1
PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN KABUPATEN ACEH TIMUR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH, AKSESIBILITAS, DAN PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN
TEUKU ISKANDAR MIRZA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan Membukakan jalan keluar baginya dan Dia Memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya. Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan Mencukupkan keperluannya. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia Menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan Menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan Melipatgandakan pahala baginya. Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan Memberi petunjuk kepada hatinya dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Qur’an: Ath- Thalaq 2-11)
Yang mulia: H. Teuku Banta Ridy – Hj. Sitti Hadjar Teuku Alamsyah – Cut Rukiah Yang tercinta: Cut Rukmanita (Icut) Sebuah persembahan untuk ananda tersayang : Teuku Adfdhalul Jihad Mirza (Apon) Teuku Ikrar Daffa Mirza (Dek Pon) Cut Tadzkia Amalia Mirza (Acut) Semoga semangat ananda terus terpacu untuk meraih ilmu yang bermamfaat untuk kehidupan dunia yang fana dan akhirat yang abadi
3
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2006
TEUKU ISKANDAR MIRZA NRP A253050344
4
ABSTRAK TEUKU ISKANDAR MIRZA. Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan. Dibimbing oleh: ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN. Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk merumuskan kebijakan pembangunan dan memanfaatkan sumbersumber potensi daerah secara lebih mandiri. Pada sisi yang lain, kebijakan otonomi daerah memicu eforia tuntutan pembentukan wilayah-wilayah administratif baru. Sayangnya, pemekaran wilayah tersebut tanpa didasari oleh pertimbangan memadai, sehingga mengakibatkan munculnya masalah-masalah baru, mulai dari masalah keuangan sampai kepada pengalokasian ruang secara spasial yang dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan wilayah. Banyak daerah, selama bertahun-tahun sejak pemekaran, belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif, seperti Kabupaten Aceh Timur di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas & keberadaan kota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di Kabupaten Aceh Timur, (2) menentukan lokasi yang optimal untuk pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan, dan (3) menggali persepsi dari pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer. Data sekunder bersumber dari data Podes Tahun 2006 dan publikasi Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) analisis skalogram, (2) location-allocation models spatial interaction analysis (p-median problem), (3) analytical hierarchy process (AHP), (4) actor-oriented analysis, dan (5) analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kecamatan-kecamatan yang berhirarki tinggi dengan kota-kota menengah adalah kecamatan yang dilintasi oleh jalan nasional atau trans Sumatera, sedangkan yang jauh dari jalan nasional berada pada hirarki rendah. (2) Pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Timur dapat dikembangkan dengan konsep wilayah nodal, yaitu Idi sebagai pusat pelayanan hirarki I yang akan melayani seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur, Peureulak dan Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki II yang akan melayani wilayah timur dan barat Kabupaten Aceh Timur. (3) Idi adalah lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus secepatnya berupaya untuk menuntaskan masalah lokasi pusat pemerintahannya, sehingga akselerasi pembangunan wilayah dapat segera dipacu, terutama dalam mengembangkan kapasitas pelayanan publik serta pembangunan sarana dan prasarana umum yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
6
PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN KABUPATEN ACEH TIMUR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH, AKSESIBILITAS, DAN PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN
TEUKU ISKANDAR MIRZA
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
7
Judul Tesis
Nama NRP
: Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan : Teuku Iskandar Mirza : A253050344
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 8 Nopember 2006
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Agustus 2006 ini adalah kajian dalam penentuan lokasi suatu aktivitas atau penempatan fasilitas pelayanan. Untuk itu, tesis ini diberi judul Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan. Sebagai salah seorang putra daerah Kabupaten Aceh Timur, berbekal pendidikan yang diperoleh, penulis merasa bertanggungjawab untuk memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan daerah. Semoga bermanfaat tentunya. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai pembimbing. 2. Staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 3. Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan. 4. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan izin belajar. 5. Inspektur Aceh Timur yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar. 6. Teman-teman mahasiswa PS-PWL Angkatan 2005. 7. Semua pihak yang berperan dan proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih tak terhingga kepada orang tua, isteri, dan anak-anak tercinta atas doa-doanya serta sabar berjauhan di Langsa menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada. Tak ada gading yang tak retak, mohon maaf apabila terdapat kekhilafan dalam tesis ini, baik dalam pemaknaan substansi maupun ekspresi penulisan. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bogor, Desember 2006
Teuku Iskandar Mirza
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Idi, Kabupaten Aceh Timur pada tanggal 8 Juni 1966 dari Ayah yang bernama H. Teuku Banta Ridy dan Ibu yang bernama Hj. Sitti Hadjar. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara. Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri Idi dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, sempat non aktif selama 3 tahun dan lulus tahun 1991. Tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Selesai S-1, penulis bekerja di konsultan perencana di Banda Aceh dan bersama beberapa teman mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan luar sekolah Best Education Center (BEC) dan lembaga keuangan syariah Baitul Maal wat Tamwil Harapan Ummat (BMT HARUM) yang masih berjalan hingga saat ini di Idi. Tahun 1996, penulis menjadi PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Karir sebagai PNS dimulai dengan menjadi staf di Bagian Lingkungan Hidup sampai tahun 1999. Kemudian, sebagai Kasubsi Industri Kimia Dasar pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan sampai tahun 2001, sebagai Kasi Pengembangan Sumberdaya pada Dinas Pertambangan Energi sampai tahun 2004, dan tahun 2005, saat menempuh pendidikan ini, tercatat sebagai staf pada Inspektorat.
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
vi vii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. Perumusan Masalah ........................................................................................ Tujuan Penelitian ............................................................................................. Manfaat Penelitian .......................................................................................
1 3 6 7
TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan ..................................... ........... Konsep Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah ..................................... Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ................................................ Kota dalam Perspektif Pengembangan Wilayah .....................................…….. Teori Tempat Sentral ......................................................................................... Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan .............................................................. Hirarki Pusat Aktivitas ....................................................................................... Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas ................................................................... Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models .......................... Persepsi ..............................................................................................................
9 10 12 18 20 22 27 32 33 37
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran ......................................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………………. Metode Pengumpulan Data ……………………………………………….. Metode Analisis ...............………………………………………………… Analisis Skalogram ...................................................................................... Spatial Interaction Analysis Location-allocation Model ............................ Analytical Hierarchy Process (AHP) .......................................................... Analisis Deskriptif ....................................................................................... Actor-oriented Analysis .............................................................................. Matrik dan Kerangka Analisis Penelitian ....................……………………….
41 46 46 48 48 52 57 60 60 62
KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak dan Potensi Geografis …………………………………………………. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ………. ……………………. Masa Kolonial Belanda ...............................................................................
64 65 65
11
Masa Fasisme Jepang .................................................................................. Masa Kemerdekaan RI ................................................................................ Geologi dan Jenis Tanah ................. …………………………………………. Topografi .......................................................................................................... Klimatologi ....................................................................................................... Hidrologi ........................................................................................................... Kependudukan .................................................................................................. Garis Besar Kebijakan Pembangunan ............................................................... Ikhtisar ..............................................................................................................
67 67 69 69 70 70 70 72 74
HIRARKI WILAYAH Hirarki Pusat Aktifitas dan Keberadaan Kota Kecil dan Menengah................. Interaksi Spasial Kota Kecamatan dengan Pusat Aktifitas Wilayah ................ Pola Spasial Hirarki Pusat Aktifitas dengan Prasarana Jalan............................ Ikhtisar ..............................................................................................................
76 81 82 89
PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN Pusat Pemerintahan ........................................................................................... Pusat-pusat Pelayanan ....................................................................................... Jangkauan Pusat-Pusat Pelayanan ............................................................... Fungsi Pusat-Pusat Pelayanan ..................................................................... Ikhtisar ..............................................................................................................
91 100 105 111 113
PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN Persepsi Pengambil Kebijakan .......................................................................... Eksekutif ..................................................................................................... Legislatif ..................................................................................................... Persepsi Masyarakat ......................................................................................... Akademis .................................................................................................... Dunia Usaha ................................................................................................ Masyarakat Umum ...................................................................................... Interpretasi Hasil Wawancara ........................................................................... Persepsi Kriteria Pusat Pemerintahan ............................................................... Ikhtisar ..............................................................................................................
114 115 117 119 120 121 122 123 127 129
IMPLIKASI KEBIJAKAN Analisis Hirarki Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Stakeholders dalam Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur........... 130 Interpretasi Kronologis Penentuan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ....................................................................................................... 133 Tahapan yang Disarankan dalam Penentuan Pusat Pemerintahan ................... 141
12
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .......................................................................................................... 145 Saran ................................................................................................................. 146 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 147 LAMPIRAN ........................................................................................................... 151
13
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar data kependudukan dan jenis sarana-prasarana yang dianalisis ............
47
2
Skalogram Kabupaten X ..................................................................................
50
3
Masalah, tujuan, metode analisis, data, dan sumber data .................................
62
4
Luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan menurut kecamatan di Kabupaten Aceh Timur tahun 2004 ...................................................................................
68
Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana... ...................................................................................
78
Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ................................................................................
79
Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan........................................................................................
80
5 6 7 8
Rencana orientasi dan jangkauan pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur ...................................................................................................... 107
9
Rencana fungsi pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur .................. 112
10 Tabulasi hasil analisis penentuan pusat pemerintahan ..................................... 131
14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka klasifikasi konsep wilayah ...............................................................
16
2
Hubungan location-allocation models dengan penentuan lokasi penempatan fasilitas .........................................................................................
37
3
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.........................................................
45
4
Kerangka analisis penelitian .............................................................................
63
5
Peta administrasi Kabupaten Aceh Timur ........................................................
64
6
Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana ..................................
84
Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ............................
85
7 8
Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan ................................. 86
9
Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana .................................. ..................... 93
10 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ............................ ..................... 94 11 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan ............................... ..................... 95 12 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan bobot yang disamakan ........ .................................. .....................
96
13 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas sumberdaya wilayah (regional resources) .........................
97
14 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas perekonomian wilayah (regional economic resources).......
98
15 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis ..........................................................
98
16 Hasil AHP uji sensitifitas alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur......................................................................................
98
17 Lokasi pusat pemerintahan/ibukota Kabupaten Aceh Timur.............................
99
18 Hasil AHP lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap sejarah status administrasi wilayah ................................................................... 100 19 Lokasi optimal pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ................................. 104 20 Lokasi optimal pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan kapasitas pelayanan ....................................................... 104
15
21 Lokasi kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang dikembangkan menjadi pusat pelayanan dalam konsep wilayah nodal .................................... 108 22 Peureulak sebagai pusat pelayanan hirarki II dengan 8 kecamatan hinterland-nya ................................................................................................... 119 23 Idi sebagai pusat pelayanan hirarki I dengan 8 kecamatan hinterland-nya....... 110 24 Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki II dengan 4 kecamatan hinterland-nya ............................................................................. 111 25 Hasil analisis dan struktur AHP penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ..................................................................................... 128
16
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis skalogram berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana, indeks perkembangan, dan kapasitas pelayanan kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur ...................................................................................................... 151
2
Jarak tempuh antar ibukota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur (Km)........ 155
3
Struktur AHP penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ........... 156
4
Kuesioner AHP penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur .......
157
17
PENDAHULUAN Latar Belakang Perhatian
terhadap
masalah-masalah
yang
terjadi
dalam
proses
pembangunan terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan, memberikan pelajaran yang penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengkaji lebih dalam terhadap perencanaan pembangunan yang tepat untuk dilaksanakan di suatu wilayah. Setelah reformasi pada tahun 1998, daerah-daerah yang terus berjuang untuk otonomi daerah dan desentralisasi yang luas mendapat angin segar. Perjuangan daerah terakomodir dan terwujud dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juncto UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai dasar hukum desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi daerah memberi dampak positif terhadap pengembangan wilayah, jika kebijakan pengembangan wilayah disesuaikan dengan kondisi daerah dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang seluas- luasnya kepada daerah, diharapkan dapat mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan pub lik di daerah, dan pada gilirannya diharapkan dapat tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Disadari atau tidak, baik secara internalitas maupun eksternalitas, kebijakan desentralisasi dan otonomi memiliki konsekuensi logis bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang harus dijawab dengan tindakan nyata sebagai bentuk kebijakan yang dapat meningkatkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan
18
pembangunan. Oleh karena itu, dalam menyusun strategi kebijakan pembangunan harus dilandasi dengan pemahaman yang baik terhadap kondisi wilayah. Pada sisi yang lain, kebijakan otonomi daerah memicu eforia tuntutan pembentukan wilayah-wilayah administratif baru dari pemekaran wilayah administratif sebelumnya. Kecenderungan pemekaran wilayah ini mulai dari Sabang sampai Merauke, dari hirarki pada tingkat provinsi hingga ke tingkat desa/kelurahan. Sayangnya, pemekaran wilayah tersebut tanpa didasari oleh pertimbangan yang memadai, namun cenderung emosional dan hanya bersifat politis untuk kepentingan elit-elit politik di wilayah tersebut. Hal ini mengakibatkan munculnya masalah- masalah baru yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, mulai dari masalah keuangan sampai kepada pengalokasian ruang secara spasial yang dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan banyak wilayah selama bertahun-tahun sejak pemekaran hingga saat ini belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif. Dalam konteks tersebut di atas, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Langsa dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang, maka Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten induk dimekarkan menjadi 2 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kota Langsa. Pemekaran wilayah secara administratif ini memberi konsekuensi kepada ketiga wilayah tersebut untuk menentukan pusat pemerintahan baru dan mengembangkan
pusat-pusat
pelayanan
baru.
Namun
pada
kenyataan,
implementasinya tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan menimbulkan implikasi sosial dan politik yang sukar untuk diselesaikan. Implikasi tersebut menjadi polemik yang dapat memicu konflik horizontal yang tak berkesudahan, malah pada kondisi tertentu menjadi dilema bagi pemerintah daerah dalam menentukan pusat pemerintahannya. Polemik penentuan pusat pemerintahan dapat dilihat dari isu atau berita yang muncul di berbagai mass media dan aksi-aksi demontrasi dari yang damai sampai anarkis. Di bawah ini, contoh beberapa judul berita yang dimuat di koran-koran
19
daerah yang dapat menggambarkan polemik penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur pasca pemekaran. 1. Harian RAJA POS tanggal 29 Juni 2006: Ibukota Kabupaten Aceh Timur Belum Ditetapkan. 2. Harian SERAMBI INDONESIA tanggal 30 Juni 2006: Soal Ibukota Wakil Ketua DPRD “Jangan Salah Minum Obat”. 3. Harian WASPADA tanggal 30 Juni 2006: Reaksi Keras Penentuan Lokasi Pusat Ibukota Aceh Timur. 4. Harian SERAMBI INDONESIA tanggal 2 Juli 2006: Penempatan Pusat Pemerintahan Aceh Timur Jangan Direkayasa. 5. Harian BINTANG SUMATRA tanggal 3 Juli 2006: Penetapan Lokasi Pusat Ibukota Aceh Timur Dapat Reaksi Keras. 6. Harian WASPADA tanggal 3 Juli 2006: Gelinding Bola Panas Dari Penentuan Pusat Pemerintahan Aceh Timur. 7. Harian WASPADA tanggal 3 Juli 2006: Soal Penetapan Ibukota Makin Panas, Aceh Timur Terancam Belah. 8. Harian MEULIGOE tanggal 3-9 Juli 2006: Rencana Pusat Ibukota Masih Tarik Menarik, Aceh Timur Masih Dikendalikan Dari Jarak Jauh. 9. Harian RAKYAT ACEH tanggal 4 Juli 2006: Anggota Dewan Saling Tuding Soal Penetapan Pusat Pemerintahan Aceh Timur. 10. Harian BINTANG SUMATRA tanggal 4 Juli 2006: Pusat Kota Pemerintah Aceh Timur PR Bagi Anggota DPRD. 11. Harian WASPADA tanggal 6 Juli 2006: Rencana Pembangunan Ibukota Aceh Timur Mengambang. Menanggapi isu tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus segera mengambil inisiatif agar proses pene ntuan pusat pemerintahannya mengarah kepada kepastian dan kejelasan, jangan sampai mundur ke arah ketidakpastian dan ketidakjelasan yang tentunya akan mengecewakan semua pihak.
20
Perumusan Masalah Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk merumuskan kebijakan pembangunan dan memanfaatkan sumbersumber potensi daerah secara lebih mandiri. Namun demikian, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan daerah harus berpedoman pada grand design kebijakan pembangunan nasional yang secara eksplisit telah dirumuskan dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 3, bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah Pemahaman yang mendalam terhadap karakteritik dan potensi yang dimiliki suatu daerah, merupakan hal yang penting dalam merumuskan strategi pembangunan yang akan dikeluarkan, dengan harapan agar competitive advantage tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kemajuan suatu daerah. Masalah pengembangan wilayah (regional development) oleh sementara ahli dianggap sebagai masalah yang ditimbulkan oleh adanya fenomena regional inequality, yaitu adanya perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat kemakmuran. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya dikotomi di dalam manifestasi interaksi spasial antara daerah perkotaan yang modern, dinamis, dan inovatif dengan daerah perdesaan yang tradisional, statis, konservatif, dan terbelakang. Di dalam proses pengembangan wilayah dikenal adanya tiga kaidah utama, yaitu: 1. Pengembangan wilayah merupakan fungsi dari seberapa efektifnya kegiatan usaha export base wilayah yang bersangkutan. 2. Pengembangan wilayah menuntut mobilisasi kegiatan usaha pemerintah dan
masyarakat
untuk
mengambil
bagian
dalam
kesempatan
pembangunan (development opportunities) yang muncul. 3. Pengembangan wilayah berlangsung di dalam kerangka kesatuan sistem Dalam hubungan ketiga kaidah tersebut, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi dalam kerangka kesatuan sistem spasial yang dikenal dengan
21
sebutan ekonomi spasial dan merupakan aspek yang sangat penting, namun sering terabaikan dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional. Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan yang sangat bersifat sektoral dengan tidak atau kurang memperhatikan faktor lokasi dan bagaimana penjalaran pertumbuhan pada suatu lokasi terhadap wilayah sekitarnya, tindakan yang mengabaikan dimensi spasial dalam pembangunan ekonomi serta menitikberatkan pada sasaran jangka pendek daripada tujuan jangka panjang, semakin mempertajam dikotomi kesenjangan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan. Menurut Hanafiah (1988), salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek spasial adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan atau growth centers. Konsep growth centers ini didasarkan pada dua hipotesa dasar, yaitu: 1. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai titik optimalnya pada sejumlah pusat-pusat tertentu. 2. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi akan menyebar dari pusatpusat pertumbuhan ini secara nasional melalui hirarki kota-kota pertumbuhan utama seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar, dan secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centers) ke wilayah hinterland masing- masing. Dalam kondisi apapun dan dimanapun, pemerintah mempunyai peranan yang besar dalam pemilihan suatu lokasi
untuk pembangunan
pusat
pemerintahan dan pelayanan, karena pembangunan pusat pemerintahan dan pelayanan di suatu wilayah akan mendorong wilayah tersebut menjadi pusat pertumbuhan. Kabupaten Aceh Timur yang sebelumnya beribukota La ngsa, seharusnya sudah memiliki pusat pemerintahan yang baru dan representatif, karena Langsa telah menjadi pusat pemerintahan Kota Langsa. Kabupaten Aceh Tamiang telah menetapkan Karang Baru sebagai pusat pemerintahan dan Kuala Simpang sebagai pusat pelayanan kegiatan perekonomian. Kabupaten Aceh Timur sampai sekarang belum memiliki pusat pemerintahan yang definitif dan masih menumpang di Kota Langsa, hal ini memberikan presedent buruk dalam pelayanan masyarakat.
22
Sampai saat ini Langsa masih merupakan pus at pemerintahan dan pusat pelayanan Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, hal ini terlihat dengan keberadaan Pendopo Bupati, Balaikota, Sekretariat Daerah Kabupaten, Sekretariat Daerah Kota, serta kantor-kantor instansi pemerintah lainnya terletak dalam wilayah administrasi yang sama. Selain itu, Langsa juga dijadikan sebagai pusat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi dengan menjadi pusat perdagangan, seperti pendirian pasar-pasar dan komplek pertokoan serta lembaga keuangan dan sektor jasa lainnya. Seyogyanya, Kabupaten Aceh Timur harus sesegera mungkin
memindahkan pusat pemerintahannya dari Langsa,
desakan ini semakin menguat pasca penandatanganan Nota Kesepahaman antara RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Akibat merangkapnya kedua pusat pemerintahan, salah satu fenomena yang terjadi, yaitu overlapping kewenangan di wilayah Kota Langsa. Overlapping kewenangan antara Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dan Pemerintah Kota Langsa sangat dirasakan dalam penyediaan dan pengelolaan prasarana pembangunan dan fasilitas umum serta pelayanan publik. Fenomena ini perlu disoroti karena dikhawatirkan menimbulkan inefisiensi dan konflik kepentingan pada kegiatan pemerintahan, terutama pada sektor pelayanan publik di kedua wilayah tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, perumusan masalah tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur hirarki kota-kota kecil menengah di wilayah Kabupaten Aceh Timur? 2. Dimanakah lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan? 3. Bagaimanakah
persepsi
pengambil
kebijakan
dan
komponen
masyarakat lainnya terhadap penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur?
23
Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran di atas, maka dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan untuk menjawab sejumlah permasalahan penting seputar penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan yang terkait dengan perspektif pengembangan wilayah. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas & keberadaan kota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di Kabupaten Aceh Timur. b. Menentukan lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan. c. Menggali persepsi dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penentuan pusat pemerintahan dan pelayanannya. b. Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) dalam perumusan kebijakan pengembangan dan pembangunan wilayah, terutama yang berhubungan dengan penentuan lokasi suatu aktivitas. c. Sebagai bahan rujukan dan rekomendasi bagi komponen masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah dan DPRD; d. Sebagai salah satu bahan pembanding dan kajian bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya. Betapapun sukarnya menentukan lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan, baik secara teknis maupun politis, pemerintah daerah tetap harus berupaya untuk menyelesaikannya. Membiarkan berlarut- larutnya masalah ini tanpa keputusan
24
yang jelas akan semakin menghambat proses pembangunan wilayah dan pada gilirannya secara keseluruhan akan merugikan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah itu sendiri. Penyelesaian yang baik dan dapat diterima semua pihak dapat diupayakan dengan melibatkan semua unsur pemangku kepentingan yang ada di daerah. Pendekatan yang obyektif diharapkan dapat muncul dari pendekatan akademis, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan diterima semua pihak. Kajian terhadap penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan di Kabupaten Aceh Timur ini merupakan bagian dari upaya dimaksud, dengan harapan dapat memberikan konstribusi dan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik secara langsung atupun tidak terhadap masalah tersebut.
25
TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan Sejalan dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juncto UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka telah terjadi desentralisasi yang cukup signifikan dalam kegiatan
pemerintahan yang selama ini dikendalikan oleh
pemerintah pusat. Menurut Hidayat (2004), desentralisasi dapat dilihat dari perspektif politik dan perspektif administrasi. Berdasarkan perspektif politik, desentralisasi merupakan devolusi kekuasaan (devolution
of power) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan berdasarkan perspektif administrasi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan, perencanaan, dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dan organisasi non pemerintah yang berada pada level yang lebih rendah. Menurut Smith (1985), tujuan desentralisasi dapat dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Berdasarkan sisi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: (1) pendidikan politik (political education), (2) latihan kepemimpinan (provide training in political education), dan (3) menciptakan stabilitas politik (political stability). Sedangkan dari sisi kepentingan pemerintah daerah, desentralisasi mempunyai tiga tujuan, yaitu: (1) terciptanya
keberimbangan secara politik
(political equality), (2) meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah (local accountability),
dan (3) meningkatkan kepekaan pemerintah daerah terhadap
wilayahnya (local responsiveness). Dengan demikian, sebenarnya desentralisasi mempunyai makna yang mendalam dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta terkait dengan berbagai aspek, antara lain politik, ekonomi, dan sosial. Sukirno (1992) berpendapat, terdapat beberapa pertimbangan dilakukannya desentralisasi, antara lain: (1) pemerintah daerah lebih mengetahui daerahnya, (2) bila ada masalah, pemerintah daerah lebih tahu sehingga lebih cepat
26
penyelesaiannya, dan (3) jumlah masalah yang dihadapi pemerintah daerah lebih sedikit daripada masalah nasional sehingga lebih cepat penyelesaiannya. Dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi berbagai bidang/urusan yang sebelumnya di kendalikan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, terdapat bidang/urusan yang masih merupakan kewenangan pemerintah pusat, sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 7 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10, yakni: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut di daerah dilakukan dengan asas dekonsentrasi. Konsep Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun organisasi. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan sangat tergantung pada kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Secara sederhana, konsep perencanaan
menurut
Tarigan (2004) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah- langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya, secara lebih lengkap Tarigan (2004 ) memberikan pengertian
bahwa
perencanaan berarti
mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Friedman dalam Tarigan (2004), perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal. Pertama, penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkret yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua, pilihan-pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan
daerah
adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999),
pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
27
masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan pembangunan ekonomi pada suatu daerah perlu dilakukan perencanaan yang matang. Arsyad (1999) berpendapat, terdapat tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah, yaitu: (1) perlunya pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungannya (horisontal dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, (2) perlu memahami bahwa sesuatu yang tampaknya baik secara nasional (makro) belum tentu baik untuk daerah dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional, dan (3) tersedianya
perangkat kelembagaan untuk pembangunan daerah seperti
administrasi dan proses pengambilan keputusan. Perencanaan yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan. Mengutip pendapat dari
Blakely, Arsyad (1999) menyatakan bahwa
terdapat enam tahap dalam perencanaan pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pengumpulan dan analisis data, (2) pemilihan strategi pembangunan daerah, (3) pemilihan proyek-proyek pembangunan, (4) pembuatan rencana tindakan, (5) penentuan rincian proyek, dan (6) persiapan perencanaan secara keseluruha n dan implementasinya. Sedangkan menurut Jhingan (2000), perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor- faktor penentu yang mendasari pertumbuhan ekonomi seperti perubahan dalam teknik produksi serta sikap masyarakat dan lembaga- lembaga dimana perubahan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya, namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat.
28
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan dan mengeluarkan kebijakan. Menurut Keban (2004), kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui beberapa parameter penting seperti proses, isi, dan konteks atau suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Pemerintah perlu memperhatikan isu- isu yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, analisis kebijakan dan proses kebijakan menjadi unsur yang penting dilakukan. Menurut Saaty (1980), pada umumnya hal-hal yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah: (a) perencanaan, (b) perumusan alternatif, (c) menetapkan
berbagai
prioritas,
(d)
menetapkan
alternatif
terbaik,
(e)
mengalokasikan sumber daya, (f) menentukan kebutuhan, (g) memprediksi hasil yang dicapai, (h) mendesain sistem, (i) penilaian hasil, (j) menjaga kestabilan sistem, (k) mengoptimalkan tujuan, dan (l) mengelola konflik. Saaty (1980) menekankan pentingnya pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan, dengan memperhatikan struktur, fungsi, tujuan, dan lingkungan. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Wilayah menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Sedangkan menurut Winoto (1999) diacu dalam
Pribadi (2005), wilayah diartikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan
29
berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut . Sementara menurut Rustiadi et al. (2004), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu), dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningfull, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Konsep wilayah yang paling klasik, menurut Hagget, Cliff, dan Frey (1977) diacu dalam Rustiadi et al. (2004), mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2) wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor- faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen sedangkan faktor- faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan). Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2004), wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: 1. Penentuan
sektor
basis
perekonomian
wilayah
sesuai
dengan
potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage). 2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing- masing wilayah.
30
Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan sedangkan plasma adalah daerah belakang (peripheri/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2004).
Pusat wilayah
berfungsi sebagai: 1. Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman). 2. Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri. 3. Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland. 4. Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: 1. Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku. 2. Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi. 3. Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik, pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Misalnya, walaupun Solo dan Jogjakarta relatif lebih dahulu berkembang namun
Jakarta,
Bandung,
dan
Medan
terbukti
lebih
pesat
perkembangannya karena sangat ditunjang oleh hinterland yang mendukung. 4. Penjaga fungsi- fungsi keseimbangan ekologis. Secara filosofis suatu batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada suatu garis yang memisahkan dua daerah karena memiliki orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Disamping itu, batas wilayah nodal sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem transportasi sebab kemampuan suatu pusat wilayah melayani hinterland-nya sangat ditentukan oleh sistem transportasi yang ada. Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah
31
tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artifisial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral.
Sedangkan secara artifisial wilayah Jabotabek yang mempunyai
keterkaitan faktor- faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah seperti tersebut di atas ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Menurut Rustiadi et al. (2004), pemahaman wilayah dapat dilihat seperti pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda, namun sayangnya pendekatan perencanaan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem. Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang merujuk kepada pengertian wilayah, di antaranya adalah pemakaian istilah daerah dan kawasan.
Menurut Rustiadi et al. (2004), meskipun pengertian daerah tidak
disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administrasif.
Sedangkan penggunaan, istilah kawasan di
Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah. Karena itu batasan/definisi dari konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi- fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki fungsifungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
32
Nodal (pusat - hinterland ) Homogen Sistem Sederhana
Desa - Kota
Budidaya - Lindung Wilayah
Sistem/
Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawas an industri
Fungsional
Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir
Sistem Komplek
Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan: Perencanaan/ Pengelolaan
• •
Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah. (Sumber: Rustiadi et al. 2004) Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh
karena itu, sebelum
melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara, yaitu: 1. Wilayah yang telah maju. 2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi. 3. Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik. 4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan
33
nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan. 5. Wilayah tidak berkembang. Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004), perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sekaligus juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya pemerintah daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam pembangunan wilayah, yakni sebagai pengatur atau pengendali (regulator) dan sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum ke arah yang diinginkan oleh pemerintah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2004) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor. Selanjutnya masing- masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau di tingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih mengembangkan wilayah.
34
Kota dalam Perspektif Pengembangan Wilayah Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa pemerintah daerah terdiri dari tiga tingkatan, yaitu wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan kota, dan wilayah kecamatan. Kabupaten sebagai daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas tertentu. Kabupaten berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat nenurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menyinggung masalah kota sebagai ibukota dan pusat pemerintahan suatu wilayah tidak akan
terpisah dari pada konsep wilayah administratif-politis.
Menurut Rustiadi et al. (2004), konsep ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Sering pula wilayah administratif ini disebut sebagai wilayah otonomi, artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam sumberdaya di dalam wilayahnya. Wilayah administratif merupakan wilayah yang dibatasi atas dasar kenyataan bahwa wilayah tersebut berada dalam batas-batas pengelolaan administrasi/tatanan politis tertentu, seperti: negara, provinsi, kabupaten, dan lain sebagainya. Ketika suatu wilayah dikatakan sebagai wilayah politik maka tekanan pembangunan disamping mengupayakan tujuan optimalisasi pemanfaatan ruang juga bertujuan menciptakan equity atau pemerataan dan keadilan pembangunan antar kawasan menjadi semakin dominan (Rustiadi et al. 2004). Konsep kota kabupaten sebagai kota dalam tata ruang mempunyai beberapa elemen yang dapat dilihat secara terpisah. Namun, jika dilihat secara bersamaan akan dapat dipergunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu organisasi tata ruang kegiatan manusia. Unsur-unsur tata ruang yang penting adalah jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Unsur-unsur ini secara bersama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Konsep tata ruang sangat erat hubungannya dengan struktur kebudayaan pada suatu waktu tertentu. Sejalan dengan waktu dan perkembangan masyarakat, maka konsep ruang juga berubah. Selain ditentukan secara geometris absolut,
35
konsep ruang juga dibahas pada hubungan fungsional dalam konsep jarak dan ruang relatif. Perubahan ukuran jarak dapat mengubah seluruh unit tata ruang. Konsep ruang relatif yang didasari oleh jarak relatif yang merupakan fungsi dari pandangan atau persepsi ruang dari individual atau kelompok sosial. Dalam konsep ruang absolut, jarak diukur secara fisik, sedangkan dalam konsep ruang relatif, jarak diukur secara fungsional berdasarkan unit waktu, ongkos, dan usaha (Yunus 2005). Salah satu dari fungsi ibukota kabupaten adalah sebagai kota penyangga yang diharapkan akan mampu mengurangi arus migrasi ke kota yang berhirarki lebih tinggi. Kota itu sendiri merupakan tempat konsentrasi penduduk dengan berbagai macam variasi kegiatan dari berbagai sektor yang mempunyai tingkat spesialisasi tinggi. Kota terletak pada lokasi yang memiliki cukup akses, serta dipandang sebagai daerah modern, dinamis dan inovatif. Menurut Sarundajang (1997), fungsi ibukota kabupaten dikaitkan dengan pembangunan di Indonesia antara lain adalah: 1. Pendorong ekonomi daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan regional. 2.
Sebagai kota penyangga yang diharapkan akan mampu mengurangi arus migrasi langsung ke kota-kota besar, metropolitan, dan megapolitan.
3. Sebagai pusat pertumbuhan yang berfungsi untuk merangsang perkembangan daerah perdesaan. Menurut Yunus (2005), ada empat fungsi dasar kota. Keempat fungsi tersebut adalah: 1. Pusat pelayanan terhadap wilayah belakang. 2. Pusat komunikasi antar wilayah. 3. Pusat produksi barang-barang. 4. Merangsang perkembangan daerah sekitar. Secara umum kota merupakan bentuk pemukiman penduduk yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat pelayanan sosial. Berdasarkan fungsinya sebagai pusat suatu wilayah, maka kota akan berperan sebagai pusat
36
koleksi dan distribusi arus produksi, kapital, dan jasa yang memperlihatkan hubungan ketergantungan timbal balik (Yunus 2005). Fungsi utama kota adalah memberikan pelayanan kepada wilayah belakangnya (hinterland services). Pelayanan tersebut berupa penyediaan fasilitas pemasaran dan pelayanan jasa yang sangat tergantung pada kemampuan kota itu sendiri dalam penyediaan fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan wilayah belakang dalam memasok barang-barang yang akan dibutuhkan wilayah kota. Kota mempunyai peran dan fungsi sebagai pusat pelayanan terhadap hinterland-nya apabila antara kota dengan hinterland terjadi suatu hubungan timbal balik yang saling menguatkan. Teori Tempat Sentral Menurut Djojodipuro (1992), teori tempat sentral diperkenalkan pada tahun 1933 oleh Walter Christaller yang dikenal dengan central place theory. Teori ini menerangkan hirarki aktivitas jasa dari tingkat yang paling bawah yang terdapat di kota kecil hingga kota besar. Kota besar memiliki banyak ragam jenis kegiatan jasa dengan skala besar, makin kecil sebuah kota maka akan makin sedikit pula ragam kegiatan jasa dan makin kecil skala pelayanannya. Sejalan dengan hirarki jasa yang dimiliki, maka akan diperoleh suatu susunan hirarki berbagai kota pusat kegiatan di suatu daerah. Setiap kegiatan pelayanan dari tempat sentral mempunyai batas ambang penduduk dan jangkauan pasar. Batas ambang penduduk atau treshold population adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa pelayanan. Jika jumlah penduduk di bawah batas ambang tersebut, maka kegiatan pelayanan dari sektor yang dimaksud tidak akan dapat disediakan. Jangkauan pasar atau market range suatu aktivitas jasa adalah jarak yang rela ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang dibutuhkannya. Apabila jarak tempuh semakin jauh, maka konsumen akan memilih alternatif lain yang lebih terjangkau untuk memperoleh jasa yang sama. Menurut Hanafiah (1989), untuk menerangkan distribusi aktivitas di suatu daerah, teori tempat sentral menyederhanakan keadaan melalui asumsi:
37
1. Daerah yang bersangkutan merupakan daerah yang sama datar dengan penyebaran sumberdaya alam dan penduduk yang terdistribusi merata. 2. Penduduk tersebut memiliki mata pencaharian yang sama, seperti bertani. Konsep dasar
dari teori tempat sentral yang dikembangkan oleh
Christaller tersebut adalah sebagai berikut: 1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral adalah wilayah komplementer bagi tempat sentral. 2. Tempat sentral mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani wilayah terluas yang disebut tempat sentral orde tertinggi, sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah lebih kecil disebut tempat sentral orde rendah. 3. Batas pelayanan dari setiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari komoditi tersebut. 4. Permintaan terhadap komoditi dari tempat sentral tersebut tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta konsentrasi penduduk di setiap tempat sentral. 5. Permintaan terhadap kegiatan di tempat sentral tergantung pada jarak dan usaha konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga mencapai titik nol untuk setiap pertambahan jarak dari tempat sentral. Menurut Richardson (1977) seperti dikutip oleh Yunus (2005), pertumbuhan suatu daerah perkotaan merupakan fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan wilayah belakangnya. Peningkatan pertumbuhan wilayah kota tergantung pada laju permintaan wilayah belakangnya terhadap barang dan jasa pelayanan dari kota. Pertumbuhan pesat pada pusat kota pada hakikatnya akan meningkatkan kepadatan penduduknya, yang akan berimplikasi pada berkurangnya tingkat ketenangan,
kesehatan
lingkungan,
dan
kenyamanan
hidup
atau
akan
meningkatkan permasalahan kualitas hidup. Apabila penduduk kota mempunyai kemampuan untuk berpindah, maka mereka akan memilih untuk pindah ke hinterland sebagai tempat bermukim, dimana kepadatannya relatif lebih rendah.
38
Sedangkan pusat kota hanya menjadi tempat bekerja atau melakukan aktivitas ekonomi. Pada gilirannya perpindahan penduduk dari pusat kota ke wilayah belakangnya akan mengakibatkan populasi di pusat kota semakin berkurang, sedangkan di hinterland akan bertambah. Fenomena ini dikenal dengan istilah fenomena kue donat. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan Menurut Hanafiah (1989), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata. Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred Weber pada tahun 1909 (Tarigan 2005). Apabila Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian, maka Weber mengana lisis lokasi kegiatan industri atas prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan asumsiasumsi sebagai berikut: 1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa puasat aktivitas, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna. 2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia dimana- mana dalam jumlah yang memadai (ubiquitous). 3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu dengan jumlah terbatas. 4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi dengan mobilitas yang tetap. Menurut Hanafiah (1989), teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah:
1. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja.
39
Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya transportasi berband ing lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi. 2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi (aglomerative and deglomerative force). Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar lokal yang ditandai oleh diseconomic of scale, dan ini akan mengakibatkan menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya. Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor yang dapat memodifikasi lokasi. Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya input dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adala h termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda, sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum, yaitu lokasi dimana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah (1989). Dalam konsep teori lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi: 1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen. 2. Kepadatan penduduk yang seragam dan dengan selera yang konstan.
40
3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan. Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi unt uk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar (Tarigan 2005). Menurut Isard (1960) dalam Tarigan (2005), masalah lokasi merupakan masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi sangat dipengaruhi oleh faktor dasar (a) biaya input atau bahan baku, (b) biaya transportasi, dan (c) keuntungan aglomerasi. Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isard pada tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah: 1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu lokasi. 2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan produksi total pada suatu lokasi. 3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebaga i konsekuensi kegiatan ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat. Secara alamiah, terdapat kecenderungan pada setiap individu penduduk dan perusahaan untuk memilih lokasi pada daerah-daerah yang relatif sudah berkembang atau daerah-daerah yang menjadi pemusatan di dalam wilayah yang
41
bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan perusahaan atau aktivitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan aglomerasi. Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri secara keseluruhan pada suatu daerah dimana terjadi pemusatan kegiatan. Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktivitas sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta. Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, dimana pusat-pusat aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi, kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas perhubungan. Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi terbatas. Apalagi dengan adanya aktivitas lembaga pemerintahan yang berhirarki lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya. Dusseldorp (1971) diacu dalam Prakoso (2005), mengemukakan bahwa konsep dasar teori pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas ambang, dan hirarki. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti akan berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan sekaligus menobatkan
42
daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain: 1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada tidak dipusatkan. 2. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien. 3. Mengoptimalkan fungsi berbagai kelembagaan dan social capital masyarakat. Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen. Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi. Menurut Rushton (1979), permasalahan lokasi yang terjadi di negara berkembang adalah: 1. Belum berkembangnya sistem transportasi. Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan. 2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi fasilitas yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang, sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan. 3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial. Perlunya perbaikan pada sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu. 4. Ketidakmerataan tingkat kesejahteraan masyarakat.
43
Upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada pada tempat sentral. Tempat sentral adalah tempat yang memungkinkan partisipasi manusia dalam jumlah maksimal, baik bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas maupun yang menjadi konsumen dari pelayanan yang dihasilkan (Rushton 1979). Hirarki Pusat Aktivitas Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan. Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen berangkat dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola pengguna an lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produk pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa: (1) biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme suplai dan demand yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan sebagainya. Dengan asumsi yang sedemikian ketat, model ideal dari Thunen ini
44
tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi. Pemikiran awal ini kemudian diperkaya oleh Christaller dan Losch dalam Smith (1976), dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas.
Menurut
Christaller setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga aktivitasnya akan menjadi efisien apabila jumlah konsumennya mencukupi. Karena itu secara lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujukan untuk melayani wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya transport, dan frekuensi penggunaannya. Area di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand konsumen yang mencukupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya. Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat pelayanan hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. karakteristik
demand,
produk
yang
sifatnya
Sementara dari sisi
inelastis
dan
frekuensi
penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I, sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimisasi jumlah konsumen yang harus dilayani. Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah, atau bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi. Christaller diacu dalam Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan top down. Hasil analisanya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama akan menjadi semakin besar dan menyebar daripada lokasi pusat yang lebih rendah. Lokasi pusat utama ini akan menyediakan barang dan jasa utama, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold- nya tinggi, dan sekaligus
45
menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen dengan treshold rendah ingin mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Sedangkan Losch diacu dalam Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan bottom up. Hasil analisanya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Menurut Smith (1976), pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti, karena dengan menggunakan teknik skalogram berdasarkan skala Gutman, secara empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan barang dan jasa utama saja. Pada perkembangan selanjutnya, Isard (1975), mulai mempertanyakan kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya yang kurang realistis. Berkaitan denga n teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan sempurna antar produsen/suplier, lokasi produsen/suplier hanya didasarkan pada treshold, hanya ada satu produsen/suplier pada satu pusat, dan
konsumen
melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja. Berdasarkan hasil temuan empiris, produsen/suplier selain menyediakan jasa
untuk
konsumen,
pada
dasarnya
juga
menjadi
konsumen
bagi
produsen/suplier yang lain. Karena itu antar produsen/suplier pun saling terkait dalam kerangka sistem supply dan demand. Dengan demikian, sebenarnya para produsen/suplier akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut. Menurut Isard (1975), teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya. Selain itu, berdasarkan hasil temuan empiris konsumen biasanya akan membeli lebih dari satu jenis barang dan jasa dalam satu kali perjalanan. Karena itu ketersediaan jenis barang dan jasa yang beragam akan mendorong konsumen
46
untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat asumsi bahwa lokasi produsen/suplier hanya ditentukan oleh treshold- nya menjadi tidak realistis.
Apabila produsen/suplier memilih lokasi hanya berdasarkan
treshold-nya, mereka akan memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa melayani wilayah konsumen yang lebih luas.
Tetapi karena bagi konsumen membeli
berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport menjadi lebih murah, maka produsen/suplier yang berbeda akan memilih lokasi yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen. Crissman diacu dalam Smith (1976), mencoba untuk memperbaiki teori lokasi pusat dengan mengubah asumsinya. Dengan menggunakan pendekatan top down seperti yang dilakukan oleh Christaller, maka dia mengemukakan bahwa lokasi pusat utama ini mempunyai wilayah hinterland yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan oleh Christaller. Dari berbagai uraian di atas, diketahui bahwa berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan economic of scale (biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar)
dan
economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan). Selanjutnya menur ut Smith (1976), teori lokasi pusat ini akan sangat membantu dalam mengenali sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem hirarki pusat yang berjenjang seperti distribusi log- normal (rank-size distribution of urban center). Menurut Berry diacu dalam Smith (1976), hal ini terjadi karena proses trickle down effect dapat berjalan dengan baik. Tenaga kerja di kota-kota besar akan menuntut upah yang lebih tinggi, sehingga industri akan bergeser ke wilayah-wilayah yang upah tenaga kerjanya lebih rendah. Karena itu industri akan bergeser dari kota-kota besar ke kota-kota yang lebih kecil dan multiplier effect dari bergesernya lokasi industri ini akan mendorong proses trickle down terus berjalan.
Namun terjadinya proses ini mensyaratkan adanya 2 hal, yaitu
adanya pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan dalam waktu yang relatif
47
lama dan adanya kompetisi diantara perusahaan dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja.
Karena it u menurut Smith (1976), kondisi ini
umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang perekonomiannya sudah matang, masyarakat industri, dan negara-negara maju. Fakta empiris kedua adalah sistem hirarki pusat dimana lokasi pusat utama sangat dominan (primate system). Dalam primate system, tidak semua bagian dari suatu wilayah mendapatkan pelayanan yang sama, tetapi ada satu pusat yang dipilih untuk dikembangkan melebihi share dari produsen/suplier yang secara riil ada di lokasi tersebut, memonopoli aktivitas ekono mi seluruh wilayah, dan meninggalkan wilayah hinterland yang jauh menjadi tidak terlayani. Banyak orang berpikir bahwa fakta empiris ini mirip dengan model Von Thunen, dimana munculnya primate center justru akan mendorong komersialisasi dan intensifikasi di wilayah hiterland-nya. Tetapi perlu diingat bahwa model Von Thunen tidak mempertimbangkan faktor- faktor ekonomi bisa bergerak dengan bebas. Menurut Kelley diacu dalam Smith (1976), apabila tidak ada alternatif ekonomi yang lebih baik bagi produsen yang jauh dari pusat pasar, maka mereka akan menyesuaikan intesitas produksinya dengan pertumbuhan penduduk. Pada kondisi yang kompetitif, hal ini akan mendorong berkembangnya pusat pasar di daerah periphery. Tetapi menurut Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terkonsentrasi di satu pusat (primate center), intensifikasi produksi di daerah periphery hanya akan menyebabkan harga yang lebih rendah bagi produk periphery yang dihasilkan (term of trade-nya rendah). Menurut Berry diacu dalam Smith (1976), primate system ini terjadi karena suatu wilayah sedang dalam proses menuju masyarakat maju atau masyarakat industri, atau karena bargaining politik yang jauh tidak berimbang, dimana lokasi pusat biasanya dihuni oleh para elite dengan kekuatan politik yang jauh lebih besar. Tetapi menurut Smith (1976), ada satu hal yang dilupakan Berry bahwa di negara-negara Amerika Latin primate system terus berlangsung hingga saat ini. Dalam kondisi ini primate system terjadi bukan karena proses pembangunan ekonomi yang sedang berjalan atau karena keberadaan elit politik di pusat kota, tetapi ini merupakan produk dari sistem ekonomi non kompetitif.
Artinya,
48
perusahaan di primate center mempunyai keuntungan dari kondisi pasar monopsony dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas Pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan jalan yang menghubungkannya mempunyai peranan yang sangat pening dalam mewujudkan keberimbangan pembangunan antar wilayah, dan membangun interaksi antar wilayah yang saling memperkuat.
Menurut Smith (1976), berdasarkan fakta
empiris terdapat tiga jenis pola spasial yang mengakibatkan suatu wilayah selalu berada dalam kondisi tertinggal, yaitu: (1) dendritic system, (2) solar system, dan (3) network system. Dendritic system berarti pola hubungan antara desa – kota kecil – kota menengah – kota besar, yang memiliki bentuk seperti pola aliran sungai yang terdiri dari induk dan anak-anak sungainya. Beberapa desa langsung terhubung dengan kota kecil.
Beberapa kota kecil langsung terhubung dengan kota
menengah, demikian seterusnya. Dalam pola ini, interaksi antar desa atau antar kota kecil tidak ada sama sekali. Pola seperti ini akan mengakibatkan komoditas yang dihasilkan petani mengalir langsung ke wilayah pusat kota sehingga meninggalkan perekonomian desa atau perekonomian domestik dalam kondisi ketertinggalan.
Pusat wilayah pada hirarki yang lebih rendah akan berada di
bawah kontrol pusat wilayah pada hirarki wilayah yang lebih tinggi, karena pusat wilayah pada hirarki yang lebih rendah tidak bisa memilih pusat wilayah lain pada hirarki yang lebih tinggi yang bisa menawarkan harga lebih kompetitif. Solar system berarti pola hubungan dimana kota besar langsung berhubungan dengan wilayah perdesaan. Pada pola ini keberadaan kota-kota kecil menengah dapat dikatakan tidak berkembang. Pola ini biasanya muncul apabila kepentingan politik lebih dominan daripada kepentingan ekonomi. Kekuasaan akan menjadi sangat tersentralisasi, dan akhirnya mengakibatkan kebijakan yang bersifat urban bias dan pengurasan sumberdaya perdesaan secara besar-besaran (massive backwash effect). Umumnya ini terjadi pada negara-negara yang masih menganut budaya feodal, dimana kekuasaan menjadi sangat terkonsentrasi dan tersentralisasi.
49
Network system berarti pola hubungan yang bersifat simetris atau sejajar antar wilayah, dan tidak ada wilayah yang menjadi pusat. Pola ini biasa ditemui di wilayah-wilayah yang aktivitas ekonominya masih sederhana dan terisolasi dari pusat-pusat aktivitas di perkotaan. Pada pola ini transaksi yang dilakukan selain bersifat ekonomi juga bersifat sosial, yaitu untuk menjalin kekerabatan. Wilayah pada pola ini menjadi lemah karena tidak ada dorongan dari luar untuk maju. Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models Optimalisasi dan efisiensi suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan dan pusat pelayanan dengan penempatan fasilitas publik sangat penting untuk mendorong timbulnya spread effect bagi pembangunan sua tu wilayah. Suatu lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan yang optimal harus mampu menjadi motor penggerak pembangunan wilayah dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan penduduk di wilayah tersebut. Pusat pemerintahan dan pelayanan harus dapat bertindak sebagai pusat informasi, inovasi, dan modernisasi dalam perspektif pembangunan wilayah, serta mampu menciptakan iklim kondusif bagi pertumbuhan ekonomi wilayahnya sendiri dan wilayah belakangnya dalam konteks hubungan fungsional yang saling menguntungkan. Hakimi (1964) diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan permasahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan. Hakimi mengatakan, bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu dimana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut. Pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah akan menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis barang, jasa, dan pelayanan terbaik yang juga tersebar di berbagai lokasi yang
50
dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat dijangkau memiliki banyak pilihan dan masyarakat akan memilih yang berada pada posisi most accessible bagi mereka. Suatu lokasi dapat dikatakan most accessible apabila memiliki salah satu atau lebih kriteria berikut (Rushton 1979): 1. Kriteria jarak rata-rata minimum, yaitu jarak total dari semua penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan terdekat adalah minimum, disebut juga jarak agregat minimum. 2. Kriteria jarak maksimal, yaitu apabila jarak terjauh dari tempat penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan adalah minimum yang disebut dengan jarak minimax. 3. Kriteria penetapan berdasarkan kesamaan, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat sama dengan jumlah yang ditentukan. 4. Kriteria ambang batas (population treshold), yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan. 5. Kriteria kapasitas atau daya tampung, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan teredekat lebih kecil dari jumlah yang ditentukan. Analisis lokasi dalam perencanaan wilayah sudah dikenal baik, salah satu adalah analisis kuantitatif location-allocation modelling. Kerangka pikirnya didasarkan pada masalah aksesibilitas dalam pengertian efesiensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan, baik yang akan dibangun maupun yang sudah ada sebelumnya. Menurut Fotheringham (1995) dan Rushton (1979), di negara-negara berkembang keputusan lokasi hanya diambil oleh beberapa orang saja dari pejabat pemerintah atau malah kadang-kadang hanya oleh satu orang saja, yaitu oleh pimpinan daerah yang dipilih lewat pemilihan. Naifnya, keputusan tersebut sering mengabaikan hasil analisa formal dari alternatif- alternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja karena pertimbangan politis semata atau hanya karena
51
pertimbangan yang “asal” saja. Bahkan hasil keputusan sering sekali sangat jauh dari optimal. Menurut Rahman dan Smith (2000), ada anggapan bahwa penggunaan metoda matematika dalam analisa lokasi terlalu muluk atau berlebihan untuk digunakan di sebagian besar negara berkembang, padahal banyak penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metoda ini dalam proses pengambilan keputusan penentuan lokasi akan sangat besar manfaatnya. Menurut Hakimi (1964) diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan adalah titik yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul dari titik yang berasal dari simpul jaringan tersebut. Untuk meminimumkan jarak rata-rata, teori Hakimi menyelesaikan persoalan yang ada melalui analisa lokasi dari simpulsimpul pada jaringan. Sifat pemecahan persoalan ini dengan memperhitungkan simpul-simpul yang dilayani sebagai lokasi potensial untuk pusat pelayanan, dan untuk mengabaikan lokasi- lokasi yang lain diperlukan kepastian bahwa simpul tersebut bukan bagian dari simpul pada jaringan, sehingga tidak mengabaikan lokasi- lokasi yang mungkin akan memberikan pemecahan yang lebih baik. Terdapat dua prinsip dalam masalah lokasi yang berbeda satu sama lainnya, yaitu upaya mencari lokasi terbaik untuk fasilitas publik, seperti: sekolah, taman, utilitas, kesehatan, dan olahraga, akan berbeda dengan mencari lokasi untuk fasilitas private, seperti: bank, pertokoan, dan tempat bersantai (private leisure facilities). Horgart (1978) diacu dalam Rahman dan Smith (2000), membagi masalah lokasi dalam tiga kelompok, yaitu lokasi central facilities, semidesirable facilities, dan obnoxious facilities. Central facilities adalah fasilitas dimana orang yang membutuhkannya harus melakukan perjalanan untuk dapat memperoleh pelayanan dari fasilitas tersebut, dan atau disediakan untuk seluruh masyarakat yang berkepentingan yang ada di wilayah tersebut. Umumnya fasilitas yang lebih dekat ke pengguna (biasanya diukur dalam jarak dan waktu) yang paling baik. Semidesirable facilities adalah fasilitas yang cukup diminati oleh konsumen seperti warung sembako, warung nasi, wartel, dan lain- lain yang biasanya disediakan oleh unit usaha kecil atau usaha keluarga dan berada dalam clustercluster lingkungan pemukiman. Yang dimaksud obnoxious facilities adalah
52
fasilitas yang digunakan untuk menangani kegiatan yang menjijikkan seperti tempat pembuangan dan pengolahan sampah atau limbah. Location-allocation model adalah metoda untuk menentukan lokasi optimal untuk penempatan suatu fasilitas. Metoda ini secara simultan memilih suatu lokasi yang demands-nya terdistribusi secara spasial dengan optimasi beberapa kriteria yang secara spesifik dapat diukur. Penentuan lokasi untuk private sector facilities biasanya didasarkan pada pertimbangan yang obyektif dan terukur seperti untuk meminimalkan cost atau memaksimalkan profit. Salah satu dari model lokasi-alokasi yang paling populer untuk penentuan lokasi penempatan fasilitas publik adalah the p-median problem (Hakimi 1964 dan Swain 1970, diacu dalam Rahman dan Smith 2000). Masalah lokasi dapat disederhanakan dengan menghubungkan antara lokasi fasilitas dengan lokasi demands yang dapat meminimalkan bobot total jarak tempuh atau waktu tempuh sehingga dapat membantu users dalam mendapatkan fasilitas terdekat. Persamaan umum dari pada fungsi tujuan Z untuk meminimalkan jarak, waktu tempuh, biaya, atau effort yang dibutuhkan pelanggan untuk menuju lokasi fasilitas pelayanan terdekat adalah sebagai berikut: Min Z =
n
n
i
j
∑∑ h d Y i
ij
ij
Secara matematis, masalah p-median dapat dijelaskan seperti di bawah ini. Input :
hi = bobot simpul wilayah asal i. dij = waktu tempuh, panjang jalan, atau biaya transport antara wilayah asal i dengan wilayah tujuan j. Yij = Variabel alokasi = 1, jika pelanggan di wilayah i dilayani oleh wilayah j 0, jika tidak.
Secara mencolok, location-allocation models mulai banyak digunakan untuk penentuan lokasi optimal penempatan suatu fasilitas adalah sejak tahun 1960-an. Lebih sepesifik, location-allocation models menemukan lokasi terbaik dari suatu fasilitas dengan optimasisasi satu atau lebih kriteria berikut: minimum average/total distance, minimax distance, equal assignment, treshold constraint, dan capacity constraint (Rushton 1979, diacu dalam Rahman dan Smith 2000).
53
Kerangka
pemikiran
pendekatan
location-allocation
models
dalam
menyelesaikan masalah lokasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Hubungan location-allocations models dengan penentuan lokasi penempatan fasilitas. (Sumber: Rahman dan Smith 2000). Persepsi Menjelang berakhirnya abad 20, telah terjadi restorasi demokrasi atau reformasi politik di berbagai belahan dunia, khususnya di negara- negara berkembang. Perkembangan demokrasi sebelumnya telah kehilangan makna dari istilah demokrasi itu sendiri, beberapa negara telah terjebak secara tidak sadar ke dalam apa yang disebut sebagai autocratic dictatorship. Indonesia sendiri, selama 32 tahun masa kepemerintahan Orde Baru juga terjebak dalam kondisi ini. Pada akhirnya, dengan dimotori oleh masyarakat akademis melakukan perlawanan dalam bentuk reaksi keras terhadap sistim politik tersebut, ditandai dengan munculnya gerakan revival of democracy yang terpusat di Jakarta, realisasinya terlihat pada proses desentralisasi kekuatan yang semakin mantap. Pengertian dan penerapan kebijakan pembangunan daerah umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik yang berhubungan dengan alokasi secara spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian, kesepakatan nasional yang menyangkut sistem politik dan pemerintahan, atau aturan mendasar lainnya, sangat menentukan
54
pengertian
dari
pembangunan
daerah.
Kesepakatan
nasional
sangat
memungkinkan terbangun dari “jaringan benang merah” yang ada dalam persepsi setiap individu warga negara. Termasuk juga dalam hal membangun kesepakatan yang berhubungan dengan aspek spasial, seperti penentuan lokasi pusat pemerintahan suatu wilayah administratif. Menurut Yunus (2005), kemampuan untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat, persepsi masyarakat, serta nilai- nilai yang
berkembang dalam
masyarakat sangat diperlukan, agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi- friksi sosial, politik, agama, dan budaya. Jika hal ini tidak diperhatikan, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu, bahkan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakanpun akan mengalami gangguan, yang mengakibatkan kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar. Pengalaman empiris menunjukkan, cukup banyak keputusan yang menyangkut kebijakan pemanfaatan ruang dan keputusan penetapan lokasi fasilitas umum di berbagai daerah di Indonesia, tidak pernah memberi manfaat seperti yang diharapkan, bahkan merugikan. Menurut Baiquni (2005), untuk mencapai kemandirian daerah, intinya adalah penerapan otonomi daerah yang luas dalam bentuk kewenangan untuk merancang dan menentukan pilihan terbaik bagi daerah tersebut.
Karena
kemandirian daerah bertumpu pada semua sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pemberian kewenangan membangun pada daerah dengan menyerap aspirasi masyarakat telah menjadi suatu kebudayaan baru sampai ke level paling bawah. Apabila upaya pemberdayaan keterlibatan atau partisipasi penduduk dan pemerintah lokal dalam menentukan kebijakan pengembangan wilayahnya dapat diwujudkan, diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sense of belonging, sense of conserving, sense of preserving, dan sense of beautifying seluruh masyarakat dan seluruh institusi yang ada di wilayah tersebut, baik pemerintah maupun non pemerintah terhadap pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Dalam pendekatan kompleksitas kewilayahan, disamping memahami pendekatan spasial juga harus memahami pendekatan ekologis. Jika dalam pendekatan spasial, penekanannya adalah perbandingan kekhasan lokasional
55
dimensi keruangan yang menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tendensi, asosiasi, interaksi elemen-elemen geosfer dalam suatu hamparan bidang permukaan bumi, maka dalam pendekatan ekologis, penekanan utamanya adalah meng-elaborasi secara lebih intens keterkaitan elemen-elemen lingkungan antara makhluk hidup dengan aspek-aspek kehidupannya (Yunus 2005). Menurut Yunus (2005), dalam hal ini manusia menjadi focus of analysis, yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya (human oriented disipline), yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities. Penempatan manusia sebagai focus of analysis dengan melihat persepsinya terhadap suatu masalah, salah satunya adalah melalui pendekatan actor-oriented analysis. Menurut Thoha (1986), persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi. Secara sederhana, menurut Rahmad (1992), persepsi merupakan hasil pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa, atau keadaan. Berlo (1960) diacu dalam Endaryanto (1999), mengemukakan bahwa individu dalam memberikan makna kepada suatu stimulus seringkali tidak sama antara individu yang satu dengan lainnya, tergantung pada faktor yang ada pada diri dan di luar individu tersebut yang dapat mempengaruhi persepsinya. Akibatnya, tidak jarang terjadi ketidaksamaan persepsi antara individu yang satu dengan lainnya tentang objek yang sama, sehingga peluang terjadinya kesalahan mempersepsikan selalu ada. Menurut Irawan et al. (1997), seseorang dapat muncul dengan persepsi yang berbeda terhadap objek rangsangan yang sama karena tiga proses yang berkenaan dengan persepsi. Proses tersebut adalah penerimaan rangsangan secara selektif, perubahan makna informasi secara selektif, dan mengingat sesuatu secara selektif. Menurut Myers (1988), setiap orang berbeda kebutuhan, motivasi, minat, dan lain- lainnya. Karena itu, persepsinya terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat, dan latar belakang masing- masing. Persepsi dua orang mengenai objek yang sama bisa berbeda, yang satu mungkin memiliki persepsi
56
yang baik, sedang yang satunya lagi mungkin sebaliknya. Adakalanya, persepsi seseorang terhadap suatu objek bisa tepat dan bisa keliru atau mendua. Faktor terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi ialah kemampuan untuk mendapat pengertian yang tepat mengenai objek persepsi. Menurut Dike (1968) diacu dalam Endaryanto (1999), persepsi seseorang terhadap objek tertentu dapat dibentuk melalui faktor hereditas (pembawaan) dan lingkungan. Kedua faktor ini saling berinteraksi dalam pembentukan persepsi. Yang termasuk faktor hereditas antara la in bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, tanggapan yang dibawa sejak lahir. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan adalah faktor yang ada di luar individu yang secara langsung dapat mempengaruhinya, seperti pendidikan, lingkungan sosial, serta status dalam masyarakat. Pembentukan persepsi pada diri individu berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu selektifitas, pemaknaan, dan interpretasi. Pada mulanya individu akan menanggapi secara selektif terhadap stimulus yang ada sebelum berlangsungnya proses pemaknaan. Setelah stimulus tersebut diseleksi dan kemudian disusun sedemikian rupa baru kemudian proses pemberian makna berlangsung, akhirnya terjadilah interpretasi tertentu secara menyeluruh tentang stimulus tersebut. Menurut Schiffman dan Kanuk (1983), terkait dengan persepsi yang merupakan bagian dari sikap, disebutkan terdapat tiga komponen yang akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu objek tertentu, yaitu: komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif menekankan kepada pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap objek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Pengetahuan dan persepsi ini akan menghasilkan kepercayaan (belief) terhadap objek tertentu. Komponen afektif menekankan kepada perasaan atau emosi dalam menilai objek tertentu. Komponen konatif menekankan kepada kecenderungan (tendency) dan merupakan perilaku aktual seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang dipersepsikannya.
57
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Salah satu hal yang dapat menentukan timpang atau tidaknya pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah adalah dipengaruhi oleh penetapan lokasi suatu kegiatan yang tepat atau optimal. Dengan menentukan lokasi yang tepat dan sesuai akan dapat memberikan efisiensi bagi suatu kegiatan tertentu, baik bagi kegiatan itu sendiri, kegiatan lainnya, maupun kaitannya dengan kegiatan lain yang dilaksanakan di tempat lain. Tujuan dari penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan adalah untuk mencapai efisiensi dan optimalisasi dalam pengembangan dan pembangunan wilayah. Lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan yang terpilih diharapkan dapat menjadi daerah inti yang dapat memberikan efek positif bagi daerah sekitarnya yang menjadi hinterland. Penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan di suatu daerah merupakan hal yang penting dalam perencanaan pembangunan wilayah, karena lokasi yang tepat akan memberikan jaminan bagi terwujudnya efisiensi baik dari segi teknis maupun ekonomis. Lokasi optimal akan memberikan dampak pada masyarakat baik dari segi administratif maupun sosial-ekonominya. Penentuan lokasi pusat pemerintahan ini diharapkan dapat memberikan spread effects yang positif bagi wilayah hiterland-nya. Apabila dikaitkan dengan lokasi sebagai pusat pemerintahan ataupun pusat pelayanan, alternatif pemilihan lokasi yang optimal harus didasarkan pada pemikiran-pemikiran teoritis yang mendasar pada keseimbangan berbagai komponen dari sistem yang dapat mengakomodir semua aspek yang terkait, yaitu sesuai dengan kondisi daerah, mempertimbangkan aspirasi masyarakat, pendapat intelektual, cendekiawan, dan akademisi yang berkompeten, memperhatikan rencana tata ruang wilayah dan kapital yang tersedia, sehingga diperoleh hasil akhir yang sesuai dengan harapan. Hasil dari analisis ini akan dapat dijadikan sebagai bahan analisis kebijakan suatu daerah, sehingga pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dengan asumsi bahwa dari kegiatan
58
pengembangan wilayah ini akan meningkatkan output yang diiringi dengan peningkatan penerimaan guna kesejahteraan masyarakat. Penentuan lokasi tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dan pelayanan yang dapat diberikan terhadap wilayah belakangnya serta sumberdaya di wilayah belakang yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Selain itu, penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan harus mampu memberikan pelayanan administrasi, sosial, dan ekonomi yang efektif, sehingga pengembangan dan pembangunan wilayah dapat terlaksana dengan baik. Hanafiah
(1988),
mengemukakan
bahwa
beberapa
pakar
telah
mengidentifikasikan beberapa keuntungan dari upaya mengkonsentrasikan pembangunan pusat pelayanan. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain: 1. Konsentrasi kegiatan sosial ekonomi akan menciptakan suatu skala ekonomi, meningkatkan manfaat dan penyebarannya, serta menarik lebih banyak penduduk. 2. Pusat pelayanan akan lebih berinteraksi dengan wilayahnya melalui pasar, pasokan
pelayanan
administrasi
dan
fasilitas
akan
menciptakan
kesempatan ekonomi dan kesempatan kerja yang lebih baik. 3. Pusat pelayanan yang mempunyai sarana dan prasarana lengkap akan menarik orang-orang yang berjiwa enteurpreneurship dan inovatif, yang memiliki nilai, sikap, dan tingkah laku yang menciptakan lingkungan berkembang lebih baik. 4. Manfaat investasi di pusat pelayanan akan menciptakan akumulasi modal untuk pembangunan selanjutnya, menciptakan suatu prinsip perbandingan keuntungan secara lokal, serta kesempatan yang lebih baik di kemudian hari melalui pengaruh imbasan. 5. Investasi prasarana bagi pelayanan kepentingan umum akan menarik berbagai kegiatan ekonomi, yang selanjutnya akan menciptakan dasar pertumbuhan dan perluasan. 6. Konsentrasi fasilitas pelayanan sosial ekonomi menghendaki perbaikan sarana jalan, yang berarti meningkatkan kemudahan ke pusat pelayanan tersebut, sehingga akan menarik lebih banyak kegiatan sosial ekonomi ke lokasi tersebut.
59
7. Lokasi yang sama bagi berbagai kegiatan sosial ekonomi dan prasarana, selain menciptakan interaksi, juga memberi pengaruh komplementer dan berganda untuk menciptakan pasar baru bagi bahan baku dan barang setengah jadi secara ekonomi eksternal bagi produsen lain. Penelitian ini memadukan dua hal yang saling berkaitan, yaitu konsep pusat pemerintahan dan konsep pusat pelayanan. Pusat pemerintahan merupakan aglomerasi aktivitas pemerintah secara geografis untuk pengaturan dan pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh pihak instansi pemerintah. Sementara pusat pelayanan diartikan sebagai aglomerasi kegiatan-kegiatan secara geografis dari suatu kompleks sistem fungsi pelayanan dari satu atau berbagai sektor berbeda. Pusat pemerintahan merupakan daerah inti bagi pembangunan suatu kawasan, karena semua unsur pokok dan struktur ruang akan diambil dan ditetapkan di pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan sangat erat kaitannya dengan konsep perwilayahan dan pembangunan wilayah itu sendiri, serta konsep lokasi dalam pengembangan wilayah. Sehingga diharapkan pusat pemerintahan dan pusat pelayanan merupakan wilayah yang mampu menjadi motor penggerak pembangunan wilayah itu sendiri beserta hinterland-nya. Lokasi yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan maupun pusat pelayanan akan mendorong tumbuh dan beraglomerasinya kegiatan-kegiatan investasi di daerah sekitarnya sehingga akan menjadi pusat pertumbuhan bagi hinterlandnya. Pusat pelayana n juga memiliki batas sehingga tidak dapat berkembang lagi, hal ini disebabkan karena adanya inefisiensi, stagnasi, ketidakmerataan pertumbuhan, ketidakmerataan sumberdaya, serta adanya prioritas dari kegiatan investasi. Faktor-faktor tersebut akan mendorong suatu daerah untuk melakukan pembangunan wilayah agar terjadi spread effect yang lebih luas dan merata. Menurut Hanafiah (1988), penentuan pusat pelayanan merupakan salah satu strategi dalam pembangunan wilayah. Strategi ini telah menarik perhatian para penentu kebijakan karena alasan berikut: 1. Aglomerasi ekonomi cenderung menjadi jalan yang efisien dalam mewujudkan pembangunan.
60
2. Konsentrasi investasi pada titik-titik pertumbuhan yang spesifik menjadi
lebih
murah,
terutama
pembiayaan
pemerintah,
jika
dibandingkan bila tersebar di wilayah yang lebih luas. 3. Spread effects akan mengimbas ke daerah di sekitar titik-titik pertumbuhan yang akan menanggulangi masalah-masalah di daerah belakang. Dalam jangka panjang, pusat pelayanan akan merupakan jalur perembesan pengaruh kota kepada daerah belakangnya. Selain itu, pusat pelayanan juga akan menjadi salah satu cara menciptakan urbanisasi melalui diversifikasi pekerjaan. Penentuan pusat pelayanan akan ditekankan pada proses interaksi sosial ekonomi dan integrasi masyarakat dalam suatu teritorial daripada berdasarkan kelompok atau lapisan masyarakat. Di Indonesia, lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan biasanya berada di wilayah yang sama. Hal ini didasari oleh pertimbangan efisiensi waktu, biaya, dan upaya yang harus dikeluarkan. Berbeda dengan beberapa negara, misalnya Australia; pusat pemerintahan berada di Canberra, sementara pusat pelayanan di Sidney, Malaysia; pusat pemerintahan di Putrajaya, sedangkan pusat pelayanan di Kuala Lumpur, demikian juga Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Pertimbangan yang mendasari penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan yang berbeda adalah keinginan memiliki fungsi yang jelas sehingga
tidak
terjadi
inefisiensi.
Namun
demikian,
secara
empiris,
kecenderungan pemisahan pusat pemerintahan dan pelayanan hanya terjadi pada tingkat nasional atau ibukota negara, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk diterapkan pada tingkat provinsi dan kabupaten (Yunus 5 Mei 2006, komunikasi pribadi). Contohnya Kalimantan Timur, pusat pemerintahan di Banjarmasin, sedangkan pusat kegiatan ekonomi di Balikpapan. Berdasarkan pemahaman dari perumusan masalah di atas, maka bagan alir dari kerangka pemikiran penelitian yang akan dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah sebagaimana pada Gambar 3.
61
Wilayah/Daerah Kabupaten “Induk”
Tingkat Perkembangan Wilayah Kapasitas Pelayanan Aksesibilitas Persepsi Stakeholders
Kabupaten/Kota ‘A’
Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota ‘B’
Kabupaten/Kota ‘C’
Kajian Akademis
Bahan Pertimbangan Pemerintah, DPRD, LSM, Akademisi, Masyarakat
PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN YANG OPTIMAL
Kepentingan: - Pemerintah - Dunia usaha - Masyarakat
Pembangunan Sarana & Prasarana Pusat Pemerintahan dan Pelayanan
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
PENINGKATAN FUNGSI PELAYANAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
Gambar 3 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.
62
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan kabupaten induk dari tiga kabupaten yang lahir setelah pemekaran dan belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif, serta merupakan tempat penulis bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil. Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan Agustus 2006. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik BPS seperti Podes 2006, data-data dari Bappeda Kabupaten Aceh Timur, peratur an daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik penelitian. Pengumpulan data primer diperoleh dengan melakukan survey, penyebaran kuesioner kepada responden melalui metode analytical hierarchy process (AHP), dan wawancara dengan informan melalui metode actor-oriented analysis. Responden yang dipilih untuk AHP terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, DPRD, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Panitia Penetapan Pusat Pemerintahan, dan akademisi dari Universitas Samudera dan IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, dengan prinsip bahwa responden yang dipilih mempunyai pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan di Kabupaten Aceh Timur. Selain responden untuk AHP, juga diwawancarai informa n untuk actor oriented analysis dari pengambil kebijakan dan berbagai komponen masyarakat, dengan jumlah keseluruhan sekitar 30 informan. Data kependudukan dan sarana-prasarana wilayah yang digunakan dalam analisis adalah data Podes Tahun 2006 dari BPS (lihat Tabel 1).
63
Tabel 1 Daftar data kependudukan dan jenis sarana-prasarana yang dianalisis NO
KEPENDUDUKAN DAN JENIS SARANA PRASARANA
1
Jumlah Penduduk Laki-laki (org)
2
Jumlah Penduduk Perempuan (org)
3
Jumlah Penduduk (org)
4
Jumlah Keluarga (keluarga)
5
Keluarga yang Menggunakan Telpon Tetap
6
Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN
7
Rumah Permanen
8
Surau/Langgar
9
Mesjid
10
Vihara/Kelenteng
11
TK Negeri & Swasta
12
SD Negeri & Swasta & yang Sederajat
13
SLTP Negeri & Swasta & yang Sederajat
14
SLTA Negeri & Swasta & yang Sederajat
15
Kelas Jauh Perguruan Tinggi
16
Pondok Pesantren/Madrasah Diniyah
17
Lembaga Pendidikan Komputer
18
Kantor Kecamatan
19
Kantor Desa/ Kelurahan
20
Apotik & Toko Obat
21
Posyandu
22
Tempat Praktek Bidan
23
Tempat Praktek Dokter
24
Tempat Praktek Dokter Spesialis
25
Puskesmas
26
Poliklinik/Balai Pengobatan
27
Polindes
28
Puskesmas Pembantu
29
Rumah Sakit Bersalin/ Rumah Bersalin
30
Kantor Pos/Pos Pembantu/Rumah Pos
31
Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel
32
Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman
33
Toko/Warung/Kios (unit)
34
Hotel/Losmen/Penginapan
35
Tempat penyewaan video/vcd
36
Penggilingan Padi/ RMU
37
Batul Maal wat Tamwil (BMT)
38
Bank Umum
39
Pasar Hewan
40
Terminal angkutan roda 4
(Sumber: BPS, Podes 2006)
64
Metode Analisis Data yang terkumpul dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diteliti. Untuk memudahkan analisis, maka diperlukan asumsi dan batasan
sebagai
berikut: 1. Wilayah kajian adalah wilayah administratif Kabupaten Aceh Timur. 2. Semua kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi dan peluang untuk dipilih menjadi lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan. 3. Jumlah pusat pemerintahan yang ditetapkan adalah 1 (satu) dan jumlah pusat pelayanan yang difokuskan pengembangannya adalah 3 (tiga). 4. Pusat pemerintahan sekaligus berfungsi sebagai pusat pelayanan hirarki I. 5. Jarak tempuh adalah panjang jalan (road distance) antar ibukota kecamatan sebaga i peubah aksesibilitas yang berbanding lurus dengan waktu tempuh dan transportation cost. 6. Pusat pemerintahan kabupaten adalah seluruh wilayah administratif dari kecamatan yang terpilih dan ibukota kabupaten adalah ibukota dari kecamatan yang terpilih. 7. Seluruh penduduk di luar kecamatan terpilih diarahkan untuk dilayani oleh kecamatan terpilih. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab research question adalah analisis skalogram, spatial interaction analysis location-allocation model, analytical hierarchy process (AHP), actor-oriented analysis, dan analisis deskriptif. Analisis Skalogram Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki pusat-pusat kecamatan dan keberadaan kota-kota kecil menengah dalam mendukung penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan yang optimal. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap kecamatan didata dan disusun dalam satu tabel seperti pada Tabel 2.
65
Metode skalogram bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap kecamatan, atau menuliskan ada-tidaknya fasilitas tersebut di suatu kecamatan tanpa memperhatikan jumlah atau kuantitasnya. Selain itu, melalui metode ini juga akan diidentifikasi jenis, jumlah, dan karakteristik infrastruktur yang diperlukan sebagai fasilitas
yang akan mendukung
perkembangan perekonomian di suatu kecamatan.
Infrastruktur ini akan
mencakup tiga kelompok prasarana utama, yaitu : 1. Hardware Infrastructure, meliputi: Jaringan jalan, listrik, gas, air bersih, telekomunikasi, dan sebagainya. 2. Software Infrastructure, meliputi: Kualitas sumberdaya manusia (SDM), sikap kewirausahaan, manajemen, kemampuan menghimpun informasi pasar dan pemasaran, dan konsultasi. 3. Institutional Infrastructure, meliputi: Pendidikan dan latihan, promosi, perdagangan, penelitian, asosiasi produsen, pedagang dan eksportir, dan sebagainya. Data prasarana yang digunakan untuk analisa skalogram ini adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2006 dari Badan Pusat Statistik. Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: 1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas dalam unit-unit kecamatan. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh kecamatan diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya, fasilitas yang paling jarang penyebarannya diletakkan di kolom paling kanan.
Angka yang
dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit kecamatan. 2. Menyusun
wilayah
kecamatan
mempunyai ketersediaan fasilitas
sedemikian
rupa,
kecamatan
yang
paling lengkap diletakkan di susunan
paling atas, sedangkan kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap diletakkan di susunan paling bawah. 3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal, baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap kecamatan. 4. Menjumlahkan masing- masing unit fasilitas
secara vertikal, sehingga
diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh kecamatan.
66
5. Dari hasil penjumlahan diperoleh urutan, posisi teratas merupakan kecamatan yang mempunyai fasilitas terlengkap, sedangkan posisi terbawah merupakan kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap. 6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua kecamatan dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas
yang persis sama, maka
pertimbangan ketiga adalah jumlah penduduk. Kecamatan dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas. Tabel 2 Skalogram Kabupaten “X” Kecamatan
Populasi
Mushola
SD
Puskes.
SMP
Bank
Jumlah Jenis
Jumlah Unit
Di samping cara sebagaimana telah dijelaskan pada metode skalogram tersebut, juga terdapat metode lain yang merupakan modifikasi dari metode skalogram yang disebut dengan penentuan indeks sentralitas dengan berdasarkan jumlah penduduk dan jenis fasilitas pelayanan. Secara teoritik, hirarki kecamatan sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan kecamatan secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja, tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia, serta kapasitas perekonomiannya. Model untuk menentukan nilai indeks perkembangan (IP j) suatu kecamatan adalah:
IP Dimana:
I
' ij
j
=
=
n
∑ I 'ij i
I
ij
− I i min
SD
i
IPj Iij I’ij Ii min SDi
= Indek perkembangan kecamatan ke j = Nilai indikator perkembangan kecamatan ke i kecamatan ke j = Nilai indikator perkembangan ke i terkoreksi/terstandarisasi kecamatan ke j. = Nilai indikator perkembangan ke i terkecil. = Standar deviasi indeks perkembangan ke i.
67
i j
= Indikator yang dianalisis (lihat Tabel 1). = Kecamatan yang dianalisis (lihat Tabel 4).
Untuk menghitung nilai kapasitas pelayanan (KPj) adalah:
KP KPj IPj Pj
j
=
IP x P j
j
= Kapasitas pelayanan untuk kecamatan ke j (jiwa). = Indeks perkembangan kecamatan untuk kecamatan ke j. = Jumlah penduduk kecamatan ke j; dari data Podes 2006. Nilai ini akan digunakan untuk mengelompokkan kecamatan dalam kelas-
kelas yang dibutuhkan atau hirarki kecamatan. Diasumsikan bahwa kelompok yang diperoleh berjumlah 3, yaitu kelompok I dengan tingkat perkembangan tinggi, kelompok II dengan tingkat perkembangan sedang, dan kelompok III dengan tingkat perkembangan rendah. Selanjutnya ditetapkan suatu konsensus, misalnya jika nilainya adalah lebih besar atau sama dengan (2 x standar deviasi + nilai rata-rata), maka dikategorikan tingkat perkembangan tinggi, kemudian jika antara nilai rata-rata sampai (2 x standar deviasi + nilai rata-rata) maka termasuk tingkat pertumbuhan sedang, dan jika nilai ini kurang dari nilai rata-rata, maka termasuk dalam nilai pertumbuhan rendah. Secara matematis kelompok tersebut adalah: Hirarki I = Xavg + 2 Stdev
(Tingkat perkembangan tinggi).
Xavg + 2 Stdev > Hirarki II = Xavg
(Tingkat perkembangan sedang).
Hirarki III < Xavg
(Tingkat perkembangan rendah)
Ada beberapa kelemahan yang mungkin dijumpai dalam penggunaan analisis skalogram pada data riil. Pertama, pada umumnya batas-batas wilayah nodal tidak tepat berimpitan dengan wilayah administratif, sehingga data-data yang digunakan dalam analisis perencanaan sering bersifat kompromistis. Kedua, kenyataan yang ditemukan adalah batas-batas wilayah nodal tersebut mudah sekali berubah, terutama berkaitan dengan perubahan sistem transportasi (Rustiadi et al. 2004). Spatial Interaction Analysis Location-allocation Model
68
Spatial interaction analysis dengan menggunakan metode locationallocation models adalah merupakan salah satu pendekatan dari model- model optimasi dalam penentuan lokasi suatu aktifitas yang dapat meminimumkan biaya, jarak, waktu, dan faktor kendala lainnya. Salah satu analisa interaksi spasial melalui pendekatan dari
location-
allocation model adalah penggunaan metode p-median problem. P-median problem adalah metode pemecahan masalah dalam penentuan lokasi optimal untuk penempatan ’P’ fasilitas di suatu wilayah dengan upaya meminimalkan kendala atau constraints. Model analisis ini sejak tahun 1998 mulai diperkenalkan sebagai salah satu mata ajaran pada mata kuliah Facilities Design and Logistics oleh Professor Phill Kaminsky dari University of Berkeley, informasi lebih rinci dapat diperoleh dari
[email protected]. Penyelesaian fungsi- fungsi dari p-median problem ini dilakukan dengan menggunakan program komputer/software Java Applets P-Median
Solver.
Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs internet http://www.hyuan.com/java/index.html, untuk mengolah datanya harus dalam
keadaan on line/interaktif dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk menganalisa suatu wilayah dengan jumlah simpul sampai dengan 99 simpul. Masalah penentuan lokasi tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Banyaknya kemungkinan keputusan lokasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
N N! ≡ P P!( N − P)! Dimana : P = jumlah dari fasilitas yang akan di alokasikan di wilayah kecamatan j, (dalam kasus ini P sama dengan 1, karena P dianggap
sebagai
satu
kesatuan
pengalokasian
fasilitas
pelayanan, dimana seluruh fasilitas akan ditempatkan di satu wilayah kecamatan yang sama). N = banyaknya lokasi kedudukan pengguna fasilitas (dalam kasus ini N sama dengan jumlah kecamatan yang berpeluang untuk terpilih sebagai lokasi pengalokasian fasilitas).
69
Pada kasus lain, jika P = 5 jenis fasilitas yang akan ditempatkan secara terpisah pada lokasi yang berbeda antara satu sama lain dengan N = 20, maka jumlah kemungkinan lokasi = 15.504, dan jika N = 50 dan P = 10, maka kemungkinan lokasi penempatan adalah 10E10!. Secara matematis, masalah p-median dapat dijelaskan seperti di bawah ini. Input :
hi = bobot simpul kecamatan asal i; bobot simpul yang digunakan adalah
jumlah
jenis
prasarana
kecamatan,
indeks
perkembangan kecamatan, dan kapasitas pelayanan kecamatan dari hasil analisis skalogram (lihat Tabel 5, 6, dan 7). dij = jarak tempuh atau panjang jalan antara kecamatan asal i dengan kecamatan tujuan j (lihat Lampiran 4). Peubah jarak diasumsikan berbanding lurus dengan waktu, transportation cost, atau effort lainnya. Variabel keputusan: Variabel lokasi (Xj): Xj = 1, jika kecamatan j dijadikan lokasi potensial yang akan dipilih; 0, jika tidak Variabel alokasi (Yij): Yij = 1, jika pelanggan di kecamatan i dilayani oleh kecamatan j 0, jika tidak. Persamaan umum dari pada fungsi tujuan Z untuk meminimalkan jarak, waktu tempuh, biaya, atau effort yang dibutuhkan pelanggan untuk menuju lokasi fasilitas pelayanan terdekat adalah sebagai berikut: Min Z =
n
n
i
j
∑∑ h d Y i
ij
ij
Asumsi: Yij = 1, bahwa setiap pelanggan di kecamatan i diarahkan ke kecamatan j. Xj = P, bahwa semua P fasilitas ditempatkan di kecamatan j. Yij – Xj ≤ 0, hubungan variabel alokasi dengan variabel lokasi. Variabel lokasi X dan variabel alokasi Y adalah biner: Yij = 0, 1 Xj = 0, 1
70
Karena X dan Y adalah biner, maka rumus di atas tidak dapat diselesaikan dengan standard linier programming techniques, tetapi dengan fungsi lagrangian relaxation. Sebagai fungsi algoritma, lagrangian relaxation secara sistematis akan menentukan the lowest upper-bound sebagai perkiraan pilihan terburuk dan the highest lower-bound sebagai perkiraan pilihan terbaik. Karena merupakan persamaan integer-programming maka ada n2 zero-one variabels. Pengurangan jumlah calon lokasi akan membuat variabel ini lebih kecil. Dalam kasus ini, karena ada 21 kecamatan maka ada 212 zero-one variabels. Data yang digunakan untuk analisa ini adalah data sekunder, yaitu data kependudukan dan prasarana dari data Potensi Desa Tahun 2006 Badan Pusat Statistik. Sedangkan data primer adalah data jarak tempuh atau panjang jalan antar ibukota kecamatan dari hasil survey lapang. Tahapan penerapan dari lagrangian relaxation dalam memecahkan masalah p-median sebagai berikut: Langkah 1: Pengaturan (setting up). Constraint bahwa setiap pelanggan di i diarahkan ke j dihilangkan dan ditambahkan dengan constraint dari vektor variabel untuk mengobjektifkan fungsi yang disebut dengan lagrange multipliers.
MAX MIN λ
X ,Y
∑ ∑ h d Y + ∑ λ 1 −∑ Y i
i
ij
ij
j
i
i
j
ij
Langkah 2: Penyederhanaan Masalah. Untuk penetapan nilai lagrange multiplier yang pada langkah sebelumnya diminimalkan dengan pengaturan nilai dari masing- masing variabel lokasi X menjadi 1. Nilai V untuk setiap bakal calon lokasi j ini diberikan oleh:
V ≡∑ min { 0, h d −λ } j
i
i
ij
i
Nilai V terkecil ditentukan setelah variabel lokasi yang sesuai X diatur menjadi 1 dan seluruh variabel lokasi selain X diatur menjadi 0. Variabel alokasi Y diatur menjadi:
Y
ij
1, jika X j dan hi d ij − λ i < 0 ≡ 0, jikatidak
71
Langkah 3: Updating the lower bound dan upper bound. Untuk setiap kali proses iterasi, satu the lowest upper-bound (perkiraan dengan skenario terburuk) dan satu the highest lower bound (perkiraan untuk skenario terbaik) harus ditentukan. Suatu upper-bound adalah sebuah solusi yang dapat ditemukan dengan mempertemukan constraint dari keadaan aslinya. The lowest upper-bound untuk mencari pilihan yang terbaik dari yang terburuk adalah tujuan algoritma ini. Penentuan upper-bound secara sederhana dilakukan dengan penentuan lokasi terdekat untuk masing- masing pelanggan. Variabel alokasi yang bersesuaian (Y) dijadikan 1, dan yang lain seluruhnya dijadikan 0. Pemecahan masalah yang dimodikasi akan mencari solusi yang lebih baik atau sepadan dengan solusi dari masalah yang sebenarnya. Hal tersebut dilakukan dengan mengevaluasi fungsi pmedian dari nilai variabel yang ditemukan pada langkah 2. Langkah 4: Modifikasi Langrange Multipliers. Suatu teknik yang memandu iterasi untuk solusi optimal yang mempertemukan constraints dari permasalahan yang sebenarnya, disebut dengan subgradient optimization yang digunakan untuk meng-update langrange multipliers. Subgradient optimization dengan variabel t dapat digambarkan sebagai berikut:
(UB − L ) A ≡ t ∑ ∑ Y −1 n
n
n
ij
i
i
An = konstanta untuk n iterasi, umumnya A1 diset sampai 4;
Dimana:
t n = stepsize dari n iterasi dari prosedur lagrangian; UB = nilai upper-bound terbaik dari fungsi p-median yang terpilih; Ln = nilai fungsi terpilih menggunakan solusi yang dihasilkan dari penjabaran masalah; Yij = nilai optimal dari variabel alokasi, Yijn pada n iterasi. Lagrange Multipliers di-update menurut persamaan berikut:
λ
n −1 i
n n n ≡ max 0, λ i − t ∑ Y ij −1 j
Langkah 5: Evaluasi Hasil. Jika pada sembarang titik pada saat lowerbound sama atau mendekati upper-bound, berarti solusi optimal dari
72
permasalahan sebenarnya telah ditemukan dan algoritma akan mengakhiri proses penghitungan p-median. Jika solusi untuk lokasi terbaik telah ditemukan, maka simpul tersebut akan ditandai dengan warna hijau dengan lingkaran merah. Untuk menempatkan suatu batasan yang layak pada waktu me-run algoritma, sistem ini akan membatasi jumlah iterasi sampai 100 dan nilai A tidak kurang dari 0,01. Jika upper-bound tidak berkurang setelah iterasi ke 4, maka A diubah menjadi A/2. Jika tidak satupun keadaan di atas ditemui untuk penghentian proses perhitungan, maka akan dilakukan iterasi ulang mulai dari langkah 2. Dalam metode p-median ada dua faktor yang sangat berpengaruh, yaitu faktor jarak antar simpul dan faktor bobot dari simpul yang akan dianalisis. 1. Jarak antar simpul kecamatan atau wilayah (dij ). Pengertian jarak di sini adala h hubungan secara spasial antar lokasi suatu tempat dalam ruang., dalam konsep fisika, interpretasi yang paling modern terhadap dij adalah nilai hambatan berinteraksi dari i ke j, sedangkan dalam konsep ekonomi dij secara umum diartikan sebagai besarnya korbanan atau biaya (cost) berinteraksi dari i ke j. Dengan demikian pengertian terhadap jarak harus diperluas, tidak sekedar pengertian jarak dalam pengertian fisik semata. Namun demikian, dalam tatanan operasional terdapat berbagai konsep jarak fisik, seperti konsep jarak lurus terdekat (straight line distance), jarak menurut jalan darat (road distance), jarak jalan setapak, dan sebagainya. Untuk berbagai kasus seringkali konsep jarak ”waktu tempuh” memiliki pengertian yang lebih efektif dan logis (Rustiadi et al. 2004). Dalam model ekonomi, konsep jarak sering diartikan sebagai biaya atau korbanan di dalam berinteraksi. Secara praktis konsep biaya perjalanan dapat memanfaatkan harga nominal tarif yang berlaku dalam melakukan perjalanan menggunakan kendaraan umum. Namun menggunakan nilai tarif kendaraan umum sering tidak realistik akibat sistem tarif kendaraan umum yang tidak kontinyu, karena adanya kesamaan tarif pada interval jarak tertentu. Di berbagai studi, banyak peneliti lebih mengandalkan pendekatan opportinity cost dalam memperkirakan biaya interaksi atau biaya perjalanan (Rustiadi et al. 2004 ).
73
Konsep jarak lurus terdekat (straight-line distance) antara dua titik disebut juga jarak absolut, karena pada dasarnya tidak akan pernah berubah besarannya. satuan yang lazim digunakan adalah km atau mil. Selain dari konsep pendekatan jarak tersebut, dikenal juga istilah jarak relatif. Dalam berbagai hal banyak cara untuk menyatakan jarak relatif, dimana jarak relatif dapat berubah secara radikal walaupun jarak absolutnya tetap. Jarak yang digunakan dalam perhitungan penelitian ini adalah jarak jalan (road distance) yang dilalui kendaraan angkutan umum antara satu ibukota kecamatan ke ibukota kecamatan yang lain 2. Bobot dari simpul kecamatan atau wilayah yang akan dianalisis. Dalam interpretasi lebih lanjut, bobot simpul atau wilayah diartikan sebagai faktor yang berpengaruh, baik sebagai faktor pendorong (push factors) dari wilayah asal i, maupun faktor daya tarik interaksi (pull factors) ke wilayah tujuan j. Penggunaan massa atau bobot dari suatu wilayah atau simpul sangat tergantung pada masalah yang diteliti. Bobot tersebut dapat berbentuk faktor kependudukan, faktor ekonomi, dan faktor sosial yang secara logis berpengaruh, seperti jumlah penduduk, luas wilaya h, PDRB wilayah, jumlah komoditi pertanian suatu daerah, pendapatan asli daerah, jumlah tenaga kerja, indeks ketersediaan fasilitas wilayah, indeks perkembangan wilayah, dan lainlain (Rustiadi et al. 2004). Bobot yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah jenis sarana dan prasarana, indeks perkembangan kecamatan, dan kapasitas pelayanan dengan constraint jarak tempuh atau road distance. Pengambilan peubah jarak tempuh sebagai constraint karena secara umum jarak tempuh berbanding lurus dengan peubah lainnya seperti waktu dan biaya. Analytical Hierarchy Process (AHP) Untuk menggali
persepsi dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan
masyarakat terhadap penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan Kabupaten Aceh Timur dilakukan dengan metode analisis yang dikenal dengan analytical hierarchy process (AHP). Metode ini diperkenalkan oleh Dr. Thomas Saaty di tahun 1970-an.
74
Dalam menetapkan suatu kebijakan, maka perumus kebijakan akan dihadapkan pada banyak faktor, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, dimana seringkali analisis yang dilakukan mengabaikan faktor-faktor yang bersifat kualitatif. Dengan metode AHP, maka semua faktor yang dianggap berpengaruh
terhadap suatu kebijakan akan diikutkan dalam perhitungan.
Beberapa keuntungan dari penggunaan metode AHP antara lain adalah: 1. Dapat merepresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsurunsur pada level yang lebih rendah. 2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang komplek dan tidak terstruktur dengan memberikan skala pengukuran yang jelas guna mendapatkan prioritas. 3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas dengan tidak memaksakan pemikiran yang linier. 4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur- unsur yang mempunyai korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas. Dalam analisis ini, langkah- langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah (Saaty 1980): 1. Mengidentifikasi/mene tapkan masalah yang muncul; 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai; 3. Mengidentikasi kriteria-kriteria yang yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan; 4. Menetapkan struktur hierarchy; Menurut Saaty (1980), hirarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing- masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor.
Hal yang dilakukan dalam suatu hirarki adalah mengukur
pengaruh berbagai kriteria yang terdapat pada hirarki. Pada umumnnya, masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hirarki adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level; 5. Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku/objek yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing- masing faktor.
75
6. Membandingkan alternatif (comparative judgement ). 7. Menentukan faktor- faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority). 8. Menentukan urutan alternatif dengan memperhatikan logical conssistency. Sarana yang digunakan dalam AHP adalah dengan memberikan kuesioner kepada responden terpilih yang mengetahui dan memahami dengan baik masalah yang yang menjadi obyek penelitian. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dengan kriteria responden adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses penentuan pusat pemerintahan, atau minimal pernah terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan di Kabupaten Aceh Timur. Kriteria responden tersebut dimaksudkan agar jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kondisi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan pembangunan. Analisis AHP dilakukan dengan program aplikasi Expert Choice 2000. Untuk mendapatkan skoring yang diperlukan, maka dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dengan jumlah responden tujuh orang. Ketujuh responden tersebut adalah: 1. Sekretaris Bappeda Kabupaten Aceh Timur. 2. Ketua Tim Staf Ahli Bupati Aceh Timur, sekaligus sebagai Ketua Badan Rekonsiliasi Aceh Kabupaten Aceh Timur. 3. Rektor Universitas Samud ra Langsa, sekaligus sebagai Ketua Tim Identifikasi Lapangan Penentuan Lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. 4. Rektor STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. 5. Ketua DPD KNPI Kabupaten Aceh Timur, sekaligus sebagai Ketua Komite Pemilihan Umum Kabupaten Aceh Timur. 6. Ketua Tim Penempatan Ibukota Kabupaten Aceh Timur. 7. Ketua Komisi A (membidangi bidang pemerintahan) DPRD Kabupaten Aceh Timur. Wawancara dengan responden dilakukan melalui pendekatan pribadi peneliti dengan responden tahap demi tahap, karena untuk AHP dibutuhkan ketersediaan waktu responden yang relatif lama sampai kuesioner dapat terisi seperti yang dikehendaki. Pada pertemuan pertama, biasanya sebagai introduction
76
antara peneliti dan masalah yang diteliti dengan responden, sambil membuat janji bertemu pada kesempatan berikutnya. Di pertemuan kedua, peneliti berdiskusi dengan responden tentang hal- hal yang menyangkut penentuan lokasi pusat pemerintahan, pada kesempatan ini juga penulis memberikan kuesioner AHP dan tulisan/makalah tentang penentuan pusat pemerintahan untuk dibaca dan dipelajari. Kuesioner AHP yang diberikan pada pertemuan kedua tersebut tidak untuk diisi, tetapi hanya untuk dibaca agar familiar dengan struktur pertanyaan yang ada di dalamnya. Kuesioner AHP baru akan diisi oleh responden bersamasama dengan peneliti pada kesempatan ketiga. Di sini responden dituntun untuk memahami pertanyaan dan memilih jawaban yang sesuai dengan keinginan responden yang tersedia dalam kuesioner. Adakalanya, pengisian kuesioner diambil alih peneliti dengan cara memindahkan jawaban verbal responden ke kuesioner. Analisa Deskriptif Analisa deskriptif atau logica verbal analysis digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa, menyintesa, menjabarkan, dan menghubungkan fenomena riil dengan hasil analisis yang dilakukan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang realistis. Actor-oriented Analysis Dalam pendekatan ini manusia manusia
sebagai
makhluk
menjadi focus of analysis yang melihat
berbudaya (human oriented disipline)
yang
menekankan pada behaviour, perception, dan activities (Yunus 2005). Penempatan manusia sebagai focus of analysis salah satunya melalui pendekatan actor-oriented analysis. Menurut Long (2001), pendekatan actor-oriented analysis adalah suatu pendekatan yang lebih dinamis untuk memahami perubahan sosial dengan penekanan pada hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan antara faktor internal dan eksternal, yang berintikan pada kesadaran dan tindakan manusia Penerapan dari pendekatan ini dikenal luas dalam sosiologi dan antropologi sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pendekatan ini berkisar pada analisis fenomena dan interaksi simbolik terhadap bentuk-bentuk pengambilan
77
keputusan dan kebijakan. Keuntungan dari pendekatan ini pada kemampuannya dalam menjelaskan berbagai respon yang berbeda-beda terhadap keadaan struktural dari masalah yang sama. Dengan demikian anggapan yang timbul dari pola ini adalah ada tidaknya kerjasama antara aktor-aktor itu sendiri. Pendekatan actor-oriented merujuk pada kecenderungan dimana setiap orang memiliki pandangan tertentu yang relatif subjektif terhadap suatu permasalahan yang ditemuinya, sehingga jika saja dia memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan terhadap permasalahan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan yang diambil cenderung berorientasi atau bertitiktolak kepada cara pandangnya itu. Peluang inilah yang dapat menghitam-putihkan sebuah keputusan yang kadang-kadang sangat bertolak belakang dengan pandangan umum yang rasional
yang dipahami oleh sebagian besar orang.
Walaupun tidak selalu keputusan yang diambil terkesan merugikan, namun sering kali yang menonjol adalah nuansa politis dari pada teknis. Informan untuk analisis ini merupakan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, yaitu para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dan masyarakat (akademisi, dunia usaha, dan masyarakat umum). Pengumpulan informasi dalam bentuk persepsi dilakukan dengan metode wawancara verbal non formal di samping menginterpretasi hasil AHP. Hasil wawancara di-record dalam bentuk catatan harian. Pendekatan analisis melalui interpretasi terhadap jawaban dari masalah yang dikemukakan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder). Jawaban tersebut diinterpretasi dan dihubungkan satu sama lain melalui logica verbal analysis sehingga dapat diperoleh gambaran persepsi dari semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
78
Matrik dan Kerangka Analisis Penelitian Matrik dan kerangka analisis penelitian dapat disusun sebagaimana pada Tabel 3 dan Gambar 4. Tabel 3 Masalah, tujuan, metode analisis, data, dan sumber data No
Masalah
Tujuan
Analisis
1.
Bagaimana struktur hirarki pusatpusat aktifitas & keberadaan kota-kota kecil dan menengah di Kabupaten Aceh Timur.
Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktifitas & keberadaan kotakota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di Kab. Aceh Timur.
Skalogram, Deskriptif
2.
Dimanakah lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan?
Menentukan lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan.
Skalogram, Spatial interaction analysis Locationallocation model: P-median problem, Deskriptif.
Bagaimana persepsi pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
Menggali persepsi dari pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
AHP, Actororiented analysis, Deskriptif
3.
Data yang dibutuhkan
Primer
Sekunder
Sumber Data
Peta Adm, Podes 2006 (Fasilitas Infrastruktur, Sosial, Kelembagaan, Kependudukan dan Ekonomi)
BPS: Podes 2006 , Publikasi Pemkab Aceh Timur.
Jarak
Peta Adm, Podes 2006 (Fasilitas Infrastruktur, Sosial, Kelembagaan, Kependudukan dan Ekonomi) Hasil analisis skalogram
Survei, BPS: Podes 2006, Publikasi Pemkab Aceh Timur.
Persepsi
Produk hukum pemerintah pusat dan daerah. Hasil analisis skalogram dan p-median.
Responden: Ketua BRA, Sekretaris Bappeda, Ketua Komisi A DPRD, Rektor UNSAM dan IAIN Cot Kala, Ketua KNPI, Ketua Panitia Penentuan Ibukota. Informan: Eksekutif, Legislatif, Swasta, Akademisi, Masyarakat.
79
Data Primer & Sekunder
Identifikasi Hirarki Pusat Aktifitas dan KeberadaanKota Kecil dan Menengah : 1. Analisis Skalogram 2. Analisis Deskriptif
Hirarki Pusat Aktifitas dan Keberadaan Kota Kecil & Menengah
Identifikasi Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dan Pelayanan: 1. Analisis Skalogram 2. Analisis Deskriptif 3. Spatial Interaction Analysis Locationallocation Model: P-Median Problem.
Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dan Pelayanan
Rekomendasi Lokasi Pusat Pemerintahan & Pelayanan Kabupaten Aceh Timur
Gambar 4 Kerangka analisis penelitian.
Penggalian Persepsi Pengambil Kebijakan dan Masyarakat terhadap Penentuan Pusat Pemerintahan: 1. AHP 2. Actor-oriented Analysis. 3. Analisis Deskriptif
Persepsi Pengambil Kebijakan dan Masyarakat terhadap Penentuan Pusat Pemerintahan
80
KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak dan Potensi Geografis Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu kabupaten di pesisir timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan luas wilayah 604.060 Ha atau 6.040,60 km2 . Secara geografis Kabupaten Aceh Timur terletak pada 040 09’21,08”-050 06’02,16” Lintang Utara dan 970 15’22,07”–970 34’47,22” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Aceh Timur secara administratif adalah : - Sebelah utara
: Selat Malaka;
- Sebelah timur
: Selat Malaka dan Kota Langsa;
- Sebelah selatan
: Kabupaten Aceh Tenggara;
- Sebelah barat
: Kabupaten Aceh Utara & Kabupaten Aceh Tengah.
Sumber: Program Pengembangan Leuser.
Gambar 5 Peta Administrasi Kabupaten Aceh Timur.
81
Sejarah Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur Sejarah pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang disampaikan di sini adalah pasca masa kesultanan Aceh, yaitu sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini. Masa Kolonial Belanda Pada masa perang Aceh dari tahun 1873 sampai tahun 1918 seluruh daerah Aceh diduduki kolonial Belanda dengan menempatkan seorang kepala pemerintaha n dengan jabatan Civiel en Militair Gouvernour Van Atjeh en Onderhorighenden. Segala urusan pemerintahan berada pada kewenangan kepala pemerintahan tersebut. Setelah pemerintahan gubernur militer berakhir pada tahun 1918, sistem pemerintahan diubah menjadi gouvernourment schap atau provinsi yang berada di bawah pimpinan Gouvernour Van Sumatera. Daerah Aceh, sejak saat itu berubah statusnya dari suatu daerah provinsi menjadi residentill atau keresidenan. Berdasarkan Staadblaad 1934 Nomor 539–RR–Ned. Indie 1938 blz 192 Keresidenan Aceh dibagi dalam 4 (empat) afdeling, yaitu : 1. Afdeling Aceh Besar (Groot Atjeh) 2. Afdeling Aceh Barat dan Selatan (Wes Zuid Atjeh) 3. Afdeling Aceh Utara (Noordkust Van Atjeh) 4. Afdeling Aceh Timur (Oestkust Van Atjeh) Karesidenan Aceh di pimpin oleh seorang residen dan masing- masing afdeling di pimpin oleh seorang asisten residen. Setiap afdeling dibagi dalam beberapa onder afdeling yang dipimpin oleh seorang kepala wilayah onder afdeling yang disebut controleur. Daerah Aceh Timur merupakan satu afdeling yang dibagi dalam 5 (lima) onder afdeling, yaitu : 1. Onder Afdeling Tamiang, Ibukota Kuala Simpang 2. Onder Afdeling Langsa, Ibukota Langsa 3. Onder Afdeling Idi Rayeuk, Ibukota Idi 4. Onder Afdeling Tanah Alas, Ibukota Kuta Cane 5. Onder Afdeling Gayo Luas en Serbajadi, Ibukota Blang Kejeren.
82
Dalam Afdeling Aceh Timur terdapat Uleebalang yang memimpin landscape, pembagian wilayah landscape tersebut sebagai berikut :
1. Onder Afdeling Tamiang terdiri dari : 1. Landscape Kejuruan Muda 2. Landscape Seruway 3. Landscape Bendahara 4. Landscape Sungai Yu 2. Onder Afdeling Langsa terdiri dari : 1. Landscape Langsa 2. Landscape Sungai Raya 3. Landscape Peureulak 3. Onder Afdeling Idi Rayeuk terdiri dari : 1. Landscape Idi Rayeuk 2. Landscape Peudawa Rayeuk 3. Landscape Bagok en Bugeng 4. Landscape Tanjong Seumantok en Merbo 5. Landscape Julok Cut 6. Landscape Simpang Ulim 4. Onder Afdeling Alas terdiri dari : 1. Landscape Pulonas 2. Landscape Bambel 5. Onder Afdeling Gayo en Serbajadi terdiri dari : 1. Landscape Patiambang 2. Landscape Serbajadi- Lokop Tingkat pemerintahan terendah di bawah landscape disebut gampong/ kedato’an yang dipimpin oleh geuchik , kepala gampong, atau datok. Sementara itu, beberapa gampong/kedato’an digabungkan dalam satu wilayah yang disebut mukim yang dipimpin oleh uleebalang cut atau kepala mukim.
Masa Fasisme Jepang
83
Pada masa pendudukan Jepang sistem pemerintahan kolonial Belanda tetap diteruskan, Jepang hanya menyesuaikan nama dan istilahnya saja menurut bahasa Jepang, seperti :
1. Asisten Residen disebut bun su cho. 2. Countrouler disebut gun cho. 3. Uleebalang disebut sun cho. 4. Uleebalang cut, dato` empat suku disebut ku cho. 5. Geuchik/kepala desa disebut kemi cho. Masa Kemerdekaan RI Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada 3 Oktober 1945 Pemerintahan Negara RI membentuk Provinsi Sumatera. Wilayah Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera dengan status karesidenan, sedangkan wilayah Aceh Timur menjadi kabupaten yang dibagi dalam tiga kawedanaan, yaitu :
1. Kawedanaan Tamiang 2. Kawedanaan Langsa 3. Kawedanaan Idi Rayeuk Masing- masing kawedanaan dibagi dalam beberapa wilayah kecamatan dan wilayah desa/gampong. Pada tahun 2001 Kabupaten Aceh Timur dimekarkan menjadi satu kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten induk dan Kota Langsa sebagai wilayah pemekaran dari kabupaten induk. Pemekaran Kabupaten Aceh Timur ini ditetapkan dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Langsa. Pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur dimekarkan kembali menjadi Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang. Pasca pemekaran Kabupaten Aceh Timur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002, luas wilayah Kabupaten Aceh Timur berkurang dari 8.242,73 km2 menjadi 6.040,60 km2 . Jumlah kecamatan dari 29 kecamatan menjadi 21 kecamatan, dimana 11 kecamatan di antaranya, yaitu Sungai Raya, Peureulak Barat, Peureulak Timur, Banda Alam, Peudawa, Idi Tunong, Indra Makmur, Pante Bidari, Madat, Simpang Jernih, dan Darul Ichsan merupakan kecamatan baru
yang dibentuk dalam
periode tahun 2001 sampai tahun 2005. Ke-11 kecamatan tersebut adalah hasil
84
pemekaran dari 10 kecamatan yang tersisa setelah pembentukan Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang. Sedangkan jumlah desa/kelurahan berkurang dari 745 desa/kelurahan menjadi 486 desa/kelurahan. Tabel 4
Luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Aceh Timur menurut kecamatan tahun 2004 Luas
No
Nama Kecamatan
1
Birem Bayeun
2
Serbajadi
3
Rantau Selamat
4
2
Km
Jumlah %
Desa
Kelurahan
253,66
4,20
26
-
2.245,40
37,17
22
-
159,80
2,65
14
-
Sungai Raya
189,00
3,13
13
-
5
Peureulak
318,02
5,26
33
-
6
Peureulak Timur
182,70
3,02
19
-
7
Peureulak Barat
92,30
1,53
11
-
8
Ranto Peureulak
129,00
2,14
22
-
9
Banda Alam
90,95
1,51
16
-
10
Peudawa
78,90
1,31
17
-
11
Idi Tunong
74,70
1,24
25
-
12
Idi Rayeuk
134,75
2,23
46
1
13
Darul Aman
131,50
2,18
45
-
14
Nurussalam
179,47
2,97
42
-
15
Indra Makmur
89,05
1,47
5
-
16
Julok
234,36
3,88
35
-
17
Simpang Ulim
123,80
2,05
22
-
18
Pante Bidari
233,25
3,86
23
-
19
Madat
200,84
3,32
16
-
20
Simpang Jernih
844,63
13,98
8
-
21
Darul Ihsan
54,50
0,90
16
-
6.040,60
100,00
486
1
Jumlah
(Sumber : Kabupaten Aceh Timur dalam angka tahun 2004)
Geologi dan Jenis Tanah Kondisi geologi Kabupaten Aceh Timur terdiri dari beberapa jenis batuan, sebagian besar batuan sedimen dengan lapisan horizontal seluas 490.882 ha yang
85
tersebar merata di beberapa kecamatan. Jenis-jenis batuan lain yang terdapat di Kabupaten Aceh Timur adalah: 1. Batuan endapan baru dan endapan zaman quarter, penyebarannya hampir di semua kecamatan, kecuali Kecamatan Serbajadi dan Kecamatan Ranto Peureulak. 2. Batuan resen, terdapat di Kecamatan Serbajadi. 3. Batuan vulkanik tersier dan quarter serta batuan beku dalam, terdapat di Kecamatan Serbajadi. 4. Batuan sedimen terlipat, terdapat di Kecamatan Serbajadi. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Aceh Timur di dominasi oleh jenis tanah alluvial/organosol dan gley humus seluas 266.656 ha. Jenis tanah yang lain adalah latosol, podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu, dan mediteran.
Topografi Topografi wilayah Kabupaten Aceh Timur cukup bervariasi, mulai dari datar ke arah pesisir utara dan timur; berombak, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan ke arah Pegunungan Bukit Barisan di bagian selatan dan barat. Penyebaran morfologi yang terbentuk atas topografi sebagai berikut: 1. Dataran 0-15% dengan luas 371.496,90 ha, termasuk daerah pantai, rawa, dan dataran alluvial di pesisir utara dan timur. 2. Dataran bergelombang sampai berbukit 16-40% dengan luas 195.353 ha di wilayah barat dan selatan. 3. Daerah pegunungan dan terjal > 40% dengan luas 37.210 ha di bagian barat dan selatan. Secara fisiografi, wilayah Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya merupakan sebuah dataran masif dengan lipatan dan patahan ke arah barat laut dan tenggara membentuk graben yang dapat terlihat dengan jelas. Lebar dataran rendah ini sekitar 20 km dan langsung berbatasan dengan daerah Pegunungan Bukit Barisan. Klimatologi Pengetahuan tentang klimatologi bermanfaat untuk mengenali tingkat pengaruh iklim terhadap fungsi ruang yang akan digunakan. Dalam analisis daya dukung lahan, klimatologi dijadikan kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan.
86
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt Fergusson, wilayah Kabupaten Aceh Timur termasuk pada tipe iklim A dan B, dengan kondisi iklim seperti pada daerah tropis lain yang terdapat di Indonesia. Musim hujan terjadi pada bulan September sampai Pebruari dan musim kemarau jatuh dari bulan Maret sampai Agustus. Wilayah Kabupaten Aceh Timur mempunyai 2 (dua) bagian temperatur, yakni bagian utara dan selatan. Pada bagian utara, temperatur rata-rata 27o_ 32o C, sedangkan di bagian selatan 22o –26o C. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi topografi wilayah yang
berbeda antara bagian selatan yang didominasi
pegunungan dan di bagian utara yang didominasi dataran rendah. Curah hujan rata-rata antara 1.500 dan 3000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata antara 80 dan110 hari/tahun. Hidrologi Kabupaten Aceh Timur mempunyai beberapa sungai atau dalam Bahasa Aceh disebut krueng, di antaranya adalah: Krueng Arakundo, Krueng Simpang Ulim, Krueng Idi, Krueng Peureulak, dan Krueng Bayeun. Hulu sungai tersebut pada umumnya terdapat di bagian tengah dan selatan wilayah, yang merupakan wilayah dataran agak tinggi dan berhutan. Sungai-sungai tersebut bermuara ke utara di Selat Malaka. Kependudukan Penduduk merupakan faktor paling dominan yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah. Hal ini dimungkinkan karena penduduk merupakan objek dan subjek dari pembangunan yang dengan sendirinya turut menentukan arah atau kecenderungan pembangunan di masa akan datang. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Timur relatif sedikit. Berdasarkan data kependudukan tahun 1999 tercatat sebanyak 357.297 jiwa, tahun 2000 sebanyak 349.091 jiwa, tahun 2001 sebanyak 335.950 jiwa, tahun 2002 sebanyak 337.286 jiwa, tahun 2003 sebanyak 311.336 jiwa, dan tahun 2004 sebanyak 316.536 jiwa. Berdasarkan data tersebut, rata-rata pertumbuhan penduduk dari tahun
1999
87
sampai 2004 menunjukkan tingkat pertumbuhan negatif sebesar –2,34%. Kecamatan yang menunjukkan tingkat pertumbuhan positif sebanyak 8 kecamatan dengan tingkat pertumbuhan antara 0,07%-6,94%, sedangkan 12 kecamatan lainnya mengalami tingkat pertumbuhan negatif antara (–2,24%)-(10,57%). Pertumbuhan negatif tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi keamanan yang sangat rawan dalam masa- masa konflik di Aceh, sehingga banyak masyarakat memilih untuk mengungsi ke wilayah yang lebih aman. Distribusi kepadatan penduduk antar kecamatan tidak merata, berdasarkan data pada tahun 2004, kepadatan penduduk terbesar di Kecamatan Idi Rayeuk sebesar 272 jiwa/km2 , yang terkecil di Kecamatan Simpang Jernih sebesar 4 jiwa/km2 . Apabila ditinjau dari budaya, bahasa, dan adat istiadat, penduduk di Kabupaten Aceh Timur terdiri dari beragam etnis, yang terbesar adalah Etnis Aceh dan Gayo. Etnis Aceh adalah suku yang dominan yang mendiami kawasan utara Kabupaten Aceh Timur, sedangkan Etnis Gayo pada umumnya mendiami kawasan selatan Aceh Timur, seperti di Kecamatan Serbajadi dan Simpang Jernih. Selain etnis tersebut, di Kabupaten Aceh Timur terdapat juga etnis pendatang dari luar Aceh, yaitu Jawa, Minang, Tapanuli dan etnis lainnya. Penduduk dari Etnis Jawa terbesar jumlahnya dibandingkan dengan etnis luar Aceh yang lain. Pada umumnya mereka telah berdomisili di sana sejak zaman Hindia Belanda, di samping yang datang kemudian melalui program transmigrasi. Berdasarkan asal-usul kependudukan, maka penduduk Aceh Timur sebagian besar telah berbaur dalam berbagai segi kehidupan kemasyarakatan, sehingga bila ditinjau dari struktur telah menjadi heterogen. Ditinjau dari segi mata pencaharian, profesi penduduk Kabupaten Aceh Timur terbagi dalam beberapa kelompok kegiatan ekonomi, yaitu :
1. Pertanian
68,89 %
2. Pertambangan dan Penggalian
0,88 %
3. Industri
3,47 %
4. Listrik, Gas dan Air
0,09 %
5. Kontruksi
3,25 %
6. Perdagangan
11,74 %
7. Angkutan dan Komunikasi
3,74 %
8. Keuangan
0,14 %
9. Jasa
7,69 %
10. Lainnya
0,11 %
88
Garis Besar Kebijakan Pembangunan Pembangunan merupakan aspek yang sangat penting dalam mewujudkan kemajuan wilayah. Agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan optimal dan dapat mencapai hasil yang diharapkan, maka perlu adanya perumusan kebijakan pembangunan yang jelas, terarah, logis, dan memperhatikan kharakteristik yang dimiliki oleh daerah. Dengan diberlakukannnya UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 juncto UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2001, mengandung konsekuensi yang cukup menantang bagi daerah. Di satu sisi, kebebasan berkreasi membangun daerah benar-benar terbuka lebar bagi daerah. Namun demikian, di sisi lain telah menghadang setumpuk masalah yang harus diselesaikan. Masalah yang sangat mendasar adalah pola pengelolaan daerah dari sentralistik menjadi desentralisasi, termasuk di dalamnya sumber dana untuk membiayai pembangunan daerah. Secara umum pola kebijakan pembangunan daerah di Kabupaten Aceh Timur telah dituangkan dalam berbagai peraturan daerah, antara lain: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Timur Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten (POLDAS) Aceh Timur Tahun 2001–2005. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Timur Nomor 22 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten Aceh Timur Tahun 2001-2005. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Timur
Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Rencana Strategis Pembangunan (RENSTRA) Kabupaten Aceh Timur Tahun 2001-2005. 4. Renstra Transisi Kabupaten Aceh Timur Tahun 2006-2007. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka pola perencanaan pembangunan telah berubah
89
dengan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-D), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (RKPD). Perubahan pola kebijakan perencanaan tersebut terkait erat dengan perubahan sistem penyelengaraan pemerintahan, dimana pada saat ini kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sesuai UU tersebut maka dokumen RPJM-D merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kerja kepala daerah yang terpilih. Visi
pembangunan
Kabupaten
Aceh
Timur
adalah
”Terwujudnya
Masyarakat Aceh Timur yang Damai, Makmur, Sejahtera, Mandiri, dan Berbudaya Islami dalam Menghadapi Persaingan Global”.Untuk mewujudkan visi tersebut, maka arah kebijakan pembangunan dilaksanakan dalam
beberapa
bidang, yakni hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial dan budaya, pembangunan wilayah dan perdesaan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta keamanan dan ketertiban masyarakat.
Misi Kabupaten Aceh Timur adalah: 1. Mewujudkan masyarakat yang patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku, kehidupan sosial politik yang demokratis dan berkeadilan, serta menjamin kondisi aman, damai, tertib, dan tenteram. 2. Meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana perhubungan, pertanian, kesehatan, pendidikan, agama, dan sektor lainnya. 3. Mengembangkan sektor agroindustri yang berdaya saing tinggi, perdagangan dan pariwisata, dengan meningkatkan arus transportasi darat, laut, dan sungai. 4. Menggali dan meningkatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin di sektor pertanian, pertambangan dan energi, dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. 5. Meningkatkan sumberdaya manusia aparatur dan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, menguasai pengetahuan dan teknologi, sehat,
90
produktif, profesional, transparan, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 6. Meningkatkan ketahanan budaya, saling hormat menghormati, saling asah, asih, dan asuh melalui peningkatan pendidikan formal dan informal yang islami dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, memberdayakan fungsi keluarga sakinah, mawaddah warohmah, dan keluarga berencana. 7. Meningkatkan ketahanan pangan, diversifikasi pangan dan gizi dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat. 8. Menciptakan kesempatan kerja dan modal usaha bagi masyarakat. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Finlandia, membuka harapan baru bagi masyarakat Aceh. Momen ini dijadikan modal awal untuk menata kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus memanfaatkan peluang ini dalam menjalankan perannya sebagai pemegang mandat menejerial pelaksanaan wewenang pemerintahan di daerah. Salah satu tugas utamanya yang mendesak adalah menetapkan pusat pemerintahan yang strategis dan representatif, karena sampai saat ini Kabupaten Aceh Timur belum memiliki pusat pemerintahan yang definitif dan masih menumpang di Kota Langsa. Jika masalah penentuan pusat pemerintahan sudah terselesaikan, maka implementasi dari visi, misi, dan pola kebijakan pembangunan daerah akan dapat dilaksanakan dengan optimal. Jika tidak, maka akan menghambat pembangunan daerah secara keseluruhan dan nama Aceh Timur sebagai Aceh yang “makmur” hanya tinggal kenangan dan slogan belaka. Ikhtisar Nama, sebutan, atau kata “Aceh Timur”, pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1918 ketika sistem pemerintahan gubernur militer kolonial Belanda berakhir dan dirubah dengan pembentukan gouvernourment schap atau provinsi, yang berada dibawah pimpinan seorang Gouvernour Van Sumatera. Sebutan “Aceh Timur” tetap digunakan sampai sekarang sebagai nama suatu wilayah
91
administratif pemerintahan dengan status struktural sesuai zamannya masingmasing. Status terakhir Aceh Timur adalah nama salah satu kabupaten di wilayah timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum otonomi dan pemekaran wilayah, sebutan Aceh Timur identik dengan sebuah wilayah di Aceh yang “makmur” dengan idiom “di atas minyak di bawah minyak”. Maksudnya, pada saat itu potensi paling besar adalah dari sektor perkebunan kelapa sawit dan minyak bumi. Namun setelah pemekaran wilayah, semua potensi tersebut masuk ke wilayah Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Langsa, yang tersisa adalah wilayah Aceh Timur yang marginal. Keadaan ini diperburuk oleh konflik yang berkepanjangan, yang puncaknya mulai tahun 1989 ketika penetapan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang sangat represif sampai dengan penetapan status Darurat Militer yang berakhir pada tahun 2005. Pada masa- masa tersebut seluruh sendi-sendi perekonomian dan sosial kapital masyarakat hancur lebur seluruhnya. Saat ini, kondisi keamanan di Aceh sudah relatif aman, sehingga Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dapat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan seluruh visi dan misi pembangunan yang sudah dicanangkan sebelumnya.
92
HIRARKI WILAYAH Hirarki Pus at Aktivitas dan Keberadaan Kota Kecil dan Menengah Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan. Berdasarkan berbagai tinjauan teoritis dan kajian-kajian yang pernah dilakukan, dapat dipahami mengapa secara spasial kondisi pembangunan di Indonesia mengarah pada ketidakberimbangan.
Munculnya wilaya h-wilayah
seperti Jabotabek, Bandung Raya, dan konsep megapolitan sebagai primate center, dipicu oleh kebijakan yang bersifat urban bias dan pembangunan yang didasarkan pada teori growth pole. Akselerasi pembangunan di pusat-pusat kota dipercepat hingga melebihi share dari aktivitas ekonomi para produsen di kotakota itu sendiri, sehingga hal ini pada akhirnya menjadi daya tarik bagi penduduk di daerah untuk pindah dan mendirikan usaha di kota. Seperti dinyatakan oleh Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terpusat di kota, maka intensifikasi di daerah hinterland hanya akan membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah dari yang seharusnya. Dalam kondisi demikian, maka sangat wajar apabila pertumbuhan pusat pasar di wilayah hinterland menjadi tidak berkembang, atau bisa dikatakan perkembangan kota-kota kecil menengah sangat terbatas. Pada perkembangan selanjutnya, akan terjadi konsentrasi demand di kotakota besar dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan demand di daerah hinterland. Dengan demand yang sedemikian besar, maka aktivitas ekonomi di daerah hinterland (terutama yang dekat dengan primate center) pada akhirnya bukan ditujukan untuk mengembangkan wilayah hinterland, tetapi lebih ditujukan untuk menangkap konsentrasi demand dari pusat-pusat kota. Keadaan ini semakin memperburuk perekonomian daerah hinterland dari primate center, karena semakin meningkatnya regional leakages suatu wilayah.
93
Sebagai contoh, hampir seluruh kebutuhan sehari- hari masyarakat Aceh di supply dari Sumatera Utara, dan mayoritas masyarakat Aceh juga berbelanja ke Medan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, mulai dari yang primer sampai tertier. Multiplier effects dari aktivitas perekonomian yang diharapkan bisa terjadi di Aceh malah tidak terjadi sama sekali. Pada kondisi yang lebih ekstrim, bukan hanya regional leakages yang terjadi, tetapi national leagakes malah lebih parah lagi. Jika dicermati dalam tiga tahun belakangan ini semakin meningkatnya trend atau kecenderungan masyarakat Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat untuk berwisata pada masa liburan, belanja, dan untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan medis yang prima, memilih pergi ke Malaysia dari pada di Indonesia sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang mengalami leakages adalah wilayah yang tidak mampu memenuhi atau menyediakan kebutuhan masyarakat dalam wilayah itu sendiri, walaupun willingness to pay dari masyarakatnya sangat memadai. Berikut ini, diuraikan kondisi empiris lokasi pusat-pusat hirarki dalam kaitannya dengan upaya untuk menentukan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur. Seperti ditunjukkan oleh hasil analisis skalogram pada Tabel 5, diketahui bahwa Kecamatan Idi Rayeuk menduduki urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah jenis fasilitas, sedangkan Kecamatan Peureulak menempati urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah fasilitas. Hal ini memang sesuai dengan kondisi riil di lapangan dimana kota Idi dan Peureulak merupakan kota ibukota kecamatan paling maju dibandingkan kota-kota ibukota kecamatan lainnya. Berikutnya, berdasarkan jenis fasilitas yang tersedia, terlihat bahwa fasilitas listrik, komunikasi seluler, puskesmas, SD, dan SMP terdapat di hampir semua wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur. Beberapa fasilitas tertentu seperti hotel, jaringan air minum, jaringan telepon kabel, perbankan, dan perguruan tinggi hanya terdapat di wilayah tertentu saja, terutama di wilayah pusat aktivitas seperti di kota Peureulak dan Idi. Berdasarkan analisis skalogram tersebut, Kecamatan Idi Rayeuk berada pada rangking 1, dan satu-satunya kecamatan yang masuk hirarki I. Dengan
94
demikian, apabila dilihat pada level kabupaten, maka wilayah Kecamatan Idi Rayeuk adalah wilayah inti, sedangkan kecamatan-kecamatan lain menjadi hinterland-nya. Secara konseptual wilayah inti dan wilayah hinterland merupakan suatu sistem wilayah yang saling terkait secara sinergis. Tabel 5 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana Ranking
Ibukota Kecamatan
Kecamatan
Jumlah Jenis Sarana dan Prasarana
Jumlah Sarana dan Prasarana
Hirarki
1
Idi Rayeuk
Idi
33
854
I
2
Peureulak
Peureulak
28
887
II
3
Julok
Kuta Binje
24
648
II
4
Simpang Ulim
Simpang Ulim
24
542
II
5
Pante Bidari
Lhok Nibong
20
231
II
6
Birem Bayeun
Birem Rayeuk
19
309
II
7
Rantau Selamat
Bayeun
19
280
II
8
Darul Aman
Idi Cut
18
464
II
9
Indra Makmur
Seuneubok Bayu
17
219
III
10
Sungai Raya
Labuhan Keude
17
161
III
11
Nurussalam
Bagok
16
382
III
12
Ranto Peureulak
Ranto Panyang
16
367
III
13
Serbajadi
Lokop
16
257
III
14
Madat
Madat
15
216
III
15
Idi Tunong
Buket Teukueh
15
199
III
16
Peudawa
Seuneubok Punteut
15
133
III
17
Peureulak Timur
Alue Tho
14
183
III
18
Peureulak Barat
Beusa Seubrang
14
161
III
19
Banda Alam
Panton Rayeuk M
12
135
III
20
Simpang Jernih
Simpang Jernih
9
39
III
21
Darul Ihsan
Blang Aron
7
46
III
Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).
Wilayah inti berfungsi untuk mendorong dan memfasilitasi perkembangan wilayah hinterland dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang dibutuhkan,
sedangkan wilayah hinterland lebih berfungsi sebagai kawasan
produksi yang bisa menjadi wilayah suplai bagi wilayah inti. Namun, karena memang pemahaman tentang keterkaitan antara wilayah inti dan hinterland masih lemah, maka program yang seharusnya ditujukan untuk mendorong keterkaitan antar wilayah, justru seolah-olah lepas dari dinamika keterkaiatan sosial ekonomi yang sudah ada. Seperti fungsi pelayanan di Kecamatan Idi Rayeuk harus
95
dikembangkan dan diarahkan untuk memfasilitasi perkembangan wilayah hinterland-nya yang mengandalkan kegiatan ekonominya pada sektor pertanian. Tabel 6 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indeks perkembangan kecamatan.
Ranking Kecamatan
Ibukota Kecamatan
Indeks Perkembangan Kecamatan
Hirarki
1
Idi Rayeuk
Idi
111
I
2
Peureulak
Peureulak
68
II
3
Julok
Kuta Binje
49
II
4
Simpang Ulim
Simpang Ulim
40
II
5
Nurussalam
Bagok
36
II
6
Darul Aman
Idi Cut
36
II
7
Ranto Peureulak
Ranto Panyang
33
II
8
Pante Bidari
Lhok Nibong
30
II
9
Birem Bayeun
Birem Rayeuk
29
III
10
Madat
Madat
26
III
11
Rantau Selamat
Bayeun
23
III
12
Idi Tunong
Buket Teukueh
21
III
13
Sungai Raya
Labuhan Keude
19
III
14
Serbajadi
Lokop
19
III
15
Indra Makmur
Seuneubok Bayu
18
III
16
Peureulak Timur
Alue Tho
17
III
17
Peudawa
Seuneubok Punteut
16
III
18
Peureulak Barat
Beusa Seubrang
15
III
19
Banda Alam
Panton Rayeuk M
12
III
20
Darul Ihsan
Blang Aron
8
III
21
Simpang Jernih
Simpang Jernih
4
III
Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).
Secara geografis, kota Idi sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan terletak persis di tengah-tengah jalur transportasi yang menghubungkan antar kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur. Kenyataan ini semakin mendukung untuk dijadikannya Idi sebagai ibukota kabupaten tempat berkedudukan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Hasil analisis skalogram berdasarkan indeks perkembangan kecamatan, seperti pada Tabel 6, dan berdasarkan kapasitas pelayana n seperti pada Tabel 7, juga menunjukkan Kecamatan Idi Rayeuk berada pada hirarki I. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Idi secara realitas telah menjadi pusat bagi berbagai aktifvitas
96
yang berkaitan dengan permukiman, pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan sebagainya. Idi memiliki beberapa fasilitas umum yang tidak dimiliki oleh kota-kota lainnya di Kabupaten Aceh Timur, seperti hotel dan tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Bahkan, saat ini Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sedang memfasilitasi peningkatan status pelabuhan perikanan Kuala Idi menjadi pelabuhan international, untuk mendukung ketersediaan prasarana hubungan perdagangan internasional dan regional. Tabel 7 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan.
Ranking
Kecamatan
Ibukota Kecamatan
Kapasitas Pelayanan
Hirarki
1
Idi Rayeuk
Idi
4.204.385
I
2
Peureulak
Peureulak
2.458.916
II
3
Julok
Kuta Binje
1.076.112
II
4
Simpang Ulim
Simpang Ulim
812.667
II
5
Birem Bayeun
Birem Rayeuk
656.402
III
6
Ranto Peureulak
Ranto Panyang
617.188
III
7
Nurussalam
Bagok
610.339
III
8
Pante Bidari
Lhok Nibong
592.233
III
9
Madat
Madat
576.108
III
10
Darul Aman
Idi Cut
505.596
III
11
Indra Makmur
Seuneubok Bayu
261.573
II
12
Rantau Selamat
Bayeun
251.795
III
13
Peureulak Barat
Beusa Seubrang
244.252
III
14
Serbajadi
Lokop
225.822
III
15
Peureulak Timur
Alue Tho
191.875
III
16
Sungai Raya
Labuhan Keude
165.589
III
17
Idi Tunong
Buket Teukueh
156.563
III
18
Peudawa
Seuneubok Punteut
133.194
III
19
Banda Alam
Panton Rayeuk M
77.632
III
20
Darul Ihsan
Blang Aron
31.924
III
Simpang Jernih
14.854
III
21 Simpang Jernih Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).
Pada level provinsi, pelabuhan perikanan Kuala Idi merupakan pelabuhan perikanan besar, di samping Lampulo di Banda Aceh dan Pusong di Lhokseumawe.Selain itu, fasilitas- fasilitas pendukung lainnya juga cukup berkembang, seperti toko-toko, warung, pasar, bank, sekolah, lembaga pendidikan, wartel, dokter, sarana kesehatan, dan sebagainya. Bahkan, di Idi telah
97
dibuka praktek dokter spesialis, yang di kecamatan tertentu lainnya praktek dokter umum saja belum ada. Menurut informasi dari pihak perbankan, dalam waktu dekat akan ada bank devisa nasional membuka cabang di Idi, hal ini tentunya akan semakin mendukung posisi Idi sebagai wilayah inti pusat pertumbuhan dan pelayanan di Kabupaten Aceh Timur. Karena itu, yang potensial menjadi wilayah pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah Kecamatan Idi Rayeuk dengan Idi sebagai ibukota kabupaten. Interaksi Spasial Kota Kecamatan dengan Pusat Aktivitas Wilayah Dalam pembangunan wilayah ada dua dimensi spasial penting yang harus diperhatikan, yaitu spatial specificity dan spatial interaction. Spatial specificity menunjukkan bahwa setiap wilayah mempunyai kekhasan.
Sementara spatial
interaction menunjukkan bahwa karena setiap wilayah mempunyai kekhasan, maka akan timbul interaksi antar wilayah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan. Kedua dimensi spasial ini terjadi karena adanya tiga hal, yaitu: (1) imperfect factor mobility (local specificity), (2) imperfect divisibility (interaction/linkages) dan (3) imperfect mobility of goods and services (transfer cost). Imperfect factor mobility berarti terdapat sumberdaya di suatu lokasi yang tidak bisa untuk dipindah-pindahkan, atau kalaupun bisa dipindahkan biayanya akan sangat mahal. Imperfect divisibility berarti keberadaan sumberdaya di suatu lokasi terkait dengan sumberdaya
lain
memisahkannya,
yang
ada
di
lokasi
tersebut
sehingga
sukar
untuk
sedangkan imperfect mobility of goods and services terjadi
karena suatu sumberdaya di suatu lokasi tidak mudah dipindahkan karena biaya transportasi yang mahal. Berdasarkan dimensi spatial specificity, Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi sebagaimana wilayah lain di Pulau Sumatera, yang umumnya sangat sesuai untuk pengembangan tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit, coklat, pinang, dan karet. Perairan laut di wilayah Selat Malaka juga sangat mendukung produksi ikan laut, baik yang transaksi dagangnya melalui Tempat Pendaratan Ikan Kuala Idi, maupun yang dikirim langsung ke luar daerah. Sehingga apabila
98
dimanfaatkan dengan baik, maka potensi ini bisa mendatangkan nilai tambah bagi perkembangan perekonomian wilayah. Dengan adanya spatial specificity, akan terjadi interaksi spasial dalam bentuk transaksi perdagangan dengan wilayah lain. Produk yang dihasilkan akan dipasarkan ke pasar lokal, regional, maupun international guna memenuhi demand yang semakin lama semakin meningkat.
Sementara bagi wilayah demand,
pasokan suatu komoditas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut. Interaksi spasial dalam bentuk transaksi dagang ini menjadi penting sebagai informasi dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah yang mampu meningkatkan akumulasi nilai tambah bagi suatu kawasan. Interaksi yang terjadi di wilayah Kabupaten Aceh Timur, dapat berorientasi antar kecamatan yang berada pada hirarki yang sama, maupun dengan kecamatan lain yang memiliki hirarki berbeda. Pada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih luas, interaksi dapat terjadi dengan pusat aktivitas yang lebih besar dan global, seperti Langsa dan Medan, serta Malaysia, Singapura, dan Thailand yang merupakan bagian dari segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT). Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas dengan Prasarana Jalan Pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan jalan yang menghubungkannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan keberimbangan pembangunan antar wilayah, dan membangun interaksi antar wilayah yang saling memperkuat.
Menurut Smith (1976), berdasarkan fakta
empiris terdapat tiga jenis pola spasial yang mengakibatkan suatu wilayah selalu berada dalam kondisi tertinggal, yaitu: (1) dendritic system, (2) solar system, dan (3) network system. Berdasarkan ketiga pola di atas, menurut Smith (1976), pola spasial yang bisa mendorong pembangunan wilayah adalah pola spasial yang berhirarki dari wilayah perdesaan – kota kecil – kota menengah – kota besar, tetapi polanya tidak dendritic. Untuk menghilangkan kontrol dari hirarki wilayah yang lebih tinggi, harus dibangun jaringan jalan yang bisa menghubungkan wilayah berhirarki rendah dengan beberapa wilayah lain yang berhirarki lebih tinggi.
Dengan
99
demikian wilayah berhirarki rendah ini akan bisa memilih untuk melakukan transaksi dengan wilayah berhirarki tinggi yang mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif. Selain itu juga akan terjadi kompetisi di antara wilayah yang berhirarki sama untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik.
Selanjutnya,
jalan-jalan antar desa juga perlu dibangun untuk mendorong terjadinya transaksi antar desa, atau terjadinya transaksi diantara wilayah-wilayah yang berhirarki sama. Ini akan mendorong terbentuknya sistem cluster di perdesaan, sehingga bisa memperkuat economic of scale, economic of scope, dan posisi tawar dari aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Namun, tentunya ini semua membutuhkan suatu proses, karena investasi untuk membangun jaringan jalan dan mengembangkan kota-kota kecil menengah juga sangat mahal. Dari berbagai uraian di atas, maka pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan keberadaan jalur jalan di Kabupaten Aceh Timur dapat dianalisis sebagai dasar untuk membangun pola spasial yang lebih mendorong perkembangan wilayah di masa yang akan datang. Dengan menggunakan analisis skalogram, dilakukan pengelompokan berdasarkan 3 kelompok hirarki yang menggambarkan tingkat perkembangan kecamatan dan kapasitas infrastruktur pelayanan yang dimilikinya. Berdasarkan kelompok hirarki ini, maka kecamatan-kecamatan seperti Idi Rayeuk, Peureulak, Julok, dan Simpang Ulim merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyediakan berbagai fasilitas pelayanan bagi wilayah-wilayah lain di Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan Gambar 6, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada metode skalogram sederhana, wilayah-wilayah yang berada pada hirarki I merupakan kecamatan-kecamatan
yang
terletak
di
sepanjang
jalan
nasional
yang
menghubungkan antara Aceh dengan Sumatera Utara. Kecamatan-kecamatan tersebut juga merupakan kecamatan induk dari wilayah pemekaran yang telah memiliki berbagai fasilitas, karena statusnya sebagai ibukota kecamatan. Sementara itu, untuk kecamatan-kecamatan lain umumnya tingkat perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kedekatannya dengan jalan poros nasional ini.
Kecamatan-kecamatan yang posisinya jauh dari jalan nasional,
seperti Serbajadi, Simpang Jernih, Darul Ihsan, Indra Makmur, dan Banda Alam,
100
berada pada kelompok hirarki III yang tingkat perkembangannya relatif rendah. Walaupun ada beberapa kecamatan, meskipun berada pada jalur lintas provinsi tetap berada pada hiraki III, karena statusnya sebagai kecamatan baru hasil dari pemekaran kecamatan induk, sehingga fasilitas yang dimiliki masih sangat terbatas dibandingkan kecamatan induknya.
Simpang Ulim
Lhok Nibong
Kuta Binje Idi Idi Cut
Peureulak
Bayeun
Birem Rayeuk
Gambar 6 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana. Berdasarkan Gambar 7, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada indeks perkembangan kecamatan, juga memperlihatkan pola dan karakteristik yang sama dengan sebelumnya.
Kecamatan yang masuk dalam kategori hirarki I adalah
Kecamatan Idi Rayeuk, sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya masuk hirarki II dan III. Jika merujuk pada Gambar 8, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada kapasitas pelayanan, pola spasial yang ditunjukkan
juga tidak jauh berbeda
dengan sebelumnya. Kecamatan yang masuk dalam hirarki I hanya Kecamatan Idi Rayeuk, sedangkan yang lainnya masuk hirarki II dan III.
101
Simpang Ulim
Kuta Binje Bagok
Idi Idi Cut Peureulak Ranto Panjang
Birem Rayeuk
Gambar 7 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indek perkembangan kecamatan. Di samping hanya 1 kecamatan yang masuk hirarki I, juga beda indeks antara Kecamatan Idi Rayeuk pada hirarki I dengan Kecamatan Peureulak pada rangking 1 hirarki II juga sangat besar, ini menunjukkan bahwa hampir dalam semua aspek Kecamatan Idi Rayeuk memiliki nilai lebih dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Berdasarkan realitas ini, sudah selayaknya Kecamatan Idi Rayeuk dijadikan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur, karena Kecamatan Idi Rayeuk merupakan pusat wilayah Kabupaten Aceh Timur. Meskipun Kecamatan Ranto Peureulak, Darul Ichsan, Idi Tunong, Banda Alam, dan Indra Makmur mempunyai posisi yang jauh dari jalan nasional, namun kalau diamati realitas di lapangan sebenarnya akses ke jalan nasional lebih mudah karena dilalui oleh jalan kabupaten yang kondisinya relatif baik bila dibandingkan dengan tingkat aksesibilitas ke Kecamatan Serbajadi dan Simpang Jernih. Dipandang dari sejarah status administratif, Kecamatan Serbajadi adalah kecamatan tua yang seusia dengan Kecamatan Idi Rayeuk dan Peureulak, namun
102
karena
aksesibilitasnya
dan
fasilitas
infrastruktur
yang sangat
terbatas
menyebabkan wilayah tersebut jauh tertinggal, padahal potensi sumberdaya alamnya sangat potensial, demikian juga dengan Kecamatan Simpang Jernih yang merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Serbajadi.
Simpang Ulim
Kuta Binje
Idi
Peureulak
Gambar 8 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan. Ketiga gambar tersebut menunjukkan bahwa perkembangan kecamatankecamatan di Kabupaten Aceh Timur dipengaruhi oleh keberadaan prasarana transportasi, terutama jalan nasional dan jalan kabupaten. Semakin dekat jarak atau semakin terbuka akses dengan jalan nasional, maka kecamatan-kecamatan tersebut relatif lebih berkembang dan menjadi pusat-pusat permukiman dan pelayanan dengan infrastruktur wilayah yang lebih baik. Hal ini tentunya bisa dipahami mengingat besarnya akses ke kota-kota besar dan menengah, seperti Langsa dan Medan di wilayah timur, Panton Labu, Lhokseumawe, dan Banda Aceh di wilayah barat. Sementara itu, kecamatan-kecamatan tersebut juga akan lebih cepat berkembang jika ada peningkatan mutu jalan-jalan kabupaten yang membuka
103
akses ke jalan nasional. Hanya saja, apabila pola spasial ini dikaitkan dengan upaya pengembangan kawasan perdesaan, maka akan terlihat bahwa memang memungkinkan terjadi aliran sumberdaya dari desa ke kota, yang lebih memberikan nilai tambah bagi masyarakat wilayah perkotaan daripada bagi masyarakat desa. Apabila diperhatikan, nampak bahwa jaringan jalan yang ada mulai dari jalan provinsi, jalan kabupaten, hingga jalan desa, menunjukkan suatu pola yang bisa mendorong terjadinya pengurasan sumber daya perdesaan. Mengacu pada tulisan Smith (1976), pola jaringan jalan yang berkembang di Aceh Timur ini adalah pola dendritic. Artinya, jalan-jalan kabupaten yang dibangun pada akhirnya bermuara pada jalan nasional, yang kemudian langsung berhubungan dengan kota besar tanpa adanya perantara kota-kota kecil dan menengah, kalaupun ada kota-kota kecil menengah yang dilewatinya, peranannya justru lebih ditujukan sebagai pusat pemerintahan/ibukota kecamatan, daripada sebagai pusat pelayanan untuk memfasilitasi kepentingan masyarakat perdesaan. Menurut Smith (1976), pola dendritic akan mendorong ke arah terjadinya eksploitasi sumberdaya perdesaan, apalagi ditambah dengan pola solar system yang membuat posisi tawar dari wilayah perdesaan menjadi semakin lemah. Dengan posisi tawar yang sedemikian lemah, maka wajar apabila kehidupan masyarakat desat tidak banyak mengalami peningkatan. Karena itu, dalam upaya pengembangan
wilayah,
yang
sebenarnya
muncul
sebagai
solusi
atas
permasalahan ketidakseimbangan desa-kota, maka pola spasial jaringan jalan, infrastruktur pelayanan, dan penataan ruang menjadi hal yang seharusnya diperhatikan. Konfigurasi ruang sangat dipengaruhi oleh terbukanya akses jalan, karena itu, pola jaringan jalan menjadi penting dalam pengembangan wilayah. Menurut Smith (1976), pola jaringan jalan yang bisa memperkuat posisi tawar wilayah terpencil/perdesaan adalah pola network system, tetapi tetap ada keterkaitan hirarkis yang difasilitasi oleh adanya kota-kota kecil menegah yang bisa memfasilitasi perkembangan wilayah perdesaan. Network system berarti harus ada jalan-jalan yang bisa menghubungkan pusat produksi yang satu dengan pusat produksi yang lain atau antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Akses yang menghubungkan antar wilayah ini penting untuk memperkuat
104
interaksi antar masyarakat di pusat produksi yang berbeda, sehingga bisa mendorong munculnya kelembagaan masyarakat yang mempunyai posisi tawar yang kuat. Network system, berarti juga harus ada jalan-jalan yang bisa menghubungkan pusat produksi dengan beberapa pusat pasar yang umumnya berhirarki lebih tinggi. Akses semacam ini akan bisa meningkatkan posisi tawar masyarakat perdesaan, karena tersedia pilihan untuk melakukan transaksi dengan pusat pasar yang bisa menawarkan harga lebih baik. Pengembangan jaringan jalan seperti ini tentunya akan menelan biaya investasi yang tidak sedikit, mengingat wilayah Aceh Timur yang begitu luas. Namun, pada dasarnya jalan-jalan untuk membangun network system di kawasan perdesaan tidak harus berbentuk jalan aspal yang berukuran lebar dan di-hotmix. Jalan-jalan seperti ini cukup berupa jalan dengan pengerasan yang baik, sehingga tidak harus menelan biaya investasi yang mahal, yang penting bisa memfasilitasi masyarakat desa yang umumnya mempunyai alat transportasi yang sederhana, seperti kendaraan bak terbuka atau sepeda motor, dan pada tahapan berikutnya dapat ditingkatkan menjadi aspal hotmix. Karena itu, dalam membangun infrastruktur perdesaan, yang penting adalah bagaimana pembangunan itu bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dalam proses penentuannya partisipasi masyarakat menjadi penting. Menurut Yunus (2005), faktor aksesibilitas mempunyai peranan yang besar terhadap perubahan pemanfaatan lahan, khususnya perubahan pemanfaatan lahan agraris menjadi non agraris di daerah pinggiran kota. Yang dimaksudkan dengan aksesibilitas di sini adalah aksesibilitas fisikal, karena dalam wacana aksesibilitas dikenal berbagai macam jenis aksesibilitas, antara lain aksesibilitas sosial, aksesibilitas ekonomi, aksesibilitas politik, dan aksesibilitas spasial yang sering diasosiasikan dengan pengertian aksesibilitas fisikal. Dalam penjelasannya, Lee (1979) diacu dalam Yunus (2005), lebih menekankan pada aksesibilitas fisikal. Aksesibilitas fisikal tidak lain merupakan tingkat kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau dari berbagai lokasi lain. Pengukuran aksesibilitas fisikal dapat dilaksanakan dengan menilai prasarana transportasi yang ada bersama-sama dengan sarana transportasinya. Visualisasi nilai aksesibilitas dapat dihitung berdasarkan time cost value, money
105
cost value, maupun physical distance. Daerah yang mempunyai nilai aksesibilitas fisikal tinggi akan mempunya i daya tarik yang lebih kuat, dibandingkan dengan daerah yang nilai aksesibilitas fisikal yang rendah terhadap penduduk maupun fungsi- fungsi kekotaan. Akibatnya, daerah yang mempunyai nilai aksesibilitas fisikal yang tinggi akan mengalami perekembangan fisikal yang lebih intens bila dibandingkan dengan daerah yang mempunyai nilai aksesibilitas yang rendah. Hal ini didasari oleh penalaran, bahwa pada daerah yang mempunyai aksesibilitas yang tinggi, seseorang akan mampu melaksanakan mobilitas spasial yang lebih cepat dan lebih mudah, dan memberikan suasana yang kondusif terhadap upayanya memenuhi kebutuhan atau melaksanakan kegiatan. Menurut Yunus (2005), inilah yang menjadi alasannya mengapa faktor aksesibilitas fisikal tersebut banyak dimanfaatkan sebagai salah satu faktor manejemen perkembangan kota karena kekhasan fungsi intensifnya terhadap perkembangan baru. Ikhtisar Sistem hirarki kota-kota sebagai simpul kecamatan merupakan sekumpulan kota-kota ibukota kecamatan yang saling tergantung satu sama lain dalam suatu kabupaten. Ketiadaan keterikatan antara kota-kota sebagai pusat pertumbuhan akan menghambat proses penyebaran kemajuan ke wilayah kecamatan lain yang berakibat intensitas dan konsentrasi kegiatan dari hasil pembangunan hanya terjadi di kota yang berhirarki tinggi saja. Kunci bagi pertumbuhan sekaligus pemerataan di Kabupaten Aceh Timur adalah melalui penciptaan hubungan keterkaitan yang saling menguntungkan antar kota-kota kecamatn berhiraki tinggi dengan wilayah pengaruhnya. Implikasi dari terjadinya intensitas dan konsentrasi kegiatan di kota berhirarki sebagai pusat pertumbuhan akan melahirkan apa yang dikenal sebagai kota primate yang tumbuh pesat dan diikuti kompleksitas permasalahan di dalamnya. Idi, sebagai kota primate berkecenderungan beruk uran besar dan mendominasi perkembangan kota-kota kecamatan lainnya yang lebih kecil dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur. Dominasi Idi terutama pada dimensi penduduk, kegiatan komersil, output industri, dan pengaruh politik. Hal ini berimplikasi
106
terjadinya disparitas regional yang tidak menguntungkan bagi pembangunan wilayah Aceh Timur secara keseluruhan. Kekurangan sistem spasial di Kabupaten Aceh Timur bukanlah pada tidak adanya pusat-pusat perkembangan, tetapi yang terjadi adalah lemahnya sistem spasial. Kota-kota utama seperti Idi dan Peureulak tidak memiliki hubungan produksi yang mantap dengan desa-desa atau permukiman-permukiman yang tersebar di perdesaan. Pembentukan suatu integrasi spasial di Kabupaten Aceh Timur dapat dilakukan dengan mengembangkan permukiman atau sistem kota-kota yang memiliki hirarki dan menciptakan suatu keterkaitan antar kota, atau dengan kata lain mengintegrasikan pembangunan perdesaan dan perkotaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan produksi, distribusi, dan pertukaran yang mantap mulai dari desa - kota kecil – kota menengah – kota besar. Pendekatan ini didasarkan oleh pemikiran bahwa dengan adanya integrasi dan artikulasi sistem pusat-pusat
pertumbuhan
fungsionalnya,
maka
yang
pusat-pusat
berjenjang
dan
berbeda
tersebut
akan
memacu
karakteristik penyebaran
perkembangan wilayah. Dengan adanya hirarki atau jenjang kota-kota dan spesialisasi fungsi kotakota, yang meliputi pusat regional, pusat distrik, dan pusat lokal, diharapkan terjadi keterkaitan fisik, ekonomi, mobilitas penduduk, teknologi, sosial, pelayanan jasa, dan administrasi politik yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang dapat memacu perkembangan wilayah.
107
PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN Pusat Pemerintahan Dalam kondisi apapun dan dimanapun, pemerintah mempunyai peranan yang besar dalam menentukan lokasi untuk pembangunan pusat pemerintahan dan pelayanan, karena pembangunan pusat pemerintahan dan pelayanan di suatu wilayah akan mendorong wilayah tersebut menjadi pusat pertumbuhan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Langsa dan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang, maka Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten induk dimekarkan menjadi 2 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Langsa. Pemekaran wilayah secara administratif ini memberi konsekuensi kepada ketiga wilayah tersebut untuk menentukan pusat pemerintahan dan ibukota yang baru dan mengembangkan pusat-pusat pelayanan baru. Pengertian ibukota adalah kota dari wilayah dimana pusat pemerintahan berkedudukan, sedangkan pusat pemerintahan adalah wilayah pusat seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan. Pusat pemerintahan dapat meliputi seluruh wilayah administratif dimana kota tersebut berkedudukan atau melewati batas-batas fisik atau landmark kota. Dari segi morfologi, pengertian ibukota lebih cenderung pada pengertian fisik kota, sedangkan pusat pemerintahan memiliki pengertian fungsional, namun dalam penggunaan sehari- hari sering sekali pengertian tersebut saling dipertukarkan satu sama lain. Pertukaran istilah tersebut tidak membawa implikasi buruk, karena pada kenyataannya pusat pemerintahan dan ibukota sangat identik satu dengan lainnya. Secara khusus, kebutuhan pusat pemerintahan bagi sebuah wilayah kabupaten berdasarkan fungsinya adalah : 1. Secara yuridis pusat pemerintahan kabupaten merupakan suatu pusat administrasi pemerintahan. Di lain pihak juga merupakan pusat seluruh kegiatan pemerintahan yang mencakup fungsi perencanaan pembangunan, pelaksana, pengontrol, dan pembuat keputusan;
108
2. Pusat
pemerintahan
kabupaten
merupakan
alat
penghubung
atau
komunikator dari dan ke pemerintah provinsi, antar pemerintah kabupaten/kota di dalam suatu provinsi, serta menjaga kesatuan wilayah administrasinya; 3. Pusat pemerintahan kabupaten harus dapat berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi kegiatan sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik suatu wilayah kabupaten. Suatu kota yang dicalonkan untuk menjadi ibukota kabupaten harus memenuhi persyaratan minimal, yaitu: 1. Mampu mendukung fungsi suatu ibukota kabupaten sesuai dengan kebijaksanaan umum pembangunan daerah; 2. Memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan yang dapat mendukung kelangsungan kehidupan ibukota selanjutnya; 3. Terletak pada lokasi yang strategis (aman dan sentris terhadap wilayahnya); 4. Memiliki nilai sejarah perkembangan yang hakiki yang dapat menunjang pertimbangan untuk prominensi dan nilai sosial budaya ibukota kabupaten. Suatu lokasi yang akan dit etapkan untuk pusat pemerintahan juga memiliki konsep yang sama dengan pusat pelayanan, yaitu lokasi tersebut harus memenuhi kriteria most accessible bagi penduduk di wilayah tersebut. Karena pusat pemerintahan juga menjalankan fungsi pelayanan administratif dan politis bagi masyarakat. Yang membedakan antara keduanya adalah: 1. Setiap wilayah administratif hanya memiliki satu pusat pemerintahan, sedangkan pusat pelayanan dapat lebih dari pada satu, tergantung pada demand di wilayah tersebut. 2. Pusat pemerintaha n memiliki batas pelayanan yang jelas, yaitu batas fisik administratif wilayah itu sendiri, sedangkan pusat pelayanan memilki batas pelayanan wilayah nodal yang sangat bias dan dinamis Untuk mengetahui lokasi pusat pemerintahan yang most accessible dilakukan analisis spatial interaction analysis location-allocation models dengan p-median solver.
109
Sebagaimana penentuan pusat pelayanan, analisis p-median untuk penentuan pusat pemerintahan juga menggunakan peubah indeks perkembangan kecamatan, kapasitas pelayanan kecamatan, dan bobot yang disamakan sebagai pull factor untuk setiap simpul ibukota
kecamatan. Sebagai constraint atau
kendala adalah peubah jarak yang menghubungkan antara ibukota kecamatan yang satu dengan ibukota kecamatan yang lain. Lokasi pusat pemerintahan menuntut ketersediaan sarana-prasarana wilayah yang dapat mendukung kelancaran tugas-tugas pemerintahan. Gambar 9, menggambarkan hasil analisis p-median berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana yang dimiliki setiap kecamatan, yang diwakili oleh simpul ibukota kecamatan, hasilnya menunjukkan bahwa Idi adalah lokasi yang tepat untuk menjadi pusat pemerintahan atau ibukota Kabupaten Aceh Timur.
Idi
Gambar 9
Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana.
Walaupun belum begitu memadai, sejumlah fasilitas yang sudah tersedia di Idi dapat diberdayakan pemanfaatannya oleh pemerintah daerah, dibandingkan memilih lokasi lain dengan fasilitas yang sangat terbatas, sehingga membut uhkan biaya
implementasi
yang
tinggi.
Untuk
membangun
sarana-prasarana
pemerintahan yang baru dan representatif, membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang luas, sehingga mudah penataannya. Namun dengan keterbatasan dana yang ada, pemerintah daerah tidak perlu memaksakan diri harus memulai kegiatan pemerintahan di pusat pemerintahan yang baru dengan fasilitas yang juga harus serba baru. Paling penting adalah mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan skala prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan sambil meningkatkan fungsi pelayanan masyarakat. Sedangkan untuk membangun
110
fasilitas perkantoran yang bagus, modern, dengan tata ruang dan arsitektur yang menarik, dapat dimulai tahap demi tahap sebagai program jangka menengah. Selama proses pembangunan fasilitas perkantoran yang baru dan representatif, pemerintah dapat memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Gambar 10, hasil analisis p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan, menunjukkan Idi dengan
tingkat perkembangan yang tinggi dan
aksesibilitas yang baik, adalah lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan. Dengan memilih kecamatan dengan tingkat perkembangan yang tinggi, maka pemerintah hanya membutuhkan relatif lebih sedikit upaya untuk memicu pengembangannya menjadi pusat pelayanan wilayah yang akan menjadi pusat pertumbuhan yang akan memberi spread effect ke wilayah hinterland- nya.
Idi
Gambar 10 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan. Dengan memilih kecamatan yang tingkat perkembangannya tinggi, banyak faktor- faktor eksternal yang menguntungkan yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah
untuk
mengoptimalkan
dan
mengefisienkan
fungsi- fungsi
pelayanannya. Semua keuntungan eksternal tersebut tidak akan dapat diperoleh jika pemusatan kegiatan pemerintahan digerakkan dari kecamatan yang tingkat perkembangannya rendah. Kapasitas pelayanan kecamatan, menggambarkan kapasitas penduduk yang dilayani oleh oleh berbagai fasilitas yang ada di kecamatan tersebut. Semakin tinggi indeks perkembangan suatu kecamatan, maka akan semakin tinggi kapasitas pelayanannya. Demikian juga dengan jumlah penduduk, semakin banyak penduduknya, semakin tinggi kapasitas pelayanan yang dibutuhkan. Untuk meningkatkan kapasitas pelayanan, dapat diup ayakan melalui peningkatan
111
ketersedian sarana-prasarana, baik dari segi jumlah jenis maupun jumlah unit untuk setiap jenisnya. Kecamatan Idi Rayeuk memiliki jumlah penduduk paling banyak dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Aceh Timur, demikian juga dengan indeks perkembangannya, sehingga secara keseluruhan juga paling tinggi kapasitas pelayanannya. Berarti, berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan (seperti ditunjukkan pada Gambar 11), Idi adalah lokasi yang tepat untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
Idi
Gambar 11 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan. Yang menarik dari fenomena penentuan pusat pemerintahan ini, adalah seperti ditunjukkan Gambar 12, yaitu hasil analisis p-median dengan mengasumsikan bahwa setiap simpul memiliki bobot yang sama. Asumsi ini menjadikan setiap simpul kecamatan memiliki peluang yang sama untuk terpilih, karena memilki pull factors dan push factors yang sama, sehingga yang mempengaruhinya hanya perbedaan lokasi geografis/spatial locational factor yang berhubungan aksesibilitas saja. Pada pendekatan ini, yang menjadi kendala hanya jarak dari satu simpul kecamatan ke simpul kecamatan lainnya. Yang dapat merubah setting lokasi yang akan terpilih, hanyalah perubahan dari pola jaringan transportasi atau jalan yang menghubungkan antar kecamatan. Untuk pola jaringan jalan pada kondisi existing seperti sekarang ini, secara mutlak menunjukkan bahwa Idi adalah pusat wilayah Kabupaten Aceh Timur, sehingga layak dijadikan lokasi pusat pemerintahan. Pendekatan
ini,
secara
keseluruhan
menunjukkan
bahwa
dengan
mengabaikan semua faktor, kecuali faktor aksesibiltas, Idi memiliki tingkat
112
aksesibilitas paling baik atau most accessible yang dapat meminimalkan kendala atau constraints dari keseluruhan simpul dalam jaringan yang dianalisis.
Idi
Gambar 12 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan bobot yang disamakan. Departemen Dalam Negeri telah menentukan kriteria sebagai arahan penilaian yang harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan pusat pemerintahan suatu wilayah. Walaupun kriteria tersebut belum dibakukan dalam satu produk hukum pemerintah, namun secara empiris dapat dijadikan bahan rujukan untuk pengambilan keputusan. Kriteria penilaian tersebut adalah: 1. Profil fungsi kota dalam sistem perkotaan nasional, yang meliputi unsur fungsi dan kegiatan utama kota, arus barang, dan aksessibilitas. 2. Profil geografi dan demografi, meliputi unsur letak atau kedudukan kota, luas dan tataguna lahan, topografi, klimatologi, hidrologi, sumberdaya alam, jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, sebaran penduduk, migrasi, struktur penduduk, dan angkatan kerja. 3. Profil sumberdaya manusia. 4. Profil potensi ekonomi dan keuangan, meliputi unsur PDRB, keuangan kaitan dengan pertumbuhan, arus barang, penyusunan informasi struktur keuangan. 5. Profil peran serta masyarakat 6. Profil kelembagaan. 7. Profil sosial, politik, dan budaya masyarakat.
113
8. Profil kualitas lingkungan, meliputi unsur kesehatan, perumahan, jalan, pelabuhan
laut
dan
udara,
air
bersih,
drainase,
energi,
dan
telekomunikasi. Untuk menentukan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, di samping menggunakan analisis skalogram dan spatial interaction analysis locationallocation models (p-median solver), juga menggunakan analytical hierarchy process (AHP). Hasil analisis skalogram (pada Tabel 5, 6, dan 7) menunjukkan Idi sebagai lokasi yang layak untuk pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat pelayanan hirarki I bagi Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan hasil analisis skalogram dan wacana serta isu yang berkembang di kalangan masyarakat dan pejabat Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, maka ditentukan tiga calon pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur untuk di-AHP-kan, yaitu Idi, Peureulak, dan Peudawa. Kriteria dan sub kriteria untuk AHP dijabarkan dari kriteria profil wilayah dari Departemen Dalam Negeri dan dari kriteria berdasarkan pengalaman empiris selama ini yang lazim dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pusat pemerintahan atau ibukota suatu wilayah administratif.
Gambar 13 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas sumberdaya wilayah (regional resources). Dengan menggunakan kriteria tersebut, yang dianalisis dengan metoda analytical hierarchy process (AHP), diperoleh hasil seperti pada Gambar 13, 14, dan 15. Hasil AHP berdasarkan seluruh aspek yang dianalisis, menunjukkan Idi yang paling memenuhi kriteria untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dengan overall inconsistency index sebesar 0,08.
114
Gambar 14 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas perekonomian wilayah (regional economic resources).
Gambar 15 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis. Untuk melihat seberapa “kuat” bargaining position Idi untuk menjadi pusat pemerintahan dibandingkan kota lainnya, dilakukan sensitivity analysis. Gambar 16 menunjukkan hasil sensitivity analysis tersebut, dimana Idi sangat tidak terpengaruh oleh perubahan dari ketiga nilai variabel yang dijadikan kriteria penilaian, yaitu kapasitas sumberdaya wilayah, sosial- fisik wilayah, dan perekonomian wilayah. Hal ini dapat diartikan, Idi adalah kota kecamatan yang paling memenuhi kriteria persyaratan pusat pemerintahan dan memiliki tingkat perkembangan dan kapasitas pelayanan yang jauh lebih tinggi dan lebih baik dari kota-kota lainnya di Kabupaten Aceh Timur.
Gambar 16 Hasil AHP uji sensitifity dari ketiga calon lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis. Suatu lokasi yang akan diusulkan untuk menjadi ibukota harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Wisma: tempat tinggal atau perumahan. 2. Karya: tempat bekerja, seperti industri , perdagangan, dan jasa.
115
3. Marga: jaringan prasarana jalan internal dan eksternal. 4. Suka: fasilitas rekreasi, hiburan, dan bersantai. 5. Penyempurna:
sarana
peribadatan,
pendidikan,
kesehatan,
kemasyarakatan, komunikasi masyarakat, dan utilitas umum, seperti air, listrik, telepon, sanitasi, dan drainase. Semua unsur yang disebutkan di atas dimiliki Idi dengan kapasitas yang relatif memadai untuk sebuah pusat pemerintahan baru.
Idi sebagai lokasi optimal untuk ibukota Kab. Aceh Timur
Gambar 17 Lokasi optimal pusat pemerintahan/ibukota Kabupaten Aceh Timur. Jika memperhatikan sejarah administratif Idi Rayeuk, berdasarkan Staadblaad 1934 Nomor 539–RR–Ned. Indie 1938 blz 192, Idi Rayeuk merupakan salah satu onder afdeling dari 4 onder afdeling di Afdeling Aceh Timur. Onder afdeling Idi Rayeuk dipimpin oleh seorang kepala wilayah onder afdeling yang disebut controleur, yang pusat pemerintahannya berkedudukan di Idi. Pada masa pendudukan Jepang, sistem pemerintahan kolonial Belanda tetap diteruskan, Jepang ha nya menyesuaikan nama dan istilahnya saja menurut bahasa Jepang, seperti countrouler disebut gun cho.
116
Setelah Indonesia merdeka, Onder afdeling Idi Rayeuk berubah statusnya menjadi kewedanaan yang di pimpin oleh seorang wedana. Luas wilayah Onder afdeling Idi Rayeuk atau Kewedanaan Idi Rayeuk 50% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Timur saat ini, yang merupakan hasil pemekaran wilayah berdasarkan UU No.4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang. Berarti. Jika ditinjau dari sejarah status administratif wilayah, maka Idi sejak zaman kolonialisme Belanda telah menjadi pusat pemerintahan, sehingga Pemerintah Kabupaten Aceh Timur perlu mempertimbangkan untuk menetapkan Idi menjadi pusat pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan hasil AHP berdasarkan sejarah status administrasi wilayah yang ditunjukkan Gambar 18.
Gambar 18
Hasil AHP lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap sejarah status administrasi wilayah.
Berdasarkan semua analisis, dapat dipastikan Idi adalah lokasi optimal untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Pusat-pusat Pelayanan Penyediaan dan pembangunan fasilitas publik adalah bentuk pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat (Kelly dan Decker 2000). Pengertian fasilitas umum dari segi fungsi atau objek, adalah segala fasilitas baik sarana maupun prasarana yang dibangun, disediakan, dan dikembangkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Jika ditinjau dari segi tanggung jawab atau subjek, adalah segala fasilitas baik sarana maupun prasarana yang penyediaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaannya berada dalam wewenang, kekuasaan, dan tanggung jawab pemerintah atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Termasuk di dalamnya jalan raya, taman, sekolah, tempat rekreasi, jaringan air bersih, drainase, sarana telekomunikasi, sarana kesehatan, pemadam kebakaran, stasiun pompa bensin umum, jaringan listrik, dan lain- lain. Pembangunan fasilitas penting dilakukan
117
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap berbagai fasilitas, dimana ketersediaan berbagai fasilitas ini dapat memacu akselerasi pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah. Menurut Kelly dan Decker (2000), proses perencanaan fasilitas publik ini menjadi penting untuk dilaksanakan, beberapa fasilitas publik dapat menjadi instrumen perubahan yang dapat memicu perkembangan suatu wilayah, seperti jalan, penyediaan air bersih, energi, dan telekomunikasi. Sebagai contoh jika fasilitas publik tersebut tersedia di bagian barat, maka perkembangan kota akan tumbuh pesat di bagian barat, demikian juga sebaliknya. Rencana penyediaan fasilitas publik dapat menimbulkan multiplayer effect terhadap perkembangan suatu wilayah. Rencana pembangunan jalan dan sarana infrastruktur lainnya secara terintegrasi sangat penting sebagai salah satu strategi pembangunan wilayah di masa yang akan datang. Perencanaan penyediaan fasilitas ini harus mempertimbangkan aspek finansial dan implikasi teknis dari adanya pembangunan tersebut. Standar
pembangunan
fasilitas
publik
sebaiknya
ditentukan
oleh
pemerintah, yang meliputi standar kelayakan teknis dan berbagai standar lainnya, untuk menjamin kepuasan masyarakat terhadap kualitas fasilitas tersebut. Pembangunan fasilitas publik ini, akan lebih efektif jika dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat di dalam proses penyediaan fasilitas tersebut. Struktur pelayanan dari fasilitas yang dibangun dilakukan secara bertingkat atau berjenjang, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan jangkauan pelayanan. Pengaturan tingkat pelayanan atau jenjang pelayanan ditentukan menurut: 1. Kebutuhan Penduduk Kebutuhan penduduk terhadap suatu fasilitas tergantung pada jumlah penduduk, semakin banyak jumlah penduduk maka akan semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, serta tingkat dan jenisnya akan semakin kompleks dan beragam. 2. Jangkauan Pelayanan Selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayani, pengaturan atau struktur pelayanan juga mempertimbangkan jangkauan pelayanan. Karena jangkauan pelayanan dapat menjadi suatu alat untuk membentuk suatu
118
sentral bagi setiap pelayanan. Jangkauan pelayanan juga dapat menentukan daerah-daerah yang belum atau yang akan dilayani untuk masa yang akan datang. 3. Aksesibilitas Tingkat aksesibilitas atau tingkat kemudahan pencapaian suatu fasilitas dalam suatu kawasan juga dapat berperan dalam menentukan struktur pelayanan. Semakin baik tingkat aksessibilitas suatu kawasan, maka kawasan tersebut sangat berpotensi untuk menjadi pusat pelayanan bagi kegiatan yang ada. Pengembangan
fasilitas
sangat
penting
dilakukan
guna
memenuhi
kebutuhan masyarakat akan berbagai fasilitas. Konsep pengembangan fasilitas antara lain adalah: 1. Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. 2. Memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas. 3. Meningkatkan pelayanan dari masing- masing fasilitas yang ada. 4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas dari masing- masing fasilitas. Pengembangan sarana dan prasarana publik dalam suatu kawasan diharapkan dapat mendukung pembangunan dan pengembangan sektor lainnya. Suatu wilayah yang akan menjadi wilayah pengembangan sebaiknya memiliki kota-kota yang akan menjadi pusat pusat pengembangannya. Pusat-pusat tersebut akan berperan sebagai : 1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yaitu pusat kegiatan yang memiliki skala pelayanan serta keterkaitan dalam sistem nasional dan memiliki fungsi sebagai pusat gerbang masuk dan keluar yang menunjang kegiatan perekonomian; 2. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), yaitu pusat kegiatan yang memiliki skala pelayanan serta keterkaitan dalam sistem wilayah yang meliputi kota dan kabupaten serta memiliki fungsi sebagai pusat gerbang masuk dan keluar yang menunjang kegiatan perekonomian pada tingkat perwilayahan yang mencakup kota-kota dan beberapa kabupaten; dan 3. Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yaitu pusat kegiatan yang memiliki skala pelayanan serta keterkaitan dalam sistem lokal wilayah serta memiliki
119
fungsi sebagai pusat pengumpul dan distribusi yang menunjang kegiatan perekonomian pada tingkat wilayahnya sendiri. Pusat pelayanan, pada intinya dari segi fungsi semata-mata bukan hanya merupakan pusat pertumbuhan, melainkan lebih berfungsi sebagai pusat interaksi sosial, penyediaan pelayanan pemerintahan maupun swasta, pertukaran ide dan informasi mengenai berbagai hal, yang pada gilirannya akan menyebar ke seluruh wilayah. Suatu lokasi yang akan ditetapkan untuk pusat pelayanan, lokasi tersebut harus memenuhi kriteria most accessible bagi penduduk di wilayah sekitarnya. Karena pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah, menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis barang, jasa, dan pelayanan terbaik, yang juga tersebar di berbagai lokasi yang dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat dijangkau memiliki banyak pilihan, masyarakat akan memilih yang berada pada posisi most accessible bagi mereka. Hakimi (1964) diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori yang penting karena dapat digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan
penaksiran
simpul-simpul
alternatif pada jalur jaringan. Hakimi mengatakan bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu, dimana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut. Salah satu cara menganalisis lokasi yang most accessible di suatu wilayah adalah dengan spatial interaction analysis location-allocation models, salah satunya dengan analisis p-median solver untuk menemukan lokasi optimal dari semua calon lokasi yang ada (Ra hman dan Smith 2000). Dalam analisis p-median, digunakan peubah indeks perkembangan kecamatan dan kapasitas pelayanan sebagai pull factor untuk setiap kecamatan,
120
sedangkan sebagai constraint
atau kendala adalah peubah jarak yang
menghubungkan antara ibukota kecamatan yang satu dengan ibukota kecamatan yang lain. Pengambilan peubah jarak sebagai constraint dengan asumsi, bahwa peubah biaya perjalanan atau transportation cost dan waktu tempuh adalah berbanding lurus dengan peubah jarak. Namun, untuk wilayah yang terpencil dengan prasarana dan sarana transportasi yang sangat terbatas, asumsi tersebut tidak dapat diberlakukan.
Simpang Ulim Idi Peureulak
Gambar 19 Lokasi optimal pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan. Gambar 19 menunjukkan hasil analisis p-median penentuan pusat-pusat pelayanan yang optimal di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan
indeks
perkembangan kecamatan, lokasi yang terpilih adalah Idi, Peureulak, dan Simpang Ulim. Simpang Ulim Idi Peureulak
Gambar 20 Lokasi optimal pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan kapasitas pelayanan. Gambar 20, hasil analisis p-median untuk menentukan pusat-pusat pelayan berdasarkan kapasitas pelayanan, menunjukkan hasil yang sama dengan berdasarkan indek perkembangan kecamatan.
121
Berdasarkan kedua analisis yang telah dilakukan, yaitu analisis skalogram dan spatial interaction analysis location-allocation models, dapat disimpulkan bahwa lokasi yang optimal, strategis, representatif, dan most accessible untuk pengembangan pusat-pusat pelayanan bagi Kabupaten Aceh Timur adalah Idi, Peureulak, dan Simpang Ulim. Jangkauan Pusat-pusat Pelayanan Untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, diperlukan suatu usaha pengembangan kota-kota yang dapat menjadi simpul perkembangan daerah belakangnya. Pengembangan tersebut diarahkan untuk: 1. Mengusahakan agar simpul yang telah ditentukan sebagai pusat pelayanan dapat berfungsi sebagai penggerak kegiatan ekonomi dan sosial dari setiap wilayah kecamatan. 2. Sejalan dengan pengembangan pusat-pusat pengembangan tersebut, perlu diusahakan adanya suatu keserasian perkembangan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Jangkauan setiap pusat pelayanan diuraikan berdasarkan pendekatan fungsi kegiatan selama ini, sedangkan orientasi kota-kota tersebut didasarkan pada pola pergerakan internal, yaitu antar wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, dan eksternal antar wilayah kabupaten dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maupun di luar Provins i Nanggroe Aceh Darussalam. Penentuan orientasi dan jangkauan pusat pelayanan juga didasarkan pada sistem hirarki kota yang terbentuk serta berbagai kebijakan pembangunan yang kemungkinan membawa perubahan dinamika ruang. Secara umum jangkauan pusat pelayanan dan orientasi pelayanan dapat dilihat pada Tabel 8. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dapat mengembangkan wilayahnya dengan konsep wilayah nodal, dengan menetapkan Kecamatan Idi Rayeuk sebagai pusat wilayah dengan menjadikannya pusat pertumbuhan, pusat pelayanan, dan pusat pemerintahan bagi Kabupaten Aceh Timur, sedangkan kecamatankecamatan lain menjadi periphery atau hinterland. Idi dikembangkan sebagai pusat pelayanan hirarki I, sedangkan kota kota kecamatan lainnya difasilitasi
122
untuk menjadi pusat pelayanan hiraki II, dan seterusnya yang disesuaikan dengan kapasitas dan kebutuhan wilayah tersebut, sehingga pelayanan menjadi berhirarki dan saling terkait satu sama lain. Berdasarkan pertimbangan efesiensi dan optimalisasi, pusat pelayanan hirarki II cuk up dikembangkan di dua kecamatan saja, yaitu satu untuk melayani wilayah timur, dan satunya lagi untuk melayani wilayah barat dari Kabupaten Aceh Timur. Untuk wilayah timur dipusatkan Peureulak, untuk melayani masyarakat di kecamatan-kecamatan di wilayah timur yang jauh dari Idi. Untuk wilayah barat dipusatkan di Simpang Ulim, untuk melayani masyarakat di kecamatan-kecamatan di wilayah barat yang juga jauh dari Idi. Sedangkan untuk pusat pelayanan hirarki I ditempatkan di Idi, karena Idi merupakan pusat wilayah Kabupaten Aceh Timur, baik secara geografis, administratif, maupun sosial ekonomi. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti, akan berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan, sekaligus menobatkan daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain: 4. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada tidak dipusatkan; 5. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien; 6. Mengoptimalkan fungsi berbagai kelembagaan dan social capital masyarakat. Berdasarkan hasil analisis skalogram, Peureulak dan Simpang Ulim berada pada hirarki II. Secara geografis, kedua kota tersebut saling berjauhan satu sama lain, sehingga dapat dikembangkan menjadi wilayah nodal dengan hirarki lebih rendah, yang masing- masingnya memiliki wilayah inti yang akan melayani wilayah hinterland-nya seperti pada Gambar 21. Secara empiris dan historik, umumnya terdapat interdependensi antara inti dan plasma, dan pertumbuhan suatu pusat pelayanan ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hirarki yang spesifik, yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud, adalah kapasitas
123
sumberdaya wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital),
dan
sumberdaya
buatan (man-made resuorces/
infrastructure). Di samping itu, kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh magnitude aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan, adalah sumberdaya buatan atau infrastruktur (Rustiadi et al. 2004). Tabel 8 Rencana orientasi dan jangkauan pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur Hirarki
Kota/Pusat Pelayanan
Orientasi
I
Idi
II
Peureulak
Langsa, Banda Aceh Idi
Simpang Ulim
Idi
Jangkauan Pelayanan Seluruh kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur. Wilayah Kecamatan: Peureulak,Peureulak Barat, Peureulak Timur, Rantau Peureulak, Serbajadi, Simpang Jernih, Sungai Raya, Rantau Selamat, dan Birem Bayeun. Wilayah Kecamatan: Simpang Ulim, Madat, Pante Bidari, Indra Makmur, dan Julok.
III
Kuta Binje Birem Rayeuk Bayeun Labuhan Keude Alue Tho Ranto Panyang Beusa Seubrang Seuneubok Punteut Idi Cut Bagok Seuneubok Bayu Lhok Nibong Madat Panton Rayeuk M Blang Aron Buket Teukueh Lokop Simpang Jernih
Sumber: Hasil analisis.
Idi, Simpang Ulim Peureulak Peureulak Peureulak Peureulak Peureulak Peureulak Idi Idi Idi Kuta Binje Simpang Ulim Simpang Ulim Idi Idi Idi Peureulak Peureulak
Desa-desa dalam Kec. Julok Desa-desa dalam Kec. Birem Bayeun Desa-desa dalam Kec. Rantau Selamat Desa-desa dalam Kec. Sungai Raya Desa-desa dalam Kec. Peureulak Timur Desa-desa dalam Kec. Ranto Peureulak Desa-desa dalam Kec. Peureulak Barat Desa-desa dalam Kec. Peudawa Desa-desa dalam Kec. Darul Aman Desa-desa dalam Kec. Nurussalam Desa-desa dalam Kec. Indra Makmur Desa-desa dalam Kec. Pante Bidari Desa-desa dalam Kec. Madat Desa-desa dalam Kec. Banda Alam Desa-desa dalam Kec. Darul Ihsan Desa-desa dalam Kec. Idi Tunong Desa-desa dalam Kec. Serbajadi Desa-desa dalam Kec. Simpang Jernih
124
Simpang Ulim sebagai Pusat Pelayanan Hirarki 2 Bagian Barat
Idi sebagai Pusat Pelayanan Hirarki 1 (Melayani Hinterland-nya dan Seluruh Wilayah Kab. Aceh Timur)
Peureulak sebagai Pusat Pelayanan Hirarki 2 Bagian Timur
Gambar 21 Lokasi kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang dikembangkan menjadi pusat pelayanan dalam konsep wilayah nodal. Besaran aktivitas sosial-ekonomi, secara operasional dapat dikukur berdasarkan jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas ekonomi, PDRB, dan jumlah jenis kelembagaan formal dan informal. Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan, serta semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas sosial ekonomi yang tinggi, yang juga berarti menunjukkan hirarki pusat yang tinggi (Rustiadi et al. 2004). Hasil analisis skalogram (Tabel 5, 6, & 7, dan Gambar 21) dan hasil analytical hierarchy process (Gambar 13 dan 14), menunjukkan bahwa dari segi kapasitas pelayanan dan segala aspek yang berhubungan dengannya, Idi berada pada hirarki paling tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Kabupaten Aceh Timur. Selain sebagai wilayah inti, pada saat yang sama, Idi juga merupakan plasma atau hinterland- nya Kota Langsa, yang memiliki hirarki lebih tinggi daripada Idi. Walaupun Kota Langsa bukan wilayah Kabupaten Aceh Timur, namun karena secara filosofis, batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada
125
suatu garis yang memisahkan suatu daerah yang disebabkan adanya perbedaan orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda, sehingga batas fisikadministratif dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis.
Peureulak sebagai pusat pelayan/ irarki 2 yang akan melayani 8 kecamatan hinterland-nya
Beusa Seubrang
Ranto Panyang Alue Tho Labuhan Keude Bayeun
un Birem Bayeun
Lokop
Simpang Jernih
Gambar 22 Peureulak sebagai pusat pelayanan hirarki II dengan 8 kecamatan hinterland-nya. Pusat-pusat berhirarki tinggi melayani pusat-pusat berhirarki rendah, di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah, sedangkan kegiatan yang kompleks dilayani oleh pusat berhirarki tinggi. Dalam konteks ini (seperti pada Gambar 21), Idi diarahkan untuk melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah, yaitu Peureulak dan Simpang Ulim, di samping melayani hinterland di sekitarnya (seperti pada Gambar 23), yaitu Kecamatan Peudawa, Darul Aman, Nurussalam, Darul Ihsan, Idi Tunong, dan Banda Alam. Karena kegiatan sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhiraki rendah, maka Peureulak (seperti pada Gambar 22), diarahkan untuk melayani wilayah Kecamatan Peureulak Timur, Peureulak Barat, Ranto Peureulak, Serbajadi, dan Simpang Jernih, sedangkan Simpang Ulim
126
(seperti pada Gambar 24), diarahkan untuk melayani wilayah Kecamatan Madat, Indra Makmu, Julok, dan Pante Bidari.
Idi di samping sebagai pusat pelayanan hirarki 1 yang akan melayani seluruh wilayah Kab.Aceh Timur juga melayani 8 kecamatan hinterland-nya
Gambar 23 Idi sebagai pusat pelayanan hirarki I dengan 8 kecamatan hinterland-nya. Bagi wilayah yang berada antara Idi dan Simpang Ulim, seperti Kecamatan Julok dan Indra Makmur, memiliki alternatif untuk berorientasi pada keduanya, namun berdasarkan pengalaman selama ini, mereka lebih memilih Idi yang memiliki fasilitas lebih baik, dan juga karena fasilitas yang dimiliki Simpang Ulim dan Kuta Binje relatif sama (seperti pada Tabel 5). Demikian juga untuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, Rantau Selamat, dan Birem Bayeun, akan lebih memilih Langsa, karena secara geografis lebih dekat ke Langsa dan Langsa memiliki
kapasitas
pelayanan
paling
tinggi
di
antara
ketiga
wilayah
Kabupaten/Kota dari pemekaran Kabupaten Aceh Timur. Secara empiris, konsep wilayah nodal tepat untuk diterapkan di Kabupaten Aceh Timur, karena struktur wilayah nodal sangat efesien, khususnya dalam mendukung pengembangan ekonomi suatu wilayah dan sistem transportasi. Mekanisme pasar bebas secara alami juga cenderung membentuk struktur wilayah nodal.
127
Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki 2 yang akan melayani 4 kecamatan sebagai hinterland-nya
Gambar 24 Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki 2 dengan 4 kecamatan hinterland-nya. Fungsi Pusat-pusat Pelayanan Adanya kelengkapan atau ketersediaan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat menjadi indikator bagi fungsi suatu pusat pelayanan. Fungsi pusat pelayanan yang ditunjukkan di sini adalah potensi kegiatan pelayanan terhadap daerah
belakangnya,
sesuai
dengan
ketersediaan
sarana-prasarana
serta
kemungkinan pengembangannya atas dasar prinsip optimasi. Secara umum, fungsi kota-kota sebagai pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur dapat dilihat pada Tabel 9
128
Tabel 9 Rencana fungsi pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur Hirarki
Kota/Pusat Pelayanan
I
Idi
II
Peureulak dan Simpang Ulim
III
Kuta Binje Birem Rayeuk Bayeun Labuhan Keude Alue Tho Ranto Panyang Beusa Seubrang Seuneubok Punteut Idi Cut Bagok Seuneubok Bayu Lhok Nibong Madat Panton Rayeuk M Blang Aron Buket Teukueh Lokop Simpang Jernih
Sumber: Hasil analisis.
Fungsi Pelayanan 1. Ibukota/pusat pemerintahan & kelembagaan kabupaten. 2. Pusat perdagangan regional. 3. Pusat perhubungan & komunikasi antar kota dalam dan luar provinsi. 4. Pusat pelayanan kesehatan: rumah sakit umum daerah dengan pelayanan spesialis. 5. Pusat pelayanan pendidikan umum dari TK sampai PT. 6. Pusat perhubungan laut ke luar negeri. 7. Pusat pelayanan jasa perbankan setingkat cabang dengan ATM. 8. Pusat pelayanan perhotelan dan sosial ekonomi. 1. Ibukota/pusat pemerintahan & kelembagaan kecamatan. 2. Pusat perdagangan sub regional. 3. Pusat perhubungan & komunikasi antar kota dalam kabupaten. 4. Pusat pelayanan kesehatan: puskesmas dengan pelayanan rawat nginap. 5. Pusat pelayanan pendidikan umum dari TK sampai SLTA. 6. Pusat pendidikan kejuruan, pondok pesantren modern dan magnet school (khusus Peureulak). 7. Pusat pendidikan pondok pesantren tradisional dayah manyang (khusus Simpang Ulim). 7. Pusat pelayanan jasa perbankan setingkat kantor kas. 1. Ibukota/pusat pemerintahan & kelembagaan kecamatan. 2. Pusat perdagangan lokal. 3. Pusat perhubungan & komunikasi antar desa dalam kecamatan. 4. Pusat pelayanan kesehatan: puskesmas dengan pelayanan rawat jalan. 5. Pusat pelayanan pendidikan umum dari TK sampai SLTA (kecuali Beusa Seubrang, Seuneubok Bayu, Blang Aron, Panton Rayeuk M, dan Simpang Jernih sampai tahun 2010 cukup sampai tingkat SLTP) 6. Pusat pendidikan pondok pesantren tradisional. 7. Pusat pelayanan jasa perbankan setingkat kantor kas (khusus Kuta Binje & Lhok Nibong). 8. Pusat pengembangan pertanian. 9. Pusat wisata pantai (khusus Idi Cut)
129
Ikhtisar Terpilihnya pusat pemerintahan dan pusat-pusat pelayanan yang akan dikembangkan diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan upaya: 1. Meningkatkan pertumbuhan wilayah dan pemerataan intra wilayah. 2. Menciptakan tata ruang wilayah yang sustainability. 3. Meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Ketiga upaya di atas disesuaikan dengan kondisi setempat, dengan demikian akan tercipta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi- fungsi kekotaan untuk datang ke arahnya. Makin banyak jenis dan macam pelayanan umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka akan semakin besar daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi- fungsi kekotaan. Penentuan pusat pemerintahan melalui pendekatan kuantitatif berdasarkan tingkat perkembangan kecamatan, yang diukur dari tingkat ketersediaan saranaprasarana dan aksesibilitas, menunjukkan bahwa Idi adalah lokasi optimal untuk pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan analisis sistem hirarki karakter kekotaan dan aksesibilitas, melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dihasilkan tiga tipe potensial kota kecamatan sebagai pusat pelayanan. Pertama, Idi adalah pusat pelayanan utama atau hirarki I, yang akan melayani seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur. Kedua, Peureulak dan Simpang Ulim adalah pusat pelayanan regional atau hirarki II, diarahkan untuk melayani kecamatan-kecamatan di wilayah timur dan barat Kabupaten Aceh Timur. Ketiga, pusat pelayanan lokal atau hirarki III, yaitu ibukota kecamatan lainnya selain Idi, Peureulak, dan Simpang Ulim.
130
PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN Kemampuan untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat, serta nilainilai yang berkembang dalam masyarakat, sangat diperlukan agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi- friksi sosial, politik, agama, dan budaya. Jika hal ini tidak dipahami, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu, bahkan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakanpun akan mengalami gangguan, yang mengakibatkan kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar. . Dalam hal ini manusia menjadi focus of analysis, yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya (human oriented disipline), yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities. Penempatan manusia sebagai focus of analysis, salah satunya adalah melalui pendekatan actor-oriented analysis. Dalam pendekatan ini, akan di-review dan diinterpretasi pendapat atau persepsi pemangku kepentingan (stakeholder) dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur . Yang dimaksud dengan pengambil kebijakan, adalah unsur pemerintah daerah dari kalangan eksekutif dan legislatif. Sedangkan yang dimaksudkan masyarakat di sini, adalah masyarakat biasa, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Persepsi tersebut diperoleh melalui melalui wawancara, baik wawancara terstruktur melalui AHP maupun yang tidak terstruktur melalui actor-oriented approach Persepsi Pengambil Kebijakan Menurut Rushton, diacu dalam Rahman dan Smith (2000), beberapa kajian yang pernah dilakukan di negara-negara berkembang, keputusan penentuan lokasi suatu aktivitas umumnya dilakukan oleh pemerintah daerah, atau oleh pimpinan daerah, atau kedua-duanya. Sering sekali keputusan dibuat dengan mengabaikan berbagai analisa formal dari alternatif-alternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja hanya berdasarkan pertimbangan politik atau mencari gampang saja, sehingga hasil yang diperoleh jauh sekali dari optimal.
131
Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, polemik dalam penentuan pusat pemerintahan, terus berlarut- larut dari sejak pemekaran pada tahun 2001 sampai sekarang. Polemik tersebut setiap hari me nghiasi lembaran mass media lokal, yang memuat berita tentang ketidakmenentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Memprihatinkan memang, nyaris lima tahun, sebuah kabupaten induk yang telah melahirkan satu kota dan satu kabupaten baru belum memiliki pusat pemerintahan. Merujuk pada pendekatan actor-oriented, dimana setiap orang memiliki pandangan tertentu terhadap suatu permasalahan yang ditemuinya. Sehingga, jika saja dia memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan terhadap permasalahan tersebut, hampir dapat dipastikan, kebijakan yang diambil cenderung berorientasi atau bertitik-tolak kepada cara pandangnya itu. Peluang inilah yang dapat menghitam-putihkan sebuah keputusan, seringkali bertolak belakang dengan pandangan umum yang rasional yang dipahami banyak orang. Walaupun tidak selalu keputusan yang diambil terkesan merugikan, namun yang menonjol adalah nuansa politis daripada teknis. Melalui wawancara dengan eksekutif dan legislatif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, diharapkan dapat menggambarkan persepsi mereka terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan tersebut. Eksekutif Mewakili eksekutif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, yang diwawancarai adalah Ketua Tim Staf Ahli Bupati, Sekretaris Bappeda, Kabag Pemerintahan Gampong dan Mukim, Inspektur Inspektorat, dan Danramil Ranto Peureulak. Dalam pembahasan ini, yang dipaparkan hanya pendapat dari
Drs. Nabhani,
MM: Ketua Tim Staf Ahli Bupati, karena seluruh pejabat daerah dari eksekutif yang ditemui, merekomendasikan beliau sebagai nara sumber paling berkompeten dalam
masalah
ini.
Setelah
melakukan
wawancara
dengan
berbagai
responden/informan, akhirnya penulis sependapat bahwa pendapat beliau dapat menggambarkan pendapat eksekutif secara umum. Pendapat dari Nabhani, Staf Ahli Bupati Aceh Timur adalah seperti berikut ini (wawancara tanggal 27 Juni 2006):
132
Sewaktu saya masih wakil bupati, saya sudah duduk sebagai ketua tim pengarah panitia penentuan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Sampai sekarangpun sebagai staf ahli bupati, bersama teman-teman lain kami masih berusaha memberikan konstribusi pemikiran agar masalah ibukota Aceh Timur dapat segera terselesaikan dan tidak berlarut- larut seperti ini. Lokakarya, penelitian, survei, seminar, atau kajian tentang ibukota Aceh Timur sudah beberapa kali dilakukan. Tinggal keberanian dan kemauan Pemda saja untuk memutuskannya dengan segala konsekuensi yang ada. Selama ini terkesan seperti ada rasa hana mangat hana meuoh, sehingga masalah tersebut dibiarkan tergantung begitu saja tanpa ada solusinya, ditambah lagi adanya intrik-intrik kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan yang membuat masalah semakin mengambang. Semua memaklumi, bahwa alternatif untuk ibukota Aceh Timur adalah Peureulak, Idi, dan Peudawa. Namun Peudawa tidak usah dibicarakan lagi karena dari segi apapun tidak punya kapasitas untuk jadi ibukota. Ide Peudawa itukan di munculkan oleh Pak Azman waktu beliau jadi bupati. Berdasarkan hasil survei dan penilaian terhadap kedua lokasi tersebut, jelas Idi lebih tepat dan lebih pantas jadi pilihan sebagai ibukota Aceh Timur. Bahkan dua minggu yang lalu saya dipercayakan sebagai narasumber dalam seminar penentuan ibukota, jelas dan tegas saya sampaikan, bahwa yang paling cocok untuk ibukota Aceh Timur adalah Idi. Namun karena keputusan ini juga merupakan keputusan politik, pasti akan ada konsekuensi politisnya yang tentu akan diblow-up oleh sementara pihak yang punya pendapat berbeda. Konsekuensinya, jika kita memilih Idi, masyarakat Peureulak akan kecewa, demikian juga sebaliknya, dan jika ini terjadi dan pemerintah tidak dapat mengantisipasinya, maka pemerintah dapat mengakomodir aspirasi masyarakat kedua wilayah tersebut dengan alternatif sebagai berikut: 1. Jika Idi diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Peureulak diusulkan menjadi kabupaten baru, misalnya dengan nama Kabupaten Aceh Peureulak. 2.
Jika Peureulak diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Idi diusulkan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Idi Raya. Semua alternatif di atas dimungkinkan menurut PP No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Menurut yang saya ketahui dan pahami, yang dimaksud pusat pemerintahan kabupaten adalah wilayah kecamatan dimana pemerintah kabupaten tersebut berkedudukan, sedangkan ibukota kabupaten adalah ibukota dari kecamatan tempat pusat pemerintahan kabupaten tersebut berkedudukan, dan yang dimaksud dengan titik pusat pemerintahan adalah lokasi dimana Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD berlokasi. Kalau merujuk ke Depdagri, jelas Idi adalah lokasi yang paling tepat. Kepada Bupati Azman berkali-kali kami ingatkan untuk tidak membiarkan masalah ini
133
berlarut- larut, tapi malah sebaliknya, beliau waktu itu tetap bertahan dengan pendapatnya sendiri. Walaupun kalau kita coba ikuti pola pikirnya, terkesan juga tidak konsisten dengan pendapatnya tersebut. Kita tidak tahu apa alasan sesungguhnya dari beliau saat itu sehingga menunda penyelesaian masalah ini, akhirnya seperti ini jadinya. Sekarang sudah berganti bupati, mudah-mudahan dalam masa Bupati Azwar ini, masalah ibukota dapat kita selesaikan dengan “indah”. Janganlah sampai kita ini diserapahi anak cucu gara- gara salah membuat keputusan. Contoh buruk sudah cukup banyak. Seperti Jantho di Aceh Besar, saya rasa Anda sendiripun walaupun diberikan rumah bagus dan isteri cantik bak bidadari belum tentu mau tinggal di Jantho. Terminal Langsa juga begitu, itukan kesalahan menentukan lokasi pada masa Bupati Alauddin. Sekarang hasilnya apa? Terminal tidak berfungsi, malah hutang dengan Depkeu semakin membengkak. Ka lagee ta peutimang gaki euntot. Padahal kalau mau ditempatkan di Simpang Commodore sudah tidak terbayang bagaimana majunya sekarang. Kampus Unsam juga begitu, bagaimana kampus itu bisa berkembang, akses ke sana buruk sekali. Jauh-jauh hari saya sudah ngomong, tetapi tidak ada yang mau “dengar”. Saya senang Anda mau buat penelitian masalah ini, dan itu juga termasuk tanggung jawab Anda sebagi putra daerah. Mudah- mudahan Pemda mau mempertimbangkan hasil penelitian Anda sebagai masukan dalam membuat keputusan nantinya. Legislatif Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dari anggota DPRD cenderung terpecah dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki Peureulak menjadi ibukota,dimotori oleh Muslim A.Gani, SH sebagai Ketua Komisi A yang membidangi Bidang Pemerintahan. Kedua, kelompok yang menghendaki Idi menjadi ibukota, dimotori oleh Rusli Ranto, SH sebagai Wakil Ketua DPRD. Di bawah ini, dicantumkan pendapat Ketua Komisi A dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur tersebut. 1. Muslim A.Gani, SH:
Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur.
(Wawancara tanggal 7 Juli 2006). Sebenarnya, seminggu yang lalu saya sudah sepakat untuk segera memutuskan masalah ini pada tanggal 6 Juli, dengan apapun resiko akan kita tanggung bersama. Tapi sekarang saya tidak mau lagi, selaku Ketua Komisi A saya sudah memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai waktu yang tidak terbatas. Kemungkinan pembahasan akan kita buka kembali tahun 2007, setelah terpilih bupati baru yang definitif.
134
Orang menganggap saya yang menghambat dan mengulur-ulur pembahasan masalah ibukota. Sebenarnya tidak, hanya saya tidak mau Pak Azwar selaku bupati dan Pak Rusli selaku wakil ketua dewan mengintervensi proses ini, dengan menyarankan dan membentuk opini bahwa seolah-olah Idi sangat cocok menjadi ibukota. Padahal belum tentu, kan masih ada Peureulak, Saya bukan orang asli Peureulak, tapi saya rasa Peureulak juga pantas jadi ibukota Aceh Timur. Kan sayang bupati, kalau bupati sudah mengusulkan Idi sebagai ibukota, lalu kami dewan memutuskan lain, dimana harga diri bupati. Nah di antaranya untuk menyelamatkan nama bupati inilah maka saya memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai terpilih bupati baru. Untuk menghindari konflik baru dalam suasana damai ini, saya telah mengirim surat kepada Ketua Dewan selaku Koordinator Komisi A, agar menunda pembahasan masalah ibukota untuk sementara waktu. Memang saya berbeda pendapat dengan wakil ketua, dan itu juga dibesarbesarkan oleh orang lain, tapi saya rasa masing- masing dari kami tetap punya kemauan untuk menyelesaikan masalah pentuan ibukota ini. 2. Rusli Ranto, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur. (Wawancara tanggal 6 Juli 2006). Saya berharap hadirnya Pak Mirza melakukan penelitian di sini, dapat membawa pencerahan baru bagi teman-teman di dewan. Soalnya Anda bisa lihat sendirikan bagaimana panasnya suasana polemik masalah ibukota yang muncul di koran setiap hari. Malah ada opini, antara saya dengan Muslim Ketua Komisi A sudah tidak harmonis lagi, karena saling tuding-tudingan di koran-koran. Saya tidak ingin masalah ini jadi begini, dimana harga diri kita di mata masyarakat dan di mata eksekutif, wewenang dan tugas yang diberikan tidak bisa kita selesaikan. Kami sudah beberapa kali survei lapangan masalah ibukota, hasilnya ya Idi. Dalam seminar sebulan yang lalu, juga saya sampaikan ke peserta seminar, saya tetap akan memperjuangkan Idi sebagai ibukota, karena obyektifnya lokasi yang representatif dan strategis di Idi. Tapi, kalau mau mengedepankan emosional, bilang saja dimana saja sesesuka hati kita, walaupun tidak logis, saya kan tidak mau begitu. Apapun yang kita lakukan akan dicatat oleh anak cucu kita sebagai sejarah, masak kita mau tinggalkan sejarah yang jelek hanya karena salah bikin keputusan. Secara institusi kita kan punya Komisi A, yang membidangi Bidang Pemerintahan, merekalah yang menangani masalah ini, kalau mereka tidak sanggup, terpaksa kita ambil alih dan kita bawa ke paripurna. Teman-teman di Komisi A sebagian besar punya kemauan untuk menuntaskan masalah ini, tapi kendalinya kan ada ada di tangan Muslim selaku Ketua Komisi A. Dia begitu saja membatalkan rapat komisi untuk membicarakan masalah ibukota tanpa kompromi dengan yang lain. Dia memutuskan untuk menunda pembahasan tentang ibukota sampai terpilihnya bupati yang definitif, itukan tidak benar. Padahal Gubernur NAD sudah menyurati bupati untuk segera menetapkan
135
ibukota, pindah dari Langsa, dan menyerahkan seluruh aset ke Pemkot Langsa. Bupati juga sudah meminta kita untuk membahas masalah ini. Saya sepakat, ini tidak hubungannya dengan status bupati sebagai pj atau bukan. Buktinya, sebelumnya selama 5 tahunan kita dipimpin bupati definitif, ternyata juga tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Ini kan soal kemauan saja, kalau kita mau selesaikan, ya selesai, kalau tidak mau, sampai kapanpun tidak akan selesai, siapapun bupatinya. Jangan ambil untung pribadi dalam masalah ini, ketentuan teknis sudah ada, ikuti saja itu, jangan dipolitisir. Dilihat dari sudut apapun Idi layak jadi ibukota, kita tetapkan saja, biar kita segera bisa membangun fasilitas yang kita perlukan. Masak kita mau usulkan yang tidak layak, mana mau pemerintah pusat memproses PP-nya. Minggu depan Komisi A akan studi banding masalah penentuan ibukota ke Banten, saya juga tidak tau bagaimana urgensinya. Okelah, itu urusan temanteman di Komisi A, saya tidak ikut. Tetapi sepulang studi banding saya akan tanya, “Sekarang apa lagi?, apa kita sudah bisa duduk untuk membahas masalah ibukota kita sendiri, toh kitakan sudah studi banding, alasannya apa lagi?” Untuk menuntaskan masalah ini saya akan mengupayakan segera kita lakukan sidang paripurna. Saya punya harapan dengan penelitian Pak Mirza ini dapat memancing temanteman di dewan, terutama Komisi A, untuk bergerak kembali menuntaskan pembahasan masalah ibukota, soalnya setahu saya, biasanya pendekatan mahasiswa lebih obyektif daripada yang lain yang penuh dengan intrik-intrik politik. Persepsi Masyarakat Pendekatan dengan ikut mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi masyarakat dalam suatu proses pengambilan keputusan, merupakan bagian dari pendekatan perencanaan partisipatif. Masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah komponen yang berada di luar pemerintahan daerah, yaitu masyarakat umum, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Dalam beberapa hal, untuk masalah yang sama, dapat saja ketiga komponen masyarakat tersebut memiliki orientasi pendapat yang identik satu dengan lainnya. Namun, dalam banyak hal dapat saja berbeda ekstrim, karena kepentingan, cara pandang, dan pemahaman yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi.
136
Akademis Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, setiap komponen masyarakat memiliki pandangan masing- masing. Pandangan dari kelompok masyarakat akademis diwakili oleh pendapat Bakhtiar Harun Rektor Universitas Samudra Langsa, seperti tercantum di bawah ini (wawancara tanggal 17 Juli 2006): Saya terlibat jauh dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Aceh Timur sejak tahun 2002. Waktu itu, saya dipercayakan menjadi Ketua Tim Survei Lapangan untuk menilai 3 lokasi calon ibukota, yaitu Peureulak, Peudawa, dan Idi. Hasil survei menunjukkan Idi memperoleh skor paling tinggi. Sehingga kita merekomendasikan ke panitia seminar, Idi adalah lokasi yang strategis dan representatif untuk ibukota Aceh Timur. Saya tidak habis pikir, belakangan malah muncul ide untuk menjadikan Peudawa sebagai ibukota. Padahal dari hasil survei, Peudawa memiliki skor paling rendah. Kesannya hasil kerja panitia dan hasil lokakarya sia-sia saja, dikesampingkan begitu saja oleh pimpinan daerah waktu itu. Ujungnya, seperti Anda lihat sendiri, sampai sekarang kita belum punya ibukota. Ini pelajaran pahit buat kita, betapa keragu-raguan seorang pimpinan dan segenap jajarannya dalam membuat keputusan, akan mengorbankan seluruh peluang yang ada. Termasuk peluang untuk membangun wilayah sebagai implikasi dari pemekaran wilayah. Aceh Tamiang yang dilahirkan belakangan, malah lebih baik dari kita yang melahirkan ini. Menempatkan ibukota di Peudawa sah-sah saja, tapi, kapan kita bisa pindah ke sana, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi? Toh di Peudawa tidak ada apa-apa, katakanlah kita mau membangun, dari mana sumber dananya, apa dengan berhutang? Terminal Langsa saja belum lunas, mau tambah hutang lagi. Kita harus berpikir rasional dan realistis. Terus terang saya katakan, kalau seandainya ibukota kita di Idi, dan besok saya diperintahkan pindah ke Idi, besok juga saya siap pindah. Mengapa? Karena di Idi sudah ada sarana prasarana dasar yang bisa kita manfaatkan untuk menjalankan roda pemerintahan, terutama sektor pelayanan publik. Kalau di Peudawa apa bisa seperti itu? Para pegawai mau tinggal dimana? Anak-anaknya mau sekolah dimana? Kalau di Idi dari TK sampai Perguruan Tinggi ada, rumah yang dapat disewa pegawai juga ada, sambil menunggu membangun rumah sendiri. Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Yang logis sajalah. Ini belum kita lihat kriteria Depdagri, kalau kita lihat kriteria Depdagri, Peudawa itu tidak masuk hitungan. Peureulak juga bagus, tetapi tetap lebih layak dan strategis di Idi. Inilah jeleknya kalau kita mengedepankan ego primordial dan pendekatan politis daripada pendekatan teknis akademis. Kalau kita ingin ma salah ibukota segera tertuntaskan, mari kita duduk bersama dan kembali ke hasil seminar
137
dan lokakarya sebelumnya, atau buat survei ulang yang obyektif. Dan kalau itu kita lakukan, saya yakin Idi akan terpilih. Sekarang Mirza membuat penelitian masalah ini, ini akan jadi pembanding dari yang sudah kami lakukan dulu, dengan metoda yang lebih sederhana tentunya. Ini akan menjadi suatu kontribusi buat kita semua. Dunia Usaha Peran masyarakat dunia usaha atau swasta dengan enterpreuneurship- nya, terhadap kemajua n
suatu
wilayah
tidak
diragukan
lagi.
Dunia
usaha
menggerakkan roda perekonomian wilayah, membuka lapangan kerja, dan membangun berbagai sarana prasarana wilayah. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa melibatkan swasta, swasta juga tidak dapat berinvestasi tanpa ada iklim dan ruang yang diberikan oleh pemerintah. Semuanya harus bersinergi dalam prinsip reinventing goverment. Pandangan dari kalangan dunia usaha diharapkan dapat terwakili dari pendapat Iskandar Aba Aminy, yang disamping sebagai pengurus inti Gapensi dan Kadin Aceh Timur, juga ditunjuk oleh tokoh masyarakat sebagai Ketua Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dalam susunan panitia bentukan tokoh masyarakat ini, tidak terdapat unsur kepengurusan dari pemerintahan
daerah,
baik
dari
legislatif
maupun
eksekutif.
Dalam
kepengurusannya ada pengacara, pengusaha hasil bumi, kontraktor, dan tokoh masyarakat. Pendapat dari Iskandar Aba Aminy tersebut
sebagai berikut
(wawancara tanggal 15 Juli 2006): Saya senang kebetulan sekali ada yang mau meneliti masalah ini, mudahmudahan ada manfaat buat kita semua. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar kita segera punya ibukota. Malah sampai ke Bapak Gubernur di Banda Aceh dan Mendagri di Jakarta kita datangi, supaya Aceh Timur punya ibukota. Kami panitia melakukan studi dan survei untuk ini, hasilnya Idi yang layak jadi ibukota. Tetapi Anda kan tau, kalau Bupati Azman tidak mengajukan Idi sebagai ibukota, tapi Peudawa. Imbasan masalah ibukota pula yang belakangan membuat hubungan kami jadi kurang harmonis lagi sampai sekarang, padahal kami sama-sama dari Simpang Ulim, malah orangtua kami kawan kompak. Kami, teman-teman panitia tidak mengatakan bagaimanapun juga harus Idi, tapi kami katakan, bagaimanapun juga dalam masalah ibukota ini harus obyektif, jangan dipolitisir seperti itu, kasihan kan Aceh Timur kita ini, semakin tertinggal pembangunannya di banding daerah lain di Aceh, padahal dulunya Aceh Timur identik dengan Aceh yang ‘makmur’. Sekarang Anda
138
lihat sendiri, kita ini tidak ada apa-apanya, malu rasanya masalah ibukota saja tidak sanggup kita putuskan. Sekarang kita dapat bupati baru, walaupun cuma penjabat, besar harapan kita bupati baru ini dapat mengakomodir harapan masyarakat semua. Kami semua siap mendukung kebijakan bupati yang mau bertindak obyektif dalam masalah ibukota ini. Kami menyarankan ke bupati, agar dalam penentuan ibukota kembali ke konsep teknis-akademis. Toh hasil lokakarya dan seminar yang melibatkan semua unsur sudah ada, yah kita sepakat saja untuk kembali merujuk ke situ, selesaikan. Jangan berlarut- larut seperti ini, malu kita sama masyarakat, biar segera bisa kita urus masalah lain yang lebih urgen menyangkut kesejahteraan masyarakat. Apalagi kita sudah damai, jangan sampai kehilangan moment seperti ini. Saat ini saya dan teman-teman, termasuk Pak Nabhani, akan terus berusaha agar masalah ibukota dapat tuntas tahun ini juga, bupati sekarang dan gubernur juga sepakat begitu. Nanti jika ada perkembangan baru dalam masalah ini, saya akan hubungi Pak Mirza, dan Pak Mirza juga jika ada masukan sampaikan saja ke kami, biar sama-sama kita pikir masalah ini, kalau bukan kita putra Aceh Timur yang bergerak, siapa lagi? Saya juga merasa prihatin dengan sikap DPR yang sepertinya juga tidak punya kemauan yang sungguh-sungguh untuk membicarakan masalah ibukota, padahal mereka wakil rakyat, tapi kok malah tidak menyadari mana yang prioritas mana yang tidak untuk diselesaikan. Mudah- mudahan bupati kita sekarang dapat mendekati DPR agar sama-sama secepatnya menyelesaikan masalah ibukota ini. Masyarakat Umum Masyarakat umum yang dimaksudkan di sini, adalah masyarakat biasa yang tidak terikat dengan suatu profesi, institusi, ataupun kelembagaan formal, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun swasta. Termasuk di dalamnya yang dimintai pendapatnya, yaitu: M.Naser; tukang bangunan, T.Banta Ridi; pensiunan guru, M.Sadli; nelayan, Zubir; penjual perbekalan nelayan, Asnawi; petani, Ansari; LSM, Bakhtiar; jualan kopi, Tgk. Yahya Hanafi dan Tgk. Nurdin Nur; ulama dayah/pesantren. Responden ada yang beralamat di Peureulak, Langsa, Idi, Simpang Ulim, dan Lhok Nibong. Pendapat dari kalangan masyarakat umum ini secara keseluruhan tidak begitu berbeda satu dengan lainnya. Ada beberapa yang skeptis atau tidak mau peduli sama sekali, ma u dimana saja terserah pemerintah, mereka merasa tidak punya kepentingan di situ. Namun yang paling mendasar dan menarik dari pendapat masyarakat adalah berhubungan dengan dimana mereka berdomisili.
139
Responden yang bertempat tinggal di Peureulak, berpendapat Peureulak lebih pantas jadi Ibukota Aceh Timur daripada Idi, demikian juga sebaliknya dengan yang bertempat tinggal di Idi. Kecuali Tgk. Nurdin Nur, Ketua Rabithah Ulama Dayah Aceh Timur, walaupun tinggal di Peureulak tetapi berpendapat bahwa Idi lebih tepat jadi ibukota daripada Peureulak. Sedangkan responden yang bertempat tinggal di luar Idi dan Peureulak, semuanya berpendapat bahwa Idi yang paling tepat menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur. Berarti, masyarakat yang bertempat tinggal di kota yang di calonkan untuk menjadi ibukota secara sadar, rasional, dan subyektif, pasti akan memilih kotanya sendiri. Demikian sebaliknya, yang berasal dari luar kota yang dicalonkan, juga secara, rasional, dan subyektif pasti akan memilih kota yang tepat menurut pandangan mereka sendiri. Di sinilah sebenarnya “ruang” bagi pemerintah dan akademis untuk membuat keputusan seobyektif mungkin dengan mendasarkan pertimbangan pada indikator dan parameter yang jelas dan terukur. Interpretasi Hasil Wawancara Dari semua respond en atau informan, Nabhani, Ketua Tim Staf Ahli Bupati yang mewakili responden eksekutif adalah yang paling tinggi kompetensinya dalam masalah yang diteliti, karena terlibat jauh dalam tata pemerintahan KabupatenAceh Timur dari pra sampai pasca pemekaran. Bahkan, banyak juga pimpinan daerah di luar Aceh Timur menjadikan responden tersebut sebagai narasumber untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan masalah tata pemerintahan. Pengalaman karir beliau sebagai pamong praja senior cukup mendukung untuk itu. Beliau pernah menjadi Wakil Bupati dan Sekwilda Kabupaten Aceh Timur dan Widyaswara Diklatprov NAD. Penulis dalam banyak hal sependapat dengan responden, namun penulis sangat tidak sependapat dengan wacana responden untuk memekarkan kembali Aceh Timur sebagai implikasi dari solusi masalah ibukota. Kalau pemekaran terus dilakukan hanya karena alasan yang sepele, seperti masalah ibukota, maka akan terus melahirkan wilayah-wilayah administratif yang semakin lama semakin kecil luasannya.
Pengalaman
menunjukkan,
tidak
semua
pemekaran
wilayah
memberikan implikasi positif dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
140
pelayanan umum, dan daya saing daerah, tetapi malah membebani keuangan negara dengan penambahan belanja aparatur. Dalam kasus ini pemekaran Kabupaten Aceh Timur termasuk di dalamnya. Pemekaran wilayah cenderung hanya menguntungkan para rent seekers, baik kalangan birokrat maupun politikus. Jadinya, pemekaran wilayah hanya menjadi “pepesan kosong” belaka. Padahal kalau Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 3 ayat 1 butir b, secara eksplisit disebutkan bahwa unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten adalah bupati dan perangkatnya sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif, mempunyai kewenangan menjalankan otonomi yang seluas- luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam masalah pusat pemerintahan, Nabhani dengan jelas mengatakan, sedari awal Idi memang satu-satunya lokasi yang tepat untuk Ibukota Kabupaten Aceh Timur. Apalagi sudah melalui proses kajian, seperti seminar, lokakarya, dan studi lapangan. Mengejutkan sekali, pada kesempatan berikutnya, bupati saat itu bukannya merujuk pada output dari proses sebelumnya, malah mengajukan Peudawa untuk alternatif ibukota. Tentunya bupati juga memiliki alasan sendiri sehingga bertindak seperti itu. Ada beberapa dugaan mengapa bupati bertindak seperti itu. Pertama, untuk menghindari konflik horizontal yang dapat membuat Aceh Timur terpecah lagi. Kedua,
karena tekanan pihak lain, baik eksternal maupun internal, apalagi saat
itu Aceh sedang dalam konflik dan diberlakukan status darurat militer. Ketiga, karena menjelang suksesi kepala daerah, bupati berminat untuk ikut Pilkada lagi, sehingga untuk memenangkan Pilkada akan menghindari untuk membuat keputusan yang tidak populis, yang dapat mengecewakan masyarakat wilayah tertentu. Keempat, adanya naluri apportunistic untuk menjadi rent seekers dalam pengadaan lahan untuk daerah perkantoran, yang notabene lahan di Peudawa dapat dibeli dengan murah dan sebagiannya masih milik negara. Namun semua dugaan tersebut belum dibuktikan sama sekali, peneliti belum pernah mewawancarai pimpinan daerah tersebut yang sekarang sudah purna bhakti.
141
Jika diperhatikan dengan seksama, di pihak legislatif memang ada perbedaan
pendapat
dalam
masalah
lokasi
pusat
pemerintahan.
Ada
kecenderungan bagi anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan Peureulak akan
memperjuangkan
Peureulak,
demikian
juga
yang
mewakili
Idi.
Obyektivitasnya dapat diketahui dari anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan selain Idi dan Peureulak, mereka berpendapat Idi lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan. Mereka mengatakan, konflik ini lebih kepada kepentingan politik dari politikus dan pejabat yang mewakili dan berasal dari Peureulak dan Idi. Namun secara keseluruhan, menurut catatan mereka, jika dilakukan voting suara terbanyak akan jatuh ke Idi. Walaupun voting adalah pilihan terakhir jika kesepakatan musyawarah menuju mufakat mengalami jalan buntu. Pihak akademis yang terlibat dalam proses identifikasi lokasi pusat pemerintahan telah menyampaikan hasilnya, bahwa Idi adalah lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dalam melakukan kajian, pihak akademis dibantu Bappeda dan konsultan perencana. Rekomendasi dari pihak akademis ternyata tidak diakomodir oleh pimpinan daerah saat itu, walaupun perangkatnya sepakat untuk merujuk pada hasil kajian akademis tadi. Berangkat
dari
keprihatinan
atas
berlarut-larutnya
masalah
pusat
pemerintaha n dan adanya keinginan untuk ikut berkontribusi, beberapa pengusaha dan tokoh masyarakat membentuk Panitia Penetapan Ibukota Kabupaten Aceh Timur di luar kepanitiaan resmi yang dibentuk pemerintah daerah. Dari hasil kajian dan urun rembug, panitia tersebut mengusulkan Idi untuk jadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dengan akses yang dimiliki, mereka juga mengupayakan percepatan penetapan pusat pemerintahan ini sampai ke Gubernur NAD dan Mendagri. Namun sesuai dengan prinsip otonomi daerah, kewenanga n ini ada di tangan unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yaitu bupati dan DPRD, sehingga upaya panitia ini tidak memberikan hasil seperti yang dikehendaki. Baik secara pribadi maupun institusi, para pengusaha juga berkepentingan dengan penetapan pusat pemerintahan, baik langsung atau tidak, berimplikasi kepada perekonomian wilayah yang motor penggeraknya ada di tangan
142
pengusaha. Secara langsung, akan ada proyek-proyek pembangunan dan peningkatan sarana-prasarana pusat pemerintahan yang baru yang dapat dikerjakan para pengusaha konstruksi. Secara tidak langsung, akan membuka peluang usaha perdagangan, jasa, dan industri kecil- menengah di lokasi baru tersebut. Penduduk setempat dan pendatang yang berjiwa enteurpreneurship akan memanfaatkan peluang usaha baru sebagai keuntungan eksternal munculnya pusat pertumbuhan baru. Seperti dikemukakan sebelumnya, inilah salah satu “ruang” yang harus disediakan oleh pemerintah dalam prinsip reinventing goverment yang dapat meningkatkan perekonomian wilayah melalui kebijakan-kebijakan yang konstruktif. Pihak masyarakat umum sendiri, tidak jelasnya masalah pusat pemerintahan juga menimbulkan masalah tersendiri, baik menyangkut masalah pelayanan publik yang berada dalam kewenangan pemerintah maupun pelayanan publik yang ditangani oleh swasta. Untuk memperoleh pelayanan yang dikehendaki, masyarakat harus ke Langsa, yang jika ditinjau dari total opportunity cost yang dikeluarkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan jika pelayanan tersebut ada di lokasi yang most acsessible dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur sendiri. Menilik pada hubungan aspek persepsi, baik secara kognitif, afektif, maupun konatif dengan latar belakang responden, diperoleh gambaran seperti ini: (1) Aspek kognitif, menekankan pada pengetahuan dan pandangan yang menimbulkan kepercayaan terhadap proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, ditunjukkan dengan pandangan terhadap manfaat ditetapkannya lokasi yang tepat. Aspek kognitif inilah yang mewarnai persepsi dan pendapat dari kalangan akademis dan dunia usaha, karena aspek ini menekankan pada pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Pengetahuan dan persepsi ini akan menghasilkan kepercayaan (belief) terhadap objek tertentu. (2) Aspek afektif, menekankan pada perasaan atau emosi yang menimbulkan rasa kesenangan atau ketertarikan terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Aspek afektif ini sangat terasa nuansanya pada kelompok masyarakat umum, karena aspek afektif lebih menekankan pada perasaan atau emosi dalam menilai objek tertentu. (3) Aspek konatif, menekankan
143
pada keinginan untuk bertindak atau melakukan sesuatu atas suatu respon yang ditunjukkan oleh keinginan untuk berbuat sesuatu atau menyumbangkan sesuatu yang dapat menunjang proses penetapan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Aspek konatif ini menonjol pada kalangan eksekutif dan legislatif serta kalangan dunia usaha secara institusional. Terlepas dari semua aspek persepsi di atas, ada dua hal yang menjadi inti persepsi dari semua kelompok responden/informan. Pertama, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus segera menetapkan pusat pemerintahannya. Kedua, lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang strategis dan representatif adalah Idi. Persepsi Terhadap Kriteria Pusat Pemerintahan Persepsi terhadap kriteria yang menjadi bahan penilaian dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, digali melalui metode AHP. Hasil AHP (seperti pada Gambar 25) menunjukkan bahwa dalam penentuan pusat pemerintahan ada faktor yang harus lebih diperhatikan dibandingkan faktor lainnya. 1. Pada kriteria antara faktor sumberdaya wilayah, sosial fisik wilayah, dan perekonomian wilayah, maka faktor sumberdaya wilayah lebih penting daripada sosial fisik wilayah dan perekonomian wilayah. Pertimbangan berikutnya adalah faktor sosial fisik wilayah dan perekonomian wilayah. 2. Pada sub kriteria faktor sumberdaya wilayah, antara potensi sumberdaya alam, keberadaan kelembagaan formal dan informal, dan ketersediaan sarana prasarana, maka ketersediaan sarana prasarana menjadi faktor yang lebih penting dibandingkan lainnya. Pertimbangan berikutnya, keberadaan kelembagaan formal dan informal dan potensi sumberdaya alam. 3. Pada sub kriteria sosial fisik wilayah, antara faktor kependudukan, kestrategisan lokasi, dan sejarah status administrasi wilayah, maka kestrategisan lokasi harus lebih diperhatikan dibandingkan lainnya. Pertimbangan berikutnya adalah sejarah status administrasi dan kependudukan.
144
4. Pada sub kriteria perekonomian wilayah, antara faktor pusat aktivitas pertanian dengan faktor pusat perdagangan, industri, dan jasa, maka faktor kegiatan perekonomian berbasis perdagangan, industri dan jasa lebih dipentingkan dari kegiatan pertanian.
Gambar 25 Hasil AHP ketiga calon lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis. Keterangan Gambar 25 : Goal SDW SFW EW SDA Lembaga Sarana Penduduk Lokasi Sejarah Tani Bisnis Peureulak Idi Peudawa
= Pusat Pemerintahan/Ibukota Kabupaten Aceh Timur. = Sumberdaya Wilayah. = Sosial Fisik Wilayah. = Perekonomian Wilayah. = Sumberdaya Alam. = Keberadaan Kelembagaan Formal dan Informal. = Ketersediaan Sarana dan Prasarana. = Kependudukan. = Kestrategisan Lokasi. = Sejarah Status Administrasi Wilayah. = Pusat Kegiatan Pertanian. = Pusat Perdagangan, Industri, dan Jasa. = Kecamatan Peureulak. = Kecamatan Idi Rayeuk = Kecamatan Peudawa.
145
Berdasarkan kriteria yang dikembangkan dalam AHP untuk menggali persepsi
pengambil
kebijakan
dan
masyarakat
dalam penentuan pusat
pemerintahan, maka Idi adalah lokasi yang paling memenuhi kriteria untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Ikhtisar Pemerintah daerah memiliki otoritas sebagai penentu kebijakan, begitupun aspirasi dari berbagai komponen masyarakat perlu diakomodir dan disikapi dengan arif. Keberadaan akademisi dengan berbagai kajiannya sangat penting diberdayakan dan dilibatkan dalam rangka membantu penentuan kebijakan pembangunan, khususnya kebijakan spasial (spatial policies). Demikian juga dengan masyarakat serta pelaku dunia usaha yang menjadi mitra pemerintah dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha merupakan kunci bagi transformasi wilayah yang adil dan berkelanjutan. Dasar dari kerjasama ini adalah saling percaya antar pelaku pembangunan, meskipun masing- masing memiliki pandangan dan kepentingan yang beragam bahkan dapat pula berbeda. Dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dapat diketahui beberapa pandangan atau persepsi dari semua pemangku kepentingan (stakeholder). Pertama, semua pihak berpendapat bahwa pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur harus segera ditetapkan. Kedua, pihak eksekutif, akademis, dan pelaku dunia usaha berpendapat, Idi adalah lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan. Ketiga, anggota legislatif dari wilayah pemilihan Peureulak menghendaki Peureulak menjadi pusat pemerintahan, sedangkan anggota legislatif dari wilayah pemilihan selain Peureulak menghendaki Idi yang menjadi pusat pemerintahan. Kedua, masyarakat yang bertempat tinggal di Peureulak menganggap bahwa Peureulak adalah lokasi yang paling tepat untuk pusat pemerintahan, sedangkan masyarakat lainnya di luar Peureulak menganggap bahwa Idi adalah lokasi yang paling tepat. Hasil analytical hierarchy process (AHP) menunjukkan, Idi adalah lokasi yang paling memenuhi semua kriteria yang ditentukan untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
146
IMPLIKASI KEBIJAKAN Hirarki Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Stakeholder dalam Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Pelaksanaan otonomi daerah seyogyanya bertumpu pada proses transformasi dan penguatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Oleh karena itu, pegembangan wilayah menuntut peningkatan partisipasi masyarakat, kemandirian ekonomi, dan kemampuan melaksanakan otonomi. Kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis mutlak diperlukan untuk transformasi wilayah yang adil dan berkelanjutan. Walaupun masing- masing pihak memiliki visi dan kepentingan yang beragam namun tetap dapat membangun kerjasama atas dasar saling percaya antar pelaku pembangunan. Menurut Baiquni (2004), trilogi kerjasama antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat tersebut diterjemahkan dalam bentuk strategi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Artinya, otonomi bukan sekedar mengalihkan sebagian wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi sesungguhnya merupakan kebangkitan kesadaran kedaulatan di tangan rakyat. Pendekatan ini penting untuk dirumuskan kembali, mengingat wacana publik yang berkembang, seolah-olah hanya berkisar pada mengembangkan kemampuan dan memfungsikan pemerintah daerah, bukan memperkuat kedaulatan rakyat. Ketiga komponen pelaku pembangunan juga berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur. Secara empiris, penentuan pusat pelayanan tidak begitu bermasalah dibandingkan dengan penentuan pusat pemerintahan. Penentua n pusat pelayanan hanya memungkinkan melalui pendekatan kuantitatif saja. Tetapi tidak demikian dengan penentuan pusat pemerintahan yang sarat dengan muatan politis, sehingga tidak cukup dengan hanya pendekatan kuantitatif, tetapi harus dibarengi dengan pendekatan kualitatif. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa masalah pusat pemerintahan secara sosial politis sangatlah sensitif, bahkan mengalahkan hasil kajian ilmiah yang mengedepankan aspek fisik dan teknis.
147
Tabel 10
Tabulasi hasil analisis penentua n pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur
LOKASI
METODE ANALISIS KUALITATIF ACTOR-ORIENTED APPROACH
KUANTITATIF SKALOGRAM
P-MEDIAN
AHP
X
X
X
EKSEKUTIF
LEGISLATIF
AKADEMISI
DUNIA USAHA
MASYARAKAT
X
X
X
X
X
Pusat Pemerintahan: -Idi
X
- Peureulak
Pusat Pelayanan: Hirarki I
X
X
- Peureulak
X
X
- Kuta Binje
X
- Simpang Ulim
X
-Idi
Hirarki II
X
Sumber: Hasil analisis. Tabel 10 adalah hasil dari seluruh analisis yang dilakukan dalam kajian penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur. Untuk penentuan lokasi pusat pemerintahan, seluruh analisis menunjukkan bahwa Idi adalah lokasi yang tepat untuk itu, walaupun ada muncul pilihan Peureulak dari sebagian kecil anggota legislatif dan masyarakat, namun seperti dikemukakan di depan, kemunculan tersebut relatif lebih subjektif dan diwarnai ego kedaerahan yang kental. Analisis skalogram yang menggunakan data Podes 2006 untuk menganalisis hirarki kecamatan, menghasilkan kesimpulan yang identik dengan spatial interaction analysis location-allocation model yang melihat tingkat aksesibilitas sebagai faktor yang menentukan dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan. Demikian juga dengan hasil AHP dengan menganalisis kriteria suatu pusat pemerintahan berdasarkan persepsi responden. Pendekatan actor-oriented analysis juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan analisis lainnya.
X
148
Hirarki sistem kota-kota kecamatan dapat digunakan untuk memilih atau menentukan pusat pemerintahan dan pelayanan baru. Asumsi dasar bahwa kota kecamatan yang memiliki tingkat perkembangan tinggi berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi pusat pemerintahan dan pelayanan. Analisis aksesibilitas dengan kendala jarak tempuh untuk menuju pusat pemerintahan dan pelayanan dengan metode p-median sebagai salah satu model lokasi-alokasi, dapat membantu menemukan lokasi yang optimal pusat pemerintahan dan pelayanan dimaksud. Terpilihnya kota dengan tingkat perkembangan tinggi untuk pusat suatu aktifitas berkaitan erat dengan tingkat aksesibilitasnya, semakin baik aksesibilitasnya, semakin mudah dia berkembang, demikian juga sebaliknya. Jika dikaji lebih jauh, menarik untuk diperhatikan, bahwa antara hasil analisis kuantitatif berkorelasi dengan hasil analisis kualitatif. Fenomena ini menunjukkan, pada prinsipnya walaupun persepsi para stakeholders dianggap subjektif dari sudut analisa kuantitatif, namun persepsi tersebut tetap lahir dari pemahaman yang rasional terhadap informasi yang diterima dari lingkungan sekitar, sehingga persepsi yang muncul cukup logis dan dapat diterima secara ilmiah. Tidak dimungkiri, seiring dengan bergulirnya waktu, akan terjadi benturan-benturan kepentingan yang menggiring pandangan yang pada awalnya adalah subjektif yang objektif menjadi sepenuhnya subjektif. Munculnya konflik kepentingan antara para rent seekers inilah yang memicu hal- hal yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan baik, tetapi malah menjadi polemik tak berkesudahan. Seandainya semua pihak yang berkepentingan di Kabupaten Aceh Timur memiliki kemauan baik dan kuat untuk menuntaskan masalah yang berhubunga n dengan penentuan pusat pemerintahannya, diyakini bahwa masalah tersebut akan terselesaikan dengan baik, karena pada prinsipnya semua hasil analisis baik kuntitatif maupun kualitatif menunjukkan hasil yang sama. Bertitik tolak dari pengalaman kasus yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, maka pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi sepenuhnya terhadap kemungkinan munculnya konflik dalam penentuan pusat pemerintahan suatu wilayah. Antisipasi tersebut dapat dilakukan melalui kajian penentuan pusat pemerintahan
yang
komprehensif
dengan
melibatkan
pihak-pihak
yang
berkepentingan untuk itu. Antisipasi tersebut juga harus dilakukan jauh hari
149
sebelum pemekaran atau pembentukan suatu wilayah administratif yang baru ditetapkan. Sebaik dan sesempurna apapun kajian yang dilakukan dengan segala implikasinya, keputusan akhir sebagai implementasi dari hasil kajian tetap akan berpulang kepada keputusan politik atau pemerintah sebagai penentu kebijakan. Namun, di luar sistem tersebut, semuanya memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan kontribusi pemikiran atau saran-saran sebagai warga negara. Interpretasi Kronologis Penentuan Pusat PemerintahanKabupaten Aceh Timur Kronologis dari proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur dari tahun 2001 sampai Juli 2006 dan interpretasi penulis dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kabupaten Aceh Timur dimekarkan melalui UU No. 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Langsa dan UU No. 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang. Dimana Kota Langsa ibukotanya Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang ibukotanya Karang Baru, dan Kabupaten Aceh Timur belum memiliki ibukota. 2. Tanggal 26 Pebruari 2002, dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Timur No. 027 Tahun 2002 tentang Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Teuku Syahril,
Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Seminar penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur dilaksanakan pada tanggal 3 dan 4 April 2002. Dalam seminar tersebut timbul wacana tiga alternatif lokasi pusat pemerintahan, yaitu: Kecamatan Peureulak, Kecamatan Peudawa, dan Kecamatan Idi Rayeuk. 3. Tanggal 20 April 2002, Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 16/KEP/2002 tentang Pembentukan Tim Perumus Hasil Seminar dan Lokakarya Penetapan Pusat Pemerintahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur, diketuai oleh Zulkifli UA, Anggota DPRD Kabupaten Aceh Timur.
150
Catatan: Tim perumus hasil seminar dan lokakarya mengadakan rapat pada tanggal 10, 14, dan 22 Mei 2002. Rapat tersebut menghasilkan keputusan menentukan kriteria penilaian dan membentuk tim investigasi lapangan yang akan menilai ke 3 alternatif lokasi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Tim investigasi ini terdiri dari Bappeda, BPN, LSM, akademis, dan konsultan. 4. Tanggal 10 Mei 2002, Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 16/KEP/2002 tentang Pembentukan Tim Investigasi Lapangan Untuk Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Bakhtiar Harun, Rektor Universitas Samudera Langsa. Catatan: Tim investigasi lapangan yang dibentuk melaksanakan survey dari tanggal 16 sampai 25 Mei 2002. Hasil survey ke-3 lokasi adalah: Kecamatan Idi Rayeuk memperoleh bobot tertinggi = 58, disusul Kecamatan Peureulak = 52, dan Kecamatan Peudawa = 38,5. 5. Tanggal 10 Juni 2002, Bupati Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 103 Tahun 2002 tentang Pembentukan Panitia Lokakarya Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Zulfatir Manaf, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Pada tanggal 17 Juni 2002 dilaksanakan acara lokakarya yang membahas hasil seminar dan hasil investigasi lapangan dari 3 alternatif lokasi yang ada. Seyogyanya, jika melihat pada hasil investigasi lapangan, maka yang terpilih untuk menjadi lokasi pusat pemerintahan adalah Kecamatan Idi Rayeuk, namun dalam forum lokakarya tersebut mulai muncul nuansa sosial-politis yang didasarkan pada perbedaan visi para pengambil kebijakan, sehingga lokakarya dimaksud tidak menghasilkan suatu kesepakatan yang dapat menjadi pegangan atau rekomendasi dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Karena tidak diperoleh kata sepakat, maka panitia seminar mengembalikan masalah penentuan pusat pemerintahan kepada kebijakan Bupati Aceh Timur. Tidak adanya kesepakatan inilah yang menjadi awal dari konflik masalah ibukota Kabupaten Aceh Timur dan menjadi komoditas politik bagi para elit daerah denga n mengangkatnya menjadi bagian dari isu kampanye untuk kepentingan kelompok, pribadi, atau golongan yang berminat ikut suksesi. Di satu sisi, terkesan betapa lemahnya pemerintah daerah cq bupati sebagai sebuah institusi resmi yang tidak mampu menyelesaikan masalah krusial dalam penentuan pusat pemerintahan wilayahnya. Di sisi lain, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata hampir semua komponen dalam struktur pemerintah daerah dan masyarakat umum tidak yakin sama sekali bahwa hal itu sulit diputuskan, namun mereka lebih yakin ini adalah bagian dari
151
skenario politik pimpinan daerah yang memanfaatkan masalah ini untuk memenangkan suksesi pemilihan bupati pada periode berikutnya. Opini masyarakat ini didasarkan pada logika sederhana, bahwa seorang pimpinan daerah yang memutuskan untuk menetapkan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, jika pimpinan daerah tersebut berminat untuk mencalonkan diri lagi, kemungkinan dia akan kehilangan dukungan dari masyarakat di wilayah yang tidak terpilih sebagai pusat pemerintaha n. Jika ditinjau dari pendekatan actor-oriented analysis, hal ini dapat saja terjadi, “sang aktor” yang punya wewenang akan membuat kebijakan yang berorientasi mengamankan kepentingannya, walaupun secara partial yang muncul kepermukaan adalah seolah-olah demi kepentingan daerah atau kepentingan masyarakat, dan itu lazim terjadi di negara dunia ketiga (Long 2001). 6. Tanggal 17 Desember 2002, Bupati Aceh Timur melalui surat No.19422/110 mengajukan
usulan
kepada
DPRD
Kabupaten
Aceh
Timur
untuk
mempertimbangkan dan membahas kemungkinan penetapan lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di wilayah antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk. Catatan: Usulan bupati ke DPRD terkesan naif dan keliru. Pertama, karena wilayah yang diusulkan bukan wilayah yang telah disurvei sebagaimana yang diwacanakan dalam seminar dan lokakarya, sehingga tidak punya dasar teknis-akademis sama sekali. Kedua, pengajuan suatu wilayah untuk pusat pemerintahan harus jelas menyebutkan wilayah mana yang dimaksud, wilayah tersebut harus berada dalam satu kesatuan administrasi di bawah hirarki wilayah yang membutuhkan pusat pemerintahan. Wilayah yang diusulkan harus wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi. Jadi tidak bole h absurd apalagi sampai mencakup antara tiga wilayah kecamatan yang luas. Ini identik dengan yang dimaksud oleh Rahman dan Smith (2000), sebagai the final locational decisions made on political or pragmatic consideration. 7. Tanggal 27 Januari 2003, tokoh-tokoh masyarakat dari 12 kecamatan dalam eks Kewedanaan Idi membentuk Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Iskandar Aba Aminy. Catatan: Panitia ini dibentuk atas dasar gerakan moral yang berangkat dari keprihatinan para tokoh masyarakat atas berlarut- larutnya masalah penentuan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Panitia ini mencoba menggerakkan pimpinan daerah untuk kembali ke format hasil seminar dan lokakarya, dan untuk tidak mempolitisir masalah yang ada. Namun pimpinan daerah tetap bersikukuh untuk tidak merujuk
152
pada hasil tersebut. Hal seperti inilah yang disitir dalam Rahman dan Smith (2000), sebagai in the absence of any formal analysis and generation of alternatives. 8. Tanggal 14 Pebruari 2003, DPRD Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 4 Tahun 2003 tentang Persetujuan Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, yaitu antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk. Catatan: DPRD sebagai lembaga yang seharusnya membawa aspirasi rakyat ternyata malah membawa aspirasi pimpinan daerah, walaupun mereka mengetahui aspirasi tersebut bertentangan dengan ketentuanketentuan umum yang berlaku. Pada sisi lain, dari segi legalitas, DPRD saat itu tidak boleh mengeluarkan keputusan penting apapun sebagai konsekuensi lahirnya UU No. 3 Tahun 2001 dan UU No.4 Tahun 2002, karena sebagian besar dari mereka bukan lagi anggota DPRD yang mewakili Kabupaten Aceh Timur, tetapi sudah mewakili Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Taminang. Untuk itu harus dipilih anggota DPRD Pergantian Antar Waktu yang seluruh anggotanya mewakili Kabupaten Aceh Timur setelah pemekaran. Anggota DPRD Kabupaten Aceh Timur Pergantian Antar Waktu inilah yang berhak mengeluarkan keputusan-keputusan di Kabupaten Aceh Timur. 9. Tanggal 17 Pebruari 2003, Tgk.H.Hasballah Hanafiah menyampaikan surat kepada Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Sanggahan Terhadap Keputusan DPRD Kabupaten Aceh Timur N0. 4 Tahun 2003. Catatan: Tgk. Hasballah Hanafiah adalah mantan Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur sebelum reformasi. Sebagai tokoh masyarakat merasa punya tanggung jawab moral untuk meluruskan kekeliruan pemerintah daerah dengan menyurati Gubernur Provinsi NAD. Harapannya adalah agar gubernur dapat menindaklanjuti dengan mendudukkan masalah ini pada proporsi yang sebenarnya. Gubernur merespon positif hal ini dengan meneruskan surat tersebut kepada Mendagri (lihat Nomor 11) dan mengabaikan surat bupati (lihat Nomor 10). Ini menunjukkan bahwa gubernur juga menyadari bupati telah bertindak di luar koridor sehingga tidak memproses usulan bupati tersebut. 10. Tanggal 28 Pebruari 2003, Bupati Aceh Timur melalui surat No.130/2663 mengajukan usulan kepada Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengajukan ke Departemen Dalam Negeri lokasi Pusat Pemerintahan
153
Kabupaten Aceh Timur, yaitu antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk. Catatan: Adanya upaya tokoh-tokoh masyarakat untuk mengembalikan masalah penentuan ibukota kembali berpatokan pada hasil seminar dan lokakarya bukannya menyadarkan pimpinan daerah, tetapi malah tetap bersikukuh mengusulkan kepada gubernur. Berpijak pada UU No.22 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (3) juncto UU No.32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (2), menyatakan bahwa usulan pemindahan ibukota dengan persetujuan DPRD, diajukan langsung oleh pemerintah daerah ke pemerintah pusat melalui Mendagri untuk ditetapkan dengan peraturan pemerintah, jadi bukannya ke gubernur. Barangkali, pimpinan daerah sudah menyadari, kalaupun ini diajukan ke Mendagri, pasti juga ditolak karena tidak memenuhi ketentuan, sehingga disiasati dengan mengusulkan melalui gubernur. (lihat Nomor 6 dan 9). 11. Tanggal 7 Maret 2003, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui surat
No.135/4697 meneruskan Surat Pernyataan Masyarakat Idi
tentang Ibukota Kabupaten Aceh Timur kepada Menteri Dalam Negeri. Catatan: (lihat Nomor 9). 12. Tanggal 26 Maret 2003, Bupati Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 361 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai Teuku Syahril, Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Suatu tindakan berlebihan membentuk panitia pembangunan, sedangkan lokasi dimana bangunan akan ditempatkan belum ada kejelasannya. Hal yang terpenting dari semua itu, adalah lahirnya peraturan pemerintah tentang penetapan pusat pemerintahan, setelah adanya peraturan pemerintah tersebut, baru pemerintah daerah dapat mengajukan dan merealisasikan anggaran untuk pembangunan pusat pemerintahan. Seandainya pemerintah daerah ngotot jalan terus walau tanpa dasar hukum, maka hal itu akan menjadi tindakan penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum. 13. Tanggal 19 Agustus 2003, 21 orang tokoh masyarakat eks Kewedanaan Idi, yang diketuai Tgk.H.Hasballah Hanafiah menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Aceh Timur tentang ketersediaan lahan yang strategis dan representatif untuk lokasi pembangunan pusat pemerintahan di Kecamatan Idi Rayeuk. Catatan: Para tokoh masyarakat eks Kewedanaan Idi terus mengupayakan percepatan penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur,
154
termasuk dengan cara memfasilitasi informasi ketersedian lahan yang representatif dan strategis yang ada di Kecamatan Idi Rayeuk yang dapat digunakan untuk lokasi pembangunan sarana prasarana pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat pelayanan. Seharusnya, pemerintah mengapresiasi social capital seperti ini dengan menindaklanjuti sebagaimana mestinya. 14. Tanggal
21
Nopember
2005,
Bupati
Aceh
Timur
melalui
surat
No.641/10591/2005, meminta persetujuan DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan lokasi pembangunan Pusat Perkantoran Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di Kecamatan Peudawa dan Kecamatan Peureulak Barat. Catatan: Menurut ketentuan, lokasi pembanguna n perkantoran belum bisa ditetapkan karena belum ada dasar hukum, yaitu belum adanya peraturan pemerintah tentang penetapan pusat pemerintahan. Jika ini dipaksakan, jelas akan menjadi preseden buruk akan ketidak berkemauannya pimpinan daerah untuk bertindak sesuai ketentuan yang berlaku. 15. Tanggal
23
Nopember
2005,
Bupati
Aceh
Timur
melalui
surat
No.641/10669/2005, meminta persetujuan DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan nama ibukota Kabupaten Aceh Timur dengan nama Banda Khalifah. Catatan: Terlepas dari polemik yang ada, penamaan lokasi dimaksud dengan nama Banda Khalifah kurang tepat, karena Banda Khalifah berkaitan dengan sejarah masuknya Islam ke Aceh dan lokasinya bukan di tempat tersebut. Kalaupun ini dilaksanakan, dikhawatirkan akan timbul kesan adanya upaya menggeser dan mengaburkan fakta sejarah. 16. Tanggal 21 Maret 2006, Bupati Aceh Timur melalui surat No.135/2260, meminta kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di Peudawa Kecamatan Peudawa. Catatan: Surat ini semakin mempertegas kesan betapa “konsistennya” pimpinan daerah untuk bertindak “tidak konsisten” dengan apa yang telah diputuskannya sendiri. Berulangkali usulan lokasi ibukota berpindah-pindah tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, namun tidak pernah merujuk pada hasil seminar dan lokakarya yang telah difasilitasi oleh pemerintah daerah sendiri. Barangkali, jika pemerintah daerah komitmen dengan hasil seminar dan lokakarya, tentunya keadaan tidak akan seperti ini.
155
17. Tanggal 19 April 2006, tokoh masyarakat dari 12 kecamatan ex Kewedanaan Idi menyampaikan Surat Dukungan Penetapan Idi Menjadi Ibukota Kabupaten Aceh Timur kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Sudah 4 tahun masalah ibukota tidak tertuntaskan, selama itu pula pelayanan publik tidak berjalan dengan baik. Pembangunan di Aceh Timur nyaris jalan ditempat, atau boleh dikatakan malah mundur sama sekali. Surat dari tokoh masyarakat dari 12 kecamatan kembali mengingatkan eksekutif dan legislatif untuk segera menyelesaikan masalah ibukota. Sebelumnya, pemerintah daerah dapat saja berlindung pada isu keamanan yang tidak kondusif, sehingga kalaupun ibukota sudah ditetapkan, pemerintahan tetap tidak akan bisa dijalankan dengan efektif. Namun, penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki-Finlandia tanggal 15 Agustus 2005, menjadi titik balik bagi semua pihak untuk berbuat yang terbaik bagi masyarakat Aceh. 18. Tanggal 10 Mei 2006, Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur mengajukan surat kepada Penjabat Bupati Aceh Timur untuk menetapkan Idi sebagai Ibukota Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Desakan ini semakin kuat, disamping karena Idi memang layak untuk dijadikan ibukota juga kondisi keamanan sudah sangat kondusif untuk memulai pembangunan sarana prasarana umum. 19. Tanggal 20 Juni 2006, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan surat No.140/13212 yang memerintahkan Pejabat Bupati Aceh Timur agar segera mengambil langkah- langkah untuk pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur ke luar wilayah Kota Langsa. Catatan: Ketidakjelasan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur bukan hanya merugikan masyarakat Aceh Timur, tetapi juga merugikan pihak Pemerintah Kota Langsa, karena banyak asset yang seharusnya harus sudah diserahkan kepada Pemerintah Kota Langsa, masih dikuasai Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan kedua faktor inilah, Gubernur Provinsi NAD mengeluarkan surat perintah kepada Pemkab Aceh Timur untuk segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Langsa ke salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Aceh Timur. 20. Dalam periode bulan Juli 2006, Penjabat Bupati Aceh Timur mulai menindaklanjuti surat gubernur tersebut dengan melakukan kordinasi dengan setiap unsur eksekutif pemerintah daerah, sehingga lahir kesepakatan untuk mengusulkan Idi menjadi pusat pemerintahan. Usulan ini tidak semulus yang
156
dibayangkan pihak eksekutif, karena beberapa anggota legislatif dari Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur berpendapat berbeda, mereka menginginkan Peureulak yang dijadikan pusat pemerintahan bukannya Idi. Secara politis, wajar mereka memiliki pendapat berbeda karena mereka mewakili daerah pemilihan Peureulak, namun, dalam kasus ini seharusnya dalam kapasitas mewakili Aceh Timur untuk kepentingan masyarakat Aceh Timur. 21. Tanggal 3 Agustus 2006, Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur, atas desakan berbagai pihak, mengadakan voting untuk menentukan lokasi yang akan diusulkan sebagai pusat pemerintahan antara Peureulak dan Idi. Hasilnya, 9 suara untuk Idi dan 2 suara untuk Peureulak. Catatan: Keputusan Komisi A secara yuridis- formal belum bisa dijadikan keputusan DPRD, untuk menjadikannya sah sebagai keputusan DPRD harus dibawa dalam sidang paripurna, sehingga sah sebagai sebuah pruduk hukum yang dapat dijadikan landasan hukum. 22. Tanggal 30 Agustus 2006, DPRD Kabupaten Aceh Timur mengadakan sidang paripurna untuk menentukan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Sidang paripurna menetapkan Idi sebagai pusat pemerintahan atau ibukota Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Ini adalah kemajuan yang luar biasa yang pernah dicapai dalam proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Diakui, memang ada pihak-pihak yang kurang puas terhadap keputusan tersebut, namun jangan sampai kehilangan momen terbaik yang sudah diraih ini. Semua pihak harus memelihara dan mengawal keputusan ini, hingga melahirkan peraturan pemerintah untuk legalitas hukum untuk dapat diimplementasikan di lapangan. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan “Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Selanjutnya, dalam ayat (3) disebutkan bahwa “Perubahan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah bersangkutan”. Merujuk pada Pasal 7 tersebut, pemerintah daerah dapat mengajukan usulan pemindahan dan penetapan ibukota kepada Menteri Dala m Negeri dengan melampirkan surat keputusan DPRD tentang persetujuan pemindahan ibukota dari “lokasi lama” ke “lokasi baru”. Selanjutnya,
157
oleh Menteri Dalam Negeri melalui Menteri Sekretaris Negara mengajukan draft atau rancangan peraturan pemerintah tentang pemindahan ibukota suatu wilayah administratif kepada Presiden Republik Indonesia untuk ditandatangani sehingga sah menjadi sebuah produk hukum. Peraturan pemerintah dimaksud sangat penting bagi pemerintah daerah untuk kelancaran proses pemindahan ibukota, karena akan menjadi landasan hukum dalam pengalokasian anggaran untuk pembiayaan pembangunan sarana-prasarana pusat pemerintahan. Tahapan yang Disarankan dalam Penentuan Pusat Pemerintahan Pada dasarnya, sebelum mengajukan permohonan persetujuan pemindahan pusat pemerintahan kepada DPRD, pemerintah daerah harus menempuh tahapantahapan pemilihan dan penentuan pusat pemerintahan secara terstruktur, mengedepankan pendekatan kajian aspek teknis-akademis daripada pendekatan sosial-politis. Pertimbangan dalam
penetapan
calon
lokasi
pusat
pemerintahan
didasarkan faktor sejarah, standar kebutuhan fasilitas dan utilitas kota, karakteristik
masing
masing
kecamatan,
dan
perkiraan
pembiayaan
pembangunannya. Selain itu, juga harus mempertimbangkan faktor kebijakan, eksternal (posisi lokasi, kedudukan kota, dan tingkat aksesibilitas), serta faktor internal kota. Secara garis besar, tahapan pelaksanaan penentuan lokasi pusat pemerintahan kabupaten sebagai berikut: 1. Pemilihan alternatif lokasi- lokasi yang memungkinkan dengan mengkaji kebijakan pengembangan perkotaan dan kedudukan eksternal kota (sistem dan hirarki kota yang ada). Kajian dilakukan terhadap seluruh kota kecamatan. Setelah didapat alternatif calon lokasi terpilih, kemudian ditentukan satu kota yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten. 2. Menelaah pengembangan lokasi pusat pemerintahan yang terpilih. Dalam upaya penentuan pusat pemerintahan, dapat dikembangkan suatu konsep dasar pemilihan kedudukan pusat pemerintahan, yaitu:
158
1. Pada kota kota yang telah tumbuh dan berkembang saat ini dan memiliki potensi yang sesuai untuk mengemban fungsinya sebagai suatu pusat pemerintahan, atau 2. Pada kota baru di wilayah tertentu yang memiliki potensi yang sesuai untuk mengemban fungsinya sebagai ibukota kabupaten. Sasaran yang diharapkan dari pendekatan ini dalam proses penentuan pusat pemerintahan adalah: 1. Terpilihnya calon pusat pemerintahan kabupaten baru yang representatif dan strategis. 2. Teridentifikasinya perkembangan kegiatan fungsional secara baik. 3. Tertaksirnya kebutuhan ruang kegiatan secara seksama. Berdasarkan kajian yang dilakukan tersebut, diperoleh arahan atau rekomendasi untuk dilaksanakannya studi kelayakan yang lebih dalam. Arahan tersebut antara lain adalah: 1. Teridentifikasi calon-calon lokasi awal untuk disertakan dalam pemilihan. 2. Tertaksir kebutuhan ruang di masa yang akan datang. 3. Diketahui kecenderungan perkembangan fisik kota. 4. Teridentifikasi tanah-tanah yang dimungkinkan untuk perkembangan kota. 5. Diperoleh rekomendasi kuantitas dan arah perkembangan kota secara fisik. Untuk menghindari bias dari kajian ke hal- hal yang yang tidak kompetensi dengan masalah tersebut, perlu dibatasi ruang lingkup kajian hanya meliputi tindakan: 1. Pengumpulan data sekunder calon-calon pusat pemerintahan. 2. Identifikasi rona awal calon-calon pusat pemerintahan melalui data sekunder. 3. Penilaian calon-calon pusat pemerintahan untuk memilih beberapa calon terpilih. 4. Pengumpulan data primer dari calon-calon pusat pemerintahan yang terpilih. 5. Penilaian calon-calon terpilih sebagai pusat pemerintahan. 6. Pengembangan rencana transisi bagi pusat pemerintahan yang baru. Pemerintah daerah dapat menempuh tahapan proses penentuan pusat pemerintahan secara terstruktur dengan urutan sebagai berikut.
159
a. Seleksi awal calon lokasi; seleksi awal calon lokasi meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. Pengembangan kriteria umum untuk memperoleh calon-calon lokasi awal. 2. Identifikasi calon-calon lokasi awal sesuai dengan kriteria umum. 3. Pengumpulan data primer dan sekunder berupa data kuantitatif atau peta, uraian keadaan seluruh wilayah kabupaten dan wilayah calon-calon lokasi (identifikasi jumlah penduduk, potensi daerah, tanah, jaringan jalan, utilitas dan struktur perkotaan). 4. Pelaksanaan stakeholder meeting I untuk memilih 2 – 3 calon lokasi yang akan diseleksi. b. Seleksi lanjut calon lokasi; seleksi lanjut calon lokasi meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. Pengembangan kriteria spesifik sebagai salah satu faktor pendukung penilaian calon-calon lokasi terpilih. 2. Pengumpulan data primer yang dibutuhkan untuk penilaian calon lokasi tepilih (topografi, tata guna lahan dan kepemilikan lahan, ketersediaan air, dan stabilitas tanah). 3. Penilaian terhadap calon-calon lokasi terpilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta kondisi eksisting masing- masing calon lokasi yang diperoleh melalui data primer. 4. Pelaksanaan stakeholders meeting II untuk memilih calon lokasi yang akan dikembangkan sebagai pusat pemerintahan. 5. Pelaksanaan seminar atau lokakarya sebagai upaya sosialisasi dari calon lokasi terpilih yang dianggap representatif dan strategis. c. Pengembangan rencana transisi dan pengembangan prasarana wilayah kabupaten; dengan kegiatan sebagai berikut: 1. Identifikasi dampak pembiayaan bagi pengembangan pusat pemerintahan yang baru. 2. Rencana penjadwalan pembangunan pusat pemerintahan dan fasilitas pendukung awal bagi pengembangan pusat pemerintahan yang baru. 3. Pengembangan rencana transisi. 4. Identifikasi struktur wilayah kabupaten.
160
5. Identifikasi pengembangan jaringan jalan kabupaten. Setelah semua proses di atas ditempuh dan memperoleh hasil seperti yang diharapkan, pada saat ini pemerintah daerah sudah dapat menempuh pendekatan yuridis- formal untuk legalitas sebuah keputusan, yaitu dengan pengajuan persetujuan DPRD yang selanjutnya diteruskan ke pemerintah pusat untuk ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pada prinsipnya, pemerintah dapat memperkecil resiko terjadinya konflik dalam penentuan pusat pemerintahan suatu wilayah. Pertama, pemerintah harus menempuh tahapan yang sistematis dan terstruktur dalam proses penentuan lokasi pusat pemerintahan, seperti tahapan yang disarankan dalam kajian ini. Kedua, pemerintah pusat harus memasukkan secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan
wilayah
administratif
baru, clausul tentang
lokasi
pusat
pemerintahan wilayah tersebut. Selama ini, dengan tidak dicantumkannya dengan jelas lokasi pusat pemerintahan dalam undang- undang pembentukan wilayah administratif baru, secara tidak langsung telah membuka peluang terjadinya konflik horisontal pasca pemekaran wilayah tersebut.
161
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa: Analisis hirarki pusat aktifitas dan keberadaan kota kecil dan menengah di Kabupaten Aceh Timur memperlihatkan gambaran sebagai berikut: (1) Hirarki berdasarkan indeks perkembangan kecamatan menunjukkan satu kota tingkat perkembangan tinggi, yaitu Idi dan tujuh kota tingkat perkembangan sedang, yaitu Peureulak, Kuta Binje, Simpang Ulim, Bagok, Idi Cut, Ranto Panyang, dan Lhok Nibong. Hirarki berdasarkan kapasitas pelayanan juga menunjukkan satu kota tingkat perkembangan tinggi, yaitu Idi dan tiga kota tingkat perkembangan sedang, yaitu Peureulak, Simpang Ulim, dan Kuta Binje. (2) Tingkat aksesibilitas dengan
ketersediaan
sarana-prasarana
transportasi
yang
baik
sangat
mempengaruhi tingkat perkembangan kecamatan, kota-kota kecamatan dengan tingkat perkembangan tinggi dan sedang adalah kota-kota kecamatan yang dilintasi oleh jalur transportasi jalan nasional. Semakin jauh dari jalan nasional, semakin rendah tingkat perkembangan kota kecamatan tersebut. (3) Pola jaringan jalan yang sudah ada kurang bisa mendorong pengembangan kecamatan, karena setiap unit wilayah kecamatan langsung berinteraksi dengan kecamatan yang memiliki kapasitas skala ekonomi yang lebih besar. Akibatnya, dalam konteks transaksi antar wilayah, desa-desa di kecamatan tersebut tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Analisis penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan menunjukkan bahwa: (1) Idi adalah lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. (2) Pengembangan pusat-pusat pelayanan dapat dikembangkan berdasarkan konsep wilayah nodal, dengan satu pusat pelayanan hirarki I dan dua pusat pelayanan hirarki II. (3) Idi adalah lokasi optimal pusat pelayanan hirarki I, yang akan melayani seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur. Peureulak dan Simpang Ulim adalah lokasi optimal pusat pelayanan hirarki II, yang akan melayani kecamatan-kecamatan di wilayah timur dan barat Kabupaten Aceh Timur. Analisis persepsi pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur menghasilkan gambaran sebagai
162
berikut: (1) Semua pihak menghendaki agar pemerintah segera menetapkan pusat pemerintahan yang definitif. (2) Pengambil kebijakan dari eksekutif berpendapat, Idi adalah lokasi paling tepat untuk pusat pemerintahan, sedangkan legislatif terbagi atas dua pendapat, yaitu antara Idi dan Peureulak. Persepsi dari legislatif cenderung dilatar belakangi oleh wilayah pemilihan yang diwakilinya. (3) Masyarakat akademis dan dunia usaha berpendapat, Idi adalah lokasi yang paling tepat untuk pusat pemerintahan. (4) Persepsi masyarakat umum yang bertempat tinggal di Idi dan Peureulak masing- masing menganggap bahwa kota mereka yang paling tepat untuk pusat pemerintahan. Sedangkan yang bertempat tinggal di luar Idi dan Peureulak menganggap bahwa yang paling tepat untuk pusat pemerintahan adalah Idi. (5) Berdasarkan persepsi pengambil kebijakan dan tokoh masyarakat terhadap kriteria yang dibangun dengan AHP, lokasi pusat pemerintahan yang paling memenuhi kriteria adalah Idi. Saran Merujuk kepada hasil penelitian, terdapat beberapa hal yang dapat disarankan, antara lain adalah: 1. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur agar segera menuntaskan masalah penentuan pusat pemerintahan untuk mendorong akselerasi pembangunan wilayah
dengan
menetapkan
Idi
sebagai
pusat
pemerintahan
serta
mengembangkan Peureulak dan Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan. 2. Dalam pengembangan wilayah, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus memperhatikan interaksi spasial sosial ekonomi masyarakat antar kecamatan yang dapat mengoptimalkan fungsi- fungsi pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh di wilayahnya. Di antaranya dengan mengembangkan sarana prasana transportasi antar kecamatan yang jauh dari jalan nasional. Untuk itu, pola jaringan yang bersifat networking antar kecamatan harus diperkuat, tetapi tidak harus dalam bentuk jalan beraspal yang di-hotmix, agar biaya pembangunannya tidak terlalu mahal.
Jalan-jalan desa yang bisa dilalui
kendaraan bak terbuka sudah mencukupi untuk peningkatan transportasi antar desa di kecamatan yang jauh dari jalan nasional.
163
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri, Djajadiningrat HM. 2002. Bagaimana menganalisis potensi wilayah. Di dalam : Urbanus M. Ambardi dan Socia Prihawantoro. Editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengambangan Wilayah BPPT. hlm 95-136. Arsyad L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: PT. BPFE. Baiquni M. 2004. Membangun Pusat-pusat di Pinggiran (Otonomi di Negara Kepulauan). Yogyakarta: ideAs & PKPEK. Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development. 2th Edition. London : Sage Publications. Djojodipuro M. 1992. Teori Lokasi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Samodra Wibawa dkk, Penerjemah; Muhajir Darwin, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction. Dusseldorp DBWM. 1981. Planning of Services Centers in Rural Areas of Developing Countries. The Netherlands Wageningen: International Institut For Land Reclamation and Improvement. Endaryanto T. 1999. Persepsi dan partisipasi masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB Fortney J. 1996. A cost benefit location-allocation model for public facilities an econometric approach [abstrak]. Di dalam: Geographical Analysis 28:67-92. Fotheringham AS, Densham PJ, Curtis A. 1995. The zone definition problem in location-allocation modeling [abstrak]. Di dalam: Location Science 3:64. Hanafiah T. 1988. Pengembangan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan Kecil dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Hanafiah T. 1989. Aspek Lokasi dalam Analisis Ekonomi Wilayah. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Hidayat S. 2004. Kegamangan Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Quantum. Irawan F, Wijaya MN, Sudjani. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. Yogyakarta: BPFE.
164
Isard W. 1975. Introduction to Regional Science. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall.
Jhingan ML. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Keban YT. 2004. Enam Dimensi Strategis Adminsitrasi Publik , Konsep, Teori dan Isu. Jakarta: Gava Media Kelly ED, Decker B. 2000. Community Planning: An Introduction to the Comprehensive Plan. Washington DC: Island Press. Korten DC, Syahrir. Editor.1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. A. Setiawan Abadi, penerjemah. Jakarta : Yayasan Obor. Long N. 2001. Development Sociology; Actor Perspektives. London: Routledge. Mangiri K. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Myers MT. 1988. The Dynamic of Human Communication A Laboratoy Approach. New York: Mc Graw Hill Book Company. Prakoso BSE, Muta’ali L. 2005. Dinamika sistem kota-kota dan pemilihan alternatif pusat pertumbuhan baru di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia. 19:155-175. Pribadi DO. 2005. Pembangunan kawasan agropolitan melalui pengembangan kota-kota kecil menengah, peningkatan efisiensi pasar perdesaan dan penguatan akses masyarakat terhadap lahan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahman S, Smith DK. 2000. Use of location-allocation models in health service development planning in developing nations. European Journal of Operational Research 123:37-452. Richardson HW. 1977. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Sihotang P, Penerjemah; Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Terjemahan dari: The Economics of Urban Size. Rushton G. 1979. Optimal Location of Facilities. Iowa: Departement of Geography University of Iowa. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. McGraw-Hill, Inc
165
Sarundajang. 1997. Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Sebuah Pengantar: Tinjauan Khusus Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Schiffman, Kanuk. 1983. Consumer Behavior. New Jersey: Prentice Hall Inc. Smith AC. 1976. Regional Analysis, Volume I Economic System. North Carolina: Department of Anthropology Duke University Durham. Smith BC. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London : Asia Publishing House. Sukirno S. 1992. Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta: LP FE UI. Syahidin A. 2006. Studi kebijakan pembangunan berbasis sektor unggulan: kasus di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarigan R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Ed rev. Jakarta: PT Bumi Aksara. Thoha M. 1986. Prilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press. Tukiyat. 2002. Pengantar Pengembangan Ekonomi Wilayah. Di dalam : Urbanus M. Ambardi dan Socia Prihawantoro. Editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengambangan Wilayah BPPT. hlm. 125 – 179. Yeh AGO, Chow MH. 1996. An integrated GIS and location-allocation approach to public facilities planning, an example of open space planning. Comput., Environ. And Urban Systems 20:339-350. Yunus HS. 2005. Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Kabupaten Aceh Timur Dalam Angka 2004. Langsa: Bappeda Kab. Aceh Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Potensi Desa Tahun 2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BRR] Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias. 2006. Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Timur dan Kawasan Permukiman Utama. Banda Aceh: [Pemprov. NAD] Dinas Perkotaan dan Permukiman.
166
[Setneg] Sekretariat Negara Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Setneg. [Setneg] Sekretariat Negara. 2004. Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Setneg.