PENELITIAN RIJAL AL HADIS (Revisi)
Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Program Magister UIN Alauddin Makassar pada Mata Kuliah Ulumul Hadis
Oleh SY. JAPAR SADIQ N I M 80100212177
Dosen Pemandu: Prof. Dr. HJ. ANDI RASDIANAH Dra. ST. AISYAH, M.A., Ph.D
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR 2013
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang, sejak zaman Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada pada abad ketiga hijriah. Perjuangan keras dari para ilmuan hadis dalam menyeleksi hadis telah menghasilkan berbagai metode hingga melahirkan kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut pada akhirnya berkembang menjadi ilmu tersendiri yang disebut ilmu hadis. Perkembangan keilmuan mencapai puncak kejayaannya, sekaitan dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada metode-metode yang dipergunakan pada abad ketiga tersebut. Al-Qur’an mengajarkan agar seseorang tidak mencela orang lain. Akan tetapi untuk kepentingan agama yang lebih besar, kepentingan penelitian hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, kejelekan atau kekurangan pribadi peribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan, karena penelitian terhadap pribadi periwayat dalam kaitannya penelitian hadis tidak hanya ditujukan kepada hal-hal yang terpuji (ta’dil ) saja, tetapi juga hal-hal yang tercela (jarh ). Salah satu dasar kritik sanad adalah ilm al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini dipakai untuk menyeleksi kualitas periwayat hadis. Orang-orang sanad merupakan perawi-perawi hadis, merekalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam ilmu rijalul hadis. Ilmu inilah yang menjadi parameter dalam menilai orang-orang yang ada pada sanad sebuah hadis. Dengan didasarkan pada orang-orang yang ada pada sanad dari sisi ta’dil dan jarh sehingga dapat memberikan gambaran
2
tentang kualitas hadis yang sampaikannya apakah hadis tersebut dapat diterima dan atau ditolak, karena dipastikan bahwa tidaklah mungkin orangorang yang memiliki integritas tinggi menyampaikan sesuatu yang tidak bersumber dari nabi, inilah yang menjadi landasan pokok dari penelitian
rijalul hadis.
B. Rumusan Masalah Dari
uraian
tersebut,
penulis
akan
mengemukakan
beberapa
permasalahan sebagai berikut: 1. Apa dan bagaimana ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa Ta’dil? 2. Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis? 3. Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?
3
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis Sebelum dikemukakan pengertian ilmu Rijal al-Hadis, terlebih dahulu akan diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal merupakan jamak dari kata rajul, artinya kaum pria.1 Totok Jumantoro mengemukakan bahwa ilmu Rijal al-Hadis adalah:
ِ ِ ِ ِ ﺴ ﺎ ﺴِﺔ وﺒ ﺴﺎِ ِ ﺸ ﺴ ﲔ ﺴوﺒ ﺸـﺴ ِﺎﺤ ﺒ ﺸـﺴﺎ ﻬ ﺸ ﺴ
Artinya:
ِ ﺸ ٌ ـُﺸ ﺴ ُ ِﺸ ِ ﺴ ﺸ آ ﺸ ﺴﻮ ِﺒل ﺒ ﺮﺴو ِﺒة ِ ﺸـﺴﺮُ ﺸ ِ ﺴ ﺒ
Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it-tabi’in2
Sementara itu, Subhi al-Shalih memberikan pengertian Rijal al-Hadis sebagai berikut:
3
".
Artinya:
ﺪ
ﺒ ﺷ ﺜوﺒة
ﺮف ﺷﺜوﺒة ﺒ ﺪ
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.
Dari pengertian tersebut, dipahami bahwa ilmu Rijal al-Hadis merupakan ilmu yang sangat penting posisinya dalam mengetahui kondisi para rawi, karena dalam ilmu ini dijelaskan riwayat hidup perawi, mazhab yang dipegangi serta keadaan para perawi dalam menerima hadis. 1
M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
2
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002), h. 208
3
h.110.
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t.),
4
Hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad itu ialah para perawi, dengan sanad lah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.4 Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai generasi
mukharriyul hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai secara fisik, karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (periwayat) hadis. 5 Pengetahuan yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan perawi hadis, tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.6 B. Teknik Menetapkan Jarh wa ta’dil Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
ﻘ ﺷﺪ م ﻰ ﺒ ﺮﺘ
ﺒ ﺎﺚ.1
Artinya: at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.7 Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah 4 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV; PT. Pustaka Rizki Putra,) h. 132. 5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.72.
6
Ibid.
7
Ibid., h. 77
5
kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini oleh anNasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
ﺒ ﺮﺘ ﻘ ﺷﺪم ﻰ ﺒ ﺷ ﺪ.2 Artinya: al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.8 Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan. Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh. Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan
‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”9
8
Ibid., h. 78.
6
ﺒ ﺮﺘ ﺒ ﺷ ﺮ
ﺷﺪل ﺒ ﺒﺛﺒ
ﺒﺛﺒ ﺎ ﺜض ﺒ ﺎ ﺜﺘ وﺒﳌ ﺷﺪل ﺎ.3
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.10
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan. Alasannya,
kritikus
yang
mampu
menjelaskan
sebab-sebab
ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan 9
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40. 10
M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 78.
7
penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih.11 (dicari yang lebih unggul). Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah.
ﺷﻘﺔ
ﻘ ﺟﺮ
ﺒﺛﺒ ﺎن ﺒ ﺎﺜﺘ ﺿ ﺎ.4
Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima.12 Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tidak siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut harus ditolak. Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan al-A’raj (w.117 H)13 berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis adri Nabi Muhammad saw, selalu hadir pada majlis Nabi Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqh.
ﺎ ﰱ ﺒ ﺮو ﲔ
ﺧ ﺔﺒ
ﺪ ﺒ ﺷﺷ
ﻘ ﺒ ﺮﺘ ﺒ.5
Artinya: 11
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 79.
12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52
13
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 52.
8
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.14 Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasanya, suatu kritikan hris jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.
ﺷﺪ
ﺪﺒوة ﺚ ﻮﺷﺔ
ﺒ ﺮﺘ ﺒ ﺎ ﺊ.6
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.15 Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusushan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.16
14
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
15
Ibid.,h. 81.
16
Ibid.
9
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-
jarh oleh para ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima. Para ulama Dalam menetapkan Rijal al-Hadis, telah melaksanakan sebuah usaha untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian para perawi (sanad) hadis.17 Pertama, pada zaman Nabi Muhammad saw. tidak seluruh hadis tertulis, kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad saw, terjadi pemalsuan hadis, ketiga, perhimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hadis sebagai sumber ajaran Islam meniscayakan adanya kepastian validitas bersumber dari Nabi Muhammad saw. Ulama ahli hadis telah membuat kaidah dalam menetapkan orangorang yang boleh diterima dan ditolak riwayatnya. Mana yang boleh ditulis hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa
Ta’dil.18
17
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (cet.I: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.11. 18
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 79.
10
C. Segi-segi Rijal al-Hadis yang Diteliti Para ulama hadis melakukan penelitian Rijal al-hadis dengan menggunakan metode yang beragam. Dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, pertama, Tarikhur Ruat, kedua, Jarh wat Ta’dil. Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk buku: a. Kitab-kitab Tarikh al-Ruwat Kitab Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis. Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat. 19 Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama menggunakan metode berikut: 1. Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut
Thabaqat . 2. Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-
Dzahabi.20 3. Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas apara periwayat hadis. 4. Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri, 19
Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), h.
292. 20
Lihat, M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis’Ulumuhu wa Mushthalahahu (Beirut: Darul Fikr, 1989), h.225.
11
kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis. 5. Menyususn berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kun’ya, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar ikhwah dan akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan). b. Kitab-kitab Al-jarh wa al-Ta’dil21 Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat , kitab Al-jarh wa al-Ta’dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya maupun dari segi kapasitas intelektualnya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan penelitian terhadap rijal al-hadis dalam dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci tentang kondisi periwayat tersebut. Sehingga dapat menentukan maqbul atau mardatnya suatu hadis.
D. Kaidah al-Jarh wa Ta’dil
Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata jarh lebih banyak digunakan dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga dalam bentuk konkrit (fisik).22 Menurut istilah, jarh adalah penolakan seorang rawi yang hafal (hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’) terhadap periwayatan perawi
21
Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis., op.cit., h. 295.
22
M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, op.cit., h. 28.
12
karena adanya cacat yang mencederakan atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syadz, dan lain sebagainya.23 Jadi Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan pengungkapannya itu bisa menggunakan periwatannya karena hal itu merupakan cacat dalam segi ‘adalah (keta’dilan) atau cacat dalam segi
kedhabit -an mereka. Adapun Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).24 Menurut istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima periwayatannya. Hal ini merupakan gambaran terhadap sifatsifat seorang rawi yang diterima. 25 Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
ﺪﺒ ﺔ ﻬﺪم ﺒ ﻘ ﻮل ﺮوﺒ Artinya:
ﺎت ﻮ ﺟ
ﺒ ﺷﺮ ﺒوي
و
Mendefinisikan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.26
23
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.cit., h. 28.
24
Ibid. h. 29
25
Ibid.
26
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, op.cit., h. 327
13
Dapat ditegaskan bahwa menetapkan keta’dilan atau jarh kepada seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Mahmud Ali Fayyad, menetapkan keta’dilan itu sama dengan persaksian terhadap bersihnya seorang perawi, dan menetapkan jarh itu sama dengan menetapkan bahwa seorang perawi yang di-jarh itu tidak bermoral berdasarkan bukti-bukti kecacatan seseorang, betapa pentingnya persaksian ini karena pengamalan sunnah itu bergantung kepadanya.27 Ilmuan hadis menetapkan kaedah al jarh wa ta’dil, sebagai landasan dalam menilai rawi dalam hadis. Kaedah-kaedah jarh dan ta’dil adalah sebagai berikut: 1. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatannya, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun
Kharijiun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis). 2. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketidakshahihannya, ini dinamakan
Naqdun Dakhiliyun atau kritik dari dalam hadis. 28 Dalam kaitannya dengan keadaan para periwayat, ulama ahli hadis telah menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat yang berlaku untuk al-jarh wa at-ta’dil; sebagian ulama membagi menjadi empat perangkat; yang laim membagi menjadi lima peringkat; dan yang lain membagi menjadi enam peringkat.29 27
Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58. 28 29
TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, loc.cit.
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005) h. 96.
14
Menurut Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil, sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena terdapat perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (2) karena terdapat perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama; (3) karena dari kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.30 Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kritik terhadap para periwayat, ulama ahli hadis cukup hati-hati, baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan. Adapun kritik dari dalam hadis (naqdun dakhiliyun), Arifuddin Ahmad menegaskan bahwa apabila argumen-argumen yang diujikan untuk
matan hadis bersangkutan telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis bersangkutan adalah sahih. Sebaiknya, apabila argumenargumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah kesahihan matan, maka
matan hadis bersangkutan adalah dhaif pula. 31 Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan bahwa, apabila penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan pendekatan yang tepat maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki
matan yang sahih, sebab adanya syadz dan atau illat pada matan tidak terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam mengambil natijah terhadap penelitian sanad ataupun matan kurang tepat. Misalnya sikap yang longgar dalam menilai seorang periwayat; penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang kurang 30 31
Ibid Ibid., h. 128.
15
cermat dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang dhaif, padahal, hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda, yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal, kekeliruan disebabkan oleh kesalahan menggunakan pendekatan penelitian. E. Maratib al-Jarh wa at-Ta’dil Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah. Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil. Dan lafazh-lafazh yang menunjukkan pada setip tingkatan, sehinga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan, dan tingkatan jarh ada enam juga.32 Hal ini ditegaskan pula oleh al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-jarh dan al-
ta’dil menjadi enam tingkatan.33 Inilah urutan (tartib) tingkatan al-jarh dan al-ta’dil dengan menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara bertingkat mulai dari bentuk al-ta’dil yang paling kuat sampai yang terlemah, dan mulai dari bentuk al-jarh yang paling lemah sampai dengan yang paling kuat. 1. Peringkat ta’dil dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af ala”34 yang menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan, seperti ucapan: 32
Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 85.
33
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 60.
34
Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 88.
16
a.
= orang yang paling dipercaya
b.
= orang yang paling teguh
c.
= orang yang paling top keteguhan hati dan
lidahnya35
Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafaknya sendiri, seperti
=
orang yang teguh lagi teguh, atau yang diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan mereka hujja dan
= orang yang dipercayai lagi pula
= orang yang dipercayai lagi pula teguh.36
Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang mencerminkan kedhabithan, atau menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Seperti ucapan: (hati dan lidahnya),
= orang yang tsiqah,
= orang yang teguh
= seorang tokoh, dan,
= orang yang meyakinkan (ilmunya).37
Tingkatan keempat : yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan
= jujur,
tidak mengapa
dengannya, menurut selain Ibnu Ma’in, sebab menurut ibnu Ma’in kalimat adalah tsiqah, kemudian
= tsiqah. kemudian
= orang pilihan.
Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan ta’dil sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-tingkatan
35
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Loc. Cit.
36
Ibid., h. 61
37
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.t., h. 62.
17
yang
dijadikan
hujjah
dengan
keempat
tingkatan
yang
pertama,
diantaranya.”38 Ucapannya bersesuaian dengan kelompok mu’tadilin ulama
al-jarh wa al-ta’dil. Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan bahwa pemilik tingkatan keempat, hadisnya ditulis, diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya sehingga diketaui kedhabithannya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan dhabith, tetapi lebih kecil kedhabithannya daripada tingkatan keempat. Seperti ucapannya:39 = sesuatu mendekati hadisnya. = hadisnya baik = guru yang baik Tingkatan keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat adalah yang tidak kuat seperti ucapan:40 ءﷲ
= insya Allah dia jujur = orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat. = orang yang sedikit kesalihannya. = ditulis hadisnya, dan = dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk dipertimbangkan hadisnya) Adapun hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna al-Qaththan
adalah: a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, tetapi meskipun sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
38
Ibid., h. 64
39
Ibid., h. 65.
40
Ibid., h. 67.
18
b. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith, jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah dari tingkatan keempat. c. Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabith. d. Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi yang ditolak hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi keagamaannya ialah orang-orang baik dan ‘adalah, namun ketercelaanya hanyalah dari segi kedhabithannya saja (daya hafal dan daya ingat) kurang baik.41 2. Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
Tingkatan pertama: yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan) seperti: = lemah hadisnya, atau dan
= adanya ada kelemahan,
=di dalamnya pembicaraan yang paling rendah.
Tingkat kedua:
yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap
perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti:
=tidak bisa
dijadikan hujjah hadisnya; dan
hadis yang
=hadis lemah; serta
= memiliki hadis-hadis munkar.
ditolak dan juga
Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya seperti; hadisnya,
= lemah sekali,
= hadisnya dibuang,
41
Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 89.
= tidak dicatat = hadisnya ditolak.
19
Tingkatan keempat: pemalsuan
yang menunjukkan tuduhan dusta atau
hadis, seperti;
hadisnya ditinggikan;
= tertuduh bohong, tidak kuat,
=
= perlu diteliti hadisnya.
Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya, seperti; penipu;
=orang yang pembohong;
= orang yang pendusta atau pemalsu hadis;
= orang yang =orang yang
berbohong.
Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti; = orang yang paling bohong = orang yang paling dusta = orang yang paling top kedustaanya42 Adapun hukum tingkatan-tingkatan al-jarh ini, Manna A-Qaththan menegaskan bahwa: Untuk dua tingkatan pertama tidak dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih rendah daripada tingkatan pertama sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali.43 Terhadap ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah dan tidak tulis
42
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, op.ci.t., h. 68-73
43
Syaikh Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadis, Op.cit.,h. 90
20
menyebutkannya. Dan karena setiap orang berbeda dalam sebab-sebab jarhnya. Ulama yang men-jarh seorang perawi karena berdasarkan pada apa yang diyakininya sebagai jarh. Belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan sebab jarh untuk dapat dilihat apakah itu benar suatu cacat atau bukan. F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (tasawut).44 Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. AnNasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di alMadini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai kesiqaan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis. Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian yang mereka hasilkan.45 Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus
44
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Op.cit., h.74
45
Ibid. h.75
21
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif. Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarh wal-muaddil; 1. Alim 2. Bertaqwa 3. Wara’ 4. Jujur 5. Tidak terkena Jarh 6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi 7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.46 G. Kitab-kitab Rujukan Berikut ini dikemukakan kitab-kitab rijal dengan lebih mengacu kepada susunan yang dikemukakan oleh Mahmud At-Tahhan. a. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi
ﻹ Susunan Ibnu’ Abdil-Barr (wafat 463 H/1071 M).
Susunan Izud-Din Ibnul-Asir (wafat 630 H/ 1232 M).
ﻹ Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M). b. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqatur-ruwah) dilihat dari segi tertentu: 46
h.177
Noor Sulaiman PL., Antologi Ilmu Hadis. (Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta: 2009),
22
Susunan Ibnu Sa’ad (wafat 230 H).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/ 1348 M). c. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara umum:
Susunan al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M).
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H). d. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab hadis tertentu:
Susunan Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H).
Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H). kitab yang membahas para periwayat hadis di kitab-kitab hadis dari keempat tokoh mazhab figh yang tidak dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal karya al-Mizzi di atas.
ﻷ
ﻷﺋ
Susunan Ibnu Hajar al-A’Asqalan.
e. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis: (1) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang nilai berkualitas siqah oleh penyusunnya:
Susunan Abul-Hasan Ahmad bin’ Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H)
23
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (wafat 354 H / 965 M)
ء Susunan ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H). (2) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai lemah (da’if) oleh penyusunnya:
-ء Susunan al-Bukhari
ﻐ
–ء
Susunan al-Bukhari
ء Susunan an-Nasa’i.
ء Susunan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat 323 H).
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al Busti. (3) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat hadis yang kualitas mereka dipersoalkan:
ء Susunan Abu Ahmad ‘Abdullah
ﻹ Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani f. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan Negara asal mereka:
24
Susunan Bahsyal (Abul-Hasan Aslam bin Syahl) al-Wasiti (wafat 288 H)
ء Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Shahih al-
Bukhari.
Susunan Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H).
Susunan Ibnul-Qaisarani (Muhammad bin Tahir ar-Maqdisi) (wafat 507H). Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Sahih al-
Bukhari dan Sahih Muslim.
ﺆ Susunan Muhammad bin Yahya at-Tamimi (wafat 416 H). Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Muatta’
Malik (6) Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis al-Kutubus-Sittah (enam macam kitab hadis standar, yakni Sahih al-Bukhari Sahih
Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah):
ء Susunan ‘Abdul-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para periwayat al-
Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi penyempurnaan
25
Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi (wafat 742 H)
Susunan ‘Alaud-Din Muglataya (wafat 762 H).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Susunan Saifud-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat 924 H). (7) Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis di sepuluh kitab hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitab-kitab dari keempat tokoh mazhab fiqh (Muatta’Malik, Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad, dan
Musnad yang dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):
Susunan Muhammad bin Sa’id al-Qusyairi
Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdul-Jabbar ad-Darani (wafat 370 H).
ﻷ Susunan Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah al-Asbahani (wafat 430 H).
26
Susunan Abul-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi (wafat 427 H).
ﻐ Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi (wafat 463 H). (8) Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadis:
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).
Susunan Ahmad bin Hambal
Susunan Ibnul-Madini (wafat 234 H)
Susunan at-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).
ﻐ
-
Susunan at-Turmuzi
ﻷ Susunan a-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).47 Judul-judul kitab rijal hadis yang dikemukakan di atas lebih dari empat puluh macam. Seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad hadis.
47
Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah alMa’arif, 1978). h. 168-206.
27
BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Ilmu rijal al hadis adalah ilmu yang sangat tinggi nilainya, dan besar pengaruhnya. Karena dalam ilmu ini diterangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan para perawi, terutama integritas kepribadian dan kapasitas keilmuannya. 2. Penetapan teknik oleh para ulama ahli kritik hadis dimaksudkan agar penelitian terhadap para periwayat hadis dapat lebih objektif dalam menentukan apakah hadis tersebut daapt diterima atau ditolak. 3. Penelitian terhadap berbagai segi rijal al hadis adalah dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis. Juga sebagai upaya untuk mengenai lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui secara rinci kondisi periwayat tersebut. 4. Kaedah al-jarh wa ta’dil bertujuan untuk melakukan penelitian secara cermat, baik terhadap para periwayat maupun terhadap hadis itu sendiri. 5. Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Di antara mereka ada yang kurang dari hafalan, dan ada pula yang sering lupa dan salah. Karena itu, para ulama ahli kritik menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya untuk menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah. 6. Sikap kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda, ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang “moderat” (tawassut).
28
7. Kitab-kitab rujukan rijal al hadis sebagai dikemukakan oleh Dr. Mahmud atTahhan lebih dari empat puluh macam dan seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal untuk meneliti para perawi hadis dari berbagai aspeknya.
29
DAFTAR PUSTAKA Ali Fayyad, Mahmud, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy. Cet. I; Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1998. Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005. Al-Shahih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Mustalahahu. Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t. Al-Khatib, M. Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu. Beirut: Darul Fikr, 1989. At-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005. At-Tahhan, Mahmud, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978. Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999. Heahim, M. Rasir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Apollo, t.t. Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002. Muhammad Abdullatif, Abdul Mawjud, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh Al-Zarkasyi
Chumaidy,
Kredibilitas
Para
Perawi
dan
Pengimplementasinya. Cet. I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003.
30
Rahman, Fathar, Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran. Cet. XX; Bandung: Mizan, 1999. Sulaiman PL., Noor. Antologi Ilmu Hadi. Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta: 2009. Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Liberty, 2003.