PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Sartika Dewi Lestari E. 1104222
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
Disusun Oleh :
SARTIKA DEWI LESTARI NIM : E1104222
Disetujui untuk dipertahankan Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP.131863797
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
Disusun Oleh :
SARTIKA DEWI LESTARI NIM : E1104222
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 1 Juli 2008 TIM PENGUJI
1. ( Edy Herdiyanto S.H., M.H.) Ketua
: …………………………
2. ( Kristiyadi, S.H.,M.Hum. ) Sekretaris
: .........................................
3. (Bambang Santoso, S.H., M.Hum) : ......................................... Anggota MENGETAHUI Dekan,
MOH. JAMIN, S.H., M.Hum.
NIP. 131 570 154
ABSTRAK
SARTIKA DEWI LESTARI, 2008. PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT. Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat selain itu juga untuk mengetahui pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen atau kepustakaan (library study). Analisis data menggunakan teknik analisis konten (content analysis). Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh adalah bahwa putusan didasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis hakim. Mayoritas suara hakim, yaitu sejumlah tiga orang hakim anggota berpendapat bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. Abdullah Puteh. Dengan adanya suara mayoritas tersebut, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum .
MOTTO
Lupakan sebesar apapun kesalahan orang lain terhadapmu, tetapi ingat sekecil apapun kebaikan yang diberikannya untukmu (Dewi S)
Allah SWT dalam memberikan suatu cobaan pasti selalu satu paket dengan solusinya (Penulis)
Jangan ingkari cinta yang menghuni relung jiwa Jangan tepiskan cinta yang berhembus di setiap hela nafas bersyukurlah karena kau masih mengenal cinta dan bisa merasakan cinta bersyukurlah pernah bisa mencintai sekalipun cinta tak selamanya saling memiliki (A. Widianto)
Rindu adalah ungkapan rasa yang merambah jiwa yang kesepian kala sepi mengusik diri, kenangan dan angan akan menyapa melambai tersenyum, mengajak menikmati tiap dentingan alunannya (Penulis)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Setelah sekian lama aku menimba ilmu, namun hanya kado kecil ini yang dapat kuhadiahkan dengan segala kerendahan hati dan tulus ikhlas ingin penulis persembahkan kepada : ALLAH SWT Kedua Orang tuaku (Ibu Hj Rosna Hartati dan (Alm) Bp H Sarsito) terima kasih atas semua kasih sayang yang tak pernah putus yang tak dapat dinilai dengan apapun dan takkan terbalas dunia akhirat Adikku sayang (Sarnita) yang selalu memberikan keceriaan dalam hidupku
My Heartbreaker Syafwandi S.E S.Com Terimakasih atas semuanya. Kau adalah inspirasi dan motivasiku.i hope you stay and believe me coz i dont forget u. Pokoknya unforgettable moment deh
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik. Penulisan hukum merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam rangkaian kurikulum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa Fakultas Hukum dalam menempuh jenjang kesarjanaan S1. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 4. Bapak Agus Riyanto, S.H., M.Hum. selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. 6. Ayahanda (Almarhum) H Sarsito dan Ibu Hj Rosna Hertati yang selalu mendukungku dan memberikan kasih sayangnya padaku 7. Adikku Tha_tha yang selalu menyayangiku dan memberikan semangat padaku 8. Saudara tercintaku (E-na, Mb yas, Ms Iwan, Nugnug,Agung, Ema, Mb Yuni)
9. Syafwandi SE SCom my heartbreaker pernahkah kau bayangkan disetiap rentang waktu yang riuh dimana kurekat erat binar matamu selalu kutitipkan harap disana dalam desau angin dan desir gerimis senja. Ku harap ketika semua harus berakhir sinarmu
di
ujung
senja
itu
tetap
menyinari
ku,
jika semua itu tak mungkin, biarkan semua jadi kisah terindahku 10. Salita babes’ (Mb Ami, Mb Butet, Vani-vani hukum, Wulan_Tiwul, Menil, Coblah, Tika Hukum, Tinatinu, Mila, Janti & Mungki, Mayang_Meymey, Nyingnying, Lis, Dita,Tiwi, Unana, Caping, Wahyu thanks atas suportnya., it’s a wonder women. Dont forget Tika ya.... 11. Salita Crew ( Pak kos , mas-mas dan mbake) keep the Salita pride alive… 12. My Best Friend (Tera_terong, Dila_dilul, Herman, livia, Doyok, Resti_Genduk, Titus_Titut, Dita, Yani, Maya, Gugun_Widya, Pieh, Keni, Gilang, Indah, Chida, W Brayoto, Enrico Gustav) Indahnya dunia hanya sementara, indahnya akhirat untuk selamanya, dan indahnya bermimpi kadang tak pasti, tapi indahnya persahabatan akan tetap abadi 13. Beascamp Puntadewa Tomi_longor, Jery, gading, Add, Ayu,
Makasih
kekonyolanmu membuat aku tersenyum setiap hari sehingga mampu memberikan warna yang berbeda di kehidupanku dan ketulusanmu yang mengalir sebening kasih dan setiamu telah menguatkan aku. Thanks dah membantu aku kalo kerepotan 14. Asrama Borneo ( Dewa, Oki, Fahri, Darel, JB, Nina, Fadil, Panji, dan Kevin ) tetap menjadi Conat ya… 15. Crew Pengaman Hukum (Mas Wardi, Gunawan, Didit, Pak Harno) Terima kasih telah mengamankan hokum selama ini 16. Teman-teman angkatan 04, dan 06 Fakultas Hukum UNS terimakasih atas suportnya 17. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan hukum ini Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu dengan
lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
Surakarta,
Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................
iii
ABSTRAK ..........................................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO .........................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN .........................................................................
vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................
vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Pembatasan Masalah ...................................................................
11
C. Perumusan Masalah ....................................................................
11
D. Tujuan Penelitian ........................................................................
12
E. Manfaat Penelitian ......................................................................
12
F. Metode Penelitian .......................................................................
13
G. Sistematika Skripsi......................................................................
16
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
17
A. Kerangka Teori...........................................................................
17
1. Tinjauan Umum tentang Dissenting Opinion ......................
17
2. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim ..............................
20
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi..............................
32
B. Kerangka Pemikiran...................................................................
38
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...............................
40
BAB II
BAB III
A. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ................................
40
1. Deskripsi Kasus.....................................................................
40
2. Identitas Terdakwa................................................................
41
3. Dakwaan................................................................................
42
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ...........................................
42
5. Pembelaan terdakwa dan penasehat Hukum.........................
61
6. Penerapan Dissenting
Opinion Terhadap Putusan Yang
Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh ...........................................
62
7. Putusan Hakim ......................................................................
70
8. Pembahasan...........................................................................
71
B. Implikasi
Dissenting
Opinion Terhadap Putusan Yang
Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H.
BAB IV
Abdullah Puteh...........................................................................
77
PENUTUP .......................................................................................
80
A............................................................................................ Si mpulan........................................................................................
80
B. ........................................................................................... Sa ran-Saran .................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
81
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................... ............................................................................................................................... 38
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan Pemerintah memberantas korupsi juga semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pandangan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai entitas asing seperti, antara lain, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan pada Bulan Maret Tahun 2002. Penelitian tersebut menempatkan Indonesia dengan tingkat skor 9.92 berdasarkan skala tertinggi 10. Sedangkan dari sumber
Transparency
International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia pada tahun 2003 menempati posisi yang cukup memperihatinkan, yaitu 1.9
dan
peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Pada tahun 2004, IPK Indonesia menjadi 2.0 dan menduduki urutan 137 dari 146 negara yang disurvai. Semakin rendah IPK, semakin parah tingkat korupsinya. Keadaan ini mempersulit kinerja politik luar negeri Indonesia dalam melindungi dan memajukan kepentingan nasional. Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957 sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa 1
Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Walaupun demikian, masih didapati kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh tersangka untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, dalam pelaksanaannya, instrumen normatif ternyata belum cukup untuk memberantas korupsi. Permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Sebagai contoh di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi
yang semakin marak dan meluas.
Laporan dan
pengaduanpun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan.
Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70
persen pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum pelakunya. Selain itu, korupsi juga banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan penerimaan dan pembelanjaan uang negara. Diperkirakan terjadi kebocoran sebesar 30% dari Belanja Negara tahun 2003 yang berjumlah Rp. 118 trilyun. Hal ini terutama disebabkan oleh sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang transparan dan
akuntabel, terutama pada sektor-sektor yang rawan korupsi seperti perpajakan dan bea-cukai, serta sektor-sektor dengan anggaran pengeluaran negara terbesar seperti sektor pendidikan, kesehatan, hankam, pekerjaan umum dan perhubungan. Survei yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform pada tahun 2001 mengungkapkan bahwa lembaga pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan alokasi anggaran. Hal tersebut merupakan kerugian bagi masayarakat, karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kinerja pelayanan publik dari lembaga-lembaga pelayanan publik. Disamping itu masalah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tidak transparan, terbuka dan akuntabel juga memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini tidak didukung oleh : 1. Adanya kehendak Pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan perwujudan kehendak Pemerintah yang sungguhsungguh dalam memberantas korupsi. 2. Adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan rencana tindak (action plan) dalam memberantas korupsi. Rencana Aksi NasionalPemberantasan Korupsi (RAN – PK).
Tahun 2004 – 2009 merupakan
perwujudan adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan rencana tindak dalam memberantas korupsi. 3. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) untuk menanggulangi korupsi. Karena itu, perlu menyiapkan penerapan TI dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.Pemanfaatan “single identification number” untuk setiap urusan masyarakat. Karena itu, perlu menyiapkan penerapan “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang diharapkan mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat.
4. Peraturan perundang-undangan yang saling menunjang dan memperkuat. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, duplikasi, dan bertentangan, sementara beberapa hal yang penting yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi alpa untuk diatur. Karena itu, perlu untuk berupaya menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka peningkatan pengawasan atas pelayanan publik serta melakukan harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang berhubungan dengan pengawasan dan pemeriksaan internal instansi pemerintah. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal ini
menurut Bintoro Tjokroamidjojo sebagaimana dikutip oleh
Ninik Mariyanti, disebabkan karena : 1. Persoalannya memang rumit, 2. Sulitnya menemukan bukti, 3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu. (Ninik Mariyanti,1986 : 200). Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan
di
suatu
negara.
Tak
pelak
lagi,
gaung
pemberantasan korupsi semakin bergema di seluruh dunia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat korupsi teratas, ikut serta dalam langkah tersebut dengan memperkuat perangkat hukum yang ada untuk memberantas korupsi, yaitu diantaranya dengan membentuk UU tentang Tindak Pidana Korupsi yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU Pengadilan Khusus Korupsi. Walaupun Indonesia termasuk dalam peringkat teratas dalam
korupsi, namun secara statistik tidak banyak kasus korupsi yang dapat dijerat dengan perangkat hukum yang ada. Hal tersebut tentunya menimbulkan suatu pertanyaan besar mengenai bagaimanakah sebenarnya proses penegakan hukum dalam bidang korupsi di negara ini. Ketidak antusiasan masyarakat yang secara nyata terlihat dalam menyikapi upaya pemerintah dalam memberantas korupsi secara retorik menjawab pertanyaan besar tersebut. Wacana korupsi sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi di berbagai kalangan. Pemahaman masyarakat terhadap korupsi bisa jadi berbeda dengan pemahaman penegak hukum. Bahkan pemahaman mengenai korupsi antara satu penegak hukum yang satu dengan penegak hukum yang lain juga kerap kali terjadi pada saat proses pemberantasan korupsi berlangsung Terlihat bahwa dalam pengusutan tindak pidana korupsi terdapat banyak kelemahan, seperti dalam hal penyidikan. Kelemahan lainnya adalah bahwa jaksa kurang memperhatikan syarat-syarat serta unsur-unsur yang menyangkut tindak pidana korupsi dalam penyusunan surat dakwaan. Sedangkan dalam pengadilan, hakim hanya akan mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan apa yang didakwakan dalam surat dakwaan. Dengan demikian, penyusunan surat dakwaan menjadi hal yang harus diperhatikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Penanganan kasus korupsi memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, karena biasanya melibatkan tokoh-tokoh terkenal yang dibelakangnya juga terlibat aparatur negara. Sehingga walaupun kasusnya masih merupakan indikasi korupsi, kasusnya sudah terlanjur meluas. Namun pada akhirnya pada saat tahap putusan sudah dikeluarkan, ternyata indikasi korupsi tersebut tidak terbukti. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan masyarakat. Kurangnya pengetahuan hakim akan bidang-bidang yang berkenaan dengan korupsi seperti perbankan, pasar modal juga merupakan kendala tersendiri dalam pemberantasan korupsi. Apabila seorang jaksa menangani perkara korupsi yang dilakukan melalui mekanisme perbankan, maka sudah tentu dia harus menguasai seluruh aspek dari perbankan. Apabila tidak, maka bagaimana mungkin sang jaksa dapat menentukan suatu tindakan termasuk dalam
tindak pidana korupsi atau tidak. Korupsi yang merajalela terjadi karena lemahnya sistem pengawasan internal dilingkup internal organisasi pemerintahan. Setiap instansi pemerintah memiliki irjen yang berperan sebagai pengawas internal. Namun pengawasan internal tersebut tidak berjalan secara optimal. Korupsi merupakan extra ordinary crimes yang merupakan kejahatan luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, maka seharusnya korupsi ditangani secara luar biasa juga. Namun yang sering terjadi justru korupsi tidak ditangani dengan cara yang sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari masih buruknya kualitas penguasaan aparat penegak hukum terhadap masalah yang berkenaan dengan korupsi. Pembuktian juga merupakan tahapan yang memegang peranan penting dalam perkara korupsi. Apabila kesalahan yang didakwakan tidak dapat dibuktikan, maka si terdakwapun tidak dapat dijatuhi hukuman. Langkah-langkah untuk menemukenali hambatan dalam pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 yang menyepakati bahwa penanganan korupsi selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan menjadi:
1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-tutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat.. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. 3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dan lain lain.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penekan hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses
penanganan
korupsi
sampai
dengan
penjatuhan
hukuman.
Berdasarkan Kajian dan Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang Berpeluang KKN periode 1999 sampai dengan 2003 oleh Kementerian PAN disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengandung celah KKN adalah yang rumusan Pasal-Pasalnya ambivalen dan multi-interpretasi serta tidak adanya sanksi yang tegas (multi-interpretasi) terhadap pelanggar peraturan perundang-undangan.. 4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik ( komitmen
yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel ) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang komitmennya
manajemen
(Pemerintah)
dalam
menindaklanjuti
hasil
pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi
informasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan;
tidak
independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya sistim kepegawaian diantaranya sistim rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS, penilaian kinerja dan reward and punishment. Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), masyarakat sangat menaruh harapan pada dua lembaga tersebut untuk mempercepat penanganan dan eksekusi kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka tindak pidana korupsi yang berskala besar dan menjadi perhatian masyarakat. Namun tuntutan untuk mempercepat penanganan kasus korupsi tersebut masih belum optimal., cukup banyak permasalahan kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja dan koordinasi antara lembaga penegak hukum satu dengan lainnya serta dukungan sarana prasarana untuk mendukung percepatan pemberantasan korupsi. Aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi, kemampuan, profesionalisme dan kualitasnya yang masih jauh dari yang diharapkan. Hal demikian mengakibatkan seringnya kasus korupsi dihentikan proses penyidikannya dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) berhubung belum cukupnya alat bukti yang diajukan. Demikian pula dengan kasus tindak pidana korupsi yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Seringkali putusan hakim tidak memenuhi
rasa keadilan
masyarakat, secara sosiologis tidak bisa diterima. Hal tersebut tidak lain adalah sebagai akibat dari kurangnya kemampuan dalam pembuktian dan penghayatan terhadap rasa` keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kekurangan kemampuan tersebut mempunyai akibat yang tidak baik terhadap citra lembaga penegak hukum maupun lembaga peradilan dengan tuduhan telah terjadi kolusi dan korupsi. Aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, merupakan akar dari ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Survei yang dilakukan oleh Asia Fondation dan AC Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan 57 persen dari orang yang mengalami masalah hukum cenderung memilih penyelesaian diluar peradilan, 20 persen memilih proses peradilan dan sisanya memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Permasalahan yang juga mengemuka dari permasalahan korupsi adalah masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Masyarakat telah semakin skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, bahkan seringkali dituduh sebagai tempat melindungi aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan eksternal saat ini telah semakin intensif dilakukan oleh masyarakat, namun masih menjadi kendala berupa keterbatasan masyarakat untuk memperoleh akses informasi terhadap proses penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap perkara korupsi. Hal ini telah menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah korupsi. Kualitas suatu peradilan salah satunya dapat ditunjukkan oleh putusan yang dihasilkan dari suatu pengadilan. Proses pengadilan yang transparan, logis, independen, dan adil, telah dan akan memberikan kontribusi kebenaran moral dan pencerahan bagi pemikiran dan tingkah laku masyarakat secara ideal. Sebaliknya, putusan pengadilan yang tidak nalar dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat akan menimbulkan the dead of common sense atau matinya akal sehat (Adi Sulistyono, 2006: 6). Putusan pengadilan memikul beban tanggung jawab agar menjadi figur puncak kearifan dari penyelesaian perkara di dalam masyarakat. Putusan pengadilan yang benar dan penuh kearifan akan mencegah
timbulnya sikap main hakim sendiri, dan menghindarkan ketidakpercayaan terhadap institusi pengadilan (Artidjo Alkostar dalam Adi Sulistiyono, 2006: 6). Putusan pengadilan merupakan indikator penilaian kepercayaan pada pengadilan. Sebelum adanya Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman akses masyarakat untuk mengetahui proses pengambilan putusan masing-masing hakim sangatlah sulit. Putusan hakim diambil setelah pemeriksaan ditutup, kemudian diadakan suatu musyawarah terakhir oleh Majelis Hakim untuk mengambil putusan. Dalam pasal 182 ayat (5) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditegaskan bahwa dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya ialah hakim ketua. Pasal 186 ayat (6) KUHAP menyatakan bahwa sedapat mungkin musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh namun tidak dicapai kesepakatan bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dari majelis hakim atau putusan diambil berdasarkan pendapat hakim yang paling menguntungkan, kemudian pendapat hakim yang berbeda akan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Jadi, dapat disimpulkan masyarakat hanya mengetahui hasil jadinya saja, masyarakat tidak mengetahui proses atau peristiwa di balik putusan hakim tersebut apakah merupakan kesepakatan bulat dari musyawarah hakim, apakah ada perbedaan pendapat majelis hakim, apakah putusan diambil dengan suara terbanyak, atau merupakan putusan salah satu hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas penulis bermkasud mengkaji masalah penerapan dissenting opinion oleh hakim dalam proses penjatuhan putusan, dalam bentuk Penulisan Hukum/Skripsi yang berjudul : ”PENERAPAN
DISSENTING
PENGAMBILAN
PUTUSAN
OPINION
PERKARA
DALAM
KORUPSI
PROSES
PENGADAAN
HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT”. B. Pembatasan Masalah Dalam penulisan ini penulis memberikan batasan terhadap masalah penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat C. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 2. Bagaimanakah pengaruh dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh ?
D. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan penelitian yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan hukum ini adalah : 1. Tujuan Obyektif : a. Untuk
mengetahui
penerapan
dissenting
opinion
dalam
proses
pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat
b. Untuk mengetahui pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh 2. Tujuan Subyektif : a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi guna memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang berhubungan dengan penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat. c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Tindak Pidana khusus dan Hukum Pembuktian. c. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. c. Dari hasil penelitian ini, akan menambah pengetahuan kita sejauh mana keadilan ditegakkan melalui putusan pengadilan F. Metode Penelitian 1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian Sebagai penelitian hukum, maka penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Disebut sebagai penelitian hukum normatif karena sumber data utamanya berupa data sekunder. Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan memberikan data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala–gejala lainnya. Dalam penelitian ini Penulis ingin memperoleh gambaran yang nyata dan jelas tentang penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan Helikopter oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Menurut
Soerjono Soekanto (1986:10) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif dan bukan dalam bentuk angka-angka. 2. Lokasi Penelitian Dalam Penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan Perpustakaan Pusat UNS 3. Jenis dan Sumber Data Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Jenis data utama dalam penelitian hukum normatif adalah
data sekunder. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari : 1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 7) Putusan Nomor : 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni terdiri atas : 1) Buku-buku teks yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan dissenting opinion. 2) Jurnal dan Majalah hukum yang membahas tindak pidana korupsi. c. Bahan Hukum Tersier Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Black’S Law Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Internet. 4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan jenis dan sumber datanya.
Mengingat bahwa jenis data dalam
penelitian ini berupa data sekunder, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen atau kepustakaan (library study). 5. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik analisis konten (content analysis).
Analisis konten dipergunakan
karena dikaitkan dengan data yang dikumpulkan berupa data sekunder atau data studi dokumen. Menurut Valerine J.L. Kriekhoff (1992: 12), bahwa apabila analisis konten pada prinsipnya dikaitkan dengan data sekunder atau data studi dokumen, maka teknik analisis konten dapat pula diterapkan pada penelitian
hukum
normatif.
Studi
dokumen
merupakan
suatu
alat
pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis. Dalam penelitian yang dilaksanakan ini, penulis hanya menggunakan dokumen siap pakai sebagai satu-satunya data, yaitu melakukan inventarisasi dan menganalisis dokumen sekunder yang berkaitan dengan masalah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dilepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian dalam analisis data, teknik analisis konten atau analisis isi (content analysis) digunakan sebagai tujuan utama.
G. Sistematika Skripsi BAB I Pendahuluan Dalam bab ini akan diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di angkat
dalam penulisan hukum ini, yaitu: Tinjauan umum tentang
dissenting opinion, tinjauan umum tentang putusan hakim dan tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi. BAB III Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan pokokpokok permasalahan yang ingin diungkapkan berdasarkan rumusan masalah, yaitu penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh BAB IV Penutup Bab ini berisikan tentang simpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Dissenting Opinion a. Pengertian dissenting opinion Menurut
Gigih
Wijaya
(2007,
31)
Dissenting
opinion
merupakan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia. Pranata dissenting
opinion muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Bagir Manan Dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan (Bagir Manan, 2006:11). Menurut Artidjo Alkostar dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim dengan hakim lain (Artidjo Alkostar, 2000:1). Sedangkan menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005: 111). Ada beberapa definisi dissenting opinion, yaitu : 1) Menurut Bagir Manan Dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat
hakim
(minoritas)
atas
putusan
pengadilan
(Bagir
Manan,2006:11).
2) Menurut Artidjo Alkostar : 17 Dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim dengan hakim lain (Artidjo Alkostar,2000:1) 3) Menurut Pontang Moerad : Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005: 111). b. Kebaikan dan kelemahan pranata dissenting opinion
Penerapan dissenting opinion memberikan beberapa kebaikan atau keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Pranata dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota Majelis atau sesama hakim. Pranata ini sejalan dengan essensi kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.; 2) Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan memutus perkara; 3) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini diharapkan hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral ataupun sesuai dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang mewajibkan memberikan pendapat pada setiap perkara yang diperiksa dan diputus; 4) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting opinion setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada kemungkinan mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks 5) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta dasar-dasar dan pertimbangan sosiologis yang memadai;
6) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen dinamika dan updating
pengertian-pengertian
hukum.
Kehadiran
dissenting
opinion menunjukkan fakta-fakta hukum dalam suatu perkara maupun aturan-aturan hukum, tidak bersifat linear. Melalui pranata dissenting opinion pemberian makna yang berbeda baik fakta maupun hukum akan menjamin dinamika dan updating pengertian suatu kaidah hukum. Dengan cara tersebut akan terjadi aktualisasi penerapan hukum; 7) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu : Perkembangan filsafat hukum, teori hukum, dan aturan-aturan hukum. Pranata dissenting opinion akan memperkaya bahan kajian hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau doktin, maupun kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.
Terlepas dari berbagai kebaikan di atas, penerapan dissenting opinion
juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagai
berikut: 1) Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas) Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh (dengan) suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas). Ada kemungkinan pendapat minoritas (dissenting) itulah yang benar dan adil; 2) Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum; 3) Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan
sesama
hakim,
terutama
untuk
masyarakat
yang
mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zekelijk,
seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat; 4) Pranata dissenting opinion
dapat menimbulkan sifat individualis
yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota lain. (Bagir Manan,2006:17). 2. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Hakim 1) Pengertian Hakim Sesuai Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Adapun undang-undang yang dimaksud disini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. a) Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung ( pasal 16 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004 ). b) Syarat-syarat Pengangkatan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, melalui pasal 14 ayat (1) telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat diangkat menjadi hakim pengadilan negeri. Rincian syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
(1)
Warga negara Indonesia;
(2)
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(3)
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
(4)
Sarjana Hukum;
(5)
Berumur serendah-rendahnya 25 tahun ;
(6)
Sehat jasmani dan rohani;
(7)
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakukan tidak tercela;
(8)
Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya ataupun bukan seseorang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam gerakan G-30S/PKI.
c) Pemberhentian Dari sudut kepegawaian , status dan kedudukan hakim selain sebagai pegawai negeri juga sebagai pejabaf fungsional. Dengan demikian, pemberhentian dari status hakim tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri. Pemberhentian sebagai hakim dikenal ada dua macam yaitu diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan sebagai hakim. 2) Wewenang Hakim Landasan hukum wewenang hakim antara lain terdapat dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004. Wewenang utama hakim adalah mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana. Di dalam KUHAP disebutkanbeberapa wewenang hakim, yaitu:
(1)
Melakukan penahanan; Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan pertahanan (Pasal 26 KUHAP).
(2)
Pengalihan jenis penahanan; Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain (Pasal 23 KUHAP). (Bambang Waluyo, 2000: 79-81).
3) Tanggung Jawab dan Kewajiban Hakim Kewajiban dan tanggung jawab hakim secara yuridis formal bersumber dari UU NO. 4 Tahun 2004,Bab IV Pasal 28 – 30, sedangkan pada Pasal 4 ayat (1) hanya menyiratkan tentang tanggung jawab hakim. Di luar bab IV tersebut ditemukan kewajiban hakim yang pertama-tama sebagai organ pengadilan adalah tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004). Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana, dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. 4) Kebebasan Hakim
Proses penegakan hukum mutlak diperlukan suatu kebebasan hakim. Suatu pengadilan yang bebas dapat memberikan peradilan tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun dan dalam bentuk apapun merupakan syarat mutlak bagi suatu negara hukum (Nanda Agung Dewantara, 1987:26). Kebebasan hakim ini diatur secara tersurat dalam Bab IX Pasal 24 dan 25 setelah perubahan UUD 1945 dan telah menjadi jaminan kebebasan hakim atau kebebasan peradilan di Indonesia. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 ada beberapa pasal yang menjamin keobyektifan hakim, yaitu : a) Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “ Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; b) Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; c) Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang; d) Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain; e) Pasal 19 ayat (3) menyebutkan bahwa rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia; f) Pasal
19
ayat
permusyawaratan,
(4)
disebutkan
setiap
hakim
bahwa wajib
Dalam
sidang
menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan;
g) Pasal 19 ayat (5) disebutkan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan; h) Pasal 20 menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum; i) Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta menghukumnya dengan peraturan yang berlaku. Pada waktu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk suatu kasus, maka pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya (Satjipto Rahardjo, 2000: 182). Kebebasan
hakim
mutlak
diperlukan,
terutama
dalam
menjamin terpenuhinya rasa keadilan pihak yang berperkara juga memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim terikat pada hukum sehingga kebebasan hakim juga ada batasnya, hakim tidak bisa berbuat sewenang-wenang terhadap perkara yang diperiksanya. Jadi, kebebasan hakim merupakan kebebasan hakim
yang
bertanggung jawab. Menurut Hapsoro Jayaningprang, makna kebebasan hakim ada 2 (dua), yaitu : a) Kebebasan hakim dari pengaruh dan campur tangan pihak lain. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004, bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan
pihak
kekuasaan
extra
yudisial,
kecuali
dalam
hal-hal
sebagaimana disebut dalam UUD 1945. b) Bebasnya hakim dari pihak-pihak yang berperkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, akan tetapi hakim harus berperan aktif sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Aktivitas tersebut dapat direfleksi dalam Hukum Acara Pidana, dimana Hakim itu harus berusaha mencari dan menemukan, kebenaran maksud dari suatu perkara yang dihadapkan kepadanya (Oemar Seno Adji,1989: 262). b. Pengertian Putusan 1) Putusan Dalam Perkara Pidana Pada dasarnya putusan hakim mempunyai peranan yang menentukan dalan menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu di dalam menjatuhkan putusannya hakim diharapkan agar selalu berhati-hati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai suatu putusan penuh dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas, ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Pratek” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985, hal 221, putusan diartikan sebagai berikut “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasakmasaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan” (Leden Marpaung, 1992: 406). Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau
ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali tersebut pada huruf g dan i putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah : (a)
kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
(b)
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, perkerjaan terdakwa;
(c)
dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(d)
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
(e)
tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(f)
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
(g)
hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
(h)
pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan
(i)
ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
(j)
keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak kepalsuan itu jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu;
(k)
perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
(l)
hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan dan nama panitera. Dalam pasal 200 KUHAP disebutkan bahwa surat putusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Martiman Prodjohamidjojo, 1988: 172-173). Sebagai pendukung agar putusan hakim benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka hakim harus mempunyai sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah untuk memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukanya Adapun alat-alat bukti yang sah tadi menurut pasal 184 ayat (1) KUHP yaitu : a) keterangan saksi b) keterangan ahli c) surat d) petujuk e) keterangan terdakwa 2) Rumusan Putusan Pengadilan Rumusan suatu putusan sangatlah penting karena dari rumusan itu dapat diketahui jalan pikiran hakim dan pertimbangan apa yang digunakan untuk menjatuhkan putusan tersebut.
Wirjono Projodikoro menyatakan sudah selayaknya bagian pertimbangan ini disusun serapih-rapihnya oleh karena putusan hakim selain daripada mengenai pelaksanaan suatu peraturan hukum pidana, mengenai juga hak asasi dari terdakwa sebagai warga negara atau penduduk dalam negara, hak-hak mana pada umumnya harus dilindungi oleh badan-badan pemerintahan. Pertimbangan hakim dalam suatu putusan yang mengandung penghukuman
terdakwa
harus
ditujukan
terhadap
hal-hal
terbuktinya peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Oleh karena suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, selalu terdiri dari beberapa bagian, yang merupakan syarat bagi dapatnya perbuatan itu dikenakan hukuman (elementen dari delick), maka tiap-tiap bagian itu harus ditinjau, apakah sudah dapat dianggap nyata terjadi (Laden Marpaung, 1992: 423). c. Jenis-jenis putusan Pada dasarnya putusan Hakim/pengadilan dapat digolongkan kedalam 2(dua )jenis yaitu: 1) Putusan akhir Dalam praktik putusan akhir sering disingkat dengan istilah putusan saja.putusan ini dapat terjadi apabila majelis hakim memeriksa tindak pidana korupsi yang hadir dipersidangan sampai pokok perkara diperiksa sebagai mana tercantum dalam pasal 182 ayat (3), (8),pasal 197 dan pasal 199 KUHAP.disebut dengan pokokperara selesai diperiksa karea majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui proses-proses berupa:siding dinyatakan terbuka dan bdibuka untuk umum, pemeriksaan identitas dan peringatan ketua majelis kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala
sesuatu
yang
terjadi
didalam
persidangan,
pembaca
catatan/surat dakwaan,acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau
penasehat
hukumnya
dan
pendaat
jaksa/penuntut
umum,penetapan/putusan sela,pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir),
replik-dublik,re-repiek
dan
re-dublik,
pernyataan
pemeriksaan ditutup serta musyawarah majelis hakim dan pembaca putusan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) dan harus ditandatangani hakin dan penitera seketika setelah putusa diucapkan (pasal 200 KUHAP). (Lilik Muliady, 2000 : 319)
2) Putusan yang bukan putusan akhir. Dalam praktik, bentuk dari pada putusa yang bukan putusan ahir dapat berupa penetapan atau putusan sela atau sering pula disebut dengan istilah bahasa belanda tussen-vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 156 ayat (1)KUHAP, yakni dalam hal terdakwa dan atau penasehat hokum mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.penetapan atau putusan sela ini secara formal dapat mengakhiri perkaraapabila terdakwa dan atau penasehat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim tersebut. Akan tetapi, secara meteriel perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila perlawanan atau verzet dari penuntut umum oleh pengadilan tinggi
dibenarkan
sehingga
pengadilan
tinggi
melanjutkan
pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Kalau dijabarkan lebih lanjut mengapa putusan ini disebut sebagai putusan akhir karena disamping dimungkinkan perkara tersebut secara materiel dibuka kembali karena adanya verzet atau perlawanan yang dibenarkan, juga karena dalam halini materi pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh majelis hakim. (Lilik Muliady, 2000 : 320) Bentuk putusan hakim dalam tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hasil penelitian disidang pengadilan dengan bertitik tolak kepada surat dakwaan pembuktian musyawarah majelis hakim dan mengacu pada ketentuan pasal 191 ayat (1) dan (2) serta pasal 193 ayat (1) KUHAP,bentuk daripada putusan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi berupa: 1) Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam praktik,putusan bebas juga lazim disebut dengan putusan “acquittal” , yang berarti bahwa terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan menyatakan bersalah melakukan tidak pidana korupsi didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa dibebaskan dari tuntutan hokum. Lebih tegasnya lagi terdakwa tidak dijatuhi pidana.berdasarkan terhadap ketentuan pasal 191 ayat (1)KUHAP, putusa bebas terdakwa tindak pidana korupsi (atau tindak pidana pada umumnya) dapat dijatuhi karena : a) Dari hasil sidang dipengadilan, b) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Sedangkan penjelaan menurut ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan adalahj tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurutketentuan hokum acara pidana. (Lilik Muliady, 2000 : 322) 2) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle rechtsvervolging) Pada dasarnya, ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum(Onslag van alle rechtsvervolging) majelis hakim beranggap bahwa :
dapat terjadi apabila
a) Apa yang didakwakan oleh terdakwa memang terbukti secara sah dan menyakinkan ;dan b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (Lilik Muliady, 2000 : 324)
3) Putusan pemidanaan (Veroordeling) Putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dapat terjadi apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan mejelis hakim akan menjatuhkan pidana (pasal 193 ayat(1) KUHAP) pengadilan dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
(Veroordeling) jika terdakwa itu tidak melakukan
penahanan , dapat diperintahkan majelis hakim supaya terdakwa itu ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana yang dilakukan diatur dalam ketentuan pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alas an untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alas an untuk itu (pasal 193 ayat (2) KUHAP). (Lilik Muliady, 2000 : 325)
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi Pengertian korupsi secara umum adalah
perbuatan
yang
merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Secara yuridis Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Andi Hamzah
kata korupsi berasal dari bahasa latin
Corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan. Menurut UN’s Global Programme against Corruption
korupsi
didefinisikan sebagai: abuse of power for private gain and include thereby both the public and private sector. Although perceived differently from from country to country, corruption tends to include the following behaviors: conflict of interest embezzlement, fraud, bribery, political corruption, nepotism, secretarisme and extortion Dalam Lebanon Anti –Corruption Initiate Report 1999, korupsi diartikan sebagai sebagai the behaviour of private individuals or public officials who deviate from set responsibilities and use their position of power inorder to serve private ends and secure private gains (UNDCP). Menurut World Bank dan Transparency International, korupsi adalah the use of one’s public position for illegitimate private gains, abuse of power and personal gain, however, can occur in both the public and private domains and often in collusion with individuals from both sector. Sedangkan menurut Lilik Mulyadi (2000), UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung Korupsi berasal dari bahasa latin”Corruptio” atau Corruptus” yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris “Corruption”, bahasa Belanda “korruptie” yang berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan
sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Djoko Prakoso. dkk. 1987: 389390). b. Tipe-tipe Korupsi Pengertian tindak pidana korupsi pada Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ada 4 tipe yaitu : 1) Pengertian Korupsi Tipe Pertama Tindak pidana korupsi pertama terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara lengkap redaksional Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) b) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan 2) Pengertian Korupsi Tipe Kedua Pada asasnya, pengertian korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut . Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) 3) Pengertian Korupsi Tipe Ketiga Pada asasnya, pengertian korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan Pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP kemudian ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan maka korupsi tipe tiga dibagi menjadi 4 (empat) pengelompokan yaitu : Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Ketentuan Pasal 209, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP ditarik menjadi Pasal 5, 6, 7, 11, 12, dan 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada dasarnya menurut Pandangan doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana maka ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 dikategorikan ke dalam penyuapan aktif (aktieve omkoping) dan ketentuan Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP ke dalam penyuapan pasif (passive omkoping). Ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP (Pegawai negeri yang menerima suap). Sedangkan ketentuan Pasal 210 KUHP (Pemberi suap kepada hakim) berpasangan dengan ketentuan Pasal 420 KUHP (Hakim yang menerima suap) terhadap perkara yang ditanganinya. Apabila kita perhatikan lebih tajam, mendalam dan terperinci walaupun penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan pada KUHP adalah serumpun, tetapi dalam Tindak Pidana
Korupsi ancaman pidana penjara atau dendanya mempergunakan pidana minima/maksima yang bervariasi
4) Pengertian Korupsi Tipe Keempat Pada asasnya, pengertian korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh orang luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Konkretnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai Tindak Pidana Korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi maka percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana sendiri. Selanjutnya, identik pula dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia dimana pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan dalam ketentuan Pasal 16 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tujuan pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat dicegah secara maksimal dan efektif. (Lilik Muliady, 2000 : 17)
c. Bentuk-bentuk korupsi United national office on drugs and crime (2004) mencatat beberapa bentuk korupsi serta cara operasinya yaitu : 1) Korupsi besar dan korupsi kecil dilihat dari beser kecilnya jumlah uang yang dikorupsikan dan tingkatan yang melakukan; 2) Korupsi aktif yang berkaitan dengan penawaran atau pembayaran suap dan korupsi tidak aktif yang berkaitan dengan penerimaan suap; 3) Suap dalam berbagai bentuk dan tujuan seperti influence-peddling (menjual pengaruh) pejabat public atau politik atau orang dalam pemerintah menjual privileges (keistimewaan) yang dimiliki atas status mereka, yang tidak dimiliki oleh orang luar seperti akses kepada atau pengruh terhadap pengambilan keputusan pemerintah; suap dalam bentuk menawarkan atau menerima hadiah,pemberian atau komisi;suap untuk menghindari uang atas pajak atau biaya lain;suap dalam mendukung kecurangan; suap untuk menghindari tuntutan kriminal; suap dalam mendukung persaingan yang tidak sehat; suap sektor swasta misalnya pada kasus kridit macet di bank;suap untu mendapatkan informasi rahasia. 4) Penggelapan, pencurian, dan kecurangan yang dilakukan ditempat kerja; 5) Pemerasan pada calon pegawai (pejabat) untuk memuluskan jalan atau karier; 6) Penyalah gunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari kepentingan umum dan merugika masyarakt luas; 7) Favoritisme (mengunggulkan seseorang atau sebagai perusahaan untuk kepentingan terselubung), nepotisme (memenangkan seseorang atau institusi yang pernah menyumbang atau berutang budi tertentu dengan mengabaian aturan-aturan yang benar atau sah); 8) Membuat dan mengeksploitasi kepentingan yang saling bertentangan; 9) Konstribusi (dukungan atau sumbangan) politik tang berlebihan atau tidak tepat. (majelis tarjih dan tajdid pp muhamadiyah ,2006:19-20)
B. Kerangka Pemikiran
Pengadaan Helikopter
Tindak Pidana Korupsi
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Perbedaan Pendapat Hakim Dampak
DISSENTING OPINION
Penerapan Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran
Penjelasan : Salah satu kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus pengadaan helikopter yang melibatkan Ir H Abdullah Puteh. Dalam kasus tersebut telah diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pembuatan putusan tersebut timbul perbedaan oleh para hakim. Untuk mengatasi perbedaan pendapat para hakim dalam memutuskan perkara tersebut diperlukan suatu Dissenting Opinion. Dissening Opinion membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim dengan hakim lain. Diharapkan dengan adanya Dissenting Opinion ini dapat membulatkan pendapat hakim yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengetahui penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu Penulis juga ingin mengetahuipengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 1. Deskripsi Kasus Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, Msi, Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dan bersekutu dengan saksi Bram HD MaNopo, MBA, Presiden Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilajutkan pada bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darusalam atau setidak-tidaknya di tempat yan berdasarkan Pasal 54 ayat (2) UndangUndang Nomor 30 tahun 2002, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekoNomian negara. Inti perbuatan tindak pidana korupsi tersebut adalah Pembelian Helikopter Model M1-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 untuk digunakan oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas Gubernur maupun Bupati-Bupati dan berkunjung ke daerah-daerah di wilayah konflik di NAD. Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum untuk setiap kabupaten/kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD kabupaten.
40
Ditinjau dari sudut perdataan, maka yang bertindak sebagai Pembeli adalah H.Abdullah Puteh., para Bupati/Walikota dan DPRD yang telah memberikan persetujuannya. Dalam perkara ini tidak terungkap dengan jelas mengenai apakah pembelian helikopter tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum ataukah prosedur pembelian helikopter tersebut dipandang merupakan tindakan melawan hukum. Tidak disitanya helikopter sebagai barang bukti hasil kejahatan membuktikan bahwa Dakwaan lebih diarahkan kepada penyimpangan prosedur pembelian helikopter merupakan tindakan yang memenuhi unsur melawan hukum. 2. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si.
Tempat Lahir
: Idi, Aceh Timur.
Umur/Tanggal Lahir
: 56 Tahun/04 Juli 1948
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan/Kewarganegaraan
: Indonesia
Tempat Tinggal
:1. Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah No. 1 Banda Aceh. 2. Jalan Warung Sila No. 1 Ciganjur Jakarta Selatan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(yang
dahulu
Porpinsi Daerah Istimewa Aceh) Pendidikan
: Pasca Sarjana (52) Universitas Indonesia
3. Dakwaan
disebut
Primer : Perbuatan Terdakwa Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si., diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana; Subsider : Perbuatan Terdakwa II Ir.H.Abdullah Puteh, Msi diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Di dalam menanggapi surat dakwaan tersebut, Terdakwa dan Penasihat Hukum Terdakwa telah mengajukan eksepsi, dan terhadap eksepsi tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim melalui Putusan Sela tertanggal: 10 Januari 2005, Nomor: 01/PID.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum a. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat a,b, ayat (2) (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam surat dakwaan primair; b. Menjatuhkan
pidana
terhadap
terdakwa
Ir.H.ABDULLAH
PUTEH,Msi, berupa pidana penjara selama 8 (delapan ) tahun dengan
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan ditambah dengan denda sebesar Rp.500.000.000,0 (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 6(enam) bulan kurungan dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan; c. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi membayar uang pengganti sebesar Rp.10.087.500.000,0 (sepuluh miliyar delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah perkaranya memperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar, maka dipidana dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun; d. Menyatakan barang bukti berupa : 1. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor : 1014941-01-7 bulan Juli 2002 pada Bank Bukopin Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51 2. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor : 1014941-01-7 bulan Agustus 2002 pada Bank Bukopin Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51 3. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor : 1014941-01-7 bulan Nopember
2002 pada Bank
Bukopin Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51 4. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor : 1014941-01-7 bulan Juli 2003 pada Bank Bukopin Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51 5. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 18 Juli 2002 senilai US$.1007,00.00 6. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 8 Agustus 2002 US$.25,000.00
7. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 22 Agustus 2002 US$.30,000.00 8. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 25 September 2002 US$.10.000,00 9. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 11 Oktober 2002 US$.15.000,00 10. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 5 Nopember 2002 US$.400.000,00 11. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 6 Nopember 2002 US$.220.000,00 12. 1 (satu) lembar Dokumen Aplikasi Transfer Bank Bali dari rekening Nomor : 0260185535 ke Rostov Mil PLC tanggal 22 Nopember 2002 US$.10.000,00 13. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 28 November 2002 US$.23.020,00 14. 1 (satu) buah buku CONTRACT OF SALE/PURCHASE Nomor : 28-00 OT
28-08-2001. Tanggal 28 Agustus 2001 atau PLC
EXPERIMENTAL DESIGN BUREAU ROSTOV-Mill RUSIA dengan PT. PUTRA POBIAGAN MANDIRI. 15. 1 (satu) buah buku surat perjanjian bual/beli Nomor : 04/SPJB/2002 tanggal 26 Juli 2002 OF MI-2 HELICOPTERS antara PT. Putra Pobiagan Mandiri dengan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
16. 2
(tiga)
lembar
surat
perjanjian
tambahan
No:
07/KOP/PRJ/X/2003 tanggal 21 Oktober 2003 terhadap Perjanjian Pembelian Helikopter Jenis MI-2 Merek Rostov Mil Rusia untuk Pemerintah
Provinsi
Aceh
Nanggroe
Darussalam
No:
06/KOP/PRJ/VII/2002 taggal 21 Juli 2003 antara Gubernur Prop. NAD dengan PT. Putra Pobiagan Mandiri 17. 1 (satu) lembar surat dari P.T. Bank BUKOPIN .Pusat Jakarta tanggal 1 Juli 2004 Nomor : 4903/CBG/VII/2004 kepada BRAM HD MANOPPO Presiden Direktur PT. PUTRA POBIAGAN MANDIRI. 18. 1 ( satu) buku Akte Notaris N.R.MAKAHANAP No.7 tanggal 4 September 1987 Tentang Salinan Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan
P.T PUTRA POBIAGAN MANDIRI dan akte
Notaris H. AZHAR ALIA,S.H., No. 96 tanggal 20 Juni 1991 tentang pernyataan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Para Pemegang Saham
P.T. PUTRA POBIAGAN serta keputusan
Menteri Nomor : C2-3299.HT.01.01-th.88, tanggal 9 April 1988 tentang Penetapan Persetujuan Akta Pendirian P.T. PUTRA POBIAGAN MANDIRI 19. 1 (satu) lembar surat Deperatemen Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah VI Jakarta Raya 1. Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru No. PEM-655/WPJ.04/KP.0803/2001 Tanggal 17 September 2001 tentang Surat Keterangan Terdaftar sebagai Wajib Pajak. 20. 1 (satu) lembar surat dari Rostov Mil Experimental Design Bureau tanggal 1 Januari 2002 tentang penunjukkan P.T PUTRA POBIAGAN MANDIRI /P.T CATUR DAYA PRIMA sebagai agen pemasaran MI-2 di Indonesia.
21. 1 (satu) lembar kartu NPWP Nomor 02.179-015.000 atas nama PT. PUTRA POBIAGAN MANDIRI. 22. 1 (satu) lembar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tebet No. PRM-25/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 15 Mei 2002 tentang Surat ketetapan Terdaftar sebagai Wajib Pajak. 23. 1 (satu) lembar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tebet No. PEM-1766/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 15 Mei 2002 tentang Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Wajib Pajak. 24. 1 (satu) lemgar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tebet No. S-176/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 16 Mei 2002 tentang Pemberitahuan Nomor Kode Seri Faktur Pajak NPWP No.02.279.019.0-015.000. 25. 1 (satu) lembar Surat dari Suku Dinas Perindustrian
dan
Perdagangan Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 464/8753/0904/PM./V2002 tanggal 21 Mei 2002 tentang Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP) Menengah. 26. 1 (satu) SURAT KUASA dari BRAM.HD.MANOPPO.MBA. kepada Bpk. Kol.T. DJOHAN tanggal 15 Desember 2003. 27. 1 (satu) surat No. 2904/PPM/BM/IV/2004/Ltr tanggal 29 April 2004 dari P.T. PPM kepada Pimpro Pengadaan Kendaraan Operasional Pemda NAD. 28. 1 (satu) surat No.2104/PPM/BM/IV/2004/Ltr tanggal 21 April 2004 dari P.T. PPM kepada Pimpro Pengadaan Kendaraan Operasional Pemda NAD. 29. 1 (satu) lembar SURAT KUASA Nomor 27/KOP/KS/IX/2003.
30. 1 (satu) lembar Slip Bukti Transfer Bank MANDIRI sebesar US$ 55,200 ke Helikopter Roplane Limited dari T. DJOHAN BASYAR. 31. 1 (satu) lembar TANDA TERIMA uang dari P.T. CATUR DAYA PRIMA DIRGANTARA senilai US$50,000 32. 1 (satu) lembar TANDA TERIMA uang dari P.T. CATUR DAYA PRIMA DIRGANTARA senilai US$. 1,950,000 33. 1 (satu) lembar disposisi Gubernur sehubungan dengan surat dari P.T. PUTRA POBIAGAN MANDIRI ditujukan kepada Bapak Gubernur
Propinsi
Daerah
Istimewa
Aceh
No.0135/PPM/HM/VII.2001 perihal Pembayaran Uang Muk Tanda Jadi. 34. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor :
0101.038492
a.n
ABDULLAH
PUTEH
sebesar
Rp.3.750.000.000 (empat milyar rupiah). 35. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor :
0101.038492
a.n
ABDULLAH
PUTEH
sebesar
Rp.3.750.000.000 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).tanggal 13 Oktober 2002. 36. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor : 101.5960.015 a.n P.T PUTRA POBIAGAN ADIGUNA sebesar Rp.1.2750.000.000 (satu milyar dua ratus tujuh puluh lima puluh juta rupiah).tanggal 25 Juli 20023 37. 1 (satu) lembar kredit Nota tanggal 24 Juli 2003, Nomor rekening 1002211137 atas nama THANTHAWI ISHAK, S.H., sebesar Rp.1.3.00.000.000.- ( satu miliyar tiga ratus juta rupiah). 38. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN
ke Rekening
Nomor 101.5960.015 a.n P.T PUTRA POBIAGAN ADIGUNA
sebesar Rp. 198.150.000,- ( seratus sembilan puluh delapan juta seratus lima puluh ribu rupiah) tanggal 1 Juni 2004. 39. 1 (satu) lembar Pengantar ditujukan kepada Bagian Operasional BPD Propinsi NAD, yaitu Bilyet Giro/Ceque/pos No. 051235 tanggal 8 Maret 2004 untuk dipindahkan buku pada Bank Mandiri Cab. Banda Aceh an. T. Djohan Basyar No.Rek.133.00.0223282 sejumlah Rp. 964.350.000,( sembilan ratus enam puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah ) 40. 2 (dua) lembar Tanda Penerimaan dari Bank BPD Aceh untuk rekening
No
01.02.121007.1
a.n
Zainuddin.SE.
sebesar
Rp.15.693.151,- ( lima belas juta enam ratus sembilan puluh tiga ribu seratus lima puluh satu rupiah) tanggal 6 Juli 2004. 41. 1 (satu) lembar bukti transfer dana via RTGS Bank BUKOPIN Ap. Mushamdi Ses.Rel.Trn:105.0704 tanggal 6 Juli 2004 sebesar Rp.2.300.000.000,- (dua milyar tiga ratus juta rupiah) 42. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD kepada PT. PPM.No.PPM/0014/2004 tanggal 15 Agustus 2002 sebesar Rp. 4.000.00.000,- ( empat milyar rupiah). 43. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD kepada PT. PPM.No.PPM/0014/2004 tanggal 5 Agustus 2003 sebesar Rp. 1.275.000.000,- ( satu milyar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah). 44. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD kepada PT. PPM.No.PPM/0130/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 sebesar Rp. 964.350.000,- ( sembilan ratu enam puluh empat juta tiga ratur lima puluh ribu rupiah)
45. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD kepada PT. PPM.No.PPM/0160/2004 tanggal 15 Mei 2004 sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh rupiah). 46. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD kepada PT. PPM.No.PPM/0175/2004 tanggal 13 Mei 2004 sebesar Rp. 198.150.000,- (seratus sembilan puluh delapan juta seratus lima puluh ribu rupiah). 47. 6 (enam) lembar rekening Nomor : 010.01.02.101007-1 Bank BPD Aceh. 48. Pembukuan dana Helikopter Mi-2. 49. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AA.0263.34, tgl 15 Agustus 2001. Pinjaman Sementara Pemda (Heli) jumlah Rp.4.000.000.000 ( empat milyar rupiah). 50. 1 (satu) lembar asli potongan Bilyet Giro No.AC.002152.tgl 26 September 2001, Pemegang Kasda Pindahan dari Rek. 12.11.86 ke Rek.21090, jumlah Rp. 4.000.000.000,0 (empat milyar rupiah). 51. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071577.tgl 15 Juli 2002, Pinjaman sementara pembelian 1 unit helikopter Gub jumlah Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). 52. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071578. tgl 30 Juli 2002,
Biro
Perwat
Munawar,
MSi
untuk
heli,
jumlah
Rp.1.500.000.000,- ( satu milyar lima ratus juta rupiah) 53. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.008438.tgl 10 Juli 2003, Bram HD MaNoppo, MBA Dir PT. Putra Pobiagam Mandiri THP I. Pem. Unit Helikopter MI-2, jumlah Rp. 3.500.000.000,- ( tiga milyar lima ratus juta rupiah ).
54. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071581.tgl 30 Oktober 2002, lunas pembayaran Helikopter keperluan Gubernur NAD jumlah Rp. 3.750.000.000,- (tiga milyar lima ratus juta rupiah ) 55. 1 (satu) lembar asli potongan Bilyet Giro No.AD.003598.tgl 24 Juli 2003, Pinjaman sertifikat Asli Kelaikan Helikopter Pemda kepada
PT
Putra
Pobiagan
Adiguna
Jakarta,
jumlah
Rp.1.275.000.000,- ( satu milyar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah). 56. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AF 011862, tgl.16 Maret 2004, Dana pengoperasian hely Pemda NAD a.n. Marsimin Ro.Perlengkapan jumlah Rp.964.350.000,- ( sembilan ratus enam puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) 57. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AF 011864, tgl.31 Mei 2004, Pembayaran dana Heli Drs. Chalid Ro. Perwa, jumlah Rp.198.150.000,- ( seratus sembilan puluh delapan juta seratus lima puluh ribu rupiah). 58. 1 (satu) buah Buku Penerimaan dan Pengeluaran asli, Kasda Propinsi Daerah Istimewa Aceh B IX No. 10 Tahun 2001. 59. 1 (satu) buah buku Penerimaan dan Pengeluaran asli, Kasda Propinsi Daerah Istimewa Aceh B IX No. 6 Tahun 2002. 60. 1 (satu) buah Buku Pembantu Bank Asli, Kas Daerah Istimewa Aceh, Bank Pembangunan Daerah Migas ( 121.1090.1) No.1 Tahun Anggaran 2002. 61. 1 (satu) buah Buku Pembantu Bank Asli, Kas Daerah Istimewa Aceh, Bank Pembangunan Daerah Migas ( 121.186) Tahun Anggaran 2001. 62. 1 (satu) lembar Tanda Penerimaan asli dari PT. Bank BPD Aceh Kantor pusat Operasional untuk rekening 121090 (Migas) atas
nama pemegang Kas Daerah Banda Aceh tgl.20 September 2001, sejumlah Rp.4.000.000.000,- (empat milyar rupiah). 63. 9 (sembilan) lembar Rekening Koran Asli dari Bank BPD Aceh untuk rekening giro atas nama Rekening Khusus PPH/PPN Nomor rek:121007.1 terdiri dari : periode 15/03/01 s.d 31/12/01 (1 lembar); 02/01/02 s.d 30/05/02 (1 lembar); 01/06/02 s.d 11/6/02 (1 lembar); 12/06/02 s.d 20/07/04 ( 5 lembar); 06/07/04 s.d 20/07/04 ( 1 lembar0. 64. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AA 027351, tgl. 11 Pebruari 2001, Potongan UT Pengadaan Helikopter Dari Dana perlakuan Khusus Kab/Kota, jumlah Rp.5.100.000.000,- ( lima milyar seratus juta rupiah). 65. 1 (satu) lembar Surat No. 0135/PPM/BM/VII/2001 tanggal 15 Juli 2001 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Aceh, perihal : Pembayaran Uang Muka Tanda Jadi. 66. 1 (satu) lembar Surat pengantar No. 63/KASDA/2001 tanggal 2 Oktober 2001 dari Bendaharawan Umum/Pemegang Kas Daerah (Zainuddin, SE) ditujukan kepada Bagian Operasional BPD Istimewa Aceh. 67. 13 (tiga belas) potongan cek asli Nomor ; AC 002153, AC 002154, AC 002155, AC 002156, AC 002157, AC 002158, AC 002159, AC 002160, AC 002161, AC 002162, AC 002164, AC 002165, AC 002166 68. 1 (satu) lembar asli Rekening Koran Bangk Pembangunan Daerah Istimewa Aceh atas nama: Dana Alokasi Khusus dengan alamat THANTAWI ISHAK,S.H., M.M (Sekda), jenis rekening Giro Nomor 121196.9 periode : 03/09/2001 s/d 30/09/2001 69. 1 (satu) lembar Permohonan Pengiriman Uang sebesar US$1,950 (seribu sembilan ratus lima puluh US Dollar) dari Bank BNI
Kantor Cabang Setia Budhi Building Jakarta tertanggal 4 Pebruari 2004, atas nama INDRA SURYA DJANI, SE (PT Catur Daya prima Dirgantara). Kepada Life & TechNologies.Ltd. (Accra Ghana, Spintex Road, Regimanual Estate “Golden Gate” Gray Hill No.4 Po.Box AN19932 Accra North, Ghana. 70. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 48 tahun 2001 tentang perubahan APBC Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun anggaran 2001. 71. Keputusan Gubernur Nomor : 62 tahun 2001 tentang penjabaran perubahan APBD Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD Tahun Anggaran 2001. 72. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 6 tahun 2002 tentang Sisa Perhitungan APBC Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 73. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 tahun 2002 tentang APBC Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun Anggaran 2002. 74. Keputusan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2002 tentang Penjabaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD tahun anggaran 2002. 75. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 15 tahun 2003 tentang Perhitungan APBC Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun Anggaran 2002. 76. DIPDA Proyek Nomor : 150/DIPDA/2002 tanggal 29 Juni 2002, Pengesahan Proyek Pembangunan Daerah Propinsi tahun 2002. 77. SKO Nomor : 147/P/2002 tanggal 10 Juli 2002 sebesar Rp. 6 milyar tentang Otorisasi Anggaran Pembangunan.
78. SKO Nomor : 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 sebesar Rp. 35 milyar tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin. 79. Keputusan Gubernur Nomor: 45 Tahun 2001 tanggal 28 Agustus 2001 tentang Penetapan Rincian Jumlah Bantuan Pemberlakuan Khusus untuk Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh Beserta lampirannya. 80. Keputusan Gubernur Nomor: KU 024/6269 tanggal 26 Desember Tahun 2001 kepada Pimpinan DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam perihal Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter. 81. Keputusan Gubernur Nomor: KU 024/6269 tanggal 20 Oktober Tahun 2001 kepada Pimpinan DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter. 82. Keputusan Gubernur Nomor: KU 570/3758 tanggal 2 Agustus Tahun 2001 kepada
Para Bupati/Walikota dalam Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam hal Sumber Dana Tambahan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Biaya Pengadaan Helikopter. 83. SPMU Nomor : 1536/PT/2001 tanggal 30 Juli 2002 Pembayaran Tahap 1 Pembelian 1 (satu) Unit Helikopter jenis M1-2 atas bebasn Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional Pemda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar Rp.3.500.000.000,-. 84. SPMU Nomor : 4723/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama rekening Kas Daerah kota Banda Aceh untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat
Helikopter dan Bantuan Perlakuan
Khusus sebesar Rp.2.712.500.000,85. SPMU Nomor : 4724/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kota Sabang untuk pembayaran Biaya Pengadaan pesawat Helikopter dan bantuan perlakuan Khusus sebesar Rp.2.607.500.000,-
86. SPMU Nomor : 4725/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Besar di Janto untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.712.500.000 87. SPMU Nomor : 4726/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Pidie di Siglie untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,88. SPMU Nomor : 4727/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama
Rekening
Kas
Daerah
Kabupaten
Bireuen
untuk
Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.719.500.000,89. SPMU Nomor : 4728/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas
Daerah Kabupaten Aceh Utara di
Lhokseumawe untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter
dan
Bantuan
Perlakuan
Khusus
Sebesar
Rp.2.688.000.000,90. SPMU Nomor : 47229/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Timur di Langsa untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.688.000.000,91. SPMU Nomor : 4730/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Tengah di Tekengon untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.870.000.000,92. SPMU Nomor : 4731/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Barat di Meulaboh untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,-
93. SPMU Nomor : 4732/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Selatan di Tapaktuan
untuk
Helikopter
dan
Pembayaran Bantuan
Biaya Perlakuan
Pengadaan
Pesawat
Khusus
Sebesar
Rp.2.677.000.000,94. SPMU Nomor : 4733/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Tenggara di Kotacane untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,95. SPMU Nomor : 4734/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Singkil di Singkil untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.677.000.000,96. SPMU Nomor : 47235/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Simeuleu di Sinabang untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.572.500.000,97. Surat
Pernyataan
Bupati/Ketua
DPRD
Simeuleu
No,
:
KU.900/88/2001 tanggal 7 Agustus 2001 98. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Singkil No. : KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001 99. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Utara No. : KU.900/2974 tanggal 7 Agustus 2001 100. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Singkil No. : KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001 101. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Selatan tanggal 7 Agustus 2001
102. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Tenggara No. : KU.900/32/2001 tanggal 7 Agustus 2001 103. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Barat No. : KU.900/375/2001 tanggal 7 Agustus 2001 104. Surat
pernyataan
Bupati/Ketua
DPRD
Sabang
No.
:
027/1304/2001 tanggal 7 Agustus 2001 105. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Pidie No. : 900/18/2001 tanggal 7 Agustus 2001 106. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Timur No. : 8653a/18/2001 tanggal 7 Agustus 2001 107. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Tengah No. : KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001 108. 1 (satu) budel foto copy yang telah dilegalisir oleh Sekda Propinsi NAD, yaitu Surat Perjanjian Pembelian Nomor : 05/KOP/PRJ/VII/2002
tanggal
10
Juli
2002
Pekerjaan
:
Pengadaan Helikopter jenis Mi-2 Merk PLC ROSTOV MIL RUSIA untuk pembda Propinsi Aceh Darussalam. 109. 1 (satu) lembar foto Copy yang telah dilegalisir oleh Sekda Provinsi NAD, yaitu Berita Acara Penyerahan untuk Sertifikasi Nomor : 01/BA/KOP/II/2003 tanggal 25 Pebruari 2003. 110. LOI No 553.3/23580 tanggal 28 Juni 2001. 111. Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter dari DPRD Aceh No.065/962 tanggal 12 Juni 2002. 112. Penetapan Penunjukkan Bendaharawan Proyek dan Pimpinan Proyek No. KU.954/155/2002, tanggal 18 Juni 2002. 113. Surat Gubernur NAD No.602/23393 tanggal 29 Juni 2002 perihal Rekomendasi Penunjukkan langsung.
114. Keputusan Gubernur NAD No.602.126.2002 tanggal 8 Juli 2002 tentang penunjukkan PT.PPM sebagai pelaksana pengadaan pesawat Helikopter Mi-21. 115. Saving Account Statement Periode Januari 2001 s/d Desember 2001 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492. 116. Saving Account Statement Periode Januari 2002 s/d Desember 2002 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492. 117. Saving Account Statement Periode Januari 2003 s/d Desember 2003 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492. 118. Saving Account Statement Periode Januari 2004 s/d Desember 2004 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492. 119. Berita Acara Serah Terima No.02/BA/KP/II/2003. Agar tetap dilampirkan dalam berkas perkara untuk dipergunakan dalam perkara lain, sedangkan : 120.
1 (satu) buku keputusan Bupati Aceh Barat tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Kegiatan dan Proyek Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA 2001.
121.
1
(satu)
lembar
asli
P.T.
Bank
BPD
Aceh
No.
CD.3958/AKT/06/2001 tanggal 17 Oktober 2001 ditujukan kepada Kasda Kabupaten Aceh Barat di Meulaboh yang ditandatangani oleh Pemimpin Cabang P.T. Bank BPD Aceh JOHAN ARIFIN, S.H. 122.
1 (satu) lembar asli pembukuan 1.3.4.002 tentang Peny. Uang DAKCN. 3958/AKT06/2001 tanggal 17 Oktober 2001 sebesar 1.995.000.000 (satu milyar sembilan ratus sembilan puluh lima juta rupiah)
123.
1 (satu) lembar asli warna hijau muda Surat Tanda Setoran sebesar Rp.1.995.000.000.-
124.
1 (satu) lembar asli buku Kas Umum Penerimaan dan pengeluaran TA 2001 halaman 528.
125.
Asli 1 (satu) buah buku Keputusan Bupati Pidie Nomor : 380 tahun 2001 tentang penjabaran Realisasi kegiatan /Pasal dan Proyek Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2001.
126.
Asli 1 (satu) buah buku Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kebupaten Pidie Tahun Anggaran 2001
127.
Asli 1 (satu) buah Buku Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Pidie Tahun Anggaran 2001.
128.
1 (satu) asli Potongan buku Kas Penerimaan Dan Pengeluaran tertanggal 27-10-2001 Halaman :543 # tahun anggaran 2001 yang ditandatangani oleh Kabag Keuangan Setda Pidie H.M. Djamil Gani, S.E., M.Si.
129.
1 (satu) lembar asli Nota Kredit Nomor : 166/08/DJ/IX/2001, Sigli
tanggal
04
Oktober
2001
dari
P.T.
BANK
PEMBANGUNAN DAERAH ISTIMEWA ACEH CABANG SIGLI, dengan nilai uang sejumlah Rp. 1.995.000.000,- (satu milyar sembilan ratus sembilan puluh lima juta rupiah). 130.
1 (satu) Bundel salinan (copy) Peraturan Bupati Aceh Selatan Nomor 10 tahun 2001 tentang Perubahan APBD TA 2001 beserta lampirannya.
131.
1 (satu) Bundel salinan (opy) Keputusan Bupati Aceh Selatan No.LU.913/567/ TA 2001 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan kegiatan dan Proyek perubahan APBD beserta lampirannya.
132.
1 (satu) lembar Surat perintah membayar uang No. : 00041.RT.2001 . Tapaktuan 03 Desember 2001 dengan nilai
uang sejumlah Rp.700.000.000,- ( tujuh ratus juta rupiah). Dengan kertas berwarna biru. 133.
1 (satu) lembar asli surat yang ditujukan kepada Kasda Kabupaten Aceh Selatan di Tapaktuan dengan jumlah uang Rp. 1.967.000.000,- ( satu milyar sembilan ratus enam puluh tujuh juta rupiah) dari P.T. Bank BPD Istimewa Aceh No. : 1388/901/2001 tanggal 03/10/2001.
134.
1 (satu) lembar foto copy sesuai dengan aslinya yang ditanda tangani oleh Sekda kabupaten Aceh Selatan Drs. H.T. Meurah Hasan, M.Si. buku Kas Penerimaan dan Pengeluaran Kabupaten Aceh Selatan TA 2001, hal. 677.
135.
1 (satu) asli Buku BIX Nomor : VIII (delapan) mulai halaman 653 s/d 748 TA 2001 (Buku Kas Umum Penerimaan dan Pengeluaran).
136.
1 (satu) lembar Nota kredit No221/Akt/2001 tanggal 5 Oktober 2001 yang telah dilegalisir.
137.
1 (satu) lembar asli koran (rekening giro) Bank Pembangunan Daerah
Nomor
1201002.5
atas
nama
KTR.
WALIKOTAMADYA SABANG periode : 01/10/2001 s/d 31/10/2001. 138.
1 (satu) lembar asli Surat Perintah Membayar Uang Nomor : 165/RT/2001 tanggal 31 Desember 2001 yang ditanda tangani oleh Kabag Keuangan Setda Sabang Sdr. Ramelan Janas, S.E., senilai Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah).
139.
1 (satu) buku Keputusan Walikota Sabang No. : 603 Tahun 2001 tentang Penjabaran Perhitungan Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2001
140.
1 (satu) asli buku keputusan walikota Sabang Nomor : 679/KEP/2001 tentang Penjabaran Perhitungan Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2001
Dikembalikan kepada orang dari siapa barang bukti tersebut disita. e. Menetapkan agar terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, M.Si, membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
5. Pembelaan terdakwa dan penasehat Hukum Nota pembelaan dari terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut ; a. Bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyidikan penyidikan dan penuntutan, terhadap perkara yang terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002 (saat Undang-Undang KPK) ditetapkan ; b. Bahwa dakwaan penuntut umum tidak terbukti; Nota pembelaan dari penasehat hukum terdakwa,yang pada pokoknya sebagai berikut; a. Menerima
pembelaan
dari
tim
penasehat
hukum
terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi,; b. Menyatakan dakwaan demikian juga akibat
hukumnya dengan
tuntutan pidana penuntut umum pada KPK tidak dapat diterima; c. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2),(3) Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 3 jo.Pasal 18 ayat (1)huruf a,b, ayat (2),(3), Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 jo. Pasal55 ayat (1) ke-i jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; d. Membebaskan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, dari setiap dan semua dakwaan; e. Mengembalikan dan merehabilitasi nama baik terdakwa pada harkat dan martabatnya semula; f. Membebankan biaya perkara terhadap negara.
6. Penerapan Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Menimbang,
bahwa
pada
Putusan
Sela
No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. tanggal 10 januari 2005 pada pertimbangan hukum pada poin 1, tentang penangguhan dengan alasan Preaiudideell Ceschill, di mana pada pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut: "Bahwa di situ pihak, perkara yang kita hadapi sekarang ini adalah perkara pidana yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi, dan di lain pihak perselisihan hukum (Pre-ludicieell Geschill) yang dijadikan alasan keberatan Terakwa dan Penasihat Hukumnya adalah bahwa objektum litis sebagai titik preajudicieell mengenai kewenangan KPK yang berlaku surut, masih dalam proses pemeriksaan (hak uji materil ) di Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Nomor register 069/PUU-ll/ 2004 tanggal 11 Nopember 2004, sedangkan pemeriksaan prosesual kewenangan KPK memiliki objectum litis yang sama pada proses persidangan perkara pidana terhadap Terdakwa sekarang ini."
"Bahwa dengan hal-hal yang mempertimbangkan di atas pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan sepanjang belum ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan lain." Menimbang, bahwa perkara No.069/PUU-ll/2004 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2005, di dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi, mempertimbangkan secara sistimatis kaitan Pasal 68, 72 dan Pasal 70 sebagai berikut: a. Pasal 72 Undang-Undang KPK yang berada di bawah judul Bab Ketentuaan Penutup, selengkapnya berbunyi: Undang-Undang ini berlaku pada tanggal diundangkan, tanggal pengundangan UndangUndangan dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut jelas bahwa Undang-Undang KPK berlaku kedepan (prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember 2002, artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang
a quo
diundangkan; b. Pasal 70 Undang-Undang KPK menyatakan bahwa " Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 ( satu ) tahun setelah Undang-Undang ini di undangkan ". Pasal ini adalah mengatur tentang saat KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenangnya yaitu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang a quo diundangkan.
Undang-Undang a quo
diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002 sekaligus berarti saat itu pulalah KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya; c. Pasal 68 Undang-Undang KPK, yang berada di bawah Bab ketentuaan Peralihan (Bab XI) menyatakan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses
hukumnya
belum
selesai
pada
saat
terbentuknya
Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 dan seterusnya; Menimbang, bahwa dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas yang menjadi pokok persoalan hukum yang harus dipertimbangkan dalam perkara ini a quo perkara Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si adalah: a. Apakah KPK mengambil alih proses hukum yang sebelumnya dilakukan oleh Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak; b. Kapan tempus delicti peristiwa pidana terjadi a quo Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si; Menimbang, bahwa pertama-tama kami akan pertimbangkan, apakah KPK telah mengambil alih proses hukum yang dilakukan sebelumnya oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak; Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Penyidikan oleh KPK No.BP/01 .Xl/ 2004/KPK tanggal 29 Nopember 2004, terlihat bahwa KPK melakukan
tindakan penyidikan berdasarkan laporan kejadian
Korupsi No.LKK/02/VI/2004/KPK tanggal 25 Juni 2004, yang dilaporkan oleh AKBP Yurod Saleh, Penyidik pada Sat Gas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan berdasarkan laporan tersebut KPK melakukan penyidikan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si., dengan dasar Surat Perintah Penyidikan No. Sprint-DIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004, dan selanjutnya dilakukan Penuntutan oleh KPK dengan melimpahkan perkara
ini
ke
Pengadilan
dengan
Surat
Dakwaan
No.01/TUT.KPK/XII/2004 yang terdaftar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada
Pengadilan
Negeri
No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST.
Jakarta
Pusat
dengan
Menimbang, bahwa Terdakwa dipersidangan juga menerangkan bahwa ia sebelumnya belum pernah diperiksa oleh Kepolisiaan atau Kejaksaan dalam perkara ini; Menimbang, bahwa di dalam berita acara penyidik tersebut juga tidak ditemukan Surat atau bukti lainnya, bahwa penyidik KPK melakukan proses a quo dalam perkara ini dengan cara pengambil alihan proses hukum yang belum selesai yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian atau Kejaksaan, yang juga berwenang melakukan proses hukum penyidikan tindak pidana korupsi, yang telah ada sebelum KPK terbentuk. Menimbang, bahwa dengan demikian KPK dalam perkara a quo, dalam melakukan proses hukum murni menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 6 c, dan bukan berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Menimbang bahwa berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum dan dikuatkan oleh saksi-saksi dan Terdakwa serta bukti surat, terbukti dari rentetan peristiwa tersebut tempus delictinya telah terjadi beberapa tindak pidana sejak Februari 2002 sampai 5 Nopember 2002 sebelum KPK terbentuk tanggal 27 Desember 2002; Menimbang, bahwa meskipun ada rentetan peristiwa pidana yang di dalamnya terdapat perbuatan melawan hukum yang juga terjadi setelah tanggal 27 Desember 2002, hal tersebut tidaklah dapat dipisah-pisahkan, karena sesuai dengan Dakwaan Penuntut Umum di mana Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut (lihat dakwaan baik Primair maupun subsidair); Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK murni melakukan proses hukum berdasarkan Pasal 6 c, bukan pengambilalihan proses hukum yang belum selesai berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 dan tempus delicti nya terjadi a quo perkara Ir. H.
Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (sebelum KPK terbentuk), maka kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berlaku ketentuan Pasal 70 jo. Pasal 72 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, di mana kewenangan KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002 (UndangUndang diundangkan). Artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diperlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi
setelah
Undang-Undang
dimaksud
diundangkan.
Secara
agumentum a contrario, Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a
quo
diundangkan,
kecuali
dalam
hal
penerapan
Pasal
68
(pengambilalihan hukum yang belum selesai) dan harus memenuhi ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002; Menimbang, bahwa sebab kami mempertimbangkan kewenangan KPK karena menurut salah satu asas KPK sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kepastian hukum, proporsionalitas dan demikian juga menurut penjelasan umum UndangUndang No. 30 tahun 2002 pada alinea VI, pengaturan kewenangan KPKdilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpangtindih kewenangan dengan berbagai instansi; Menimbang, bahwa adapun instansi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP adalah Polri, sedangkan Jaksa diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983; Menimbang, bahwa terhadap kewenangan (kompetensi) tersebut dipertimbangkan, karena menyangkut hukum acara dan hukum acara merupakan ketentuan hukum yang baku tidak dapat ditafsirkan lain, selain ditentukan dalam Undang-Undang tersebut; Menimbang, bahwa setiap Tersangka berhak diselidiki, dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh undue process, hak due
process dalam tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita Negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is supreme) yang menegaskan "kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang (government of law and not of men). Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supermasi hukum". Di dalam menangani tindak pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri di atas hukum (No one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fait manner). Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana sesuai dengan "persyaratan konstitusional" serta harus "menaati hukum". Due process tidak "membolehkan pelanggaran" terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih menegakkan bagian hukum lain. Menimbang bahwa penyelesaian Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan atas ketentuan dan procedure yang berlaku, menyandarkan diri "Rule of Law", bahwa penyimpangan Hukum Acara Pidana (Umum) masih harus bergerak dalam batas yang diakui oleh prinsip dalam Negara Hukum. Selanjutnya dalam symposium Tracee Baru pada tahun 1966 mengenai Indonesia Negara hukum, adanya 3 (tiga) ciri dari unsur utama dalam Negara hukum Indonesia, yaitu: a. Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia; b. Peradilan bebas dan tidak memihak; c. Legalitas dalam arti hukum baik formil maupun materiil; Menimbang, bahwa Oemar Senoadji, (2007:32) berpendapat suatu perUndang-Undangan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam aspek hukum Pidana materiil maupun Hukum Acara Pidana dalam Negara hukum Indonesia; berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila; tidak akan meninggalkan hak azasi manusia dan prinsip legalitas, yang dalam Negara hukum manapun dipandang sebagai
palladium dari kepastian hukum, apa lagi sistem Peradilan bebas, dari factor extra-judisiel dan dari paksaan ("compulsion") dan jauh dari tekanan, direktiva atau rekomendasi dari executive dan legislative; Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui fungsi Peradilan tidak lain dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth justice) atau menemukan keadilan menurut hukum (Legal Justice) yaitu suatu keadilan yang diwujudkan berdasarkan sistem hukum yang dianut (according to legal system), jadi suatu keadilan yang lahir dari proses peradilan sesuai dengan hukum acara yang berlaku (dueprocess); Menimbang, bahwa dengan demikian proses peradilan bukan sematamata menemukan keadilan moral (not moral justice) yang lepas dalam kaitan penyelesaian perkara ataupun sistem hukum yang dianut, maka keadilan diharapkan harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur kewenangan Majelis untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga proses penegakan hukum dilakukan secara professional dan proporsionalitas
sehingga
diharapkan
diperoleh
keadilan
yang
sebenarnya; Menimbang, bahwa Hakim adalah tangan keadilan, bukan algojo bagi sekedar nafsu hukum, tangan keadilan Hakim bukan saja untuk memuaskan khalayak ramai, atau korban, tetapi juga keadilan untuk pelaku dan keluarganya, rasa malu, tercoreng yang mungkin akan dikenang turun temurun merupakan faktor sosiologis yang harus dipertimbangkan. Keadilan Hakim adalalh keadilan Komprenhensif, bukan keadilan sesaat atau untuk kepentingan tertentu (Sambutan Ketua Mahkamah Agung R.I. pada pembukaan Rapat Kerja Nasional tanggal 27-30 September 2004 halaman 4 dan 5); Menimbang, bahwa Hakim dalam hal tertentu juga tidak kaku dalam menerapkan hukum hal ini terbukti dalam putusan sela, eksepsi lainnya
dari
Penasihat
Hukum
yang
lainnya
tidak
mendasar,
telah
dikesampingkan; Menimbang, bahwa karena tentang kewenangan suatu lembaga penegak hukum adalah kaitan dengan HAM, dan dalam hukum acara pidana merupakan hal yang mendasar suatu proses penegakan hukum; Menimbang, bahwa dengan adanya kewenangan KPK yang berlaku kedepan atau Prospective sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut dan juga uraian-uraian tersebut di atas di mana dalam penegakan hukum harus didasarkan hukum acara yang berlaku (due process), maka berarti KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan); Menimbang, bahwa oleh karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si., dengan demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa juga tidak sah; Demikianlah pendapat dari Hakim Ketua dan Hakim Anggota I yang berbeda pendapat dengan Hakim-Hakim Anggota lainnya dalam musyawarah untuk mengambil keputusan, dan pendapat ini merupakan satu kesatuan dengan putusan ini, sebagaimana yang dimaksud Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2002 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. Putusan Hakim
Berdasarkan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan yang berupa keterangan baik dari Terdakwa maupun dari saksi-saksi, maka Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut : MENGADILI a. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, MSi , terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi; b. Menjatuhkan
pidana
oleh
karenanya
terhadap
terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah), subsider 6 (enam) bulan kurungan; c. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 3.687.500.000,00 ( tiga milyar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), selambatlambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, subsider 1 (satu) tahun pidana penjara; d. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan; e. Memerintahkan barang-barang bukti berupa surat-surat dan berkasberkas sebagaimana tercantum dalam daftar bukti, dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk keperluan lain; f. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majeis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Hari: Senin, tanggal 20 Maret 2005 oleh kami: KRESNA MENON.,S.H.,M.Hum., sebagai Ketua Majelis, GUSRIAL, S.H., Drs.H.DUDU DUSWARA, S.H.,M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S..H., M.Hum., dan H.ACHMAD LINON, S.H., masing-
masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada Hari Senin, tanggal 11 April 2005, oleh Majelis Hakim tersebut, dengan didampingi oleh HADI SUKMA, S.H., DAN SUSILAWATI, S.H., sebagai Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh KHAIDIR RAMLI, S.H., YESSI ESMIRALDA, S.H. dan WISNU BAROTO, S.H., M.Hum., sebagai Penuntut Umum dan tanpa dihadiri Terdakwa dan Penasihat Hukumnya. 8. Pembahasan Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan suatu perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri atas tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah penuntutan, pembelaan, dan jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua mejelis menyatakan
“ pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan
inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan putusan yang akan diajukan pengadilan. Sebenarnya, dari tahap-tahap tingkat pemeriksaan tersebut yang paling ditunggu-tunggu ialah keluarnya putusan hakim. Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UndangUndang. Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP. Untuk menentukan suatu putusan perlu diadakan musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam musyawarah tersebut didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua
majelis memberi kesempatan kepada setiap anggota majelis untuk memberikan pendapat disertai dengan alasannya
dan yang memberi
pendapat terakhir ialah ketua majelis (Pasal 182 ayat 5 KUHAP). Pada asasnya putusan yang dikeluarkan majelis hakim tersebut merupakan hasil permufakatan bulat. Namun, apabila setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai kesepakatan, maka berlaku ketentuan bahwa putusan yang diambil merupakan putusan yang diambil dengan suara terbanyak, jika suara terbanyak tidak juga dapat terpenuhi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Pasal 182 ayat 6 KUHAP ). Apabila putusan diambil seperti ketentuan dalam ayat (6) tersebut, maka dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Dikaitkan
dengan munculnya pranata dissenting opinion , di
dalam KUHAP belum mengaturnya, karena pranata tersebut belum lama dikenal di Indonesia dan belum banyak diterapkan dalam peradilan di Indonesia. Pasal 182 Ayat (6) KUHAP, Hukum Acara (Pidana) Indonesia masih mengandalkan sistem tertutup dan rahasia berdasarkan pendekatan konservatif. Adanya suatu putusan harus dilandasi suatu permufakatan bulat, kecuali apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan bulat tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dengan tetap memperhatikan prinsip In Dubio Proreo (yang paling menguntungkan terdakwa), bahkan penjelasan Pasal tersebut menegaskan bahwa dissenting opinion tersebut dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Seolah, dissenting opinion yang terbuka dianggap hal yang tabu saja(Indriyanto seNo Adji, 2001). Dengan diaturnya dissenting opinion oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka hakim
menjadi lebih
berani dalam menerapkan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan.. Kasus korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Abdulah Puteh, merupakan salah satu contoh penerapan disseneting opinion. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa terdakwa Abdulah Puteh bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh ) Tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), subsider 6 (enam ) bulan kurungan. Majelis hakim terdiri dari 5 orang, yaitu 1 orang hakim ketua dan 4 orang hakim anggota. Adanya dissenting opinion dalam pemeriksaan perkara korupsi pengadaan Helikopter tersebut, bisa diketahui dari adanya perbedaan pendapat dari 2 orang hakim, yaitu Hakim ketua dan
Hakim anggota I. Perbedaan
pendapat tersebut terjadi dalam musyawarah untuk mengambil keputusan. Perbedaan pendapat tersebut merupakan satu kesatuan dengan keputusan sebagai mana yang dimaksud Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 30 ayat (4) UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Hakim Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I GUSRIAL, berpendapat bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan atau Prospective.
Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan
Mahkamah Konstitusi. Kresna Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan).
Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si..
Dengan
demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah. Praktek
pengadilan
yang
melarang
hakim
mengeluarkan
dissenting opinion dapat pula diketahui dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Dalam Buku II tersebut diatur bahwa dalam hal dua pendapat yang sama, hakim yang kalah suara seyogyanya menerima pendapat tersebut. Selanjutnya, diatur bahwa hakim yang kalah suara dapat menuliskan pendapatnya dalam sebuah buku ( catatan hakim) khusus yang dikelola oleh ketua pengadilan negeri dan bersifat rahasia. Meskipun ketentuan itu bukan paksaan, tetapi hanya sebatas anjuran, anggota majelis hakim tetap terikat dengan ketentuan Mahkamah Agung. Menurut Pasal 19 ayat 3 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
sebelum
hakim
mengambil
keputusan
akan
diadakan
musyawarah hakim terlebih dahulu dimana musyawarah tersebut bersifat rahasia. Musyawarah tersebut harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pemeriksaan di pengadilan. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. Pertimbangan atau pendapat tertulis hakim tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 19 ayat 4 UU No. 4 Tahun 2004). Pencantuman dasar dan pertimbangan hukum dalam sebuah putusan sangatlah penting, karena tanpa adanya suatu dasar dan pertimbangan hukum maka dapat menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.
Praktek peradilan di Indonesia menentukan asas pemeriksaan dan memutus perkara dengan hakim majelis, kecuali undang-undang menentukan lain. Terhadap perkara pidana pada umumnya majelis terdiri dari tiga orang atau lima orang hakim yang dipimpin satu orang hakim sebagai ketua majelis dan hakim lainnya sebagai anggota majelis. Pemeriksaan dan putusan oleh hakim tunggal hanya berlaku untuk perkara tindak pidana anak, tindak pidana ringan, dan pra peradilan atau dapat juga dilakukan setelah mendapat izin Ketua Mahkamah Agung (Penetapan Ketua Mahkamah Agung) karena alasan kekurangan hakim. Penerapan sistem majelis dalam memeriksa dan memutus perkara pidana
mempunyai
kemungkinan
beberapa
seorang
hakim
kelemahan, tidak
salah
mendalami
satunya suatu
ialah
ada
perkara
dan
menyerahkan tanggung jawab tersebut pada hakim yang lainnya. Dengan begitu, putusan yang diambil hanya didasarkan pada pendapat anggota yang ditugasi mendalami perkara atau pada hakim yang rajin mendalami perkara tersebut. Potensi kelemahan ini makin besar ketika ada ketua majelis hakim yang menyerahkan tanggungjawab tersebut pada anggota majelis. Pasal 19 ayat 4 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan menyebutkan bahwa setiap hakim wajib untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang ia periksa dan pertimbangan tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam putusan. Hal ini menandakan bahwa setiap hakim baik berkedudukan sebagai ketua majelis maupun sebagai anggota majelis diwajibkan untuk mendalami suatu perkara dengan sungguhsungguh dan tidak boleh bergantung pada hakim yang lain. Adanya kewajiban bagi setiap hakim yang menyidangkan perkara untuk memberikan pertimbangan dan pendapat tertulis mengakibatkan majelis hakim tersebut mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Dengan keadaaan seperti itu, ada kemungkinan pendapat para hakim sama diantara satu dengan yang
lain. Namun, ada juga kemungkinan hakim saling berbeda pendapat (dissenting opinion) satu dengan yang lain. Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005: 111). Dengan demikian Esensi dari suatu dissenting opinion adalah penolakan anggota majelis (minoritas) terhadap putusan (yang telah disepakati mayoritas). Ada beberapa kemungkinan terjadinya dissenting opinion yang pertama ialah perbedaan mulai dari dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan hal ini terjadi ketika ada hakim yang dalam dasar pertimbangan dan bentuk putusan yang ia keluarkan berbeda dengan hakim yang lain., kedua perbedaan pada dasar-dasar pertimbangan tetapi tidak ada perbedaan pada putusan, ketiga ialah ada persamaan-persamaan pertimbangan tetapi berbeda putusan (Bagir Manan, 2006: 14). B. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ada perbedaan pendapat di antara lima anggota majelis hakim. Dua hakim anggota yaitu, KRESNA MENON.,S.H.,M.Hum., sebagai Ketua Majelis dan GUSRIAL, S.H., sebagai hakim anggota I berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Sebaliknya tiga hakim anggota lainnya, yaitu Drs.H.DUDU DUSWARA, S.H.,M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S..H., M.Hum., dan H.ACHMAD LINON, S.H tidak berpendapat seperti itu.
Implikasi dari adanya perbedaan pendapat diantara lima hakim yang memeriksa perkara korupsi pengadaan Helikopter terhadap putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa Abdullah Puteh adalah bahwa putusan didasarkan kepada suara terbanyak. Dengan demikian putusan ditentukan berdasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis hakim. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa diantara lima anggota majelis hakim yang memeriksa perkara korupsi Abdullah Puteh, hanya dua orang hakim anggota yang menyatakan perbedaan pendapat, sedangkan tiga orang hakim anggota lainnya sepakat. Ratio antara jumlah hakim yang berbeda pendapat dengan hakim yang sepakat adalah dua berbanding tiga. Dengan demikian tiga suara hakim anggota merupakan mayoritas. Dengan suara mayoritas ini, maka terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis hakim merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali apabila telah diusahakan dengan sungguhsungguh tidak juga dicapai kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila suara terbanyak tidak juga diperoleh maka putusan yang diambil adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Untuk pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan, hal tersebut tersurat dalam Pasal 19 ayat (5) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dengan
demikian,
dapat
diketahui
proses
pengambilan putusan tersebut, apakah merupakan permufakatan bulat atau ada hakim yang berbeda pendapat. Dengan berlakunya prinsip dissent, maka setiap anggota majelis mampu menjelaskan dan mengambil peranan aktif, dengan mengajukan keberatan atau argumentasinya terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian, keputusan yang diambil bukanlah keputusan kompromistis, tetapi suatu
putusan yang memiliki keragaman pemikiran dan kebenaran. Meskipun keberatan dan argumentasi dari minoritas anggota majelis hakim itu tidak akan mempengaruhi putusan yang telah diambil oleh majelis hakim mayoritas dengan suara terbanyak(pontang Moerad, 2005,112) Adanya pranata dissenting opinion atau pencantuman perbedaan pendapat diantara majelis dalam pengambilan putusan sehingga ada hakim minoritas yang menolak putusan hakim mayoritas dan dimuat dalam putusan membuat masyarakat dapat menilai kemampuan dan kredibilitas seorang hakim. Hakim yang berani mempertahankan pendapatnya walaupun berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum menunjukkan bahwa hakim tersebut sungguh-sungguh dalam mendalami suatu perkara. Hakim tersebut pasti mempunyai dasar yang kuat didalam pertimbangannya sehingga ia tetap mempertahankan pendapatnya tersebut. Walaupun, harus disadari bahwa pendapat hakim yang berbeda tidak menentukan benar tidaknya pendapat tersebut, tetapi obyektivitas pendapat tersebut diserahkan kepada publik, baik kalangan akademis, praktisi maupun justiabelen melalui cara eksaminasi terhadap putusan hakim. Putusan yang dibuat oleh hakim berdasarkan obyektivitas perkara yang dihadapinya, maka hakim dalam hal ini tidak merasakan suatu kekhawatiran dari segala impact maupun efek putusan yang dibuatnya, karena ia dapat mempertanggungjawabkannya
berdasarkan
integritas,
kejujuran,
dan
kapabelitas yang melekat pada dirinya (Indriyanto Seno Adji dalam Subagio Gigih Wijaya, 2007: 1). Menurut Subagio Gigih Wijaya (2007, 49), sebenarnya kebijakan internal lembaga peradilan sudah sejak lama membolehkan seorang hakim untuk menyatakan perbedaan pemikirannya dengan pemikiran mayoritas hakim dalam suatu putusan. Perbedaannya, dahulu perbedaan tersebut tidak diumumkan atau dilampirkan dalam putusannya, namun hanya disimpan sebagai catatan (guna keperluan evaluasi kinerja hakim) di buku khusus yang
disimpan ketua pengadilan. Permasalahannya, sangat sedikit hakim yang mau atau berani menggunakan hak tersebut.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan 2 (dua) simpulan sebagai berikut : 1. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka
berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah. 2. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh adalah bahwa putusan didasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis hakim. Mayoritas suara hakim, yaitu sejumlah tiga orang hakim anggota berpendapat bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap 80 perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. Abdullah Puteh. Dengan adanya suara mayoritas tersebut, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum. B. Saran 1. Hakim sejogianya lebih berhati-hati, cermat dan bijaksana dalam mempergunakan pranata dissenting opinion, agar didapat putusan yang adil bagi semua pihak 2.
Proses musyawarah untuk pengambilan putusan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak ada kesan ditutup-tutupi.
3.
Ketentuan mengenai dissenting opinion perlu diatur lebih tegas dan terperinci dalam perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1985 . Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta :Galia Indonesia. Bagir Manan. 2006. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI Darwan Prinst . 2002 . Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Evi Hartanti . 2006 . Tindak Pidana Korupsi . Jakarta : Sinar Grafika . Harun M.Husein . 1991 . Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana . Jakarta :PT.Rineka Cipta. HB. Sutopo .1999 . Metode Penelitian Kualitatif . Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. __________. 2002 . Metode Penelitian Kualitataf (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian. Klitgaard Robert . 2001 . Membasmi Korupsi . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia M. Dawam Rahardjo . 1999 . Menyikapi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme . Yogyakarta : Aditya Media . Moch. Faisal Salam, 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar Maju. Martiman Prodjohamidjojo . 1978 . Kekuasaan Kejaksaan dan Penuntutan . Bandung : Alumni.
______________________. 2001 . Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi . Bandung : CV. Mandar Maju. Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Bandung: PT.Alumni Soerjono Soekanto . 1984 . Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta : Universitas Indonesia Press . Soenarto Soeryodibroto, 2003. KUHP & KUHAP. Rajawali Pers Subagio Gigih Wijaya, 2007, Pranata Dissenting Opinion Sebagai Instrumen Meningkatkan Tanggung Jawab Individual Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Ditinjau Dari Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Winarno Surakhmad . 1982 . Pengantar Penelitian Ilmiah . Yogyakarta : Transito. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktis dan Masalahnya).Bandung : PT Alumni . Yahya Harahap, 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan Nomor : 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst . .