Penentuan hari raya, terlalu sering kita berselisih , ,
"Puasa adalah hari kalian semua berpuasa, dan 'Iedul Fithri adalah hari kalian semua berbuka, dan 'Iedul Adha adalah hari kalian semua menyembelih Qurban" (Riwayat Tirmidzi 693,Abu Dawud 2324,Ibnu Majah 1660, dari Abu Hurairah , dengan sanad shahih)" ‘Iedul Fitri adalah hari raya bagi ummat ini. Sudah selayaknya seluruh kaum muslimin merayakannya dengan suka cita. Akan tetapi permasalahan menentukan awal dan akhir Ramadhan, telah menjadi sebuah fenomena yang sering kali terjadi di tengah kaum muslimin. Juga termasuk di negeri ini. Hampir tiap tahun selalu ada perselisihan dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tidak jarang kita temui dalam satu RT terdapat dua versi bahkan lebih dalam memulai Ramadhan dan merayakan ‘Iedul Fithri. Sehingga makna “Al-‘Ied” yang seharusnya bermakna sesuatu yang terus berulang dengan penuh keceriaan dan kegembiraan berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang dan terus berulang setiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran. Bagimana mungkin kebahagiaan dan keceriaan hari ‘iedul fithri bisa tercipta, jika kita pada hari ini telah berhari raya, sementara tetangga kita yang rumahnya tak jauh dari rumah masih menyempurnakan bilangan Ramadhannya?? Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan keluar lain dalam menghadapi perselisihan diatas, kecuali dengan beramal diatas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju ridho Allah . Setiap perselisihan harus kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan kita kembalikan sebagaimana para salafush shaleh menghadapinya. MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA??? Perselisihan dalam menentukan hari raya ini telah terjadi diantara para ‘ulama terdahulu. Akan tetapi perselisihan ini makin diperparah dengan masuknya orang-orang yang sedikit ilmunya, atau orang orang yang cenderung mengikuti akal dan hawa nafsunya, yang masuk kedalam kancah permasalahan ini, sehingga makin memperkeruh permasalahan ini. Perselihan dalam menentukan hari raya ini, sebenarnya berasal dari beberapa permasalahan;
1 | P a ge
Pertama, Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal, dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Kedua, Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika terlihat hilal pada suatu negara, apakah wajib bagi ummat Islam dinegara lain mengikutinya? Ataukah setiap negeri mengikuti mathla’nya negerinya sendiri. Ketiga, mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan hari raya. Sebagian kelompok tidak sependapat dengan pemerintah, dan mengambil tindakan sendiri yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi dengan mengikuti negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadi kekacauan dan perselisihan dalam satu negeri dalam berhari raya. Keempat, Akibat sikap ta’ashub atau fanatik yang berlebihan terhadap lembaga atau organisasi tertentu, atau seseorang yang sangat ditokohkan. Banyak berbagai lembaga atau organisasi yang secara sendiri-sendiri menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dan mereka berbeda pandangan dalam penentuannya, yang mana perbedaan itu pada dasarnya berakar pada tiga hal yang diatas. Sehingga hasilnya pun terjadi perbedaan, dan perbedaan ini semakin diperuncing dengan adanya orang-orang yang ta’ashub dan taqlid membabi yang buta terhadap organisasinya atau kelompoknya. Sebagian kalangan awam tidak mau menerima pendapat selain dari organisasinya, walaupun dia tahu bahwa pendapat itu ganjil atau bahkan terangterangan salah. RU’YAH ATAU HISAB ??? Permasalahan ini seringkali membuahkan perselisihan yang tajam. Sebagian orang menggunakan ru’yah yaitu dengan melihat hilal. Sebagian lagi dengan menggunakan hisab, yaitu dengan perhitungan menurut ilmu astronomi dan dalil logika lainnya. Dalam masalah ini cobalah kita untuk merenungi firman Allah :
! " #
$ &% ' ( ") * + ! “Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpuasa” (Al Baqarah: 185) Juga perhatikanlah hadits berikut ini;
. /= ' /! , 9 2 : <; J 8 7 , 6 2 3 45 /! ,, ") . / ' 10 / >) 2|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
“Orang-orang berusaha melihat hilal tanggal satu (Ramadhan). Maka aku khabarkan kepada Rasulullah J bahwa aku melihatnya. Maka Rasulullah J berpuasa dan memerintahkan manusia agar berp[uasa pada hari itu” (Riwayat Abu Dawud, dari Ibnu ‘Umar , dengan sanad shahih) Dalam hadits lain dinyatakan:
C D /=! $ &% =E $ F% /! ,/" &% B < 9 @ ! ? 9 @ A + G G “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (awal Ramadhan) dan berbukalah (berhari Raya) kamu karena melihat bulan (Awal Syawwal), dan berhajjilah kamu juga karena melihat bulan. Apabila bulan tertutup dari (pandangan) kamu, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari (dari bulan sebelumnya)” (Riwayat Muslim) Dari dalil-dalil diatas telah sangat jelas bahwa dalam menentulkan awal dan akhir Ramadhan, dan juga awal bulan lainnya adalah dengan cara melihat bulan atau Ru’yah bukan dengan cara hisab. Serta masih banyak dalil lain dari Sunnah yang tidak bisa kami sampaikan disini Sesungguhnya syari’at ini sangatlah mudah, dan bisa diamalkan oleh semua orang. Syari’at ini hanya memerintahkan kita untuk melihat bulan, dan jika ternyata tidak terlihat lantaran belum muncul atau tertutup mendung maka kita hanya diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari. Karena bulan Hijriyah hanya berkisar pada 29 atau 30 hari, tidak kurang atau lebih darinya. Islam tidak membebani ummatnya dengan ilmu astronomi yang tidak semua orang memahaminya. Juga Islam tidak membebani dengan peralatan yang super canggih untuk melihat bulan. Kita hanya diperintahkan untuk melihatnya dengan mata telanjang, yang itu bisa dilakukan oleh semua orang yang sehat. Sehingga dengan kemudahan syari’at ini seharusnya tidak muncul ungkapan; “Bulan sebenarnya sudah muncul, tetapi belum terlihat karena masih sekian derajat dibawah ufuk.” Atau istilah-istilah lainnya. Karena bila belum terlihat, maka kita hanya diperintahkan menyempurnakan bilangan bulan 30 hari, tidak menduga-duga dengan ungkapan-ungkapan konyol seperti diatas. Menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan serta meninggalkan ru’yah, ditakutkan akan terkena ancaman Allah : yaitu orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kebenaran. Karena telah jelas kebenaran dari Al Qur’an dan Sunnah, juga pengamalan dari salaful ummah. Sedangkan penggunaan hisab, hanya dilakukan oleh orang belakangan serta tidak di dukung oleh nash yang shahih. 3|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
Ilmu hisab, bukanlah bagian dari Islam. Ia diambil dari ilmu perbintangan dari kalangan filsafat. Lantas layakkah bagi kita mengambil dari luar Islam, serta membuang sesuatu yang telah tsabit merupakan sunnah Rasulullah J???. Bukankah dengan mengamalkan suatu sunnah Nabi J kita mendapatkan suatu keutamaan??? Bukankan Nabi J adalah sebaik-baik teladan??? Selain itu pembahasan penentuan awal dan akhir Ramadhan dengan Ru’yah adalah sudah bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berturut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk ijtihad setelah adanya ijma’. Mengenai masalah ini Laj’nah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta, (Komite tetap urusan fatwa Saudi Arabia) menyatakan; “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi meskipun demikian Allah berfirman: “Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpuasa” (Al Baqarah: 185) Dan Rasulullah J menerangkan lebih jelas dengan sabda beliau J : “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (awal Ramadhan) dan berbukalah (berhari Raya) kamu karena melihat bulan (Awal Syawwal)” (Riwayat Muslim) Maka beliau J mengaitkan mulai dan akhir puasa Ramadhan dengang melihat hilal dan tidak mengaitkan dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun dia mengetahui ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalanannya. Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan Nabi-Nya J dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan ijma dari para ‘Ulama’. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintangbintang, maka pendapatnya aneh dan tidak bisa digunakan” (Tertanda; Ketua; ‘Abdul ‘Aziz, Wakil Ketua; ‘Abdur Razaq Afifi, Anggota; ‘Abdullah bin Qu’ud) (Fatawa Ramadhan 1/118-119) MASALAH PERBEDAAN MATHLA’ ANTAR WILAYAH Yang dimaksud dengan Mathla’ adalah saat terbitnya hilal di suatu daerah. Seiring dengan peredaran bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, telah menyebabkan perbedaan terbitnya hilal di masingmasing wilayah. Hanya saja, kemudian muncul pertanyaan, apabila hilal telah terlihat pada suatu negeri, apakah wajib negeri yang lain untuk mengikutinya??? Ataukah setiap negeri harus melihat di tempatnya masing-masing?? Para 4|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
‘ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada beberapa pendapat tentang masalah ini; Pendapat pertama; Jika hilal telah terlihat di suatu negeri,maka wajib bagi kaum muslimin di negeri lain untuk mengikutinya. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama’ Syafi’iyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan; “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk suatu negeri, maka seluruh negeri yang lain wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i” (Al Mughni IV/328) Pendapat kedua;Setiap negeri melihat hilal di tempatnya masingmasing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ Syafi’iyah Pendapat ketiga; Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempatnya masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan. Ibnu Qudamah
8 H2 berkata; “Sebagian ‘Ulama mengatakan, kalau
kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan, seperti kota Baghdad dab Bashrah. Penduduk kedua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari dua kota ini. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan seperti; Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing” (Al Mughni IV/328). Diantara ‘ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syikh Muhamamd bin Shalih Al Utsaimin
8 =H2
(Lihat Syarhul Mumti’
VI/322) Pendapat keempat, Kaum Muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah negeri mereka menetapkan awal dan akhir Ramadhan, maka wajib bagi penduduk negeri tersebut mengikutinya. Dari keempat pendapat tersebut, maka semua pendapat sepakat bahwa mereka memulai dan mengakhiri Ramadhan secara bersamaan dalam suatu wilayah, walaupun terjadi khilaf apakah daerah lain wajib mengikutinya atau tidak. Ini yang seharusnya kita jadikan renungan. Apa yang terjadi dinegeri ini sungguh aneh dan melenceng dari keempat pendapat diatas. Terkadang dalam satu komplek perumahan atau RT terdapat dua versi dalam berhari raya, bahkan sampai ada satu masjid yang menyelenggarakan dua kali shalat ‘ied. Ini sungguh telah jauh dari tuntunan syari’at. 5|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
Dari keempat pendapat diatas maka yang terpilih dan Rajih adalah pendapat pertama, yaitu jika hilal telah terlihat pada suatu negeri, maka wajib bagi negeri lain untuk mengikutinya (Wallahu A’lam). Pendapat inilah yang mayoritas ‘Ulama daridahulu hingga sekarang, seperti Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa XXV/105), Asy Syaukani (Nailul Authar IV/203-210), Syeikh Al Albani (Ash Shahihah VI 235), dan ulama’ulama lainnya
8 $"H2.
MENGHADAPI KHILAF’ PEMBERLAKUAN MATHLA’ Dari keempat pendapat diatas, memang yang rajih dan terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu jika hilal telah terlihat pada suatu negeri, maka wajib bagi negeri lain untuk mengikutinya. Ini adalah harapan kita semua. Alangkah indahnya jika kaum musliminin seantero dunia bisa berhari raya secara bersamaan. Suara takbir dan tahmid akan berkumandang diseluruh pelosok dunia. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Karena negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Dan masingmasing negara memiliki kebijakan sendiri-sendiri, yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Termasuk dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga jangankan berangan-angan untuk menyatukan semua kaum muslimin, untuk menyatukan mereka disetiap negeri untuk berhari raya secara bersamaan pun saat ini terasa amat sulit. Jalannya berbelit-belit. Akan tetapi dalam menghadapi masalah ini janganlah kita berputus asa, para ‘ulama telah memberikan solusi untuk pemecahannya. Sehingga melihat kondisi kaum muslimin saat ini, maka jalan satusatunya adalah dengan menerapkan pendapat keempat. Yaitu; kaum muslimin wajib berhari raya bersama pemerintah dimana ia tinggal. Sampai nantinya kaum muslimin bersatu dibawah satu pemerintahan, atau negeri-negeri Islam saling berkonsolidasi dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Inilah kesimpulan yang diambil oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
8 H2, beliau mengatakan; “Sampai nanti Negara-negara Islam
mencapai kesepakatan dalam masalah ini. Maka menurutku, setiap orang harus berpuasa mengikuti kebijakan pemerintah negaranya. Jangalah ia terpisah seorang diri. Sebagian orang berpuasa bersama pemerintahnya, sebagian lain bersama Negara lain” (Tamamul Minah hal.398) Demikian pula Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
8 H2, beliau
mengatakan; “Inilah –berpuasa bersama Negara masing-masing- yang 6|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
dipraktekan oleh kaum muslimin saat ini. Yaitu apabila telah ditetapkan pemerintah, maka wajib bagi kaum muslimin yang berada dibawah kekuasaannya untuk berpuasa dan berhari raya” (Syarhul Mumti’ VI/322) Syeikh ‘Abdul ‘Aziz Bin Baaz
8 = =H2
juga mengatakan; “Tidak
diragukan lagi, sesungguhnya puasa kaum muslimin dengan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan (bulan) dinegeri mereka. Itulah yang lebih dekat kepada dzahir dalil-dalil syari’at. Tetapi jika tidak memungkinkan, maka yang lebih dekat kepada kebenaran , yaitu yang telah kami sebutkan diatas, yaitu berpuasa bersama dengan pemerintah” (Fatawa Ramadhan 1/124) BERHARI RAYA BERSAMA PEMERINTAH Tatkala syari’at menyeru kaum muslimin untuk bersatu dan berpegang teguh dengan tali agama Allah ,, serta melarang dari perpecahan dan perselisihan setelah datang kebenaran, maka menta’ati dan mematuhi pemerintah Muslim menjadi salah satu landasan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah”. Banyak kitab aqidah yang menerangkan masalah ini. Sebab dengan mentaati dan mematuhi pemerintah, akan memperlancar secara bersamaan kemashlahatan agama dan dunia. Akan tetapi ketaatan ini hanya berlaku kepada hal yang ma’ruf semata, tidak dalam hal maksiat. Sedangkan dalam berpuasa dan berhari raya maka kita disyari’atkan untuk melaksanakan secara bersama-sama, yaitu serempak dengan kebanyakan orang, maka pemerintahlah yang bisa menyatukan hal ini. Rasulullah J memerintahkan kita untuk tetap menjaga syi’ar Islam dibawah pemerintah, sekalipun telah terjadi penyelewengan dalam sebagian pelaksanaannya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan;
+ =E R
S Q P K : ! O M > N O < J D :, /K ? I$9<? J D UT ! R%
O K% V) $ G% /"9K R
UT ! I:<) Q / :O K% I/"9K P 5 R% X / Y) /"< /! ,$ " W “Bagaimana kalian?” Atau “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah kaum (dalam riwayat lain, disebutkan bahwa mereka adalah para penguasa) yang mengakhirkan shalat dari waktunya?” Aku bertanya; “Dengan apa engkau perintahkan aku?” (Jawab Nabi J); “Shalatlah engkau pada waktunya. Kemudian jika shalat ditegakan (oleh penguasa), maka shalatlah bersama mereka. Sesungguhnya hal itu menambah kebaikan” (Riwayat Muslim, dari Abu Dzar ) Imam Nawawi
8 H2 ketika mensyarah hadits diatas berkata; “Hadits
ini menunjukan anjuran untuk mengikuti penguasa pada selain maksiat, 7|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
agar persatuan tidak terpecah dan tidak terjadi fitnah” (Syarh Shahih Muslim 3/150) Demikian juga ketika melihat Amirul Mukminin Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya di Mina (tidak di qashar), ‘Abdullah bin Mas’ud
Z
mengingkarinya, teta i beliau tetap shalat bersamanya.
Kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud berkata; “Berselisih itu buruk” (Riwayat Abu Dawud, Kitab Manasik) Rasulullah J telah bersabda:
=_ `T V) ,\ ) =D ]
S /! ^% E /T [ B
$) B 17 E ^ E /b ` [ 6 ! ^a W >) ?% c)! ,^a W >) “Hendaklah seorang muslim mendengar dan mematuhi pada perkara ya
dg ia sukai atau tidak, kecuali jika ia diperintahkan untuk berbuat
maksiat. Jika ia diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka janganlah di dengar dan dipatuhi” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari ‘Abdullah bi Umar ) Berdasar keterangan diatas, maka hendaklah seorang muslim berpuasa
e
dan berhari raya bersama pemerintahnya, selama peme intah tersebut masih seorang Muslim. FATWA-FATWA SEPUTAR BERHARI RAYA BERSAMA PEMERINTAH Fatwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
8 H2 pernah ditanya tentang sebagian
penduduk disebuah kota melihat hilal bulan Dzulhijjah. Akan tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang pada dzahirnya tanggal 9 Dzulhijjah, padahal yang sebenarnya 10 (Dzulhijjah)? Syeikhul Islam menjawab; “Benar, mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yangs ecara dzahir diketahui mereka (pemerintah), meskipun pada hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (dzulhijjah), Jika ru’yah mereka benar. Sesungguhnya dalam kitab sunan (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi J, beliau bersabda:
= $ =%D /= , < $ D% ! , $ &% A 8|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
“Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa. Dan berbuka kalian adalah pada hari kalian semua berbuka. Dan hari penyembelihan kalian adalah pada hari kalian semua menyembelih” (Riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dengan sanad shahih) Dari ‘Aisyah , beliau berkata: “Rasululah J telah bersabda: “(Idul) Fithri, (yaitu ketika semua manusia berbuka. Dan Iedul Adha (yaitu) ketika semua orang menyembelih” (Riwayat Tirmidzi, dengan sanad shahih) Dan perbuatan ini
yang berlaku disemua
alangan para imam
kaum
muslimin” (Majmu’ Fatawa 25/202) Fatwa Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
8 H2
Dalam permasalahan puasa beliau berkata; “Saya berpendapat bahwa masyarakat disetiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya (pemerintahnya) sebagian berpuasa dengan Negara lain –baik puasa tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat” (Tamamul Minnah, hal 398) Fatwa Syeikh ‘Abdul Aziz bin Baaz
8 H2
Syeikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Bin Baaz
8 =H2 pernah ditanya;
Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negeri Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya Negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi Negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami cukup berpuasa dengan terlihatnya (hilal) di Saudi? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (Negara kami sendiri), ketika mereka (pemerintah) mengumumkan masuknya bulan Ramadhan?. Begitu juga dengan permasalahan masuknya bulan Syawwal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya, jika dua Negara berselisih. Semaga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin? Beliau menjawab; Setiap muslim hendaklah berpuasa bersama dengan Negara tempat ia tinggal, dan berbuka bersamanya, sesuai dengan sabda Nabi J:
, ,
"Puasa adalah hari kalian semua berpuasa, dan 'Iedul Fithri adalah hari kalian semua berbuka, dan "'Iedul Adha adalah hari kalian semua 9|Penent uan hari ray a, t erlalu serin g kit a berse lisih
menyembelih Qurban" (Riwayat Tirmidzi 693,Abu Dawud 2324,Ibnu Majah 1660, dari Abu Hurairah , dengan sanad shahih). Wa billahit taufiq. (Fatawa Ramadhan 1/112) Fatwa Laj’nah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia (komite Fatwa Saudi Arabia) Laj’nah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta, pernah ditanya: Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu hari raya ‘iedul fithi dan ‘iedul Adha? Perlu diketahui, hal ini dapat berpuasa pada hari yang diharamkan kita berpuasa, yaitu pada hari raya ‘iedul fithri, atau berbuka, pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan hujjah dihadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum muslimin Dijawab:Para ‘ulama sepakat bahwa mathla’ hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indra dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukannya atau tidaknya dalam memulai shaum Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat. (Pertama), diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya mathla’ berlaku dalam menentukan permulaan shaum dan penghabisannya. (Kedua) diantara mereka (para ‘ulama) tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah serta qiyas. Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (pengambilan dalil), seperti firman Allah
! " #
$ &% ' ( ") * + !: “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka berpuasalah” (Al Baqarah : 185) Firman-Nya :
. ) / ' O K : f U K% ^ Tf Q +) E g <%QB “Mereka bertanya kepadamu tentang Hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia” (Al Baqarah : 185) Dan Sabda Nabi J: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal), dan berbukalah dengan melihatnya” (Riwayat Nasa’i, dengan sanad shahih) Itu semua karena perbedaan mereka (para ‘ulama) dalam memahami nash dan dalam mengambil istidlal dengannya. Kesimpulannya; Permasalahan yang ditanyakan ini masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya para ‘ulama (baik dahulu maupun 10 | P e n e n t u a n h a r i r a y a , t e r l a l u s e r i n g k i t a b e r s e l i s i h
sekarang) telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ke tiga puluh, untuk mengambil hilal yang bukan mathla’ mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya. Jika sesama mereka masih berselisih pula, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya. Karena keputusanya (pemerintah) dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini ummat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahnya bukan muslim, maka mereka mengambil pendapat Majelis Islamic Center yang ada dinegara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan Shalat ‘Ied. Semoga Allah memberi taufiq dan semoga shalawat dan salam tercurahkan, keluarga dan para Shahabatnya ” (Tertanda, Wakil ketua; ‘Abdur Razaq Afifi, Anggota; ‘Abdullah Ghudayyan, ‘Abdullah bin Mani’)” (Fatawa Ramadhan 1/117) Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
8 H2 ketika menjelaskan
hadits diatas berkata; “Inilah yang selaras dengan syari’at (Islam) yang lapang, yang diantara tujuannya adalah menghimpun dan menyatukan barisan ummat Islam serta menjauhkan dari segala pendapat pribadi yang dapat memecah belah kesatuan mereka. Karenanya syari’at tidak memperdulikan pendapat pribadi (sekalipun menurut pribadi itu pendapatnya benar) dalam kaitannya dengan ibadah Jam’iyah semisal shaum Ramadhan, penentuan hari I’ied, dan shalat jama’ah” (Ash Shahihah No.224) PEMERINTAH DAN PENENTUAN HARI RAYA Dalam menentukan hari raya, pemerintah tidak akan lepas dari dua hal. Yaitu; keputusannya sesuai dengan syari’at (benar), dan keputusannya tidak sesuai dengan syari’at (Salah), dengan penjelasan sebagai berikut; Pertama, Jika keputusannya dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari’at, yaitu dengan menggunakan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal tertutup awan, maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk keluar dan membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyul ‘Amri. Permasalahan; Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah ia boleh berbuka dan berhari raya sendiri??? Jawab; Dalam hal ini. Para ‘ulama memiliki dua pendpat yang masyhur; Dia tidak dibenarkan berbuka. Tetapi hendaklah ia berbuka dan berpuasa dengan kaum Muslimin. Demikian ini adalah madzhab jumhur 11 | P e n e n t u a n h a r i r a y a , t e r l a l u s e r i n g k i t a b e r s e l i s i h
‘ulama
8 $="H2,
Hanafiyah (Fathul Qadir 2/325), Malikiyah
(Al
Qawanin, Ibnul Jauzi 102) dan Hanabilah (Al Inshaf, Al Mawardi 3/278), dan juga pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata; “Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai dengan sabda Nabi J: "Puasa adalah hari kalian berpuasa, dan 'Iedul Fithri adalah hari kalian berbuka, dan "'Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih Qurban" (Riwayat Tirmidzi 693,Abu Dawud 2324,Ibnu Majah 1660, dari Abu Hurairah , dengan sanad shahih)” Dalam mensyarah hadits diatas, Imam Tirmidzi
8 =H2
berkata;
“Sebagian Ahli Ilmu menafsirkan hadits ini; mereka mengatakan; berpuasa dan berbuka bersama orang banyak” (Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah 3/383) Dia dibenarkan untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi. Demikian ini adalah madhzab Syafi’iyah (Majmu’ syarh Muhadzab 6/286). Ini khusus bagi orang yang telah melihat hilal, dan ini tidak berlaku bagi orang lain. Akan tetapi ia berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin Dr. Ahmad Muwafi
8 H2 berkata; “Sebenarnya pendapat Syafi’iyah
dalam masalah ini cukup kuat, karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru’yah, dan dia telah yakin melihat hilal Syawwal. Dan ini cukup baginya untuk tidak berpuasa pada hari itu. Bagaimana ia di tuntut untuk berpuasa, padahal dia yakin bahwa ia telah keluar dari puasa wajib? (Telah terlihat olehnya hilal Syawwal). Ini tidak bertentangan dengan hadits: "Puasa adalah hari kalian semua berpuasa, dan 'Iedul Fithri adalah hari kalian semua berbuka, dan "'Iedul Adha adalah hari kalian semua menyembelih Qurban" (Riwayat Tirmidzi ,Abu Dawud ,Ibnu Majahdengan sanad shahih). Karena tujuan akhir dari hadits tersebut adalah menganjurkan bagi kaum muslimin yang telah melhat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya. Kalau tidak, ia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakan apa yang dilakukan oleh orang banyak atau dia dianjurkan berpuasa untuk mensepakati jama’ah kaum muslimin (mayoritas kaum muslimin), dan berbuka bersama mereka. Karena tidak mungkin baginya berbuka sebelum orang lain berbuka dan berhari raya sendirian, bukan berarti wajib baginya berpuasa. Wallahu A’lam” (Tafsir Al Fiqh Al Jami’ 1/449-450) Kedua 12 | P e n e n t u a n h a r i r a y a , t e r l a l u s e r i n g k i t a b e r s e l i s i h
Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya, misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan yang semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, maka –wallahu a’lam- tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah; demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai dengan sabda Rasulullah J; "Puasa adalah hari kalian berpuasa, dan 'Iedul Fithri adalah hari kalian berbuka, dan "'Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih Qurban" (Riwayat Tirmidzi ,Abu Dawud ,Ibnu Majahdengan sanad shahih). Imam Ash Shan’ani
8 H2 ketika mensyarah hadits ini berkata; Dalam
hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (Kebanyakan) manusia, karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat (ied), berbuka dan kurban bersama dengan mereka” ( Subulus Salam 2/134) Dari Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar berkata; “Awan menutupi kami pada hilal syawwal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar keesokan harinya untuk shalat ‘Ied” (Riwayat Abu Dawud 1157, dengan sanad shahih) Imam Asy Syaukani
8 =H2 menyebutkan, diperbolehkan shalat ‘Ied
pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan linnya, dengan mengqiyaskan dengannya” (Nailul Authar 25/206) Lebih tegas lagi syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
8 H2 berkata; “Jika
dikatakan, bisa saja pemerintah yang diserahi tugas untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau pemerintah bersandarkan dengan perkatan ahli Nujum yang menyatakan melihat hilal. Maka dikatakan (kepada mereka); “Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun), tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal; baik sebagai 13 | P e n e n t u a n h a r i r a y a , t e r l a l u s e r i n g k i t a b e r s e l i s i h
mijtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana telah disebutkan dalam shahih, bahwa Nabi bersabda tentang para penguasa; “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Dan jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian dan dosanya untuk mereka” (Riwayat Muslim).
Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melalaikan kelalaian atau kesalahan” (Majmu’ Fatawa 25/206)
PENUTUP Demikianlah sekilas uraian tentang upaya untuk menyatukan awal dan akhir Ramadhan. Sudah selayaknya kaum muslimin berhari raya bersama pemerintah serta meninggalkan pendapat pribadi atau kelompoknya. Telah jelas dan terang syari’at ini berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan bimbingan para ‘ulama Ahlus sunnah wal jama’ah. Sungguh terang dan lurus jalan bagi orang yang ingin mengikuti kebenaran dan kegelapanlah bagi mereka yang nenyelisihinya.
hV /=BSc> $"W4 + 4A ? E 8 ,62 E 8 A + ( -------------------------------------------------Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru - Bekasi, untuk berlangganan hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080 (Abu Laili)
14 | P e n e n t u a n h a r i r a y a , t e r l a l u s e r i n g k i t a b e r s e l i s i h