PENENTUAN KEBIJAKAN ORDER DENGAN PENDEKATAN VENDOR MANAGED INVENTORY UNTUK SINGLE SUPPLIER, MULTI PRODUCT DAN MULTI RETAILER DI PT. PETROKIMIA GRESIK (PERSERO) Novita Purna Fachristy, Prof. Ir. I Nyoman Pujawan, M.Eng., Ph. D, dan Niniet Indah Arvitrida, ST. MT. Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK
PT. Petrokimia Gresik (Persero) merupakan perusahaan pupuk di Jawa Timur yang wilayah pemasarannya meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Dalam memproduksi pupuk sebagai produk utamanya, PT. Petrokimia Gresik (Persero) harus mampu meminimumkan biaya operasi dan produksinya. Sistem persediaan di PT. Petrokimia Gresik (Persero) ada dua macam gudang, yaitu gudang pusat dan gudang-gudang penyangga. Sistem persediaan dengan menggunakan dua macam gudang ini menggunakan sistem persediaan banyak eselon (Multi Echelon Inventory). Dalam pengiriman pupuk ke Gudang Penyangga sering kali mengalami kehabisan stock maupun kelebihan stock yang mana menyebabkan biaya yang sangat tinggi dan akan berpengaruh terhadap persediaan distributor. Untuk itu diperlukan pengaturan kebijakan order yang tepat dari gudang pusat ke gudang penyangga serta dari gudang penyangga ke distributor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kebijakan order pengiriman produk yang tepat pada kebijakan Vendor Managed Inventory dengan menggunakan penerapan metode kebijakan pengelolaan vendor managed inventory dengan pendekatan (s,S) sehingga mampu mengakomodasi perencanaan inventori oleh supplier. Pengelolaan inventori dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-paramater dan biaya inventori terkait. Penerapan model pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi akan menghasilkan nilai (s,S) untuk tiap produk di pihak supplier. Selain itu model ini akan berdampak pada perubahan alur replenishment sehingga menyebabkan perubahan pada biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, akan dibandingkan total biaya antara sistem kebijakan pengelolaan inventori eksisting dan alternatif kebijakan pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi dengan pendekatan (s,S) untuk kasus single supplier, yaitu PT. Petrokimia Gresik danmulti retailer (retailer/distributor dari PT. Petrokimia Gresik) untuk multi product sehingga didapatkan keuntungan secara kuantitatif dengan meminimalkan biaya operasional perusahaan dan dapat menghasilkan keputusan pengiriman yang optimal daripada keadaan eksisting yang ada. Hasil output dari perbandingan hasil simulasi penerapan VMI terhadap kondisi eksisting secara umum adalah rata-rata peningkatan service level yang dihasilkan adalah sebesar 0,91%, sedangkan rata-rata saving total cost adalah sebesar 20%. Kata kunci : Single supplier-multi product-multiretailer, Pendekatan (s,S), Vendor Managed Inventory. ABSTRACT PT. Petrokimia Gresik (Persero) is a fertilizer company in East Java which covers the whole of it’s marketing areas in Indonesia. In producing fertilizer as it’s main products, PT. Petrokimia Gresik (Persero) should be able to minimize operating costs and production. Inventory system at PT. Petrokimia Gresik (Persero) there are two kinds of warehouses, namely the central warehouse and warehouses buffer. Inventory system using two kinds of these warehouses use a lot echelon inventory system (Multi-Echelon Inventory). In the fertilizer shipments to the warehouse Buffer often have run out of stock or excess stock which led to a very high cost and will affect the stock distributor. It required the right policy settings orders from a central warehouse to warehouse and from warehouse buffer buffer to the distributor. The purpose of this study was to determine the policy of shipping orders right product on Vendor Managed Inventory policy by using the application method of management policies with approaches vendor managed inventory (s, S) so as to accommodate the inventory planning by suppliers. Inventory management is done by considering the parameters-parameters and associated
inventory costs. Implementation of vendor managed inventory management model is integrated to produce a value (s, S) for each product on the supplier. In addition this model will have an impact on the replenishment flow changes resulting in changes in the costs incurred. To that end, will be compared to the total cost between the existing system of inventory management policies and alternative policies in managing vendor managed inventory is integrated with the approach (s, S) for the case of single supplier, namely PT. Petrokimia Gresik danmulti retailers (retailers / distributors of PT. Petrokimia Gresik) for multi product thus obtained quantitatively profits by minimizing operational costs and the company can produce the optimal delivery of decisions than the existing circumstances that exist. The results of the simulation output from the simulation results of the implementation of VMI comparison to existing conditions in general is the average increase in service level generated is equal to 1,06% . And the average total cost savings amounted to 20%. Keywords: Single supplier of multi-product-multiretailer, approach (s, S), Vendor Managed Inventory.
1. Pendahuluan Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dan perumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini. 1.1 Latar Belakang Pengelolaan inventory merupakan permasalahan yang mutlak harus dilakukan oleh perusahaan. Mendatangkan persediaan barang/bahan baku tepat pada saat munculnya permintaan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Adanya inventory adalah suatu hal yang wajar dalam sebuah industri untuk mengurangi resiko ketidakpastian permintaan. Tanpa adanya persediaan, perusahaan dihadapkan pada masalah bahwa pada suatu waktu tidak dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atas barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan. Tetapi, apabila persediaan terlalu banyak dan terpaksa disimpan untuk jangka waktu yang panjang karena tidak ada permintaan, maka perusahaan akan mengeluarkan holding cost yang besar. Dikarenakan hal tersebut, banyak perusahaan berusaha menekan tingkat inventorinya. Dalam permasalahan persediaan, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah produk-produk yang telah siap dipasarkan, seberapa banyak dan kapan akan dilakukan pengiriman barang. PT. Petrokimia Gresik (Persero) merupakan perusahaan pupuk di Jawa Timur yang wilayah pemasarannya meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Dalam memproduksi pupuk sebagai produk utamanya, PT. Petrokimia Gresik (Persero) harus mampu meminimumkan biaya operasi dan produksinya. Kegiatan produksinya memiliki 2 jenis pupuk, yaitu pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi.
Objek dari penelitian ini adalah pupuk bersubsidi karena produk-produk ini adalah produk utama dari perusahaan yaitu pupuk ZA, SP-36, dan Petroganik. Perusahaan ini berproduksi untuk memenuhi pasar wilayah seluruh Indonesia. Tetapi pada penelitian ini dibatasi pada pengiriman ketiga pupuk bersubsidi di daerah Jawa Timur pada kota Banyuwangi dan Bondowoso karena pada kota tersebut terdapat GAP yang cukup jauh antara realisasi pengiriman pupuk terhadap permintaan yang ada. Perusahaan ini menghasilkan produk berupa pupuk yang termasuk produk fungsional sehingga menurut (Pujawan, 2005) sistem akan difokuskan pada upaya untuk meminimumkan biaya-biaya fisik di sepanjang sistem pendistribusian. Gudang pusat pada PT. Petrokimia Gresik terdiri satu gudang yang terletak di dekat lokasi perusahaan, sedangkan gudang penyangga ini terletak di setiap kabupaten di seluruh Indonesia yang mempunyai fungsi agar mempercepat dan meminimalisasi proses pendistribusian perusahaan. Hingga saat ini PT. Petrokimia Gresik (Persero) memiliki sembilan puluh gudang penyangga yang terdapat di beberapa kota dan kabupaten yang tersebar di wilayah Indonesia dimana status gudang-gudang tersebut adalah sewa dan seluruh biaya operasional di gudang penyangga merupakan tanggungan PT. Petrokimia Gresik (Persero). Dengan keterbatasan jumlah gudang penyangga, dan banyaknya macam produk yang akan didistribusikan menjadi kendala dalam mengatur kebijakan order dengan menentukan ukuran dan jadwal pengiriman produk. Penyimpanan produk dalam gudang dapat menimbulkan biaya tambahan, seperti tambahan
2
TANGGUNGAN PT. PETROKIMIA GRESIK
DILUAR PT. PETROKIMIA GRESIK
INFORMASI STOCK
INFORMASI DEMAND
GUDANG GRESIK
PABRIK PENGIRIMAN PUPUK
GUDANG DISTRIBUTOR PEMENUHAN PENYANGGA PEMENUHAN PEMENUHAN DEMAND DEMAND DEMAND
KONSUMEN
Gambar 1. 1 Aliran pengiriman produk pupuk subsidi di PT. Petrokimia Gresik (Persero) di Wilayah Jawa Timur.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah realisasi pengiriman dengan adanya permintaan di kabupaten tertentu mempunyai gap yang terlalu jauh karena adanya faktor musim dan pihak perusahaan menghindari adanya kekurangan stock. Karena hal tersebut, gudang penyangga sering kali mengalami kekurangan stock maupun kelebihan stock yang mana menyebabkan biaya yang sangat tinggi karena belum adanya kebijakan pengelolaan persediaan yang pasti. Untuk kondisi kelebihan stock pengiriman gudang pusat ke gudang penyangga, dapat mengakibatkan meningkatnya persediaan pada gudang penyangga. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase pengiriman dari permintaan pupuk di gudang penyangga Banyuwangi dapat dilihat dari gambar 1.2 dibawah ini. R ealisasi P engiriman P upuk ke Gudang P enyangga B anyuwangi 300.0% 250.0% P ros entas e
200.0% 150.0% 100.0% 50.0%
R ealis as i P engiriman P upuk S P 36
0.0% Ja Fe n Mb a Ap r M r e Ju i n J A g ul Se u p Ok t No t De v s
biaya simpan, terjadi kekurangan stock dan tambahan biaya lost sales bila terjadi kekurangan stock barang sehingga mengurangi jumlah keuntungan yang didapat perusahaan. Meningkatnya kompetisi pasar pada beberapa industri membuat perusahaan-perusahaan yang terlibat harus mengembangkan strategi bisnisnya agar dapat tetap bertahan. PT. Petrokimia Gresik (Persero) sebagai perusahaan yang menghasilkan pupuk terlengkap di Indonesia perlu membuat strategi untuk tetap bersaing dengan perusahaan pupuk lainnya dengan meminimalisasi biaya operasional yang ada dan juga dengan menjalin kerja sama yang baik dengan buyer/retailer. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang baik pula antar pihak didalam supply chain yaitu antara supplier dan retailer agar dapat bersama-sama meminimalisasi biaya inventory yang ada. Vendor Managed Inventory (VMI) adalah suatu strategi kolaborasi yang terjalin diantara pihak-pihak yang terkait dalam supply chain, dimana supplier mengontrol manajemen persediaan dari para retailer-nya. Supplier bertanggung jawab dalam menentukan waktu, dan berapa jumlah barang yang dibutuhkan retailer. Keputusan pengiriman oleh supplier ini didasarkan atas informasi data penjualan dan stock level inventory yang ada di retailer (Yao et al., 2005). Sistem persediaan di PT. Petrokimia Gresik ada dua macam gudang, yaitu gudang pusat dan gudang-gudang penyangga. Sistem persediaan dengan menggunakan dua macam gudang ini menggunakan sistem persediaan banyak eselon (Multi Echelon Inventory). Sebagai perusahaan BUMN, PT. Petrokimia Gresik (Persero) dalam mengirimkan produk pupuk bersubsidi dalam pengelolaan inventorinya mengacu pada Peraturan Pemerintah. perusahaan. Gambar pengiriman produk pupuk subsidi sampai ke distributor di PT. Petrokimia Gresik (Persero) untuk wilayah Jawa Timur ditunjukkan pada gambar 1.1. Dari gambar terlihat ada beberapa eselon yang harus dilalui oleh PT. Petrokimia Gresik. Namun penanganan PT. Petrokimia Gresik hanya pada sistem persediaan pada gudang pusat/gudang Gresik dan gudang penyangga.
Gambar 1. 2 Prosentase Pengiriman Pupuk SP-36 di Gudang Penyangga Banyuwangi Tahun 2010. (Sumber : Laporan Realisasi Pengiriman Pupuk Subsidi PT. Petrokimia Gresik, 2010)
3
Dari gambar diatas realisasi pengiriman dari permintaan prosentasenya sangat tinggi, semua diatas 50%. Hal tersebut menyebabkan membengkaknya stock persediaan di gudang penyangga, dan dapat meningkatkan inventory cost perusahaan. Kemudian untuk kondisi kekurangan stock pengiriman dari permintaan yang ada, terlihat pada pengiriman pupuk Petroganik dan SP-36 di gudang penyangga Bondowoso. Pada gambar 4.3 dan 4.4 dibawah ini terlihat bahwa prosentase pengiriman dari permintaan yang ada mengalami kekuarangan. Terbukti bahwa prosentase semua pengiriman masingmasing bulan dibawah 60%. Hal ini mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian. Realisasi P engiriman P upuk ke Gudang P enyangga di Bondowoso 40.0% 35.0% P ro s en tas e
30.0% 25.0% 20.0% 15.0% 10.0% 5.0%
Realisasi P engiriman P upuk P etroganik
J F an Mea b A r M pr J ue i J n A ul S eg u O pt N kt D eo v s
0.0%
Gambar 1. 3 Prosentase Pengiriman Pupuk Petroganik di Gudang Penyangga Bondowoso Tahun 2010. (Sumber : Laporan Realisasi Pengiriman Pupuk Subsidi PT. Petrokimia Gresik, 2010)
Terlihat bahwa prosentase pengiriman pupuk atas permintaan pasar dari gudang pusat ke gudang penyangga mempunyai nilai yang terlalu ekstrim, yang artinya realisasi pengiriman dan permintaan dari gudang pusat ke gudang penyangga selisihnya cukup jauh. Karena hal tersebut diperlukan adanya kebijakan pengelolaan persedian yang baik dengan mengatur kebijakan order perusahaan agar dapat melakukan pengiriman ke gudanggudang penyangga sehingga sesuai dengan permintaan dari distributor. Informasi mengenai level persediaan dibutuhkan untuk menentukan waktu pengiriman dan jumlah barang yang dikirimkan kepada masing-masing
buyer sesuai kebutuhan. Pihak supplier dapat mengelola seluruh pengiriman pada buyer. Pendekatan yang sesuai dengan permasalahan ini adalah pendekatan terintegrasi vendor manged inventory. Penelitian ini berfokus pada penerapan metode kebijakan pengelolaan vendor managed inventory dengan pendekatan (s,S) sehingga mampu mengakomodasi perencanaan inventori oleh supplier. Pengelolaan inventori dilakukan dengan mempertimbangkan parameterparamater dan biaya inventori terkait. Penerapan model pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi akan menghasilkan nilai (s,S) untuk tiap produk di pihak supplier. Selain itu model ini akan berdampak pada perubahan alur replenishment sehingga menyebabkan perubahan pada biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, akan dibandingkan total biaya antara sistem kebijakan pengelolaan inventori tradisional dengan pendekatan (s,S) dengan alternatif kebijakan pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi dengan pendekatan (s,S). Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan perusahaan dapat menentukan kebijakan order pengiriman produk yang tepat pada kebijakan Vendor Managed Inventory untuk kasus single supplier, yaitu PT. Petrokimia Gresik dan multi retailer (retailer/distributor dari PT. Petrokimia Gresik) untuk multi product sehingga didapatkan keuntungan secara kuantitatif dengan meminimalkan biaya operasional dan dapat menghasilkan keputusan pengiriman yang optimal daripada keadaan eksisting yang ada. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana menentukan jadwal pengiriman yang optimal pada gudang pusat ke gudang penyangga di PT. Petrokimia Gresik sampai ke distributor dengan pendekatan Vendor Managed Inventory sehingga dapat meminimalkan biaya operasional. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan kebijakan order yang optimal untuk Gudang Pusat, Gudang Penyangga, dan Distributor.
4
2.
Membandingkan total biaya untuk kebijakan pengelolaan inventori model eksisting dan model vendor managed inventory. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian Tugas Akhir ini antara lain : 1. Dapat menerapkan metode pengelolaan vendor managed inventory di perusahaan. 2. Dapat menentukan kombinasi paramater terbaik untuk memperoleh kebijakan order (jumlah dan waktu pengiriman) yang optimal. 3. Perusahaan dapat mengelola persediaan dengan lebih efisien karena kewenangan replenishment berada di pihak supplier. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir. Batasan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Sistem Supply Chain terdiri dari satu supplier (gudang pusat dan gudang penyangga di PT. Petrokimia Gresik) dan multi retailer/buyer yaitu distributor dari gudang penyangga Banyuwangi (KUD. Dewi Shinto, CV. Sumber Hidup, PT. Petrosida, PT. Yosomulyo Jajag), dan distributor dari gudang penyangga Bondowoso (PT. Anak Gresik Raya Kencana, CV. Fia Mandiri, CV. Via Jaya, KPTR. Sumber Tani). 2. Penelitian dibatasi pada daerah propinsi Jawa Timur (Banyuwangi dan Bondowoso,) dengan 3 produk pupuk bersubsidi, yaitu : pupuk ZA, SP-36, dan PETROGANIK. 3. Melakukan koordinasi hanya dalam menentukan kebijakan order. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan asumsi pada kebijakan VMI yang akan digunakan antara lain : 1. Supplier mengetahui jumlah permintaan dari retailer 2. Supplier mengetahui biaya simpan dan biaya pesan dari retailer 3. Keputusan ukuran pengiriman ditentukan oleh supplier sebagai manufacturer dengan mempertimbangkan informasi yang didapatkan dari retailer.
2.
Metodologi Penelitian Pada bagian ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai metode penelitian yang digunakan, yaitu meliputi kerangka berpikir atau prosedur penelitian, instrument penelitian atau perangkat, serta langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah Pada tahap identifikasi dan perumusan masalah ini terdiri atas beberapa sub tahapan yang akan dilakukan yaitu identifikasi dan perumusan masalah, studi literatur dan studi observasi serta penetapan tujuan penelitian. 2.1.1 Identifikasi Masalah Tahap awal di dalam penelitian ini adalah melakukan observasi pendahuluan guna mengidentifikasi permasalahan yang ada di perusahaan dan mencari metode yang tepat sesuai dengan keilmuan Teknik Industri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Masalah yang akan diteliti adalah masalah yang terjadi pada PT. Petrokimia dalam penentuan kebijakan order yang tepat dari gudang gresik ke gudang penyangga sampai ke distributor dengan kebijakan Vendor Managed Inventory (VMI). 2.1.2 Studi Literatur dan Studi Lapangan Dalam melakukan suatu penelitian, dibutuhkan studi literatur sebagai pendukung dalam penyelesaian masalah. Tinjauan pustaka ini akan dijadikan referensi untuk membandingkan teori terkait yang ada dengan kondisi permasalahan riil yang sedang diteliti. Teori pendukung yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu, teori terkait mengenai inventory management. Studi lapangan dilakukan dengan observasi langsung kondisi di PT. Petrokimia Gresik yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengidentifikasi secara langsung permasalahan yang dihadapi oleh PT. Petrokimia Gresik dalam melakukan pengelolaan persediaan. 2.1.3 Perumusan Masalah Dan Penetapan Tujuan Penelitian Setelah dilakukan observasi di lapangan yang disesuaikan dengan teori yang ada dan metode yang akan digunakan maka peneliti
5
dapat merumuskan permasalahan yang terjadi dan menetapkan tujuan penelitian ini. Perumusan masalah dan penetapan tujuan ini dilakukan agar peneliti lebih fokus terhadap penelitian yang akan dilakukan. Tujuan yang sudah ditetapkan dapat menjadi kerangka berfikir serta pedoman bagi peneliti dalam menetapkan langkah-langkah yang akan diambil. Dalam penetapan tujuan penelitian, didapatkan dari permasalahan yang ada di perusahaan dengan melakukan perbandingan pemecahan masalah dengan metode yang ada pada buku literatur dan metode yang sudah diterapkan pada penelitian sebelumnya dan ditulis dalam jurnal yang dapat diakses melalui internet. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu, menentukan kebijakan order yang tepat pada pendekatan VMI untuk kasus single supplier, multi product, dan multi retailer. Agar dapat meminimumkan biaya persediaan perusahaan, dan membandingkan kebijakan pengelolaan inventory eksisting dengan kebijakan vendor managed inventory. 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.1 Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data, berisi data-data yang didapatkan dari perusahaan yang nantinya dapat dipergunakan untuk proses pengolahan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kondisi eksisting perusahaan seperti, data permintaan distributordistributor tahun 2010, data permintaan gudang penyangga tahun 2010, data pengiriman produk, data kapasitas truk, data stock inventory, biaya pengiriman, biaya pemesanan, serta biaya inventory. 3.2 Pengolahan Data Setelah dilakukan pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah pengolahan data yang dimulai dengan generate demand, lalu perhitungan input awal, running simulasi, perancangan interface, dan penentuan kombinasi terbaik. 3.2.1 Generate Demand dengan Pendekatan Monte Carlo Dalam simulasi dibutuhkan input berupa angka acak yang dijadikan acuan jumlah produk yang dikeluarkan dan order interval. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan probabilistik
untuk memperolehnya. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah Monte Carlo. Untuk mengenerate bilangan acak dengan Monte Carlo untuk demand yang tidak memiliki jenis distribusi tertentu, dilakukan dengan pendekatan probabilistik. Langkah-langkahnya yaitu melihat data historis penggunaan untuk kemudian dilakukan perhitungan probabilitas masingmasing angka penggunaan.Setelah didapatkan nilai probabilitas masing-masing kemungkinan, kemudian dicari kumulatif probabilitas dan dibuat rentangnya, untuk kemudian di-generate bilangan acak dan diplotkan hasilnya dengan rentang kumulatif distribusi untuk didapatkan angka peramalannya. Berikut ini contoh Monte Carlo untuk probabilitas produk ZA di distributor KUD Dewi Shinto : Tabel 3. 1 Perhitungan Probabilitas Nilai 10 15 20 25 30 35 40 50 55
Jumlah 28 15 12 7 7 2 2 3 1
Prob 0,36 0,19 0,16 0,09 0,09 0,03 0,03 0,04 0,01
Cum Prob 0,36 0,56 0,71 0,81 0,90 0,92 0,95 0,99 1,00
Tabel 3.2 Generate Bilangan Acak
Random Number 0,883433621 0,7868989 0,623647074 0,371880565 0,536755913
Forecast 30 25 20 15 15
3.2.2
Penentuan Parameter Awal Dari adanya Penentuan parameter awal ini diperlukan sebagai input awal sebelum dilakukan eksperimen perhitungan dari hasil simulasi Monte Carlo. Parameter awal pada kondisi eksisting berupa nilai ROP diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan pendekatan EOQ. Sedangkan untuk kondisi VMI, dalam menghitung ROP (s), dan nilai maksimum (S) menggunakan pendekatan s,S . Untuk nilai replikasi dihitung dengan menggunakan rumus penentuan jumlah replikasi. Untuk input lainnya seperti nilai maksimum, initial stock, order cost, dan holding cost pada kondisi eksisting diperoleh dari data yang tersedia. Serta menginputkan juga hasil random permintaan dengan pendekatan monte carlo.
6
3.2.3 Perancangan Interface Proses Perancangan Interface dalam penelitian ini berfungsi sebagai alat hitung dan membantu dalam pengambilan keputusan penentuan nilai ROP, nilai maksimum, order quantity, dan order frequency produk-produk yang harus disiapkan perusahaan. Interface ini dapat melihat bagaimana keadaan inventori eksisting perusahaan dan juga kebijakan VMI. Interface ini juga memperlihatkan berapa jumlah biaya dan tingkat Service level yang dihasilkan dengan kombinasi nilai ROP dan maksimum inventori yang akan dijadikan acuan parameter awal. Interface dirancang dengan program Microsoft Excel dan bahasa pemrograman Visual Basic. Pemilihan program Visual Basic Application for Excel dilakukan karena sudah familiar dan mudah digunakan sehingga dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Interface ini untuk running simulasi sehingga fleksibel untuk inputan yang berbedabeda. Perancangan disini didasarkan pada demand dan lead time yang tidak pasti. Variabel input yang digunakan adalah reorder point dari tiap jenis pupuk dan gudang, nilai maksimum pemesanan untuk tiap jenis pupuk dan gudang, nilai order cost, holding cost untuk setiap jenis pupuk dan gudang, jumlah stok inventori yang ada untuk setiap jenis pupuk dan gudang, serta hasil random dari pendekatan Monte Carlo untuk masing-masing jenis pupuk di setiap gudang. Perancangan interface ini dirancang untuk menghasilkan output berupa kebijakan kapan harus melakukan pemesanan, berapa service level yang dibutuhkan, serta berapa total biaya dari seluruh aktivitas inventori untuk masing-masing jenis pupuk pada setiap gudang penyangga, maupun gudang distributor. Pada perancangan interface ini, hasil outputnya berupa paramater-parameter kombinasi yang akan dipilih yang terbaik agar mendapatkan solusi yang paling optimal dari semua kombinasi yang ada. Kombinasi tersebut dikatakan terbaik apabila nilai service level 95% atau lebih, dengan total cost yang paling minimum. Dalam simulasi ini yang dijadikan kombinasi adalah berupa rentang dari ROP itu sendiri dengan nilai holding cost, order cost, dan total cost serta nilai dari service level yang dihasilkan tiap-tiap jenis pupuk di setiap gudang.
3.2.4 Tampilan Awal Interface Pada tampilan awal dari interface yang dirancang untuk menginputkan parameterparameter yang akan diuji dimana interface ini terdiri dari tombol “run simulation” untuk memulai running simulasi dan “new product” yang berfungsi untuk memulai running dari awal untuk produk yang lain. 3.2.4.1 Proses Running Interface Pada Interface yang telah dirancang terdiri dari 15 sheet dan 2 tombol. Perancangan interface ini sekali running untuk 1 produk untuk 1 gudang penyangga. Sehingga untuk menginputkan 3 produk di 2 gudang penyangga menginputkan parameter yang baru. Pada sheet 1 terdapat bagian input parameter untuk Gudang Penyangga, pada sheet 2-5 untuk input parameter pada keempat distributor. Pada sheet 6-13 untuk input dari hasil monte carlo dan pada sheet 14-15 untuk hasil output simulasi. Pada sheet 1-13 harus diisi oleh user. Bagian yang harus diinputkan adalah :
Gambar 1.1 Input Parameter Gudang Penyangga
Gambar 3.2 Input Parameter Distributor
7
Tabel 3.3 Input Parameter Random Demand Hasil Monte Carlo Input Historis Permintaan 0 0 0,76 0,15 0,03 0,06
10 15 20 30
Input Historis Permintaan 0 0 0,05 10 0,41 15 0,52 25 0,02 50
Input Historis Permintaan 0 0 0,03 0,87 0,10
10 25 50
kali direplikasi sebanyak 30 kali sehingga service level dan total biaya yang dihasilkan adalah rata-rata dari 30 kali replikasi yang dijalankan. Masing-masing kombinasi berdasarkan rentang ROP. Berikut ini contoh hasil output kombinasi parameter yang dihasilkan untuk produk ZA pada kondisi eksisting di Gudang Penyangga Banyuwangi dan Distributor di Banyuwangi :
Input Historis Permintaan 0 0 0,48 10 0,10 15 0,32 20 0,06 25 0,03 35
Tabel 3.4 Input Parameter Random Order Interval Hasil Monte Carlo Input Historis Order Interval 0,00 0 0,15 1 0,12 4 0,15 5 0,06 6 0,15 7 0,12 8 0,09 11 0,09 18 0,06 42
Input Historis Order Interval 0,00 0 0,20 2 0,13 3 0,03 4 0,13 6 0,07 7 0,13 10 0,10 12 0,10 13 0,10 20
Input Historis Order Interval 0,00 0 0,18 2 0,07 3 0,20 4 0,20 7 0,05 9 0,07 10 0,07 13 0,09 15 0,07 25
Input Historis Order Interval 0,00 0 0,13 1 0,06 4 0,13 5 0,13 7 0,10 8 0,13 12 0,13 14 0,10 20 0,10 27
3.2.4.2 Hasil Kombinasi Parameter Dikarenakan Selanjutnya setelah memasukkan semua input parameter, dilakukan proses running dengan menekan tombol run simulation yang selanjutnya akan menghasilkan output berupa kombinasi parameter terbaik. Kondisi parameter terbaik merupakan kombinasi parameter dengan service level yang memenuhi target yang menghasilkan total biaya yang paling minimum. Program yang dirunning satu
Gambar 3.3 Kombinasi Parameter Holding Cost Distributor
Gambar 3.4 Kombinasi Parameter Order Cost Distributor
Gambar 3.5 Kombinasi Parameter Service level
8
Kombinasi-kombinasi parameter tersebut lalu dipilih kombinasi yang terbaik. Output kombinasi pemesanan tiap periode yang akan terlihat pada sheet 14 dan output berupa biaya dan service level akan ditampilkan pada sheet 15. Hasil kombinasi input parameter akan direplikasi sejumlah inputan yang dimasukkan. Namun, di dalam program sendiri juga ada 30 replikasi untuk meningkatkan keakuratan perhitungan. Berikut ini contoh sheet untuk hasil output pada pupuk ZA di kondisi eksisting: Tabel 3.5 Output Kombinasi Parameter Pemesanan di Gudang Penyangga Banyuwangi Gudang Penyangga Periode Inventory 1 188 2 412 3 412 4 318 5 271 6 412 7 245 8 353 9 271 10 412 11 412 12 351 13 351 14 351 15 160 16 365 17 365 18 268 19 360 20 251 21 373 22 294 23 364 24 211 25 158 26 412 27 412 28 412 29 357 30 357
Demand Order Quantity 327 224 0 0 0 0 94 0 47 141 0 0 167 167 59 0 82 141 0 0 0 0 61 0 0 0 0 0 191 252 47 0 0 0 97 144 52 0 109 161 39 0 79 118 48 0 153 201 254 254 0 0 0 0 0 0 55 0 0 0
Distributor 1 Inventory 45 106 106 56 113 99 60 113 81 70 70 52 108 108 106 106 88 88 61 113 89 34 77 64 25 99 77 73 58 94
Distributor 2
Distributor 3
Distributor 4
Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity 0 68 71 23 98 121 36 114 65 6 47 7 0 168 1 0 235 0 0 112 0 0 0 0 144 24 0 222 13 0 95 17 0 50 57 144 0 0 175 47 0 75 20 37 0 0 122 22 0 175 0 0 65 47 47 14 0 108 14 0 148 27 0 77 35 0 39 53 108 0 0 121 27 114 77 0 0 0 0 108 0 0 217 18 0 53 24 59 32 0 87 21 82 217 0 0 106 6 0 11 0 169 0 0 194 23 0 106 0 0 0 0 162 7 0 194 0 0 88 18 0 18 61 155 7 0 154 40 0 88 0 0 5 0 155 0 0 139 15 0 88 0 0 0 0 138 17 0 139 0 0 88 0 0 2 0 138 0 0 116 23 119 40 48 72 0 0 114 24 0 235 0 0 65 47 47 18 0 91 23 0 187 48 0 97 15 0 0 0 72 19 97 151 36 0 97 0 0 27 52 169 0 0 151 0 0 93 4 0 0 0 144 25 0 126 25 109 93 0 0 24 0 136 8 0 204 31 0 73 20 39 55 79 136 0 0 161 43 0 112 0 0 36 0 115 21 0 161 0 0 64 48 48 13 0 16 99 153 135 26 0 109 3 0 39 88 151 18 0 69 66 166 109 0 0 14 0 151 0 0 227 8 0 109 0 0 22 0 144 7 0 227 0 0 109 0 0 4 0 121 23 0 223 4 0 109 0 0 15 55 111 10 0 207 16 0 109 0 0 19 0 111 0 0 207 0 0 97 12 0
Tabel 3.6 Output Kombinasi Biaya dan Service level di Gudang Penyangga Banyuwangi ROP
Maksimum
Service Level
Holding Cost
Order Cost
Total Cost
310
412
91,5
698565000
3384000
Rp701.949.000
311
412
92,5
1410360000
6486000
Rp1.416.846.000
312
412
93,72
2112705000
9870000
Rp2.122.575.000
313
412
94,855
2798075000
13254000
Rp2.811.329.000
314
412
95,52
3502765000
16638000
Rp3.519.403.000
315
412
96,275
4194995000
20116000
Rp4.215.111.000
316
412
96,35
4878545000
22936000
Rp4.901.481.000
317
412
96,4
5578055000
26132000
Rp5.604.187.000
318
412
96,41
5913285000
28388000
Rp5.941.673.000
319
412
96,51
6641040000
31678000
Rp6.672.718.000
320
412
96,53
7317380000
35062000
Rp7.352.442.000
321
412
96,55
7996380000
38352000
Rp8.034.732.000
322
412
96,83
8685530000
41736000
Rp8.727.266.000
323
412
97,09
9372755000
45402000
Rp9.418.157.000
324
412
97,1
10057250000
49444000
Rp10.106.694.000
325
412
97,105
10770060000
52076000
Rp10.822.136.000
326
412
97,13
11448465000
55460000
Rp11.503.925.000
327
412
97,19
12145770000
58656000
Rp12.204.426.000
328
412
97,2
12852980000
61382000
Rp12.914.362.000
329
412
97,255
13526835000
65142000
Rp13.591.977.000
330
412
97,38
14232155000
68996000
Rp14.301.151.000
331
412
97,385
14945910000
72192000
Rp15.018.102.000
332
412
97,525
15628515000
76046000
Rp15.704.561.000
333
412
97,405
16339820000
79054000
Rp16.418.874.000
334
412
97,405
17025855000
83472000
Rp17.109.327.000
Tabel 3.7 Output Kombinasi Biaya dan Service level di Distributor 1 ROP
Maksimum
Service Level
Holding Cost
Order Cost
Total Cost
38
113
94,29
115290000
580000
Rp115.870.000
39
113
94,3
125580000
580000
Rp126.160.000
40
113
94,35
132270000
464000
Rp132.734.000
41
113
94,4
131250000
464000
Rp131.714.000
42
113
94,4
140850000
464000
Rp141.314.000
43
113
94,75
123870000
696000
Rp124.566.000
44
113
95,2
130650000
464000
Rp131.114.000
45
113
95,205
138180000
464000
Rp138.644.000
46
113
95,22
133775000
464000
Rp134.239.000
47
113
95,4
137280000
580000
Rp137.860.000
48
113
95,405
136080000
580000
Rp136.660.000
49
113
95
138990000
580000
Rp139.570.000
50
113
95,5
150780000
464000
Rp151.244.000
51
113
95,505
129360000
812000
Rp130.172.000
52
113
95,56
162780000
580000
Rp163.360.000
53
113
96
150690000
464000
Rp151.154.000
54
113
96,2
156240000
696000
Rp156.936.000
55
113
96,4
178800000
464000
Rp179.264.000
56
113
174810000
464000
Rp175.274.000
57
113
96,7 97,05
159180000
464000
Rp159.644.000
58
113
97,205
143310000
580000
Rp143.890.000
59
113
97,3
189180000
348000
Rp189.528.000
60
113
98
152100000
580000
Rp152.680.000
61
113
98,3
198840000
348000
Rp199.188.000
62
113
98,305
175470000
464000
Rp175.934.000
9
Dari hasil output rangkuman replikasi seluruh kombinasi-kombinasi tersebut, kemudian dipilih ROP yang menghasilkan biaya terendah dengan service level 95% atau lebih. Hasil output terbaik untuk tiap produk dan distributor pada kondisi eksisting maupun kebijakan VMI akan ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 3.8 Output Kombinasi Terbaik di Gudang Penyangga
Gudang Penyangga
Pupuk ZA
Banyuwangi
SP-36 Petroganik ZA
Bondowoso
SP-36 Petroganik
ROP
Maksimum Service Level Holding Cost
Gudang Distributor 1 Distributor 2
ZA Distributor 3 Distributor 4 Distributor 1 Distributor 2 SP-36 Distributor 3 Distributor 4
Distributor 1
Distributor 2 Petroganik Distributor 3
Distributor 4
Pupuk
Gudang Distributor 1
Distributor 2 ZA Distributor 3
Order Cost
Total Cost
Kondisi
313
412
94,855
2798075000
13254000
Rp2.811.329.000
Eksisting
206
271
95,36
2522940000
12625600
Rp2.535.565.600
VMI
317
380
94,5
741652000
2184000
Rp743.836.000
Eksisting
295
378
95,2
725141000
3196000
Rp728.337.000
VMI
174
322
95,53
171840000
1598000
Rp173.438.000
Eksisting
110
218
97,53
112344000
1040000
Rp113.384.000
VMI
290
393
95,20
608685000
6204000
Rp614.889.000
Eksisting
147
221
95,83
564620000
5512000
Rp570.132.000
VMI
171
246
94,48
451801000
3008000
Rp454.809.000
Eksisting
52
87
96,00
141805000
176800
Rp141.981.800
VMI
91
199
96,30
107592000
1316000
Rp108.908.000
Eksisting
84
169
96,40
104112000
936000
Rp105.048.000
VMI
Tabel 3. 9 Output Kombinasi Terbaik di Distributor Banyuwangi Pupuk
Tabel 3.10 Output Kombinasi Terbaik di Distributor Bondowoso
Distributor 4
Distributor 1
Distributor 2 SP-36 Distributor 3
Distributor 4
Distributor 1
Distributor 2 Petroganik Distributor 3
ROP
Maksimum
Service Level
Order Cost
Holding Cost
Total Cost
Kondisi
130
208
94,58
286410000
580000
Rp286.990.000
Eksisting
112
151
95,21
207900000
680000
Rp208.580.000
VMI
150
244
94,55
316140000
696000
Rp316.836.000
Eksisting
120
171
96,19
196800000
1020000
Rp197.820.000
VMI
120
125
94,53
203400000
812000
Rp204.212.000
Eksisting
81
101
95,29
154440000
680000
Rp155.120.000
VMI
130
141
94,64
214500000
1392000
Rp208.292.000
Eksisting
100
121
95,47
167220000
884000
Rp164.776.000
VMI
37
72
94,75
102802500
696000
Rp103.498.500
Eksisting
36
56
95,235
68580000
952000
Rp69.532.000
VMI
27
50
95,49
76410000
464000
Rp76.874.000
Eksisting
22
40
94,49
60142500
580000
Rp60.722.500
VMI
32
50
94,48
74857500
116000
Rp74.973.500
Eksisting
23
38
97,2
72900000
348000
Rp66.384.000
VMI
28
52
95,38
81067500
348000
Rp76.498.500
Eksisting
21
41
95,12
62640000
464000
Rp71.071.000
VMI
55
113
95,67
44732250
464000
Rp45.196.250
Eksisting
42
84
95,1
38819250
340000
Rp39.159.250
VMI
31
64
94,81
23976000
232000
Rp24.208.000
Eksisting
22
48
95,92
18670500
408000
Rp19.078.500
VMI
38
62
96,23
44833500
116000
Rp44.949.500
Eksisting
ROP
Maksimum
Service Level
Order Cost
Holding Cost
Total Cost
Kondisi
25
49
95,07
18690750
68000
Rp18.758.750
VMI
43
113
94,75
123870000
696000
Rp124.566.000
Eksisting
31
60
95,44
31225500
232000
Rp31.831.250
Eksisting
34
86
94,85
114480000
272000
Rp114.752.000
VMI
28
52
95,38
81067500
348000
Rp76.498.500
VMI
71
169
94,5
130860000
580000
Rp131.440.000
Eksisting
65
132
98,5
154080000
1088000
Rp155.168.000
VMI
110
235
94,5
288960000
580000
Rp289.540.000
Eksisting
87
181
95,15
219800000
2108000
Rp221.908.000
VMI
56
112
96,05
137760000
638000
Rp138.398.000
Eksisting
41
81
95,45
105380000
2040000
Rp107.420.000
VMI
38
109
95,47
116775000
272000
Rp117.047.000
Eksisting
30
85
96
150768000
649600
Rp151.417.600
VMI
Rp153.201.700
Eksisting
49
118
96,1
152482500
719200
37
88
96,6
107122500
408000
Rp107.530.500
VMI
68
151
95,16
198922500
649600
Rp199.572.100
Eksisting
50
113
95,75
141817500
476000
Rp142.293.500
VMI
48
118
94,74
109188000
649600
Rp109.837.600
Eksisting
27
61
95,25
90315000
476000
Rp87.483.500
VMI
39
113
94,75
25717500
174000
Rp25.891.500
Eksisting
34
86
96,13
25990875
102000
Rp26.092.875
VMI
27
89
94,67
49845375
290000
Rp50.135.375
Eksisting
27
100
96,15
31255875
306000
Rp31.561.875
VMI
51
137
96,23
52143750
406000
Rp52.549.750
Eksisting
27
97
96,4
33503625
238000
Rp33.741.625
VMI
32
99
95,54
48316500
232000
Rp48.548.500
Eksisting
25
77
93,69
33139125
238000
Rp30.508.125
VMI
Distributor 4
4. Analisis dan Interpretasi Hasil Pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisa dan pembahasan dari hasil pengumpulan dan pengolahan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan dan rekomendasi perbaikan bagi perusahaan. perusahaan. 4.1 Analisis Hasil Simulasi Pada bagian ini akan dibahas mengenai perbandingan hasil simulasi masing-masing produk di setiap gudang distributor dan di setiap gudang penyangga. Dalam simulasi ini terdapat kombinasi rentang ROP dan kombinasi parameter biaya dan service level. Dalam melakukan running pada simulasi, setiap sekali input parameternya, dilakukan pengulangan running sebanyak 5 kali. Dan kemudian diambil hasil rata-ratanya. Hal ini berfungsi dalam segi keakuratan hasil output yang diperoleh. Penelitian ini bersifat tiga eselon karena menentukan order dari gudang pusat ke gudang penyangga, dan juga menentukan order dari gudang penyangga ke distributor.
10
4.1.1
Analisis Perbandingan Biaya dan Service Level Pada hasil simulasi keadaan eksisting dan keadaan VMI pada gudang penyangga dan distributor menghasilkan nilai yang berbeda. Hal ini dikarenakan selain nilai ROP yang didapatkan berbeda dikarenakan menggunakan pendekatan yang berbeda pula, tetapi juga dikarenakan input berupa biaya yang memang berbeda untuk keadaan eksisting dan VMI. Hal ini dikarenakan, ketika perusahaan menggunakan kebijakan VMI perusahaan dapat mengontrol level persediaan dari distributor. Jadi perusahaan dapat meminimalisir aktivitas dalam melakukan pengiriman atau pemesanan. Yang semula perusahaan terlalu sering melakukan pemesanan atau pengiriman, dengan menerapkan kebijakan VMI perusahaan dapat meminimalisir frekuensi pemesanan/replenishment. Pada hasil output kedelapan distributor dan juga kedua gudang penyangga sebagian besar hasil yang didapatkan pada kondisi VMI lebih optimal dibandingkan kondisi eksisting dengan parameter nilai service level dan jumlah total costnya. Hasil output berupa nilai ROP yang optimal digunakan sebagai informasi untuk gudang penyangga agar dapat mengetahui level persediaan yang ada di distributor, sehingga dapat melakukan replenishment secara tepat.
4.1.1.1 Pupuk ZA di Distributor Dari Pada subbab ini membahas tentang hasil output simulasi dari pupuk ZA pada distributor. Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut : Tabel 4. 1 Perbandingan Service level dan Biaya Pupuk ZA Pupuk ZA Distributor 1 Distributor 2 Distributor 3 Distributor 4
Service Level
Total Cost
Kondisi
94,75
Rp124.566.000
Eksisting
94,85
Rp114.752.000
VMI
94,5
Rp131.440.000
Eksisting
98,5
Rp155.168.000
VMI
94,5
Rp289.540.000
Eksisting
95,15
Rp221.908.000
VMI
96,05
Rp138.398.000
Eksisting
95,45
Rp107.420.000
VMI
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk ZA di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, terjadi peningkatan service level
menjadi 94,85% dengan total biaya sebesar RP .114.752.000. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp9.814.000 dari kondisi eksisting, atau setara dengan 8,55%. Pada distributor 2, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp131.440.000,00 dan service level sebesar 94,5%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service level yang lebih baik yaitu 98,5% meskipun dengan biaya Rp155.168.000,00. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk ZA ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 3, terjadi peningkatan service level menjadi 95,15% dengan total biaya sebesar RP221.908.000. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp67.632.000,00 dari kondisi eksisting. Perubahan yang drastis tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. Pada distributor 4, terjadi penurunan service level menjadi 95,45%. Sedangkan terjadi penurunan total cost sebesar Rp30.978.000 dari kondisi eksisting atau setara dengan 29%. Dari hasil tersebut terjadi penurunan service level secara tipis, yaitu sebesar 0,6%. Meskipun terjadi penurunan service level secara tipis, tetapi terjadi penurunan total cost sebesar 29%. Karena itu kondisi VMI tetap dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari pada kondisi eksisting. tepat. 4.1.1.2 Pupuk SP-36 di Distributor Pada bagian ini membahas tentang hasil output simulasi dari pupuk SP-36 pada distributor.
11
Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut : Tabel 4. 2 Perbandingan Service level dan Biaya Pupuk SP-36 Pupuk SP-36 Distributor 1 Distributor 2 Distributor 3 Distributor 4
ervice Level 94,75 94,85 96,195 96,1 94,5 95,15 95,5 95,45
Service Level
Total Cost
Kondisi
95,47
Rp117.047.000
Eksisting
96
Rp151.417.600
VMI
96,1
Rp153.201.700
Eksisting
96,6
Rp107.530.500
VMI
95,16
Rp199.572.100
Eksisting
95,75
Rp142.293.500
VMI
94,74
Rp109.837.600
Eksisting
95,25
Rp87.483.500
VMI
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk SP-36 di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp117.047.000,00 dan service level sebesar 95,47%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service level yang lebih baik yaitu 96% meskipun dengan biaya Rp151.417.600,00. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk SP-36 ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 2, terjadi peningkatan service level menjadi 96,6% dengan total biaya sebesar RP107.530.500. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi biaya sebesar Total Cost Kondisi penurunan Rp45.671.200,00 dari kondisi eksisting. Eksisting Rp126.102.000 Perubahan yang VMI drastis tersebut dikarenakan pola Rp117.644.000 demand padaEksisting kondisi eksisting dan VMI memang Rp200.176.000 berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan VMI Rp167.096.000 antara eksisting dan VMI yang mengalami Eksisting Rp289.540.000 penurunan. VMI Rp221.908.000 Begitu pula pada distributor 3 dan Eksisting Rp141.550.000 distributor 4, masing-masing terjadi Rp116.032.000 peningkatan VMI service level dengan total biaya
yang juga mengalami penurunan dari kondisi eksisting. Perubahan yang drastis tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. 4.1.1.3 Pupuk Petroganik di Distributor Pada bagian ini membahas tentang hasil output simulasi dari pupuk petroganik pada distributor. Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut : Tabel 4. 3 Perbandingan Service level dan Biaya Pupuk Petroganik Pupuk Petroganik Distributor 1 Distributor 2 Distributor 3 Distributor 4
Service Level
Total Cost
Kondisi
94,75
Rp25.891.500
Eksisting
96,13
Rp26.092.875
VMI
94,67
Rp50.135.375
Eksisting
96,15
Rp31.561.875
VMI
96,23
Rp52.549.750
Eksisting
96,4
Rp33.741.625
VMI
95,5
Rp48.548.500
Eksisting
95,55
Rp30.508.125
VMI
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk petroganik di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp25.891.500,00 dan service level sebesar 94,75%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service level yang lebih baik yaitu 96,13% meskipun dengan biaya Rp26.092.875. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk petroganik ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 2, terjadi peningkatan service level menjadi 96,15%
12
dengan total biaya sebesar RP31.561.875. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp18.573.500,00 dari kondisi eksisting. Begitu pula pada distributor 3 dan distributor 4, masing-masing terjadi peningkatan service level dengan total biaya yang juga mengalami penurunan dari kondisi eksisting. Pada distributor 3 mengalami penurunan biaya sebesar Rp18.808.125 dari kondisi eksisting. Sedangkan pada distributor 4 terjadi penurunan biaya sebesar Rp18.040.375. Perubahan tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. 4.1.1.4 Gudang Penyangga Pembahasan simulasi di gudang penyangga dilakukan untuk 3 produk pupuk bersubsidi juga. Ketiga produk tersebut adalah ZA, SP-36, dan Petroganik. Berikut hasil output simulasi dari gudang penyangga Banyuwangi dan Bondowoso. Tabel 4. 4 Perbandingan Service level dan Biaya di GP Banyuwangi GP Banyuwangi ZA SP-36 Petroganik
menurunnya total cost. Hal ini juga dikarenakan input parameter awal mempunyai nilai yang berbeda dalam segi pendekatan untuk nilai ROP dan juga dalam segi input biaya seperti halnya pada hasil simulasi distributor. Setelah didapatkan nilai ROP yang optimal dibandingkan beberapa kombinasi lainnya, digunakan oleh pihak gudang pusat untuk melakukan kegiatan replenishment ke gudang penyangga apabila level persediannya sudah mencapai titik ROP. 4.1.2
Analisis Perbandingan ROP dan Service Level Dalam mencari nilai ROP adalah dengan parameter nilai safety stock. Sedangkan nilai safety stock berdasarkan besarnya service level. Jadi apabila ROP tersebut akurat, stockout bisa dihindari dan service level menjadi tinggi. Apabila service level tinggi, nilai ROP juga tinggi dikarenakan nilai safety stock juga tinggi mengikuti alur nilai service level. Hal ini dibuktikan dengan hasil output simulasi seperti yang ditunjukkan pada tabel-tabel berikut. Tabel 4. 6 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk ZA
GP Banyuwangi
SP-36 Petroganik
Kondisi
311
95,20
Eksisting
206
95,83
VMI
290
94,855
Eksisting
147
95,36
VMI
Total Cost
Kondisi
94,855
Rp2.811.329.000
Eksisting
95,36
Rp2.535.565.600
VMI
94,5
Rp743.836.000
Eksisting
95,2
Rp728.337.000
VMI
95,53
Rp173.438.000
Eksisting
ROP
Service level
Kondisi
97,53
Rp113.384.000
VMI
317
94,5
Eksisting
295
95,2
VMI
171
94,48
Eksisting
81
94,50
VMI
Tabel 4. 5 Perbandingan Service level dan Biaya di GP Bondowoso ZA
Service level
Service Level
GP Bondowoso
Tabel 4. 7 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk SP-36
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
ROP
GP Bondowoso
Service Level
Total Cost
Kondisi
95,20
Rp614.889.000
Eksisting
95,83
Rp570.132.000
VMI
94,48
Rp454.809.000
Eksisting
94,50
Rp454.790.000
VMI
ROP
Service level
Kondisi
174
96,30
Eksisting
110
97,53
VMI
91
95,53
Eksisting
84
96,40
VMI
96,30
Rp108.908.000
Eksisting
96,40
Rp105.048.000
VMI
Pada hasil simulasi untuk kedua gudang penyangga, Banyuwangi dan Bondowoso juga didapatkan hasil yang berbeda pula, dimana didapatkan nilai yang lebih optimal dalam hal terjadinya peningkatan service level dan juga
Tabel 4. 8 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk Petroganik
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
Dari ketiga tabel diatas dapat terlihat perbandingan nilai ROP dan Service level.
13
Apabila nilai ROP tiap produk tersebut lebih rendah, nilai service level yang dihasilkan pun juga semakin rendah. Sebaliknya, apabila nilai ROP semakin tinggi, nilai service level yang dihasilkan pun juga semakin tinggi. Pada produk ZA, nilai ROP untuk kondisi eksiting di gudang penyangga Banyuwangi adalah sebesar 311. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai ROP pada kondisi eksisting pupuk ZA sebesar 290. Dan service level yang didapatkan juga lebih besar yaitu sebesar 95,20% dengan 94,855%. Untuk nilai ROP pada kondisi VMI di gudang penyangga Banyuwangi yang mempunyai nilai ROP sebesar 206, nilainya lebih kecil dibandingkan nilai ROP di gudang penyangga Banyuwangi sebesar 147. Dan service level yang didapatkan juga lebih kecil yaitu sebesar 95,83% dengan 95,36%. Jadi, sesuai hasil output yang didapatkan, semakin besar nilai ROP nilai service level juga semakin besar tetapi dengan parameter/kondisi yang sama. 4.1.3 Analisis Keseluruhan Produk Berdasarkan hasil simulasi kondisi eksisting dan adanya kebijakan VMI, dapat diketahui bahwa adanya kebijakan VMI akan memberikan perubahan pada segi biaya dan service level jika dibandingkan dengan kondisi eksisting. Pada beberapa hasil simulasi produk, menunjukkan bahwa penerapan VMI mampu menurunkan nilai ROP (reorder point) dan menurunkan total biaya yang dihasilkan. Untuk beberapa hasil simulasi produk lainnya, penerapan VMI akan memberikan tingkat service level yang lebih baik dari kondisi eksisting. Perubahan-perubahan yang terjadi karena penerapan VMI disebabkan oleh perubahan jumlah frekuensi pemesanan, jumlah produk yang disimpan, serta pemenuhan permintaan. Perubahan frekuensi pemesanan akan berakibat pada perubahan order cost. Untuk perubahan jumlah barang yang disimpan akan berdampak terhadap holding cost sehingga total biaya akan dipengaruhi perubahanperubahan biaya-biaya tersebut. Faktor pemenuhan permintaan akan berdampak pada service level yang dihasilkan. Faktor pemenuhan permintaan ini bergantung pada kebijakan inventori yang diterapkan serta pola permintaan untuk tiap produk. Berikut ini akan ditampilkan gambaran umum hasil simulasi VMI dibandingkan dengan kondisi eksisting
dari tingkat peningkatan service level dan penurunan total cost : Tabel 4. 9 Peningkatan Service Level dan Saving Total Cost Peningkatan Service Level (%)
Saving Total Cost (%)
ZA
0,53
10
SP-36
0,74
2
Petroganik
2,05
31
ZA
0,66
7
SP-36
1,58
32
Petroganik
0,10
4
Distributor 1
0,11
8
Distributor 2
4,06
23
Distributor 3
0,68
23
Pupuk di masing-masing gudang
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
B a n y u w a n g i
ZA
Distributor 4
SP-36
Petroganik
22
Distributor 1
0,55
Distributor 2
0,52
30
Distributor 3
0,62
29
Distributor 4
0,54
20
Distributor 1
1,44
Distributor 2
1,54
37
Distributor 3
0,18
23
Distributor 4
ZA B o n d o w o s o
SP-36
Petroganik
37
Distributor 1
0,66
27
Distributor 2
1,70
23
Distributor 3
0,80
24
Distributor 4
0,87
21
Distributor 1
0,51
21
Distributor 2 Distributor 3
21 2,80
11
Distributor 4
7
Distributor 1
13
Distributor 2
1,16
Distributor 3
21 23
Distributor 4 Rata-rata
1,06
20
5 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Nilai ROP yang dihasilkan dari simulasi kondisi eksisting adalah tinggi karena permintaan yang diinputkan juga memiliki deviasi yang cukup besar. Akibat tingginya nilai ROP adalah total biaya yang tinggi pula. Sedangkan nilai ROP yang dihasilkan dari simulasi kondisi penerapan VMI adalah rendah karena permintaan yang diinputkan juga memiliki deviasi yang kecil yakni permintaan sesungguhnya harian. Nilai ROP akan berpengaruh terhadap total biaya sehingga pada
14
2.
6
beberapa produk total biaya untuk kondisi VMI bernilai kecil. Perbandingan hasil simulasi penerapan VMI terhadap kondisi eksisting dapat dilihat dari segi peningkatan service level dan persentase saving total cost yang dihasilkan. Rata-rata peningkatan service level yang dihasilkan adalah sebesar 1,06%, sedangkan rata-rata saving total cost adalah sebesar 20%.
Daftar Pustaka ABDUL-JALBAR, B., GUTIÉRREZ, J. M. & SICILIA, J. 2006. Single cycle policies for the one-warehouse N-retailer Inventory/distribution system. The International Journal of management Science, 34, 196–208. Brata, B. D. 2003. Evaluasi Penerapan Vmi Dan Perancangan Kontrak Kerjasama Pelaksanaannva (Studi Kasus Di Pt. Filtrona Indonesla). Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
GOYAL, S. K. 1988. A joint economic lot size model for purchaser and vendor. Decision Science, 19, 236-241. LEE, C. & CHU, W. 2005. Who should control inventory in a supply chain? European Journal of Operational Research, 164, 158-172. PUJAWAN, I. N. 2005. Supply Chain Management, Surabaya, Guna Widya. SILVER, E. A., PYKE, D. F. & PETERSON, R. (eds.) 1998. Inventory Management and Production Planning and Scheduling,, New York, 1998. TERSINE, R. J. 1994. Principles of Inventory and Materials Management, United States of America, PTR Prentice Hall Inc., . YAO, Y., EVERS, P. T. & DRESNER, M. E. 2005. Supply chain integration in vendormanaged inventory. Decision Support Systems 43, 663–674.
CETINKAYA, S. & C.Y. LEE 2000. Stock replenishment and shipment scheduling for vendor-managed inventory systems. Management Science, 46, 217-232. CHOPRA, SUNIL & MEINDL 2007. Supply Chain Management Strategy, Planning, & Operations, Pearson Prentice Hall, United States of America. DONG, Y. & XU, K. 2002. A supply chain model of vendor managed inventory. Transportation Research. Part E: Logistics and Transportation Review, 38, 75-95. ERTOGRAL, K., DARWISH, M. & BENDAYA, M. 2007. Production and shipment lot sizing in a vendor–buyer supply chain with transportation cost. European Journal of Operational Research 176 1592–1606. FITRIYAH, H. 2010. Perencanaan Pengadaan dan Kontrol Inventori Berbasis 2 Tingkat dengan Pendekatan Model Vendor Managed Inventory. Laporan Penelitian Tugas Akhir. Surabaya. FOGARTY, DARWIS, M. A. & ODAH, O. M. 1991. Production and Inventory Management, Cincinnati, Ohio, SouthWestern Publishing Co.
15