Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA SUHU KECERAHAN DATA MTSAT DENGAN CURAH HUJAN DATA QMORPH Parwati, Suwarsono*), Kusumaning Ayu DS*), Mahdi Kartasamita**) Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan-Pusbangja LAPAN **) Peneliti Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN e-mail:
[email protected]
*) Peneliti
ABSTRACT The relationship analysis between the brightness temperature from MTSAT-1R and the rainfall from Qmorph have been conducted in this research. The data used in this research are 240 data sets of MTSAT-1R and QMorph for ten days (1-10 February 2009, 00 – 23 UTC). The analysis is based on the MTSAT-1R spatial resolution (5 x 5 km) which covered 621 pixels for Bengawan Solo Water Catchment Area. The statistical analysis used are timeseries, regression-correlation analysis, and marginal analysis. The result showed that there is a significant correlation between the brightness temperature of MTSAT-1R data with the rainfall from QMorph data (r ≥ 0.80 or equal to R2 ≥ 0.65) for 66 % data or around 410 pixels. The brightness temperature tends to decrease with the higher rainfall, except for the Cirrus cloud which has a cooler temperature but not potential to become rain. Based on the marginal analysis of 410 pixels, we have found a power line regression between the QMorph rainfall (mm/hour) and the MTSAT cloud temperature (°K) with R2 = 0.9837. The equation is: Qmorph rainfall = 2. 1025 (MTSAT cloud temperature)-10.256. In order to increase the accuracy, the validation of QMorph data needs to be done by comparing the QMorph with other rainfall data sources and also taking the topography of area into consideration. Key word: Brigthness temperature, Rainfall, MTSAT, QMorph, Coefficient correlation, Marjinal Analysis ABSTRAK Dalam penelitian ini dilakukan analisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT-1R dengan curah hujan dari data QMorph. Data yang digunakan adalah sebanyak 240 set data selama 10 hari (1-10 Februari 2009 pukul 00 – 23 UTC). Analisis didasarkan pada basis pixel MTSAT-1R (5 x 5 km), dan untuk wilayah DAS Bengawan Solo jumlah pixelnya adalah 621 pixel.. Metode analisis statistik yang dilakukan adalah analisis timeseries, analisis regresi-korelasi, dan analisis Marjinal. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang cukup signifikan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dan curah hujan dari data Qmorph dengan nilai korelasi (r) di atas 0.80 atau setara dengan koefisien determinasi (R2) ≥ 0.65 sebanyak 410 pixel atau 66 % dari total pixel 621. Semakin turun suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujannya, kecuali untuk awan cirus yang bukan awan penghasil hujan namun mempunyai suhu yang rendah. Dari hasil analisis Marjinal terhadap 410 pixel yang mempunyai R2 0.65 diperoleh persamaan berbentuk power line antara curah hujan QMorph (mm/jam) dan suhu kecerahan awan MTSAT (°K) dengan R2 = 0.9837, yaitu : curah hujan QMorph = 2. 1025 (suhu awan MTSAT)10.256. Untuk meningkatkan akurasi, maka validasi data curah hujan dari QMorph perlu dilakukan dengan membandingkannya dengan sumber data curah hujan lainnya,serta memperhatikan faktor topografi. Kata kunci: Suhu kecerahan, Curah hujan, MTSAT, QMorph, Koefisien korelasi, Analisis marjinal
32
Penentuan Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data.....(Parwati et al.)
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi yang besar dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Di sisi lain, informasi curah hujan menjadi sangat penting karena dibutuhkan oleh berbagai aspek kehidupan, terutama dalam perencanaan pertanian, transportasi, perkebunan, hingga untuk peringatan dini bencana alam, banjir/longsor serta kekeringan. Data dan informasi curah hujan dalam skala spasial yang cukup luas, terkini, cepat serta mudah diperoleh masih belum tersedia dari data pengamatan stasiun curah hujan. Adanya keterbatasan tersebut tentu saja menjadi hambatan bagi pengguna dalam memperoleh informasi curah hujan. Satelit penginderaan jauh untuk pemantauan cuaca dan lingkungan mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi cuaca setiap jam dalam cakupan yang cukup luas. Data satelit lingkungan dan cuaca ini dapat diperoleh secara up to date dan tidak dikenakan biaya, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas di kalangan masyarakat luas. Penelitian mengenai curah hujan berdasarkan data satelit terutama di negara subtropis telah banyak dilakukan di antaranya oleh Hong et al (2006, 2007), dan Naranjo (2007), namun belum banyak dilakukan di negara tropis terutama di Indonesia yang juga merupakan negara kepulauan. Estimasi curah hujan dapat dilakukan berdasarkan suhu awan, dimana pembentukan hujan terjadi pada awan-awan yang mempunyai suhu rendah (Handoko, 1994). Griffith et al (1978) dalam Tahir et al (2009) mengemukakan bahwa adanya hubungan antara curah hujan dari data radar dengan suhu kecerahan awan yang lebih rendah dari 235º K. Vicente (2001) dalam penelitiannya mengemukakan adanya hubungan antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan
pada TOA (Top of The atmosphere) dari kanal infra merah satelit GOES-8. Curah hujan rata-rata dari radar dihubungan dengan nilai suhu kecerahan awan setiap 1 derajat antara 195º K – 260º K. Pixel hujan maupun tidak hujan diplotkan dalam hubungan antara curah hujan dari radar dan suhu kecerahan awan dari GOES-8 dalam persamaan eksponensial. Sementara Tahir et al (2009) merumuskan hubungan curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan dalam persamaan logaritmik. Salah satu data satelit yang mampu memberikan informasi curah hujan adalah data Qmorph. Data curah hujan QMorph diperoleh berdasarkan gabungan antara satelit Low Earth Orbit (LEO) dan satelit Geostationer. Satelit LEO yang berbasis passive microwave (PMW) sangat baik digunakan untuk pengukuran curah hujan, namun dilihat dari temporalnya yang hanya 1-2 kali meliput dalam sehari maka kurang memberikan informasi curah hujan secara total dalam sehari. Sementara satelit Geostasioner dengan kanal infra merah mempunyai resolusi temporal yang baik untuk memberikan informasi cuaca setiap satu jam, namun secara spektral hanya mampu mengukur temperatur awan di puncak atmosfer (TOA). Data QMorph menggabungkan keunggulan yang dimiliki oleh data satelit LEO dan satelit Geostationer untuk memberikan informasi curah hujan (Joyce et al, 2004). Studi ini ditujukan untuk menganalisis korelasi antara suhu kecerahan awan (MTSAT-1R) dengan curah hujan (QMorph) pada 621 pixel (wilayah DAS Bengawan Solo) dalam 240 titik waktu pengamatan (1-10 Februari 2009). Studi ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara suhu awan dengan curah hujan. Data curah hujan QMorph mempunyai keunggulan yaitu dari sensor PMW yang sangat baik untuk pengukuran curah hujan dari data satelit, namun dari sisi temporalnya kurang baik sehingga data 33
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
curah hujan QMorph merupakan data sekunder. Sementara itu data inframerah MTSAT mampu memberikan informasi suhu awan dengan resolusi temporal yang tinggi (setiap 1 jam), dan suhu awan dari MTSAT merupakan data primer. Secara operasional, data MTSAT dapat diperoleh dari stasiun bumi LAPAN, sedangkan data QMorph diperoleh secara download di internet sehingga terdapat kemungkinan data rusak pada QMorph akibat proses download yang terganggu. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemanfaatan dan aplikasi data MTSAT1R yang diterima oleh stasiun bumi LAPAN dalam memberikan informasi cuaca harian.
Sedangkan data curah hujan yang diperoleh dari QMorph merupakan hasil estimasi dari beberapa satelit rendah orbit (low orbit) passive microwave serta dari data satelit geostasioner IR (inframerah). Data inframerah dari satelit geostasioner digunakan jika data microwave tidak tersedia. Satelit passive microwave yang digunakan adalah TRMM TMI rainfall, AQUA AMSR-E rainfall, DMSP-13,14,15 SSMI rainfall, sedangkan satelit geostasioner IR adalah GOES-12 East, GOES-10 West, GOES-9 GMS, METEOSAT-7, dan METEOSAT-5 (Joyce et al, 2004). Spesifikasi data MTSAT-1R dan QMorph yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2-1.
1.2 Hipotesa
2.2 Lokasi Kajian
Semakin turun suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujannya sehingga ada hubungan antara data suhu kecerahan dari MTSAT-1R dan curah hujan dari QMorph.
Daerah kajian penelitian adalah DAS Bengawan Solo yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur serta memanjang dari Pantai Utara hingga Pantai Selatan Pulau Jawa. Karakteristik wilayah DAS Bengawan Solo bervariasi berdasarkan topografinya, dari dataran rendah di wilayah utara hingga perbukitan dan pegunungan di wilayah selatan (Gambar 2-1). Saat ini wilayah DAS Bengawan Solo merupakan wilayah rawan banjir, hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan ekosistem di daerah hulu serta dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan sehingga sungai Bengawan Solo sering tidak mampu menampung air hujan.
2
DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data Data satelit yang digunakan pada penelitian ini yaitu data MTSAT-1R (Multifunction Transport Satellite-1 Replacement) dan QMorph. Data MTSAT-1R terdiri dari 4 kanal, yaitu kanal inframerah (IR)1 (10.8 µm), IR2 (12.0 µm), IR3 (6.8 µm) dan IR4 (3.8 µm). Kanal MTSAT-1R yang digunakan pada penelitian ini adalah kanal 1.
Tabel 2-1: JENIS DAN SPESIFIKASI DATA SATELIT MTSAT-1R DAN QMORPH YANG DIGUNAKAN Data Satelit Panjang Gelombang Resolusi Spasial Periode waktu
Sumber Data
34
MTSAT-1R
QMORPH
10.3 - 11.3 micrometers, kanal inframerah-1 0.05 derajat 5 km
sensor microwave dan inframerah 0.0727 derajat atau 8 km di ekuator 1-10 Februari 2009 setiap jam (00 – 23 UTC) atau sebanyak 240 set data ftp://ftp.cpc.ncep.noaa.gov/ precip/qmorph/30min_8km.
1-10 Februari 2009 setiap jam (00 – 23 UTC) atau sebanyak 240 set data Kochi University http://weather.is.kochiu.ac.jp/archive-e.html
Penentuan Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data.....(Parwati et al.)
Gambar 2-1: Topografi DAS Bengawan Solo dari data DEM SRTM 90m (USGS)
2.3 Metodologi Pengolahan Data MTSAT Pengolahan data MTSAT meliputi pengolahan koreksi geometrik dan konversi nilai digital ke suhu kecerahan (brightness temperature). Sebelum mendapatkan nilai suhu kecerahan, nilai digital pada data MTSAT dikonversi terlebih dulu ke dalam nilai radians melalui persamaan linier yang dihasilkan dari analisis interkalibrasi antara kanal inframerah MTSAT dengan high spectral resolution sounders (hyper sounders) dari satelit orbit rendah. Hubungan antara radians MTSAT dan radians hyper sounder dalam The Meteorological Satellite Center Technical Note-JMA (2009), Kurino (2008) dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: Radiance (MTSAT) = C0 + C1 × Radiance (hyper sounder) (2-1)
dimana C0 dan C1 adalah koefisien regresi, Radians dalam satuan mW.m-2.sr-1.cm. Setelah itu mengubah nilai radians menjadi suhu kecerahan dengan menggunakan rumus Plank sebagai berikut:
( )=
{
/ (
)}….
(2-2)
dimana: Bi : sensor Planck Function dari kanal i; Tb : suhu kecerahan, vi : panjang gelombang tengah dari kanal i; a1i dan : koefisien koreksi untuk kanal I; a2i h : konstanta Planck; k : konstanta Boltzman, c : kecepatan cahaya. Tabel 2-2 berikut adalah koefisien koreksi dan panjang gelombang tengah untuk setiap kanal MTSAT-1R. 35
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
Tabel 2-2: FAKTOR KOREKSI DAN PANJANG GELOMBANG TENGAH KANAL MTSAT-1R (Sumber: The Meteo-Rological Satellite Center Technical Note-Jma, 2009) MTSAT-1R Wavenumber Band correction coef. Channel ν (cm-1) a1 a2
olahan data awal yang dilakukan berupa resampling data dari resolusi spasial 8 km menjadi 5 km, sehingga diperoleh ukuran pixel yang sama dengan data suhu kecerahan dari MTSAT. Selanjutnya dilakukan proses kropping data dengan wilayah batas DAS Bengawan Solo untuk diekstrak nilainya per-pixel sebanyak 621 pixel untuk 240 set data per jam (selama 10 hari).
IR1 (10.8 µm)
926.6118
0.3592380 0.9987587
IR2 (12.0 µm)
833.1675
0.1968675 0.9992525
IR3 (6.8 µm)
1482.2068 0.3785336 0.9991187
Analisis Regresi dan Korelasi
IR4 (3.8 µm)
2652.9316 2.3473427 0.9969755
Analisis regresi digunakan untuk mendapatkan persamaan antara suhu kecerahan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph. Persamaan regresi yang digunakan adalah regresi linier y = a + bx; dengan peubah bebas x variabel adalah suhu kecerahan dan peubah tak bebas y adalah curah hujan. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara data suhu kecerahan dari MTSAT terhadap curah hujan dari QMorph. Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut:
Selanjutnya data suhu kecerahan MTSAT dikropping untuk wilayah DAS Bengawan Solo, dengan sumber data batas DAS dari Dinas Pekerjaan Umum. Berdasarkan data MTSAT-1R dengan resolusi spasial 5 km, maka wilayah DAS Bengawan Solo memiliki 621 pixel. Selanjutnya cakupan analisis data satelit MTSAT dan QMorph dilakukan berdasarkan basis pixel 5 km, seperti yang terlihat pada Gambar 2-2.
x, y = Cov (x,y) / (x, y) dimana
(2-3)
n
-1 ≤ x, y ≤ 1, dan Cov (x,y) = 1/n (xi i=1 x) (yi - y),
Gambar 2-2: Cakupan analisis data satelit MTSAT dalam ukuran pixel 5 x 5 km sebanyak 621 pixel Pengolahan Data Qmorph Data curah hujan dari QMorph mempunyai satuan mm/jam. Peng-
36
dalam hal ini x = data suhu kecerahan, y = data curah hujan, = koefisien korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data ke-i, x y = nilai rata-rata (mean) dari x dan y. Selain analisis regresi dan korelasi antara data curah hujan dan suhu kecerahan juga dilakukan analisis timeseries dalam bentuk grafik. Secara umum, diagram alir pengolahan data dan analisis dapat dilihat pada Gambar 2-3.
Penentuan Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data.....(Parwati et al.)
Data QMorph (240 set data)
Data MTSAT-1R (240 set data) Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik
Konversi nilai digital ke suhu kecerahan
Resampling resolusi spasial data ke 5 km
Peta Batas DAS Bengawan Solo dari Dinas PU.
Kroping MTSAT dan QMorph untuk DAS Bengawan Solo Pengolahan Awal:Filtering out layer data Analisis regresi, korelasi, dan timeseries antara suhu kecerahan MTSAT dan curah hujan QMorph (per pixel sebanyak 621 pixel)
Penggabungan data Nilai korelasi suhu kecerahan MTSAT dan curah hujan QMorph Gambar 2-3: Diagram alir pengolahan data dan analisis
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Time series Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan Hasil analisis data MTSAT dan QMorph secara time series tanggal 1 – 10 Februari 2009 (00 – 23 UTC) di wilayah DAS Bengawan Solo. Pada Gambar 3-1 menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dengan curah hujan dari data QMorph, dimana pada saat suhu kecerahan awan bernilai rendah maka curah hujannya
tinggi dan sebaliknya saat suhu kecerahan awan bernilai tinggi maka curah hujannya rendah. Rendahnya suhu awan akan menyebabkan terjadinya proses kondensasi yang dapat menimbulkan hujan. Nilai suhu kecerahan awan periode 1-10 Februari 2009 (jam 00 – 23 UTC) berkisar antara 188° hingga 294º K dengan nilai ratarata sebesar 246º K, sedangkan curah hujan berkisar antara 0 – 96 mm/jam dengan nilai rata-rata sekitar 13 mm/jam.
37
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
100
300
95
285
90
270
85
255
80
240
75
225
70
210
65
195
60
180
55
165
50
150
45
135
40
120
35
105
30
90
25
75
20
60
15
45
10
30
5
15
0
Suhu Kecerahan MTSAT (°K)
Curah Hujan QMorph (mm/jam)
TIMESERIES DATA SUHU KECERAHAN DAN CURAH HUJAN PER-PIXEL PERIODE 1-10 FEBRUARI 2009
0 Pixel ke- 1 s/d 621 setiap jam (00 - 23 UTC) periode 1-10 Februari 2009
Suhu kecerahan Curah hujan
Gambar 3-1: Time series suhu kecerahan awan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph per pixel periode tanggal 1-10 Februari 2009 jam 00-23 UTC di wilayah DAS Bengawan Solo
3.2 Analisis Regresi dan Korelasi antara Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan Per-pixel Pada tahap ini diawali dengan pengolahan data awal yang terdiri dari 3 tahap pemilihan data, yaitu (i) setiap pixel dengan nilai suhu kecerahan awan di bawah 225ºK dan curah hujannya di bawah 5 mm/jam tidak disertakan dalam analisis, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa awan yang mempunyai suhu rendah namun menghasilkan hujan adalah tipe awan cirrus. Tipe awan cirrus ini umumnya mempunyai suhu yang rendah dan merupakan awan tinggi sehingga tidak berpotensi menghasilkan hujan. Selanjutnya tahap (ii) adalah membuang pixel yang mempunyai suhu kecerahan yang mempunyai nilai tinggi (di atas 260º K) namun curah hujannya tinggi (di atas 50 mm/jam), kondisi ini dianggap tidak mengikuti kondisi alam dimana semakin
38
tinggi suhu awan maka proses pengembunan sulit terjadi sehingga awan tidak dapat menghasilkan hujan. Adanya nilai curah hujan yang tinggi pada saat suhu awan tinggi kemungkinan disebabkan oleh kualitas data Qmorph sedang tidak bagus (data error). Tahap (iii) adalah membuang deret data (minimal 3 data) yang mempunyai nilai suhu berbeda namun curah hujannya tetap. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh rusaknya data QMorph. Hasil analisis regresi dan korelasi terhadap 621 pixel dengan 240 set data menunjukkan bahwa umumnya terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan dari data QMorph dan suhu kecerahan dari data MTSAT dengan nilai koefisien korelasi lebih dari 0.7. Hubungan antara ke dua variabel tersebut adalah berbanding terbalik suhu kecerahan awan bernilai tinggi
Penentuan Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data.....(Parwati et al.)
maka curah hujannya rendah, sebaliknya jika suhu kecerahan awan bernilai rendah maka curah hujannya tinggi. Beberapa contoh persamaan regresi yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 3-2. Perbedaan slope pada garis regresi dan nilai koefisien korelasi dapat disebabkan oleh adanya pengaruh topografi setempat yang turut mempengaruhi hujan lokal terutama di daerah pegunungan yang hujannya dipengaruhi oleh efek orografis, dimana uap air di sisi salah satu lereng gunung akan terdorong naik dan membentuk awan kemudian terjadi kondensasi dan menurunkan hujan di sisi lereng gunung yang lain. Efek orografis terhadap suhu kecerahan awan serta curah hujannya perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian selanjutnya. 3.3 Analisis Regresi dan Korelasi antara Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan (Gabungan 621 pixel) Pada tahap ini, penggabungan data diawali dengan cara memilih pixel yang mempunyai nilai koefisien 2 determinasi R 0.65 atau setara dengan koefisien korelasi (r) di atas 0.80, kemudian akan diketahui jumlah pixel yang mempunyai R2 yang lebih dari 0.65. Data suhu dan curah hujan dari pixel-pixel tersebut kemudian digabung dengan menggunakan metode statistik yaitu Analisis Marjinal atau analisis rata-rata. Pada penelitian ini analisis Marjinal ditujukan untuk mewakili populasi pixel yang R2 0.65. Estimasi
rata-rata model Marjinal dapat dituliskan sebagai berikut (Janes et al 2006, Fitzmaurice et al 2004): n ^ E(YitXit) = Yit = 1/n Yi = βo + βi M Xit i=1
(3-1)
dimana Yi adalah fungsi hasil regresi pada pixel i yang mempunyai R2 0.65. Hasil pemilihan pixel yang mempunyai R2 0.65 terhadap total 621 pixel pada penelitian ini adalah sebanyak 410 pixel atau sekitar 66 % dari total data. Ada sebanyak 5933 set data suhu kecerahan awan MTSAT dan curah hujan Qmorph yang dianalisis dengan metode analisis Marjinal. Struktur rata-rata dari model Marjinal antara suhu kecerahan awan MTSAT dan curah hujan Qmorph diplotkan dalam garis persamaan power line yang dapat dilihat pada Gambar 6. Suhu kecerahan awan mulai dari 199º K hingga 293º K dihubungkan dengan curah hujan Qmorph yang berkisar antara 0 – 44 mm/jam. Pada Gambar 3-3 dapat dilihat bahwa batas tidak terjadinya hujan adalah pada suhu kecerahan awan MTSAT mencapai 280ºK. Persamaan regresinya adalah sebagai berikut: y = 2. 1025 x-10.256
(3-2)
dengan R2 = 0.9837, dimana y adalah curah hujan Qmorph (mm/jam), x adalah suhu kecerahan awan dari MTSAT (ºK).
39
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
275
290
10 0 185
Suhu Kece rahan (°K)
200
215
230
245
260
275
290
305
200
y = 1E+24x-9 .8654 R2 = 0.7011
50 40 30 20 10 230
245
260
275
290
305
PIXEL 109 90 Curah Hujan (mm/jam)
Curah Hujan (mm/jam)
80 70 60 y = 3E+37x-15 .503 R2 = 0.7224
30 20 10 0 185
200
215 230 245 260 275 Suhu Ke cerahan (°K)
290
305
80 70
Curah Hujan (mm/jam)
Curah H ujan (mm /jam )
60 50 -20.2 43
y = 6E+48x R2 = 0.7587
20 10 230
245
30 20 10 215
260
275
290
305
70
275
290
20
215
230
245
y = 7E+33x R2 = 0.7506
260
275
290
305
30 20 10 0 200 215 230 245
PIXEL 588
10
260 275
290 305
Curah Hujan ( mm/jam)
y = 3E+34x-14.124 R2 = 0.858
50 40 30 20
230 245 260 275 Suhu Kecerahan (°K)
290
305
260
275
290
215
230
245
260
275 290
40 30 20
40 30 20
230
245
260
Suhu Kecer ahan (°K)
260
275
290
245
260
290
305
275
290
305
275
290
305
50 40 30 20 10 0 185
305
200
215
30 20 10 215
230
245
260
275
290
305
60 y = 2E+26x -10. 778 R2 = 0.8075
30 20 10
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
y = 1E+22x-9.0731 R2 = 0.7132
200
215
215
230
245
230
245
260
Suhu Kecerahan (°K)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 5E+17x-7.0559 R2 = 0.7493
185 200
200
260
PIXEL 332
80 70 50 40
245
PIXEL 276
y = 2E+26x -10.816 R2 = 0.7167
200
230
Suhu Ke ce rahan (°K)
40
260
275
290
215 230 245 260
305
275 290 305
Suhu Kecerahan (°K)
PIXEL 559
90
90
80
80
70 60 y = 6E+36x -15.211 R2 = 0.8236
50 40 30 20
275
290
y = 5E+26x -10.912 R2 = 0.7548
70 60 50 40 30 20 10
0 185
230
275
60
10
215
260
y = 3E+29x-12. 228 R2 = 0.7005
70
PIXEL 464
y = 4E+33x-13.848 R2 = 0.7026
200
245
Suhu Kecerahan (°K)
200
215
305
230
245
260
275
290
0 185
305
200
215
Suhu Kecerahan (°K)
230
245
260
275
290
305
290
305
Suhu Kecerahan (°K)
275
290
305
90
y = 2E+25x -10.344 R2 = 0.7046
60 50 40 30 20
-11.441
y = 9E+27x R2 = 0.8187
70 60 50 40 30 20
215
230
245
260
275
290
305
60 50 40 30 20
0 185
0
200
70
10
10
0
y = 8E+27x-11 .398 R2 = 0.776
80
80
70
185
PIXEL 621
PIXEL 580 90
10 215
245
50
PIXEL 612
50
200
230
60
0 185
305
70 50
230
80
PIXEL 392
80 60
215
Suhu Kecerahan (°K)
y = 5E+28x -11.793 R2 = 0.7253
200
200
PIXEL 150
70
0 185
305
80
60
0 185
245
90
10
10
0 185
Suhu Kecerahan (°K)
y = 1E+27x-11 .032 R2 = 0.7803
70
10
90
PIXEL 620
80
215
20
0 185
90
80
200
30
Suhu Kecerahan (°K)
90
60
40
10
Suhu Kecerahan (°K)
70
50
PIXEL 442
y = 1E+27x R 2 = 0.7405
20
Suhu Kecerahan (°K)
90 -11.083
50 40
185
215
Suhu Ke cerahan (°K)
90 80 70 60
200
PIXEL 271
30
30
305
y = 2E+24x -9.9381 R2 = 0.7155
305
y = 2E+27x -11.228 R2 = 0.7999
60
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
290
PIXEL 233
70
230
275
90
Suhu Kece rahan (°K)
40
200
290
80
215
260
PIXEL 179 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
90
200
245
50 40
Suhu Kecer ahan (°K)
80
0 185
305
50
10 0 185
305
230
y = 1E+21x-8.5731 R2 = 0.7514
60
Suhu Kecerahan (°K)
215 230 245 260 275 Suhu Kecerahan (°K)
PIXEL 411
- 14.042
Curah Hujan (mm/jam)
Cu rah Hujan (mm/jam )
260
y = 1E+30x -12.346 R2 = 0.7067
60
290
90
Suhu Kecerahan (°K)
185 200 215 230 245 260 275 290 305
Curah Hujan (mm/jam)
245
90 80
PIXEL 312
0 185
230
275
PIXEL 231
40
Suhu Kecer ahan (°K)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
200
PIXEL 226
70
215
305
50
PIXEL 266
200
290
60
200
260
y = 1E+29x-11.962 R2 = 0.74
Suhu Kecerahan (°K)
80
0 185
275
y = 4E+39x -16.345 R2 = 0.7513
0 185
90
40 30
260
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
PIXEL 267
90
40
245
Suhu Kecerahan (°K)
Suhu Ke cer ahan (°K)
50
230
Curah Hujan (mm/jam)
215
215
Curah Hu jan (mm/jam)
200
200
Curah Hujan (mm/jam)
0 185
y = 2E+35x -14.551 R2 = 0.7093
Curah Hujan (mm/jam)
60
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
Curah Hujan (mm/jam)
Curah Hujan (mm/jam)
Curah Hujan (mm/jam)
80
245
215
PIXEL 184
PIXEL 192
90 70
230
Suhu Kecer ahan (°K)
Suhu Kecerahan (°K)
PIXEL 119
215
200
Curah Hujan (mm/jam)
20
Curah Hujan (mm/jam)
30
305
70
Curah Hujan (mm/jam)
260
y = 1E+29x R2 = 0.74
80
Curah Hujan (mm/jam)
245
90 -11.962
Cur ah Hujan (mm/jam)
230
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 185
Curah Hujan (mm/jam)
215
Curah Hujan (mm/jam)
200
40
40 30 20 10 0 185
Curah Hujan (mm/jam)
0 185
50
C urah Hujan (mm/jam)
20 10
60
PIXEL 143
PIXEL 184
y = 2E+31x-12.819 R2 = 0.702
Curah Hujan (mm/jam)
30
70
90 80 70 60 50
Curah Hujan (mm/jam)
y = 3E+19x-7.843 7 R2 = 0.7585
50 40
PIXEL 193
y = 5E+31x -12. 961 R2 = 0.7452
Curah Hujan (mm/jam)
80
Curah Hujan (mm/jam)
Curah Hujan (mm/jam)
90
80 70 60
Cu rah Hujan (mm/jam)
PIXEL 82
PIXEL 93 90
185
200
Suhu Kecerahan (°K)
215
230
245
260
275
290
200
305
215
230
245
260
275
Suhu Kecerahan (°K)
Suhu Kecerahan (°K)
Gambar 3-2: Contoh hasil analisis regresi dan korelasi antara data curah hujan dari QMorph dan suhu kecerahan awan dari MTSAT untuk pixel tertentu Curah hujan (QMorph) dan Suhu Kecerahan Awan (MTSAT-1R) pada selang kepercayaan (confidence level) 95%
Curah Hujan QMorph (mm/jam)
60
50
40
-10.256
y = 2E+25x 2 R = 0.9837
30 20
10
299 297 295 293 291 289 287 285 283 281 279 277 275 273 271 269 267 265 263 261 259 257 255 253 251 249 247 245 243 241 239 237 235 233 231 229 227 225 223 221 219 217 215 213 211 209 207 205 203 201 199 197 195
0
Suhu Kecerahan Awan MTSAT (°K)
Gambar 3-3: Struktur rata-rata model Marjinal antara curah hujan Qmorph dengan suhu kecerahan awan MTSAT
40
Penentuan Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data.....(Parwati et al.)
4
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis suhu kecerahan awan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph periode tanggal 1 – 10 Februari 2010 (00 – 23 UTC) dapat disimpulkan bahwa: Ada korelasi yang cukup signifikan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dan curah hujan dari data Qmorph dengan nilai korelasi (r) di atas 0.80 atau setara dengan koefisien determinasi (R2) ≥ 0.65 sebanyak 410 pixel atau 66 % dari total pixel. Semakin turun suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujannya, kecuali untuk awan cirus yang bukan awan penghasil hujan namun mempunyai suhu yang rendah. Dari hasil analisis Marjinal terhadap 410 pixel yang mempunyai R2 0.65 diperoleh persamaan berbentuk power line antara curah hujan QMorph (mm/jam) dan suhu kecerahan awan (ºK) MTSAT dengan R2 = 0.9837, yaitu: curah hujan Qmorph = 2. 1025 (suhu awan MTSAT)-10.256 5
SARAN
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang efek topografi terhadap hubungan antara curah hujan dari QMorph dengan suhu kecerahan awan dari MTSAT. Selain itu perlu juga dilakukan perbandingan dengan menggunakan sumber data curah hujan lain, seperti data TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission) dan data stasiun untuk validasi lapangan. DAFTAR RUJUKAN Anderson, C.J. Linear Mixed Models for. Longitudinal Data. EdPsych/ Psych/ Stat 587. www.ed. uiuc. edu/courses/.../lectures/longitud inal-updated_online.pdf. Fitzmaurice, G.M., Laird, N.M. and Ware, J.H., 2004. Applied Longitudinal Analysis. Hoboken, New Jersey: Wiley. (Chapters 10,
11, 12, 13). Tersedia di website www.familymed.uthscsa.edu. GMS/GOES9/MTSAT Data Archive for Research and Education. Kochi University.http://weather.is.kochiu.ac.jp/archive-e.html. Handoko, 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Hong, Yang, R.F. Adler, A. Negri, and G.J. Huffman, 2007. Flood and Landslide Applications of Near Real-time Satellite Rainfall Estimation, Journal of Natural Hazards, DOI: 10.1007/s11069006-9106-x. Hong, Y., Adler, R., and Huffman, G., 2006. Evaluation of the Potential of NASA Multi-satellite Precipitation Analysis in Global Landslide Hazard Assessment. Geophysical Research Letters, 33, L22402, doi:10.1029/2006GL028010. Janes. H., L. Sheppard, and K. Shepherd, 2006. Statistical Analysis of Air Pollution. Panel Studies: An Illustration. UW Biostatistics Working Paper Series. University of Washington. http:// www.bepress.com/uwbiostat/pape r300/. Joyce, R., J. Janowiak, and M. Zhang, 2004. Algorithm Inventory – CMORPH. Joyce, R. J., J. E. Janowiak, P. A. Arkin, and P. Xie, 2004. CMORPH: A Method that Produces Global Precipitation Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal resolution. J. Hydromet., 5, 487503. The Meteorological Satellite Center Technical Note-JMA., 2009. GSICS MTSAT Infrared Intercalibration Guide. http://mscweb. kishou. go.jp/monitoring/gsics/ir/techinfo. htm. Meteorological Satellite MTSAT series. Japan Meteorological Agency. http://www.jma.go.jp/jma/jmaeng/satellite/index.html. 41
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, 2009 :32-42
Naranjo, L., 2007. Satellite Monitors Rains that Trigger Landslides. Earth Observatory. NASA. Wardah Tahir, Zaidah Ibrahim, and Suzana Ramli, 2009. Geostationary Meteorological Satellite-Based Quantitative Rainfall Estimation (GMS-Rain) For Flood Forecasting. Malaysian Journal of Civil Engineering 21(1) : 1- 16. Yoshihiko Tahara and Nozomu Ohkawara. Status of MTSAT-1R and Recent Activities in MSC.
42
Meteorological Satellite Center/ Japan Meteorological Agency 3235 Nakakiyoto, Kiyose, Tokyo 204-0012, Japan. QMorph Data. ftp://ftp.cpc.ncep. noaa. gov/precip/qmorph/30min_8km. Kurino, T., 2008. JMA/MSC’s Status Report as the GPRC for a series of GMS/MTSAT satellites. Presentation Document of GSICS EP4 Meeting 10-11 July 2008, Geneva.