PENENTUAN GEOMETRI ROTOR DAN ANALISIS PARAMETER KINERJA TURBO-EKSPANDER RADIAL UNTUK SISTEM SIKLUS RANKINE ORGANIK
TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung
Oleh:
MAULANA ARIFIN NIM: 23111032 Program Studi Magister Teknik Mesin
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014
PENENTUAN GEOMETRI ROTOR DAN ANALISIS PARAMETER KINERJA TURBO-EKSPANDER RADIAL UNTUK SISTEM SIKLUS RANKINE ORGANIK TESIS
Oleh:
MAULANA ARIFIN NIM: 23111032 Program Studi Teknik Mesin
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui Tim Pembimbing
Tanggal 23 September 2014 Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek NIP. 19590507 198702 1001
Dr. Budi Prawara NIP. 19720530 199703 1001
ABSTRAK PENENTUAN GEOMETRI ROTOR DAN ANALISIS PARAMETER KINERJA TURBO-EKSPANDER RADIAL UNTUK SISTEM SIKLUS RANKINE ORGANIK Oleh:
MAULANA ARIFIN NIM: 23111032 Program Studi Teknik Mesin
Dalam beberapa tahun terakhir, karena kelayakan dan kehandalannya, Siklus Rankine Organik (ORC) telah menjadi perhatian yang luas dan menjadi subjek penelitian. Pada sistem ORC, komponen ekspansi atau ekspander merupakan komponen yang sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya performa yang dihasilkan. Tesis ini membahas desain turbo-ekspander radial untuk sistem ORC. Tahapan desain terdiri dari desain awal dan desain detail dengan metode parametrik pada beberapa fluida kerja (R134a, R143a, R245fa, n-Pentane, dan R123) untuk menentukan geometri dan estimasi awal performa dari rotor turboekspander radial. Setelah itu, dilakukan juga studi numerik pada daerah aliran fluida dalam rotor turbo-ekspander radial dengan R134a dan R123 sebagai fluida kerja. Analisis dilakukan dengan menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) ANSYS Multiphysics pada dua model gas real, k-epsilon dan SST (shear stress transport). Dari hasil analisis ini diperoleh perbandingan bilangan Mach, distribusi tekanan, kecepatan dan temperatur sepanjang bilah rotor turboekspander radial serta estimasi performa pada berbagai kondisi operasi. Pada analisis dengan menggunakan metode parametrik, pada laju aliran massa 0,4 kg/s, temperatur inlet 373 K, tekanan inlet 5 bar, putaran rotasional 15000 rpm, koefisien beban (Ψ) 0,90 dan koefisien aliran (ϕ) 0,30 dihasilkan diameter rotor (r4) untuk fluida kerja R134a, R123, R145fa, R143a, dan nPentane secara berurutan yaitu 100 mm, 93 mm, 91 mm, 101 mm, dan 104 mm. Sedangkan performa yang dihasilkan masing-masing yaitu sebesar 10 kW, 7,7 kW, 7,4 kW,
i
9,2 kW, dan 9,6 kW, dengan efisiensi total-to-static (ηts) masing-masing sebesar 0,71, 0,66, 0,66, 0,70 dan 0,71. Pada analisis CFD dengan jumlah grid 250000 (fine grid), model gas real SST pada keadaan steady, laju aliran massa 0,4 kg/s, putaran rotasional 15000 rpm, tekanan inlet rotor sebesar 5 bar, dan temperatur inlet 373 K, fluida kerja R134a menghasilkan daya sebesar 6,7 kW, dan fluida kerja R123 menghasilkan daya sebesar 5,5 kW. Setelah didapatkan geometri dan performa rotor turbo-ekspander radial, proses selanjutnya yaitu pembuatan prototipe rotor menggunakan mesin 3D rapid prototyping SLM (Selective Laser Melting). Hasilnya menunjukan rotor dengan material Alumunium Silicon Powder (AlSi) dapat dibuat dengan baik sesuai geometri perancangan dalam waktu 4 jam dengan total biaya 12 juta rupiah. Perbandingan antara hasil analisis parametrik dan CFD menunjukan performa yang berbeda. Perbedaan disebabkan karena pada analisis CFD sudah melibatkan model gas real SST sehingga aliran turbulensi dapat diprediksi pada rotor turboekspander radial. Sedangkan pada analisis parametrik, perhitungan aliran turbulensi yang terjadi diabaikan.
Kata kunci : Organic Rankine Cycle, Turbin radial, Geometri rotor, Computational Fluid Dynamic, Selective Laser Melting
ii
ABSTRACT DETERMINATION ROTOR GEOMETRY AND ANALYSIS PERFORMANCE PARAMETERS OF TURBO-EKSPANDER RADIAL FOR ORGANIC RANKINE CYCLE SYSTEM By:
MAULANA ARIFIN NIM: 23111032 Study Program: Mechanical Engineering
In recent years, due to the feasibility and reliability, Organic Rankine cycle (ORC) has become widespread attentions and researches. In the ORC systems, component expanders is highly influential component in resulting high and low performance. This thesis discusses the design of radial turbo-expanders for ORC systems. Design phase consists of preliminary design and detailed design with parametric methods on several working fluid (R134a, R143a, R245fa, n-Pentane, and R123) to determine geometry and initial estimate of the performance turboexpander rotor radial. After that, a numerical study is carried out in area of fluid flow turbo-expander rotor radial with R134a and R123 as the working fluid. Analysis were performed using Computational Fluid Dynamics (CFD) ANSYS Multiphisycs on two real gas model, the k-epsilon and SST (shear stress transport). The results analysis shows comparative of Mach number, the distribution of pressure, velocity and temperature along the rotor blade radial turbo-expanders and estimate performance on a variety of operating conditions. Analysis using parametric methods with mass flow rate 0,4 kg/s, inlet temperature 373 K, inlet pressure 5 bar, 15000 rpm, load coefficient (Ψ) 0,90 and flow coefficient (φ) 0,30 resulting rotor diameter (r4) for the working fluid R134a, R123, R145fa, R143a, and n-Pentane are 100 mm, 93 mm, 91 mm, 101 mm, and 104 mm. While, the resulting performance of each are 10 kW, 7,7 kW, 7,4 kW, 9,2 kW and 9,6 kW, with total efficiency-to-static (ηts) 0,71, 0,66, 0,66, 0.70 and 0,71.
iii
CFD analysis with grid 250000 (fine grid), real gas model SST at steady state, mass flow rate 0.4 kg/s, 15000 rpm, inlet pressure 5 bar, and inlet temperature 373K, working fluid R134a produces power of 6,7 kW, and R123 produces power of 5,5 kW. After geometry and performance obtained, the next process is manufacture of rotor prototype using a 3D prototyping machine SLM (Selective Laser Melting). The results shows rotor with material Aluminum Silicon Powder (AlSi) can be made with either the appropriate geometry design within 8 hours. Comparison between results of parametric analysis and CFD analysis shows different performance. The differences of CFD analysis has involved the real gas model SST turbulence, so that the flow can be predicted on the rotor radial turboexpanders. While in parametric analysis, the calculation of flow turbulence that occurs ignored.
Keywords:
Organic
Rankine
Cycle,
Radial
turbine,
Computational Fluid Dynamic, Selective Laser Melting
iv
Geometri
rotor,
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
v
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdullilah, penulis dapat menyelesaikan tesis di Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Tesis yang berjudul “Penentuan Geometri Rotor dan Analisis Parameter Kinerja TurboEkspander Radial Untuk Sistem Siklus Rankine Organik” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu mata kuliah di Program Studi Magister Teknik Mesin yakni Tesis (MS 6090). Penyusunan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan dan juga menerapkan ilmu pengetahuan yang penulis peroleh di bangku kuliah. Dalam menyusun tesis ini, Penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada: 1. Istri, Anak, Keluarga, dan Orang Tua atas doa dan dukungan penuhnya untuk menyelesaikan tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek, dan Dr.Budi Prawara sebagai pembimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Dr. Ir. Leonardo Gunawan, sebagai Ketua Program Magister dan Doktor FTMD ITB 4. Prof. Dr. Ir. Yatna Yuwana Martawirya, sebagai Dekan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB 5. Dosen-dosen di Program Studi Magister Teknik Mesin atas bimbingannya. 6. Teman-teman dan pegawai di Laboratorium Termodinamika Pusat Rekayasa Industri ITB, Puslit Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI atas kerjasama, dukungan dan diskusi-diskusinya Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini. Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi setiap pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Wassalam, Bandung, September 2014 Penulis,
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................ v DAFTAR ISI.......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii DAFTAR TABEL................................................................................................. xii NOMENKLATUR............................................................................................... xiii Bab I Pendahuluan ............................................................................................... 1 I.1.
Latar Belakang .......................................................................................... 1
I.2.
Ruang Lingkup Pembahasan..................................................................... 2
I.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
I.4.
Metodologi Penelitian............................................................................... 4
I.5.
Sistematika Penulisan ............................................................................... 6
Bab II Dasar Teori................................................................................................. 7 II.1.
Organic Rankine Cycle ............................................................................. 7
II.2.
Pemilihan Fluida Kerja .................................................................................. 11
II.3.
Turbo-Ekspander............................................................................................. 17
II.4.
CFD (Computational Fluid Dynamic) ......................................................... 23
Bab III Perancangan Radial Turbo-Ekspander ................................................... 30 III.1.
Perancangan Awal .................................................................................. 30
III.2.
Perancangan Detail ................................................................................. 44
Bab IV Proses Simulasi CFD Rotor Radial Turbo-Ekspander ........................... 53 IV.1.
Data Awal ............................................................................................... 53
IV.2.
Prosedur Simulasi ................................................................................... 55
vi
Bab V Hasil dan Analisis CFD Rotor Turbo-Ekspander ................................... 62 V.1.
Analisis Pengaruh Jumlah Elemen Grid ................................................. 62
V.2.
Simulasi dan Analisis Pengaruh Model Turbulensi................................ 66
V.3.
Studi Fisik Aliran.................................................................................... 68
V.4.
Proses pembuatan Rotor Radial Turbo-ekspander.................................. 80
Bab VI Kesimpulan dan Saran............................................................................ 83 VI.1.
Kesimpulan ............................................................................................. 83
VI.2.
Saran ....................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 Skema siklus Rankine sederhana dengan aliran prosesnya ............... 6 Gambar II.2 Diagram P-h untuk siklus Rankine sederhana dengan superheat ...... 6 Gambar II.3 Perkembangan teknologi ORC dan aplikasinya ................................. 7 Gambar II.4 Diagram P-h untuk ORC dengan fluida kerja R245fa........................ 8 Gambar II.5 Perbandingan diagram P-h antara siklus Rankine sederhana dan Organic Rankine Cycle ............................................................................. 9 Gambar II.6 Diagram T-s untuk fluida wet, isentropic, dan dry........................... 11 Gambar II.7 Pemilihan fluida kerja berdasarkan tingkat temperatur sumber panasnya.................................................................................................. 13 Gambar II.8 Klasifikasi fluida kerja pada sistem ORC berdasarkan level temperatur sumber panasnya................................................................... 13 Gambar II.9 Perbandingan kurva T-s untuk fluida kerja sistem ORC.................. 15 Gambar II.10 Grafik perbandingan nilai ODP dan GWP fluida kerja .................. 16 Gambar II.11 Komponen radial turbo-ekspander ................................................. 17 Gambar II.12 Diagram entalpi-entropi untuk radial turbo-ekspander .................. 18 Gambar II.13 Segitiga kecepatan pada rotor inlet dan outlet................................ 19 Gambar II.14 Grafik hubungan koefisien beban (Ψ) dan koefisien aliran (ϕ) ...... 20 Gambar II.15 Kecepatan spesifik vs diameter spesifik......................................... 22 Gambar II.16 Proses desain rotor radial turbo-ekspander..................................... 28 Gambar III.1 Diagram alir perancangan awal turbo-ekspander............................ 29 Gambar III.2 Parameter geometri radial turbo-ekspander pada meridional-plane 31 Gambar III.3 Contoh hasil perhitungan kecepatan spesifik vs diameter .............. 32 Gambar III.4 Grafik laju aliran massa vs daya untuk masing-masing fluida kerja38 Gambar III.5 Grafik kecepatan putaran rotasional vs diameter rotor untuk masingmasing fluida kerja.................................................................................. 39
viii
Gambar III.6 Grafik koefisien beban vs efisiensi total-to-statik untuk masingmasing fluida kerja.................................................................................. 40 Gambar III.7 Grafik koefisien beban vs mach number untuk masing-masing fluida kerja......................................................................................................... 40 Gambar III.8 Grafik koefisien aliran vs efisiensi total-to-statik untuk masingmasing fluida kerja.................................................................................. 41 Gambar III.9 Grafik koefisien beban vs mach number inlet untuk masing-masing fluida kerja .............................................................................................. 42 Gambar III.10 Diagram alir perancangan detail turbo-ekspander ........................ 43 Gambar III.11 Input parameter untuk perancangan detail turbo-ekspader .......... 44 Gambar III.12 Properti fluida kerja R134a dengan model real gas Redlich-Kwong untuk perancangan detail ........................................................................ 45 Gambar III.13 Grafik kecepatan spesifik vs diameter spesifik pada diagram cordier ..................................................................................................... 46 Gambar III.14 Kontur meridional rotor radial turbo-ekspander ........................... 47 Gambar III.15 Nilai segitiga kecepatan hasil perhitungan oleh perangkat lunak perancangan detail pada rotor radial turbo-ekspander ............................ 48 Gambar III.16 Hasil akhir rancangan detail rotor turbo-ekspander ...................... 49 Gambar IV.1 Rotor radial turbo-ekspander hasil perancangan............................. 50 Gambar IV.2 CFD setup untuk rotor radial turbo-ekspander ............................... 53 Gambar IV.3 Domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor radial turboekspander ................................................................................................ 54 Gambar IV.4 Hasil meshing dari ANSYS TurboGrid untuk radial turbo-ekspander ................................................................................................................. 55 Gambar IV.5 Hasil meshing blade untuk domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor turbo-ekspander.................................................. 55 Gambar IV.6 Hasil meshing elemen blade pada 50% span untuk domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor radial turbo-ekspander 56
ix
Gambar IV.7 Domain komputasi dari ANSYS CFX untuk rotor radia turboekspander ................................................................................................ 58 Gambar V.1 Hasil jumlah masing-masing grid untuk model rotor radial turboekspander ................................................................................................ 59 Gambar V.2 Pola aliran untuk model rotor radial turbo-ekspander dengan jumlah grid yang berbeda (fluida kerja R123a pada putaran 20000 rpm) .......... 60 Gambar V.3 Grafik untuk model rotor turbo-ekspander dengan jumlah grid yang berbeda pada Fluida Kerja R123 (a) dan R134a (b) pada putaran 15000, 20000, dan 30000 rpm ............................................................................ 61 Gambar V.4 Sejarah konvergensi komputasi dari ANSYS CFX untuk rotor radial turbo-ekspander dengan model FineGrid (250000)................................ 63 Gambar V.5 Kontur kecepatan untuk model turbulensi k-epsilon dan SST ......... 64 Gambar V.6 Kontur kecepatan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R123 ......................... 66 Gambar V.7 Kontur tekanan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R123 ......................... 64 Gambar V.8 Kontur bilangan mach untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R123 ................ 68 Gambar V.9 Kontur kecepatan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R134a ....................... 69 Gambar V.10 Kontur tekanan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R134a ....................... 70 Gambar V.11 Kontur bilangan mach untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R134a............... 71 Gambar V.12 Kontur bilangan mach untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) dengan variasi putaran rotor 15000 rpm untuk fluida kerja R123 .......................................................................... 73
x
Gambar V.13 Kontur bilangan mach untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) dengan variasi putaran rotor 15000 rpm untuk fluida kerja R134a......................................................................... 73 Gambar V.14 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) dengan variasi putaran rotor 15000 rpm untuk fluida kerja R123 dan R134a .................................................................. 73 Gambar V.15 Grafik distribusi tekanan untuk aliran steady pada rotor radial turboekspander untuk fluida kerja R123 ......................................................... 74 Gambar V.16 Grafik distribusi tekanan untuk aliran steady pada rotor radial turboekspander untuk fluida kerja R134a ....................................................... 74 Gambar V.17 Kontur bilangan mach untuk aliran steady pada rotor radial turboekspander untuk fluida kerja R123 ......................................................... 75 Gambar V.18 Kontur bilangan mach untuk aliran steady pada rotor radial turboekspander untuk fluida kerja R134a ....................................................... 75 Gambar V.19 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada rotor full radial turboekspander untuk fluida kerja R123 untuk 0, 15000, 20000,dan 30000 rpm ................................................................................................................. 76 Gambar V.20 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada rotor full radial turboekspander untuk fluida kerja R134a untuk 0, 15000, 20000,dan 30000 rpm .......................................................................................................... 76 Gambar V.21 Perbandingan daya yang dihasilkan rotor turbo-ekspander dengan fluida kerja R123 dan R134a dengan ANSYS CFX............................... 77 Gambar V.22 Diagram alir proses pembuatan rotor radial turbo-ekspander untuk system ORC ............................................................................................ 78 Gambar V.23 Mesin 3D Prototyping SLM (Selective Laser Melting) di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI ................................... 79 Gambar V.24 Rotor radial turbo-ekspander hasil perancangan dan pembuatan... 79
xi
DAFTAR TABEL Tabel II.1 Daftar fluida kerja yang telah dipakai di industri penelitian (Cirincione 2011) ......................................................................................................... 9 Tabel II.2 Rekomendasi fluida kerja untuk aplikasi sistem ORC (Bao & Zao 2013) ....................................................................................................... 12 Tabel II.3 Perbandingan sifat fluida kerja untuk sistem ORC .............................. 14 Tabel III.1 Data parameter input dan hasil perhitungan pada rotor inlet .............. 35 Tabel III.2 Data hasil perhitungan untuk rotor outlet dan performa rotor radial turbo-ekspander....................................................................................... 36 Tabel III.3 Data hasil perhitungan untuk performa rotor radial turbo-ekspander. 37 Tabel III.4 Data hasil perhitungan dimensi rotor untuk masing-masing fluida kerja pada ANSYS BladeGen.......................................................................... 48 Tabel IV.1 Data operasional untuk analisis CFD ................................................. 50 Tabel IV.1 Data properti fluida kerja untuk rotor radial turbo-ekspander............ 55 Tabel V.1 Jumlah masing-masing grid untuk analisis CFD model rotor radial turbo-ekspander....................................................................................... 57 Tabel V.2 Daya dan efisiensi yang dihasilkan untuk model rotor radial turboekspander dengan jumlah grid yang berbeda (R123 dan R134a) ........... 58 Tabel V.3 Waktu komputasi dan jumlah iterasi pada model turbulensi untuk rotor radial turbo-ekspander ORC dengan fluida kerja R123 untuk putaran rotasional 20000 rpm .............................................................................. 60
xii
NOMENKLATUR Simbol A B b C c CD Cf Cp Cv Cs D d Ds E er h K k L l M m ṁ N Ns Nu P p Q R r Re s T t U V W Ws Z z α β δ
Keterangan Luas permukaan Blockage, Tinggi Diffuser throat Tinggi bilah (blade) Kecepatan Absolut Chord Koefisien Discharge Koefisien Gesek Koefisien perpindahan panas pada tekanan konstan Koefisien perpindahan panas pada volume konstan Isentropic spouting velocity Diameter Diamater Diameter spesifik Modulus young elastisitas Rasio ekspansi Entalpi Konstan, total pressure loss coefficient Specific heat ratio Loss of kincetic energy panjang Bilangan mach (mach number) massa Laju aliran massa Kecepatan putar Kecepatan spesifik Nusselt Number Daya Tekanan Kalor, laju aliran volume Gas konstan Radius, rasio tekanan Reynolds number Entropi Temperatur Tebal Kecepatan blade Kecepatan Kecepatan relatif Kerja spesifik Jumlah blade Panjang aksial Sudut alir absolut Sudut alir relatif Sudut defiasi xiii
ɛ η θ μ v ρ σ τ ν φ ξ Ψ ω Subskrip 0 a b C c D h i m max min N n o opt p R r rel ref s T t TE th ts tt x θ
Tip clearance Efisiensi Sudut arc blade Viskositas kinematik Viskositas dinamik Densitas Stress Torsi Rasio kecepatan Koefisien aliran Kinetic energy loss coefficient Koefisien beban Kecepatan angular Properti stagnasi Aksial Blade Kompresor Clearance Diamater Hub Inlet Meridional komponen Maksimum Minimum Nosel Komponen normal Outer Optimum Passage Rotor Radial komponen Relatif Nilai referensi isentropik Total,turbin Tip Trailing edge Termodinamika Total-to-statik Total-to-total Aksial komponen Tengensial komponen
xiv
Bab I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Ketertarikan akan pemanfaatan low grade heat recovery semakin meningkat secara dramatis pada sepuluh tahun terakhir ini seiring dengan meningkatnya masalah lingkungan seperti polusi udara, global warming, penipisan lapisan ozone, dan hujan asam yang disebabkan oleh percepatan konsumsi bahan bakar fosil. Sejumlah solusi baru telah diusulkan untuk menghasilkan pembangkit daya yang bersumber panas pada temperatur dan tekanan rendah, serta telah terbukti dapat diaplikasikan diberbagai bidang seperti solar thermal power, biological waste heat, engine exhaust gases, domestic boilers, dan lain sebagainya. Diantara solusi yang ditawarkan, untuk saat sekarang ini sistem Organic Rankine Cycle (ORC) merupakan yang paling banyak diteliti. ORC setidaknya memiliki dua keuntungan, yaitu sebagai sebuah sistem pembangkit daya, ORC memiliki komponen sederhana dan ketersediaan komponen yang cukup banyak di pasaran. Selanjutnya ORC juga menggunakan fluida kerja organik yang memiliki kinerja lebih baik dibandingkan air sebagai fluida kerja pada temperatur dan tekanan rendah. Berbagai macam aplikasi ORC telah dikaji pada penelitian-penelitian sebelumnya. Seperti pada pemanfaatan waste heat recovery [1][2][3], solar energy [4], kombinasi antara heat dan power (CHP) [5], geothermal [6], dan pemanfaatan panas dari gas buang dari engine [7]. Dari hasil studi eksperimental tersebut terlihat bahwa pada unit skala kecil ORC menunjukan performa yang menjanjikan untuk pembangkit listrik skala kecil terutama pada remote area, karena ORC memiliki kehandalan, jangkauan daya output yang luas, ketersediaan suku cadang komponen yang luas, serta berkurangnya jumlah komponen yang berputar sehingga kontruksi ORC dapat lebih kompak dan lebih kecil dibandingkan pada pembangkit listrik konvensional. Kane et al. Telah melakukan penelitian pada ORC dengan mini-hybrid solar power plant yang terintegrasi antara solar concentrators, dan bio-diesel engine [8]. Pengaruh penggunaan fluida kerja HCFC-123 dan scroll expander 1
menunjukan bahwa pada sumber panas dengan temperatur maksimum 1650C dan efisiensinya mencapai 12%. Pengaruh termodinamik properti fluida kerja pada performa sistem ORC telah dikaji oleh Wang et al [9]. Pada penelitian tersebut performa beberapa dari fluida kerja organik telah dianalisis dengan menggunakan model termodinamika pada perangkat lunak Matlab bersama dengan REFPROP. Hasilnya bahwa untuk fluida kerja organik R11, R141b, R113 dan R123 menunjukan performa termodinamik sedikit lebih tinggi dibanding yang lain. Akan tetapi, R245fa dan R245ca merupakan fluida kerja organik yang paling ramah lingkungan pada aplikasi engine waste heat-recovery. Banyak peneliti yang telah fokus pada studi termodinamika dari siklus ORC, dan pemilihan fluida kerja, dengan perhatian khusus pada efisiensi pembangkit daya. Di sisi lain, relatif sedikit tulisan yang diterbitkan pada perancangan dan optimasi peralatan turbomachinery. Pada dasarnya, dalam rentang daya yang relevan (5-5000 kW) dua pilihan dapat diusulkan: yaitu, turbin aksial atau turbin radial (sering disebut turbo-ekspander). Opsi terakhir ini dianggap lebih menarik, karena memungkinkan kinerja yang lebih baik pada skala lebih rendah. Oleh karena itu pengetahuan mengenai turbo-ekspander pada sistem ORC memerlukan kajian lebih lanjut. I.2. Ruang Lingkup Pembahasan Masalah yang akan dibahas pada tesis ini meliputi perancangan awal yang terdiri dari analisis segitiga kecepatan dan performa rotor radial turbo-ekspander dengan kondisi operasi yaitu temperatur inlet rotor 800C-2000C, dan tekanan inlet 1.5 – 10 bar dengan mengunakan beberapa fluida kerja (R134a, R143a, R245fa, N-Pentane, dan R123) sehingga menghasilkan prediksi geometri rotor yang menghasilkan daya maksimal dengan kisaran 5-10 kW. Selanjutnya tahap perancangan detail terdiri dari rancangan geometri dari rotor radial turboekspander sehingga menghasilkan model 3D yang dapat disimulasi CFD dan dibuat prototipenya. Perancangan detail
menggunakan
paket
program
ANSYS
untuk
mendapatkan dimensi detail aerodinamik 3D rotor radial turbo-ekspander, dan disempurnakan oleh perangkat lunak CAD Solidworks. Selanjutnya dilakukan
2
simulasi CFD menggunakan perangkat lunak Ansys-CFX untuk mendapatkan estimasi performa radial turbo-ekspander untuk aplikasi sistem ORC. Penentuan dimensi rotor radial turbo-ekspander ditentukan melalui hasil analisis energi dengan mempertimbangkan jumlah bilang mach dan analisis beban yang terjadi pada rotor. Simulasi yang dilakukan pada tesis ini adalah menyelesaikan persamaan-persamaan karakteristik dari komponen utama dari radial turboekspander, yaitu rotor radial turbo-ekspander yang telah dirangkai membentuk sistem ekspansi pada sistem ORC yang dapat menghasilkan daya sebesar 5-10 kW.
I.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah memperoleh geometri dimensi dan estimasi performa turbo-ekspander radial untuk aplikasi sistem ORC yang ramah lingkungan dengan daya sebesar 5-10 kW. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian yang dilakukan adalah: 1.
Memperoleh geometri dimensi radius rotor di bawah 250 mm dengan perkiraan performa turbo-ekspander radial untuk aplikasi sistem ORC dengan daya sebesar 5-10 kW, dengan parameter performa yaitu laju aliran massa 0,1-1,0 kg/s, kecepatan rotasional 5000-30000 rpm, temperatur inlet 8002000C, dan tekanan inlet 1,5-10 bar.
2.
Memperoleh performa turbo-ekspander radial uktuk aplikasi sistem ORC yang menggunakan fluida kerja R134a, R143a, R245fa, N-Pentane, dan R123, dengan berbagai:
Tekanan inlet dan outlet turbo-ekspander radial.
Temperatur inlet dan otlet turbo-ekspander radial.
Nilai segitiga kecepatan dan bilangan Mach fluida kerja pada Turboekspander radial.
3.
Memperoleh perbandingan performa antara hasil analisis parametrik dan analisis CFD.
3
I.4. Metodologi Penelitian Diagram alir metode penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.1. Langkah awal dalam penelitian ini adalah melakukan kajian fluida kerja serta penentuan fluida kerja yang akan digunakan pada sistem ORC. Berbagai perbandingan sifat termodinamika dan sifat ramah lingkungan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan jenis fluida kerja yang dipakai dalam penelitian. Langkah
selanjutnya
adalah
melakukan
perancangan
awal
dan
perancangan detail untuk menentukan geometri dan perkiraan performa rotor turbo-ekspander radial menggunakan metode parametrik dan paket program preliminary design ANSYS untuk radial turbin. Parameter performa yaitu laju aliran massa 0,1-1,0 kg/s, kecepatan rotasional 5000-30000 rpm, temperatur inlet 800-2000C, dan tekanan inlet 1,5-10 bar, koefisien beban dan koefisien aliran 0,11,0. Hasil dari perancangan awal dan perancangan detail ditampilkan dalam bentuk grafik yang menggambarkan hubungan berbagai variabel terhadap perubahan laju aliran massa, kecepatan rotasional, koefisien beban dan koefisien aliran. Analisis aliran fluida pada rotor turbo-ekspander radial menggunakan program CFD ANSYS CFX. Analisis dibagi menjadi beberapa bagian yaitu analisis menggunakan berbagai jumlah elemen grid, analisis dengan model real gas k-epsilon dan SST, analisis dalam keadaan steady dengan berbagai putaran rotor yang berbeda. Hasil analisis menunjukan perkiraan performa dari rotor turbo-ekspander radial. Hasil analisis CFD kemudian dibandingkan dengan hasil perancangan awal dan perancangan detail dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Tahap selanjutnya adalah proses pembuatan prototipe rotor turboekspander radial menggunakan mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting) menggunakan material Alumunium Silicon Powder (AlSi). Sistematika kerja dalam penyelesaikan penelitian ini, penulis melakukan studi pustaka dan analisis numerik untuk simulasi perancangan awal, perancangan detail, serta simulasi CFD rotor turbo-ekspander radial. Pada studi pustaka penulis berusaha mengumpulkan dan memahami data-data teoritis dari berbagai sumber,
4
seperti: buku, paper, artikel, standar, dan penelusuran dari internet yang menunjang dan relevan dengan topik yang dibahas.
Mulai
Studi Pustaka
Kajian dan pemilihan fluida kerja
Perancangan awal dan perancangan detail untuk menentukan geometri dan perkiraan performa rotor turbo-ekspander radial
Analisis aliran fluida menggunakan ANSYS CFX untuk mendapatkan perkiraan performa rotor turbo-ekspander radial
Pembuatan rotor turbo-ekspander radial menggunakan mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting)
Kesimpulan Penelitian
Selesai
Gambar 1.1 Diagram alir metode penelitian
5
I.5. Sistematika Penulisan Penulisan laporan tesis ini terbagi ke dalam enam bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang, ruang lingkup pembahasan, tujuan penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan. Bab II berisi dasar-dasar teori dari sistem ORC dengan menggunakan fluida organik. Dasar teori ini mencakup pendahuluan pemilihan fluida kerja, siklus ORC beserta aplikasinya, dan komponen-komponen pendukung siklus ORC. Selain itu akan dibahas mengenai perangkat lunak yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini yaitu Microsoft Excel, Ansys-BladeGen, Ansys CFX, dan Solidworks. Penentuan dimensi stator dan rotor turbo-ekspander akan dibahas pada Bab III. Bab ini membahas perancangan awal dan perancangan detail dengan kondisi operasi yang digunakan untuk penentuan dimensi rotor radial turboekspander. Hasil penentuan dimensi berupa gambar desain rotor radial turboekspander akan ditunjukan pada bab ini. Selain itu, analisis kondisi aliran pada rotor akan menjadi bahasan pada bab ini. Bab IV berisi mengenai tahapan dan prosedur proses simulasi CFD pada rotor radial turbo-ekspander Bab V berisi mengenai hasil simulasi CFD pada rotor radial turboekspander menggunakan fluida kerja R134a dan R123 yang terdiri dari perbandingan jumlah elemen grid, perbandingan dua model turbulensi k epsilon dan SST, serta studi fisik aliran yang dihasilkan oleh rotor radial-turbo-ekspander. Bab terakhir yakni Bab VI berisi mengenai kesimpulan disertai dengan saran-saran mengenai tesis ini. Kesimpulan pada bab terakhir ini akan berisi mengenai hasil akhir yang didapat dari tesis ini. Selain itu, saran-saran selama melaksanakan tesis akan ditulis pada bab ini.
6
Bab II Dasar Teori
II.1.Organic Rankine Cycle Pengembangan sistem siklus rankine dengan memanfaatkan bahan bakar fosil merupakan metode yang masih dominan untuk saat ini. Seperti yang telah diketahui, percepatan konsumsi bahan bakar fosil telah menyebabkan banyak masalah yang serius pada lingkungan seperti polusi udara, global warming, penipisan lapisan ozone, dan hujan asam [10]. Cara efektif untuk memanfaatkan energi pada temperatur rendah dan menengah yang pada saat ini belum berkembang dengan baik merupakan salahsatu solusi untuk mengurangi kekurangan energi dan masalah pencemaran lingkungan. Secara umum Siklus Rankine sederhana mempunyai 4 proses seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 dan diagram P-h (pressure-entalphy) pada Gambar 2.2. Proses 1-2 merupakan proses kompresi pada pompa. Proses 2-3 proses vaporasi pada boiler. Proses 3-4 proses ekspansi pada turbin. Proses 4-1 proses kondensasi pada kondensor. Aliran Panas Evaporator /Penukar Kalor (Heat Exchanger)
2
3 Turbo-ekspander
uap cair 1 Pompa
Kondensor Penukar Kalor (Heat Exchanger)
4
Generator
Aliran Dingin
Tekanan (Mpa)
Gambar 2.1 Skema Siklus Rankine sederhana dengan aliran prosesnya.
Entalpi (kJ/Kg)
Gambar 2.2 Diagram P-h untuk Siklus Rankine sederhana dengan superheat. 7
Organic Rankine Cycle (ORC) telah dipelajari baik secara teori [11] maupun ekperimental [12] sejak tahun 1970-an, dengan hasil efisiensinya di bawah 10 % untuk sistem skala kecil. Studi eksperimental umumnya menggunakan vane ekspander [13] dan fluida kerja dengan nilai ODP (Ozone Depleting Potential) yang masih tinggi, seperti refrigerant R11 dan R13. Aplikasi ORC yang sudah komersial pertamakali muncul di akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an dengan pembangkit tenaga listrik skala menengah yang dikembangkan untuk geothermal (panas bumi) dan energi surya. Gambar 2.3 menunjukkan perkembangan ORC dari tahun ke tahun dan aplikasi sistem ORC pada Biomassa, Solar Energy, Geothermal, dan Wast Heat. Daya terpasang
Proyek teridentifikasi Solar Jumlah project teridentifikasi
Daya terpasang (MW)
Waste Heat
Biomassa Geothermal
Gambar 2.3 Perkembangan teknologi ORC (a) dan aplikasinya (b) [14]
Saat ini lebih dari 200 pembangkit telah teridentifikasi, dengan lebih dari 1800 MW yang telah terpasang, dan jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagain besar pembangkit yang terpasang untuk aplikasi CHP (Combined Heat and Power) biomassa, diikuti kemudian oleh geothermal dan aplikasi WHR (Waste Heat Recovery). Namun perlu dicatat bahwa aplikasi sistem pembangkit daya pertama yang terpasang adalah aplikasi pada sistem geothermal. [15]. Tata letak sistem ORC lebih sederhana dibandingkan dengan sistem siklus Rankine, dimana tidak ada drum uap air yang terhubung dengan boiler dan ORC menggunakan penukar panas tunggal yang dapat digunakan untuk melakukan tiga fase proses evaporasi :
8
preheating, penguapan, dan superheating. Variasi pada siklus ORC juga terbatas, seperti reheating dan turbine bleeding secara umum tidak cocok. Akan tetapi, recuperator dapat dipasang sebagai liquid preheater diantara keluaran pompa dan keluaran ekspander, seperti terlihat diagram P-h (Pressure-entalphy) untuk sistem
Tekanan (Mpa)
ORC yang menggunakan fluida kerja R245fa pada Gambar 2.4.
Entalpi (kJ/Kg)
Gambar 2.4 Diagram P-h (pressure-entalphi) untuk Organic Rankine Cycle dengan fluida kerja menggunakan R245fa [14].
Secara umum siklus ORC sangat mirip dengan siklus uap tradisional. Fluida organik secara berturut-turut dipompa, menguap, kemudian diekspansi, dan dikondensasi. Siklus ORC dengan recuperator mengambil keuntungan dari sisa panas setelah proses ekspansi untuk memanaskan fluida kerja setelah dipompa. Proses ini memungkinkan mengurangi jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan fluida kerja di dalam evaporator. Gambar 2.5 menunjukkan perbandingan diagram P-h antara Siklus Rankine sederhana dengan ORC, terlihat bahwa siklus ORC memiliki kondisi operasi temperatur dan tekanan yang rendah sehingga cocok untuk diaplikasikan di daerah terpencil atau remote area.
9
Fluida Kerja : Air
Tekanan (Mpa)
ORC: fluida kerja R245fa
Entalpi (kJ/Kg)
Gambar 2.5 Perbandingan diagram P-h antara Siklus Rankine sederhana dan Organic Rankine Cycle [14] Saat ini telah banyak penelitian dilakukan mengenai pengaruh pemilihan fluida kerja untuk aplikasi Siklus Rankine. Fluida kerja yang dikaji diantaranya ammonia, chlorofluorocarbons, hydrofluorocarbons, carbon dioxide dan lainlainnya. Banyak fluida yang memiliki sifat thermo fisik yang baik, akan tetapi tidak dipakai dikarenakan oleh sifatnya yang mudah terbakar, beracun, ketersediaan yang terbatas, harga yang terlalu tinggi, atau mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan. Tabel 2.1 merupakan contoh fluida kerja yang pada saat ini sudah digunakan di industri atau masih dalam penelitian. Tabel 2.1 Daftar fluida kerja yang telah dipakai di industri dan bidang penelitian [16] Perusahaan / Penelitian Ormat Turboden Cryostar Pratt and Whitney General Electric Free Power, UK Tri-O-Gen Nelson, Cummins Teng, AVL Electratherm Ener-g-rotors Infinity Turbine Oomori dan Ogino, Toyota
Fluida Kerja Isobutane Solkatherm R245fa, R134a R245fa R245fa n-Hexane Toluene nPentane Ethanol R245fa R143a R245fa R123
Daya keluaran 11,3 MW 1-7 MW 500 kW-12 MW 280 kW 125 kW 120 kW 60-165 kW 60 kW 11,6 kW 65 kW 40-60 kW 10-30 kW 400 W
10
II.2 Pemilihan Fluida Kerja Pemilihan fluida kerja adalah kunci penting dalam organic rankine cycle. Karena memiliki temperatur rendah, inefisiensi perpindahan panas sangat tinggi. Fluida harus memiliki termodinamik properti yang optimum pada temperatur dan tekanan yang rendah dan juga harus memenuhi beberapa kriteria seperti ekonomis, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan ramah lingkungan. Berbeda dengan karakteristik siklus termodinamika lainnya, seperti Siklus Kompresi Refrigerasi (kondisi kerja diketahui), dan Siklus Kalina (komposisi fluida kerja telah ditentukan meskipun fraksi massa berbeda), pemilihan fluida kerja pada sistem ORC lebih rumit karena alasan berikut : 1. Kondisi kerja dan jenis sumber panas dari ORC sangat luas, dari sumber panas bertemperatur rendah sekitar 800C (geothermal, solar collector)
sampai
sumber
panas
bertemperatur
tinggi
5000C
(biomassa). 2. Kecuali untuk beberapa zat yang mempunyai temperatur kritis terlalu tinggi atau terlalu rendah, ratusan zat dapat digunakan sebagai kandidat fluida kerja sistem ORC, termasuk hydrocarbons, ethers, perfluorocarbons, CFCs, alcohols, siloxane, dan inorganics. Fluida kerja dapat dikatogerikan berdasarkan kurva uap jenuhnya, yang merupakan karakteristik penting pada fluida kerja di sistem ORC. Karakteristik ini berpengaruh pada penerapan fluida kerja, efisiensi siklus, dan pengaturan peralatan dari pembangkit daya. Seperti terlihat pada Gambar 2.6 secara umum terdapat tiga tipe kurva uap jenuh pada diagram T-s (Temperature-entropy). Dry fluid dengan kemiringan positif, wet fluid dengan kemiringan negatif, dan isentropik fluid. <
a
Uap Superheated P1
Temperatur, T
Cairan Subcooled Cairan + Uap
P2
T2 1 T1 2 Uap jenuh
Cairan jenuh
Entropi, s
11
= Temperatur, T
b Cairan Subcooled
Uap Superheated P1
Cairan + Uap
P2
T2 1 T1 2 Cairan jenuh
Uap jenuh Entropi, s
>
c
Uap Superheated
Temperatur, T
P1 Cairan Subcooled
Cairan + Uap
P2
T2
1
T1
2 Cairan jenuh
Uap jenuh Entropi, s
Gambar 2.6 Diagram T-s untuk fluida (a) wet, (b) isentropic, (c) dry [17] Prestasi dari sistem ORC sangat bergantung pada properti dari fluida kerjanya yang berpengaruh pada efisiensi sistem, kondisi operasi, dampak terhadap lingkungan, dan keekonomisannya. Menurut Bao [17] hubungan antara properti fluida kerja dan kriteria prestasi termodinamika dari sistem ORC secara teoritis maupun analitis terdiri dari : penguapan latent heat, density, specific heat, temperature kritis, boiling temperature, freezing point, berat molecular, viscosity, dan conductivity. Tabel 2.2 menunjukan rekomendasi fluida kerja untuk aplikasi sistem ORC dengan kondisi operasi dan indikator prestasi yang berbeda.
12
Tabel 2.2 Rekomendasi fluida kerja pada aplikasi sistem ORC [17] Aplikasi
Temperatur Evaporasi
Temperatur Kondensasi
Rekomendasi Fluida Kerja
WHR
Temperatur Sumber Panas (0C) -
(0C) 67-287
(0C) 20
Benzene
WHR
327
-
20-60
p-Xylene
WHR
-
80-110
35-60
R123,R124
WHR
-
100-210
25
R113
WHR
145
80-140
20
R236ea
WHR
140
-
27
R123
WHR
470
96-221
35
Benzene
WHR
100-250
80-230
30
WHR
250-500
-
85
WHR
85
55-80
25
WHR
150
-
20
WHR
327
-
27-87
Benzene,n-pentane, touluene,n-octane Toluene, n-dodecane, for 5000C Butane,R145fa,R141b ,R143a R114,R245fa,R610a,R 60,R113,R123 R245fa, R245ca
Geothermal
80-115
65-100
25
Propene
Geothermal
70-90
-
-
Ammonia
Geothermal
120
100
30
Geothermal
91,1
-
28
RE134, R601, RE245,R600, R610a, R610
Biomassa
-
250-350
90
Butylbenzene
Biomassa
-
170
50
Ethanol
Solar Energi
-
60-150
35
R134a,
Solar Energi
-
120-150
15
R245fa
Solar Energi
60-160
55-155
30
Hexane, R227ea
13
Berdasarkan Wang et al. [9], optimal pemilihan fluida kerja berdasarkan tingkat temperatur sumber panasnya ditunjukan pada Gambar 2.7. sedangkan Velez et al. [14] membagi fluida kerja untuk sistem ORC menjadi tiga kelas yaitu fluida kerja refrigerant, hydrocarbons, dan siloxanes, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8. Kenaikan Temperatur
Temperatur [0C]
Gambar 2.7 Optimal pemilihan fluida kerja berdasarkan tingkat temperatur sumber panasnya. [9]
Refrigeran
Hidrokarbon
Siloksane
Gambar 2.8. Klasifikasi fluida kerja pada sistem ORC berdasarkan level temperatur sumber panasnya. [14]
Adapun persyaratan refrigeran sebagai fluida kerja ORC yaitu : 1. Tekanan penguapan harus tinggi. Sebaiknya refrigeran memiliki temperatur penguapan dan tekanan penguapan yang lebih tinggi, sehingga dapat dihindari kemungkinan terjadinya vakum pada evaporator.
14
2. Tekanan
pengembunan
tidak
terlampau
tinggi.
Apabila
tekanan
pengembunannya rendah, maka tekanan kerjanya lebih rendah sehingga bekerja lebih aman karena kemungkinan terjadinya kebocoran, ledakan, kerusakan lebih kecil. 3. Kalor laten penguapan harus tinggi. Refrigeran yang memiliki kalor laten penguapan yang tinggi lebih menguntungkan karena untuk kapasitas refrigeran yang sama, jumlah refrigeran yang bersirkulasi menjadi lebih kecil. 4. Konduktivitas termal tinggi sangat penting untuk menentukan karakteristik perpindahan kalor. 5. Viskositas yang rendah dalam fasa cair maupun fasa gas. Dengan turunnya tahanan aliran refrigeran dalam pipa, kerugian tekanan akan berkurang. 6. Refrigeran tidak boleh beracun, dan berbau. 7. Refrigeran tidak boleh mudah terbakar dan meledak. 8. Refrigeran harus mudah dideteksi jika terjadi kebocoran. 9. Harganya tidak mahal dan mudah diperoleh. Tabel 2.3 Perbandingan sifat fluida kerja untuk sistem ORC Fluida Kerja Formula Berat molekul Boiling T, 0C T kritis, 0C P kritis, MPa Panas Laten ODP GWP Flammable,AIT Toxicity Thermal stability
R134a
R143a
R245fa
n-Pentane
R123
CH2FCF3
CF3CH3
CF3CH2CHF2
C5H12
CHCl2CF3
102 -26,3 101,5 4,06 155,4 kj/kg 0 1300 NF770 A1 Stabil
84 -47,09 72,86 3,76
134 15,3 157,5 3,64 177,1 kj/kg 0 1030 NF412 B1 Stabil
72 36,0 196,5 3,36 349 kj/kg 0 20 Tinggi 260 A3 Stabil
153 27,8 183,7 3,66 168,4 kj/kg 0,02-0,06 120 NF730 B Stabil
0 4300 SF A2 Stabil
15
Gambar 2.9. Perbandingan kurva T-s untuk fluida kerja sistem ORC [10]
5000 4500 ODP GWP
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Gambar 2.10 Grafik perbandingan nilai ODP dan GWP refrigeran (LPPM-ITB; Kementrian Lingkungan Hidup; UNDP, 2004-2005)
16
Ramah lingkungan merupakan salah satu parameter yang ditinjau dalam memilih refrigeran. Saat ini penggunaan refrigeran masih didominasi oleh refrigeran yang mengandung CFC dan HCFC. Refrigeran buatan tersebut memiliki potensi pengikisan ozon (ODP (Ozone Depletion Potential)) dan juga potensi pemanasan global (GWP (Global Warming Potential)) yang dapat merusak lingkungan sekitar. Berlubangnya lapisan ozon dapat menimbulkan beberapa penyakit bagi manusia seperti kanker kulit, katarak, dan menurunnya imun tubuh yang diakibatkan oleh radiasi sinar ultra ungu. Sinar ultra ungu ini dapat masuk ke permukaan bumi dengan intensitas lebih tinggi akibat dari menipisnya lapisan ozon. Selain penipisan lapisan ozon, adanya gas rumah kaca dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Berikut Gambar 2.10 adalah perbandingan nilai ODP dan GWP beberapa refrigeran. Dari Gambar tersebut dapat dilihat, R123 dan R134a tidak memiliki nilai ODP dan nilai GWP yang rendah dibandingkan dengan refrigeran halokarbon.
II.3 Turbo-Ekspander Secara
umum,
turbo-ekspander
diklasifikasikan
sebagai
peralatan
turbomachinery di mana energi yang ditransfer dari fluida yang terus mengalir dengan aksi dinamis dari satu atau lebih yang bergerak pada sejumlah blade. Kata turbo atau turbinis berasal dari bahasa Latin yang berarti berputar [18]. Dengan terbatasnya efisiensi dari sistem ORC, ekspander merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan efisiensi dan biaya pada sistem ORC. Ekspander secara umum dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe berdasarkan kecepatannya seperti axial atau radial turbin, dan tipe berdasarkan volumenya seperti screw ekspander, scroll ekspander, dan reciprocal piston ekspander [19]. Untuk perancangan awal pada rotor turbo-ekspander digunakan prosedur dari Baines untuk merancang rotor radial turbo-ekspander. Sedangkan untuk perancangan detail digunakan prosedur dari Aungier yang terdapat pada paket program ANSYS-BladeGen. Analisis dasar untuk perhitungan stasiun (stage) pada rotor radial turboekspander diambil dari prinsip fundamental untuk turbomachinery yang dibuat oleh Japikse dan Baines (1994). Secara prinsip, komponen dan stasiun pada rotor
17
radial turbo-ekspander dapat dilihat pada Gambar 2.11. Gambar 2.12 adalah entalpi-entropi diagram untuk radial turbo-ekspander secara keseluruhan. Masingmasing stasiun (stage) yaitu volute (0-1), nozzle (1-3), rotor (4-6), dan exhaust diffuser (6-7).
Gambar 2.11 Komponen turbo-ekspander radial Fluida kerja diekspansi melalui volute, nozzle, dan rotor, dan di bawah kondisi operasi normal pada tekanan jatuh secara kontinu. Jika exhaust diffuser sesuai, sejumlah recovery tekanan statik akan terjadi, yang ditunjukan pada Gambar 2.12 berupa kurva 6-7 terjadi kenaikan entalpi. Jika turbin bekerja pada ideal dengan tanpa rugi-rugi, garis kerja merupakan garis konstan entropi yang ditunjukan oleh garis vertikal 1-6s. Pada prateknya aliran fluida tidak ideal dan terjadi rugi-rugi. Secara termodinamika, rugi-rugi ini merupakan kenaikan jumlah entropi, karena garis kerja naik kearah kanan pada garis isentropik pada diagram tersebut. Kenaikan jumlah entropi dapat diukur dengan penurunan pada tekanan total. Sebagai contoh pada volute, efek rugi-rugi mengurangi outlet tekanan total p01 dibawah inlet tekanan total p00. Jika volute dianggap ideal, tidak terjadi rugirugi dan p01=p00. Jatuhnya pada tekanan total merupakan perhitungan untuk rugirugi dan performa dari komponen seperti volute atau nozzle. Pada rotor terjadi juga tekanan jatuh sebagai hasil energi yang diekstrak dari fluida kerja untuk
18
menghasilkan daya poros. Rugi-rugi rotor perlu juga untuk dihitung dan dimodelkan.
Gambar 2.12 Diagram entalpi-entropi untuk turbo-ekspander radial Pertama, analisis rotor akan disajikan, yang merupakan komponen utama dalam menentukan performa dari turbin radial secara keseluruhan. Untuk menyederhanakan persamaannya, asumsi fluida kerja menggunakan persamaan gas ideal. Persamaan real gas mengikuti prinsip dasar yang sama. Akan tetapi, termodinamika properti fluida untuk tiap-tiap stasiun hasrus dievaluasi menggunakan model yang sesuai. Gambar 2.13 menunjukkan segitiga kecepatan dengan kecepatan absolut dan relative pada inlet dan outlet rotor.
19
Gambar 2.13 Segitiga kecepatan pada inlet dan outlet rotor
Pada saat fluida kerja mencapai rotor pada kecepatan C4 dan sudut α4. Persamaan 2-1 merupakan persamaan Euleur turbomachinery dan segitiga kecepatan. =
−
(2-1)
Stasiun 4 merupakan rotor inlet dan 6 rotor outlet. Geometri segitiga kecepatan memberikan hubungan sebagai berikut : =
+
−2
(2-2)
Kemudian dikombinasikan persamaan (2-1) dan (2-2) : = [(
)−(
−
−
)+(
−
)]
(2-3)
Untuk analisis geometrid dan segitiga kecepatan pada rotor menggunakan dua parameter non-dimensional laju aliran volumetrik dan total entalpi jatuh pada rotor stage yaitu koefisien aliran ϕ dan koefisien beban ψ. Dengan menggunakan asumsi gas ideal untuk menentukan dimensi utama pada rotor yaitu menggunakan persamaan 2-4 dan 2-5. =
=
=
=
(2-4) −
(2-5)
20
Pada Gambar 2.14 menunjukan hubungan koefisien beban dan koefisien aliran (flow) untuk radial turbin. Prosedur perancangan dimulai dengan pemilihan nilai dari koefisien beban dan koefisien aliran yang cocok untuk menghasilkan tebakan awal efisiensi dari komponen radial turbo-ekspander [22].
Gambar 2.14 hubungan koefisien beban (ψ) dan koefisien aliran (ϕ) (Baines, 2003)
Kemudian berdasarkan pada tekanan dan temperatur statik p4 dan T4. Karena asumsi tidak ada transfer kerja pada stator, dan dapat diasumsikan perpindahan panas dapat diabaikan (T04=T00). Untuk ideal stator, tekanan total juga tidak berubah (p04=p00). Selanjutnya, persamaan berikutnya menggunakan persamaan dinamik gas standar seperti pada persamaan 2-6 sampai 2-9. =
/
(2-6)
=1+
(2-8)
=
/
(2-7)
/(
= 1+
)
(2-9)
Sedangkan untuk persamaan pada rotor inlet yaitu persamaan 2-10 sampai 2-15. = ,
=
=
/ =
/
(2-10) +(
/
−
)
(2-11) (2-12) (2-13) 21
=1+
= 1+
(2-14) (
)/
(2-15)
Selanjutnya untuk analisis rotor radial turbo-ekspander menggunakan performa korelasi pada turbin secara keseluruhan dengan non-dimensional parameter. Efisiensi turbin berkorelasi dengan kecepatan spesifik seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.13. Kecepatan spesifik didefinisikan pada persamaan 2-16. =
(2-16)
/
Kecepatan spesifik merupakan hanya fungsi dari kondisi operasi dan tidak
termasuk parameter yang berhubungan langsung dengan geometri turbin. Hal ini hanya dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk atau shape secara umum dari performa turbin yang dibutuhkan dengan nilai kecepatan spesifik tertentu.
Gambar 2.15 Kecepatan spesifik vs Diamater spesifik [3]
Kecepatan spesifik tidak bergantung pada ukuran geometri dari turbin. Oleh karena itu, desain dari spesifik turbin secara teoritikal dapat dinaikan atau diturunkan ukuran skalanya tanpa merubah efisiensinya. Parameter yang
22
berhubungan dengan kecepatan spesifik, akan tetapi termasuk pada ukuran geometri turbin yaitu diameter spesifik. Adapun persamaannya sebagai berikut :
=
/
(2-17)
Dimana D merupakan diameter, secara konvensional sebagai inlet
diameter. Diameter spesifik berhubungan dengan kecepatan spesifik, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.15 dimana dapat diplot untuk kisaran operasi radial turbo-ekspander dengan poin efisiensi yang terbaik. Hubungan ini karena hubungan antara kecepatan spesifik, diameter spesifik, dan rasio kecepatan υ=U4/Cs, dimana Cs merupakan kecepatan yang akan dicapai jika fluida kerja terekspansi pada ideal nozzle sama dengan rasio ekspansi p01/pexit seperti pada turbin. Pada persamaan gas ideal dapat ditulis :
=2
(
1−
)/
(2-18)
Persamaan untuk rasio kecepatan yang berhubungan dengan Ns dan Ds yaitu : =(
/
) /
=
(2-19)
√
Setelah didapat dimensi pada turbo-ekspander radial, kemudian digunakan paket software Ansys untuk membentuk geometri dan model tiga dimensinya. Menu dimensi utama pada software Ansys BladeGen untuk menentukan dimensi dari rotor. Aliran gas real pada rotor turbin merupakan turbulen dan tiga dimensional. Secondary flows, separasi pada lapisan batas, dan resirkulasi pada area rotor dapat terjadi. Namun demikian hal tersebut sangat berguna dan sudah umum praktis digunakan pada teori perancangan turbin rotor. Untuk menyederhanakan aliran real digunakan pendekatan streamline.
23
Gambar 2.16 Kontur meridional pada radial turbin Teori 1D-streamline terdiri dari cross section pada daerah leading edge (0) dan trailing edge (3). Parameter ds menunjukkan suction diameter, d1 rotor diameter, dan b1 tinggi inlet.
II.4 CFD (Computational Fluid Dynamics) Computational Fluid Dynamics (CFD) merupakan perangkat lunak untuk mensimulasikan perilaku suatu sistem yang melibatkan aliran fluida, perpindahan panas, dan proses fisik lainnya. CFD membuat solusi untuk persamaan-persamaan aliran fluida (dalam bentuk tertentu) meliputi suatu daerah yang diinginkan, dengan kondisi pada batas-batas daerah tersebut adalah spesifik dan diketahui. CFD telah digunakan secara ekstensif selama bertahun-tahun untuk menganalisis aliran pada rotating turbomachinery. Meskipun CFD bukanlah ilmu pasti, karena hasil dari aplikasi CFD tersebut dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh modeling dan penghitungan numeriknya terjadi error, tidak tepatnya kondisi batas, detai geometri yang tidak akurat, dan asumsi yang tidak tepat pada aliran fluida.
24
II.4.1 Matematika CFD Persamaan yang menggambarkan proses momentum, transfer massa, dan transfer panas dikenal dengan persamaan Navier Stokes. Persamaan ini berupa persamaan parsial differensial dan dirturunkan pada awal abad ke 19. Solusi analitik umum dari persamaan ini dapat didiskritkan dan dipecahkan secara numeric. Persamaan-persamaan yang menggambarkan proses seperti pembakaran, dapat dipecahkan dengan persamaan Navier Stokes. Model perkiraan sering digunakan untuk menurunkan persamaan tambahan ini, salah satunya model turbulensi. Ada beberapa jumlah metode solusi yang digunakan untuk kode CFD. Metode solusi yang paling banyak digunakan menggunakan perangkat lunak ANSYS Multiphysics yang menggunakan teknik volume hingga (finite volume). Dalam teknik ini daerah analisis dibagi dalam beberapa bagian daerah yang disebut volume atur (control volume). Persamaan volume atur lalu didiskritkan dan dipecahkan secara iterasi untuk setiap volume atur. Hasilnya adalah perkiraan dari nilai setiap variabel pada titik tertentu dalam daerah domain. Dengan cara ini didapatkan gambaran penuh perilaku aliran fluida yang diinginkan. Dengan berkembangnya teknologi, CFD saat ini dipakai luas oleh industri maupun di bidang penelitian, seperti : 1. Energi dan pembangkit daya : optimasi proses pembakaran, peningkatan efisiensi turbin 2. Automotif : aerodinamika bodi kendaraan, proses pembakaran pada engine 3. Penerbangan : perancangan sayap. engine turbin pesawat 4. Lingkungan : disperse polutan di udara dan air 5. Medis : aliran pembuluh darah 6. Elektronika : perpindahan panas dalam sistem elektronika, heatsink 7. Perminyakan : aliran dalam pipa atau luar pipa
Kode-kode CFD disusun dalam struktur suatu algoritma numerik yang dapat menangani masalah fluida. Ada tiga tahap utama dalam melakukan simulasi CFD yaitu pre processor, solver, dan post processor. Pada tahapan pre processor
25
dilakukan pendefinisian geometri daerah yang akan dianalisis dan merupakan domain dari komputasi. Pembagian domain ke domain yang lebih kecil yaitu grid atau mesh dari elemen-elemen kecil (cells). Pemilihan fenomena fisik dan kimia dari masalah yang dimodelkan. Pendefinisian properti fluida. Spesifikasi kondisi batas (boundary condition) yang sesuai pada cell yang bersinggungan dengan batas domain. Solusi dari masalah fluida didefinisikan pada titik di dalam tiap cell. Akurasi dari solusi CFD diatur oleh banyaknya jumlah cell dalam grid. Secara umum semakin besar jumlah cell maka akurasi dari solusi yang dihasilkan menjadi lebih baik. Semakin banyak jumlah grid maka biaya komputasi juga semakin besar. Oleh karena itu, grid yang optimal memiliki mesh yang tidak seragam, dengan mesh yang lebih rapat di area yang menjadi titik kritis. Kemampuan yang juga dikembangkan adalah self adaptive meshing yaitu kemampuan memperhalus grid di daerah dengan variasi property tinggi. Secara umum terdapat dua bagian yang dominan di tahap pre processor, yaitu definisi geometri dari domain dan grid generation. Pada tahapan solver terdapat beberapa teknik dalam mencari solusi numerik yaitu finite difference, finite element, dan spectral method. Secara garis besar metode numeric yang menjadi dasar dari tahapan solver yaitu melakukan aproksimasi atau perkiraan dari variabel aliran yang tidak diketahui dengan memakai fungsi-fungsi sederhana. Diskritisasi dengan melakukan substitusi ke persamaan-persamaan atur aliran dan dilanjutkan dengan manipulasi matematis. Kemudian tahapan solver ini memberikan solusi pada persamaan tiap aljabar. Metode finite volume merupakan pengembangan dari metode finite difference yang memiliki formulasi khusus diantaranya integrasi dari persamaanpersamaan atur dari fluida sepanjang volume atur dari domainnya. Diskritisasi yang melibatkan substitusi dari berbagai perkiraan finite diffenrence ke persamaan yang diintegrasikan sehingga persamaan integral dirubah menjadi persamaan aljabar. Perangkat lunak CFD yang digunakan yaitu ANSYS Multiphysic. Terdapat satu persamaan yang dipecahkan yaitu persamaan Navier Stokes dalam bentuk konsevasi.
26
Persamaan kontinuitas + ∇. (
)=0
(2-27)
Persamaan momentum + ∇. (
. ) = ∇. −
Persamaan energi −
+ ∇. (
ℎ
+ (∇ + (∇ ) ) +
(2-28)
) = ∇. ( ∇ ) +
(2-29)
Htot didefinisikan sebagai specific total entalphy. Untuk kasus umum dari properti variabel dan aliran kompresibel dapat dinyatakan dalam specific static entalphy h : ℎ
=ℎ+
(2-30)
ℎ
= ℎ( , )
(2-31)
Dimana
Bila kerja viscous tidak dapat diabaikan maka persamaan ditambahkan di sisi kanan persamaan energi di atas sehingga memperhitungkan efek dari viscous shear. Persamaan energi menjadi : −
+ ∇. (
ℎ
) = ∇. ( ∇ ) + ∇.
∇ +∇
−
∇
.
+
(2-32)
Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa ada 7 variabel yang tidak diketahui yaitu u,v,w,P,T,ρ,h. Namun, satu set persamaan di atas dapat dilengkapi dengan 2 persamaan aljabar termodinamika yaitu equation of state yang menghubungkan massa jenis dengan tekanan dan temperatur. Persamaan lain adalah constitutive equation yang menghubungkan entalpi dengan temperatur dan tekanan. Apabila kontribusi energi terhadap energi total dapat diabaikan, maka persamaan energi dapat disederhanakan menjadi thermal energy equation : + ∇. (
ℎ) = ∇. ( ∇ ) +
(2-33)
Solver ANSYS Multiphysic menghitung tekanan dan entalpi statik. Untuk mencari massa jenis harus memilih thermal equation of state dan untuk mencari temperatur kita harus memilih hunbungan konstitutif. Pemilihan kedua hubungan ini tidak harus independen. Thermal equation state digambarkan sebagai fungsi temperatur dan tekanan
27
= ( , )
(2-34)
Specific heat capacity cpp dinyatakan sebagai fungsi temperatur dan tekanan =
( , )
(2-35)
Selain itu ada beberapa persamaan untuk variabel tambahan seperti persamaan transport. Bentuk umum persamaan transport untuk variabel tambahan (non reacting scalar) dengan adanya turbulensi adalah : ∅
+ ∇. ( ∅) = ∇.
Dimana :
∅
+
∇.
∅
+
∅
(2-36)
adalah massa jenis ∅ adalah kuantitas per unit volume (konsentrasi) ∅
adalah kuantitas per unit massa
∅
∅
adalah jumlah volumetrik yaitu kuantitas per unit volume per unit waktu adalah kinematic diffusivity adalah viskositas turbulensi dengan Sct adalah bilangan turbulensi Schmidt
Pada tahapan post processor kemampuan grafis yang dibutuhkan untuk menampilkan hasil termasuk kemampuan visual yang lain seperti animasi. Hal lain juga termasuk display grid dan domain geometri, plot vector, plot kontur, plot permukaan 2D atau 3D, particle tracking, dan animasi dari aliran fluida.
II.4.2 Pendekatan Numerik Grid generation merupakan aspek penting dalam semua metode numerik yang menggunakan finite difference, finite volume, dan finite elements dalam rangka untuk mendapatkan suatu solusi dari persamaan differensial parsial. Beberapa metode grid generation yaitu metode aljabar, metode elliptik, metode hiperbola, dan metode tak terstruktur. Untuk beberapa masalah dengan kesulitan khusus, para peneliti telah mengembangkan metode hibrid yaang mencakup zona tak terstruktur dan zona terstruktur. Skema hibrid mengambil keuntungan dari kedua metode terstruktur dan tak terstruktur dengan menempel koordinat bodi dan grid tak terstruktur dibatas luarnya. Akan tetapi, tidak ada metode yang cocok digunakan disemua masalah, sebagaian besar masih bergantung pada kualitas 28
solusi CFD yang ingin dicapai. Adapun pada tesis ini untuk melakukan meshing digunakan turbogrid yang terdapat di dalam paket ANSYS Multiphysics.
II.4.3 Model Turbulensi Semua aliran yang terjadi dalam dunia engineering baik aliran sederhana seperti aliran 2D, aliran pipa maupun aliran 3D yang lebih rumit akan menjadi tidak stabil bila bilangan Reynolds diatas nilai tertentu. Dalam eksperimen pada sistem fluida diketahui bahwa dibawah suatu nilai bilangan Reynolds kritis (Re crit) aliran akan smooth. Lapisan-lapisan fluida yang berdekatan akan saling bergerak satu sama lain dalam gerakan yang teratur. Bila diterapkan kondisi batas yang tidak berubah terhadap waktu, maka aliran tersebut dinamakan steady atau tunak. Sedangkan daerah tersebut dinamakan daerah laminar. Jika nilai diatas bilangan Reynolds kritis makan akan terjadi fenomen kompleks yang berujung pada perubahan radikal dari karakteristik aliran. Aliran menjadi tidak tunak, walaupun diterapkan kondisi batas yang tetap. Kecepatan dan property lainnya bervariasi secara acak dan dalam bentuk yang tidak teratur. Aliran ini dinamakan aliran turbulen. Model turbulensi adalah prosedur komputasional untuk mendekatkan sistem persamaan mean flow sehingga masalah aliran yang bervariasi dapat dihitung. Secara garis besar, model turbulensi digunakan untuk memodifikasi persamaan Navier Stokes unsteady dengan memperkenalkan kuantitas rata-rata dan besar fluktuasi untuk menghasilkan persamaan RANS (Reynolds Averaged Navier Stokes). Untuk sebagian besar tujuan engineering tidak diharuskan untuk memecahkan secara detail fluktuasi turbulen. Hanya efek dari turbulensi pada mean flow yang akan diperhitungkan. Di dalam ANSYS Multiphysics disediakan 4 model turbulensi yaitu k-epsilon, shear stress Transport (SST), BSL Reynolds Stress, dan SSG Reynolds Stress. Pada tesis ini digunakan model turbulensi SST yang didesain untuk memberikan akurasi yang tinggi terhadap letak awal dan jumlah aliran dalam separasi di dalam adverse pressure gradient dengan memasukkan efek transport ke dalam formulasi eddy viscosity. Model ini disarankan untuk simulasi lapisan
29
batas yang akurat. Oleh karena itu, dibutuhkan resolusi yang tinggi pada lapisan batas. Adapun kelebihan model turbulensi SST dibanding dengan model yang lainnya yaitu model turbulensi SST dapat memprediksi separasi aliran dengan lebih akurat di dalam adverse pressure gradient, sangat cocok untuk mendapatkan akurasi di lapisan batas, akurasi dalam menangani komputasi near wall treatment pada bilangan Reynolds rendah. Namun, kekurangannya dibutuhkan grid yang bagus dan rapat di sekitar wall yang berarti dibutuhkan usaha lebih besar pada saat grid generation. Adapun secara umum, pada perancangan rotor radial turbo-ekspander ini seperti pada Gambar 2.16 di bawah ini :
Gambar 2.16 Proses desain rotor radial turbo-ekspander
30
Bab III Perancangan Radial Turbo-Ekspander III.1 Perancangan Awal Perancangan awal untuk rotor turbin pada turbo-ekspander menggunakan prosedur yang diusulkan oleh Baines. Adapun diagram alirnya sebagai berikut :
Perhitungan Segitiga Kecepatan
Gambar 3.1 Diagram alir perancangan awal turbo-ekspander 31
Untuk melakukan prosedur sesuai dengan diagram alir di atas, maka persamaan-persamaan yang dapat dipakai oleh Baines (Baines, 2003) dan Mattingly [19] : Koefisien beban dapat dihitungan berdasarkan besarnya U4 dan dapat ditulis menggunakan persamaan 3-1 yang dikenal dengan Euleur turbomachinery. =
=
−
(3-1)
Dimana ε=r6/r4 merupakan rasio radius rotor. Besaran putaran fluida yang keluar (exit swirl) sangat kecil, oleh karena itu koefisien beban dapat aproksimasi : ⋍
/
(3-2)
Karena pada rotor inlet merupakan segitiga kecepatan (stage 4), persamaannya dapat dihitung (Gambar 2.11): =
(3-3)
=
+
=
[(
(
=
/
/
(3-4) )
(3-5)
)/
−
]
(3-6)
Temperatur dan tekanan statik pada inlet rotor dapat dihitung dengan : =
−
( ⁄
=
/2
)
(3-7) /(
)
(3-8)
Dimana T04=T01 dan p04=p01-Δp0. Disini Δp0 merupakan rugi-rugi tekanan total pada stator. Kemudian luas area pada inlet rotor (stage 4) dapat dihitung : =
=
=
/
/
/
(3-9) (3-10) (3-11) ]
= ̇ /[2
(3-12)
Kemudian besaran mach number pada inlet rotor dapat dihitung : =
/
(3-13)
Pada outlet rotor (stage 6), temperatur total dan statik dapat dihitung : =
=
− Δℎ /
−
(3-14)
/2
(3-15)
32
Dimana untuk aksial atau mendekati aliran aksial pada rotor outlet, C6≈Cm6=ϕU4. Efisiensi turbo-ekspander dapat diprediksi dari kecepatan spesifik, hubungan beban koefisien dan aliran koefisien, kemudian dapat digunakan untuk menghitung tekanan outlet p6 : = 1−
1−
/(
)
(3-16)
Pada daerah outlet dapat dihitung : =
/
(3-17)
Selanjutnya radius tip rotor dan radius hub rotor pada outlet (r6t dan r6h) dan tinggi blade pada outlet yaitu : = 0,3
/
=
(3-18)
≤ 0,7
(3-19)
−
(3-20)
Gambar 3.2 menunjukan geometri meridional-plane pada radial turbo-
ekspander. Pada model ini kontur rotor shroud diasumsikan sebagai lingkaran, sementara untuk kontur hub rotor digambarkan sebagai elips yang merupakan asumsi geometri yang dilakukan oleh Glassman (1976).
Gambar 3.2 Parameter geometri turbo-ekspander radial pada meridional-plane [3]
33
Dari Gambar 3.2 di atas, kemudian dapat dihitung : 1 2
=
(3-21)
+
=( −
)+
(3-22)
Untuk kecepatan blade pada outlet dapat dihitung dengan : =
(3-23)
=
(
=
+(
− /
−
)
(3-24)
)
(3-25)
Selanjutnya besaran mach number pada outlet dapat dihitung dengan persamaan yaitu : ,
=
=
/
/
(3-26) (3-27)
Selanjutnya Lms (length mean surface) dan chord didapat dengan persamaan : (3-28) = =
2
2. √2.
−
+ 2 2
+ 2
(3-29)
Dengan menggunakan persamaan (2-16) dan (2-17), kecepatan spesifik (Ns) dan Diameter spesifik dapat dihitung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Contoh hasil perhitungan kecepatan spesifik vs diameter spesifik [3] 34
Untuk
menghitung
estimasi
kinerja
dari
radial
turbo-ekspander
menggunakan iterasi berdasarkan model rugi-rugi untuk radial inflow turbin (Baines 1994). Model yang digunakan merupakan diambil dari Baines yang terdiri dari incidence loss, passage loss, trailing edge loss, exit energy loss, tip clearance loss, dan windage loss. Rugi-rugi ditulis dalam entalpi jatuh dengan menghitung efisiensi isentropik total-to-statik yaitu dengan persamaan sebagai berikut : =
(3-30)
∑
Berikut persamaa rugi-rugi pada radial turbo-ekspander, untuk incidence
loss dihitung dengan persamaan : Δℎ
=
(3-31)
Untuk passage loss dapat dihitung dengan persamaan : = = =
1 ( / ) 2
+ 0.68 1 − −
4
1 2
4
2
2
+
− +
+
− (
2
2 −
+
(3-32)
(3-33) − )+
(3-34)
Dimana Lp merupakan passage loss, dan LH (passage hydraulic length) DH (passage hydraulic diameter). Untuk trailing edge loss contribution dapat dihitung berdasarkan rugi-rugi tekanan relatif total. Pada prosedur yang dilakukan oleh Baines, rugi-rugi ini dianggap 0. Sedangkan untuk menghitung exit energy loss dapat menggunakan persamaan : ∆ℎ
=
(3-35) 2
Untuk tip clearance loss dapat dihitung dengan persamaan : =
8
+
(3-36)
+
35
Dimana, Kx, Kr, dan Kxr yaitu 0,4, 0,75, dan -0,3 sedangkan Cx (kecepatan absolut pada komponen aksial) dan Cr (kecepatan absolut pada komponen radial) dapat dihitung dengan persamaan : =
1−(
=
⁄ )
(3-37)
−
(3-38)
Sedangkan untuk windage loss dapat dihitung dengan persamaan :
Δℎ
=
,
=
,
(3-39) ̇
(3-39)
( )
Dimana untuk aksial clearance dan radial clearance ditentukan yaitu
εa=0.0004m dan εr=0,00023, εrb=0,00033 backface clearance. Untuk cek feasibilitas dari rotor radial turbo-ekspander hanya menggunakan besaran mach number yang terjadi pada inlet dan outlet. Jika M>1 maka desain rotor tersebut tidak feasibel. Untuk struktur atau vibrasi dari rotor radial turbo-ekspander tidak termasuk dalam penelitian ini. Banyak model untuk menghitung model rugi-rugi pada radial turbin. Model yang banyak digunakan berdasarkan yang dilakukan oleh NASA. Untuk menghitung rugi-rugi incidence menggunakan persamaan 3-31 dan model rugirugi pada daerah passage turbin menggunkan persamaan 3-32. Selanjutnya dapat diketahui bahwa untuk menghitung rugi-rugi pada radial turbin terdiri dari : 1. Menghitung rugi-rugi passage (passage loss) 2. Menghitung rugi-rugi tip clearance yang terbagi dua untuk axial dan radial. 3. Menghitung rugi-rugi pada trailing edge. 4. Menghitung rugi-rugi windage (windage loss)
36
Hasil perancangan awal ditampilkan dalam bentuk tabel. Tabel 3.1 berisi data hasil perhitungan untuk perancangan rotor tubo-ekspander dengan fluida kerja R134a, R123, R245fa, R143a, dan nPentane. Tabel 3.1 Data parameter input dan hasil perhitungan untuk rotor inlet Parameter Input
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Laju aliran massa (ṁ)
Kg/s
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
Kecepatan rotasional (N)
rpm
15000
15000
15000
15000
15000
Temperatur total inlet (Asumsi T01 = T04) Tekanan total inlet (asumsi Δp0=0) p04=p01Δp0 Loading Coefficient (ψ)
K
373
373
373
373
373
bar
5
5
5
5
5
-
0,90
0,90
0,90
0,90
0,90
Flow Coefficient (ϕ)
-
0,30
0,30
0,30
0,30
0,30
Rasio kecepatan meridional (ξ) Cm4/Cm6 Rasio radius rotor inlet (r6h/r4) Parameter Output : Rotor Inlet Kecepatan absolut meridional Cm6 (outlet) Kecepatan absolut meridional (Cm4)(inlet) Kecepatan Blade (U4)
-
1
1
1
1
1
-
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
m/s
50
44
43
48
49
m/s
50
44
43
48
49
m/s
167
146
143
160
163
m/s
150
132
129
144
147
derajat
71,570
71,570
71,570
71,570
71,570
derajat
-18,430
-18,430
-18,430
-18,430
-18,430
m/s
158
139
136
151
155
Kecepatan relative inlet (W4) Temperatur inlet (T4)
m/s
52,7
46,38
45,33
50,60
51,6
K
360,47
361,15
364,37
362,60
367,37
Tekanan inlet (P4)
bar
3,60
3,75
3,93
3,85
4,15
Area inlet (A4)
m2
6,5x10-4
4,7x10-4
5,3x10-4
7,7x10-4
8,3x10-4
Radius rotor (r4)
m
0,100
0,093
0,091
0,101
0,104
Tinggi blade inlet (b4)
m
0,010
0,008
0,009
0,012
0,012
Massa jenis inlet (ρ4)
Kg/m3
12,238
19,121
17,384
10,737
9,813
-
0,87
0,93
0,85
0,75
0,72
Kecepatan absolut tangensial (Cθ4) Sudut aliran absolut (inlet) (α4) Sudut aliran relative (inlet) (β4) Kecepatan absolut (C4)
Mach number inlet (M4)
37
Data hasil perhitungan untuk perancangan rotor tubo-ekspander pada rotor exit dapat dilihat pada Tabel 3.2 Tabel 3.2 Data hasil perhitungan untuk rotor exit (outlet) dan performa rotor turbo-ekspander radial Rotor exit
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Temperatur total outlet (T06) Temperatur outlet (T6)
K
347,95
349,30
355,74
352,19
361,74
K
346,70
348,11
354,88
351,15
361,18
Tekanan total outlet (p06)
bar
2,10
2,27
2,59
2,44
3,02
Tekanan outlet (p6)
bar
1,94
2,20
2,52
2,37
2,96
Massa jenis inlet (ρ6)
Kg/m3
6,874
11,637
11,459
6,840
7,129
Area outlet (A6)
m2
0,0011
0,0010
0,0008
0,0012
0,0014
Radius rotor outlet hub (r6h) Radius rotor outlet tip (r6t) Rasio radius rotor (r6t/r4)
m
0,0318
0,0280
0,027
0,030
0,031
m
0,0743
0,0650
0,0630
0,0713
0,0728
-
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
Tinggi blade outlet (b6)
m
0,042
0,037
0,036
0,040
0,041
m/s
89,75
78,98
77,19
86,16
87,96
derajat
-60,88
-60,88
-60,88
-60,88
-60,88
m/s
102,74
90,41
88,36
98,63
100,69
0,28
0,30
0,28
0,24
0,23
m
0,047
0,041
0,040
0,046
0,047
m
0,042
0,037
0,036
0,041
0,042
Performa Rotor
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Volume flow rate (Q4)
m3/s
0,03
0,02
0,03
0,04
0,04
Kecepatan spesifik (Ns)
-
0,14
0,14
0,15
0,16
0,16
Diameter spesifik (Ds)
-
14,76
15,23
14,03
13,00
12,82
m/s
259
228
224
249
256
-
0,64
0,64
0,64
0,64
0,64
Kecepatan U6 (RMS) Sudut β6 (RMS) Kecepatan relative outlet (W6) Mach number outlet (M6) Lms Chord (cr)
Isentropik ‘spouting’ velocity (Cs) Rasio kecepatan (υ) maksimal 0.7
38
Performa Rotor
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Δh incidence loss
%
1,38
1,08
1,03
1,28
1,33
Δh passage loss
%
60,92
66,02
69,42
66,63
66,02
Δh trailing edge loss
%
0
0
0
0
0
Δh exit energy loss
%
12,50
9,68
9,24
11,52
12,00
Δh tip clearance loss
%
24,86
22,84
19,98
20,29
20,37
Δh windage loss
%
0,34
0,38
0,33
0,28
0,28
J/kg
25000
19360
18490
23040
24010
-
0,71
0,66
0,66
0,70
0,71
kW
10
7,7
7,4
9,2
9,6
Output kerja spesifik (Δh0) Efisiensi total-to-statik (ηts) Daya (P)
Berdasarkan perhitungan untuk rotor radial turbo-ekspander di atas, maka didapat parameter dimensi untuk rotor seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.3 dibawah ini Tabel 3.3 Data hasil perhitungan performa rotor turbo-ekspander radial
Performa Rotor
Unit
R134a
R123
R245fa
R143a
nPentane
Radius inlet (r4)
m
0,100
0,093
0,091
0,101
0,104
Tinggi blade inlet (b4)
m
0,010
0,008
0,009
0,012
0,012
Derajat
71,57
71,57
71,57
71,57
71,57
Derajat
-18,43
-18,43
-18,43
-18,43
-18,43
m
0,00040
0,00040
0,00040
0,00040
0,00040
Radial clearance (εr)
m
0,00023
0,00023
0,00023
0,00023
0,00023
Backface clearance (εb)
m
0,00033
0,00033
0,00033
0,00033
0,00033
Jumlah blade rotor (ZR)
-
12
12
12
12
12
Radius hub outlet (r6h)
m
0,0318
0,0280
0,0274
0,0306
0,0312
Radius shroud outlet (r6t) Tinggi blade outlet (b6)
m
0,0743
0,0650
0,0639
0,0713
0,0728
m
0,042
0,037
0,036
0,040
0,041
Derajat
0
0
0
0
0
m
0,042
0,037
0,036
0,041
0,042
Sudut aliran absolut pada inlet (α4) Sudut aliran relatif pada inlet (β4) Aksial clearance (εa)
Sudut aliran absolut pada outlet (α6) Chord rotor
39
Berdasarkan hasil perancangan awal, pada Gambar 3.4 menunjukan grafik laju aliran massa vs daya pada rotor radial turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat semakin besar laju aliran massa, maka semakin besar daya yang dihasilkan pada rotor turbo-ekspander. Dari perhitungan perancangan awal tersebut, turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R134a memiliki daya yang paling besar. Pada laju aliran massa 0,4 kg/s, nilai daya (kW) pada fluida kerja R134a untuk turbo-ekspander sebesar 10 kW, diikuti kemudian secara berurutan dengan fluida kerja n-Pentane dengan daya sebesar 9,6 kW, R143a dengan daya sebesar 9,2 kW, R123 dengan daya sebesar 7,7 kW, dan yang terakhir R245fa dengan daya sebesar 7,4 kW. 30,00 25,00
R134a R143a R245fa
Daya (kW)
20,00
n-Pentane R123
15,00 10,00 5,00 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00
Laju Aliran Massa(Kg/s)
Gambar 3.4 Grafik Laju aliran massa vs Daya untuk masing-masing fluida kerja
Pada Gambar 3.5 menunjukan grafik kecepatan putaran rotasional (rpm) vs radius rotor inlet (r4) pada rotor turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat semakin kecil nilai radius rotor tubo-ekspander, maka semakin besar kecepatan putaran rotasional yang dihasilkan pada rotor turbo-ekspander. Dari perhitungan perancangan awal tersebut, turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R134a pada kecepatan putaran rotasional yang sama, memiliki radius rotor inlet (r4) yang paling besar. Pada putaran rotasional 15000 rpm pada fluida kerja R134a memiliki radius radial turbo-ekspander sebesar 0,106 m, diikuti
40
kemudian secara berurutan dengan fluida kerja n-Pentane memiliki radius sebesar 0,104 m, R143a memiliki radius sebesar 0,101 m, R123 memiliki radius sebesar 0,093 m, dan yang terakhir R245fa memiliki radius sebesar 0,091 m. 0,350 R134a
Radius Rotor r4 (m)
0,300
R143a R245fa
0,250
n-Pentane 0,200
R123
0,150 0,100 0,050
50000
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0,000
N (Rpm)
Gambar 3.5 Grafik Kecepatan putaran rotasional vs Diameter rotor untuk masingmasing fluida kerja
Pada Gambar 3.6 menunjukan grafik koefisien beban (ψ) vs efisiensi totalto-statik (ηts) pada rotor turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat semakin besar nilai koefisien beban, maka semakin besar efisiensi yang dihasilkan pada rotor turbo-ekspander. Dari perhitungan perancangan awal tersebut, turboekspander yang menggunakan fluida kerja R134a memiliki efisiensi total-to-statik yang paling besar. Untuk koefisien beban 0,90 pada fluida kerja R134a, efisiensi total-to-statik sebesar 0,71, diikuti kemudian secara berurutan dengan fluida kerja n-Pentane memiliki efisiensi sebesar 0,70, R143a memiliki efisiensi sebesar 0,69, R123 memiliki efisiensi sebesar 0,66, dan yang terakhir R245fa memiliki efisiensi sebesar 0,65.
41
R134a R143a
0,74
R245fa
Efisiensi total-to-statik (ηts)
0,72
n-Pentane R123
0,70 0,68 0,66 0,64 0,62 0,60 0,80
0,81
0,82
0,83
0,84
0,85
0,86
0,87
0,88
0,89
0,90
Koefisien Beban (ψ)
Gambar 3.6 Grafik Koefisien beban (ψ) vs Efisiensi total-to-statik (ηts) untuk masing-masing fluida kerja 0,95 0,90
Mach Number Inlet (M4)
0,85 0,80 0,75 0,70 R134a
0,65
R143a
0,60
R245fa
0,55
n-Pentane
0,50
R123 0,80
0,81
0,82
0,83
0,84
0,85
0,86
0,87
0,88
0,89
0,90
Koefisien Beban (ψ)
Gambar 3.7 Grafik Koefisien beban (ψ) vs Mach number inlet (M4) untuk masingmasing fluida kerja
42
Pada Gambar 3.7 menunjukan grafik koefisien beban (ψ) vs jumlah mach number pada inlet rotor turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat semakin besar nilai koefisien beban rotor tubo-ekspander, maka semakin besar jumlah mach number yang dihasilkan pada rotor turbo-ekspander di daerah inlet. Dari perhitungan perancangan awal tersebut, turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R123 memiliki jumlah mach number yang paling besar. diikuti kemudian secara berurutan dengan fluida kerja R134a, R245fa, R143a, dan yang terakhir n-Pentane.
Efisiensi total-to-statik (ηts)
0,90
R134a
0,85
R143a R245fa
0,80 0,75 0,70 0,65 0,60
0,20 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27 0,28 0,29 0,30
Koefisien Aliran (φ)
Gambar 3.8 Grafik Koefisien aliran (ϕ) vs Efisiensi total-to-statik (ηts) untuk masing-masing fluida kerja Pada Gambar 3.8 menunjukan koefisien aliran (ϕ) vs efisiensi total-to-statik (ηts) pada rotor turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat pada koefisien aliran sebesar 0,30 nilai efisiensi total-to-statik yang paling besar dimiliki oleh fluida kerja R134a, kemudian diikuti oleh n-Pentane, R143a, R123, dan R245fa. Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai koefisien aliran, maka nilai efisiensi total-to-statik semakin besar. Akan tetapi perlu dilihat juga mengenai nilai bilang mach pada masing-masing fluida pada Grafik 3.9. Jika nilai bilangan mach melebihi 1, maka harus dihindari karena akan mengakibatkan chocking pada rotor.
43
Pada Gambar 3.9 menunjukan grafik koefisien aliran (ϕ) vs jumlah mach number pada radial rotor turbo-ekspander. Dari grafik tersebut dapat dilihat semakin kecil nilai koefisien aliran radial rotor tubo-ekspander, maka semakin besar nilai mach number yang dihasilkan pada rotor turbo-ekspander. Nilai mach number >1 perlu dihindari karena akan mengakibatkan choking pada rotor radial turbo-ekspander, Dari perhitungan perancangan awal tersebut, rotor radial turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R123 memiliki nilai mach number yang paling besar. Untuk nilai koefisien aliran 0,30 pada fluida kerja R123 untuk rotor turboekspander nilai mach number sebesar 0,88, diikuti kemudian secara berurutan dengan fluida kerja R134a memiliki nilai mach number sebesar 0,82, R245fa memiliki nilai mach number sebesar 0,81, R143a memiliki nilai mach number sebesar 0,71, dan yang terakhir n-Pentane memiliki nilai mach number sebesar 0,68. 1,40
Mach Number Inlet (M4)
1,20 1,00 0,80 R134a 0,60 0,40 0,20
R143a R245fa n-Pentane R123
0,00 0,20 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27 0,28 0,29 0,30
Koefisien Aliran (φ)
Gambar 3.9 Grafik Koefisien beban (ϕ) vs Mach number inlet (M4) untuk masingmasing fluida kerja
44
III.2 Perancangan Detail III.2.1 Diagram alir perancangan detail Perancangan detail untuk rotor pada turbo-ekspander menggunakan software ANSYS BladeGen yang menggunakan prosedur perancangan turbin radial dari Baines, Aungier dan Dixon [20] [21] [18]. Adapun diagram alirnya sebagai berikut :
Mulai
A
Input: Kondisi Operasi Fluida Kerja, ṁ, N, T inlet TIDAK
Rotor tuboekspander menghasilkan daya max?
YA Input geometri rotor turbo-ekspander : 1.Dimensi utama 2.Kontur meridional 3.Properti Blade 4.Blade mean lines 5.Profil Blade 6.Blade edge
CFD Setup dengan ANSYS BladeGen
Spesifikasi rotor turboekspander (3D model)
Selesai Analis geometri rotor turboekspander dengan ANSYS BladeGen
A
Gambar 3.10 Diagram alir perancangan detail turbo-ekspander
45
III.2.2 Perancangan geometri rotor turbo-ekspander menggunakan ANSYS Data hasil perancangan awal merupakan masukan data untuk dimensi utama rotor Turbo-ekspander pada paket program ANSYS BladeGen. Cara kerja ANSYS BladeGen yaitu melakukan iterasi pada dimensi utama, sehingga untuk tipe rotor dapat masuk ke area radial turbin pada diagram cordier. Oleh karena itu, jika tidak dilakukan perhitungan pada perancangan awal, maka untuk menebak data awal untuk dimensi utama sulit dilakukan, karena bisa saja hasil spesifikasi rotor turbo-ekspander tidak rasional. Proses pertama memasukan global setup, yaitu dengan memasukan kondisi operasi hasil dari perancangan awal yang terdiri dari laju aliran massa (flow rate) sebesar 0.4 kg/s, nilai daya yang akan dihasilkan (Actual Power Output) sebesar 10 kW, putaran rotasional sebesar 15000 rpm, jenis fluida kerja R 134a dengan model gas dari Redlich-Kwong, dan inlet total temperatur sebesar 1500C. Pada Gambar 3.11 menunjukan kondisi operasi yang dimasukan pada perangkat lunak untuk perancangan detail. Sedangkan Gambar 3.12 menunjukan properti fluida R134a yang menggunakan model real gas Redlich-Kwong.
Gambar 3.11 Input parameter untuk perancangan detail turbo-ekspader
46
Gambar 3.12 Properti fluida kerja R134a dengan model real gas Redlich-Kwong
Proses selanjutnya memasukan dimensi geometri dari rotor radial turboekspander. Gambar 3.13 menunjukan diagram cordier hasil perhitungan pada paket program ANSYS BladeGen. Terlihat bahwa hasil dari input dimensi utama masih masuk di daerah Radial dan Mixed-flow. Adapun dimensi utama pada rotor turbo-ekspander yaitu radius hub (dN) 25 mm, radius suction (dS) 60 mm, radius rotor (d1) 100 mm.
0.9 = =0.3 / / =/ =0.59 =
/
/
/
=1.78
Gambar 3.13 Grafik kecepatan spesifik vs diameter spesifik pada diagram cordier (Aungier, 2006)
47
Setelah didapat dimensi utama pada rotor turbo-ekspander, proses selanjutnya menghitung kontur aliran pada meridional rotor. Dalam tahapan ini fungsi stream lines (garis aliran pada meridional ψ) akan dicari solusinya oleh paket program ANSYS BladeGen dengan menggunakan metode finite difference (FDM). Adapun persamaan untuk fluida kompresibel yaitu :
1−
+ 1−
+ −
−
=0
(3-23)
Dimana a merupakan kecepatan sonik yang didefinisikan :
=√ . . .
(3-24)
Sedangkan untuk kecepatan meridional didapat dengan persamaan :
=
(3-25)
=− =
(3-26)
+
(3-27)
rR dan ρR merupakan radius dan density referensi (didapat dari REFPROP 8) untuk masing-masing fluida kerja.
Gambar 3.14 menunjukan garis aliran kecepatan pada meridional rotor turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R134a. Terlihat kecepatan meridional cm paling tinggi sebesar 65 m/s dan yang paling rendah sebesar 25 m/s. Pada Gambar 3.15, 3.16, 3.17, 3.18 menunjukan model 3D plane meridional contour, nilai static moment, cross section area, dan curvature pada rotor turboekspander dengan fluida kerja R134a dengan perhitungan paket program ANSYS.
48
Gambar 3.14 Kontur meridional rotor radial turbo-ekspander dengan fluida kerja R134a
Gambar 3.15 Plane meridional contour pada model 3D rotor radial turboekspander
49
Gambar 3.16 Nilai Static moment pada plane meridional contour
Gambar 3.17 Cross section area pada plane meridional contour
50
Gambar 3.18 Curvature pada plane meridional contour Setelah meridional contour dapat didefinisikan proses selanjutnya adalah membuat blade meanlines, dan blade profiles seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.19, 3.20, dan 3.21 pada rotor turbo-ekspander dengan fluida kerja R134a dengan perhitungan paket program ANSYS.
Gambar 3.19 Blade meanlines pada perancangan detail rotor radial turboekspander
51
Gambar 3.20 Dimensi tebal blade (Blade profiles) pada perancangan detail rotor radial turbo-ekspander
Gambar 3.21 Pandangan atas (Blade profiles) pada perancangan detail rotor radial turbo-ekspander
52
Tabel 3.6 Data hasil perhitungan dimensi rotor untuk masing-masing fluida pada ANSYS BladeGen No 1
2
Deskripsi
Nilai
Parameter : Koefisien Beban (ψ) Koefisien Aliran (ϕ) Daya output Efisiensi total-to-statik (ηts)
0,9 0,3 10 kW 0,72
Dimensi Utama : Radius hub (r6h) Radius suction (r4-r6t) Radius Blade outlet (r6t) Lebar outlet (b6) Radius rotor (r4) Tinggi inlet (b4)
25 mm 40 mm 60 mm 16,78 mm 100 mm 10 mm
Tabel 3.6 dan Gambar 3.15 merupakan hasil dari perancangan detail yang menggunakan perangkat lunak ANSYS BladeGen. Proses selanjutnya merupakan analisis CFD untuk mengetahui karakteristik dari rotor radial turbo-ekspander dengan melihat pola aliran dan performa yang dihasilkan.
Gambar 3.22 Hasil akhir rancangan detail rotor turbo-ekspander
53
Bab IV Proses Simulasi CFD Rotor Radial Turbo-Ekspander Pada bab ini akan dibahas mengenai proses simulasi CFD pada rotor turbo-ekspander. Diawali dengan memasukkan data geometri rotor dan kondisi operasi. Data masukan yang ditulis data yang digunakan dalam simulasi CFD. Selain itu penggunaan perangkat lunak yang dipakai tidak akan dibahas secara detail, hanya terbatas pada langkah intinya saja. Simulasi rotor tubo-ekspander diawali dengan membuat model geometri 3D rotor serta proses meshing. Data geometri rotor merupakan hasil perancangan detail pada bab 3 dengan hasil analisis geometri rotor turbo-ekspander menggunakan perangkat lunak ANSYS BladeGen. Proses messing menggunakan paket software ANSYS Turbogrid yang khusus untuk membuat meshing pada peralatan turbomachinery. Tahapan selanjutnya melakukan simulasi aliran fluida kerja pada rotor turbo-ekspander dengan menggunakan paket software ANSYS CFX.
IV.1 Data Awal Rotor turbo-ekspander untuk sistem ORC pada tesis ini merupakan tipe turbin radial inflow dengan satu tingkat. Data yang diperlukan untuk simulasi adalah data geometri rotor serta kondisi operasionalnya.
Gambar 4.1 Rotor turbo-ekspander radial
54
Blade rotor turbo-ekspander mempunyai tinggi 35 mm, dengan dimater 100 mm. Jumlah blade 12 bilah. Untuk data kondisi operasi diambil hanya beberapa data yang penting. Data tersebut meliputi temperatur masuk rotor sebesar 353-423 K (80-150 0C), dengan laju aliran massa 0,1-1,0 kg/s, dan tekanan keluar sebesar 1 atm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 4.1. Tabel 4.1 Data operasional yang dipakai Parameter
Nilai
Temperatur inlet (K)
353-423
Laju aliran massa (kg/s)
0,1-1,0
Tekanan outlet (atm)
1
Temperatur outlet (K)
313
Kondisi batas inlet dan outlet : Inlet : laju aliran massa, kondisi batas ini memberikan harga laju aliran massa di daerah masuk aliran. Outlet : pressure outlet, kondisi batas ini memberikan harga besar tekanan di daerah keluar aliran. Kondisi batas yang lain : Periodic : kondisi batas ini mendefinisikan bahwa terjadi daerah yang berulang untuk bilah-bilah disebelahnya sehingga tidak perlu membuat domain komputasi untuk keseluruhan model (satu lingkaran penuh) Wall : kondisi batas ini diberikan pada semua permukaan bilah (blade), hub, dan shroud. Prosuder yang dijelaskan diatas maka dikembangkan beberapa kasus simulasi yang akan dilakukan meliputi : Simulasi untuk meningkatkan akurasi perhitungan : 1. Simulasi dengan berbagai jumlah grid Simulasi pertama yang dilakukan adalah dengan mencoba beberapa model dengan jumlah grid yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah grid terhadap output yang dihasilkan. Dengan mengetahui pengaruh tersebut diharapkan output dari model dengan jumlah grid tertentu dapat
55
lebih akurat dan model yang dipilih digunakan sebagai model untuk simulasi selanjutnya. 2. Simulasi dengan model turbulensi yang berbeda Setelah didapatkan model dengan jumlah elemen tertentu maka perlu diketahui juga pengaruh pemilihan model turbulensi terhadap hasil yang didapatkan. ANSYS CFX turbomachinery menyediakan 4 buah model turbulensi yaitu k-epsilon, dan SST (Shear Stress Transport). Dengan melakukan simulasi untuk kedua model turbulensi tersebut dapat diketahui perbedaan hasil perhitungannya. Diharapkan dengan pemakaian model turbulensi yang sesuai simulasi selanjutnya memiliki hasil yang cukup akurat dan efisien. Pada tesis ini, simulasi yang dilakukan pada kondisi steady dengan variasi beberapa putaran rotor yaitu 15000 rpm, 20000 rpm, dan 30000 rpm. Dengan analisis dan perbandingan tersebut maka karakteristik aliran dapat diketahui. Hal lain yang diharapkan adalah dapat memahami dengan baik karakteristik aliran pada rotor radial turbo-ekspander.
VI.2 Prosedur Simulasi Data awal yang didapatkan kemudian diolah dalam beberapa tahap. Prosedur dibagi dalam empat tahapan simulasi. Dengan adanya beberapa kali simulasi maka beberapa tahapan dibawah ini akan diulang untuk tiap simulasi. Untuk simulasi dengan melihat perubahan parameter fisik aliran ataupun jumlah mesh maka tahapan yang diulang adalah tahapan yang kedua atau ketiga saja. Adapun simulasi dibagi dalam empat tahapan yaitu : 1. Membuat geometri turbin dengan ANSYS BladeGen 2. Membuat mesh sebagai domain komputasi dengan ANSYS TurboGrid 3. Memasukan parameter simulasi dan menjalankan solver dengan ANSYS CFX 4. Melihat hasil simulasi dengan ANSYS CFX
56
4.2.1 Membuat geometri bilah rotor turbo-ekspander dengan ANSYS BladeGen Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat maka domain perhitungan juga harus dibuat sedekat mungkin dengan keadaan sebenarnya. Mesh sebagai domain perhitungan dibuat dengan acuan geometri. Oleh karena itu, tahap pembuatan geometri juga sangat menentukan keakuratan hasil. Data awal yang dipilih merupakan hasil perhitungan pada perancangan awal dan detail rotor turbo-ekspander menggunakan CFTurbo. Setelah didapat geometri dari CFTurbo kemudian dikonversi ke ANSYS BladeGen.
Gambar 4.2 CFD setup untuk rotor radial turbo-ekspander
4.2.2 Membuat mesh sebagai domain komputasi di ANSYS TurboGrid Tujuan dari tahapan ini yaitu menghasilkan mesh sebagai domain perhitungan. Perangkat lunak yang digunakan adalah ANSYS TurboGrid. Perangkat lunak ini menyediakan fitur pembuatan grid secara otomatis sehingga menghemat waktu dan biaya. Berikut ini langkah pembuatan mesh di ANSYS TurboGrid.
57
1. Import file dari ANSYS BladeGen berupa file hub, shroud, dan profil blade. Setelah file berhasil dimport kemudian mengatur definisi topologi grid dan control point dan edge. Hasilnya seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.3. 2. Memperbaiki kualitas mesh jika pada layer terjadi error. Kemudian modifikasi layer pada hub dan shroud. 3. Pengaturan data spesifikasi mesh. Jumlah elemen apakah low, medium, atau high. 4. Melihat elemen mesh sebelum terjadi Pre mesh. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengaktifkan Pre mesh. Dengan mengaktifkan pre mesh kita dapat melihat bagaimana distribusi mesh di bilah turbin. Misalnya untuk daerah trailing edge dimana terdapat kemungkinan terjadi separasi aliran ataupun fenomena tertentu sebaiknya grid harus lebih banyak. 5. Mengatur kembali jumlah elemen dan melihat kualitas mesh yang sudah dibuat. 6. Membuat mesh akhir yang siap digunakan pada ANSYS CFX (Gambar 4.4).
Gambar 4.3 Domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor turbo ekspander
58
Gambar 4.4 Hasil meshing dari ANSYS TurboGrid untuk rotor turbo ekspander
Gambar 4.5 Hasil meshing blade untuk domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor turbo ekspander
59
Gambar 4.6 Hasil meshing elemen blade pada 50% span untuk domain komputasi dari ANSYS TurboGrid untuk rotor turbo-ekspander
4.2.3 Memasukan parameter simulasi dan menjalankan solver dengan ANSYS CFX Parameter yang menjadi masukan yaitu : ANSYS CFX-Pre : Jenis Fluida : fluida kerja yang akan dianalisis pada rotor turbo-ekspander yaitu R134a dan R123. Fluida diambil dari data base ANSYS CFX dengan model real gas Redlich-Kwong Dry Refrigerants. Properti termodinamik dari fluida kerja dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.2 Data properti fluida kerja untuk rotor radial turbo-ekspander Properti Persamaan Keadaan Tipe Model Molar Mass Temperatur kritis Tekanan kritis Acentric Factor Temperatur didih
R134a
R123
Real Gas Redlich-Kwong 102,03 kg/kmol 274,26 K 40,59 bar 0,326 274,04
Real Gas Redlich-Kwong 152,93 kg/kmol 456,90 K 36,74 bar 0,282 300,81
60
Fourth Order Polynomial a1 a2 a3 a4 a5 Temperatur minimum Temperatur maksimum Maksimum tekanan abs
3,064 0,02542/K 5,86e-06/K-2 -3,339e-8/K-3 1,716e-11/K-4 169,85 K 455 K 70 MPa
2,996 0,03949/K -2,743e-05/K-2 -0,122e-8/K-3 0,572e-11/K-4 166 K 600 K 40 MPa
Tipe simulasi : Steady State Pada tipe simulasi keadaan steady digunakan untuk simulasi dimana parameter aliran yang tidak berubah terhadap waktu. Data model : Tekanan referensi, Heat transfer dan model turbulensi Kondisi Batas : mass flow inlet – static outlet flow direction Interface S1 to S1 : Periodic Definisi batas (boundary definition) : wall (no slip)
OUTLET
INLET
Gambar 4.7 Domain komputasi dari ANSYS CFX untuk rotor radial turboekspander
61
ANSYS CFX-Solver Type of Run : Full Run Mode : Serial
4.2.4 Melihat hasil simulasi ANSYS CFX Hasil perhitungan lalu dikonversi ke ANSYS CFX-Post. Pada tahapan ini digunakan untuk melihat berbagai hasil dalam kontur, vector, streamline. Seperti misalnya vektor kecepatan dan kontur tekanan di dalam bidang cascade. Dengan melihat hasil dalam bentuk tertentu diharapkan akan menjadi lebih mudah dipahami dan analisis akan menjadi lebih cepat.
62
Bab V Hasil dan Analis CFD Rotor Turbo-ekspander Dalam bab ini akan dibahas berbagai macam hasil dan analisis dari simulasi yang telah dilakukan dengan fluida kerja R134a dan R123. Simulasi dibagi dalam beberapa bagian yaitu : 1. Simulasi dengan berbagai jumlah elemen grid 2. Simulasi dengan model turbulensi k-epsilon dan SST 3. Simulasi keadaan steady dengan pengaruh putaran rotor yang berbeda yaitu 15000 rpm, 20000 rpm, 30000 rpm.
V.1 Analisis Pengaruh Jumlah Elemen Grid Daerah pada model ini dibagi menjadi 3 daerah untuk masing-masing bilah. Daerah tersebut adalah daerah upstream, daerah mainstream, dan daerah downstream.
Penambahan
elemen
dilakukan
didaerah
mainstream.
Pertimbangannya adalah bahwa di daerah ini terjadi banyak perubahan properti aliran dibandingkan daerah upstream dan downstream yang relatif stabil.
mainstream downstream
upstream
Gambar 5.1 Tiga daerah model rotor untuk analisis CFD yaitu daerah downstream, mainstream, dan upstream
63
Tabel 5.1 Jumlah masing-masing grid untuk model rotor turbo-ekspander Model Model 1 (Coarse Grid) Model 2 (Medium Grid) Model 3 (Fine Grid) Setelah itu dilakukan simulasi terhadap
Jumlah Grid 20000 100000 250000 ke tiga model dengan parameter simulasi
yang sama. Dibawah ini diperlihatkan tabel hasil perhitungan torsi, daya, dan efisiensi untuk tiga model jumlah grid yang berbeda. Tabel 5.2 Daya dan efisiensi yang dihasilkan untuk model rotor turbo-ekspander Dengan jumlah grid yang berbeda (Fluida Kerja R123)
Jumlah Grid Fluida : R123 20000 rpm Torsi (Nm) Daya (kW) Efisiensi % kenaikan dari daya sebelumnya waktu Fluida R134a 20000 rpm Torsi (Nm) Daya (kW) Efisiensi % kenaikan dari daya sebelumnya Waktu
Model 1
Model 1 20000
Model 2 100000
Model 3 250000
0,32 6,56 0,63 -
0,35 7,08 0,64 16
0,36 7,21 0,65 3
6 menit 30 detik
11 menit 56 detik
28 menit 05 detik
0,44 7,94 0,63 -
0,47 8,60 0,64 13
0,48 8,53 0,65 -
6 menit 21 detik
11 menit 54 detik
27menit 30 detik
Model 2
Model 3
Gambar 5.2 Pola aliran untuk model rotor turbo-ekspander dengan jumlah grid yang berbeda (Fluida Kerja R123 pada putaran 20000 rpm)
64
8,00 7,00 6,00
Daya (kW)
5,00 Model 2 4,00
Model 3 Model 1
3,00 2,00 1,00 0,00 15000
20000
30000
(a) 14,00 12,00
Daya (kW)
10,00 8,00 Model 2 6,00
Model 3 Model 1
4,00 2,00 0,00 15000
20000
30000
(b)
Gambar 5.3 Grafik untuk model rotor turbo-ekspander dengan jumlah grid yang berbeda pada Fluida Kerja R123 (a) dan R134a (b) pada putaran 15000, 20000, dan 30000 rpm)
65
Dari hasil Tabel 5.2 dan Gambar 5.3 di atas dapat diketahui bahwa secara umum terjadi kenaikan daya antara model 1, model 2, dan model 3 untuk kedua fluida kerja R123 dan R134a. untuk fluida kerja R123 pada model 1 ke model 2 naik 16% dan naik 3% pada model 3. Sedangkan untuk fluida kerja R134a pada model 1 ke model 2 naik 13% dan terjadi penurunan pada model 3, hal ini dikarenakan pada putaran 30000 rpm pola aliran dengan model turbulensi semakin terbentuk. Selain dari output yang dihasilkan, jumlah grid juga mempengaruhi waktu komputasi. Hal ini merupakan pertimbangan yang sangat penting karena dengan kemampuan komputasi yang terbatas, penghematan dalam waktu komputasi akan sangat bermanfaat. Pada Tabel 5.2 menunjukan penambahan waktu untuk tiap model. Untuk model 1 ke model 2 perbedaan waktu mencapai sekitar 6 menit. Sedangkan model 2 ke model 3 perbedaan mencapai 17 menit. Pengaruh jumlah elemen grid juga dapat diketahui dengan melihat perbedaan kontur ataupun kecepatan vektor dari properti fluida seperti kecepatan, tekanan, dan temperatur. Perbandingan antara model 1, model 2, dan model 3 cukup signifikan. Perbandingan yang diambil adalah dengan melihat bagaimana perbedaan kontur kecepatan pada masing-masing model. Kontur kecepatan secara signifikan ditunjukan pada model 3, terlihat bagaimana perbedaan kecepatan pada tiap konturnya. Sedangkan untuk model 1 dan model 2 masih belum terlihat signifikan perbedaannya. Atas pertimbangan tersebut, maka dipilih model 3 untuk analisis selanjutnya. Alasannya adalah model ini memiliki jumlah elemen grid yang cukup banyak sehingga hasil karakteristik untuk aliran masing-masing fluida cukup akurat. Di bawah ini disajikan grafik sejarah konvergensi dari salah satu model, untuk model yang lain sejarah konvergensinya tidak jauh berbeda dengan model di bawah ini, untuk lebih jelasnya disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut :
66
Gambar 5.4 Sejarah konvergensi komputasi dari ANSYS CFX untuk rotor turbo ekspander dengan model FineGrid (250000)
V.2 Simulasi dan analisis pengaruh model turbulensi Setelah didapatkan model yang akan dipakai selanjutnya maka perlu diketahui juga pengaruh pemilihan model turbulensi terhadap hasil yang didapatkan. ANSYS CFX turbomachinery menyediakan empat buah model turbulensi yaitu k-epsilon (k-ɛ), shear stress transport (SST), BSL Reynolds Stress, dan SSG Reynolds Stress. Pada tesis ini disajikan dua model turbulensi yaitu k-epsilon dan SST. Model turbulensi SST merupakan gabungan antara model turbulensi k-epsilon dan k-omega (k-ω)
Tabel 5.3 Waktu komputasi dan jumlah iterasi pada model turbulensi untuk rotor turbo-ekspander ORC dengan fluida kerja R123 putaran 20000 rpm
Model
Waktu Komputasi
Jumlah iterasi
Daya (kW)
k-epsilon (k-ɛ)
28 menit
100
6,1
SST
28 menit
100
7,2
67
Tabel 5.3 menunjukkan waktu komputasi dan jumlah iterasi pada model turbulensi k-epsilon dan SST. Hasilnya bahwa tidak terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi daya yang dihasilkan terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Pada model turbulensi k-epsilon daya yang dihasilkan sebesar 6,1 kW sedangkan pada model turbulensi SST dihasilkan daya 7,2 kW. Kenaikan daya untuk model k-epsilon ke model turbulensi SST mencapai 18%. Hal ini menjadi pertimbangan untuk pemilihan model turbulensi.
(a)
(b)
Gambar 5.5 Kontur kecepatan untuk model turbulensi (a) k-epsilon dan (b) SST
Bila dilihat dari kontur kecepatan yang dihasilkan pada kedua model turbulensi di atas, juga terdapat perbedaan yang cukup siginifikan (Gambar 5.5). pertimbangan dalam pemilihan model turbulensi adalah keakuratan model dalam memprediksi aliran yang sebenarnya serta kecocokan dengan kondisi aliran sesuai referensi. Seperti misalnya aliran yang berotasi, besar bilangan Reynolds aliran dan juga pertimbangan kualitas grid. Model k-epsilon memiliki kelemahan dalam menangani masalah swirling flows dan aliran dengan lapisan batas yang melengkung dikarenakan model ini tidak mengandung pengaruh streamline yang melengkung pada turbulensi. Padahal model rotor untuk radial turbo-ekspander memiliki bilah yang sangat melengkung. Oleh karena itu, model k-epsilon tidak dapat digunakan karena kurang akurat untuk kasus ini. Sedangkan untuk model turbulensi SST dapat digunakan untuk memberikan akurasi yang tinggi terhadap letak awal dan jumlah aliran dalam separasi di dalam adverse pressure gradient.
68
V.3 Studi Fisik Aliran Simulasi ini dilakukan dengan tujuan mengetahui dengan lebih jelas pengaruh rotasi atau putaran rotor terhadap aliran steady. Dengan mengetahui pengaruh putaran rotor terhadap aliran, kita dapat lebih memahami bagaimana perilaku aliran disekitar rotor serta efek terhadap daya maupun properti aerodinamikanya. Di bawah ini diperlihatkan kontur tekanan, bilangan Mach, serta temperatur di kondisi steady dengan putaran rotor 15000, 20000, dan 30000 rpm untuk fluida kerja R123 dan R134a.
Fluida R123 (15000 rpm)
Fluida R123 (20000 rpm)
69
Fluida R123 (30000 rpm) Gambar 5.6 Kontur kecepatan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R123
Dari kontur kecepatan di atas dapat dilihat bahwa kecepatan masuk pada rotor semakin besar untuk putaran rotor semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya aliran yang menyatu (mixed) antara aliran masuk rotor dengan aliran arah tangensial rotor. Dengan putaran yang semakin tinggi juga dapat dilihat bahwa kecepatan semburan keluar dari rotor akan semakin besar. Dari Gambar 5.6 dan 5.7 menunjukan untuk fluida kerja R123 semakin tinggi putaran rotor akan mengakibatkan fenomena choking. Terlihat bahwa daerah yang berwarna biru (kecepatan 0) semakin besar pada putaran rotor 20000 dan 30000 rpm. Hal tersebut juga ditunjukan pada kontur tekanan dan kontur bilangan mach pada Gambar 5.8. sedangkan pada Gambar 5.9, 5.10, dan 5.11 secara berurutan menunjukan kontur kecepatan, tekanan, dan bilangan mach untuk rotor radial turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R134a. Dari hasil simulasi tersebut menunjukan pola aliran pada fluida kerja R134a lebih baik jika dibandingkan dengan fluida kerja R123. Hal ini di tunjukan dengan luas daerah shockwave yang lebih sedikit (berwarna biru) atau kecepatan sama dengan 0 m/s dibandingkan dengan R123 yang memiliki daerah shockwave yang lebih besar.
70
Fluida R123 (15000 rpm)
Fluida R123 (20000 rpm)
Fluida R123 (30000 rpm) Gambar 5.7 Kontur Tekanan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R123
71
Fluida R123 (15000 rpm)
Fluida R123 (20000 rpm)
Fluida R123 (30000 rpm) Gambar 5.8 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R123
72
Fluida R134a (15000 rpm)
Fluida R134a (20000 rpm)
Fluida R134a (30000 rpm) Gambar 5.9 Kontur kecepatan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R134a
73
Fluida R134a (15000 rpm)
Fluida R134a (20000 rpm)
Fluida R134a (30000 rpm) Gambar 5.10 Kontur Tekanan untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R134a
74
Fluida R134a (15000 rpm)
Fluida R134a (20000 rpm)
Fluida R134a (30000 rpm) Gambar 5.11 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady dengan variasi putaran rotor untuk fluida kerja R123
75
Pada Gambar 5.12 dan 5.13 menunjukan pola aliran bilangan mach pada daerah leading edge LE (inlet rotor) dan trailing edge TE (outlet rotor) untuk fluida kerja R123 dan R134a. Pada daerah leading edge menunjukan bahwa nilai bilangan mach untuk fluida kerja R123 lebih tinggi dibandingkan dengan R134a. Pada R123 nilai bilangan mach paling tinggi sebesar 1,2. Sedangkan pada R134 nilai bilangan mach paling tinggi sebesar 0,9. Walaupun pada R123 memiliki nilai bilangan mach yang tinggi, akan tetapi tidak mengakibatkan chocking pada daera leading edge (inlet rotor) karena luas area yang memiliki nilai bilangan mach diatas 1 tidak lebih dari 20% dari luas area inlet rotor. Sedangkan pada Gambar 5.14 menunjukan kontur kecepatan pada daerah leading edge LE (inlet rotor) dan trailing edge TE (outlet rotor) untuk fluida kerja R123 dan R134a. Pada daerah leading edge menunjukan bahwa nilai kecepatan untuk fluida kerja R123 lebih rendah dibandingkan dengan R134a. Pada R123 nilai kontur kecepatan paling tinggi sebesar 150 m/s. Sedangkan pada R134 nilai kontur kecepatan paling tinggi sebesar 190 m/s. Pada Gambar 5.15 dan 5.16 menunjukan grafik distribusi tekanan pada daerah streamwise rotor radial turbo-ekspander dengan fluida kerja R123 dan R134a. Untuk fluida kerja R123 pada daerah 0 streamwise (inlet rotor) nilai tekanan sebesar 2,6 bar dan pada daerah 1 streamwise sebesar 1 bar. Sedangkan untuk fluida kerja R134a pada daerah 0 streamwise (inlet rotor) nilai tekanan sebesar 2,4 bar dan pada daerah 1 streamwise sebesar 1 bar. Sedangkan pada Gambar 5.17 dan 5.18 menunjukan pola aliran bilangan mach pada rotor radial turbo-ekspander dengan fluida kerja R123 dan R134a. untuk fluida kerja R123 menunjukan nilai bilangan mach lebih tinggi dan luas area yang memiliki nilai bilangan mach yang tinggi lebih besar dibandingkan dengan fluida kerja R134a. Nilai bilangan mach yang tinggi pada rotor harus dihindari, karena akan mengakibatkan choking pada rotor radial turbo-ekspander.
76
Gambar 5.12 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) untuk fluida kerja R123 LE
TE
Gambar 5.13 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) untuk fluida kerja R134a
R123
R134a
Gambar 5.14 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada bilah leading edge (LE) dan trailing edge (TE) untuk fluida kerja R134a
77
Gambar 5.15 Grafik distribusi tekanan untuk aliran steady pada rotor turboekspander untuk fluida kerja R123
Gambar 5.16 Grafik distribusi tekanan untuk aliran steady pada rotor turboekspander untuk fluida kerja R134a
78
Gambar 5.17 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady pada rotor turboekspander untuk fluida kerja R123
Gambar 5.18 Kontur bilangan Mach untuk aliran steady pada rotor turboekapander untuk fluida kerja R134a
79
0 rpm
15000 rpm
20000 rpm
30000 rpm
Gambar 5.19 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada rotor turbo-ekapander untuk fluida kerja R123a
0 rpm
15000 rpm
20000 rpm
30000 rpm
Gambar 5.20 Kontur kecepatan untuk aliran steady pada rotor turbo-ekapander untuk fluida kerja R134a
80
Gambar 5.19 dan 5.20 menunjukan kontur kecepatan pada rotor radial turboekspander dengan jumlah bilah lengkap (12 buah). Hasilnya menunjukan untuk fluida kerja R123 mempunyai daerah turbulensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan fluida kerja R134a. Hal ini juga mengakibatkan daya yang dihasilkan pada rotor fluida kerja R123 lebih rendah dibandingkan dengan fluida kerja R134a yaitu 7.08 kW dan 8.60 kW pada putaran rotasional 20000 rpm, seperti ditunjukan pada grafik pada Gambar 5.21.
14,00 R123
12,00
R134a
Daya (kW)
10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 15000
20000
30000
Gambar 5.21 Perbandingan daya yang dihasilkan rotor turbo-ekspander dengan fluida kerja R123 dan R134a dengan ANSYS-CFX
V.4 Proses Pembuatan Rotor Turbo-Ekspander Radial Proses selanjutnya yaitu pembuatan rotor radial turbo-ekspander untuk sistem ORC menggunakan software Solidworks untuk 3D modeling, Magics 14 untuk persiapan data dan pembuatan support pada mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting), MarCAM SLM AutoFab untuk pembuatan proses CAM. Setelah proses persiapan data tersebut, kemudian ditransfer ke mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting) untuk proses pembuatan rotor. Setelah rotor radial turbo-ekspander berhasil dibuat, kemudian dilakukan proses finishing menggunakan Sand dan Micro Blasting. Adapun diagram alirnya sebagai berikut :
81
Gambar 5.22 Diagram alir proses pembuatan rotor radial turbo-ekspander untuk sistem ORC Gambar 5.23 dan 5.24 menunjukan hasil pembuatan rotor dan mesin 3D prototyping SLM yang digunakan untuk pembuatan rotor radial turbo-ekspander untuk sistem ORC. Adapun proses pembuatan rotor turbo-ekspander radial memakan waktu 8 jam. Hal ini dapat menghemat waktu jika dibandingkan dengan proses pembuatan rotor yang menggunakan mesin CNC 5 axis yang memakan waktu selama 24 jam.
Gambar 5.23 Mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting) di Pusat Peneltian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI
82
Gambar 5.24 Rotor radial turbo-ekspander hasil perancangan dan pembuatan
83
Bab VI Kesimpulan dan Saran
VI.1 Kesimpulan Berdasarkan perancangan dan analisis hasil simulasi komputasional pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Telah dihasilkan rancangan turbo-ekspander radial dengan diameter rotor (r4) sebesar 100 mm, tinggi blade inlet (b4) 10 mm, radius rotor hub outlet (r6h) 31,8 mm, radius rotor tip outlet (r6t) 74,3 mm, tinggi blade outlet (b6) 42 mm, panjang chord (cr) 42 mm, menggunakan fluida kerja R134a. 2. Telah berhasil dibuat model rancangan dan prototipe rotor radial turboekspander untuk sistem ORC dengan fluida kerja R134a dan R123. Rancangan awal menggunakan metode parametrik yang menggunakan prosedur dari Baines. Perancangan detail menggunakan paket program ANSYS, dan analisis CFD menggunakan ANSYS CFX. Sedangkan pembuatan prototipe rotor menggunakan mesin 3D prototyping SLM (Selective Laser Melting) dengan material AlSi (Alumunium Silicon). 3. Pada perancangan awal dengan kondisi operasi putaran rotor sebesar 15000 rpm, laju aliran massa 0,4 kg/s, temperatur inlet rotor 1000C dan tekanan inlet 5 bar, secara berurutan yaitu R134a menghasilkan daya sebesar 10 kW. Kemudian dikuti secara berurutan yaitu n-Pentane dengan daya sebesar 9,6 kW, R143a sebesar 9,2 kW, R123 dengan daya sebesar 7.7 kW, dan R245fa dengan daya sebesar 7,4 kW. 4. Efisiensi pada rotor turbo-ekspander radial pada perancangan awal pada R134a sebesar 0,71, R123a sebesar 0,66, R245fa sebesar 0,65, R143a sebesar 0,70, dan n-Pentane sebesar 0,71 5. Pemilihan model simulasi dipilih R134a dan R123 dilakukan dengan studi pengaruh grid terhadap akurasi dan waktu komputasi.dengan tingkat akurasi sebesar 16%, walaupun rata-rata waktu komputasi 28 menit, maka dipilihlah model 3 dengan jumlah grid 250000 untuk simulasi selanjutnya. 6. Studi model turbulensi menunjukan bahwa model SST (Shear Stress Transport) merupakan pilihan yang paling baik dengan pertimbangan model
84
Reynolds Stress dan lebih sesuai untuk kasus yang ada yaitu adanya streamline yang melengkung. 7. Hasil simulasi efek putaran rotor pada kondisi steady state menunjukan bahwa terdapat perbedaan dari fisik alirannya seperti adanya shockwaveboundary layer interaction dan backflow pada radial turbo-ekspander yang menggunakan fluida kerja R123. Sedangkan pada fluida kerja R134a pada putaran rotor 20000 rpm daerah shockwave dapat dikurangi. 8. Pada simulasi CFD menggunakan ANSYS CFX dihasilkan performa dengan daya sebesar 6,72 kW, 8,60 kW, 11,62 pada rpm 15000, 20000, dan 30000 untuk fluida kerja R134a. Sedangkan untuk R123 dihasilkan daya sebesar 5,51 kW, 7,08 kW, 7,30 kW pada pada rpm 15000, 20000, dan 30000. 9. Terjadi perbedaan antara analisis CFD dan perancangan awal, dimana untuk fluida kerja R134 menghasilkan daya 10 kW, sedangkan untuk hasil analisis CFD menghasilkan daya sebesar 6,72 kW pada rpm 15000. Sehingga dianggap efisiensi dari rotor radial turbo-ekspander yang berhasil dibuat sebesar 0.67. VI.2 Saran 1. Sebagai kelanjutan rancangan dan simulasi radial turbo-ekspander untuk sistem ORC ini diperlukan pembuatan prototipe turbin ORC secara lengkap untuk menvalidasi hasil dari rancangan simulasi dengan melakukan studi eksperimental pada sistem ORC sehingga dapat dilakukan uji performansi pada kondisi yang sebenarnya. 2. Perlu dilakukan validasi dengan perangkat lunak yang lain terhadap model radial turbo-ekspander dalam tesis ini sehingga dapat digunakan sebagai data perbandingan.
85
DAFTAR PUSTAKA [1]
T. Hung, “Waste heat recovery of organic Rankine cycle using dry ¯ uids,” vol. 42, pp. 539–553, 2001.
[2]
Z. Gnutek and a Bryszewska-Mazurek, “The thermodynamic analysis of multicycle ORC engine,” Energy, vol. 26, no. 12, pp. 1075–1082, Dec. 2001.
[3]
E. Int, P. Economics, and E. Technology, “production economics Electricity from industrial waste heat using high-speed organic Rankine cycle (ORC),” vol. 41, pp. 227–235, 1995.
[4]
D. Manolakos, G. Papadakis, S. Kyritsis, and K. Bouzianas, “Experimental evaluation of an autonomous low-temperature solar Rankine cycle system for reverse osmosis desalination,” Desalination, vol. 203, no. 1–3, pp. 366– 374, Feb. 2007.
[5]
a. Schuster, S. Karellas, E. Kakaras, and H. Spliethoff, “Energetic and economic investigation of Organic Rankine Cycle applications,” Appl. Therm. Eng., vol. 29, no. 8–9, pp. 1809–1817, Jun. 2009.
[6]
M. Kanoglu, “Exergy analysis of a dual-level binary geothermal power plant,” Geothermics, vol. 31, no. 6, pp. 709–724, Dec. 2002.
[7]
M. Talbi and B. Agnew, “Energy recovery from diesel engine exhaust gases for performance enhancement and air conditioning,” Appl. Therm. Eng., vol. 22, no. 6, pp. 693–702, Apr. 2002.
[8]
M. Kane, “Small hybrid solar power system,” Energy, vol. 28, no. 14, pp. 1427–1443, Nov. 2003.
[9]
E. H. Wang, H. G. Zhang, B. Y. Fan, M. G. Ouyang, Y. Zhao, and Q. H. Mu, “Study of working fluid selection of organic Rankine cycle (ORC) for engine waste heat recovery,” Energy, vol. 36, no. 5, pp. 3406–3418, May 2011.
[10] G. Qiu, “Selection of working fluids for micro-CHP systems with ORC,” Renew. Energy, vol. 48, pp. 565–570, Dec. 2012. [11] T. A. Davidson, “Design and analysis of a 1 kw Rankine power cycle, employing a multi-vane expander, for use with a low temperature solar collector.” MIT, pp. 1–65, 1977. [12] E. Bala, “Design Optimisation of a Solar-Energy Harnessing System for Stimulating an Irrigation Pump S . D . Probert , Mohey Hussein , P . W . O ’ Callaghan h Diameter ( m ).,” vol. 15, pp. 299–321, 1983.
86
[13] O. Badr, P. W. O’Callaghan, and S. D. Probert, “Rankine-cycle systems for harnessing power from low-grade energy sources,” Appl. Energy, vol. 36, no. 4, pp. 263–292, Jan. 1990. [14] F. Vélez, J. J. Segovia, M. C. Martín, G. Antolín, F. Chejne, and A. Quijano, “A technical, economical and market review of organic Rankine cycles for the conversion of low-grade heat for power generation,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 16, no. 6, pp. 4175–4189, Aug. 2012. [15] Enertime, “The Organic Rankine Cycle and its applications,” 2011. [Online]. Available: http://www.cycle-organique-rankine.com. [16] N. Cirincione, Design, Construction And Commissioning Of An Organic Rankine Cycle Waste Heat Recovery System With A Tesla-Hybrid Turbine Expander. Colorado: Colorado State University, 2011, p. 79. [17] J. Bao and L. Zhao, “A review of working fluid and expander selections for organic Rankine cycle,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 24, no. 0, pp. 325–342, Aug. 2013. [18] S. L. Dixon, Fluid Mechanics and Thermodynamics ofTurbomachinery, 6th ed. Elsevier, 2010. [19] J. D. Mattingly, Elements of Propulsion : Gas Turbines and Rockets. McGraw-Hill, 1996. [20] N. C. Baines, Axial and Radial Turbines. CONCEPT NREC, 2003. [21] R. H. Aungier, Turbine Aerodynamics: Axial-Flow and Radial-Flow Turbine Design and Analysis. ASME Press, 2006. [22]
J.Gozali, Ari D Pasek, Nathanael P.T, Perancangan Turbin Radial Aliran Masuk Siklus Biner PLTP Lahendong. ITB, 2011.
87