PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI
Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERSEMBAHANKU
Segenap syukur yang tak pernah berhenti tuk tuliskan kebahagiaan, kepada segenap yang terkasih.
Teruntuk yang utama di atas apapun, kuucapkan terimakasih atas segala berkat dan penyertaan, dari hembusan napas pertama hingga detik ini, TUHAN.
Untuk Mama dan Papa, yang selalu iringi dalam tiap langkah yang kujejakkan dalam jalan hidup ini. Lala dan Gigi, kedua saudariku yang terus mendukung dan menjadikan kekuatan bagiku.
Teman-teman yang selalu setia membantuku dan memberiku dorongan, Endang, Engkz, Tyo, Marwan, Luthfan, Eko F, Arifianto, Teguh, Budhi, Eka, Sonny, Wahyu, Fera, dan segenap kawan-kawan ’39.
Untuk seluruh dosen serta staf Departemen Fisika IPB. Untuk segenap adik-adik di Fisika. Untuk semua orang yang pernah berjumpa dan mengisi memori dalam hidupku.
yukkis_tetta
RINGKASAN
Aletta Anggraini Kandi. G 74102025. Penerapan Formulasi Hirota untuk Persamaan Umum Modus Tergandeng Pada Kisi Bragg Dalam Nonlinier dengan Difraksi. Di bawah bimbingan Dr. Husin Alatas.
Pemanfaatan fenomena soliton pada dunia optik nonlinier sudah mengalami banyak kemajuan, dan pada kenyataannya memiliki prospek yang cerah di masa yang akan datang. Salah satu kajian soliton optik yang dikembangkan adalah dinamika soliton spasial ketika dilewatkan pada sebuah Kisi Bragg. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari solusi soliton spasial yang terkopel, dan mempelajari dinamikanya ketika dilewatkan pada sebuah kisi Bragg dalam medium nonlinier. Soliton
spasial
ini
berinteraksi
sebagai
forward-backward
soliton,
sehingga
dalam
penyelesaiannya digunakan model soliton yang terkopel. Untuk mencari solusi soliton spasial dalam persamaaan CME tersebut, diperkenalkan sebuah metode sederhana yang digunakan dalam penyelesaian pekerjaan ini. Metode tersebut telah diperkenalkan oleh Hirota sebelumnya, pada tahun 1973. Melalui metode Hirota, dapat dicari bentuk solusi untuk N-soliton, dengan N=1,2,3,... . Pada metode ini diperkenalkan sebuah ansatz dan operator bilinear ( Dz dan Dt ), sehingga bentuk yang ditinjau dapat dituliskan menjadi lebih sederhana dan mempermudah dalam memperoleh solusinya. Pada dinamika solusi soliton spasial terkopel yang telah didapatkan, terlihat bahwa lebar daerah pandu gelombang bergantung pada besarnya nilai δ 2 . Sedangkan peristiwa dispersi pada soliton spasial ditandai dengan munculnya koefisien δ 3 . Bentuk dan pergerakan datangnya soliton spasial dapat dimodelkan sebagai Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi.
PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul : Penerapan Formulasi Hirota untuk Persamaan Umum Modus Tergandeng Pada Kisi Bragg Dalam Nonlinier dengan Difraksi Nama : Aletta Anggraini Kandi NRP
: G 74102025
Menyetujui, Pembimbing I,
Dr. Husin Alatas, M.Si NIP 132206234
Mengetahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S NIP 131473999
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap, pada tanggal 22 Oktober 1984 sebagai anak kedua dari keluarga Bapak Agung Kandiawan dan Ibu Jasmin Sutrisni. Penulis pertama kali memasuki dunia pendidikan di TK Wijaya Kusuma IV Cilacap pada tahun 1988-1990. Kemudian melanjutkan ke pendidikan dasar di SDN Sidakaya 10 Cilacap pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Cilacap. Tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Cilacap. Setelah lulus SMU, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di IPB lewat jalur USMI pada tahun 2002. Penulis mendapat kesempatan untuk masuk di Fakultas MIPA, dengan program studi Fisika. Selama menjadi mahasiswa di program studi Fisika ini, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi seperti HIMAFI periode 2002-2003 sebagai anggota seksi Kaderisasi. Kemudian penulis juga pernah menjadi panitia Pesta Sains Nasional tahun 2004, sebagai Bendahara sub kegiatan Fisika. Penulis juga aktif dalam kegiatan Masa Orientasi Departemen, pada tahun 2003 sebagai anggota seksi P3K, pada tahun 2004 sebagai anggota seksi Tatib. Selain aktif dalam organisasi, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisika Dasar 1&2 pada tahun 2003-2005. Kemudian penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisika di POLTEK IPB, pada tahun 2006.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat yang telah dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyusun laporan akhir yang berjudul “Penerapan Formulasi Hirota untuk Persamaan Umum Modus Tergandeng Pada Kisi Bragg Dalam Nonlinear dengan Difraksi”. Laporan akhir ini berisi dinamika solusi pertama Soliton, yang melewati Kisi Bragg Nonlinear dan mengalami proses difraksi. Tidak lupa penulis hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Husin Alatas, atas segala bimbingannya, dan motivasi yang selalu diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Kemudian, penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan segenap keluarga, yang selalu tetap berada disamping penulis dalam setiap langkah yang dijalani. Terimakasih sekali kepada Bapak Hendradi Hardhienata dan Ibu Yessie W S, atas segala bantuannya. Dan kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu- persatu, atas bantuannya kepada penulis. Mengingat penulis masih dalam tahap belajar, maka laporan akhir yang telah penulis susun dengan sebaik-baiknya mungkin masih memiliki kekurangan. Sehingga penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila terdapat kesalahan di dalamnya. Semoga laporan akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Maret 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
……………………………………………..………… i
………………………………………………………..……….. ii
DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
……………………………….……………………….
iii
............................................................................................ 1
TUJUAN PENELITIAN
.................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA
................................................................................... 2
Bentuk Bilinear Dari Dua Persamaan NLS Yang Tergandeng (CNLS). ..... 2 Soliton Spasial. ............................................................................................ 3 Aplikasi Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi. ..................................................... 4 METODELOGI PENELITIAN
........................................................................ 7
Tempat Dan Waktu Penelitian ..................................................................... 7 Metode Penelitian ........................................................................................ 7 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 7 Solusi Pertama Soliton Spasial Pada Kisi Bragg Nonlinier. …………….. 7 Dinamika Solusi 1-Soliton Pada Kisi Bagg Nonlinier Dengan Suku Difraksi. ……………………………………………… 10 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….. 11 Kesimpulan. ………………………………………………………………. 11 Saran. …………………………………………………………………….. 11 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 12 LAMPIRAN …………………………………………………………………... 13 Lampiran 1. Perhitungan Solusi 1-Soliton. .........…………………………. 14 Lampiran 2.Pembentukan Model Persamaan Terkopel Pada Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi. ...... 19 Lampiran 3. Metode Hirota Pada NLS. ........................................................ 23 Lampiran 4. Perhitungan Solusi 1-Soliton, dengan menggunakan software Maple8. .............................................. 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Berkas Optik yang Terdifraksi pada Medium Homogen. ....................... 3 Gambar 2. Berkas Optik Mengalami Self-focusing pada Medium Nonlinier. ......... 4 Gambar 3. Soliton Spasial pada Medium Nonlinier. .............................................. 4 Gambar 4. Model Kisi Bragg untuk Berkas Berintensitas Tinggi. .......................... 5 Gambar 5. Fungsi g a (z ) dan g b (z ) Ternormalisasi. ............................................ 5
(
)
Gambar 6.Solusi Sebagai Fungsi sech c1 x dengan Nilai c1 Bervariasi. .………. 9
PENDAHULUAN
Fenomena nonlinier di alam sangat beragam dan menarik untuk diamati. Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati adalah fenomena soliton. Ada beragam alasan kenapa orang tertarik untuk meneliti lebih jauh fenomena ini, di bidang optik misalnya. Salah satunya adalah karena sifatnya yang mampu menjadi sebuah pandu gelombang. Sebuah soliton mampu merambat dalam medium nonlinier tanpa mengalami penyebaran berkas [1]. Medium nonlinier orde ketiga memiliki kemampuan self focusing, yaitu kemampuan untuk mempertahankan bentuk berkas ketika dilewatkan pada sebuah medium nonlinier. Sehingga akan dihasilkan sebuah berkas yang memiliki arah rambat lurus dan tidak mengalami perubahan bentuk selama proses perambatan tersebut. Secara matematik, soliton adalah sebuah solusi terloakalisasi dari persamaan nonlinier yang integrable, di mana semua solusi nilai awal dari persamaan terkait dapat diselesaikan secara analitik. Jika dikaji dari segi fisika, maka soliton cukup direpresentasikan sebagai sebuah solusi stabil dari objek nonlinier inherent yang terlokalisasi, dan tidak bisa diwakilkan oleh superposisi solusi linear apapun. Pemanfaatan fenomena soliton pada dunia optik nonlinier sudah mengalami banyak kemajuan, dan pada kenyataannya memiliki prospek yang cerah di masa yang akan datang. Salah satu kajian soliton optik yang dikembangkan adalah dinamika soliton spasial ketika dilewatkan pada sebuah Kisi Bragg. Pembahasan tentang soliton pada Kisi Bragg nonlinier, pertama kali dikaji ketika ditemukan adanya distribusi medan listrik monokramatik yang kuat di dalam struktur periodik nonlinier, dengan frekuensi berada di dalam Photonic Band Gap (PGB), dan berperilaku sebagai brightsoliton. Eksistansi dari gap soliton dapat dijelaskan sebagai konsekuensi dari modifikasi PGB oleh adanya efek nonlinier. Dinamika soliton ini dimodelkan oleh persamaan modus tergandeng , Coupled Mode Equations (CME). Untuk mencari solusi soliton spasial dalam persamaaan CME tersebut, diperkenalkan sebuah metode sederhana yang digunakan dalam penyelesaian pekerjaan ini. Metode tersebut telah diperkenalkan oleh Hirota sebelumnya, pada tahun 1973 [2]. Melalui metode Hirota, dapat dicari bentuk solusi untuk N-soliton, dengan N=1,2,3,... . Pada metode ini diperkenalkan sebuah ansatz dan operator bilinear ( Dz dan Dt ), sehingga bentuk yang ditinjau dapat dituliskan menjadi lebih sederhana dan mempermudah dalam memperoleh solusinya. Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka pada laporan akhir ini akan dipelajari interaksi 2-soliton yang terkopel (forward-backward), dengan Metode Hirota.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mencari solusi soliton spasial yang terkopel, dan mempelajari dinamikanya ketika dilewatkan pada sebuah kisi Bragg dalam medium nonlinier.
TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk Bilinear Dari Dua Persamaan NLS Yang Tergandeng (CNLS). Perilaku soliton spasial pada optik nonlinier telah diprediksi dan dibuktikan secara eksperimental [3]. Secara aproksimatif, dinamika soliton spasial diberikan oleh persamaan differensial nonlinier (Nonlinear Partial Differential Equation, NPDE) yang pada umumnya tidak integrable. Salah satu persamaan NPDE yang dikenal adalah persamaan Nonlinear Schrödinger (NLS), yang menggambarkan dinamika soliton temporal dengan gelombang pembawa bermodus tunggal. Untuk kasus dengan dua modus gelombang pembawa, persamaan yang menggambarkan dinamikanya adalah persamaan Coupled Nonlinear Schrödinger (CNLS). Persamaan CNLS ini menggambarkan penjalaran dua modus gelombang elektromagnet yang berbentuk pulsa, di dalam serat optik. Bentuk persamaan CNLS tersebut adalah sebagai berikut [4]:
i
∂ 2u ∂u 2 2 = c1 + 2⎛⎜ α u + β v ⎞⎟u 2 ⎝ ⎠ ∂z ∂t
(1)
i
∂ 2v ⎛ ∂v 2 2 = c2 + 2⎜ β u + γ v ⎞⎟v 2 ⎝ ⎠ ∂z t ∂
(2)
Persamaan (1-2) akan bersifat integrable (dapat diperoleh secara analitik) jika memenuhi dua kasus sebagai berikut:
(i ) : c1 = c 2 , α = β = γ
(ii ) : c1 = c 2 , α = − β = γ
;
(3)
Untuk merubah ke dalam bentuk bilinear dan mendapatkan solusi soliton tersebut berdasarkan metode Hirota, maka diperkenalkan ansats: u=
G F
v=
dan
H F
(4)
dimana G dan H adalah fungsi kompleks, dan F adalah fungsi real, kemudian didefinisikan operator bilinear Hirota sebagai: m
n
∂ ⎞ ⎛ ∂ ∂ ⎞ ⎛∂ Dtm D zm = ⎜ − ⎟ ⎜ − ⎟ G (z , t )F (z ′, t ′) z ′ = z , t ′ = t. ⎝ ∂t ∂t ′ ⎠ ⎝ ∂z ∂z ′ ⎠
(5)
Substitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (1-2), dan dengan menggunakan definisi operator bilinear Hirota, maka akan didapatkan bentuk persamaan Bilinear CNLS: i F
2
(
G 2 G ⎧ ⎫ D z (G o F ) = c1 ⎨ D t2 (G o F ) − D t2 (F o F )⎬ + αGG ∗ + β HH ∗ F ⎩ ⎭ F2 F
)
(6)
(
H ⎫ 2 H ⎧ βGG∗ + γHH ∗ D z (H o F ) = c 2 ⎨Dt (H o F ) − Dt2 (F o F )⎬ + 2 F F ⎭ F ⎩ F i
2
Dari bentuk di atas, maka akan ditemukan hubungan:
(iD
z
)
(iD
− c1 Dt2 (G o F ) = 0 ,
Dt2 (F o F ) =
(
z
)
(7)
)
− c 2 Dt2 (H o F ) = 0
)
(8)
(
2 2 αGG ∗ + βHH ∗ , Dt2 (F o F ) = γHH ∗ + βGG ∗ c1 c2
)
(9)
Maka, persamaan (8) akan menjadi sebanding dengan persamaan (9) jika memenuhi syarat: c 2α = c1 β ,
c 2 β = c1 β 2
(10)
Untuk mendapatkan solusi pertama dari persamaan CNLS ini, maka dipilih bentuk: G = εG1 , H = εH 1 , dan F = 1 + ε 2 F2
dimana:
β eη 2 +η 2 +ξ +ξ + αe (η1 +η1 ) ∗
G1 = e
η1
,
H1 = e
η 2 +ξ
,
dan
F2 =
∗
(
c1 k1 + k1∗
∗
)
2
(11)
dengan, η1 = k1 (t − ic1k1 z ) + η10 ,η 2 = k1 (t − ic 2 k1 z ) + η10 , dan ξ adalah konstanta kompleks. Solusi akan diperoleh dengan cara yang sama, seperti pada solusi 1-soliton NLS [lihat lampiran 3].
Soliton Spasial.
Pada sebuah medium homogen yang tak berbatas, sebuah berkas optik dapat mengalami penyebaran berkas sebagai akibat dari adanya efek difraksi. Penyebaran berkas ini menyebabkan penurunan tingkat intensitasnya, seiring dengan bertambah jauhnya jarak perambatan.
Gambar 1. Berkas Optik yang Terdifraksi pada Medium Homogen. Jika berkas optik dilewatkan pada medium nonlinier, maka akan muncul satu sifat yaitu selffocusing. Di mana berkas optik tadi akan mengalami penyempitan dan peningkatan intesitas, sebagai hasil induksi dari sifat medium nonlinier.
Gambar 2. Berkas Optik Mengalami Self-focusing pada Medium Nonlinier. Ketika kedua sifat tadi disatukan, maka akan muncul satu fenomena optik yang kita kenal sebagai soliton spasial. Soliton spasial adalah sebuah self-guided light yang tidak mengalami penyebaran berkas sebagai hasil adanya difraksi, sehingga mampu mempertahankan bentuk berkas tersebut sepanjang perambatannya, pada sebuah medium nonlinier.
Gambar 3. Soliton Spasial pada Medium Nonlinier. Salah satu jenis dari soliton spasial yang telah dikenal adalah bright-soliton. Secara fisik dapat didefinisikan sebagai solusi soliton spasial biasa, di mana solusinya bernilai positif. Hal ini dikarenakan soliton hanya dipengaruhi oleh efek difraksi pada medium nonlinear yang memiliki indeks refraksi berbeda.
Aplikasi Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi.
Tinjau sebuah sistem kisi dalam, yang terdiri atas dua lapisan terbedakan pada sebuah sel simetrik, dimana perbedaan indeks bias antara kedua lapisan tersebut relatif sangat kecil. Sistem tersebut diasumsikan teriluminasi oleh cahaya yang intensitasnya relatif besar [5].
Gambar 4. Model Kisi Bragg untuk Berkas Berintensitas Tinggi. Untuk tiap layer pada unit sel, persamaan Helmholtz-nya direpresentasikan sebagai:
Gambar 5. Fungsi g a (z ) dan g b (z ) Ternormalisasi. d 2E dz
2
+
ω2
2 2 [1 + g a (z )⎛⎜ χ a(1) + 3χ a(3) E ⎞⎟ + g b (z )⎛⎜ χ b(1) + 3χ b(3) E ⎞⎟]E = 0 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ c 2
(12) Secara umum, untuk tiap fungsi g a (z ) dan g b (z ) dapat dituliskan dalam deret Fourier: g a (z ) =
∞ da + g~ m cos(mGz ) Λ m =1
∑
(13)
g b (z ) = 1 − g a (z )
dimana
G = 2π / Λ
dan
Λ = d a + db .
(14)
E (z , x ) = E F (z , x )e ik B z + E B (z , x )e −ik B z . Perbedaan
suseptibilitas Δχ (i ) = χ a(i ) + χ b(i ) , dan suseptibilitas rata-ratanya pada ketebalan layer d a adalah
χ (i ) = d a χ a(i ) / χ b(i ) (1 − d a / Λ), i=1,3. Persamaan (12) dapat ditulis dalam bentuk: ∞ d 2E ω2 ⎛ 2 2 + [⎜1+ χ (1) + χ (3) E ⎞⎟ + ∑ g~m cos(mGz)⎛⎜ Δχ (1) + Δχ (3) E ⎞⎟]E = 0 2 2 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ dz c m=1
(15) Selanjutnya diperkenalkan parameter kecil berupa ζ
2
<< 1 , untuk mengkarakterisasi
suseptibilitas linearnya sehingga: Δχ (1) ~ ζ 2
(16)
Seperti yang dikatakan diawal, kisi dalam diiluminasi oleh cahaya yang berintensitas cukup tinggi untuk menginduksi efek nonlinier yang signifikan. Oleh karena itu, bentuk nonlinier dibatasi dengan nilai orde:
χ (3) E
2
~ ζ 2 , Δχ (3) E
2
~ζ 3
(17)
dengan Δχ (3) / χ (3) ~ ζ . Perlu diingat bahwa χ (3) dan Δχ (3) berorde lebih dari ζ
2
dan ζ 3 .
Diasumsikan selubung medan berubah secara lambat sepanjang sumbu-z, sehingga turunan pertama dan kedua persamaan ini diberikan: dE F , B dz
~ ζ 2,
d 2 E F ,B dz 2
~ ζ 4,
(18)
Dengan memasukan persamaan (16), (17), dan (18) ke dalam persamaan (12) dengan cos(mGz ) = [exp(2ik B z ) + exp(− 2ik B z )] / 2 , ambil bentuk yang memiliki bentuk paling kecil yaitu exp(±ik B z ) sebagai pengaruh pemepatan koefisien Fourier, dengan mengabaikan orde ζ 4 dan
yang lebih tinggi, persamaan (12) dapat diselesaikan dengan pendekatan persamaan yang terkopel:
i
dEF ~ ~ + δ1 E F + δ 2 ⎛⎜ E F ⎝ dz
2
~ ~ 2 + 2 E B ⎞⎟E F + δ 3 E B + δ 4 ⎛⎜ 2 E F ⎠ ⎝
2
~ ~ 2 + E B ⎞⎟E B + δ 4 E F2 E B∗ + δ 5 E B2 E F∗ = 0 ⎠ (19)
−i
dEB ~ ~ + δ1E B + δ 2 ⎛⎜ E B ⎝ dz
2
~ ~ 2 + 2 E F ⎞⎟E B + δ 3 E F + δ 4 ⎛⎜ 2 E B ⎠ ⎝
2
~ ~ 2 + E F ⎞⎟E F + δ 4 E B2 E F∗ + δ 5 E F2 E B∗ = 0 ⎠ (20)
dengan nilai δ i :
~
δ1 = ~
δ2 = ~
δ3 = ~
δ4 = ~
δ 5=
εr 2
2c k B 3ω 2 2
(ω
2
)
− ω B2 ,
(21)
χ (3) ,
(22)
Δχ (1) ,
(23)
Δχ (3) ,
(24)
Δχ (3) ,
(25)
2c k B
ω 2 g~1 4c 2 k B
3ω 2 g~1 4c 2 k B 3ω 2 g~ 2 2
4c k B
didapatkan nilai g~1 = 2 sin (d a π / Λ ) / π dan g~ 2 = sin (2d a π / Λ ) / π untuk koefisien Fourier orde
~ pertama dan kedua. Perlu dicatat bahwa nilai δ 5 hanya akan muncul pada kasus ketebalan lapisan yang berbeda. Hal ini dikarenakan, apabila ketebalan lapisan sama maka nilai g~ 2 = 0.
METODELOGI PENELITIAN
Tempat Dan Waktu Penelitian.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2005.
Metode Penelitian.
Penelitian ini mengkaji dinamika soliton spasial yang dilewatkan pada kisi nonlinier. Metode penyelesaian yang dilakukan adalah melalui studi literatur untuk memecahkan persamaan terkopel (20), dengan menggunakan Metode Hirota, dan menganalisa solusi persamaan yang didapatkan dengan menggunakan program aplikasi Maple8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Solusi Pertama Soliton Spasial Pada Kisi Bragg Nonlinier.
Pada penelitian ini dikaji solusi soliton yang dilewatkan pada sebuah kisi Bragg nonlinier. Berkas soliton merambat sepanjang arah z, melewati kisi Bragg. Pada saat soliton melewai kisi, maka ada sebagian berkas yang terpantulkan, dan sebagian lagi diteruskan. Kedua soliton ini terkopel, yang memenuhi persamaan CME. Untuk menyelesaikan persamaan ini, digunakan metode Hirota. Pada kasus ini, diketahui persamaan solitonnya sebagai: i
∂ 2EF ∂E F 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ E F + 2 E B ⎤E F + δ 3E B + δ 4 ⎡2 E F + E B ⎤E B + δ 4 E F 2 E B∗ + δ 5 E F∗E B2 = 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎣ ⎦ ⎣ ∂z ∂x
(26) −i
∂ 2EB ∂E B 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ E B + 2 E F ⎤E B + δ 3E F + δ 4 ⎡2 E B + E F ⎤E F + δ 4 E B2 E F∗ + δ 5E B∗E F2 = 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎣ ⎦ ⎣ ∂z ∂x
(27) Dengan mengambil ansats: EF =
G F
dan
EB =
H F
(28)
Dengan menggunakan definisi operator bilinear dan memasukkan ansats kedalam persamaan, maka persamaan (26) dan (27) dapat diubah menjadi:
[
]
G H δ H ⎧ ⎫ δ G D z (G o F ) + δ1 ⎨D x2 (G o F ) − D x2 (F o F )⎬ + 2 GG∗ + 2HH ∗ + δ 3 + 4 2 F F F F2 F ⎩ ⎭ F F i
2
[2GG
∗
]
+ HH ∗ + δ 4
G2 H ∗ G∗ H 2 +δ5 =0 F F2 F2 F
(29)
[
]
H G δ G ⎧ ⎫ δ H Dz (H o F ) + δ1 ⎨Dx2 (H o F ) − Dx2 (F o F )⎬ + 2 HH ∗ + 2GG∗ + δ 3 + 4 2 F F F2 F ⎩ ⎭ F F F −i
2
[2HH
∗
]
+ GG∗ + δ 4
H 2 G∗ H ∗ G2 +δ5 =0 F F2 F2 F
(30) Dari persamaan (29) dan (30) di atas, dapat diperoleh hubungan:
(iD + δ D )(G o F ) = −δ H (F o F ) = δ [GG + 2 HH ]+ δ H [2GG G z
δ 1 D x2
2 x
1
∗
2
(31)
3
∗
4
∗
]
+ HH ∗ + δ 4 GH ∗ + δ 5 H 2
G∗ G
(32)
(− iD + δ D )(H o F ) = −δ G (33) G H∗ δ 1 D x2 (F o F ) = δ 2 [HH ∗ + 2GG ∗ ]+ δ 4 [2 HH ∗ + GG ∗ ]+ δ 4 HG ∗ + δ 5 G 2 H H z
1
2 x
3
(34) Melalui pemisahan orde, maka dari persamaan (31) sampai (34) akan didapatkan suatu hubungan sebagai berikut: O(ε ) i
∂G1 ∂ 2 G1 + δ1 = −δ 3 H 1 ∂z ∂x 2 −i
( )
O ε 2 2δ 1
(35)
∂H 1 ∂ 2 H1 + δ1 = −δ 3 G1 ∂z ∂x 2
(
(36)
)
(
)
H G∗ = δ 2 G1G1∗ + 2 H 1 H 1∗ + δ 4 1 2G1G1∗ + H 1 H 1∗ + δ 4 G1 H 1∗ + δ 5 H 12 1 G1 G1 ∂x 2
∂ 2 F2
(37) 2δ 1
(
)
(
)
G H∗ = δ 2 H 1 H 1∗ + 2G1G1∗ + δ 4 1 2 H 1 H 1∗ + G1G1∗ + δ 4 H 1G1∗ + δ 5 G12 1 H1 H1 ∂x 2
∂ 2 F2
(38)
( )
Oε3
iF2
∂ 2 F2 ∂G1 ∂ 2 G1 ∂G1 ∂F2 + δ 1G1 =0 + δ 1 F2 − 2δ 1 ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2
(39)
− iF2
∂ 2 F2 ∂H 1 ∂ 2 G1 ∂H 1 ∂F2 + δ1 H1 =0 + δ 1 F2 − 2δ 1 ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2
(40)
Solusi persamaan soliton spasial yang terkopel ini dapat dicari, dengan memasukan nilai: G1 = a 0 e F2 = e
c1 x +ikz
c2 x
H 1 = b0 e
c1 x +ikz
(41) (42) (43)
Sehingga dari persamaan (35) sampai (38), dengan memasukkan nilai persamaan (41) hingga (43), diperoleh hubungan: −ka 0 + c1δ 1 a 0 + δ 3 b0 = 0
(44)
kb0 + c1δ 1b0 + δ 3 a 0 = 0
(45)
( + δ b (b
) ( )+ δ a (3b
) ) +δ a b
− 2δ 1c 2 a 0 + δ 2 a 0 a 02 + 2b02 + δ 4 b0 3a 02 + b02 + δ 5 b02 a 0 = 0 (46) − 2δ 1c 2 b0
2 0
2 0
+ 2a 02
4 0
2 0
+ a 02
2 5 0 0
= 0 (47)
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, yaitu persamaan (44) sampai (47), dapat diperoleh solusi pertama soliton spasial ini dengan mengambil nilai: a0 =
δ 3b0 ± k − c1δ1
b0 = 2
(48)
δ1c1(δ 5 + δ 2 ± Γ ) δ 2 δ 5 + δ 2 − 2δ 42
(
)
(49)
δ (δ + δ 2 ) c1 = 3 5 2δ1δ 4
(50)
c2 = 4c1
(51)
k= Γ=
δ3
2δ 4
Γ
(52)
(δ 5 + δ 2 )2 − 4δ 42
(53)
Sehingga dapat diperoleh solusinya:
(
)
(54)
(
)
(55)
a E F (x, z ) = 0 sech c1 x e ikz 2 b E B (x, z ) = 0 sech c1 x e ikz 2
Yang merupakan solusi pertama bright-soliton.
Nilai c1 = 1 Nilai c1 = 2
(
)
Gambar 6.Solusi Sebagai Fungsi sech c1 x dengan Nilai c1 Bervariasi. Dinamika Solusi 1-Soliton Pada Kisi Bagg Nonlinier Dengan Suku Difraksi.
Berdasarkan persamaan yang telah didapatkan, dengan G1 dan H1 merupakan fungsi kompleks, sedangkan F2 merupakan fungsi real. Setelah dianalisa untuk dinamika solusi pertama solitonnya dapat dijelaskan bahwa bentuk dan pergerakan datangnya soliton spasial dapat dimodelkan sebagai Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi. Hal ini terlihat bahwa untuk penyelesaiannya dapat diselesaikani dengan menggunakan persamaan Helmholtz, yang didekati melalui deret Fourier. Pada persamaan (31) dan (33) akan muncul nilai
δ 3 , yang merupakan hasil dari adanya pengaruh munculnya dispersi pada medium nonlinier. Untuk persamaan (48) sampai (52) akan bernilai real apabila dipenuhi nilai Γ 2 > 0 dan b0 2± > 0 . Nilai δ 2 yang muncul pada solusi soliton spasial akan mempengaruhi lebarnya daerah pandu gelombang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
Soliton yang dilewatkan pada sebuah kisi Bragg, dapat mengalami peristiwa difraksi dan selffocusing, akan menghasilkan sebuah pandu gelombang. Soliton yang melewati kisi Bragg berjalan dalam lintasan yang sama, namun berbeda arah. Soliton tersebut berjalan dalam arah forward dan backward. Hal ini disebabkan adanya efek refleksi dan transmisi, ketika soliton dilewatkan pada kisi Bragg dengan medium nonlinier. Solusi pertama dari soliton spasial terkopel yang didapatkan merupakan fungsi dari sech, yang juga ciri dari solusi pertama bright-soliton. Lebar daerah pandu gelombang yang terbentuk dipengaruhi oleh besarnya nilai δ 2 . Saat soliton berjalan dalam medium nonlinier, terjadi proses induksi dispersi yang ditandai dengan munculnya nilai δ 3 pada persamaan. Metode hirota telah terbukti dapat mempermudah dalam mencari solusi dari soliton spasial yang terkopel (forward-backward).
Saran.
Penelitian ini sangat menarik untuk dikembangkan, mengingat sifat dari soliton spasial sendiri sangat unik. Secara teoritik dan analitik, akan lebih menarik apabila kita dapat mengkaji bentukbentuk khusus yang mungkin muncul, saat kita mengembangkan penelitian pada solusi kedua Soliton. Soliton dapat diaplikasikan dalam sistem komunikasi dan informasi. Dimana kita dapat melihat dinamika transfer informasi pada satu sinyal yang koheren dan tidak menyebar, dan dilakukan dengan periode yang sangat singkat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Sukhorukov, Andrey A. and Yuri S. Kivshar. 2001. Self-Trapped Optical Beams:
Spatial Solitons. Pranama-Journal of Physics. Vol.57. No.5&6. Hal.1079-1096. [2]
Remoissenet, M. 1994. Waves Called Solitons, Concepts and Experiments. Jerman:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. [3]
Kivshar, Yuri S, and George I. Stegeman. 2002. Spatial Optical Soliton, Guiding Light
for Furture Technologies. Optics and Photonics News, Februari 2002. [4]
Poersezian, K. 1998. Bilinear of Coupled Nonlinear Schroedinger Type Equations:
Integrability and Soliton. Journal of Nonlinear Mathematical Physics. Vol.5. No.2. Hal.126-131. [5]
Alatas, H, A.A. Iskandar, M.O. Tjia, T.P. Valkering. Analytic Study of Stationary
Soliton in Deep Nonlinear Bragg Gratng. Journal of Nonlinear Optical Physics & Materials. Vol. 12, No. 2(2003). Hal. 157-173. [6]
Alatas, H, A.A. Iskandar, M.O. Tjia . 2002. Spatial In Deep Nonlinear Bragg Grating.
Proceeding of The International Conference on Opto-electronics and Laser Aplications ICOLA’02. [7]
Kivshar, Yuri S. 1998. Bright and Dark Spatial Soliton In Non-Kerr Media. Invited
Paper [8]
of Optical and Quantum Electronics 30. Hal. 571-614.
Eko A.S, Ketut. 2001. Interaksi 2-Soliton Pada Sistem Komunikasi Optik Nonlinear
Dalam Orde Durasi Pikodetik Dan Femtodetik. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [9]
Hietarinta, J. 1997. Introduction to the Hirota Bilinear Method. ArXiv:Solv-int/9708006.
14 Agustus 1997. [10]
Lakshmanan, M. 1997. Nonlinear Physics: Integrability, Chaos and Beyond.. JFranklin
Institut. Vol. 334B. No. 5/6. Hal. 909-969. [11]
Kakei, Saburo, Narimasa Sasa, Junkichi Satsuma. 1995. Bilinearism of Generalized
Derivative Nonlinear Schroedinger Equation. arXiv:solv-int/9501005v1, 17 Januari 1995. [12]
Carstea,
A.S.
2000.
Hirota
arXiv:nlin.SI/0006032v1, 21 Juni 2000.
Bilinear
Formalism
and
Supersymetri.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Perhitungan Solusi 1-Soliton.
Pembentukkan persamaan Bilinear Hirota dapat dilakukan dengan merubah persamaan (26) dan (27), melalui operator Hirota dan memasukkan ansats yang telah dipilih yaitu persamaan (28).Dari persamaan (26): i
∂E F ∂ 2 EF 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ E F + 2 EB ⎤EF + δ 3E B + δ 4 ⎡2 EF + E B ⎤E B + δ 4 EF2 E B∗ + δ 5EF∗EB2 = 0 , ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎣ ⎦ ⎣ ∂z ∂x
Dengan mengambil ansats seperti persamaan (28): EF =
Maka akan didapatkan: i
G H dan E B = , F F
( )
∂G ∂E F F = i ⎛⎜ F ∂G − G ∂F ⎞⎟ = i D (G o F ) =i z ∂z ∂z ∂z ′ ⎠ F 2 F 2 ⎝ ∂z
∂2EF ∂x
=
2
=
( F) = ∂ ⎧ 1
∂2 G ∂x
2
∂F ⎞⎫ ⎛ ∂G −G ⎟⎬ ⎨ 2 ⎜F ∂x ⎩ F ⎝ ∂x ∂x ⎠⎭
∂ 2 F ⎞⎟ − 2 ∂F ⎛ ∂G ∂F ⎞ 1 ⎛⎜ ∂ 2 G + −G F F −G ⎟ ⎜ ∂x ⎠ F 2 ⎜⎝ ∂x 2 ∂x 2 ⎟⎠ F 3 ∂x ⎝ ∂x
= −2 F
⎧⎪ ⎛ ∂F ⎞ 2 ∂F ∂G ∂ 2G ∂2F ∂2F ∂ 2 F ⎫⎪ +F2 + G ⎨2⎜ −F +F −F ⎟ ⎬ ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2 ⎪⎭ ⎪⎩ ⎝ ∂x ⎠
= −2 F
2 ∂ 2 F ⎫⎪ ∂F ∂G ∂ 2G ∂ 2 F ⎧⎪ ⎛ ∂F ⎞ G ⎨2⎜ +F2 + FG − 2F ⎟ ⎬ ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ⎪⎩ ⎝ ∂x ⎠ ∂x 2 ⎪⎭
= D x2 (G o F ) −
G 2 D x (F o F ) , F
Persamaan bilinearnya menjadi seperti pada persamaan (29):
[
]
G H δ H ⎧ ⎫ δ G D z (G o F ) + δ1 ⎨D x2 (G o F ) − D x2 (F o F )⎬ + 2 GG∗ + 2HH ∗ + δ 3 + 4 2 F F F F2 F ⎩ ⎭ F F i
2
[2GG
∗
]
+ HH ∗ + δ 4
G2 H ∗ G∗ H 2 +δ5 =0 F F2 F2 F
Dari persamaan (27): −i
∂EB ∂ 2 EB 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ EB + 2 EF ⎤EB + δ3EF + δ 4 ⎡2 EB + EF ⎤EF + δ 4EB2EF∗ + δ5EB∗EF2 = 0 , ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎦ ⎣ ⎣ ∂z ∂x
Dengan mengambil ansats seperti persamaan (28): EF =
G H dan E B = , F F
Maka akan didapatkan:
−i
∂2EB ∂x
=
( )
∂H ∂E B F = − i ⎛⎜ F ∂H − H ∂F ⎞⎟ = − i D (H o F ) = −i z ∂z ∂z ∂z ′ ⎠ F 2 ⎝ ∂z F2 =
2
( F)
∂2 H ∂x
2
=
∂ ⎧ 1 ⎛ ∂H ∂F ⎞⎫ −H ⎟⎬ ⎜F ⎨ ∂x ⎩ F 2 ⎝ ∂x ∂x ⎠⎭
∂ 2 F ⎞⎟ − 2 ∂F ⎛ ∂H ∂F ⎞ 1 ⎛⎜ ∂ 2 H + −H F F −H ⎟ ⎜ ∂x ⎠ F 2 ⎜⎝ ∂x 2 ∂x 2 ⎟⎠ F 3 ∂x ⎝ ∂x
= −2 F
⎧⎪ ⎛ ∂F ⎞ 2 ∂F ∂H ∂2H ∂2F ∂2F ∂ 2 F ⎫⎪ +F2 + H ⎨2⎜ −F +F −F ⎟ ⎬ ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2 ⎪⎭ ⎪⎩ ⎝ ∂x ⎠
= −2 F
2 ∂F ∂H ∂2H ∂ 2 F ⎧⎪ ⎛ ∂F ⎞ ∂ 2 F ⎫⎪ H ⎨2⎜ +F2 + FH − 2F ⎟ ⎬ ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ⎪⎩ ⎝ ∂x ⎠ ∂x 2 ⎪⎭
= D x2 (G o F ) −
H 2 D x (F o F ) , F
Persamaan bilinearnya menjadi seperti pada persamaan (30):
[
]
H G δ G ⎧ ⎫ δ H Dz (H o F ) + δ1 ⎨Dx2 (H o F ) − Dx2 (F o F )⎬ + 2 HH ∗ + 2GG∗ + δ 3 + 4 2 F F F2 F ⎩ ⎭ F F F −i
2
[2HH
∗
]
+ GG∗ + δ 4
H 2 G∗ H ∗ G2 +δ5 =0 F F2 F2 F
Dari persamaan (29) dan (30) dapat diambil hubungan seperti pada persamaan (31) hingga (34). Untuk mencari solusi dari persamaan soliton di atas, digunakan pemisahan variable untuk mempermudah menyelesaikannya. Dari persamaan (31):
(iD
z
)
+ δ 1 D x2 (G o F ) = −δ 3 H ,
Untuk menyelesaikannya, maka diambil bentuk: G = εG1 ,
H = εH 1 ,
F = 1 + ε 2 F2 ,
Maka akan dihasilkan:
(
)
(
⎛ ∂(εG1 ) ⎞ ∂ 2 (εG1 ) ∂(εG1 ) ∂ 1 + ε 2 F2 ∂ 2 1 + ε 2 F2 ⎛ i⎜⎜ 1 + ε 2 F2 −2 ( εG1 ) ⎟⎟ + δ 1 ⎜ 1 + ε 2 F2 ⎜ ∂z ⎠ ∂x ∂x ∂x ⎝ ∂x 2 ⎝
(
iε
)
(
)
)⎞⎟ = −δ εH ⎟ ⎠
3
1
∂G1 ∂G1 ∂ 2 G1 ∂ 2 G1 ∂G1 ∂F2 ∂ 2 F2 + iε 3 F2 + δ 1ε + δ 1ε 3 F2 − 2δ 1ε 3 + δ 1ε 3 G1 = −δ 3εH 1 ∂z ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2
Didapatkan persamaan (35): O(ε )
i
∂G1 ∂ 2 G1 + δ1 = −δ 3 H 1 , ∂z ∂x 2
Dan persamaan (37):
( )
Oε3
iF2
∂ 2 F2 ∂G1 ∂ 2 G1 ∂G1 ∂F2 + δ 1G1 =0 + δ 1 F2 − 2δ 1 ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2
Dari persamaan (33):
(− iD
)
+ δ 1 D x2 (H o F ) = −δ 3 G ,
z
Dengan cara yang sama, dapat dicari persamaan soliton yang kedua:
(
)
(
⎛ ∂(εH1 ) ⎞ ∂ 2 (εH1 ) ∂(εH1 ) ∂ 1 + ε 2 F2 ∂ 2 1 + ε 2 F2 ⎛ − i⎜⎜ 1 + ε 2 F2 −2 ( εH1 ) ⎟⎟ + δ1 ⎜ 1 + ε 2 F2 ⎜ ∂z ⎠ ∂x ∂x ∂x ⎝ ∂x 2 ⎝
(
− iε
)
(
)
)⎞⎟ = −δ εH ⎟ ⎠
3
1
∂H 1 ∂H1 ∂ 2 H1 ∂ 2 H1 ∂H1 ∂F2 ∂ 2 F2 − iε 3 F2 + δ 1ε + δ 1ε 3 F2 − 2δ 1ε 3 + δ 1ε 3 H1 = −δ 3εG1 ∂z ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2 ∂x 2
Didapatkan persamaan (36): O(ε )
−i
∂H 1 ∂ 2 H1 + δ1 = −δ 3 G1 , ∂z ∂x 2
Dan persamaan (38):
( )
Oε3
− iF2
∂ 2 F2 ∂H 1 ∂ 2 G1 ∂H 1 ∂F2 + δ1 H1 = 0, + δ 1 F2 − 2δ 1 ∂z ∂x ∂x ∂x 2 ∂x 2
Akan dibuktikan bahwa koefisien-koefisien persamaan (48) sampai (53) memenuhi persamaan (44) sampai (47) pada solusi 1-soliton. Dari persamaan (35): i
∂G1 ∂ 2 G1 + δ1 = −δ 3 H 1 , ∂z ∂x 2
Berdasarkan persamaan (41) sampai (43), maka persamaan (35) dapat dituliskan sebagai:
i
⎛ ∂⎜ a 0 e ⎝
c1 x +ikz
⎞ ⎟ ⎠
∂z − ka 0 e
+ δ1
c1 x +ikz
⎛ ∂ 2 ⎜ a0 e ⎝ ∂x
2
c1 x +ikz
+ c1δ 1 a 0 e
⎞ ⎟ ⎠
c1 x +ikz
⎛ + δ 3 ⎜ b0 e ⎝
+ δ 3 b0 e
c1 x +ikz
c1 x +ikz
⎞ ⎟=0, ⎠
=0,
Sehingga dapat diperoleh persamaan (44): −ka 0 + c1δ 1 a 0 + δ 3 b0 = 0 ,
Dari persamaan (36): −i
∂H 1 ∂ 2 H1 + δ1 = −δ 3 G1 , ∂z ∂x 2
Berdasarkan persamaan (41) sampai (43), maka persamaan (36) dapat dituliskan sebagai:
−i
⎛ ∂ ⎜ b0 e ⎝
c1 x +ikz
∂z
⎞ ⎟ ⎠
+ δ1
⎛ ∂ 2 ⎜ b0 e ⎝ ∂x
c1 x +ikz 2
⎞ ⎟ ⎠
⎛ + δ 3 ⎜ a0 e ⎝
c1 x +ikz
⎞ ⎟ =0, ⎠
kb0 e
c1 x +ikz
c1 x +ikz
+ c1δ 1b0 e
+ δ 3 a0 e
c1 x +ikz
=0,
Sehingga dapat diperoleh persamaan (45): kb0 + c1δ 1b0 + δ 3 a 0 = 0 ,
Dari persamaan (37): 2δ 1
(
)
(
)
H G∗ = δ 2 G1G1∗ + 2 H 1 H 1∗ + δ 4 1 2G1G1∗ + H 1 H 1∗ + δ 4 G1 H 1∗ + δ 5 H 12 1 , G1 G1 ∂x 2
∂ 2 F2
Berdasarkan persamaan (41) sampai (43), maka persamaan (37) dapat dituliskan sebagai: ⎛ c x⎞ ∂2 ⎜e 2 ⎟ ⎠ δ ⎛⎛ a e 2δ 1 ⎝ = 2 ⎜⎜ ⎜ 0 2 ⎝⎝ ∂x c x + ikz ⎞ ⎛ ⎟ ⎜ b0 e 1 ⎠ ⎛ 2⎛ a e ⎝ +δ4 ⎜⎜ ⎜ 0 c1 x + ikz ⎞ ⎝ ⎝ ⎛ a e ⎟ ⎜ 0 ⎠ ⎝
c1 x + ikz
⎞⎛ ⎟⎜ a 0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
⎞ ⎛ ⎟ + 2⎜ b0 e ⎠ ⎝
c1 x + ikz
⎞⎛ ⎟⎜ a 0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
⎞ ⎛ ⎟ + ⎜ b0 e ⎠ ⎝
c1 x + ikz
c1 x +ikz
(
)
(
⎞⎛ ⎟⎜ b0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
c1 x −ikz
⎞⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠⎠
⎞⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠⎠
⎞ ⎟ ⎠ , c1 x +ikz ⎞ ⎟ ⎠
⎛ ⎜ a0 e c x +ikz ⎞⎛ c x −ikz ⎞ c x +ikz ⎞ ⎝ ⎛ ⎛ + δ 4 ⎜ a0 e 1 ⎟ ⎟ + δ 5 ⎜ b0 e 1 ⎟⎜ b0 e 1 ⎠ ⎛ ⎝ ⎠ ⎠⎝ ⎝ ⎜ a0 e ⎝
c1 x −ikz
2
Sehingga diperoleh persamaan (46):
⎞⎛ ⎟⎜ b0 e ⎠⎝
)
− 2δ 1c 2 a 0 + δ 2 a 0 a 02 + 2b02 + δ 4 b0 3a 02 + b02 + δ 5 b02 a 0 = 0 ,
Dari persamaan (39): iF2
∂ 2 F2 ∂ 2 G1 ∂G1 ∂F2 ∂G1 + δ 1G1 =0, + δ 1 F2 − 2δ 1 ∂x ∂x ∂z ∂x 2 ∂x 2
Berdasarkan persamaan (41) sampai (43), maka persamaan (39) dapat dituliskan sebagai: ⎛ −i⎜e ⎝
kb0 e
c2 x ⎞
⎟ ⎠
⎛ ∂⎜b0e ⎝
c1 x+ikz⎞
⎟ ⎠
∂z
c1 x + c2 x +ikz
⎛ +δ1⎜e ⎝
+ δ 1c1b0 e
c2 x ⎞
⎟ ⎠
⎛ ∂2⎜b0e ⎝
c1 x+ikz⎞
⎟ ⎠
∂x2
c1 x + c2 x +ikz
(kb0 + δ 1c1b0 − 2δ 1
−2δ1
⎛ ∂⎜b0e ⎝
c1 x+ikz⎞
⎛ c x⎞ ⎟ ∂⎜e 2 ⎟ ⎠ ⎝ ⎠ ⎛ +δ1⎜b0e ∂x ⎝
∂x
− 2δ 1 c1c 2 b0 e
c1 x + c2 x +ikz
)
c1c 2 b0 + δ 1c 2 b0 e
c1 x+ikz⎞
+ δ 1c 2 b0 e
c1 x + c2 x + ikz
⎟ ⎠
⎛ ∂2⎜e ⎝
c2 x ⎞
∂x2
c1 x + c2 x +ikz
= 0,
Sehingga diperoleh persamaan (51): c2 = 4c1
Dari persamaan (38): 2δ 1
∂ 2 F2 ∂x 2
(
)
= δ 2 H 1 H 1∗ + 2G1G1∗ + δ 4
(
)
H∗ G1 2 H 1 H 1∗ + G1G1∗ + δ 4 H 1G1∗ + δ 5 G12 1 , H1 H1
⎟ ⎠
= 0,
= 0,
Berdasarkan persamaan (41) sampai (43), maka persamaan (38) dapat dituliskan sebagai: ⎛ c x⎞ ∂2 ⎜e 2 ⎟ ⎠ δ ⎛⎛b e ⎝ 2δ 1 = 2 ⎜⎜ ⎜ 0 2 ⎝⎝ ∂x c x + ikz ⎞ ⎛ ⎟ ⎜ a0 e 1 ⎠ ⎛ 2⎛ b e ⎝ +δ4 ⎜⎜ ⎜ 0 c1 x +ikz ⎞ ⎝ ⎝ ⎛ b e ⎟ ⎜ 0 ⎠ ⎝
c1 x + ikz
⎞⎛ ⎟⎜ b0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
⎞ ⎛ ⎟ + 2⎜ a 0 e ⎠ ⎝
c1 x +ikz
⎞⎛ ⎟⎜ b0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
⎞ ⎛ ⎟ + ⎜ a0 e ⎠ ⎝
⎛ ⎜ b0 e c x +ikz ⎞⎛ c x −ikz ⎞ c x +ikz ⎞ ⎝ ⎛ ⎛ + δ 4 ⎜ b0 e 1 ⎟ ⎟ + δ 5 ⎜ a0 e 1 ⎟⎜ a 0 e 1 ⎠ ⎛ ⎝ ⎠ ⎠⎝ ⎝ ⎜ b0 e ⎝ 2
c1 x + ikz
c1 x +ikz
⎞⎛ ⎟⎜ a 0 e ⎠⎝
⎞⎛ ⎟⎜ a 0 e ⎠⎝
c1 x −ikz
c1 x −ikz
⎞⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠⎠
⎞⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠⎠
⎞ ⎟ ⎠ , c1 x +ikz ⎞ ⎟ ⎠ c1 x −ikz
Dengan mengambil nilai c2 = 4c1 , maka akan diperoleh persamaan (47):
(
)
(
)
− 2δ 1c 2 b0 + δ 2 b0 b02 + 2a 02 + δ 4 a 0 3b02 + a 02 + δ 5 a 02 b0 = 0 ,
Untuk mendapatkan nilai a 0 , b0 , c1 , dan k , digunakan software aplikasi Maple8, yang hasilnya diperoleh: a0 =
b0 = 2
δ 3b0 ± k − c1δ1
δ1c1(δ 5 + δ 2 ± Γ ) δ 2 δ 5 + δ 2 − 2δ 42
c1 =
(
)
δ 3 (δ 5 + δ 2 ) 2δ1δ 4 c2 = 4c1
k=
δ3
2δ 4
Γ, Γ=
(δ 5 + δ 2 )2 − 4δ 42
Lampiran 2.
Pembentukan Model Persamaan Terkopel Pada Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam Untuk Berkas Berintensitas Tinggi.
Sebuah kisi Bragg di medium nonlinear, yang diiluminasi oleh gelombang optik dengan intensitas yang cukup besar, pada arah sumbu-x dan y, persamaan Helmholtz yang mewakili fenomena ini adalah:
d 2E dz 2
+
d 2E dx 2
+
ω2 ⎡ (3) 2 ⎞⎤ (3) 2 ⎞ ⎛ (1) ⎛ (1) ⎢1 + g a (z )⎜ χ a + 3χ a E ⎟ + g b (z )⎜ χ b + 3χ b E ⎟⎥ E = 0 , ⎝
c2 ⎣
⎠
⎝
⎠⎦
Secara umum fungsi g a (z ) dan g b (z ) dapat dijabarkan dengan deret forier, seperti pada persamaan (43) dan (44): g a (z ) =
∞ da + g~ m cos(mGz ) Λ m =1
∑
g b (z ) = 1 − g a (z )
sehingga diperoleh: ∞ ⎤ ⎡⎛ d ⎞ 2 ⎥ ⎢⎜ a + ∑ g~ m cos(mGz )⎟⎛⎜ χ a(1) + 3χ a(3) E ⎞⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎥ d 2 E d 2 E ω 2 ⎢⎝ Λ m=1 ⎠ + + ⎥E = 0 ⎢ ∞ ⎞ dz 2 dx 2 c 2 ⎢ ⎛ d a 2 ⎥ − ∑ g~m cos(mGz )⎟⎛⎜ χ b(1) + 3χ b(3) E ⎞⎟⎥ ⎢ + ⎜1 − ⎜ ⎟⎝ ⎠⎥ Λ m=1 ⎠ ⎦ ⎣⎢ ⎝
d 2E dz 2
+
d 2E dx 2
+
ω2 c2
[1 + χ a(1)
+ χ b(1) + 3χ b(3) E − χ b(1) 2
∞ ∞ da d 2 2 + 3χ a(3) a E + χ a(1) ∑ g~m cos(mGz) + 3χ a(3) E ∑ g~m cos(mGz) Λ Λ m=1 m=1
∞ ∞ da d 2 2 − 3χ b(3) a E − χ b(1) ∑ g~m cos(mGz) −3χ b(3) E ∑ g~m cos(mGz)]E = 0 Λ Λ m=1 m=1
Diketahui bahwa: Δχ (i ) = χ a(i ) + χ b(i )
χ (i ) = d a χ a(i ) / χ b(i ) (1 − d a / Λ), i=1,3 Persamaan tadi dapat dituliskan sebagai: d 2E dz 2
+
∞ d d d d ⎞ d 2E ω2 2⎛ + [1 + χ a(1) a + χ b(1) − χ b(1) a + 3 E ⎜⎜ χ a(3) a + χ b(3) − χ b(3) a ⎟⎟ + χ a(1) ∑ g~m cos(mGz) Λ Λ Λ Λ⎠ ⎝ dx2 c 2 m=1
∞
∞
∞
m=1
m=1
m=1
2 2 − χ b(1) ∑ g~m cos(mGz) + 3χ a(3) E ∑ g~m cos(mGz) − 3χ b(3) E ∑ g~m cos(mGz)]E = 0
dan diperoleh bentuk:
d 2E dz
2
+
d 2E dx
2
+
ω2 ⎛ 2 [⎜1 + χ (1) + 3χ (3) E ⎞⎟ + c
2
⎝
⎠
∞
∑ g~m cos(mGz )⎛⎜⎝ Δχ (1) + 3Δχ (3) E
2⎞
⎟] E = 0 ⎠
m =1
( ) ( ) ikB z + E B (z, x )e −ikB z , maka turunan keduanya akan Jika diketahui bahwa E z , x = E F z , x e dihasilkan: d 2E dz 2
= 2ik B e ik B z
dE F dE B − k B2 e ik B z E F − 2ik B e −ik B z − k B2 e −ik B z E B dz dz d 2E dx
2
=
d 2 EF dx
2
e ik B z +
d 2 EB dx
2
,
e −ik B z
,
Masukkan kedua persamaan ini ke persamaan sebelumnya, sehingga diperoleh hasil: d 2 E F ik B z d 2 E B −ik B z dE B dE F e e − k B2 e ik B z E F − 2ik B e −ik B z − k B2 e −ik B z E B + + dz dz dx 2 dx 2 ∞ ω2 ⎡ 2 2 ⎤ + ⎢1 + χ (1) + 3χ (3) E + ∑ g~ m cos(mGz )⎛⎜ Δχ (1) + 3Δχ (3) E ⎞⎟⎥ E = 0 ⎝ ⎠⎥ c 2 ⎣⎢ m =1 ⎦
2ik B e ik B z
Dengan mengambil definisi : cos(mGz ) =
e 2ik B z + e −2ik B z 2 ,
ε r = 1 + χ (1) , dan (ck B )2 = ε r ω B2 , E
2
= ( E F e ik B z + E B e −ik B z )( E F∗ e −ik B z + E B∗ e ik B z )
Dapat diperoleh, 2ikB eikB z
d 2 EF ikB z d 2 EB −ikB z dE dEF − k B2 eikB z EF − 2ikB e −ikB z B − k B2 e −ikB z EB + e + e dz dz dx2 dx2
(
)(
)
⎧⎪ ⎛ e 2ikB z + e −2ikB z ⎞ ⎛ 4ikB z + e −4ikB z ⎞⎫⎪ ⎟⎬ ⎟+ g ⎜e [ε r + 3χ (3) EF eikB z + EB e −ikB z EF∗ e −ikB z + EB∗ eikB z + ⎨g1⎜ 2 ⎜ ⎟⎪ ⎟ 2 2 c2 ⎪⎩ ⎜⎝ ⎝ ⎠⎭ ⎠ − − − ik z ik z ik z ik z ik z ik z ( 1 ) ( 3 ) ∗ ∗ ⎛⎜ Δχ + 3Δχ E e B + E e B E e B + E e B ⎞⎟] E e B + E e B = 0 F B F B B ⎝ ⎠ F +
ω2
(
)(
)(
)
2ik B e ikB z + + +
ω2
ε r E F e ikB z +
c2
3ω 2 c2 3ω 2 c2
+ g1 + g1 + g1 + g1 + g1 + g1 + g1 + g2 + g2 + g2 + g2 + g2 + g2 + g1
dE F dE B d 2 E F ikB z d 2 E B −ikB z − k B2 e ikB z E F − 2ik B e −ikB z − k B2 e −ikB z E B + e + e dz dz dx 2 dx 2
ω2 c2
χ (3) E F E F E B∗ e 3ikB z +
3ω 2
2c
2
ω2 2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c
2
3ω
2
2c 2 3ω 2 2c 2 3ω 2 2c 2 3ω 2 2c 2
Δχ (1) E F e 3ikB z + g1
3ω 2
2c
Δχ (1) E B e −3ikB z + g 1
Δχ (1) E B e ikB z + g1
2
3ω 2 2c
c2
Δχ (3) E F E F∗ E F e −ikB z + g1
3ω
2
2c
2
Δχ (3) E F E B∗ E B e 3ikB z + g1
3ω
2
2c
2
Δχ (3) E B E F∗ E F e ikB z + g1
3ω
2
3ω 2 c2
2c
2
Δχ (1) E F e −ikB z
Δχ (3) E B E B∗ E B e −3ikB z + g1
3ω
2
2c
2
Δχ (3) E F E B∗ E F e −ikB z + g 2
3ω
2
2c
2
Δχ (3) E B E F∗ E B e ikB z + g 2
Δχ (3) E B E B∗ E F e −3ikB z = 0
3ω 2 2c
2c 2 3ω 2 2c 2
ω
2
2c
2
2c
Δχ (3) E B E B∗ E B e 3ikB z
2
2c
Δχ (1) E F e 5ikB z
2
Δχ (1) E B e −5ikB z
Δχ (3) E F E F∗ E B e 3ikB z + g 2
2c
2c 2
2c
Δχ (3) E B E F∗ E F e −3ikB z
2
ω2
2
2
Δχ (3) E F E B∗ E B e −ikB z
2
2c
Δχ (3) E F E B∗ E F e 5ikB z
2
Δχ (3) E B E B∗ E F e −ikB z + g 2
3ω
3ω 2
Δχ (3) E B E B∗ E F e 5ikB z + g 2
Δχ (3) E F E F∗ E B e ikB z
3ω 2
2
3ω
2c
2
Δχ (3) E B E B∗ E F e 3ikB z + g1
Δχ (1) E F e −3ikB z + g 2
Δχ (3) E F E F∗ E B e −5ikB z + g 2
3ω 2
3ω 2
2c
Δχ (3) E F E F∗ E F e 5ikB z + g 2
χ (3) E B E B∗ E B e ikB z
Δχ (3) E B E F∗ E B e −ikB z + g1
2
2c
χ (3) E B E F∗ E F e −ikB z
3ω 2
3ω
2
2c
2
χ (3) E F E F∗ E B e −ikB z
c2
Δχ (3) E F E B∗ E F e ikB z + g1
Δχ (3) E B E F∗ E B e −5ikB z + g1
ω
ω2
3ω 2
Δχ (3) E F E F∗ E B e −3ikB z + g1
2
Δχ (1) E B e 3ikB z + g 2
c2
Δχ (3) E F E F∗ E F e 3ikB z + g1
2
2
3ω 2
χ (3) E F E B∗ E F e ikB z +
c2
ω2
χ (3) E F E F∗ E F e ikB z +
χ (3) E F E B∗ E B e ikB z +
c2
χ (3) E B E F∗ E B e −3ikB z +
ω2
3ω 2
ε r E B e −ikB z +
3ω 2 2c
Δχ (3) E F E F∗ E F e −3ikB z
2
Δχ (3) E F E B∗ E F e 7ikB z + g 2
3ω 2
Δχ (3) E F E B∗ E B e −3ikB z + g 2
3ω 2
2c
2
2c 2
Δχ (3) E B E F∗ E F e −5ikB z + g 2
3ω 2
Δχ (3) E B E B∗ E B e 3ikB z + g 2
3ω 2
2c 2 2c 2
Δχ (3) E F E B∗ E B e 5ikB z Δχ (3) E B E F∗ E F e 3ikB z
Δχ (3) E B E F∗ E B e −7ikB z Δχ (3) E B E B∗ E B e −5ikB z
Dengan mengambil suku terkecil dari persamaan di atas, maka akan didapatkan persamaan Model Kisi Bragg Nonlinier Dalam,
2ik B + g1
(
)
dE F ε r 2 3ω 2 (3) ⎛ ω2 2 2 + ω + ω B2 E F + χ ⎜ E F + 2 E B ⎞⎟ E F + g1 Δχ (1) E B 2 2 2 ⎝ ⎠ dz c c 2c 3ω 2
Δχ (3) ⎛⎜ 2 E F 2 ⎝ 2c
− 2ik B
(
2
+ EB
)
d 2 EF 3ω 2 3ω 2 (3) 2 ∗ Δχ (3) E B2 E F∗ + =0 ⎟ E B + g1 2 Δχ E F E B + g 2 ⎠ dx 2 2c 2c 2
2⎞
dE F ε r 2 3ω 2 (3) ⎛ ω2 2 2 + Δχ (1) E F ω + ω B2 E B + χ ⎜ 2 E F + E B ⎞⎟ E B + g1 2 2 2 ⎝ ⎠ dz c c 2c
d 2 EB 3ω 2 3ω 2 2 2 Δχ (3) ⎛⎜ E F + 2 E B ⎞⎟ E F + g1 Δχ (3) E B2 E F∗ + g 2 Δχ (3) E F2 E B∗ + =0 ⎝ ⎠ dx 2 2c 2 2c 2 2c 2 bentuk persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi: + g1
i
3ω 2
dEF d 2EF 2 2 2 2 =0 + δ0EF + δ2 ⎛⎜ EF + 2 EB ⎞⎟EF + δ3EB + δ4 ⎛⎜ 2 EF + EB ⎞⎟EB + δ4EF2 EB∗ + δ5EB2 EF∗ + δ1 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ dz dx2
−i
d 2 EB dEB 2 2 2 2 +δ0 EB +δ 2 ⎛⎜2 EF + EB ⎞⎟EB +δ3EF +δ 4 ⎛⎜ EF + 2 EB ⎞⎟EF +δ 4 EB2 EF∗ +δ5EF2 EB∗ +δ1 =0 ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ dz dx2
Dengan nilai δ i : 1 , 2k B
δ1 =
εr
δ0 =
2c 2 k B
δ2 =
2c 2 k B
ω 2 g1
δ3 =
4c 2 k B
δ4 =
δ 5=
3ω 2
3ω 2 g1 2
(ω
2
)
− ω B2 ,
χ (3) , Δχ (1) , Δχ (3) ,
4c k B
3ω 2 g 2 2
Δχ (3) ,
4c k B
Melalui transformasi gauge lokal, dengan mengambil nilai: ⎡E F ⎤ iδ 0 z ⎡ E F ⎤ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥=e ⎣E B ⎦ ⎣E B ⎦
Maka akan diperoleh persamaan (26) dan (27): i
∂ 2EF ∂E F 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ E F + 2 E B ⎤E F + δ 3E B + δ 4 ⎡2 E F + E B ⎤E B + δ 4 E F 2 E B∗ + δ 5 E F∗E B2 = 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎣ ⎦ ⎣ ∂z ∂x
−i
∂ 2EB ∂EB 2 2 2 2 + δ1 + δ 2 ⎡ EB + 2 EF ⎤EB + δ 3EF + δ 4 ⎡2 EB + EF ⎤EF + δ 4 EB2 EF∗ + δ 5EB∗E F2 = 0 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎦ 2 ⎣ ⎦ ⎣ ∂z ∂x
Lampiran 3.
Metode Hirota Pada NLS
Persamaan Nonlinear Schrödinger dalam bentuk ternormalisasi : 2
iu z + Du tt + β u u = 0 Dimana u adalah fungsi kompleks ternormalisasi yang menggambarkan selubung medan listrik dan z adalah jarak perambatan, sedangkan t adalah waktu tunda. Persamaan ini, u tt adalah suku dispersi temporal dengan koefisiensi D = +1 untuk daerah dispersi anomali dan D = −1 untuk daerah dispersi normal, sedangkan β merupakan koefisien suku Suku-Phase Modulation (SPM). Untuk memperoleh solusi N-soliton yang dimiliki oleh persaman (1) dengan Metode Hirota, dilakukan dengan mengambil ansats : u=
G F
dimana G dan F berturut-turut adalah fungsi kompleks dan real. Kemudian didefinisika operator bilinear Hirota sebagai berikut:
(∂ z − ∂ z′ )[G (z, t ) o F (z′, t ′)]z = z′ = Dz (G o F ) = Gz F − GFz′ Dtm (G o F ) = (∂ t − ∂ t′ ) (G o F ), m = 1,2,... m
Dt = D z ⎯⎯→ ′ t
Sehingga persaaman awalnya dapat dituliskan dalam bentuk bilinear sebagai berikut:
[iD
z
]
+ (D )Dt2 (G o F ) = 0
(D )Dt2 (F o F ) = β (G o G ∗ ) Untuk memecahkan bentuk bilinear di atas, G dan F diambil bentuk: G = εG1 + ε 3 G3 + ... + ε n G n F = 1 + ε 2 F2 + ε 4 F4 + ... + ε n Fn
Untuk kasus 1-soliton suku-suku dengan orde ε n , untuk n > 2 jika disubstitusikan kedalam persamaan bilinear tadi akan bersifat self-truncated dalam artian Gn , Fn untuk n > 2 dapat diambil nol. Diasumsikan untuk G dan F berbentuk: G = εg1e (k1t −ω1 z ) F = 1 + ε 2 f 2 e (k2t −ω2 z )
sehingga berdasarkan difinisi bentuk G dan F tadi, dapat diperoleh : G1 = g1e (k1t −ω1 z ) F2 = f 2 e (k2t −ω2 z )
dimana g1 merupakan fungsi kompleks sembarang, dan f 2 fungsi real sembarang, serta
ε
akan
diambil berharga 1 diakhir perhitungan, dan substitusikan persamaan deret G dan F ke dalam persamaan bilinear (untuk kasus suku dispersi temporal dengan koefisien D = +1 untuk daerah dispersi anomali) akan diperoleh:
(i∂
O(ε )
)
+ ∂ t2 G1 = 0
z
( ) 2∂ F = β G G O (ε ) (iD + D )(G o F ) = 0 O (ε ) D F oF =0 Oε2
∗ 1 1
2 t 2
3
2 t
z
4
1
2 t 2
2
2
Dari persamaan di atas maka akan diperoleh hubungan:
(− iω
1
)
+ k12 G1 = 0
Sehingga diperoleh hubungan koefisien yang memenuhi persamaan di atas sebagai berikut: iω1 = k12
Dengan memasukkan nilai G dan F yang telah dipilih ke dalam persamaan sebelumnya, akan diperoleh hubungan: 2k 22 F2 = β G1G1∗
atau persamaan di atas dapat dituliskan: f 2 e (k 2 t −ω 2 z ) =
β
g 1 g 1∗ e ((k1 + k1 )t − (ω1 + ω1 )z ) ∗
2 k 22
∗
Sehingga diperoleh hubungan koefisien dari persamaan di atas sebagai berikut: k 2 = k1 + k1∗
f2 =
( )
ω 2 = ω1 + ω1∗
,
(
βg1 g1∗
2 k1 + k1∗
)
2
Dari persamaan O ε 2 , dengan memasukkan nilai G dan F yang telah dipilih akan didapatkan :
(i(ω
2
)
− ω1 ) + (k 2 − k1 )2 G1 F2 = 0
Dengan memasukkan nilai k2, persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:
⎛ ∗ ∗2 ⎞ ⎜ iω1 + k1 ⎟G1 F2 = 0 ⎝ ⎠
( )
Dengan memasukkan nilai ω2 ke dalam persamaan di atas, maka persamaan O ε 2 tadi dapat terpenuhi.
( )
Dari persamaan O ε 4 dengan memasukkan nilai G dan F yang telah dipilih akan didapatkan :
(
)
2 k 22 − k 22 F2 F2 = 0
( )
dengan sendirinya persaman di atas terpenuhi, dan persamaan O ε 4 dapat terpenuhi.
Solusi dari persamaan 1-soliton didapatkan dengan mensubstitusikan nilai k2,
ω2 , dan f2,
ke
dalam persamaan F, kemudian masukkan nilai g1 , k1 , β , ke persamaan G. Setelah itu persamaan G dan F disubstitusikan ke persamaan u, maka akan diperoleh solusi 1-soliton tersebut. Salah satu contoh solusi 1-soliton, dengan mengambil nilai: g1 = 2 A k1 = A
β 2
+ iV
Sehingga diperoleh nilai f 2 dan u : f2 =1
⎡ β ⎤ ⎡ ⎤ (t − 2Vz )⎥ exp⎢iVt − i⎛⎜V 2 − A 2 β ⎞⎟ z ⎥ u = A sec h ⎢ A 2 2⎠ ⎦ ⎝ ⎢⎣ ⎥⎦ ⎣
( )
Yang merupakan penyelesaian Bright soliton yang merambat dengan kecepatan grup 2V
−1
.
Lampiran 4.
Perhitungan Solusi 1-Soliton, dengan menggunakan software Maple8.
> restart; > f1:=-K*a0+c1*delta1*a0+delta3*b0;
f1 := − K a0 + c1 δ1 a0 + δ3 b0 > f2:=simplify(8*delta1*c1*a0+delta2*a0*((a0^2)+2*(b0^2))+delta4*b0*(3*(a0^2)+(b0 ^2))+delta5*(b0^2)*a0);
f2 := −8 c1 δ1 a0 + δ2 a0 3 + 2 δ2 a0 b0 2 + 3 δ4 b0 a0 2 + δ4 b0 3 + δ5 b0 2 a0 > f3:=K*b0+delta1*c1*b0+delta3*a0;
f3 := K b0 + δ1 c1 b0 + δ3 a0 > f4:=simplify(8*delta1*c1*b0+delta2*b0*((b0^2)+2*(a0^2))+delta4*a0*(3*(b0^2)+(a0 ^2))+delta5*(a0^2)*b0);
f4 := −8 δ1 c1 b0 + δ2 b0 3 + 2 δ2 b0 a0 2 + 3 δ4 a0 b0 2 + δ4 a0 3 + δ5 a0 2 b0 > solve(f1,a0);
δ3 b0 K − c1 δ1 > a0:=-delta3*b0/(-K+c1*delta1);
a0 := −
δ3 b0 −K + c1 δ1
> solve(f2,b0);
0, 2 2 ( ( δ2 δ33 + 2 δ2 δ3 K2 − 4 δ2 δ3 K c1 δ1 + 2 δ2 δ3 c12 δ12 + 3 δ4 δ32 K − 3 δ4 δ32 c1 δ1 + δ4 K3 − 3 δ4 K2 c1 δ1 + 3 δ4 K c12 δ12 − δ4 c13 δ13 + δ5 δ3 K2 − 2 δ5 δ3 K c1 δ1 + δ5 δ3 c12 δ12 ) c1 δ1 δ3)
( 1/2 )
( K − c1 δ1 )
( δ2 δ33
+ 2 δ2 δ3 K2 − 4 δ2 δ3 K c1 δ1 + 2 δ2 δ3 c12 δ12 + 3 δ4 δ32 K − 3 δ4 δ32 c1 δ1 + δ4 K3 − 3 δ4 K2 c1 δ1 + 3 δ4 K c12 δ12 − δ4 c13 δ13 + δ5 δ3 K2 − 2 δ5 δ3 K c1 δ1 + δ5 δ3 c12 δ12 ), − 2 2 ( ( δ2 δ33 + 2 δ2 δ3 K2 − 4 δ2 δ3 K c1 δ1 + 2 δ2 δ3 c12 δ12 + 3 δ4 δ32 K − 3 δ4 δ32 c1 δ1 + δ4 K3 − 3 δ4 K2 c1 δ1 + 3 δ4 K c12 δ12 − δ4 c13 δ13 ( 1/2 )
+ δ5 δ3 K2 − 2 δ5 δ3 K c1 δ1 + δ5 δ3 c12 δ12 ) c1 δ1 δ3) ( K − c1 δ1 ) ( δ2 δ33 + 2 δ2 δ3 K2 − 4 δ2 δ3 K c1 δ1 + 2 δ2 δ3 c12 δ12 + 3 δ4 δ32 K − 3 δ4 δ32 c1 δ1 + δ4 K3 − 3 δ4 K2 c1 δ1 + 3 δ4 K c12 δ12 − δ4 c13 δ13 + δ5 δ3 K2 − 2 δ5 δ3 K c1 δ1 + δ5 δ3 c12 δ12 ) > b0:=simplify(2/(delta2*delta3^3+2*delta2*delta3*K^24*delta2*delta3*K*c1*delta1+2*delta2*delta3*c1^2*delta1^2+3*delta4 *delta3^2*K-3*delta4*delta3^2*c1*delta1+delta4*K^3-
3*delta4*K^2*c1*delta1+3*delta4*K*c1^2*delta1^2delta4*c1^3*delta1^3+delta5*delta3*K^22*delta5*delta3*K*c1*delta1+delta5*delta3*c1^2*delta1^2)*2^(1/2)*( (delta2*delta3^3+2*delta2*delta3*K^24*delta2*delta3*K*c1*delta1+2*delta2*delta3*c1^2*delta1^2+3*delta4 *delta3^2*K-3*delta4*delta3^2*c1*delta1+delta4*K^33*delta4*K^2*c1*delta1+3*delta4*K*c1^2*delta1^2delta4*c1^3*delta1^3+delta5*delta3*K^22*delta5*delta3*K*c1*delta1+delta5*delta3*c1^2*delta1^2)*c1*delta1 *delta3)^(1/2)*(-K+c1*delta1));
⎛ b0 := ⎜⎜ ( δ2 δ5 + δ22 − 2 δ42 ) ( δ5 + δ2 ) δ34 ⎜⎝ ⎞ δ32 ( 2 δ2 δ5 + δ22 − 4 δ42 + δ52 ) δ4 ⎟⎟ 2 ⎟ δ4 ⎠ 2 2 2 ( δ2 δ5 + δ2 − 2 δ4 ) δ3 )
⎛⎜ ⎜⎜ δ3 δ5 + δ2 δ3 − ⎝ > solve(f3,K);
c1 2 δ1 2 − δ3 2 , − c1 2 δ1 2 − δ3 2 > K:=(c1^2*delta1^2-delta3^2)^(1/2);
δ3 2 ( δ5 + δ2 ) 2 − δ3 2 2 4 δ4
K := > solve(f4,c1);
0, −
δ3 δ3 δ3 ( δ5 + δ2 ) , , δ1 δ1 2 δ1 δ4
> c1:=1/2*delta3*(delta5+delta2)/delta1/delta4;
c1 :=
δ3 ( δ5 + δ2 ) 2 δ1 δ4
3⎞ ⎟
δ4 ⎟ ⎟⎠
( 1/2 )
2 δ4
(