PENELITIAN HIBAH STRATEGIS
PELESTARIAN KAWASAN PECINAN KOTA PASURUAN Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui DIPA Universitas Brawijaya No.0174.0/023-04.2/XV/2009 Tanggal 31 Desember 2009, dan Berdasarkan SK Rektor No.160/SK/2009, Tanggal 7 Mei 2009
OLEH : Prof. Ir. Antariksa, M.Eng., Ph.D Fadly Usman, ST., MT Ika Puspitasari, ST Hany Perwitasari, ST Putri Ayu Pertiwi, ST
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2009
RINGKASAN
Kota Pasuruan merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Pantai Utara Jawa pada abad ke-17. Letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan, membuat banyak sekali pedagang asing yang datang dan menetap di Pasuruan. Salah satunya adalah Etnis Tionghoa. Mereka datang sejak abad ke-17, dan kemudian meninggali sebuah kawasan yang disebut sebagai Kawasan Pecinan. Pada awal abad ke-18, Belanda mulai menguasai Kota Pasuruan. Saat Belanda memerintah Pasuruan, terjadi akulturasi kebudayaan antara Kebudayaan Tionghoa, Kolonial, dan lokal. Akulturasi itu masih dapat terlihat pada bangunan-bangunan yang dibangun oleh Etnis Tionghoa pada era kolonial. Bangunan Kolonial Belanda merupakan sumbangan yang besar terhadap kekayaan arsitektur nusantara. Saat ini, keberadaan bangunan kolonial di Pasuruan terancam hilang. Diperlukan adanya pemahaman yang baik tentang keberadaan bangunan kolonial, agar keberadaannya, dapat dipertahankan. Proses pemahaman didahului oleh proses pengenalan, dan proses pengenalan dapat dimulai dengan pengenalan terhadap kawasan, wajah, atau muka bangunan kolonial. Wajah bangunan atau muka bangunan merupakan hal yang pertama kali akan dilihat pada saat seseorang melihat atau mengamati suatu bangunan. Muka bangunan merupakan bagian yang paling penting, karena dari muka bangunan ini, identitas dari sebuah bangunan dapat diketahui dan dipelajari. Wajah bangunan rumah kolonial memiliki ciri-ciri spesifik yang dapat menjadi petunjuk tentang kebudayaan dan status sosial pemiliknya, kejayaan arsitektur kolonial, dan perkembangannya, yang turut memperkaya arsitektur nusantara. Perkembangan kawasan baik dari segi perubahan guna lahan maupun bangunan kurang memperhatikan aspek historis yang dimiliki oleh kawasan Pecinan Kota Pasuruan, seperti adanya bangunan baru yang bentuk bangunannya tidak mencerminkan situasi di sekelilingnya, dan perubahan bentuk muka bangunan dari bentuk aslinya, sehingga kesan historis dalam bentuk bangunan arsitektur campuran gaya Cina-Kolonial pada kawasan tersebut memudar. Kebijakan cagar budaya yang ada belum mewakili konteks pelestarian, sehingga perubahan-perubahan bangunan kuno sering terjadi. Studi ini menggunakan metode penelitian deskriptif, evaluatif dan eksploratif, dan pemilihan sampelnya menggunakan metode purpossive sampling, untuk kemudian dilanjutkan dengan analisa dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode kuantitatif. Kawasan Pecinan terbentuk karena adanya UU Wijkenstelsel yang dikeluarkan oleh pihak Pemerintah Kolonial dan Passenstelsel yang membentuk kawasan-kawasan yang menjadi permukiman etnis-etnis tertentu. Posisi permukiman Cina berada di daerah yang menguntungkan, karena berada di dekat pasar kota, terletak di tepi jalan yang merupakan jalan poros Kota Pasuruan (Jalan Niaga), dan terletak di tepi jalan utama. Wilayah studi merupakan BWK Pusat Kota dengan dominasi kegiatan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, dan pusat kegiatan sosial. Karakter ruang luar wilayah studi dibentuk oleh deretan bangunan berlantai satu hingga dua dengan bergaya arsitektur Cina dan Kolonial dan campurannya. Peruntukan guna lahan
antara lain untuk perdagangan dan jasa, pendidikan, perkantoran, tempat ibadah, dan permukiman. Path mayor adalah Jalan Hasanuddin, Jalan Soekarno-Hatta, dan Jalan Niaga. Node berupa Perempatan Niaga dan Pasar Senggol. District berupa kawasan perdagangan Jalan Niaga. Landmark berupa Klenteng Tjoe Tik Kiong. Zona I wilayah studi memiliki gaya arsitektur modern berupa ruko, zona II memiliki gaya arsitektur Cina dan Cina-Kolonial. Kegiatan budaya antara lain peringatan Imlek, pertunjukan seni Barongsai, dan Wayang Cina di sekitar klenteng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Kawasan Pecinan, bangunan rumah tinggal kolonial dapat ditentukan tipologinya berdasarkan beberapa ciri, sifat, dan kesamaan dasar, seperti era pembangunan; struktur konstruksi bangunan yang meliputi bagian kepala, badan, dan kaki bangunan; serta berdasarkan gaya/langgam yang mempengaruhi tampilan wajah bangunan rumah tinggal kolonial tersebut. Berdasarkan era/periode pembangunan, bangunan kolonial yang ada di Kawasan Pecinan Pasuruan dapat ditipologikan menjadi tiga kelompok, yaitu bangunan yang dibangun pada era <1800-1840, 1850-1890, dan 1900-1945. Berdasarkan elemen wajah bangunan, tipologi wajah bangunan kolonial dapat ditentukan berdasarkan keberadaan, fungsi, bentuk, bahan, ornamen, dan perubahan elemen-elemen tersebut. Berdasarkan gaya bangunan, wajah bangunan kolonial di Kawasan Pecinan Pasuruan dapat dikelompokkan menjadi beberapa gaya, diantaranya adalah Gaya Indisch Empire, Voor 1990, NA 1900, dan Gaya 1915, yang dipadukan dengan Gaya Romantiek. Gaya bangunan yang paling banyak digunakan pada wajah bangunan kolonial di Kawasan Pecinan Pasuruan adalah Gaya Indisch Empire, yang mengindikasikan bahwa Kota Pasuruan berkembang pesat pada akhir abad ke-18 sampai dengan pertengahan tahun 1800-an. Ragam hias bangunan kuno terdapat pada bagian kepala, badan, dan kaki bangunan yang bentuknya menyesuaikan dengan gaya bangunan yang digunakan pada bangunan, yaitu Gaya Indisch Empire, Voor 1990, NA 1900, dan Gaya 1915. Pola dasar tata wajah bangunan dan ragam hias bangunan kolonial di Kawasan Pecinan Pasuruan lebih mengarah pada bentukan-bentukan geometris persegi dan juga perpaduan dari unsur-unsur garis vertikal dan horisontal baik yang digunakan secara tunggal, maupun yang membentuk bidang. Pola simetris sangat diperhatikan dalam penyusunan elemen-elemen wajah bangunan, dan semua kasus bangunan di Kawasan Pecinan Pasuruan merupakan bangunan dengan wajah simetris, baik simetris sama, maupun tidak sama. Gaya/langgam arsitektur merupakan suatu lapisan kesejarahan (historical layers) yang sifatnya transparan. Hal ini digambarkan oleh bangunan yang menggunakan beberapa elemen dari gaya/langgam yang berkembang pada jaman atau periode sebelum bangunan dibangun. Contohnya adalah penggunaan atap perisai, pelana, gable/gevel, bahkan perpaduan ketiganya yang sudah ada di Belanda sejak awal abad ke-17 (tahun 1600-an). Contoh lain adalah pengurangan penggunaan elemen dekoratif dan penggunaan elemen-elemen sederhana pada gaya bangunan Voor 1900 yang sebenarnya sudah dilakukan di Belanda sejak tahun 1665. Hal ini tentu saja memberikan gambaran, bahwa sebenarnya suatu ciri dari bangunan tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam suatu gaya/langgam bangunan. Arahan pelestarian fisik, yaitu arahan pelestarian bangunan kuno, arahan pelestarian elemen pembentuk kawasan, dan penetapan elemen jalan bersejarah di
wilayah studi. Pelestarian bangunan kuno meliputi preservasi, konservasi, rekonstruksi/renovasi. Arahan pelestarian non fisik dilakukan melalui aspek kebijakan, ekonomi, dan sosial.
Kata kunci: Karakteristik, wajah bangunan, ragam hias, Pecinan Pasuruan.
SUMMARY Pasuruan is one of the biggest seaport in North Coast Java in the middle of 17th century. Strategic location of Pasuruan as a commerce place, make a lot of foreign trader came and stayed in Pasuruan. The ones ethnical that came and stayed in Pasuruan is Tionghoa Ethnical. Tionghoa people came since 17th century, and lived in an area that called as China Town. In early of 18th century, The Dutch colony govern in Pasuruan. On that time, there are an acculturation happen between Tionghoa’s, Colonial’s, and local’s culture. Nowadays, the acculturation can be seen from the building’s that had built by Tionghoa Ethnical at the Colonial’s era. Colonial building has a huge role and contribution to enriches the national’s architecture. Nowadays, the existence of colonial building in Pasuruan is being threatened. There is needed to make a good understanding about the existence of colonial building, so that we can keep their existence. The understanding proceess can be started with the introduction about colonial building, trough the area, facade of colonial building itself. Facade of a building, is the first thing that will be seen, when someone looking at or seeing a building. Facade of the building is the most important thing, because from this facade, we can know and learn about the building’s identity. Facade of colonial building has a specific characteristic, that can be a clue of the culture and the social status of the owner, about the golden age of colonial’s architecture, and about it’s growth, that enriches the national’s architecture. Developing area whether in land use alteration or building, lack of concerning about historical aspect of Pasuruan’s China Town, such as some new building’s shape that don’t reflect the situation among them, and alteration of building’s façade from it’s original shape, so that historical impression of an architectural mix building between China_Colonial style in the area getting faded. The existing of cultural thing’s policies still don’t represent conservation context, so alteration of ancient building happens often. This research use description, evaluation, and exploration method for the research, and use purpossive sampling method to decide the sample that relevant and can be used as the cases. Then continued with analyzing by using descriptionqualitative method, that being helped with quantitive method. China Town was created because of Wijkenstensel policy that was made by Colonial Government and Passenstensel that then created areas of ethnical
settlement. China Town location is in a profitable region, because it is next to the city’s market, at a major path of Pasuruan road (Niaga street), and in a major road. The study area is a CBD with dominant activity as governmental activity, trading activity, and as a center of social activity. The character of outside building consist of a one or two floor building line with China and colonial architectural style or mix of them. Cultural activity are Imlek and Barongsai, dan China’s wayang in the temple. The result of the research, show that at Pasuruan’s China Town, the tipology of colonial houses building can be defined by the characters, specification, and the basic equality, such as the era of construction; the construction’s structure of the building, that including of head part, body part, and foot part; and also by the style that influence the appereance of the facade of colonial houses building itself. According to built period, colonial building in Pasuruan’s China Town can be classified into three styles, which are Indisch Empire Style, Voor 1990 Style, NA 1900 Style, dan 1915 Style, that mix with Romantiek Style. The majority style that used in colonial building of Pasuruan’s China Town is Indisch Empire Style, indicates that the most developing time of Pasuruan City is between end of 18th century until middle year 1800. The ornament of ancient building can be seen at head part, body part, and feet part that the shape is comply with building’s style, which are Indisch Empire Style, Voor 1990 Style, NA 1900 Style, dan 1915 Style. The base pattern of colonial building’s facade and ornament in Pasuruan’s China Town more like geometrical shape and mix of vertical and horizontal line whether used as single or shape an area. Symmetric pattern is a main point of making façade’s elements and all cases in Pasuruan’s China Town is a symmetric façade, whether with same type or not. Architectural style is a transparently historical layers. This can be described by a building which uses some elements of style that developed in era or period before the building is built. For example is usage of roof shield, saddle, gable/gavel, or mix of them which are already exist in Netherland since beginning of 17th century (year 1600). Another example is usage decrease of decorative element and usage of simple elements in Voor 1900 Style which already done in Netherland since year 1665. This surely describes that actually a building’s characteristic cannot be classified into a style directly. Physical perpetuation guidance are ancient building conservation, guidance of area’s elements, and decide historical road element in study area. Perpetuation of ancient building consist of preservation, conservation, and reconctruction/renovation. Non physical perpetuation can be done through policy aspect, economical aspect, and social aspect. Keywords : Characteristic, façade, ornament, Pasuruan’s China Town.
DAFTAR PUSTAKA Handinoto (1999). ‘Sekilas tentang Arsitektur Cina di Pasuruan’, Dimensi, April, hlm. 1. Zhand. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.