Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
PENELITIAN TAFSIR SEBAGAI PENELITIAN ILMIAH Dudung Abdullah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Abstract Qur’anic exegesis is the knowledge in explaining the meaning of verse based on the explicit understanding according to human capacity. This Qur’anix exegesis is relevant to the knowledge criteria, they are ontologism, epistemologies, axiology. The Qur’anic exegesis research has its own methodology and systematic approaches. The result is that exploring deep and appropriate information about Qur’anic messages according to human’s needs. Kata Kunci: Penelitian, tafsir, ilmiah
Al-Risalah
| Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
205
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
PENDAHULUAN
T
afsir adalah ilmu yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan adalah (petunjuk) yang zhahir dalam batas kemampuan manusia.1 Tafsir tersebut bertujuan agar ayat-ayat Alquran dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Dan sesuai dengan kehendak Allah Swt, sebatas yang dapat ditangkap oleh seorang mufassir. Rasulullah SAW adalah mufassir utama dan pertama Alquran dan merupakan sumber tafsir bi al-ma’tsur.2 Sesudah masa Al-Tabari tafsir telah tercampur dengan pendapat-pendapat pribadi-pribadi para mufassir dengan kemampuan akalnya, kapasitas ilmu pengetahuannya dan perkembangan zaman.3 Tafsir yang didasarkan kepada pendapat akal inilah yang kemudian yang disebut tafsir bi al-ra’yi. Upaya menafsirkan Alquran dengan benar merupakan pembukaan tentang seruan, risalah dan syariat Islam. 4 Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan para pakar dalam bentuk untuk kembali menelaah Alquran dan tafsirnya5 adalah salah satu indikator luapan perhatian untuk kembali bersandar ke Alquran (al-Ruju’ ila AlQur’an) dengan menggali ke-hidayahannya6 berupa ilmu dan amaliyahnya. Al-Qur’an dalam tradisi pemikiran Islam telah melahirkan sederetan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan dan teks turunan tersebut dikenal sebagai literatur tafsir dengan kandungan dan karakteristik masingmasing. Usaha-usaha akademis yang mencoba meneliti Alquran sebagai karya tafsir secara metodologi kritis dengan mempertimbangkan berbagai aspek guna mendapatkan pesan-pesan keilmuan dan kehidayahannya. Nampaknya senantiasa diperlukan, “suatu karya tafsir lahir dengan pergumulan latar 1Dewan Redaksi E.I.,
Ensiklopedia Islam, Vol. 5 (Jakart a: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 29. al-Ula, Kurun Istimewa di Mana Lahirnya Penafsirqn Resmi yang Langsung Ditangani Rasulullah Saw. Lihat Muhammad Husai al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I (Mesir: Dar al-Kutub al Hadis, 1976), h. 10. Lihat Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Suyuti, Al-Tafsir fi Ulum al-Qur’an II Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 420-422. 3Dewan Redaksi E.I., op. cit., h. 30, Lihat Nasharuddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 376-377. 4Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, I (Kairo: Dar alTurats; t.th.), h. 2. 5H. Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: IAINAlauddin, 1999), h. 2. 6Diperlukannya penyusunan tafsir Islam murni yang sesuai dengan tuntutan zaman, lihat Nash Abu Zayd, Rethinking the Qur’an to Wards a Humanistic (Amsterdam: Humanstic Press, 2004), h. 3. Lihat juga Zahiruddin Baidhawi, al-Ruju’ Ila al-Qur’an, dari kekebalan Fondasionalisme Menuju Pencerahan Hermeneutis” dalam Pradana Boy-M. Hifni Faig (Ed), Kembali ke Al-Qur’an Menafsir Makna Zaman (Malang: UMM Press, 2004), h. 52. 2Al-Marhalah
206
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
belakang penafsirannya secara paradigma yang sama sekali tidak sakral dan tidak kedap kritik”.7 Berfikir kritis untuk menemukan inovasi dan informasi baru yang lebih bermanfaat merupakan peluang sekaligus tantangan bagi ilmuwan khususnya para intelektual Muslim. Pembaharuan pemikiran islami tampak pesat menelusuri kemajuan era globalisasi, akan tetapi fenomena yang tampak dalam masyarakat adalah kebingugan global. Itu mengisyaratkan ada ketidakberesan dalam langkahlangkah pembaharuan yang ditempuh. 8 Pembaharuan di bidang apapun kekuatan ilmu hendaknya dibarengi dengan moral. “Semakin cerdas maka semakin pandai menemukan kebenaran”. 9 Makin benar makin baik pula perbuatannya, dengan kata lain makin memiliki penalaran tinggi makin berbudi. Di sini ajaran agama berperan dengan lahirnya interaksi, interaksi antara ilmu dan moral yang bersumber pada ajaran agama yang berkonotasi metafisika. Kolaborasi antara ilmu dan moral ini mutlak dimiliki utamanya bagi mufassir atau peminat yang ingin memahami Alquran, “dengan hati terbuka serta mengosongkan atau menetralisir dari persepsi berupa konsep-konsep dan teori yang telah dimilikinya.10 Untuk memenuhi maksud tersebut, tafsir Alquran dengan menggunakan metode yang tepat dan langkah-langkah yang sistematis didasari niat suci, secara ideal akan mampu mendapatkan kehidayaan Alquran, ilmu dan amaliyahnya. Dari latar belakang di atas dapat ditarik dua permasalahan penting, yaitu: Indikator apa yang terdapat dalam tafsir sebagai penelitian ilmiah? Dan Bagaimana langkah-langkah penelitian tafsir?
PEMBAHASAN 1. Pengertian Tafsir 7H.
Amin Abdullah, Arah Baru Metode Penelitian Tafsir, dalam Islah Gusmian Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Idiologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 17. 8Lihat Abd. Muin Salim, Al-Qur’an Metode Memahaminya, Makalah Disampaikan dalam Penataan Metodologi Tafsir, di IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1994, h. 1. 9Lihat Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), h. 229. 10H. Abd. Muin Salim, Al-Qur’an Metode Memahaminya. Makalah disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1994), h. 5. Lebih lanjut lihat Abu A’la alMaududi, Mabadi Asasiah li Fahmi al-Qur’an (Jakarta: DDII, 1969), h. 48. Al-Risalah
| Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
207
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai hukum Aqiqah. Jumhur ulama berpendapat bahwaa aqiqah hukumnya sunnah. Sementara itu, ulama Dzahiriyah memandang bahwaa aqiqah hukumnya wajib. Adapun ulama Hanafiyah menyatakan bahwaa hukum aqiqah tidak Jiirdu dan tidak pula sunnah, tetapi tathawwu.11 Perbedaan pendapat mengenai hukum aqiqah tersebut berpangkal pada perbedaan dalam Tafsir ) (تفسيرdalam pengertian bahasa االيضاح والتبيين12 artinya menjelaskan atau menerangkan, sedangkan tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas makna ayat Alquran sesuai dengan adalah (petunjuk) yang zhahir dalam batas kemampuan manusia.13 Ulama tafsir tidak sepakat dalam memberi pengertian tafsir. Hal itu disebabkan antara lain adanya perbedaan dalam menggunakan pendekatan, al-Zarkasyi memandang tafsir sebagai ilmu alat, sedangkan al-Zarqani melihat tafsir sebagai pengetahuan tentang petunjuk Alquran. Pada sisi lain ulama tafsir tampaknya sependapat bahwaa tafsir adalah kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk kebaikan hidup umat manusia.14 Muhamamd Abduh memandang esensi tafsir sebagai kegiatan ilmiah berusaha memahami mengeluarkan kandungan Alquran, utamanya segi kehidayahannya.15 Dari perbedaan pendapat di atas dapat dirumuskan konsep-konsep yang termuat dari terminologi tafsir, yaitu: a. Kegiatan ilmiah untuk memahami kandungan Alquran. b. Kegiatan ilmiah untuk menjelaskan Alquran. c. Pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk memahami Alquran. d. Pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan memahami Alquran.16 Dari empat konsep tersebut nampaknya bisa juga diungkapkan dalam statement lain, yaitu: a. Tafsir sebagai teori / metode memahami Alquran. b. Tafsir sebagai proses kegiatan menjelaskan. c. Tafsir sebagai pengetahuan, hasil (produk) dari kegiatan memahami Alquran. 11
Ibnu Rusyd, Bidaya al-Mujtahid wa Nihaya al-Mustashid, Juz I, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th),
h. 339-340 12Muhammad
Husain al-Dzzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, I (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadis, 1976), h 13. 13Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Loc. cit. Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu AlQur’an, Media-media Pokok dalam Menafsirkan A-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 188. 14H. Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi- op.cit., h. 7. 15Abd. Al-Ghaffar, Abd. Rahman, al-Imam Muhammad Abduh, Wa Manhajuhu fi al-Tafsir (Kairo: al-Halabi, t.th.), h. 175, dan al-Manar, 1367 H), h. 12-13. Hidayah yang mengantar manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 18-19. 16H. Abd. Muin Salim, Rekonstruksi, op. cit., h. 7-8.
208
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
2. Indikator dalam Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah Alquran yang amat luas wawasannya dan terbuka untuk dikaji dan dijelaskan. Pengkajian atau penelitian terhadap Alquran secara tegas diperintahkan, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Shad (38): 29, dan Q.S. Muhammad (47): 24: Terjemahnya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran atau hati mereka terkunci”. Peluang sekaligus tantangan untuk memahami makna Alquran, khususnya bagi cendekiawan (ulu al-albab). Seorang cendikiawan muslim tentu berbeda dengan orang kebanyakan dalam memandang dan mengkaji teks-teks ayat Alquran. Dalam usaha memahami Alquran, ulama membagi umat Islam ke dalam dua golongan besar yaitu awam dan khawas. Dalam hubungannya dengan Alquran, kaum awam memahami misi Alquran sesuai dengan tingkatan kecerdasan mereka, sedang kaum khawas memahaminya menurut pengetahuan dan ketajaman akal yang mereka miliki. Dalam hal ini, Harun Nasution melansir bahwaa ayat-ayat untuk kaum awam turun dalam bahasa yang mereka pahami, tetapi oleh kaum khawas diberi interpretasi atau dicari arti agar dapat diterima akal mereka. Ayat untuk kaum khawas datang dalam bahasa yang tidak dapat ditangkap oleh kaum awam. Yang dimaksud oleh Abduh ayat-ayat demikian, tampaknya adalah ayat-ayat tentang fenomena alam yang harus dipikirkan manusia untuk mengenal kebesaran dan keagungan Tuhan. Ada pula ayat-ayat yang sama-sama ditujukan kaum awam dan kaum khawas yaitu kewajiban manusia terhadap manusia.17 Terjemahan dapat dipakai untuk memahami Alquran secara umum yang tidak mendalam, namun untuk memperoleh pengajaran dan pemahaman yang mendalam, apalagi untuk mengambil ketentuan-ketentuan hukum dan dasar-dasar keimanan, orang harus pergi ke teks aslinya dalam bahasa Arab. Melihat langsung teks asli dalam bahasa Arab tersebut didasarkan atas pertimbangan: a. Bahasa Arab mempunyai susunan kata dan tata bahasa tersendiri yang banyak perbedaan dengan susunan kata dan kata bahasa dari bahasa lain. b. Ayat-ayat Alquran diturunkan dalam gaya ringkas tanpa banyak keterangan apalagi rincian dan oleh karena itu muncul interpretasi yang berlainan.
17Harun Nasution, Islam
Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 22. Al-Risalah
| Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
209
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
c. Dalam linguistik diatur bahwaa kata terjemahan tidak memberi arti yang identik dengan arti yang dikandung dalam bahasa aslinya, setiap bahasa menggambarkan filsafat, pandangan hidup dan tradisi sendiri.18 Dengan demikian, jelas untuk memahami dan menjelaskan teks-teks Alquran secara baik dan benar mutlak diperlukan ilmu tersendiri. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang memiliki indikator tertentu, yang membeda-bedakan satu sama lainnya. Indikator tersebut yaitu: “ontologism, epistimolog, dan aksiologis”.19 Jadi untuk mengecek atau mentes apakah pengetahuan itu dapat dikategorikan sebagai ilmu untuk membedakan dengan ilmu lainnya bisa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. a. Ontologis: Pertanyaannya, apa yang dikaji oleh tafsir atau objek apa yang dibahas tafsir? Jawabannya adalah ayat-ayat Alquran b. Epistimologi: Bagaimana caranya mengetahui tafsir atau bagaimana prakteknya? Jawabannya tafsir mempunyai cara atau metode yang dipakai secara efektif dan akurat. c. Aksiologis, Apa manfaat dari tafsir tersebut? Secara singkat jawabannya, antara lain untuk dapat memahami dan menyelesaikan makna yang terkandung dalam Alquran, untuk kemudian dapat dijadikan petunjuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut, maka dengan mudah kita dapat menyimpulkan bahwaa pengetahuan tersebut dalam hal ini tafsir merupakan ilmu tersendiri atau tafsir tersebut adalah pengetahuan ilmiah tersendiri atau tafsir tersebut adalah pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan yang sistematis. 3. Langkah-langkah Penelitian Tafsir Alquran sebenarnya bukanlah ensiklopedia yang dialamnya dapat kita jumpai apa saja yang dicari. Alquran pada hakikatnya seperti dapat dilihat dari kandungannya adalah kitab agama yang dikirimkan Tuhan kepada manusia untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi mereka dalam menjalani kehidupannya. Untuk memperoleh petunjuk yang dimaksud, antara lain dengan memahami kandungannya dengan melalui tafsir. Bentuk dasar tafsir yakni: Tafsir bi al-Riwayah / alma’tsur (transmission or narration), Tafsir bi al-Dirayah / al-Ra’yi (knowledge or opinion), dan
18Lihat
ibid., h. 23. Bandingkan dengan artikel tentang pentingnya penguasaan bahasa Arab untuk kategori penelitian sumber termasuk didalamnya Alquran yang harus diteliti dari berbagai aspek, Lihat H.A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulang Bintang, 1991), h. 25-27. 19Jujun S. Suria Sumantri, op. cit.,h. 35.
210
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
tafsir bi al-Isyariy (sign or indication)20 kendatipun ada yang memilih tipe tafsir klasik dan tipe tafsir kontemporer namun kesemuanya itu masih diperlukan hingga saat ini. Bermunculannya berbagai interpretasi atau penafsiran dengan wajah yang berbeda sesuai dengan pemahaman dan kecenderungan penafsir sendiri, dengan kata lain filosof akan memberi interpretasi mistik, kelompok yang cenderung kepada fatalism akan memberi interpretasi yang rasional dan demikian seterusnya. Selain kecenderungan mufassir dalam memberikan interpretasi, maka metode tafsir yang digunakan, juga akan menentukan wajah tafsir. Method, thariqah atau manhaj adalah cara kerja yang sistematis untuk memudahkan suatu kegiatan tertentu.21 Dalam kaitan ini, studi tafsir Alquran tidak terlepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapaipemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah di dalam ayat-ayat Alquran. Jika ditelusuri perkembangan tafisr Alquran sejak dulu hingga sekarang, secara garis besar penafsiran Alquran itu dipergunakan empat cara (method) yaitu: ijmali (global), tahlili (analisis), muqarin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik).22 Nabi dan para sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan rincian yang memadai karena itu tidak salah bila dikatakan penafsiran Alquran yang paling awal muncul. Dari keempat metode penafsiran tersebut jika diambil perbandingan dengan metode penelitian ilmiah nampaknya metode mawdhu’i (tematis) lebih tepat untuk mewakili sebagai contoh atau sampel dari beberapa metode tafsir tersebut. Secara sederhana dikemukakan bahwa langkah-langkah penelitian ilmiah antara lain: a. Perumusan masalah b. Penyusunan hipotesis (jika diperlukan) c. Pengumpulan data d. Pengolahan dan interpretasi data e. Pengambilan kesimpulan f. Penyusunan laporan.23
20Al-Zarqani,
Muhammad Abd. Azhim, Manahilil al-Iran fi Ulum Al-Qur’an, II (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.), h. II. Lihat juga Thameem Ushama, Metodologies of the Quranic Exegenis (Kualalumpur: Pustaka Hayathi, 1995), h. VIII. 21Nashruddin Baidan, Metodologies Penafsiran Alqur’an (Yogyakarta: Qlagah, 1998), h. 7. Lihat juga Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16. Lihat Noah Webster, New Twennieth Century Dictionary (Amerika: William Collins, 1980), h. 1134. 22Abd. Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Mawdhu’I (t.tp., 1977), h. 23. Lihat Zahir ibn Awad al-Almai, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’i. 23Lihat Jujun S. Suria Sumantri, op. cit., h. 119. Lihat juga The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 110. Al-Risalah
| Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
211
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
Tafsir secara operasional mendapat pengetahuan yang bersumber dari pengajian ayat-ayat qauliyah, sementara berhadapan dengan metode penelitian lainnya yang mengkaji fenomena kauniyah. Dalam hal ini seseorang yang menemukan masalah dalam kehidupannya dapat mencari jawabannya dari Alquran dengan menempuh prosedur dan langkah-langkah yang telah ditentukan. Langkah-langkah sistematis penelitian tafsir mawdhu’i (tematis) yang harus ditempuh,24 yaitu: a. Menentukan topik bahasan setelah menentukan batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya di dalam ayat-ayat Alquran. b. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. c. Menyusun urutan ayat sesuai dengan masa turunnya, misalnya dengan mendahulukan ayat-ayat makkiyah dari pada ayat-ayat madaniyah. d. Kajian tafsir ini memerlukan bantuan penafsiran tahlili (analisis), seperti sebab nuzul ayat, hubungan (munasabah) ayat, pengetahuan tentang adalah suatu lafazh dan penggunaannya. e. Menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis menyangkut masalah yang dibahas itu. g. Mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayatayat yang sama pengertiannya. Atau mengkompromikan antara amm (umum) dan khas (khusus), yang mutlaq dan muqayyad. Atau yang kelihatan kontradiktif, semuanya bertemu dalam satu muara atau perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran. h. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap pasal itu dibahas. Metode Mawdhu’i (tematis) ini, jelas tidak bisa berdiri tanpa dibantu oleh metode-metode penafsiran lainnya tanpa dibantu oleh metode-metode penafsiran lainnya yang diperlukan guna penyempurnaan penelitian. Di samping perangkat metode yang media “aspek mufassir tetap memegang peranan”.25 Meskipun mufassir tetap menggunakan ra’yu (pemikiran) namun ia tidak bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamanya terhadap nilai-nilai dari kandungan Alquran dan Sunnah Nabi Saw. tetapi pemahaman terhadap nilai dan kandungan Al-Quran dan sunnah saja. Menurut para ulama tidak cukup untuk menjamin kebenaran tafsir dengan rasio. Oleh karena itu dalam hal ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat.
24Lihat
Abd. Hayy al-Farmawi, op. cit., h. 61. Lihat juga H.M. Quraish Shihab, H. Ahmad Surakardja, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 193-194. 25Sekilas karakter mufassir telah dikemukakan, lihat foot note no. 10 dan lihat Abd. Muin Salim, Al-Qur’an Metode Memahaminya, loc. cit.
212
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
Syarat-syarat mufassir ini antara lain: a. Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan seluk-beluknya b. Menguasai ilmu-ilmu Alquran c. Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Alquran, seperti hadis dan Ushul Fiqih d. Berakidah yang benar e. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam f. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan. Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini dapat menyebabkan seorang mufassir terperosok ke dalam kesalahan, sehingga penafsirannya tidak diterima. Penyusunan dan perumusan konsepsional dengan cara kolaborasi seluruh atau sebagian hasil penelitian diupayakan Alquran mampu diserap pesan-pesannya. Serta dapat menjawab tantangan zaman guna menyelamatkan umat manusia dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat PENUTUP Dalam ayat-ayat Alquran prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan isyaratisyarat kuat yang memerintahkan manusia untuk mengadakan penelitian, terutama terhadap para ilmuan (al-khawas/ulul –albab) untuk memahami dan menjelaskan Alquran ini tentunya melalui tafsir. Tafsir ini memiliki ciri-ciri (indikator) keilmuan yaitu secara ontologism, epistimologi dan aksiologis. Tafsir ini juga memiliki metode dan langkah-langkah yang sistematis yakni mengikuti prosedur ilmiah dengan demikian produk dari tafsir ini adalah informasi yang memiliki kriteria ilmu. Jika dihimpun secara teliti, penafsiran Alquran kaya dengan berbagai metode (manhaj) yakni, ijmali, tahlili, mugarin, dan mawdhu’i. metode-metode tersebut memiliki metode dan langkah-langkah masing-masing yang sistemtis. Perangkat metode dengan teknik interpretasi tersebut harus dibarengi dengan kompetensi mufassir yang didasari oleh iman dan niat suci serta akhlak mulia.
Al-Risalah
| Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010
213
Penelitian Tafsir sebagai Penelitian Ilmiah
Dudung Abdullah
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Abu Zayd, Nashr. Rethinking the Qur’an Towards a Humanistic. Amsterdam: Humanistic Press, 2004. Abdullah, Amin. Arah Baru Metode Penelitian Tafsir, dalam “Islah Qusmian, Khasanah TafsirIndonesia dari Hermeneutika Hingga Idiologi”. Jakarta: Teraju, 2003. Abd. Rahim, Abd. Gaffar. Al-Iman Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al Tafsir. Kairo:Al-Halabi, t.th. Ali, Mukti. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Al-Alma, Zahir abn Awad. Dirasat fi Tafsir al-Mawdhu’i li Al-Qur’an al-Karim. Riyadh: t.tp, 1984M/1404 H. Baidhawi, Zahiruddin. Al-Ruju’ Ila Al-Qur’an, dalam Pradana Bay – M. Hifni Faig (Ed), Kembali ke Al-Qur’an. Yogyakarta: Glagah, 1998. Dewan Redaksi EI. Ensiklopedi Islam. Vol 5. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir Al-Mufassirin, I. Mesir: Dar al-Kutub alHadits, 1976. Al-Farmawi, Abd. Hayy. Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu’i. t.t., tp., 1977. Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah. Jakarta: Gramedia, 1977. Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 1999. Al-Maududi, Abu A’la, Mabadi Asasiah, Li Fahmi Al-Qur’an. Jakarta: DDI, 1999. Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. I, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H. Al-Suyuthi, Abd. Rahman. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. II, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah, 1991. Salim, Abd. Muin. Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu. Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1999. Salim, Abd. Muin. Al-Qur’an Metode Memahaminya. IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1994. Sumantri, Jujun Suria. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 1988. Shihab, M. Quraish. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar. Jakarta: Lentera Haliq, 2006. Shihab, M. Quraish, dan Ahmad Sukardja. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. Ushama, Thameem. Methodologies of the Qurani Exagesis. Kualalumpur: Pustaka Hayathi, 1995. Webster, Noah. New Twentieth Dictionary. America: Wilian Collins, 1980.
214
Al-Risalah | Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010