kelas pada masa mendatang. Untuk itu, guru hendaknya menyajikan macam-macam situasi yang mungkin ditemui oleh siswa pada waktu mendatang. Untuk itu mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Bila siswa telah menyadari tentang kemungkinan aplikasi pelajaran tersebut maka sudah tentu motivasi belajar akan tergugah dan merangsang kegiatan belajar lebih efektif. 4. Prasyarat Apa yang telah sebelumnya mungkin penting yag menetukan siswa belajar. Menurut
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
dipelajari oleh siswa merupakan faktor hasil atau gagalnya Hamalik (2010:159)
48
bahwa: ”Kesempatan belajar bagi siswa yang telah memiliki informasi dan keterampilan yang mendasari perilaku yang baru akan lebih besar. Karena itu, guru hendaknya mengetahui/mengenali prasyarat-prasyarat yang telah mereka miliki”. Siswa yang berada dalam kelompok yang berprasyarat akan mudah mengamati hubungan antara pengetahuan yang sederhana yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang komplek yang akan dipelajari. Berbeda halnya siswa yang belum memiliki prasyarat yang diperlukan, ternyata lebih sulit menerima pelajaran baru dengan kemungkinan timbulnya kegagalan dan frustasi. Untuk mengenali apakah siswa telah memiliki prayarat yang dibutuhkan itu, maka guru dapat melakukan analisis terhadap tugas, topik, dan tujuan yang dicapai. Kemudian guru memberikan tes mengenai prasyarat tersebut. Bertitik tolak dari keadaan siswa tersebut guru akan lebih mudah menyesuaikan pelajarannya sehingga membangkitkan motivasi belajar yang lebih tinggi dikalangan siswa. 5. Novelty Siswa akan termotivasi untuk belajar apabila penyajian pelajaran diaksanakan dengan hal-hal yang baru atau belum pernah dialami oleh siswa diasajikan secara menarik dan berinovasi. Menurut Hamalik (2010:159) bahwa: ”Siswa lebih senang belajar bila perhatiannya ditarik oleh penyajian-penyajian yang baru (novelty) atau masih asing”. Sesuatu gaya dan alat yang baru masing-masing bagi siswa akan lebih menarik perhatian mereka untuk belajar, misalnya yang belum pernah dilihat sebelumnya. Cara-cara tersebut misalnya menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi, berbagai alat bantu, tugas macam-macam kegiatan yang mungkin asing bagi mereka. 6. Latihan/praktek yang aktif dan bermanfaat Siswa lebih senang belajar jika mengambil bagian yang aktif dalam latihan/praktek untuk mencapai tujuan pengajaran. Praktek secara aktif berarti siswa mengerjakan sendiri, bukan mendengarkan ceramah dan mencatat pada buku tulis. Pengajaran hendaknya disesuaikan dengan prinsip ini, menurut Hamalik (2010:160) metode latihan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Usahakan agar siswa sebanyak mungkin menjawab pertanyaanpertanyaan atau memberikan respon terhadap pertanyaan guru, sedangkan siswa lainnya menulis jawabanjawaban dan menanggapi dengan lisan. 2) Mintalah agar siswa menyusun atau menata kembali informasi yang diperolehnya dari bacaan. 3) Sediakan laboratorium dan situasi praktek lapangan berdasarkan tujuan penganjaran yang telah dirumuskan. 7. Latihan terbagi Siswa lebih suka belajar apabila latihan-latihan dilaksanakan dalam jadwaljadwal waktu yang singkat tetapi sering dilakukan selama periode waktu tertentu. Menurut Hamalik (2010:160) bahwa: ”Siswa lebih senang belajar jika latihan dibagi menjadi sejumlah kurun waktu yang pendek. Latihan-latihan secara demikian akan lebih meningkatkan motivasi siswa belajar dibandingkan dengan latihan yang menggunakan sekaligus dalam jangka waktu yang panjang”. Cara yang terakhir itu akan melelahkan siswa, bahkan mungkin menyebabkan mereka tidak menyenangi pelajaran, serta mengalami kekeliruan dalam mempraktekkannya. 8. Kurangi secara sistematis paksaan belajar Pada waktu mulai belajar, siswa perlu diberi paksaan atau pemompaan. Akan tetapi bagi siswa yang sudah mulai mengusai pelajaran, maka secara sistematik pemompaan itu dikurangi dan akhirnya lambat laun siswa dapat belajar sendiri. Harus dihindarkan jangan sampai mau belajar tergantung pada pemompaan saja. Lagi pula pemompaan itu jangan terlalu segera dihilangkan karena mungkin siswa mendapat kekeliruan. Cara itu memang perlu dilaksanakan dalam rangkaian meningkatkan motivasi belajar siswa. 9. Kondisi yang menyenangkan Siswa akan lebih senang melanjutkan belajarnya jika kondisi pengajaran menyenangkan. Meka guru dapat melakukan cara berikut: 1) Usahakan jangan mengulangi hal-hal yang telah mereka ketahui, karena akan menyebabkan kejenuhan.
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
49
2) Suasana fisik kelas jangan sampai membosankan. 3) Hindarkan terjadinya frustasi dikarenakan situasi kelas yang tak menentu atau mengajukan permintaan yang tak masuk akal, dan diluar jangkauan pikiran manusia. 4) Hirdarkan suasana kelas yang bersifat emosional sebagai akibat adanya kontak personal. Menurut Hamalik (2010:161), untuk menciptakan kondisi yang menyenangkan dapat dilakukan dengan cara-cara berikut : 1) Siapkan tugas yang menantang selama diselenggarakannya latihan. 2) Berikan siswa pengetahuan tentang hasil-hasil yang telah dicapai oleh masingmasing siswa. 3) Berikan ganjaran yang pantas terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh siswa. Strategi Guru untuk Membangkitkan Motivasi Siswa Belajar IPS Strategi merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan hal yang perlu di perhatikan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran. Menurut Sanjaya (2007:124) bahwa: “Strategi pembelajaran merupakan perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Wena (2009:5), “Ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni: (1) strategi pengorganisasian, (2) strategi penyampaian, dan (3) strategi pengelolaan”. 1. Strategi Pengorganisasian Cara guru memilih dan menetapkan bahan pembelaran,dengan urutan bahan, membuat rumusan bahan yang sesuai dengan isi pokok bahasan, merangkum menjadi satu kesimpulan,yang keseluruhan nya mengacu pada tujuan pembelajaran yang akan di capai.Hal ini sesuai dengen pendapat Roestiyah (2008:40) menyatakan bahwa: ”Strategi mengorganisasi isi pelajaran disebut sebagai struktural strategi, yang mengacu pada cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang berkaitan”. Selanjutnya Made (2009:5) menyatakan bahwa: ”Strategi pengorganisasian merupakan cara untuk menata isi suatu bidang studi, dan kegiatan ini
berhubungan dengan tindakan pemilihan isi/materi, penataan isi, pembuatan diagram, format dan sejenisnya”. Strategi pengorganisasian, lebih lanjut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu strategi mikro dan strategi makro. Strategi mikro mengacu kepada metode untuk pengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada satu konsep, atau prosedur atau prinsip. Strategi makro mengacu kepada metode untuk mengorganisasi isi pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip. Strategi makro berurusan dengan bagaimana memilih, menata urusan, membuat sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang saling berkaitan. Pemilihan isi berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, mengacu pada penentapan konsep apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Penataan urutan isi mengacu pada keputusan untuk menata dengan urutan tertentu konsep yang akan diajarkan. Pembuatan sintesis diantara konsep prosedur atau prinsip. Pembuatan rangkuman mengacu kepada keputusan tentang bagaimana cara melakukan tinjauan ulang konsep serta kaitan yang sudah diajarkan. 2.
Strategi Penyampaian Merupaan cara yang dipilih oleh guru atau menetap kan nya bisa bersama-sama dengen siswa, baik itu dari pemilihan media maupun metode yang akan di gunakan. Menerut Wena (2009:6) mengatakan bahwa: ”Strategi penyampaian adalah cara untuk menyampaikan pembelajaran pada siswa dan/atau untuk menerima atau merespons masukan dari siswa”. Uraian mengenai strategi penyampaian pembelajaran menekankan pada media apa yang dipakai untuk menyampaikan pembelajaran, kegiatan belajar apa yang dilakukan siswa, dan struktur belajar mengajar bagaimana yang digunakan. 3.
Strategi Pengelolaan Merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi pembelajaran dengan variabel metode pembelajaran lain nya. Strategi ini berkaitan dengan pembelajaran lain nya. Begitu juga yang di katkan Wena (2009:6) bahwa strategi pengelolaan adalah cara untuk menata interaksi antara siswa dan
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
50
variabel strategi pembelajaran lainnya (variabel strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian). Strategi pengelolaan pembelajaran berhubungan dengan pemilihan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Strategi pengelolaan pembelajaran berhubungan dengan penjadwalan, pembuatan catatan kemajuan siswa, dan motivasi.
PENUTUP Guru melakukan usaha-usaha membangkitkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran IPS antara lain menghubungkan pengajaran dengan pengalaman dan minat siswa, menerapkan modelling, melaksanakan komunikasi terbuka, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan informasi yang telah dimilikinya, menggali prasyaratprasyarat, memberikan latihan/praktek, memberikan latihan terbagi untuk memudahkan pemahaman siswa, mengkondisikan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran, serta membimbing siswa disaat siswa mendapat kesulitan dalam belajar. Usaha lain yang dilakukan guru dalam membangkitkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran IPS antara lain menambahkan program remedial, menggunakan metode pembelajaran yang variatif, meningkatkan fungsi perpustakaan sekolah, mengadakan perlombaan cerdas cermat dalam bidang IPS, serta guru menerapkan metode karya wisata setiap semester dengan menbawa siswa keluar kelas mengunjungi situs-situs sejarah dan situs budaya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. http://www.bpkp.go.id. Diakses 6 Januari 2012.
Hamalik, Oemar (2010). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Sistem, PT. Bumi Aksara. Jakarta. ________. (2010). Kurikulum dan Pembelajaran, PT. Bumi Aksara. Jakarta. Hidayati. (2007). Bahan Ajar Pelatihan Implementasi ”Pakem” Pada Bidang Studi IPS Sekolah Dasar, Depdiknas. Universitas Yokyakarta. Maha,
Poerwadarminta (2010). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta. Roestiyah, N.K. (2008). Strategi Belajar Mengajar, Salah Satu Unsur Pelaksanaan Strategi Belajar Mengajar: Teknik Penyajian, Rineka Cipta. Jakarta. Sanjaya, Wina. (2007). Strategi Pembelajaran, Kencana. Jakarta. Sardiman, A.M. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers. Jakarta. Soedjiono, Anas. (2005). Pengantar Statistik Pendidikan, Rajawali Pers. Jakarta. Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, PT. Bumi Aksara. Bandung.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta. Dimyati,
Ramly. (2000). Perancangan Pembelajaran Sistem Ilmu Pengetahuan Sosial, Rajawali Pers. Jakarta.
dkk. (2009). Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta. Jakarta.
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
51
THE BARRIERS OF IMPLIMANTATION THE CHARACTER VALUE AND LOCAL WISDOM LEARNING MATERIALS ANALYSIS OF SOCIOLOGY SUBJECS IN HIGH SCHOOL BANDA ACEH
Oleh Abubakar* dan Anwar** Abstract Begin 1976 the sociology officially became the subjects in senior high school, the main problem is not the availability of learning that teachers have a background of sociology, this led to a lack of ability of teachers in preparing and teaching material models based on local wisdom, learning is often focused on textbooks alone, so that the development paradigm character education can not be realized, unattractive and boring lessons, students learned much from the local values and life experiences, this study is one of the important effort to find the exact model of learning with the learning principles of sociology and the availability of teaching materials which corresponds the paradigm of character education and be able to identify various barriers and were able to find a way out. This research method is descriptive qualitative triangulation approach, results show, shows, Implementation character values based on local wisdom in teaching sociology in Banda Aceh has some problems and become obstacles are: The existence of a standard regulatory measurement of national education through the national final examination (standardized testing) which emphasizes the realm koqnitif course, this raises the contradictory because it is centralized, making it hard Implementation indigenous values that are decentralized. Teachers do not have the experience of teaching sociology, they are not in field of sociology, teaching sociology is additional subjects other than teaching main task in mayority, with such conditions are often the task of teaching sociology courses in Banda Aceh is a double play (multiple roles). The material used is a national and centralized textbooks, teachers have not been able to develop special materials in the classroom-based learning in the region. Many parents no longer pay attention to their children's education in every school, they assume teenager education is the responsibility of school, the task of parents is to deliver and finance only. Key Words : Teaching Caracter Value and Local Wisdom
Tujuan pendidikan pada umumnya bernilai baik, yaitu sebagai usaha sadar, sistimatis dan terencana, yang bertujuan membentuk manusia yang berkepribadian sesuai dengan karakter bangsa dan masyarakatnya, banyak faktor yang dapat mempengaruhi pendidikan, salah satu factor yang menentukan (determinan factor) tersedianya sumber daya manusia yang kompeten menurut bidangnya, serta faktor lain yang cukup penting adalah peran serta masyarakat sebagai sumber belajar, hal ini penting karena apa yang diberikan dan dikembangkan di sekolah merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan dan apa yang tersedia di masyarakat, oleh sebab itu sesungguhnya apa yang dipelajari di sekolah tidak boleh terlepas dari apa yang ada di dalam masyarakatnya, apa bila itu terjadi maka akan
muncul apa yang disebut oleh Hary A Gunawan 2013 dengan gejala desintegratif, yaitu berkurangnya kesetiaan terhadap nilainilai umum yang telah berlaku di masyarakat, dengan demikian maksud dari tujuan pendidikan yang sebenarnya tidak tercapai. Provinsi Aceh merupakan daerah khusus yang memiliki berbagai potensi, baik potensi alam dan potensi sosialnya, serta memiliki berbagai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai Syariat Islam, demikian juga hal dengan Kota Banda yang telah menetap visinya menjadi kota madani berbasis Syariat Islam, untuk itu perlu adanya upaya berbagai pihak termasuk guru dalam mengembangkan nilai-nilai Islami guna mewujudkan visi tersebut, termasuk melalui berbagai pembelajaran di sekolah adalah upaya nyata
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
dalam penanaman nilai-nilai kearifan lokal pada generasi mudanya. Salah satu pembelajaran penting untuk mencapai tujuan itu adalah pembelajaran mata pelajaran sosiologi, namun sering sosiologi di anggap sebagai mata pelajaran pelengkap, bahkan mata pelajaran sosiologi hanya di berikan pada anak-anak kelompok IPS saja, sering orang berpikir IPS adalah jurusan di mana tempat berkumpulnya anak-anak kurang cerdas dan nakal, Pemahaman seperti itu akan terbagunnya paradigma berpikir (frame of mind) kebanyakan kita menyangkut dikhatomi kelompok ilmu IPA dan IPS, IPA prioritas sedangkan IPS menjadi alternatif, dengan demikian tanpa kita sadari pembelajaranpun akan berjalan seadanya saja dan mengikuti karakter siswa sesuai dengan anggapan di atas.
METODA PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif, responden penelitian berasal dari seluruh guru pengajar mata pelajaran sosiologi pada SMA Kota Banda Aceh, beserta beberapa unsur dari pihak terkait seperti pakar-pakar sosiologi dan tokoh adat budaya yang dianggap memilki pengetahuan sesuai dengan masalah yang diteliti dan data yang diperlukan. Teknik pengumpulan adalah wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Pengolahan dan Analisis Data, data yang terkumpul akan di olah dengan SHQGHNDWDQ ³7ULDQJJXODVL¶ Dengan metoda kualitatif. Tujuannya untuk menggambarkan katagori-katagori yang relevan dengan tujuan yang ingin di capai dalam penelitian, sehingga melahirkan luaran penelitian yang sempurna. Reduksi data dilakukan sebagai usaha sejak awal penelitian secara terus menerus, hal ini di tempuh untuk menghindari penumpukan data, sehingga memungkinkan peneliti mengumpulkan data secara terus menerus untuk memperdalam setiap temuan sebelumnya dan untuk mempertajam data ± data yang sudah ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembelajaran Sosiologi di Indonesia termasuk mata pelajaran baru, masuk dalam kurikulum Indonesia mulai tahun 1994, model pembelajaran dan berbagai tujuannya terus
52
berkembang sesuai dengan arah tujuan, visi utama pendidikan Indonesia yaitu pembentukan karakter sesuai dengan Undangundang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 3. Mengingat Indonesia memiliki 1.128 suku mendiami pulau yang berbeda-beda, maka nilai-nilai karakter perlu diselaraskan pula dengan kearifan lokalnya, sehingga hasil pembelajaran bermanfaat bagi lulusannya ketika kembali ke masyarakat lingkungannya. Bagi guru sosiologi menyelaraskan nilai-nilai karakter yang telah ditetapkan secara nasional dengan nilai-nilai kearifan lokal dirasa masih banyak hambatan, hambatan itu baik yang berasal dari guru itu sendiri, buku ajar, kurikulum dan model pembelajaran yang belum selaras dengan harapan pembelajaran yang diinginkan, bahkan hambatan tersebut bersumber dari regulasi pemerintah sendiri. Berikut ini penulis mencoba mendeskripsikan beberapa problema pembelajaran sosiologi berdasarkan hasil penelitian tahun 2013 di Kota Banda Aceh. 1.
Hambatan Implimentasi Penerapan Nilai Karakter pada SMA Kota Banda Aceh Berdasarkan hasil pengelohan dan analisis berbagai data yang terkumpul, dapat disimpulakn sebagai berikut : a. Hambatan Regulasi dan Standar Pengukuran UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan tujuan pendidikan nasional ditujukan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan. Apa yang digariskan dalam UUD tersebut jelas bahwa pendidikan bukan hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi akademik, tetapi untuk menjadikan manusia yang utuh yang mampu menjadi manusia yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta, menjadi manusia demi manusia yang lain dan alam semesta. Pendidikan nasional tidak hanya bermkasud menciptakan kemampuan manusia yang memiliki kecerdasan intelektual saja, namun harus membangkitkan hati nurani yang akan menghasilkan manusia yang tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
dasar pembelajaran harus mampu mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ). Mencermati maksud tersebut arah pembangan pembelajaran perlu penekanan pada berbagai karakternya, dengan demikian pulu tidak bisa dipisahkan dengan kearifan lokalnya sebagai tempat mereka beradaptasi dan membesarkan keluarganya, tekanan pembelajaran lebih bersifat desentralistik. Sementara di sisi lain kebijakan penerapan Ujian Akhir Nasional (standardized testing) menekankan pada ranah koqnitif saja menimbukan kontradiktif karena lebih bersifat sentralistik. Dua kebijakan yang bertolak belakang ini menimbulkan kebingungan bagi guru dalam pelaksanaan pembelajarannya di kelas, karena disatu sisi ada dasar penerapan tujuan pembelajaran yang bersifat local dengan berbagai keunggulannya, namun di sisi lain pemerintah menghendaki adanya keseragaman penguasaan materi yang bersifat nasional atau provinsi, guru dipacu dengan luar biasa untuk mencapai kelulusan tertinggi dalanm ujian itu dengan sasaran materi terpusat, padahal setiap daerah memiliki karakteristik yang berbedabeda. Di samping itu ada anggapan dan ³KXNXPDQ´NDODXPDWDSHODMDUDQ\DQJGLDVXK seorang guru, dihasil UAN banyak siswa yang tidak lulus, maka kinerja guru tersebut dianggap tidak bagus, disinilah beban batin seorang guru berkecamuk antara kejujuran dan kecurangan. Kejujuran adalah membiar hasil ujian siswa apa adanya sesuai denga kemampuan siswa pada mata pelajaran yang diasuh, kecurangan adalah melakukan berbagai upaya yang sistimatis untuk meningkatkan tingkat kelulusan siswa pada mata pelajaran yang diasuh untuk mempertahankan citra kinerjanya, dan menyelamatkan citra sekolahnya, karena tingkat kelulusan UAN juga menjadi tolak ukur keberhasilan sekolahdi Indonesia saat ini, regulasi seperti ini dapat mencoreng nilai-nilai karakter dan kearifan kal, karena tidak ada satupun budaya PDV\DUDNDW \DQJ PHQ\DNLQL ³FXUDQJ´ VHEDJDL karakter bernilai baik.
53
Dari fenomena itu banyak hal yang kita petik sebagai indicator yang menjadi penghambat karena : 1. Banyak guru yang bingung dalam pembelajaran karena memiliki tujuan ganda, secara tertulis tujuan pembelajaran membangun karakter sesuai dengan kearifan local masyarakatnya, sementara siswa wajib lulus UAN yang sentralistik sebagai indicator keberhasilan siswa, guru dan sekolah serta berbagai satuan kerja yang terlibat. 2. 'DPSDN ³KXNXPDQ´ \DQJ DNDQ GLWHULPD guru dan sekolah apabila siswa gagal UAN menyebabkan konsentrasi guru lebih terfokus pada materi nasional dari pada materi ± materi berbasis local. 3. Berkembangnya nilai buruk seperti curang, jual beli kunci jawaban, tidak jujur, padahal sekolah adalah lembaga yang menjaga nilai ± nilai baik, berfungsi menjadi pengembang nilai- nilai buruk. 4. Materi yang diujikan tidak sinkron dengan amanat konstitusi dan perundangan pendidikan nasional, karena hanya memerhatikan kecerdasan intelegensia. Kemampuan intelektual saja jelas tidak menjamin kualitas dan keberhasilan manusia karena kurang ada kaitannya dengan etos kerja keras dan hubungan dengan lingkungannya. b.
Kompetensi Mengajar Guru dan tugas mengajar tidak sesuai Di Kota Banda guru masih merupakan faktor penentu keberhasilan pembelajaran dan pencapaian tujuannya, artinya keberhasilan belajar siswa masih sangat memerlukan peran guru di kelas, dalam pembelajaran siswa belum mandiri untuk menciptakan kondisi belajarnya sendiri. Kalau guru tidak bisa hadir maka sering kali siswa menjadi ribut dan dapat mengganggu kelas lain yang ada disampingnya. Meskipun peranan guru sangat penting untuk profesionalisme mengajar, namun untuk pembelajaran sosiologi di Kota Banda Aceh belum ada guru khusus yang memiliki kemampuan pendidikan sosiologi. Guru pengajar mata pelajran sosiologi pada SMA Kota Banda Aceh 100% tidak memiliki bidang yang relevan dan mata pelajaran yang diasuh, pada umumnya mereka
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
memiliki latar belakang pendidikan seperti Geografi, Sejarah, Kewarganegaraan, Administrasi Pendidikan, Ekonomi, dan Bahasa Indonesia. Dengan demikian pembelajaran sosiologi pada daerah yang diteliti dapat dikatakan belum memenuhi unsur profesionalnya. Karena pengalaman pendidikan guru yang mereka peroleh tidak sesuai mata pelajaran yang mereka asuh. Dampaknya adalah minimnya kompetensi profesi yang harus dikembangkan sebagai seorang guru yang baik, dengan demikian prinsip-prinsip dan sifat-sifat pembelajaran sosiologi tidak diterapkan, baik bagaimana model pembelajaran, bagaimana menghubungkan materi-materi sosiologi dengan nilai-nilai karakter masyarakat localnya dalam pembelajaran sekolah. Rendahnya latar pengetahuan guru bidang sosiologi cukup menghambat guru dalam mengembangkan materi-materi pembelajaran dan mengembangkan metoda penelitian sosiologi pada masyarakat. c.
Tidak ada pelatihan khusus untuk tenaga pengajar sosiologi Pelatihan merupakan suatu upaya peningkatan keterampilan secara berkelanjutan, minimal pelatihan dilakukan setahun sekali, hal ini penting mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan cepat, sehingga modelmodel pembelajaran tersebut mengikuti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, seluruh perkembangan tersebut perlu disampaikan dan dikuasai oleh setiap guru sebagai model pembelajarannya. Meskipun dinyakini pentingnya pelatihan dalam peningkatan ketrampilan guru pengajar sosiologi selama ini guru tidak mendapat pelatihan secara sistimatis dan regular, guru mata pelajaran lain sebenarnya hampir sama, namun frekwensi pelatihan untuk guru lain sering dilakukan meskipun belum juga memenuhi jumlah yang ideal, beda halnya dengan guru pengajara mata pelajaran sosiologi pelatihan pernah diberikan pada IKIP padang tahun 1985 dan yang terakhir tahun 2006 pasca Tsunami yang didanai oleh LSM asing. Pelatihan yang pernah diperoleh oleh guru sosiologi dalam kedua tahun tersebut 1% menyebutkan pernah mengikuti bidang materi sosiologi dan 3% bidang metoda mengajar, dengan demikian 96% guru pengajar sosiologi
54
Kota Banda Aceh belum pernah mengikuti pelatihan yang mendukung pembelajaran sosiologi di kelas. Minimnya pelatihan tersebut menyebabkan mengajar guru di kelas dilakukan berdasarkan pengalaman yang diperoleh pada saat menempuh pendidikan dulu dari berbagai LPTK-nya. Mengingat pendidikan berkarakter baru digalakkan pada 2003 sehingga tidak semua guru dapat menguasai pola-pola, model-model pembelajaran berkarakter pada mata pelajaran sosiologi, karena wacana pendidikan berkarakter tidak pernah didapatkan pada LPTK tempat guru tersebut menempuh pendidikannya dulu. Jadi terjadi bias yang sangat jauh bagi guru antara tuntutan penerapan pembelajaran berkarakter dengan kemampuannya dalam bidang pembelajaran berkarakter. Sebagaimana telah disinggung di muka guru sosiologi bukan berasal dari bidang ilmu sosiologi, mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu, hal ini menggambarkan pembelajaran sosiologi di Kota Banda Aceh sangat bervariasi, baik dilihat dari kompetensi guru, kemampuan menguasai materi, seni mengajar dan kemampuan meneliti bidang sosiologi serta kemampun mengkoloborasi nilai-nilai karakter local dalam pembelajaran sosiologi di kelas. Untuk itu palitihan sangat penting bagi guru sosiologi Kota Banda Aceh dapat berfungsi ganda, antara lain : 1. Meningkatkan kemampuan guru mengajar sosiologi 2. Meningkatkan kemampuan dalam pengimplimentasian nilai-nilai karakter kearifan local dalam pembelajaran sosiologi 3. Menyeragamkan materi, model dan metoda pembelajaran sosiologi sesuai dengan sifat-sifat, prinsip dan tujuan pembelajaran sosiologi berkarakter 4. Mengembangkan model-model penelitian sosiologi untuk mengembangkan materimateri pembelajarannya d.
Peran Ganda Bidang Tugas Mengajar Guru Sebagaimana yang telah dikemukan di muka bahwa semua guru mengajar mata pelajaran sosiologi tidak memiliki bidang pendidikan sosiologi, mereka ditugaskan membantu mengajar sosiologi pada suatu
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
waktu tertentu, sementara pada waktu lain mengajar mata pelajaran yang lain sesuai dengan bidangnya, peran ganda guru dapat menimbulkan beban kerja dan ketidaknyamanan kerja dikalangan guru sendiri. Kondisi peran ganda seperti ini menimbulkan kecendrungan professional yang tidak berimbang, bagi guru yang mengajar bukan bidangnya afiliasi professional lebih cenderung pada bidangnya dan sering kali menjadi prioritas sedangkan mata pengajaran sosiologi menjadi alternatifnya. Peran ganda dapat menyebabkan stress kerja seorang guru karena di satu pihak dituntut kemampuan mengajar dalam bidangnya sementara dipihak lain juga harus professional dalam bidang yang sebelumnya tidak dipelajari dalam pengalaman pendidikannya, stress seperti ini menurut Briner (Rahayu Apriliaswati 2014), disebut stress internal bersifat Openness to Experience. Peran ganda seperti ini menyebabkan pelaksanaan kerja tidak focus, padahal mengajar ditutuntut konsentrasi penuh, mepersiapkan materi, media dan metodametodanya serta penelitian lapangan guna menemukan berbagai muatan kearifan local sesuai dengan pokok bahasannya. Mata pelajaran sosiologi materi pembelajaran lebih menekankan pada materi lapangan, dengan demikian guru dituntut kerja ekstra dalam menggali berbagai nilai-nilai kearifan local sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Kerja ± kerja seperti itu belum dilakukan oleh guru ± guru pengajar di SMA Kota Banda Aceh dalam memperkuat implimentasi nilai karakter dalam pembelajaran sosiologi, karena disamping mereka mengajar mata pelajaran sosiologi juga mengajar beberapa mata pelajaran lainnya, fokus profesionalismenya dapat dikatakan bercabang. e.
Materi pembelajaran besifat terpusat Dari hasil penelitian menunjukkan semua guru-guru pengajar sosiologi masih menggunakan buku-buku paket nasional, sehingga masih sulit memasukkan unsur-unsur kearifan lokal sebagai materi pelajaran sosiologinya, dengan demikian apa yang ada di luar dalam masyarakat belum masuk pada pembelajaran sekolah.
55
Materi sosiologi memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan berbagai ilmu sosial lainnya, hal ini belum banyak dipahami oleh guru, dalam pembelajaran sulit dibedakan mana pendekatan sosologi, antropologi, sejarah, eknomi dan ilmu-ilmu lainnya. Belum ada buku materi sosiologi khusus yang sesuai dengan karakter Ke-Acehan merupakan kendala utama guru dalam mengembangkan materi pembelajaran di kelas, pada umumnya materi sosiologi di Kota Banda Aceh bersifat nasional yang bersumber dari buku-buku paket nasional. Guru belum mampu mengembangkan materi khusus yang memuat nilai-nilai kearifan lokal Aceh, para pakar sosiologi di Banda Aceh juga belum ada yang memberikan perhatian khusus untuk pengembangan materi local guna memperkuat pembelajar karakter di sekolah. Oleh sebab itu penting kiranya disiapkan buku-buku ajar yang berbasis kearifan lokal sehingga dengan tersedianya materi-materi tersebut membuka wacana bagi guru dalam mengembangkan materi-materi lebih lanjut yang lebih kontektual dengan kearifan lokal masyarakat. f.
Belum ada keterlibatan masyarakat dan orang tua dalam pengembangan Nilai-nilai kearifan Lokal Orang tua merupakan salah satu unsur penting dalam menunjung pendidikan, orang tua seharusnya memahami bahwa merekalah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan putra-putrinya sesuai dengan nilainilai yang diharapkan. Dewasa ini banyak orang tua yang tidak lagi menaruh perhatian pada pendidikan anaknya di setiap sekolah. Dengan berbagai alas an, seperti keterbatasan waktu, menganggap sekolah yang bertanggung jawab untuk keberhasilan pendidikan, tugas orang tua hanya membiayai dan tidak adanya kesempatan dengan berbagai model yang dibangun sekolah yang memungkin orang tau dapat terlibat dalam pembelajaran anakanaknya di sekolah, bisa saja hambatan ini diakibatkan oleh sekolah sendiri yang tidak membuat format yang memungkinkan orang tua terlibat di dalam program sekolahnya. Kecendrungan pola seperti itu telah terjadi di berbagai kota besar termasuk di Kota Banda Aceh, banyak satuan pendidikan menjalankan pembelajaran sendiri melalui berbagai usahanya, orang tua juga enggan terlibat karena tidak diikutsertakan dan juga
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
menganggap bukan tugasnya lagi dengan berbagai alasan yang telah disebutkan di atas. Oleh sebab itu kesalahan ± kesalahan tersebut perlu dihilangkan karena upaya pembentukan pendidikan karakter berbasis kearifan local langkah awal sebenarnya dimulai dari orang tua terlebih dahulu, nilainilai kearifan local pertama sekali dihidupkan oleh keluarga, terus berkembang menjadi nilai-nilai universal di masyarakat, demikian juga sebaliknya, 2.
Pembelajaran berkarakter dengan kearifan lokal dan dampak prilaku sosial remaja Kota Banda Aceh Penerapan pendidikan karakter di Indonesia termasuk masih baru, banyak hal yang perlu dibangun guna mengembang pendidikan berkarakter secara sempurna, pendidikan berkarakter merupakan suatu sistem yang secara sadar dan terencana melalui materi/alat penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah, yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai sebagaimana yang dipraktekan oleh masyarakatnya, baik nilai nilai dalam hubungannya dengan Allah SWT, nilai-nilai terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Program pendidikan karakter bukanlah suatu proyek pembangunan, tetapi adalah niat dan itikad dengan tujuan terjadi perubahan karakter masyarakat secara menyeluruh, kembali pada sumber daya yang bersih, jujur, amanah, adil, tidak terlibat berbagai pelanggaran yang bertentangan dengan nilai agama dan budaya masyarakat setempat. Untuk memaksimalkan pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian serta berbagai perangkatnya, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah wajib berfungsi aktif dan berperan sesuai dengan masing-masing fungsinya. Mencermati berbagai komponen tersebut, dapat kita simpulkan bahwa
56
pelaksanaan pendidikan berkarakter dengan memanfaatkan kearifan lokal pada SMA Kota Banda Aceh belum terwujud, belum adanya tindakan konkrit dari seluruh elemen sekolah dalam meningkatkan pembelajaran dengan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal. Banyak nara sumber yang belum faham sifat-sifat pembelajaran sosiologi dan belum menguasai bagaimana membuat rencana pembelajaran berbasis lokal, yang perlu dipahami dan diteladani oleh semua pihak sebagai penduan hidup dalam bermasyarakat dan beragama yang terintegrasi dalam pembelajaran di sekolah. Apa yang dijalankan selama ini adalah apa yang telah lama dilakukan, dengan muatan materi yang sangat umum dari bukubuku nasional dan masih banyak di antara nara sumber yang belum paham, tentang materimateri lokal yang dapat dimasukan dalam pembelajaran sosiologi di sekolah. Bahkan ada yang berpendapat bahan ajar sosiologi berbasis materi dari nilai-nilai lokal tidak diperlukan dengan berbagai alasan. Dari ungkapan tersebut tersirat bahwa banyak para guru yang mengajar sosiologi yang belum mengetahui bagaimana memadukan konsep teoritis nasional dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkunagn masyarakat, pada hal sesungguhnya apa yang tersurat dalam teori universal faktanya banyak bertebaran pada masyarakat sekitar. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan Aceh pada umumnya, nilai ± nilai karakter yang sebelumnya menjadi acuan hidup yang bersumber dari Syariat Islam, kini telah mengalimi perubahan, baik pada kalangan generasi muda dan dewasa, hal ini ditandai pada banyak genarasi muda yang menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang tidak bermanfaat, nongkrong di caffe-caffe, yang sebelumnya banyak dilakukan oleh remaja pria, kini kebiasaan itu juga sudah mulai digandrungi juga oleh remaja putri, pembunuhan oleh kelompok tertentu, pemerasan dalam berbagai bentuk, pindah agama, sogok menyogok dalam berabagai kesempatan, jual beli skripsi, mencontek, curang ujian UAS dan UAN, merokok (kini sudah merambah pada remaja putri, sebelumnya sangat tabu) narkoba, freesex telah cukup banyak dijumpai di kalangan remaja SMA Kota Banda Aceh (2,46% remaja SMA
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Di kelas sebenarnya nilai karakter dapat dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan, tidak perlu muluk-muluk namun perlu yang di rancang khusus sebagaimana yang telah di singgung di muka. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya masyarakat setempat dan karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti, religius, adil, kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa di lakukan guru baik melalui materi maupun tugas-tugasnya. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian secara sengaja dan terorganisir dengan model dan metoda ± pembelajaran yang relevan sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut. Oleh sebab itu di ujung pembahasan ini kita berkesimpulan upaya-upaya yang sinergi semacam itu belum dilakukan dalam pembelajaran sosiologi di SMA Kota Banda Aceh.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka ada beberapa poin penting yang dapat di tarik sebagai hasil penelitian, antara lain : a. Disamping beberapa hambatan yang dapat mengganggu yang paling dicari jalan keluarnya adalah regulasi pemerintah dan standar pengukuran, Pendidikan nasional tidak hanya bermkasud menciptakan kemampuan manusia yang memiliki kecerdasan intelektual saja, namun pendidikan hartus mengembangkan nilainilai bijak, berbasis karakter masingmasing potensi daerahnya secara desentralistik. Dipihak lain ada kebijakan penerapan Ujian Akhir Nasional (standardized testing) menekankan pada ranah koqnitif saja menimbulkan kontradiktif karena lebih bersifat sentralistik. Dua kebijakan yang bertolak belakang ini menimbulkan kebingungan
58
bagi guru dalam pelaksanaan pembelajarannya di kelas, guru dipacu dengan luar biasa untuk mencapai kelulusan tertinggi dalanm ujian itu dengan sasaran materi terpusat, padahal setiap daerah memiliki karakterustik yang berbeda-beda, berbagai upaya ditempuh XQWXN PHQJKLQGDUL ³KXNXPDQ´ VHSHUWL membocorkan kunci jawaban, memberi jawaban dan lain-lain yang justru mencoreng nilai karakter lokalnya. b. Guru pengajar mata pelajran sosiologi pada SMA Kota Banda Aceh 100% tidak memiliki bidang yang relevan dan mata pelajaran yang diasuh serta rendah frekwensi pelatihan yang diterima guru, minimnya pengalaman akan berdampak pada minimnya kompetensi profesi yang harus dikembangkan sebagai seorang guru yang baik, dengan demikian prinsip-prinsip dan sifat-sifat pembelajaran sosiologi tidak dapat dikembangkan, baik bagaimana model pembelajaran, bagaimana menghubungkan materi-materi sosiologi dengan nilai-nilai karakter masyarakat localnya dalam pembelajaran sekolah, dan akan berpengaruh pada kemampuan penelitian sosiologinya guna menemukan dan merangkumkan berbagai materi yang bertebaran dalam masyarakatnya. c. Guru pengajar sosiologi biasannya ditugaskan mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang berbeda, sehingga seringkali mereka berperan ganda (multiple role) kondisi ini menimbulkan beban kerja dan ketidaknyamanan kerja dikalangan guru sendiri. Kondisi peran ganda seperti ini menimbulkan kecendrungan professional yang tidak berimbang, bagi guru yang mengajar bukan bidangnya, afiliasi professional lebih cenderung pada bidangnya dan sering kali menjadi prioritas sedangkan mata pengajaran sosiologi menjadi alternatifnya. Peran ganda dapat menyebabkan stress kerja seorang guru karena di satu pihak dituntut kemampuan mengajar dalam bidangnya sementara dipihak lain juga harus professional dalam bidang yang sebelumnya tidak dipelajari dalam pengalaman pendidikannya, kondisi seperti dapat menimbulkan stress kerja bagi guru. d. Materi sosiologi memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan berbagai
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
ilmu sosial lainnya, hal ini belum banyak dipahami oleh guru, dengan demikian dalam pembelajaran sulit dibedakan mana pendekatan sosologi, antropologi, sejarah, eknomi dan ilmu-ilmu lainnya. Belum ada buku materi sosiologi khusus yang sesuai dengan karakter Ke-Acehan, merupakan kendala utama guru dalam mengembangkan materi pembelajaran di kelas, pada umumnya materi sosiologi di Kota Banda Aceh bersifat nasional yang bersumber dari buku-buku paket nasional. Guru belum mampu mengembangkan materi khusus yang memuat nilai-nilai kearifan lokal Aceh. e. Orang tua dan masyarakat merupakan unsure penting dalam menunjung pendidikan karakter. Dewasa ini banyak orang tua yang tidak lagi menaruh perhatian pada pendidikan anaknya di setiap sekolah, mereka beranggapan pendidikan anak usia remaja adalah tanggungjawab sekolah, tugas orang tua adalah mengantar dan membiayainya, kecendrungan seperti itu telah terjadi di berbagai kota besar termasuk di Kota Banda Aceh, di samping itu banyak satuan pendidikan menjalankan pembelajaran sendiri melalui berbagai usahanya, orang tua juga enggan terlibat karena tidak diikutsertakan oleh sekolah dalam berbagai program termasuk dalam menyiapkan materi pembelajaran untuk anaknya. f. Karakter secara akademik adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, tujuannya mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baikburuk berdasarkan nilai-nilai masyarakat, menjaga dan memelihara apa yang baik itu, dan mampu mewujudkan nilai-nilai kebaikan tersebut dalam kehidupan seharihari secara empati atau tanpa adanya pemaksaan lagi. Pembentukan nilai-nilai karakter di kelas perlu di bangun secara menyeluruh setiap mata pelajaran sesuai dengan ranah cakupannya dan terintegrasikan dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Di Kota Banda Aceh secara mikro belum tergambar adanya tahapan ± tahapan yang jelas menyangkut dengan nilai karakter apa yang akan dicapai, baik melalui proses belajar mengajar, budaya sekolah, ekstra kurikuler
59
serta nilai-nilai karakter di rumah dan dalam masyarakat sekitarnya. Pada umumnya di sekolah ke 18 nilai karakter diajarkan, namun guru belum mampu menghubungkan dan mengembangkan nilai-nilai tersebut secara mikro di kelas. Ucapan Terima Kasih : Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi aktif mendukung keberhasilan penelitian ini antara lain : 1. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmadnya sehingga penelitian ini berjalan sesuai dengan rencana. 2. Ditlitabmas Dikti Kemdikbud RI yang telah mendukung dana sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar 3. Seluruh kepala sekolah dan guru pengajar mata pelajaran sosiologi di lingkungan SMA Negeri Kota Banda yang telah membantu berbagai informasi yang diperlukan
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Dkk (2013) Model Pembelajaran Sosiologi Dalam Membentuk Pendidikan Berkarakter Berdasarkan Kearifan Lokal Pada Sma Di Kota Banda Aceh. Laporan Penelitian Dikti Kemendikbud RI, LP2M USM Banda Aceh Abubakar dan Anwar, 2013, JURNAL KOMUNITASResearch & Learning in Sociology and Anthropologyhttp://journal.unnes.ac.id /nju/index.php/komunitas. Volume 5, Nomor 2 Edisi September 2013. Unes, Semarang Agus Santosa, 2012. Pembelajaran Sosiologi di SMA, Diunduh di http://agsa sman3yk.wordpress.com). Ary H. Gunawan, 2010. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta.
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
Coleman, James dan Donald Cressey. 1984. Social Problem, Harper & Row Publishers Inc. USA Etin
60
Tirta Rahardja Umar dan Lasula, 2000, Pengantar Pendidikan, Penerbit Pusat Perbukuan. Depdikbud dan PT. Reneka Cipta, Jakarta
Solihatin, Hj. dan Raharjo, 2009. Cooperative Leaning, Analisis Model Pembelajaran IPS, Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Usman, Sunyoto. 1999. Konsep Dasar Sosiologi. Diktat Kuliah Sosiologi FISIPOL UGM. Yokyakarta.
George Ritzer, Douglas J dan Goodman, 2011. Teori Sosiologi Modern, edisi ke enam. Alih bahasa oleh : Alimandan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Xaveary, 2010, Strategi Pembelajaran Sosiologi Tingkat SMA, Diunduh di http://re-searchengines.com/ xaviery6-04.html
Hess, Beth. B. Dkk. 1985. Sociology. Second Edition. Macmillan Publishing Company. New York. Collier Macmillan Publishers. London LA
Tahang 2010. Pengemabangan Pembelajaran Sosiologi Berbasis ELearning, Diunduh di http:// prodibpi.wordpress.com/2010/08/01/pe ngembangan-pembelajaran-so siologi-berbasis-e-learning-di-sma ma/.
Prayogo Bestari dan Syaifullah Syam, 2010, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Membangun Karakter Bangsa (Nation and Character Building): Refleksi, Komitmen dan Prospek, Laboratorium PKn, Bandung Robert C. Bogdan. 1982. Qualitative Research For Education to Theory and Methods. Allyn and Bacopns, Inc. Boston, London, Sydney, Toronto Saifuddin, 2008, Strategi Pembelajaran Sosiologi pada SMA, Seri Jurnal Medika, Volume : 6 Nomor 2 tahun 2008, Edisi Mei ± Agustus 2008, Diunduh di http://isjd.pdii. lipi.go.id/admin/jurnal/6208396407.pdf Seriwati Bukit, 2013. Pendidikan Karakter, http://sumut.kemenag.go.id/ Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagaman Medan
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Ar-Raniry BandaAceh Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Program Doktor UIN
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
61
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PENDALAMAN MATERI UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU FISIKA SMA DI KOTA BANDA ACEH
Oleh Badaruddin* dan Soewarno S.** Abstract This study aimed to develop a model of deepening training materials for teachers to improve high school physics teacher professionalism. This study uses a design research and development ( R & D ) as a design grant. Object of study is a high school physics teachers in Banda Aceh, determined by sampling randoom stratified sampling technique. Variable which is the object of research are: teacher training models for this, models have been followed teacher training, knowledge and understanding of the material physics teacher, a teacher for the learning performance, the conditions and the needs of teachers to design a training model and training model operational and practical. The model has been developed airworthiness then tested through experimentation. To collect data related to the variables studied, used observation, questionnaires and interviews. Before being used in the study, all first validated instruments. To analyze the data used descriptive analysis techniques. Based on the research and analysis of the data showed that: learning physics have not been implemented in accordance with the demands of the curriculum. This is because there are many KD is not controlled by the teacher . Inadequate professional development of teachers especially concerning the understanding of the material, teachers' understanding of the material to be memorized, Farther both teachers and principals want the training material based on deepening the comprehensive concept. Keywords: models of training, professionalism, deepening of the material, physics.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap hasil UN tahun 2011 yang dilakukan di SMA Kota Banda Aceh, ternyata Kompetensi Dasar (KD) yang tidak dikuasai paling banyak terjadi pada pelajaran fisika yang mencapai 17 KD. Berdasarkan hasil penelusuran penyebabnya adalah KD tersebut tidak diajarkan, hal ini disebabkan guru tidak menguasai KD dimaksud (Muhammad Harun, dkk; 2011). Dari 46 guru fisika SMA di Kota Banda Aceh yang mengikuti UKG tahun 2012 memperoleh nilai rata-rata 41,63 dengan nilai tertinggi 63 (hanya 1 orang) dan nilai terendah 14 (LPMP; 2012). Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa kompetensi profesional guru fisika SMA di Kota Banda Aceh dapat digolongkan masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu desain model pelatihan pendalaman materi bagi guruguru Fisika SMA yang operasional dan praktis yang dapat meningkatkan kompetensi profesional. Untuk dapat mendisain model pelatihan dimaksud, maka diperlukan data tentang kondisi dan kinerja riel guru Fisika
SMA selama ini serta model pelatihan yang bagaimana yang dibutuhkan guru sesuai dengan kondisi yang ada (need assessment). Telah banyak reformasi pendidikian yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun reformasi pendidikan yang dilakukan tersebut masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogyanya bukan semata-mata pada hasil belajar, tetapi dimulai dari bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar, (Brook & Brook, 1993). Praktik-praktik pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap caracara guru mengemas dan melaksanakan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan programprogram pembinaan profesi guru. Programprogram tersebut membutuhkan fasilitas, antara lain dalam bentuk pelatihan pembelajaran untuk meningkatkan profesi guru (Santyasa, I.W, 2009). Salah satu program pembinaan profesi guru dapat dilakukan melalui program
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
peningkatan kualitas pembelajaran melalui pelatihan dan pelaksanaan pembelajaran dan asesmen inovatif atau pelatihan dan pelaksanaan lesson study (Suastra ;2006) Adapun kompetensi professional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, strukur, dan metoda keilmuan/ teknologi/ seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetensi secara professional dalam konteks global dan dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional (Akhmad Sudrajat 2007). Tujuan Khusus Penelitian ini adalah (a) Mendiskripsikan : model pembinaan profesi guru Fisika yang berlangsung di sekolah selama ini, model-model pelatihan yang pernah diikuti oleh guru Fisika, pengetahuan dan pemahaman guru terhadap pembelajaran/materi Fisika, kinerja guru dalam pembelajaran Fisika, kondisi dan kebutuhan guru Fisika terhadap model pelatihan pembelajaran yang dapat meningkatkan profesionalismenya sesuai dengan kondisi di lapangan; (b) Mengembangkan model pelatihan pembelajaran Fisika yang sesuai dengan kebutuhan untuk peningkatan profesionalisme guru Fisika SMA di Kota Banda Aceh.
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Sehubungan dengan tujuan utama penelitian ini, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis penelitian pengembangan. B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah guru Fisika SMA di Kota Banda Aceh. Sebagai sampel sekolah diambil seluruh sekolah sebanyak 16 sekolah (total sampling), sedangkan sebagai sampel guru diambil 3 guru Fisika, yaitu masingmasing 1 guru dari kelas X, XI, dan XII secara randooml sampling. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 48 orang.
62
C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel Variabel utama yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan selama ini, model-model pelatihan yang pernah diikuti guru, pengetahuan dan pemahaman guru terhadap materi dan pembelajaran Fisika, kinerja pembelajaran guru selama ini, kondisi dan kebutuhan guru terhadap model pelatihan. Definisi operasional masing-masing variabel tersebut adalah: (1) Model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan selama ini adalah bentuk operasional pembinaan profesi guru yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk meningkatkan profesionalisme guru. Data dapat diperoleh dari kepala sekolah melalui dokumentasi data program pengembangan sumber daya manusia yang telah dan yang akan dilakukan pihak sekolah serta wawancara. (2) Model-model pelatihan yang pernah diikuti guru adalah model-model pelatihan apa saja yang pernah diikuti guru selama ini serta dampaknya terhadap kinerja guru. Data diperoleh dengan angket dan wawancara kepada guru. (3) Pemahaman guru terhadap materi Fisika, adalah kondisi pengetahuan konseptual guru tentang materi Fisika. Kondisi pengetahuan yang dimiliki guru akan diperoleh melalui hasil wawancara dan angket. (4) Kebutuhan guru terhadap model pelatihan adalah model pelatihan yang bagaimana yang dibutuhkan guru sesuai dengan kondisi yang ada. Data diperoleh melalui angket dan wawancara. D. Pengumpulan dan Analisis Data 1) Instrumen Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, sesuai dengan variabel penelitian, mempergunakan instrumen-instrumen sebagai berikut: a) Pedoman wawancara. b) Angket. c) Dokumentasi. 2) Teknik Analisis Data dan Cara Penafsiran Hasil Penelitian Data tentang (1) model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan sekolah
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
Badaruddin dan Soewarno S., Pengembangan Model Pelatihan Pendalaman Materi
selama ini, (2) model-model pelatihan yang pernah diikuti guru, (3) pemahaman guru terhadap materi Fisika SMA, dan (4) kebutuhan guru terhadap model pelatihan akan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Model-model pembinaan profesi guru yang dilakukan sekolah. Belum ada pembinaan guru Fisika dalam hal pendalaman materi seara kontinyu. Pembinaan yang ada sebatas musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). B. Pemahaman guru tentang materi fisika. Pemahaman guru terhadap materi ajar tergolong rendah. Indikasinya adalah : 1. Dari hasil angket diperoleh informasi bahwa masih banyak KD yang belum dikuasai guru. Kondisi ini mendorong guru tidak mengajarkan KD tersebut. Adapun KD-KD yang tidak dikuasai guru sebagai berikut : a) Kelas X 2.2 Menganalisis besaran fisika pada gerak melingkar dengan laju konstan. 3.1 Menganalisis alat-alat optik secara kualitatif dan kuantitatif. 3.2 Menerapkan alat-alat optik dalam kehidupan. 4.1 Menganalisis pengaruh kalor terhadap suatu zat. 4.3 Menerapkan azas Black dalam pemecahan masalah. 5.1 memformulasikan besaran-besaran listrik rangkaian tertutup sederhana (satu loop). 5.2 Mengidentifikasi penerapan listrik AC dan DC dalam kehidupan sehari-hari. 5.3 Menggunakan alat ukur listrik. 6.1 Mendiskripsikan spektrum gelombang elektromagnetik. Kelas XI 1.1 Menganalisis gerak lurus, gerak melingkar, dan gerak parabola dengan menggunakann vektor. 1.2 Menganalisis keteraturan gerak planet dalam tata surya berdasarkan ukumhukum Newton. 2.1 Memformulasikan hubungan antara konsep torsi, momentum sudut, dan momen inersia berdasarkan hukum II Newton 2.2 Menganalisis hukum - hukum yang berhubungan dengan fluida statis dan
dinamik serta penerapannya kehidupan sehari-hari
63
dalam
Kelas XII 1.1 Mendiskripsikan gejala dan ciri-ciri gelombang secara umum. 1.2 Mendiskripsikan gejala dan ciri-ciri gelombang bunyi dan cahaya. 1.3 Menerapkan konsep dan prinsip gelombang bunyi dan cahaya dalam teknologi. 2.1 Memformulasikan gaya listrik, kuat medan listrik, fluks, potensial listrik, energi potensial listrik serta penerapannya pada keping sejajar. 2.2 Menerapkan induksi magnetik dan gaya magnetik pada beberapa produk teknologi. 2.3 Memformulasikan konsep induksi Faraday dan arus bolak balik serta penerapannya. 3.1 Menganalisis secara kualitatif gejala kuantum yang mencakup hakekat dari sifat-sifat radiasi benda hitam serta penerapannya. 3.2 Mendiskripsikan perkembangan teori atom. 3.3 Memformulasikan teori relativitas khusus untuk waktu, panjang dan massa dengan energi yang diterapkan dalam tekhnologi. 4.1 Mengidentifikasi karakteristik inti atom dan radioaktifitas. 4.2 Mendiskripsikan pemanfaatan radioaktif dalam teknologi dan kehidupan seharihari. 2. Pemahaman guru terhadap konsep bersifat hafalan (textbook). Hal ini berdampak pada proses pembelajaran, dimana siswa cenderung menghafal. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan hakikat fisika itu sendiri. C. Pengetahuan Guru Tentang ModelModel pembelajaran Dari hasil analisis data ternyata guruguru Fisika SMA Negeri di Kota Banda Aceh belum memahami model-model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran fisika. Hal ini berakibat pada monotonnya proses pembelajaran itu sendiri, sehingga siswa jadi bosan yang pada gilirannya hasil belajar siswa rendah.
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
D. Keinginan guru-guru dan Kepala Sekolah tentang pelatihan. Pada umumnya semua guru Fisika dan kepala sekolah SMA Negeri di Banda Aceh menginginkan adanya pelatihan pendalaman materi dengan pendekatan berbasis konsep.
64
Suastra, I W. 2006. Strategi dalam menyikapi berlakunya Undang-Undang Guru dan Dosen. Makalah. Disajikan pada workshop peningkatan profesionalisme pengawas sekolah se kabupaten Buleleng, tanggal 24-26 Agustus 2006, di Singaraja.
KESIMPULAN 1. Belum ada pembinaan guru Fisika dalam hal pendalaman materi seara kontinyu. 2. Masih banyak KD yang belum difahami oleh guru. 3. Pemahaman guru terhadap materi bersifat hafalan (textbook). 4. Guru Fisika dan Kepala Sekolah menginginkan pelatihan tentang pendalaman materi berbasis konsep.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2012), Laporan Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), Lebaga Penjaminan Mutu Guru (LPMP), Provinsi Aceh. Brooks, J. G., & Brooks, M. G. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Muhammad Harun, dkk., 2011. Pemetaan dan Peningkatan Mutu pendidikan Siswa SMA di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Laporan Penelitian. Penelitian Pemetaan dan pengembangan Mutu Pendidikan Tahun Anggaran 2011. Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendiknas. Santyasa, I W., 2009. Keberadaan Dan Kepentingan Pengembangan Model Pelatihan Untuk Pembinaan Profesi Guru, Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala