PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG SURILI (Presbytis comata) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
RAHMAT HIDAYAT
PROGRAM MAYOR KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Rahmat Hidayat NIM E351110181
RINGKASAN RAHMAT HIDAYAT. Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO BAMBANG W. Surili merupakan primata endemik Jawa Barat (Kool, 1992). Statusnya masuk dalam kategori satwa dilindungi (PP No. 7 Tahun 1999), endangered species (IUCN) serta masuk dalam kategori Appendiks II (CITES). Data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) diperlukan sebagai salah satu dasar dalam pengelolaan kawasan, diantaranya untuk pengelolaan spesies, pembinaan habitat, penyusunan atau revisi zonasi dan Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Penelitian bertujuan untuk menduga parameter demografi surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang meliputi ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex ratio dan komposisi umur dan mengidentifikasi pola penggunaan ruang surili pada pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Penelitian dilaksanakan di kawasan TNGC selama lima bulan yaitu mulai bulan Oktober 2012 sampai Februari 2013. Sebanyak 28 titik pengamatan yang dilakukan pengambilan data parameter demografi, serta 4 titik untuk pengamatan pola penggunaan ruang hariannya. Data parameter demografi dikumpulkan dengan metode konsentrasi dan data pola penggunaan ruang dikumpulkan dengan metode focal animal sampling. Hasil penelitian menunjukkan jumlah individu total dari 28 titik pengamatan yaitu 164 individu, dengan sebaran 48 individu pada habitat hutan dataran rendah dengan kisaran ukuran kelompok (8,00 ± 4,50), 56 individu di habitat hutan sub pegunungan dengan kisaran ukuran kelompok (5,6 ± 2,49) dan 60 individu di habitat hutan pegunungan dengan kisaran ukuran kelompok (5,00 ± 2,07). Sex rasio total dari 28 titik pengamatan adalah 1 : 2, dengan struktur umur tahunan Dewasa : Muda : Anak 7 : 10 : 11. Nilai natalitas total dari 28 titik pengamatan yaitu 0,125 dengan nilai mortalitas tertinggi yaitu dari muda menuju dewasa sebesar 0,34. Rata-rata luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe habitat hutan dataran rendah yaitu 1,13 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 516,80 m. Blok Kalawija dan Blok Saninten sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan memiliki rata-rata luas wilayah jelajah hariannya berturut-turut yaitu sebesar 2,08 ha dan 3,32 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 935,25 m dan 1092,29 m. Selanjutnya di Blok Cigowong sebagai perwakilan tipe habitat hutan pegunungan memiliki ratarata wilayah jelajah hariannya sebesar 5,48 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya aalah 1188,3 m.
Kata kunci : Parameter Demografi, Pola penggunaan Ruang, Surili (Presbytis comata)
SUMMARY RAHMAT HIDAYAT. The Estimation Of Demography Parameter And Use Spatial Pattern Of Surili (Presbytis comata) In Ciremai Mount National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and NOVIANTO BAMBANG W. Surili is an endemic primates of West Java. Its status is protected species based on PP. 7 of 1999, endangered species (IUCN) as well as classified in to Appendix II category, CITES. Data about demography parameter and use space pattern of Surili in Ciremai Mount National Park is necessary as one of the basic case in area management, including for species management, habitat development, drafting or revision zoning and the national park management plan. The research aimed to observation estimate of demography parameter of Surili in Ciremai Mount National Park Area which includes population size, natality, mortality, sex ratio and age composition and to identify use spatial pattern of surili there. Research was conducted at the Ciremai Mount National Park area for five months from Oktober 2012 to Februari 2013. As many as 28 observation points of demography parameter, and 4 points observation of its daily use space pattern. Data of demography parameter taken by concentration count method and data of use spatial pattern taken by focal animal sampling method. Total number of individuals from 28 points observation as many as 164 individuals, with the distribution of 48 individuals in the lowland forest with an average group size (8.00 ± 4.50), 56 individuals in the sub-montane forest with an average group size (5.6 ± 2.49) and 60 individuals in the mountain forest with an average group size (5.00 ± 2.07). Sex ratio total at 28 observation points was 1 : 2, with annual age (Adult : Adult Hood : Kid) 7 : 10 : 11. Value of total natality at 28 observation points was 0.125, with highest mortality value from adult hood to adult was 0,34 . Average of Surili daily cruising area in block Haurcucuk (representative type of lowland forest) was 1.13 ha, with an average daily track length of 516.80 m. Block Kalawija and Saninten (representative type of sub-montane forest), their average daily ranges in series were 2.08 ha and 3.32 ha, with an average daily track length of 935.25 m and 1092.29 m. Next on the block Cigowong (representative type of mountain forests), its average daily cruising area was 5.48 ha, with average daily track length was 1188,3m.
Keywords: Demography Parameter, Use Spatial Pattern, Surili (Presbytis comata)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG SURILI (Presbytis comata) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
RAHMAT HIDAYAT
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Judul Tesis : Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presby tis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai Nama : Rahmat Hidayat NIM : E3 511 10 181
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
L'""
Dr Ir Yanto Santosa, DEA Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
,..
! . ::1•
... ::. l,.zJ
~
U'-
~ I ""' ·;·
~, ··~
· ~ . ~ ~~
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS
Tanggal Ujian: g )"'~
20 \'\
Tanggal Lulus:
3 1 JUL 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Alloh S.W.T atas segala segala limpahan karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai bulan Februari 2013 ini dengan judul Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yanto Santosa, DEA dan Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSI selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai dan seluruh staf/pegawai Balai Taman Nasional Gunung Ciremai serta Mang Ojo di Babakan Kaler yang telah memberikan izin, waktu dan bantuan selama pengambilan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istriku Anis Kurniawati,SPd, anak-anakku ( Sina Hafidh Rimbawan Hidayat dan Ilman Sulthon Hidayat), adikadikku serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Rahmat Hidayat
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Surili Parameter Demografi Pola Penggunaan Ruang.
1 1 3 3 3 5 5 6 7
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Data Yang Dikumpulkan Metode Pengambilan Data Metode Analisa Data. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Demografi Penggunaan Ruang Harian Faktor Dominan Habitat 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
9 9 9 9 10 14 17 17 26 39 42 42 42 43
\
DAFTAR TABEL 1 Pembagian kelas lereng 13 2 Komposisi kelompok surili di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 18 3 Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC 20 4 Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC 21 5 Kelas lereng pada tiap tipe habitat lokasi penelitian surili di TNGC 21 6 Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC 24 7 Peluang hidup dan mortalitas surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC 26 8 Luas wilayah jelajah harian serta panjang lintasan harian surili pada empat blok pengamatan di kawasan TNGC 26 9 Jumlah jenis pakan tiang dan jumlah jenis pohon pada empat blok pengamatan penggunaan ruang 34 10 Jumlah jenis vegetasi pakan, satwa pesaing dan ketinggian tempat serta kelas lereng pada empat blok pengamatan di kawasan TNGC 35
DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 2 Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi 3 Sebaran pengamatan/penemuan kelompok surili di Kawasan TNGC 4 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk 5 Model panjang lintasan harian surili di Blok Haur Cucuk 6 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Kalawija 7 Model panjang lintasan harian surili di Blok Kalawija 8 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Saninten 9 Model panjang lintasan harian surili di Blok Saninten 10 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Cigowong 11 Model panjang lintasan harian surili di Blok Cigowong 12 Diagram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan waktu pengamatan 13 Diagram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan jenis aktifitas 14 Surili jantan dan betina dewasa sedang beristirahat 15 Surili melakukan perpindahan antar pohon
4 13 19 27 28 29 29 30 31 32 32 37 38 38 39
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji korelasi ukuran kelompok dengan parameter demografi 2 Rekapitulasi hasil uji t parameter demografi antar tipe habitat 3 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan jumlah satwa predator dan jumlah satwa pesaing 4 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan ketinggian tempat dan kelerengan 5 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan faktor vegetasi dan pakan 6 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan dataran rendah 7 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan dataran rendah 8 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan dataran rendah 9 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan sub pegunungan 10 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan sub pegunungan 11 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan sub pegunungan 12 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan pegunungan 13 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan pegunungan 14 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan pegunungan 15 Daftar jenis pakan surili yang ditemukan pada lokasi penelitian 15 Hasil uji Regresi Partial Least Square 16 Jumlah satwa predator, pesaing dan kelas lereng pada titik pengamatan surili
49 50 51 52 53 55 57 59 61 64 66 69 71 73 75 77 78
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surili (Presbytis comata) Desmarest, 1822 merupakan primata endemik Pulau Jawa bagian Barat (Kool 1992). Pemerintah RI menetapkan status surili sebagai satwa dilindungi melalui SK Mentan No. 247/Kpts/Um/1979, SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991, PP No 7 Tahun 1999, dan UU No. 5 Tahun 1990. CITES menggolongkan surili ke dalam Appendiks II dan IUCN mengkategorikan surili sebagai endangered species. Selanjutnya berdasarkan Permenhut No: P.57/Menhut-II/2008, surili termasuk dalam salah satu daftar spesies kelompok primata yang perlu mendapatkan aksi konservasi prioritas tinggi. Surili umumnya dapat dijumpai pada hutan primer maupun sekunder, mulai dari hutan pantai, hutan bakau, sampai hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl. Berdasarkan Putra (1993), Supriatna dan Wahyono (2000) di Jawa Barat habitat surili ditemukan diantaranya di Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang, CA Rawa Danau, CA Gunung Papandayan, CA Gunung Patuha, CA Situ Patenggang, dan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tampomas. Surili dengan melihat status konservasi dan perannya di ekosistem, merupakan salah satu satwa yang termasuk dalam keystone species (spesies kunci). Keystone species merupakan spesies yang memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari habitat atau ekosistem (habitat, tanah, dan pemencar biji). Hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang hebat terhadap populasi jenis lain atau proses ekosistem; serta yang memiliki fungsi yang vital dalam komunitasnya (Roberge, J. & Angelstam 2004). Ancaman terbesar terhadap kelestarian populasi surili adalah karena rusaknya habitat alami dari spesies surili tersebut, yang diakibatkan oleh eksploitasi dan konversi hutan alam di Jawa Barat. Pada tahun 1986 diperkirakan terdapat 8.040 ekor surili (Kool 1992) namun pada tahun 1999 jumlahnya tersisa 2.500 ekor saja (IUCN). Surili seperti halnya satwa primata lainnya merupakan satwa sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan di sekitar habitatnya (Prasanai et al., 2008). Hal ini berarti satwa ini akan terancam punah dalam waktu dekat apabila tempat yang menjadi habitatnya rusak dan tidak segera dilakukan sistem pengelolaan yang baik terhadap habitatnya maupun spesies dari surili tersebut. Selain tingkat gangguan habitat, permasalahan lainnya yang menjadi ancaman bagi kelestarian surili adalah penelitian-penelitian yang terkait surili masih sedikit dilakukan, sehingga informasi yang menyangkut surili masih terbatas, hal ini tentunya akan memberikan keterbatasan dalam menentukan strategi konservasi bagi satwa surili tersebut ke depannya. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu kawasan konservasi yang ditunjuk dengan SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas ± 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional. Taman
2 Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu lokasi penyebaran habitat surili di Jawa Barat (Gunawan H dan Bismark M. 2007). Seperti halnya di wilayah penyebaran surili pada umumnya, populasi surili di kawasan TNGC sama mengalami ancaman kelestarian, yang diakibatkan oleh rusaknya habitat dan juga kegiatan penelitian yang terkait surili yang masih kurang. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan habitat surili di TNGC adalah aktifitas perambahan dan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman serta kebakaran hutan yang menjadi ancaman tahunan. Selanjutnya penelitian terkait surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah dilakukan yaitu baru penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2007) tentang keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan penelitian yang dilakukan oleh Supartono (2010) yang mengkaji karakteristik habitat dan distribusi surili. Padahal menurut Permenhut No: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 menyebutkan bahwa penelitian yang diperlukan untuk konservasi surili adalah distribusi, populasi, habitat, ekologi, dan genetik. Surili di Taman Nasional Gunung Ciremai, merupakan salah satu satwa yang mendapat perhatian tinggi atau dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan, disamping macan kumbang dan burung elang jawa. Hal ini dikarenakan atau terkait dengan status dan juga peran dari surili dalam sebuah eksositem hutan seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Sebagai satwa yang dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan maka keberadaan data yang lengkap, benar dan terkini terkait spesies surili perlu segera dimiliki oleh pengelola kawasan. Salah satu data dasar penting yang perlu segera diteliti dan belum dikaji adalah data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili. Data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang merupakan data yang penting sebagai dasar dalam menyusun maupun merevisi zonasi serta Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Parameter demografi adalah variabel atau faktor yang berpengaruh terhadap dinamika populasi spesies kunci. Faktor-faktor tersebut yaitu, ukuran/jumlah populasi, natalitas (angka kelahiran), mortalitas (angka kematian), sex ratio dan struktur umur populasi. Perubahan pada parameter demografi akan menjadi gambaran terhadap ukuran kondisi habitatnya. Selanjutnya Santosa (1990) menyebutkan bahwa pola penggunaan/pemanfaatan ruang merupakan suatu keseluruhan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Pola penggunaan ruang satwa speies kunci akan menggambarkan lokasi habitat yang sesuai atau preferensi bagi satwa spesies kunci, sehingga lokasi tersebut adalah salah satu lokasi yang harus mendapat prioritas tinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dengan melihat pentingnya data parameter demografi dan pola penggunaan ruang dalam pengelolaan kawasan maka penelitian yang menyangkut parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili penting untuk dilakukan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Menduga parameter demografi surili pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang meliputi ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex rasio dan komposisi umur. 2. Mengidentifikasi pola penggunaan ruang surili pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Manfaat Manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengelola (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai) dalam menyusun atau merevisi rencana pengelolaan kawasan khususnya yang terkait dengan pengelolaan habitat dan spesies surili. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengelola (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai) dalam penyusunan maupun revisi zonasi.
Kerangka Pemikiran Surili sebagai salah satu satwa endemik Jawa Barat dengan status dilindungi oleh Undang-undang, endangered species berdasarkan IUCN dan apendik II menurut CITES memerlukan strategi khusus untuk penyelamatan dan pelestarian populasinya di alam. Untuk dapat membuat strategi dan arah pengelolaan spesies dan populasi surili yang tepat diperlukan pemahaman terhadap permasalahan terkini dan juga data yang cukup. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu titik tempat sebaran habitat surili di Jawa Barat. Permasalahan yang menjadi ancaman bagi kelestarian populasi surili khususnya di TNGC yaitu rusaknya habitat akibat konversi hutan alam menjadi areal pertanian dan hutan tanaman, kebakaran hutan dan karakteristik Gunung Ciremai sebagai salah satu gunung api soliter yang menyebabkan isolasi habitat. Selanjutnya datadata dasar yang dibutuhkan untuk penyusunan strategi dan rencana pengelolaan spesies surili diantaranya yaitu data karakteristik habitat, distribusi, parameter demografi dan pola penggunaan ruang. Diharapkan dengan diketahuinya data-data dasar tadi maka strategi konservasi surili bisa tepat sasaran sesuai karakteristik spesies surili dan permasalahan lapangan, sehingga kelestarian populasi surili dapat tercapai. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
4
TNGC
Surili
Primata Endemik Jawa Barat Satwa Dilindungi (PP No 7 Th 1999) Endangered Spesies (IUCN)
Apendix II (CITES)
P.57/Menhut-II/2008 (Primata Prioritas Tinggi)
Penelitian surili masih kurang
Habitat surili
Ancaman terhadap Habitat&populasi
Perambahan
Kebakaran Hutan
Parameter demografi
Pola penggunaan ruang
Pengelolaan (
Isolasi Habitat
i
h bi )
Kelestarian Populasi surili
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Surili Klasifikasi dan Taksonomi Surili secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam dunia animalia, filum chordata, subvilum vertebrata, kelas mamalia, ordo primata, subordo Anthropoidae, superfamili Cercopithecidae, famili Cercopithecidae, subfamili colobinae, genus presbytis, species presbytis comata Desmarest, 1822, subspecies P. comata comata Desmarest, 1822, dan P. comata fredericae (Ankel-Simons 2007). Selanjutnya Napier & Napier (1967) mengklasifikasikan surili sebagai berikut: kingdom Animalia, phylum Chordata, subphylum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Primates, subordo Anthropoidea, superfamili Cercopithecoidea, famili Cercopithecidae, subfamili Colobinae, genus Presbytis, dan spesies Presbytis aygula Linnaeus, 1758. Presbytis aygula memiliki nama asli Semnopithecus comatus Desmarest, 1822, dan memiliki sinonim S. fulvogriseus Desmoulins, 1825 dan S. nigrimanus Geoffroy, 1843 (Maryanto et al. 2008). P. aygula juga pernah dikenal dengan nama Simia fascicularis Raffles, 1821 dan P. mitrata Eschscholtz, 1821 (Brandon-Jones et al. 2004). Nama P. aygula pada tahun 1983 diubah menjadi P.comata Desmarest, 1822 (Groves 1993, BrandonJones et al. 2004). Morfologi Secara morfologi, tubuh surili hampir sama dengan monyet, namun surili memiliki bentuk kepala yang bulat, hidung yang pesek dan perut yang besar. Rambut yang menutupi tubuh cukup panjang dan tebal, rambut di kepala memiliki jambul berujung runcing, alis meremang kaku mengarah ke depan (Napier & Napier 1967). Surili memiliki ukuran tungkai yang kecil dan ramping serta ekor yang lebih panjang dibanding ukuran kepala-badan ( Legakul dan McNeely 1977) dengan tebal ekor seragam dari pangkal sampai ujungnya (Napier & Napier 1967). Warna tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian punggung umumnya hitam atau cokelat dan keabuan, dan jambul serta rambut kepala berwarna hitam. Rambut yang tumbuh di bawah dagu, dada dan perut (ventral), bagian dalam lengan, kaki dan ekor, berwarna putih (Napier 1985, Supriatna &Wahyono 2000). Rambut alis kaku tumbuh mengarah ke depan. Kulit muka dan telinga berwarna hitam pekat agak kemerahan. Surili memiliki iris mata cokelat gelap. Menurut Napier & Napier (1967), anak yang baru lahir berwarna putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ujung ekor, meluas pada bahu membentuk sebuah persilangan. Dengan bertambahnya umur, bagian tubuh yang gelap berangsur-angsur meluas tetapi rambut pada tubuh bagian bawah dan bagian dalam paha tetap berwarna putih. Menurut Napier (1985), individu jantan memiliki panjang kepala sampai badan berkisar 430–595 mm dan panjang ekor berkisar 560–724 mm, sedangkan individu betina memiliki panjang kepala sampai badan berkisar 475–570 mm dan
6 panjang ekor berkisar 590–720 mm. Berat badan individu jantan sekitar 6,40 kg, dan individu betina sekitar 6,70 kg (Fleagle 1988). Habitat dan Penyebaran Surili memiliki lokasi penyebaran yang sangat terbatas, yakni hanya di Pulau Jawa bagian barat, sehingga merupakan spesies endemik Jawa Barat (Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Supriatna & Wahyono 2000). Surili menempati hutan primer, sekunder, bakau, mulai dari pinggir pantai hingga ketinggian 250 m – di atas 2500 mdpl dan seringkali dijumpai di hutan yang berbatasan dengan kebun (Supriatna dan Wahyono 2000). Odum (1971) mendefiniskan habitat suatu organisme sebagai tempat hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Habitat dapat juga digunakan untuk menunjukkan sebuah tempat yang didiami oleh seluruh komunitas (Odum 1971). Pringgoseputro & Srigandono (1990) mendefinisikan habitat sebagai tempat terbentuknya organisme, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organisme tersebut. Surili umumnya hidup pada habitat hutan primer (Napier & Napier 1985). Surili juga dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik di hutan sekunder maupun perkebunan sekitar pemukiman, misalnya di perkebunan dan hutan tanaman Perhutani, Bandung Selatan. Berbeda dengan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), surili tidak pernah ditemukan di kawasan hutan sekunder maupun bekas ladang penduduk. Parameter Demografi Populasi Odum 1971, mendefinisikan populasi sebagai individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dalam individu yang bersangkutan), pada waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau ruang tertentu. Suatu populasi dapat menempati wilayahnya yang sempit sampai luas, tergantung daya dukung habitat dan karakteristik spesies tersebut. Populasi dapat dijumpai pada suatu wilayah yang dapat memenuhi segala kebutuhannya. Menurut Krebs (1989), populasi dapat dikelompokkan ke dalam deme-deme atau populasi lokal yang dapat melakukan perkawinan antara organisme. Setiap populasi meiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik populasi yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Odum (1971) menyatakan bahwa sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur dan jenis kelamin, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran. Karektersistik terakhir adalah karakteristik yang dimiliki secara individual. Populasi juga memiliki sifat genetik secara langsung berkaitan dengan ekologisnya, misalnya sifat adaftif, sifat keserasian refroduktif dan ketahanan (yakni peluang meninggalkan keturunannya selama jangka waktu yang panjang.
7 Ukuran Populasi Ukuran populasi adalah suatu ukuran yang memberikan informasi mengenai jumlah total individu satwa liar dalam suatu kawasan tertentu. Kepadatan populasi merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang, pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau volume. nilai kepadatan diperlukan karena dapat menunjukkan daya dukung habitat (Alikodra 2002). Natalitas Menurut Odum (1971) Natalitas merupakan jumlah individu yang lahir dalam suatu populasi yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru (anak) dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Santosa (1993) menyatakan, tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial untuk berefroduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran. Mortalitas Mortalitas didefiniskan sebagai jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dapat dinyatakan dalam angka mortalitas kasar yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu, ataupun dalam angka kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu kelas umur tertentu sela periode waktu tertentu (Alikodra 2002). Sex ratio Sex ratio adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina dari suatu populasi, biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan dalam 100 ekor betina (Alikodra 2002, Caughley 1977). Menurut Santosa (1993) sex ratio adalah suatu perbandingan antara jumlah jantan potensial refroduksi terhadap banyaknya betina yang potensial refroduksi. Struktur Umur Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 2002). Struktur umur adalah komposisi jumlah individu dalam populasi menurut sebaran umur. Struktur umur dapat digunakan untuk mencapai keberhasilan perkembangan populasi satwa liar, sehingga dapat menilai suatu prospek kelestarian satwa liar. Pola Penggunaan Ruang Batasan Daerah jelajah merupakan daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktifitasnya. Core area merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan dengan keteraturan yang lebih besar dibanding bagian lainnya. Teritori adalah daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar, sedangkan wilayah jelajah (home range) itu sendiri adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin (Chalmers 1980).
8 Perpindahan menurut Fryxell dan Sinclair (1988) cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan juga dipengaruhi oleh predator. Parameter Indikator Menurut Santosa (1990) aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini mobilitas dan daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Sama halnya dengan Santosa (1990), Wahyu (1995) menyebutkan mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwa liar. Ada beberapa metode untuk mengukur homerange dari satwaliar, diantaranya adalah metode poligon, metode pusat aktifitas, metode nonparametrik. Metode paling tua dan yang umum digunakan adalah metode area minimum (MAM) atau metode convex-polygon Pada metode ini seluruh lokasi satwa digambarkan secara grafis dan point/titik terluar dihubungkan dalam bentuk convex polygon (Mohr, 1974 dalam Nugraha, 2007).
9 3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang meliputi dua Seksi Wilayah Pengelolaan yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kuningan dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Majalengka, dengan wilayah studi penelitian mencakup pada tiga tipe habitat, yaitu hutan dataran rendah (< 1000 mdpl), hutan Pegunungan (1000 – 1500 mdpl), dan hutan sub alpin (1500 – 2400 mdpl) (van Steenis 2006). Waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu mulai Bulan Oktober 2012 – Februari 2013. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Peta Kawasan (Citra Landsat, Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Kontur), GPS, Teropong Binokuler, Kamera Digital SLR, Handycam, kompas, Pita Meter, Laser pengukur jarak lapang, perlengkapan pembuatan herbarium, Alat Tulis, dan Tally Sheet. Software yang digunakan untuk analisis data spasial adalah Minitab 14, DNR Garmin, ArcGIS ver 3.3. Data Yang Dikumpulkan Data Primer Data-data primer yang dikumpulkan yaitu : 1. Data parameter demografi, yang terdiri dari data : ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex ratio dan struktur umur. 2. Data pola penggunaan ruang yang terdiri dari : - Pola penggunaan ruang horizontal yang meliputi bentuk dan panjang/lintasan harian, serta bentuk dan luas wilayah jelajah - Pola penggunaan ruang vertikal yang meliputi data posisi ketinggian satwa pada strata pohon, serta jenis dan lama aktifitas yang dilakukan. 3. Data karakteristik habitat yang terdiri dari : data komponen biotik yang meliputi data vegetasi dan keberadaan satwa lainnya serta data komponen fisik yang terdiri dari data : ketinggian tempat, kelerengan, jarak terhadap jalan, jarak terhadap mata air/sungai/sumber air, jarak terhadap pemukiman, dan jarak terhadap perkebunan/pertanian. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari data kondisi umum lokasi penelitian, peta kawasan, bioekologi surili, dan hasil-hasil penelitian tentang surili sebelumnya, yang diperoleh dengan mempelajari dokumen-dokumen laporan serta karya ilmiah (skripsi, tesis, desertasi dan jurnal).
10 Metode Pengambilan Data Studi literatur Dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen laporan, buku, karya ilmiah serta rencana pengelolaan yang ada atau yang telah disusun. Studi literatur dilakukan terutama untuk memperoleh data sekunder. Wawancara Wawancara dilakukan dengan masyarakat sekitar kawasan dan juga dengan pengelola kawasan terkait dengan informasi keberadaan surili yang biasa sering ditemukan, sejarah kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan. Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh data parameter demografi, pola penggunaan ruang dan karakteristik habitat. 1 Parameter Demografi a Populasi Surili Pengumpulan data populasi surili menggunakan metode terkonsentrasi/ concentration count. Studi pendahuluan secara mendalam dilakukan sebelum melakukan inventarisasi dengan menggunakan metode terkonsentrasi. Untuk memastikan titik-titik dimana surili berada/berkumpul. Penggunaan metode ini didasarkan atas pertimbangan karakteristik dan distribusi spesies surili, dan kondisi lapangan wilayah penelitian. Terkait karakteristik spesies surili, menurut (Kool 1992), disebutkan bahwa surili merupakan spesies penakut dan sensitif, sehingga akan cepat menghindari manusia. Sehingga untuk pengamatan ukuran populasi dan juga parameter demografi surili lainnya (sex ratio, natalitas, mortalitas, komposisi umur), maka teknik pengamatan dengan teknik pengamat diam salah satunya concentration count lebih tepat dilakukan. Terkait dengan distribusi surili, berdasarkan hasil penelitian surili yang telah dilakukan di TNGC oleh Supartono (2010), dinyatakan bahwa surili terdistribusi pada lokasi-lokasi tertentu. Selanjutnya terkait dengan kondisi lapangan, kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki kondisi topografi yang terjal. Pengambilan data ukuran populasi, dilakukan pada 28 titik pengamatan, yang tersebar di seluruh tipe habitat yang merupakan wilayah studi penelitian. Pengamatan atau perhitungan ukuran populasi di satu titik dilakukan sebanyak tiga kali yaitu perhitungan pada pagi hari (Jam 06.00 – 08.00), siang hari (12.00 – 14.00) dan sore hari (16.00 – 18.00), dan sebanyak tiga ulangan. b Natalitas Nilai natalitas yang diukur di lapangan adalah nilai natalitas kasar. Dilakukan dengan melihat jumlah bayi yang ditemukan di titik lokasi pengamatan. Pengambilan data natalitas bersamaan dengan pengambilan data ukuran populasi. c Struktur umur Data struktur umur diperoleh dengan pengamatan lapangan berbarengan dengan kegiatan penghitungan populasi dan natalitas. Pembedaan struktur umur yang digunakan dalam identifikasi di lapangan yaitu berdasarkan ciri-ciri yang
11 digunakan oleh siahaan (2002) dan juga berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut : Anak
Muda
Dewasa
: berumur 0-4 tahun, ukuran badan kecil, masih dipelihara oleh induk sampai mencapai usia kematangan seksual dan sangat tergantung pada induk : berumur 4 – 7 tahun, ukuran badan sedang, sudah mencapai kematangan seksual sampai mencapai usia refroduktif optimum. Jantan ; Skrotum mulai terlihat dan sering memisahkan diri dari kelompok Betina : Kelenjar susu masih kecil, sering berada dalam kelompok : berumur 7 – 20 tahun, ukuran tubuh besar, usia refroduktif optimum sampai usia tertua Jantan : Ukuran tubuh lebih besar dari betina Betina : Sering dekat dengan individu anak (aktif memelihara anak)
d Sex rasio Diperoleh dengan pengamatan lapangan yaitu dengan mengamati jumlah jantan dan betina. Untuk pengamatan sex rasio hanya dilakukan pada kelas umur muda dan dewasa, karena untuk anak, sulit untuk dilakukan. Pengambilan data sex rasio bersamaan dengan pengambilan data ukuran populasi 2 Pola Penggunaan Ruang a Pola Penggunaan Ruang Vertikal. Dilakukan dengan metode Focal Animal Sampling. Metode ini merupakan metode pengamatan perilaku satwa primata dengan cara mengikuti satu individu / satu pasang individu primata dan dianggap individu/pasangan tersebut mewakili kelompoknya. Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur posisi ketinggian aktivitas surili pada strata pohon yang ditempatinya. Selanjutnya dicatat lamanya surili di suatu tempat berikut aktifitas yang dilakukan. Penggolongan strata tajuk pohon yang digunakan adalah sebagai berikut : strata A yaitu pepohonan yang ketinggiannya lebih dari 30 meter, strata B yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 18-30 meter, strata C yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 4-18 meter, strata D yaitu terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 meter termasuk anakan pohon, palma, herba serta paku-pakuan dan strata E yaitu terdiri dari lapisan tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter (Soerianegara & Indrawan 2005). Aktivitas satwa yang akan dicatat atau diambil datanya dibedakan menjadi aktivitas berpindah, makan, istirahat dan sosial (social grooming/menelisik). Aktivitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon. Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Selanjutnya, aktivitas istirahat yang diamati meliputi istirahat, selfgrooming dan tidur. Sedangkan aktivitas sosial yang diamati meliputi social grooming, kawin, bermain, berkelahi, belajar berkelahi dan belajar kawin. Pengamatan aktivitas surili dilakukan mulai dari pukul 06.00-18.00 yang dibagi
12 dalam tiga kategori yaitu Jam 06.00 – 10.00 (pagi hari), jam 10.00 – 14.00 (siang hari), jam 14.00 – 18.00 (sore hari). b Pola Penggunaan ruang horizontal. Data penggunaan ruang secara horizontal yang diambil adalah data bentuk/panjang lintasan harian dan wilayah jelajah harian. Teknik pengambilan data adalah dengan focal animal sampling, yaitu dengan cara mencatat titik koordinat setiap pergerakan atau perpindahan individu surili terpilih dari satu pohon/tempat ke tempat/pohon lainnya. Pengamatan atau pengambilan data pola pergerakan harian ini dilakukan mulai dari jam 06.00 sampai jam 18.00, atau mulai dari lokasi tidur hingga kembali ke pohon tempat tidurnya pada saat yang lain. Waktu pengamatan dibagi dalam tiga kategori yaitu Jam 06.00 – 10.00, jam 10.00 – 14.00, jam 14.00 – 18.00. 3 Karakteristik Habitat a Komponen Biotik Komponen Biotik yang diamati yaitu data vegetasi dan data keberadaan satwa lainnya. Vegetasi Data vegetasi dikumpulkan melalui analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi, baik vegetasi secara keseluruhan maupun sebagai pakan surili. Data vegetasi yang diamati berupa tingkat pancang, tiang, dan pohon. Pengambilan data tingkat pancang, tiang, dan pohon dilakukan karena menurut Gunawan et al. (2008), surili banyak memanfaatkan strata B (20–30 m) dan C (4–20 m) untuk berbagai aktivitasnya, dan tidak pernah terlihat pada strata D (ketinggian 1-4 m) dan E (ketinggian <1 m). Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode petak ganda (Soerianegara & Indrawan 2005, Indriyanto 2006), dengan bentuk petak sampel bujur sangkar. Ukuran setiap petak sampel untuk analisis vegetasi ini adalah 20m x 20m. Pengambilan data tingkat pancang dan tiang dilakukan pada petak sampel yang lebih kecil dan dibuat di dalam petak sampel berukuran 20m x 20m. Petak sampel pengamatan pancang berukuran 5m x 5m, dan tiang berukuran 10m x 10m (Gambar 2) (Kusmana & Istomo 1995). Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut: a. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,50 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm; b. Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm; c. Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih. Banyaknya petak sampel minimum dalam penelitian ini adalah 10 petak. Hal ini sesuai seperti yang dinyatakan oleh Gotelli & Ellison (2004) bahwa untuk mengatasi permasalahan penentuan jumlah sampel, banyaknya sampel minimal adalah sepuluh ulangan, baik bersifat snapshot maupun trajectory. Penempatan kesepuluh petak sampel vegetasi disebar pada seluruh lokasi habitat surili yang menjadi titik pengamatan, dan mewakili tutupan vegetasi yang ada di habitat tersebut.
13
c b a
20 m
20 m
Gambar 2 Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi pada setiap lokasi habitat surili. a = petak pengamatan untuk tingkat pancang; b = petak pengamatan untuk tingkat tiang; c = petak pengamatan untuk tingkat pohon. Satwa Lainnya Satwa lainnya dalam penelitian ini adalah kelompok mamalia selain surili. Satwa ini dapat berupa predator maupun pesaing. Pengumpulan data satwa lainnya bersamaan dengan pengumpulan data surili, yaitu pada saat pengamatan parameter demografi surili dan pola penggunaan ruangnya. Data yang dicatat adalah nama jenis, jumlah, dan posisi koordinatnya. b Komponen Fisik Komponen Fisik : terdiri dari kelerengan lahan, ketinggian tempat, dan jarak terhadap aktivitas manusia, sumber air dan jalan. Teknik pengumpulan data komponen fisik habitat adalah sebagai berikut: • Kelerengan lahan. Pengukuran kelerengan lahan dilakukan dengan cara menelaah peta kontur, peta rupa bumi, dan peta kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kemiringan lahan kemudian dikelompokka menjadi kelas-kelas lereng berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 (Tabel 1). Tabel 1 Pembagian kelas lereng Kemiringan Lahan (%) 0–8 8 - 15 15 - 25 25 - 40 Lebih dari 40
• •
Kelas Lereng 1 2 3 4 5
Keterangan Datar Landai Bergelombang Curam Sangat Curam
Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan GPS. Jarak terhadap jalan, sumber air, pemukiman dan lahan pertanian atau perkebunan Diperoleh dengan mencatat titik koordinat jalan, sumber air, lokasi pemukiman, perkebunan/pertanian masyarakat, dengan menggunakan GPS. Titik koordinat tersebut dipetakan dalam peta kawasan Taman Nasional
14 Gunung Ciremai selanjutnya diukur jaraknya terhadap titik koordinat dimana surili ditemukan. Metode Analisis Data Parameter demografi 1 Pendugaan ukuran populasi Pendugaan ukuran populasi dihitung dan dianalisa untuk menghasilkan informasi : Jumlah individu total : N = ∑ Xi Pendugaan ukuran kelompok rata-rata : X = ∑ Xi/n Pendugaan variasi kelompok : S2 = ∑ Xi2 – (∑Xi)2/n n-1 Pendugaan kisaran ukuran kelompok : [X ± tα/2;n-1 Ket : X = ukuran kelompok surili rata-rata setiap lokasi pengamatan (individu) Xi = jumlah surili pada kelompok ke-i (individu) n = jumlah kelompok S2 = variasi jumlah individu pada lokasi pengamatan (individu) 2 Natalitas Natalitas akan dihitung menggunakan persamaan : b = B/N , Ket : b = Angka kelahiran kasar B = Jumlah individu anak N = Jumlah individu betina produktif 3 Mortalitas Nilai mortalitas diperoleh dengan pendekatan peluang hidup. Persamaan yang digunakan untuk mengetahui nilai peluang hidup dan mortalitas adalah sebagai berikut : Peluang hidup setiap kelas umur (a x )
Keterangan : N (x,t) = jumlah populasi kelas umur x pada waktu ke-t. Mortalitas setiap kelas umur (M i ) Mi = 1 - ax 4 Sex ratio Sex ratio dihitung dengan persamaan : S= J/B Ket : S = Sex Ratio J = Jumlah Jantan B = Jumlah betina
15 Analisis Pola penggunaan ruang 1 Analisis Perilaku/Aktifitas Data dan informasi aktifitas surili dianalisis dengan dua cara yaitu : a. Secara deskriptif untuk menggambarkan seluruh jenis aktifitas surili yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan b. Secara kuantitatif untuk menjelaskan hubungan intensitas atau lama aktifitas surili yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan. Hubungan-hubungan tersebut diantaranya : proporsi jenis aktifitas dengan proporsi posisi dalam ruang (ketinggian pada pohon/vegetasi), Proporsi waktu aktifitas dengan proporsi posisi dalam ruang (ketinggian pada pohon/vegetasi). 2 Bentuk dan Panjang Lintasan Harian Pergerakan dihitung sebagai jarak-lurus antara dua titik yang berkesinambungan pada peta dengan menggunakan program komputer Arc GIS 9.3 yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”. Panjang lintasan harian surili didapat dengan menghitung jumlah pergerakan (total panjang garis lurus dari titik-titik yang berurutan) selama pengamatan. 3 Bentuk dan Luas Wilayah Jelajah Harian Untuk mendapatkan luasan wilayah jelajah digunakan metode analisis minimum convex polygon (MCP). MCP merupakan wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan titiktitik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer Arc GIS 9.3 yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”. Analisis karakteristik habitat 1 Data vegetasi Data komponen biologi berupa data vegetasi dianalisa secara deskriptif kuantitatif, menggunakan soft ware excel, sehingga dapat diperoleh gambaran jumlah jenis, tingkat kerapatan, dan keanekaragaman jenis dalam setiap tipe habitat. Selain itu juga analisa karakteristik habitat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi pakan yang ada di habitat tersebut. Rumus-rumus yang dipakai untuk analisa kareketeristik habitat komponen vegetasi sebagai berikut: a Kerapatan (K) Kerapatan (K)
=
Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh (ha)
b Keanekaragaman jenis pakan, menggunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon- Wiener (Krebs 1978) : H’ = - ∑ pi. ln pi Dimana : H’ = Indeks Keragaman Shannon-Wiener Pi = Proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)
16
2 Data satwa lainnya dan komponen fisik Data satwa lainnya dianalisa secara deskriptif, selanjutnya data komponen fisik habitat surili diolah melalui analisis spasial, kemudian ditabulasikan. 3 Faktor Dominan Habitat Penentuan komponen dominan habitat yang dipilih atau berpengaruh terhadap ukuran kelompok surili dianalisis dengan menggunakan Partial Least Square Regression, dengan bantuan perangkat lunak Minitab14. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y = b o + b 1 x 1 +b 2 x 2 +…..+b 21 x 21 + ε Dimana : Y = Ukuran kelompok surili X 10 = Jumlah Jenis pakan pancang b 0 = nilai intersep X 11 = Jumlah Jenis pakan Tiang b i = nilai koefisien regresi ke-i X 12 = Jumlah Jenis pakan Pohon X 1 = Kerapatan pancang X 13 = Jarak dr Sumber air X 2 = Kerapatan tiang X 14 = Jarak dr Jalan X 3 = Kerapatan pohon X 15 = Jarak dr lahan pertanian X 4 = Kerapatan pakan pancang X 16 = Jarak dr kebakaran X 5 = Kerapatan pakan tiang X 17 = Jarak dr Pemukiman X 6 = Kerapatan pakan pohon X 18 = Keberadaan satwa predator X 7 = Jumlah Jenis Pancang X 19 = Keberadaan satwa pesaing X 8 = Jumlah Jenis Tiang X 20 = Kelas Lereng X 21 = Ketinggian tempat X 9 = Jumlah Jenis Pohon Hipotesis yang dibangun adalah: H o : b 1 = b 2 =...... = b 21 = 0 (semua variabel bebas X tidak ada yang mempengaruhi variabel tidak bebas Y) H 1 : b 1 ≠ b 2 ≠...... ≠ b 11 ≠ 0 d(paling sedikit ada satu variabel bebas X yang mempengaruhi Y)
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Demografi Ukuran Populasi dan Komposisi Kelompok Total sebanyak dua puluh delapan kelompok surili yang berhasil ditemukan di kawasan TNGC selama penelitian. Dua puluh delapan kelompok surili tersebut, berdasarkan tipe habitat yang ada di kawasan TNGC tersebar pada tiga tipe habitat, yaitu 6 kelompok pada habitat hutan dataran rendah, 10 kelompok pada habitat hutan sub pegunungan dan 12 kelompok pada habitat hutan pegunungan (Gambar 3). Pembagian tipe habitat didasarkan pada ketinggian tempat yaitu hutan dataran rendah (< 1000 mdpl), hutan sub pegunungan (1000 – 1500 mdpl), hutan pegunungan (1500 – 2400 mdpl) dan hutan sub alpin(> 2400 mdpl) (van Steenis 2006). Di tipe habitat hutan dataran rendah dengan jumlah kelompok surili yang berhasil ditemukan sebanyak 6 kelompok, memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 48 individu. Di tipe habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) sebanyak 56 individu dan di tipe hutan pegunungan dari 12 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 60 individu. Sehingga jumlah total individu (ukuran populasi) surili di tiga tipe habitat adalah 164 individu. Data parameter demografi ukuran populasi dan komposisi kelompok dua puluh delapan kelompok surili di kawasan TNGC seperti terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa diantara tiga tipe habitat, yang memiliki rata-rata ukuran kelompok surili terbesar adalah di habitat hutan dataran rendah yaitu sebesar 8 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 8,00 ± 4,50. Sedangkan di habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili, diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5,6 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,6 ± 2,49. Selanjutnya di tipe habitat hutan pegunungan dari 12 kelompok diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok yaitu 5 ± 2,07. Sehingga rata-rata jumlah individu di ketiga tipe habitat adalah 5,86 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,86 ± 1,31. Hasil penelitian sedikit berbeda dengan hasil penelitian Supartono (2010) di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang menemukan total individu surili sebanyak 186 individu dengan ukuran rata-rata 7 individu/kelompok dari 26 kelompok surili yang berhasil ditemukan. Hasil penelitian Siahaan (2002) di kawasan UGI Gunung Salak dengan kondisi kawasan berada pada ketinggian 900 – 1500 mdpl, menemukan ukuran populasi surili sebanyak 984 ekor dengan ukuran kelompok 3 – 8 ekor. Hasil penelitian lain terkait ukuran kelompok surili yaitu hasil penelitian Putra (1993) di kawasan Cagar Alam Situ Patenggang yang menemukan ukuran kelompok surili di kawasan tersebut yaitu 3 – 8 ekor/kelompok. Melisch & Dirgayusa (1996) menemukan ukuran kelompok surili di Cagar Alam Gunung Tukung Gede yaitu 5 - 23 ekor, di Taman Nasional Ujung Kulon ukuran
18 kelompok surili hasil penelitian Heriyanto & Iskandar (2004) yaitu 3 – 6 ekor. Di Taman Nasional Gunung Halimun dengan kondisi kawasan hutan tidak terganggu ditemukan ukuran kelompok surili 2 – 8 ekor, dan di kawasan hutan terganggunya 2 – 6 ekor (Tobing 1999). Selanjutnya menurut Ruchiyat (1983) surili di Jawa Barat hidup berkelompok dengan ukuran kelompok 3 – 12 ekor/kelompok. Tabel 2 Ukuran populasi dan komposisi kelompok surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai No I 1 2 3 4 5 6
Nama Lokasi
Ukuran Kelompok
JD
BD
Komposisi Kelompok JM BM Anak
Hutan Dataran Rendah Cipariuk 9 1 3 1 1 2 Haur Cucuk 8 1 2 1 1 2 Parahu 3 1 1 0 1 0 Awi Lega 3 1 1 0 0 1 Gunung Larang 13 1 7 1 1 2 Pasir Ipis 12 1 6 1 1 2 Total dataran rendah 48 6 20 4 5 9 II Hutan Sub Pegunungan 1 Kondang amis 4 1 1 0 1 1 2 Manduraga 5 1 2 0 1 1 3 Lembah Cilengkrang 12 1 6 1 1 2 4 Kopigewok 6 1 2 0 1 2 5 Cigowong Hilir 7 1 1 1 2 1 6 Sayana 2 1 1 0 0 0 7 Arpesi 2 1 1 0 0 0 8 Cibunian 6 1 1 1 1 2 9 Kalawija 8 1 2 1 2 1 10 Saninten 4 1 1 0 0 2 Total Sub Pegunungan 56 10 18 4 9 12 III Hutan Pegunungan 1 Loji 4 1 1 0 0 2 2 Mongor Buntu 11 1 5 1 1 2 3 Gunung Pucuk 1 8 1 2 1 1 2 4 Gunung Pucuk 2 3 1 1 0 1 0 5 Gunung Pucuk 3 4 1 1 0 0 2 6 Dilem 4 1 2 0 1 0 7 Grogol 1 4 1 2 0 1 0 8 Grogol 2 9 1 3 1 1 2 9 Grogol 3 5 1 1 0 1 2 10 Cigowong 3 1 1 1 0 0 11 Kuta 2 1 1 0 0 0 12 Pangguyangan Badak 3 1 1 0 0 1 Total Pegunungan 60 12 21 4 7 13 Total I+II+III 164 28 59 12 21 34 Ket : JD = Jantan Dewasa, BD = Betina Dewasa, JM = Jantan Muda, BM = Betina Muda
Bayi 1 1 0 0 1 1 4 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 3 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 3 10
Hasil penelitian menunjukkan habitat hutan dataran rendah walaupun memiliki jumlah titik sebaran yang sedikit tetapi dari segi ukuran rata-rata kelompoknya memiliki ukuran yang lebih banyak dibanding tipe habitat sub pegunungan dan pegunungan. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan menggunakan uji r pada taraf nyata 5 % diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran kelompok dengan semua parameter demografi dimana ukuran kelompok dengan jumlah betina memiliki hubungan yang paling besar (nilai r = 0.937).
19 Selanjutnya berdasarkan hasil uji t diperoleh informasi bahwa ukuran kelompok tiap tipe habitat menunjukan perbedaan. Terdapat 3 parameter yang berbeda nyata pada taraf nyata 10%. Pertama rata-rata ukuran kelompok pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Kedua rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan dan ketiga rata-rata bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Sehingga berdasarkan hasil uji r dan uji t tersebut dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah lebih besar adalah karena rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding tipe habitat lainnya. Dengan banyaknya jumlah betina apalagi fertil/subur maka akan meningkatkan nilai natalitas, dan hal ini akan meningkatkan ukuran kelompok. Hasil pengolahan statistik uji r dan uji t disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Gambar 3 Sebaran pengamatan/penemuan kelompok surili di Kawasan TNGC Tingginya rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah selain karena faktor rata-rata jumlah betina yang lebih besar, faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi yaitu karena terkait faktor habitat yang lebih sesuai bagi surili terutama faktor suhu lingkungan, faktor pakan, faktor kelerengan dan faktor gangguan aktifitas manusia. Suhu lingkungan yang optimal akan menjamin atau menunjang proses alami di habitat hutan dataran rendah terutama bagi proses fotosintesis tumbuhan dan juga proses metabolisme satwa dan makhluk hidup lainnya, termasuk proses refroduksi. Menurut MacKenzie et al. (2001) menyatakan bahwa pada suhu optimal metabolisme makhluk hidup akan meningkat, tetapi pada suhu yang rendah metabolime makhluk hidup akan menurun. Menurut van Steenis (2006), suhu udara pada hutan dataran rendah (<1.000 mdpl) sekitar 23,100C, pada hutan sub pegunungan sekitar 19,600C, dan
20 pada hutan pegunungan sekitar 14,100C. Sehingga dengan kondisi suhu yang sesuai/optimal maka kelompok surili di habitat hutan dataran rendah akan berkembang karena dengan suhu yang sesuai maka minimal angka kematian yang disebabkan oleh faktor penyakit/parasit dapat ditekan, selain itu juga dengan suhu yang sesuai maka proses fotosintesis dan metabolisme tumbuhan dapat berjalan dengan baik sehingga memberikan jaminan terhadap produktifitas pakan tetap tinggi. Menurut Napier & Napier (1985) jumlah individu dalam setiap kelompok pada suatu spesies primata diantaranya dapat dipengaruhi oleh kelimpahan pakan. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, jumlah jenis dan kerapatan pakan yang ada di habitat hutan dataran rendah adalah yang paling rendah dibanding habitat hutan sub pegunungan dan hutan pegunungan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar hutan dataran rendah yang menjadi habitat surili di kawasan TNGC telah berubah menjadi kawasan hutan produksi tanaman pinus, dan sebagian lagi berupa areal semak belukar dan tanaman MPTS bekas areal garapan pertanian sayuran. Bahkan hutan tanaman pinus masih ditemui sampai ketinggian 1700 mdpl (habitat hutan pegunungan) tetapi dengan luasan yang tidak seluas di hutan dataran rendah. Hutan dataran rendah yang tersisa hanya di sepanjang sungai dan jurang-jurang. Keragaman dan kerapatan jenis vegetasi dan pakan pada habitat hutan dataran rendah dan juga habitat sub pegunungan dan pegunungan berdasarkan hasil analisa vegetasi ditampilkan pada Tabel 3 dan 4. Sedangkan data jumlah, nama jenis, kerapatan dan keanekaragaman vegetasi dan pakan pada masing-masing tipe habitat tersaji pada Lampiran 6 sampai 15. Tabel 3 No
I
II
III
Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC
Tipe Habitat
Hutan dataran rendah
Hutan sub pegunungan
Hutan pegunungan
Tingkat pertumbuhan
Jumlah jenis
Kerapatan (Individu/ha)
Pancang
44
1846,67
Indeks Keanekaragaman Shanon – Wiener 3,46
Tiang Pohon Pancang
50 49 81
323,33 121,25 1800
3,72 3,09 3,66
Tiang Pohon Pancang
69 78 56
408 214 2373,33
3,70 3,31 3,28
Tiang Pohon
48 50
630 207,5
3,13 3,22
Walaupun jumlah jenis dan kerapatan vegetasi di habitat hutan dataran rendah paling kecil, namun kondisi sekarang di areal bekas perambahan, tanaman MPTS sudah besar dan menghasilkan buah, serta beberapa tanaman rehabilitasi juga sudah cukup besar, sehingga tetap menjaga jumlah dan keragaman jenis pakan surili di habitat hutan dataran rendah. Selain itu dengan tidak adanya lagi aktifitas pertanian di dalam kawasan diduga juga telah mengurangi gangguan manusia terhadap habitat surili. Sehingga surili aman dalam melakukan aktifitas dan refroduksi serta terbebas dari stress dan ketakutan. Menurut Yeager dan Kirkpatrick (1998) bahwa stres merupakan salah satu faktor yang paling
21 menentukan ukuran kelompok pada jenis colobine asia. Stress atau tekanan akan mengganggu proses refroduksi/kawin, mengurangi tingkat kelahiran, bahkan sampai menyebabkan rentan terhadap penyakit. Tabel 4 No
Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC Tipe Habitat
Tingkat pertumbuhan Pancang Tiang Pohon
Jumlah Jenis Pakan 29 33 28
Kerapatan (Individu/ha) 1460 238,33 96,67
1
Hutan dataran rendah
2
Hutan sub pegunungan
Pancang Tiang Pohon
39 39 37
1288 293 167
3
Hutan pegunungan
Pancang Tiang Pohon
30 30 31
1613,33 453,33 138,33
Terkait faktor kelerengan, berdasarkan pengamatan lapangan dan juga pengolahan data titik koordinat tempat ditemukannya kelompok surili di habitat hutan dataran rendah, membuktikan bahwa dari enam titik ditemukannya kelompok surili, empat kelompok berada pada keles lereng 5 dan dua kelompok berada pada kelas lereng 2. Dengan dipilihnya tempat yang memiliki kelas lereng tinggi, maka akan meminimalkan ancaman dari predator, karena menurut Brown (1966), predator akan tertarik pada daerah mangsa yang sangat mudah untuk diakses. Sehingga dengan kondisi demikian maka angka kematian akibat predator dapat diminimalkan, selain itu dengan kondisi aman maka akan meningkatkan angka natalitas juga sehingga ukuran populasi dapat berkembang. Data jumlah kelas lereng pada masing-masing tipe habitat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kelas lereng pada tiap tipe habitat lokasi penelitian surili di TNGC Kelas lereng
I (0% - 8 %) II (8% – 15 %) III (15% - 25%) IV (25 – 40%) V (> 40%) Jumlah
Dataran Rendah Jumlah Persentase titik/kelompok (%) 0 0 2 33,33 0 0 0 0 4 66,67 6 100
Sub Pegunungan Jumlah Persentase titik 0 0 0 0 4 40 3 30 3 30 10 100
Pegunungan Jumlah Persentase titik 0 0 1 8,33 4 33,33 2 16,67 5 41,67 12 100
Dari sisi sebaran kelompok surili, pada gambar 3 dapat dilihat, habitat yang memiliki sebaran kelompok surili yang paling banyak adalah habitat pegunungan dan sub pegunungan. Hal ini terjadi diduga terkait faktor sejarah pengelolaan hutan di kawasan TNGC yang mempengaruhi kondisi pakan dan faktor keamanan habitat surili. Sejak tahun 1978 – 2004, pada saat status kawasan hutan produksi, habitat hutan dataran rendah dan sebagian hutan sub pegunungan di kawasan TNGC kebanyakan telah berubah menjadi kawasan hutan tanaman di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Selanjutnya pada masa awal pengelolaan kawasan TNGC yaitu
22 tahun 2004 – 2010, di areal bekas pengelolaan Perhutani dilakukan kebijakan pengelolaan hutan dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menggarap lahan atau bertani di areal TNGC eks perhutani (BKSDA Jabar II 2006). Namun dalam implementasinya sistem pengelolaan hutan PHBM tersebut tidak berhasil. Akibat kebijakan pengelolaan hutan sejak jaman Perum Perhutani sampai tahun 2010 oleh TNGC telah menyebabkan habitat hutan dataran rendah berubah jadi hutan tanaman pinus dan areal pertanian. Kerusakan habitat pada habitat hutan dataran rendah dan sebagian hutan sub pegunungan, menyebabkan beberapa satwa bergerak ke tempat yang lebih tinggi, yaitu ke habitat sub pegunungan dan pegunungan yang habitatnya masih baik. Dugaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Caughley & Sinclair (1994), yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi distribusi mahluk hidup adalah iklim, subtrat, supply makanan, habitat, predator, dan pathogen. Selanjutnya Cooperrider (1986) menyatakan komponen habitat yang mempengaruhi kehadiran satwa liar diantaranya adalah vegetasi hidup, vegetasi mati, fitur-fitur fisik baik yang terbentuk secara alami maupun artifisial yang dibentuk oleh satwa liar maupun manusia, air, suplai makanan, kehadiran dan kelimpahan kompetitor, predator, parasit, penyakit, tingkat gangguan manusia, intensitas perburuan, iklim dan temperatur serta sejarah keberadaannya. Kondisi sekarang, sejak tahun 2010, areal pertanian yang dikelola dengan sistem PHBM telah ditinggalkan dan berubah menjadi areal semak belukar yang bercampur dengan tanaman MPTS seperti alpukat, nangka, jambu, kesemek, pisang, pepaya, petai dan lain-lain. Sehingga sekarang di habitat hutan dataran rendah, mulai banyak ditemukan lagi satwa seperti babi hutan, monyet ekor panjang, kijang muntjak, termasuk juga surili. Walaupun surili titik sebarannya belum sebanyak seperti di habitat hutan sub pegunungan dan pegunungan. Dugaan sebaran kelompok surili kenapa lebih banyak terdapat pada habitat sub pegunungan dan pegunungan juga sesuai dengan pernyataan (Hoogerworf 1970) yang menyatakan bahwa habitat utama surili pada mulanya adalah hutan dataran rendah dan daerah pegunungan yang tidak terlalu tinggi. Namun karena adanya kerusakan habitat pada hutan dataran rendah maka surili mencari habitat pegunungan yang lebih aman. Faktor perusakan habitat alami surili di hutan dataran rendah menyebabkan surili lebih banyak ditemukan di hutan sub pegunungan dan pegunungan (ketinggian 1200 – 1800 mdpl) (Ruhiyat 1983, Rowe 1996), dan relatif jarang ditemui di bawah ketinggian 1.200 mdpl (Supriyatna et al. 1994). Hasil eksplorasi lapangan pada habitat sub alpin (ketinggian (> 2400 mdpl) tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan surili. Hasil ini sama dengan hasil Penelitian Supartono (2010), yang melaporkan bahwa di habitat hutan sub alpin TNGC tidak ditemukan titik-titik distribusi surili, yang diduga karena terkait kondisi suhu udara. Kondisi lapangan membuktikan bahwa suhu lingkungan pada habitat sub alpin sudah sangat dingin sekali, sehingga diduga surili tidak mampu untuk beradaptasi dengan kondisi suhu yang ekstrim. MacKenzie et al (2001) menyatakan bahwa suhu akan menjadi faktor pembatas bagi sebaran maupun pertumbuhan makhluk hidup. Selanjutnya Sinclair et al. (2006) menyatakan temperatur dapat membatasi distribusi satwa liar melalui efek langsung pada
23 fisiologisnya dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi sumberdaya yang ada. Mamalia adalah salah satu jenis yang terpengaruh oleh temperatur terutama pada pergerakan dan distribusinya. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan surili belum banyak ditemukan di habitat hutan dataran rendah di kawasan TNGC, yaitu karena surili yang berada di habitat pegunungan dan sub pegunungan sudah memiliki homerangenya masing-masing, dan untuk menuju hutan dataran rendah tertahan oleh homerange kelompok lain. Dugaan lain yaitu kelompok surili yang ditemukan di habitat hutan dataran rendah adalah kelompok surili yang berbatasan dengan habitat sub pegunungan dan juga kelompok surili yang terusir dari kelompoknya dan membentuk homerange tersendiri di habitat dataran rendah, serta kelompok surili yang memang sudah dari awal berada di habitat hutan dataran rendah karena di titik tersebut faktor gangguan terhadap habitatnya tidak terlalu tinggi. Sex Rasio Pada Tabel 2 dapat dilihat, bahwa sex rasio dari enam titik pengamatan di tipe hutan dataran rendah diperoleh 10 : 25 (1 : 2,5), di tipe hutan sub pegunungan dari sepuluh titik pengamatan diperoleh nilai sex rasio 14 : 27 (1 : 1,93), selanjutnya di tipe hutan pegunungan dari dua belas titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio yaitu 16 : 28 (1 : 1,75). Secara keseluruhan dari dua puluh delapan titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio 40 : 80 (1 : 2). Nilai ini tidak sama dengan hasil penelitian Siahaan 2002, yang mengemukakan bahwa sex rasio total surili di kawasan UGI Gunung salak 1 : 1,27, dan hasil penelitian Putra (1993) di Cagar Alam Situ Patenggang yang menemukan sex rasio surili di kawasan tersebut sebesar 1 : 1,17. Sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas. Namun secara kualitatif hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Siahaan (2002) dan Putra (1993), yaitu menunjukkan bahwa jumlah betina lebih banyak dibanding jantan. Di habitat hutan dataran rendah, nilai sex rasionya lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan, selanjutnya nilai sex rasio sub pegunungan lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini terjadi karena ratarata ukuran kelompok di habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan begitu juga dengan habitat sub pegunungan yang memiliki rata-rata ukuran kelompoknya lebih besar dibanding hutan pegunungan. Selain itu juga dari sisi komposisi jantan betinanya dalam kelompok, ternyata jumlah betina lebih banyak dibanding jumlah jantannya. Hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan bahwa rata-rata betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding habitat pegunungan. Tetapi untuk informasi jenis kelamin apa yang paling sering dilahirkan oleh suatu pasang surili dalam setiap kali melahirkan, hal ini belum ada penelitian yang melaporkan hal tersebut. Lebih banyaknya betina dalam satu kelompok surili hal ini diduga terkait dengan karaketeristik kelompok surili yang menurut (Benet & Davis 1994, Rowe 1996, Tobing 1999, Supriatna & Wahyono 2000) menyatakan bahwa surili merupakan kelompok primata yang hanya terdiri dari satu jantan sebagai ketua
24 kelompok dan beberapa betina. Sehingga dengan demikian maka dalam satu kelompok surili akan lebih didominasi oleh jenis kelamin betina dibanding jantan. Struktur Umur Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Pengelompokkan individu ke dalam kelas-kelas umur sangat berguna untuk menilai perkembangan ukuran populasi. Namun di alam, menentukan umur setiap individu populasi sangatlah sulit, sehingga di dalam penelitian ini penentuan struktur umur didasarkan pada pendekatan ciri-ciri kualitatif untuk membedakan ke dalam kelas umur anak, muda dan dewasa. Komposisi struktur umur pada Tabel 2 adalah struktur umur berdasarkan ciri-ciri kualitatif dengan selang umur antar kelas tidak sama (bukan struktur umur tahunan). Untuk mendapatkan struktur umur tahunan, maka data komposisi struktur umur pada Tabel 2 dibagi dengan lebar selang kelasnya selanjutnya kelompok bayi digabungkan menjadi kelompok anak (Tabel 6). Tabel 6 Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC Tipe Habitat
Kelas Umur
Umur (th)
Selang Umur
Jumlah Populasi
Rata-Rata Tahunan
Dataran Rendah
Anak Muda Dewasa
0–4 4–7 7 – 20
4 3 13
13 9 26
3,25 3 2
Sub Pegunungan
Anak Muda Dewasa
0–4 4–7 7 – 20
4 3 13
15 13 28
3,75 3,67 2,31
Pegunungan
Anak Muda Dewasa
0–4 4–7 7 – 20
4 3 13
16 11 33
4 3,67 2,54
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa struktur umur tahunan surili di habitat hutan dataran rendah Dewasa : Muda : Anak yaitu 2 : 3 : 3,25, di habitat hutan sub pegunungan struktur umur tahunannya yaitu Dewasa : Muda : Anak sama dengan 2,31 : 3,67 : 3,75 dan di tipe hutan pegunungan struktur umur tahunannya yaitu 2,54 : 3,67 : 4. Sehingga struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat yaitu Dewasa : Muda : Anak (7 : 10 : 11). Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat berdasarkan hasil pengolahan data menunjukan pola struktur umur yang meningkat (progressive population), artinya jumlah populasi anak lebih banyak dibanding populasi kelas muda dan dewasa, begitu juga populasi kelas muda lebih banyak dibanding dewasa. Dengan kondisi struktur umur progressive population maka akan memberikan jaminan kelestarian populasi, karena dengan semakin banyaknya jumlah individu pada struktur umur anak dan muda akan memberikan jaminan keproduktifan populasi atau angka natalitas akan tetap tinggi. Terbentuknya pola struktur umur progressive population ini bisa menjadi indikasi bahwa habitat populasi surili di kawasan TNGC sekarang sudah membaik. Struktur umur hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Siahaan (2002) yang mengemukakan struktur umur tahunan surili di kawasan UGI
25 Gunung Salak yaitu 35 ekor dewasa : 72 ekor muda : 79 ekor anak. Sekali lagi sedikitnya penelitian yang terkait parameter demografi surili maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas. Natalitas Nilai natalitas yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai natalitas kasar. Nilai kelahiran spesifik tidak dapat dihitung karena kelas umur individu surili di alam bebas tidak dapat diketahui secara pasti sehingga pengelompokkan setiap individu didasarkan atas besaran kualitatif. Selain itu juga interval waktu antar kelas umur tidak sama. Nilai natalitas diperoleh dengan melihat jumlah bayi atau anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan dibandingkan dengan jumlah betina produktifnya. Berdasarkan hasil pengolahan data, di habitat hutan dataran rendah diperoleh nilai natalitas kasarnya yaitu 4 : 25. Di habitat hutan sub pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 27 dan di habitat pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 28. Sehingga nilai natalitas total surili dari 28 kelompok surili yaitu 0,125. Nilai ini berbeda dengan nilai dugaan natalitas surili yang dikemukakan oleh (Siahaan 2002) yang menemukan bahwa nilai dugaan surili di kawasan UGI Gunung Salak adalah sebesar 1,23. Sama dengan sex rasio dan struktur umur, sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk nilai natalitas ini sangat terbatas. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai natalitas di hutan dataran rendah lebih tinggi dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan. Berdasarkan hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya dibagian ukuran kelompok, menyebutkan bahwa rata-rata jumlah bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini disebabkan karena ratarata jumlah betina yang lebih banyak di hutan dataran rendah sehingga akan meningkatkan nilai natalitas. Selain itu juga diduga faktor suhu lingkungan yang optimal di dataran rendah menyebabkan perkembangan dan metabolisme bayi berjalan dengan baik sehingga angka kematian di kelas umur bayi dapat diminimalkan. Mortalitas Kematian adalah kejadian alamiah dalam suatu populasi. Di lapangan untuk memperoleh data kematian surili dalam jangka waktu satu tahun merupakan sesuatu yang sulit terutama karena keterbatasan waktu penelitian ini yang tidak sampai satu tahun. Maka untuk memperoleh nilai mortalitas dihitung dengan pendekatan 1 - peluang hidup pada setiap kelas umur. Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian surili pada setiap tipe habitat tersaji pada Tabel 7. Pada Tabel 7 dapat dilihat, angka kematian terbesar terjadi pada tingkat muda menuju dewasa. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Siahaan (2002), yang mengemukakan bahwa angka mortalitas surili yang paling tinggi di kawasan UGI Gunung Salak yaitu pada tingkat muda – dewasa yaitu sebesar 0,51, sedangkan angka mortalitas anak – muda sebesar 0,09. Tingginya angka mortalitas dari muda menuju dewasa hal ini diduga disebabkan karena terusirnya jantan remaja atau dewasa dari kelompok dalam perkelahian memperebutkan ketua kelompok dan juga dalam memperebutkan individu betina muda sebagai
26 pasangannya. Menurut Rowe (1996), pada kelompok primata apabila jantan pra dewasa menjadi dewasa maka ia harus keluar dari kelompoknya dan membuat kelompok yang baru atau berkelahi melawan pemimpin kelompoknya untuk merebut kedudukan sebagai pemimpin dalam kelompok tersebut. Tabel 7 Peluang hidup dan mortalitas surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC Tipe Habitat Hutan dataran rendah Hutan Sub Pegunungan Hutan Pegunungan Total
Peluang Hidup Mortalitas Anak – Muda 0,92 0,08 0,98 0,02 0,92 0,08 0,94 0,06
Peluang Hidup Mortalitas Muda - Dewasa 0,67 0,33 0,63 0,37 0,69 0,31 0,66 0,34
Penggunaan Ruang Harian Penggunaan Ruang Harian Horizontal Sebanyak empat titik pengamatan yang dilakukan pengambilan data pola penggunaan ruang hariannya dari dua puluh delapan titik yang menjadi titik pengamatan parameter demografi. Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe habitat hutan dataran rendah, Blok Kalawija dan Blok Saninten sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan dan Blok Cigowong sebagai perwakilan tipe habitat hutan pegunungan. Data luas dan panjang lintasan pergerakan harian surili pada masing-masing blok disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Luas wilayah jelajah harian serta panjang lintasan harian surili pada empat blok pengamatan di kawasan TNGC Tipe Habitat
Nama Blok
Hari
Dataran rendah
Haur Cucuk
I II III IV V I II III IV V I II III IV V I II III IV V
Sub Pegunungan
Kalawija
Saninten
Pegunungan
Cigowong
Wilayah jelajah Luas (Ha) Panjang (m) 0,844 470,442 1,358 514,589 1,036 517,215 1,299 531,757 1,087 550,002 1,559 885,356 3,35 1169,7 1,644 800,846 1,790 813,550 2,072 1006,792 2,561 1109,209 4,619 1162,624 3,947 1138,182 2,494 1002,599 2,969 1048,844 5.830 1128,292 5,968 1277,951 5,295 1179,678 5,403 1192,027 4,904 1163,597
27 Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe hutan dataran rendah yaitu 1,13 ha, dengan panjang lintasan hariannya rata-rata 516,80 m. Luas wilayah jelajah terkecil surili di Blok Haur Cucuk yaitu 0,844 ha dan yang terbesar yaitu 1,358 ha. Selanjutnya panjang lintasan terpendek yaitu 470,442 m dan yang terpanjang yaitu 550,002 m. Karakteristik habitat di Blok Haur Cucuk adalah berupa hutan dataran rendah yang tidak terganggu/masih alami yang berada di jurang atau daerah aliran sungai dan di kanan kirinya berupa hutan tanaman pinus yang diselingi atau bercampur dengan pohon-pohon pertanian seperti cengkeh, petai, kopi, sengon dll. Diantara ke dua jenis tipe hutan/tegakan tersebut, surili di Blok Haur Cucuk dalam lima hari rata-rata memanfaatkan tegakan/vegetasi alami di jurang sekitar 70,41 % dari total waktu aktifitasnya. sedangkan di hutan campurannya (hutan tanaman bercampur dengan perkebunan) yaitu 29,59 % dari total waktu aktifitasnya. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Haur Cucuk disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk Blok Kalawija dan Blok Saninten sebagai sampel dari tipe hutan sub pegunungan memiliki rata-rata luas wilayah jelajah harian yaitu 2,08 ha untuk Blok Kalawija dan 3,32 ha untuk Blok Saninten. Selanjutnya rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 935,25 m untuk Blok Kalawija dan 1092,29 m untuk Blok Saninten. Blok Kalawija luas wilayah jelajah terkecilnya yaitu 1,559 Ha dan terbesarnya 3,35 Ha. Panjang lintasan harian terpendek di Blok Kalawija yaitu
28 800,846 m dan terpanjang 1169,7 m. Sehingga rata-rata luas wilayah jelajah harian dari ke dua blok tersebut sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan yaitu 2,7 ha dan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 1013,77 m.
Gambar 5 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Haur Cucuk Blok Kalawija merupakan salah satu titik pengamatan yang lokasinya sudah berada di luar kawasan hutan TNGC. Karakteristik habitat Blok Kalawija yaitu berupa vegatasi hutan yang masih alami yang berada di aliran sungai dengan jurang yang dalam. Selanjutnya di kanan kirinya berupa areal pertanian sayuran dan areal dibawah aliran sungainya berupa hutan tanaman masyarakat berupa pohon sengon, petai, kesemek, alpukat, nangka dan lain-lain yang bercampur dengan kebun. Di Blok Kalawija surili dalam lima hari rata-rata memanfaatkan tipe hutan/vegetasi alami yang berada di aliran sungai sekitar 80,77 % dari total waktu aktifitasnya sedangkan untuk areal pertanian sekitar 19,23 % dari total waktu aktifitasnya. Selama lima hari pengamatan, surili setiap pagi hari selalu masuk areal pertanian masyarakat untuk mengambil kentang, wortel, alpuket dan alpukat. Tetapi untuk sore hari hanya dua hari surili teramati masuk areal pertanian. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Kalawija disajikan pada Gambar 6 dan 7.
29
Gambar 6 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Kalawija
Gambar 7 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Kalawija Blok Saninten memiliki luas wilayah jelajah terkecil sebesar 2,494 ha dan terbesar 4,619 ha. Panjang lintasan harian terpendeknya 1002,599 m dan terpanjangnya 1162,624 m. Blok Saninten merupakan lokasi distribusi surili yang berada satu aliran sungai dengan Blok Kalawija, tetapi posisinya di atasnya Blok
30 Kalawija. Batas homerange surili Blok Kalawija dengan Blok Saninten dipisahkan oleh jurang yang dalam. Berdasarkan informasi dari masyarakat di batas homerange tersebut mereka beberapa kali pernah menyaksikan surili mengalami bentrokan fisik. Tipe dan karakteristik habitat di Blok Saninten yaitu berupa tutupan vegetasi/hutan alam yang berada di sepanjang sungai, kanan kiri sungainya berupa areal pertanian sayuran terutama yang berbatasan dengan Blok Kalawija, selanjutnya untuk diatasnya, kanan kirinya berupa hutan tanaman pinus. Di Blok Saninten surili dalam lima hari rata-rata memanfaatkan tipe hutan/vegetasi yang berada di aliran sungai sekitar 86,82 % dari total waktu aktifitasnya sedangkan untuk areal pertanian sekitar 4,41%, dan untuk tanaman pinusnya 8,77 % dari total waktu aktifitasnya. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Saninten disajikan pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Saninten
31
Gambar 9 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Saninten Blok Cigowong sebagai sampel dari tipe hutan pegunungan memiliki ratarata luas wilayah jelajah hariannya sebesar 5,48 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya 1188,3 m. Luas wilayah jelajah terkecilnya yaitu 4,904 ha dan yang terbesar yaitu 5,968 ha. Panjang lintasan harian surili terpendek di Blok Cigowong yaitu 1128,292 dan yang terpanjang yaitu 1277,951. Tipe dan karakteristik habitat di Blok Cigowong yaitu berupa tutupan vegetasi/hutan yang masih alami yang berada di sepanjang sungai, di kanan kiri sungainya berupa areal tegakan pinus dan areal bekas pertanian sayuran yang sudah ditinggalkan, dan di bagian atasnya berupa hutan alam tipe hutan pegunungan. Di Blok Cigowong, surili dalam lima hari rata-rata memanfaatkan waktu aktifitasnya di tipe hutan/vegetasi yang berada di aliran sungai/jurang sekitar 57,54 % dari total waktu aktifitasnya sedangkan untuk areal bekas pertanian dan tegakan pinus sekitar 25,08 %, dan untuk hutan pegunungannya 17,38 % dari total waktu aktifitasnya. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Cigowong disajikan pada Gambar 10 dan 11.
32
Gambar 10 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Cigowong
Gambar 11 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Cigowong Nilai panjang lintasan harian surili di Blok Haur Cucuk sama dengan panjang lintasan surili di Cagar Alam Situ Patenggang yang dikemukakan oleh Putra (1993) namun berbeda untuk luas wilayah jelajah hariannya. Menurut Putra
33 (1993) surili di Cagar Alam Situ Patenggang setiap harinya bergerak menjelajah sejauh 182 - 400 m, dan memiliki luas wilayah jelajah sekitar 7,75 ha. Hasil ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rowe (1996) serta Supriatna dan Wahyono (2000). Rowe 1996 menyebutkan surili dapat menempuh jarak 400 600 m setiap hari. Selanjutnya Supriatna dan Wahyono (2000), menyebutkan surili memiliki pergerakan harian rata-rata mencapai 900 m/hari dan memiliki daerah jelajah berkisar antara 9 - 20 ha tegantung pada besar kecilnya kelompok. Berdasarkan data atau informasi dari ke empat blok yang diambil data pola penggunaan ruangnya, maka dapat dilihat bahwa rata-rata luas wilayah jelajah harian dan rata-rata panjang lintasan harian surili semakin bertambah dengan naiknya ketinggian tempat. Ada beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi pola penggunaan ruang surili, diantaranya faktor pakan, predator, satwa pesaing, maupun faktor fisik habitat menyangkut kelerengan dan ketinggian tempat. Berdasarkan hasil uji korelasi antara panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan ruang harian diperoleh hasil: 1. Terdapat korelasi negatif antara panjang lintasan harian dengan jumlah jenis pohon pada taraf nyata 10% sebesar -0,902. Artinya semakin kecil jumlah jenis pohon maka akan semakin besar panjang lintasan hariannya. 2. Terdapat korelasi negatif antara panjang lintasan harian dengan jumlah jenis pakan tiang pada taraf nyata 10% sebesar -0,929. Artinya semakin kecil jumlah pakan tiang maka akan semakin besar panjang lintasan hariannya. 3. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah jenis pancang pada taraf nyata 10% sebesar -0,946. Artinya semakin kecil jumlah jenis pancang maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 4. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah jenis tiang pada taraf nyata 5% sebesar -0,996. Artinya semakin kecil jumlah jenis tiang maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 5. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah jenis pakan pohon pada taraf nyata 5% sebesar -0,962. Artinya semakin kecil jumlah jenis pakan pohon maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 6. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah satwa pesaing pada taraf nyata 10% sebesar -0,962. Artinya semakin sedikit jumlah satwa pesaing maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 7. Terdapat korelasi posistif antara luas wilayah jelajah harian dengan ketinggian dan kelas lereng pada taraf nyata 5% sebesar 0.982. Artinya semakin tinggi ketinggian tempat dan kelerengan maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. Hasil perhitungan statistik uji korelasi antara faktor pakan, jumlah predator, jumlah satwa pesaing, maupun faktor fisik habitat menyangkut kelerengan dan ketinggian tempat dengan luas wilayah jelajah dan panjang lintasan harian selengkapnya tersaji pada Lampiran 3 sampai 5. Berdasarkan hasil uji korelasi di atas maka faktor yang berhubungan dengan luas wilayah jelajah dan hubungannya negatif yaitu jumlah jenis pancang, jumlah jenis tiang, jumlah jenis pakan pohon, dan satwa pesaing. Faktor yang memiliki hubungan posisitif dengan luas wilayah jelajah yaitu ketinggian dan kelas lereng. Selanjutnya faktor yang berhubungan dengan panjang lintasan harian surili dan
34 hubungannya negatif yaitu jumlah jenis pohon dan jumlah jenis pakan tiang. Karakteristik faktor-faktor yang berhubungan dengan panjang lintasan dan luas wilayah jelajah pada masing-masing blok disajikan pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9 Jumlah jenis pakan tiang dan jumlah jenis pohon pada empat blok pengamatan penggunaan ruang harian Tipe Habitat
Nama Blok
Hutan dataran rendah Hutan Sub Pegunungan
Haur Cucuk Kalawija Saninten Cigowong
Hutan Pegunungan
Panjang Lintasan Harian (m) 516,801 935,25 1092,29 1188,31
Jumlah Jenis Pakan Tiang 17 12 13 10
Jumlah Jenis Pohon 25 16 18 16
Jumlah jenis pakan tiang dan jumlah jenis pohon memiliki hubungan negatif dengan panjang lintasan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 9, sebagai contoh di Blok Haur Cucuk dengan jumlah pakan tiang dan jumlah jenis pohonnya sebanyak 17 jenis dan 25 jenis maka panjang lintasan hariannya hanya 516,801 tetapi pada Blok Kalawija dengan jumlah pakan tiang dan jumlah jenis pohonnya lebih sedikit yaitu hanya 12 jenis dan 16 jenis maka panjang lintasan hariannya semakin panjang yaitu 935,25 m. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Gunawan et al. (2008), yang menyatakan ordo primata memiliki hubungan dengan kerapatan vegetasi tiang yang berperan sebagai sumber pakan. Tumbuhan pada tingkat pertumbuhan tiang akan memiliki produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan buah dan daun muda. Selain itu juga diduga pada tingkat tiang ukuran batang sudah cukup kuat dan ketinggian pancang sudah lumayan tinggi untuk memberi perlindungan dalam proses makan dari bahaya predator. Sehingga dengan semakin banyak dan semakin mengelompoknya pakan tiang maka panjang lintasan harian semakin kecil, dan begitu sebaliknya. Jumlah jenis pohon diduga selain memberikan pengaruh dalam upaya perlindungan surili dari jenis predator, cuaca dan sumber pakannya juga berpengaruh terhadap pergerakan horizontal surili. Menurut Reichard (1998) dan Iskandar (2007) Pemilihan pohon yang rindang dan rimbun bertujuan untuk menghindari predator dan untuk berlindung dari perubahan cuaca. Berdasarkan hasil pengamatan surili dalam pergerakan atau perpindahan horizontal akan dominan dilakukan antar pohon serta tiang dan jarang melakukan perpindahan melalui tanah. Hal ini dilakukan diduga untuk menghindari bahaya dari predator. Apabila pergerakan surili terputus karena tidak ada pohon, maka surili akan turun ke tanah dan segera berlari menuju tiang atau pohon lagi yang ada di habitat baru yang ditujunya. Sehingga menyebabkan panjang lintasan semakin panjang. Tetapi apabila jumlah pohon banyak maka surili akan lebih banyak melakukan perpindahan vertikal. Jumlah jenis pancang, jumlah jenis tiang dan jumlah pakan pohon memiliki hubungan negatif dengan luas wilayah jelajah harian surili, hal ini menunjukan bahwa surili memiliki ketergantungan terhadap vegetasi mulai dari tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Artinya disini apabila vegetasi semakin rapat dan jumlah jenis serta pakannya banyak dan mengelompok tidak menyebar, maka surili akan lebih banyak melakukan aktifitas vertikal dibanding horizontal sehingga luas penggunaan ruangnya semakin kecil. Tetapi apabila jumlah jenis
35 pancang, tiang dan jumlah pakan pohonnya sedikit maka surili akan memperluas wilayah jelajahnya. Sebagai contoh pada Tabel 10 dapat dilihat, di Blok Haur Cucuk dengan jumlah jenis pancang dan jumlah jenis tiang sebanyak 22 dan 24 jenis, luas wilayah jelajah hariannya hanya 1,13 ha, tetapi di Blok Kalawija dengan jumlah jenis pancang dan jumlah jenis tiangnya lebih sedikit yaitu 21 jenis, maka luas wilayah jelajah hariannya lebih besar yaitu 2,08 ha. Tabel 10 Jumlah jenis vegetasi, pakan, satwa pesaing dan ketinggian tempat serta kelas lereng pada empat blok pengamatan penggunaan ruang harian Tipe Habitat
Hutan dataran rendah Hutan Sub Pegunungan Hutan Pegunungan
Nama Blok
Luas Wilayah Jelajah Harian (ha) 1,13
Jumlah Jenis Pancang
Jumlah Jenis Tiang
Jumlah Jenis Pakan Pohon
Jumlah Satwa Pesaing
Ketinggian (mdpl)
Kelas lereng
22
24
13
15
851
2
Kalawija
2,08
21
21
12
10
1304
3
Saninten Cigowong
3,32 5,48
15 13
19 14
12 10
12 0
1482 1612
4 3
Haur Cucuk
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Colebrook et al. 1990, Tolkamp et al. 1998) yang menyatakan kebutuhan pakan berbagai jenis mamalia herbivora berbeda-beda menurut jenis, umur, serta ketersediaan pakan baik jenis tumbuhan pakan maupun produktivitas pakan. Namun demikian, herbivora tidak memakan tumbuhan pakan secara acak tetapi cenderung memilih jenis tumbuhan tertentu yang disukainya (Colebrook et al. 1990, Tolkamp et al. 1998). Sehingga karena ada pemilihan terhadap jenis pakan maka akan berpengaruh terhadap bentuk dan luas pergerakan surili. Kasus surili di Blok Kalawija, Blok Saninten dan Blok Haur Cucuk yang memasuki areal pertanian yang memakan kentang, wortel, alpukat, petai, pisang dan tanaman pertanian lainnya diduga karena di areal pertanian kondisi pakan tersedia melimpah, mudah dan juga mengandung cita rasa yang berbeda dari pakan biasa/alami. Selain itu juga kandungan nutrisi dari tanaman budidaya seperti karbohidrat dan kalori lebih tinggi serta serat yang lebih rendah yang menyebabkan tanaman budidaya lebih mudah dicerna merupakan salah satu faktor juga yang menyebabkan surili memakan tanaman budidaya. Jumlah satwa pesaing memiliki korelasi negatif dengan luas wilayah jelajah harian surili. Satwa yang dianggap pesaing yang ditemui di lapangan yaitu kera ekor panjang dan lutung. Namun di empat blok yang dijadikan sampel untuk diamati pola penggunaan ruangnya hanya terdapat jenis kera ekor panjang saja. Pada Tabel 10 dapat dilihat, Blok Haur Cucuk dengan jumlah satwa pesaing kera ekor panjang sebanyak 15 ekor memiliki rata-rata luas wilayah jelajah harianya yaitu 1,13 ha, tetapi di Blok Kalawija dengan jumlah satwa pesaing kera ekor panjangnya lebih sedikit yaitu hanya 10 ekor memiliki rata-rata luas wilayah jelajah hariannya yang lebih besar yaitu 2,08 ha. Berdasarkan hasil pengamatan persaingan yang terjadi antara monyet dengan surili hanya persaingan penggunaan ruang, dari sisi pakan selama pengamatan tidak menunjukkan persaingan. Selama
36 pengamatan, pergerakan surili searah dengan pergerakan kera ekor panjang, namun lebih lambat dibanding kera ekor panjang seolah-olah menunggu kera ekor panjang pergi jauh. Sehingga apabila kera ekor panjang pergerakannya lambat maka surili juga bergerak lambat, dan hal ini menyebabkan surili memliki luas wilayah jelajah yang tidak terlalu luas. Ketinggian dan kelerengan memliki korelasi positif dengan luas wilayah jelajah. Hal ini bisa dimaklumi, karena dengan bertambahnya ketingggian tempat maka jumlah jenis vegetasi dan pakan semakin berkurang, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakan maka surili akan memperluas wilayah jelajahnya. Ketinggian tempat maksimal dalam penelitian ini yaitu 2010 mdpl. Menurut Primack et al. (1998) ketinggian tempat dapat mempengaruhi keberadaan sumber pakan. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan, sehingga variasi dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas (Gunawan et al. 2008). Kelerengan lahan diduga akan berpengaruh terhadap jumlah dan kerapatan jenis vegetasi. Pada daerah yang memiliki kelerengan yang sangat curam sekali, jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan akan semakin sedikit. Karena dengan semakin curam, maka permukaan tanah biasanya sudah sangat tipis dan lebih didominasi oleh tebing/batu, sehingga rawan erosi. Menurut Hardjowigeno (1993) kelerengan berhubungan dengan ketebalan solum dan kandungan bahan organik horison A. Semakin curam ketebalan solum semakin tipis dan dan semakin rawan erosi. Selanjutnya pada daerah yang curam ketersediaan air tanah juga semakin sedikit. sehingga pada daerah yang memiliki kelerengan yang sangat curam, akan menyebabkan surili memperluas wilayah jelajahnya dalam rangka memenuhi kebutuhan pakannya. Pola Penggunaan Ruang Harian Vertikal Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data pola penggunaan ruang vertikal surili diperoleh informasi, aktifitas surili di empat blok pengamatan lebih banyak dilakukan pada ketinggian 4 – 18 m (strata C) dan ketinggian 18 – 30 m (strata B). Rata-rata proporsi waktu aktifitas harian pada setiap ketinggian berdasarkan waktu pengamatan dan rata-rata proporsi waktu aktifitas harian pada setiap ketinggian berdasarkan jenis aktifitas di masing-masing blok dapat dilihat pada gambar 12 dan 13 berikut. Berdasarkan gambar 12 dan 13, dapat dilihat bahwa aktifitas harian surili, baik pada pagi hari, siang hari maupun sore hari dan juga berbagai jenis aktifitas yang dilakukan (istirahat, pindah, makan, sosial) paling banyak dilakukan pada ketinggian tertentu dari permukaan tanah atau menempati strata tajuk tertentu. Aktifitas surili pada keempat blok secara keseluruhan lebih banyak dilakukan pada ketinggian antara 4 s/d 18 m dan 18 m s/d 30 m. Surili mulai aktif beraktifitas pada pagi hari, berbeda-beda tergantung terbitnya matahari. Berdasarkan hasil pengamatan setengah jam setelah fajar/ subuh surili sudah mulai bergerak/berpindah dari tempat tidurnya. Di Blok Cigowong ketika waktu terbit fajar jam 04.06 maka jam 04.38 surili sudah bangun dan bersuara. Di Blok Kalawija dan Saninten ketika waktu terbit fajar jam 04.11, maka surili jam 04.49 sudah bangun, tetapi tanpa suara. Di Blok Haur Cucuk ketika waktu terbit fajar jam 04.37 maka jam 05.07 surili sudah bangun. Aktifitas
37 makan mulai aktif dilakukan ketika mataharai mulai terbit sambil melakukan kegiatan berjemur.
Gambar 12 Digram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan waktu pengamatan. Banyaknya aktifitas surili dilakukan pada strata B dan C hal ini sesuai dengan karaketristik surili sebagai satwa arboreal. Berdasarkan hasil pengamatan aktifitas vertikal surili lebih dipengaruhi oleh letak sumber makanan. Dengan didominasinya aktifitas pada strata B dan C menunjukkan bahwa letak makanan lebih banyak pada strata tersebut. Tingkat perrtumbuhan yang berada pada strata tersebut adalah pancang, tiang dan pohon. Selain dipengaruhi oleh letak sumber makanan, pergerakan vertikal juga dipengaruhi oleh strategi surili untuk berlindung dari ancaman predator. Surili jarang dilihat sampai puncak pohon tetapi lebih berada ditengah-tengah pohon dengan tujuan supaya posisi dia sulit dideteksi atau diserang oleh burung elang dan macan tutul.
38
Gambar 13 Digram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan jenis aktifitas Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Gunawan et al. (2008), yang menyatakan bahwa surili di TNGC banyak memanfaatkan strata B (20–30 m) dan C (4–20 m) untuk berbagai aktivitasnya. Tetapi berbeda dalam hal pemanfaatan strata E, menurut Gunawan et al. (2008), menyatakan bahwa surili di TNGC tidak pernah terlihat pada strata D (ketinggian 1-4 m) dan E (ketinggian <1 m). Sedikitnya penelitian yang terkait dengan pola penggunaan ruang vertikal surili, maka informasi pembanding terkait hal ini terbatas.
Gambar 14 Surili jantan dan betina dewasa sedang beristirahat
39
Gambar 15 Surili melakukan perpindahan antar pohon Faktor Dominan Habitat Berdasarkan hasil analisis partial least square regression, peubah bebas yang memiliki pengaruh terbesar terhadap ukuran kelompok surili yaitu keberadaan satwa pesaing (X19), keberadaan satwa predator (X18), jumlah jenis pakan pancang (X10), dan kelerengan (X20). Persamaan regresinya adalah Y = 632513 - 0,00215X1 - 0,00147X2 + 0,03801X3 + 0,00316X4 + 0,00449X5 0,01208X6 - 0,11275X7 - 0,05967X8 - 0,07414X9 + 0,83591X10 - 0,34497X11 0,49888X12 + 0,00949X13 - 0,00157X14 + 0,00423X15 + 0,00037X16 0,00121X17 + 2,40052X18 + 3,92059X19 + 0,63279X20 - 0,00571X21. Model regresi ini memiliki nilai R2 sebesar 77,76%. Artinya sebesar 77,76% keragaman ukuran kelompok mampu dijelaskan oleh peubah penjelas sedangkan sisanya sebesar 22,24% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam model. Berdasarkan koefisien persamaan regeresi di atas, maka peubah bebas X19, X18, X10 dan X20 memiliki hubungan positif. Artinya di lokasi yang ditemukan atau ada satwa pesaing maupun satwa predator maka ukuran kelompok surili cenderung banyak. Demikian juga dengan jumlah jenis pakan pancang maupun kelerengan, ukuran kelompok surili cenderung banyak di lokasi yang jumlah jenis pakan pancangnya banyak dan kelas lerengnya tinggi. Ringkasan output analisis partial least square regression untuk mengidentifikasi peubah yang paling berpengaruh terhadap ukuran kelompok Presbytis comata disajikan pada Lampiran 16. Selanjutnya data jumlah satwa pesaing, predator, jumlah jenis pakan pancang, dan juga kelas lereng di dua puluh delapan titik di temukan kelompok surili disajikan pada Lampiran 17. Keberadaan satwa pesaing (dalam penelitian ini monyet ekor panjang dan lutung) dalam suatu habitat surili menunjukkan bahwa dalam habitat tersebut ada komponen-komponen habitat, baik fisik maupun biologi yang sesuai atau samasama digunakan oleh satwa-satwa primata tersebut. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal, bahwa persaingan monyet dengan habitat surili adalah dalam
40 hal ruang dan beberapa pakan buah, selanjutnya dengan lutung persaingan yang terjadi adalah dominan dalam hal pakan. Sehingga apabila dalam suatu habitat terdapat satwa-satwa pesaing (monyet dan lutung) maka habitat tersebut cocok atau sesuai untuk perkembangan surili. Habitat yang cocok atau sesuai mampu memberikan sumberdaya yang dibutuhkan bagi perkembangan populasi (memperbanyak ukuran kelompok). Keberadaan predator dalam suatu habitat berperan sebagai penyeimbang suatu ekosistem dan pengontrol populasi satwa mangsa. Menurut van Schaik (1983), predator merupakan faktor ekologi lainnya yang diduga dapat mempengaruhi komposisi dan ukuran kelompok satwaliar. Richards & Coley (2007) menyatakan bahwa populasi mamalia herbivora dipengaruhi oleh kombinasi antara ketersediaan pakan dengan tekanan predator. Satwa yang dianggap predator bagi satwa primata (surili, lutung dan kera ekor panjang) di kawasan TNGC yaitu macan tutul dan burung elang. Keberadaan atau sering ditemuinya predator dalam suatu habitat menunjukkan bahwa dalam habitat tersebut banyak terdapat satwa-satwa mangsanya. Banyaknya satwa mangsa di suatu habitat menunjukkan habitat tersebut kaya akan sumber pakan atau juga memiliki komponen fisik yang sesuai bagi kebutuhan satwa mangsa. Sehingga di habitat yang sering ditemukan atau terdapat keberadaan satwa pemangsa dan mangsa maka ukuran kelompok atau populasi suatu spesies dapat berkembang dengan baik. Untuk mengurangi ancaman predator setiap species satwa mangsa memiliki cara atau sistem perlindungan masing-masing. Cara species primata dalam mengurangi ancaman predator adalah dengan meningkatkan jumlah individu jantan dalam kelompok (Yeager & Kirkpatrick 1998). Menurut (Fleagle 1988) Satwa primata, termasuk surili umumnya hidup berkelompok agar mudah mendapatkan makanan, mengamankan diri dari predator, akses refroduksi dan mempertahankan anak. Jumlah jenis pakan pancang dalam suatu habitat surili dapat mempengaruhi ukuran kelompok surili dan hubungannya posistif. Berdasarkan hasil pengamatan surili lebih banyak memanfaatkan jenis pakan dari tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Tetapi pada kondisi habitat bagus, dengan jumlah pancang yang banyak, surili juga sering memakan jenis pancang. Dengan banyaknya jenis pakan pancang maka akan menambah jumlah pakan surili selain tiang dan pohon, selain itu pancang juga ke depannya dalam pertumbuhannya akan menjadi tingkat tiang. Sehingga akan menjamin kebutuhan pakan bagi surili. Jumlah pakan yang cukup dan berkualitas akan mampu menjamin ukuran kelompok surili. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nijman & Manulung (2008) yang menyatakan Jumlah spesies vegetasi, sumber air, serta kepadatan vegetasi tingkat pancang dan tiang berpengaruh terhadap Presbytis melalophos. Kelerengan memiliki pengaruh terhadap ukuran kelompok surili. Selain curam dan sangat curam, habitat P. comata juga umumnya bertebing. Individu P. comata lebih banyak memilih habitat yang sangat curam. Pemilihan lokasi yang sangat curam dan bertebing ini diduga terkait dengan faktor keamanan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dengan kondisi demikian maka surili mampu mempertahankan anggota kelompoknya dari serangan predator, sehingga kematian kelompok akibat predator dapat diminimalkan. Selain itu dengan kondisi yang aman maka proses refroduksi dan
41 membesarkan anak juga bisa berjalan dengan baik, sehingga dapat meningkatkan ukuran kelompok surili. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Supartono (2010) yang menyatakan komponen habitat yang berhubungan secara nyata terhadap ukuran kelompok surili di kawasan TNGC adalah kelerengan, jarak terhadap lahan garapan, jumlah pakan tingkat pohon, dan jumlah monyet ekor panjang. Perbedaan ini disebabkan terkait faktor kondisi keamanan habitat, dimana kondisi tahun 2010, aktifitas perambahan di kawasan TNGC masih ada. Selanjutnya hasil penelitian Sari (2010) menyatakan bahwa komponen dominan habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan surili adalah penutupan tajuk dan kemiringan lereng. Semakin datar kemiringan lereng dan semakin tinggi nilai penutupan tajuknya maka habitat tersebut semakin disukai oleh surili. Perbedaan ini juga sama disebabkan oleh kondisi keamanan habitat habitat. Artinya apabila habitat aman, maka surili juga akan memasuki areal-areal yang datar/landai tergantung sebaran pakannya. Penutupan tajuk, tipe vegetasi, dan tingkat gangguan pada umumnya merupakan peubah yang sangat penting, baik bagi primata arboreal pemakan daun maupun pemakan buah (Arroyo-Rodriguez & Mandujano 2006). Hasil penelitian Haus et al. (2009) menunjukkan, kelimpahan primata tidak berhubungan nyata dengan penutupan tajuk, tinggi tajuk, kerapatan tumbuhan bawah, dan pertumbuhan liana, tetapi berhubungan nyata (negatif) dengan jumlah penebang yang dijumpai pada lokasi penelitian.
42
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ukuran populasi total surili dari dua puluh delapan kelompok surili yang ada di kawasan TNGC yaitu sebanyak 164 individu, dengan kisaran ukuran kelompok tertinggi terdapat pada habitat dataran rendah sebanyak 8,00 ± 4,50. Populasi surili di kawasan TNGC ini akan terus berkembang, karena struktur umur yang ada sekarang dalam kondisi struktur umur meningkat (progressive population). 2. Rata-rata luas wilayah jelajah dan panjang lintasan harian surili semakin bertambah dengan naiknya ketinggian tempat. Ketinggian maksimal dalam penelitian ini yaitu 2010 mdpl. 3. Faktor dominan habitat yang paling berpengaruh terhadap ukuran kelompok surili yaitu keberadaan satwa pesaing, keberadaan satwa predator, jumlah jenis pakan pancang, dan kelerengan. Saran 1. Survey dan monitoring kondisi parameter demografi dan juga pola penggunaan ruang surili secara berkelanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada kedua jenis data tersebut. Selain itu penelitian terhadap karekteristik perilaku refroduksi surili pada musim kawin perlu dilakukan. 2. Lokasi-lokasi yang menjadi titik sebaran surili dan overlay atau tumpang tindih dengan satwa kunci lainnya (macan tutul, elang jawa, lutung) ke depannya perlu dipertimbangkan dalam proses revisi zonasi dan revisi RPTN Gunung Ciremai. 3. Perlu pengamanan dan monitoring kawasan secara rutin dari aktifitas perambahan dan gangguan lainnya terutama di habitat hutan dataran rendah, sehingga mampu memberikan jaminan bagi kelestarian populasi surili dan satwa lainnya yang ada di kawasan tersebut. 4. Di habitat hutan dataran rendah yang belum direhabilitasi maupun belum dilakukan pengkayaan jenis tanaman, maka jenis-jenis yang termasuk dalam pakan surili perlu dimasukan dalam program rehabilitasi maupun pengkayaan tanaman di kawasan TNGC. 5. Perlu dilakukan langkah konservasi yang tepat untuk surili yang berada di luar kawasan TNGC.
43 DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor (ID) : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Ankel-Simons F. 2007. Primate Anatomy An Introduction 3rd Edition. USA : Academic Press Elsevier. Arroyo-Rodríguez V, Mandujano S. 2006. Forest fragmentation modifies habitat quality for Aloutta palliata. International J Primat. 27(4): 1079-1096. Bennet EL, Davies AG. 1994. The ecology of Asian colobinas. In: N Rowe. 1996. The Pictorial Guide To The Living Primates. New York (US): Pogonias Press. [BKSDA Jabar II] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II. 2006. Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kuningan(ID): BKSDA Jabar II. Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissmann T, Groves CP, Melnick DJ, Morales JC, Shekelle M, Stewart CB. 2004. Asian primate classification. International J Primat. 25(1): 97-162. Brown LE. 1966. Home range and movement of small mammals. In: Jewell PA, Loizos C, editor. 1966. Play, Exploration and Territory in Mammals (The proceedings of a symposium held at The Zoological Society of London on 19 and 20 November 1965). London (GB): Academic Press. Caughley G. 1977. Analysis of vertebrate populations. London (GB); A willeyInterscience J wiley. [CITES] Conventation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2011. Apendik I, II and III CITES 2011. [Internet]. [diunduh 2011 Oktober 10] : http://www. cites.org/eng/ resources/ species.html . Colebrook WF, JL Black, DB Purger, WJ Collins & RC Rossiter. 1990. Factor affecting diet selection by sheep V. Observed and predicted preference ranking for six cultivars of subterranean clover. Australian J Agricultur Research 41:957-967. Cooperrider AY. 1986. Habitat Evaluation Systems In: Cooperrider AY, RJ Boyd and HR Stuart (eds.). 1986. Inventory and Monitoring of Wildlife Habitat. U.S Dept. Inter., Bur Land Manage. Service Center. Denver, Co. pp 757776
44 Fleagle JG. 1988. Primate Adaption and Evolution. In: N Rowe. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US): Pogonias Press. Fryxell, J.M., and sinclair, R.E. 1988. Causes and consequenses of Migration by large herbivores. Trends in Ecology and evolution. (3) 9 : 237. Gotelli NJ, Ellison AM. 2004. A Primer of Ecological Statistics. Sundelrand: Sinauer Associates, Inc. Publishers. Gunawan. 2007. Keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Gunawan H, Bismark M. 2007. Status populasi dan konservasi satwaliar mamalia di Taman Nasional Gunung Ciremai. J Penelitian dan Konservasi Alam. 4(2):117-128. Gunawan, Kartono AP, Maryanto I. 2008. Keanekaragaman mamalia besar berdasarkan ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Cirema. J Biol Indonesia. 4(5):321-324. Groves CP. 1993. Order Primates. In: N Rowe. 1996. The Pictorial Guide To The Living Primates. New York (US): Pogonias Press. Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta (ID): Akademika Pressindo Haus T, Vogt M, Forster B, Thanh Vu N, Ziegler T. 2009. Distribution and population densities of diurnal primates in the Karst Forest of Phong Na – Ke Bang National Park, Quang Binh Province, Central Vietnam. International J Primat. 30:301-312. Heriyanto NM, Iskandar S. 2004. Studi populasi dan habitat surili (Presbytis comata Desmarest, 1822) di kompleks hutan Kalajeten-Karangranjang, Taman Nasional Ujung Kulon. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(1):89-98. Hoogerwerf AA. 1970. Udjung Kulon: The land of the last javan rhinoceros. Netherlands (NL): E.J. Brill. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Iskandar. 2007. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [Desertasi]. Bogor (ID) : Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2011. IUCN Redlist 2011. [Internet]. [diunduh 2011 Oktober 10] : http://www.iucnredlist.org/ .
45
Kool KM. 1992. The status of endangered primates in Gunung Halimun Reserve, Indonesia. Oryx. 26(1):29-33. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row, Publisher. Kusmana C, Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lekagul and McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok (TH): Kurusapha Ladprao Press. MacKenzie A, Ball AS, Virdee SR. 2001. Instant Notes: Ecology. Second Edition. Oxford: BIOS Sientific Publishers Ltd. MacKinnon K. 1987. Conservation status of primates in Malaysia, with special references to Indonesia. Dalam: ISL Tobing. 1999. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Bogor (ID): LIPI Press. Melisch R, Dirgayusa IWA. 1996. Notes on the grizzled leaf monkey (Presbytis comata) from two nature reserves in West Java, Indonesia. Asian Primates. 6 (1):5-11. Napier JR, Napier PH. 1967. A Hand Book of Living Primates. Cambridge: The MIT Pr. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of Primates. Cambridge: The MIT Pr. Napier PH. 1985. Catalogue of Primates in the British Museum (Natural History) and Elsewhere in the British Isles, Part 3: Family Cercopithecidae, Subfamily Colobinae. In: NRowe. 1996. The Pictorial Guide To The Living Primates. New York (US): Pogonias Press. Nijman V and B Manullang. 2008. Presbytis melalophos. In : IUCN 2011. IUCN Red List of Treatened Species. [Internet]. [diunduh 2011 November 29] :Version 2011. 1 . http.//www.iucnredlist.org. Nugraha, H. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang Banteng (Bos javanicus) di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
46 Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, penyunting. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Prasanai, K. et al., 2008. Rehabilitation of Javan Gibbon Habitat in the Corridor Halimun - Salak Mountain. [Internet]. [diunduh 2012 Mei 6] : www.google.co.id/primate/surili. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Pringgoseputro S, Srigandono B. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Putra IMWA. 1993. Perilaku makan pada surili (Presbytis comata comate Desmarets, 1822) di Cagar Alam Situ Patengan Jawa Barat [skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Reichard, U. 1998. Sleeping Sites, Sleeping Places, and Presleep Behavior of Gibbons (Hylobates lar). American J Primat. 46:35–62 (1998). Richards LA & PD Coley. 2007. Seasonal and Habitat differences affect the impact of food and predation on herbivores: a comparison between gaps and understory of a tropical forest. Oikos. 116: 31 – 40. Roberge, J. & Angelstam. 2004. Usefulness of the Umbrella Species Concept as a Conservation Tool . Conservation Biology. 18: 76–85. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US): Pogonias Press. Ruchiyat Y. 1983. Socio-ecological of Presbytis aygula in West Java. Primates. 24:344-359. Santosa, Y. 1990. Pola Penggunaan Ruang dan Organisasi Sosial Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan, IPB. Santosa Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwa liar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku : Studi kasus terhadap populasi kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Bogor (ID) : IPB. Sari DRK. 2010. Analisis kesesuaian habitat preferensi surili di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
47 Siahaan AD. 2002. Pendugaan parameter demografi populasi surili (Presbytis aygula Linnaeus 1758) di Kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung Salak [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sinclair ARE, JM Fryxell and G Caughley. 2006. Conservation, and Management Second Edition. Publishing Ltd. 469p.
Wildlife Ecology, Oxford: Blackwell
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Supartono T. 2010. Karakteristik Habitat dan Distribusi Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai [Tesis]. Bogor (ID) : Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Supriatna J, Tilson JR, Gurmaya KJ, Manangsang J, Wardojo W, Sriyanto A, Teare A, Castle K, Seal U. 1994. Javan Gibbon and Javan Langur, Population and Habitat Viability Analysis Report. Bogor (ID): Taman Safari Indonesia. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan: Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Tobing ISL. 1999. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tolkamp BJ, RJ Dewhurst, NC Friggen, I Kyriazakis, RF Veerkampm & JD Oldham. 1998. Diet choise by dairy cows 1 : Selection of feed protein content during the first half of location. J Dairy Science. 81:2657-2669. Van Schaik CP. 1983. Why are diurnal primates living in groups?. Behaviour. 87: 120-144. Van Steenis CGGJ. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Jakarta (ID): LIPI Press. Wahyu. 1995. Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Studi Populasi Kerbau Liar (Bubalus bubalis Linn) di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur [Skripsi]. Bogor (ID) : Jurusan Konservasi Sumberdayahutan, Institut Pertanian Bogor. Wibisono HT. 1994. Survey populasi primata di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Dalam: ISL Tobing. 1999. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di Kawasan
48 Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yeager CP, Kirkpatrick RC. 1998. Asian colobine social structure: ecological and evolutionary constrains. Primates. 39(2): 147-155.
49 Lampiran 1 Hasil uji korelasi ukuran kelompok dengan parameter demografi
Correlations Correlations Ukuran kelompok Ukuran kelompok
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Betina
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Dewasa
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Remaja
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Natalitas
1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Betina
Natalitas
.827**
.852**
.677**
.000
.000
.000
.000
.000
.000
28
28
28
28
28
28
1
**
**
**
**
.794**
.793
.000 28
28
**
**
.647
.683
.000
.000
.000
28
28
28
28
28
1
**
**
**
.504**
.000
28
28
28
**
**
**
.978
.633
.000
.000
.006
28
28
28
28
1
**
**
.452*
.000
.000
.016
28
28
28
1
**
.751**
.000
.000
.978
.000
.000
28
28
28
28
**
**
**
**
.762
.762
.000
.000
.858
.858
.000
.647
.626
.626
.000
.000
.827
Anak
.916**
**
.916
Remaja
.937**
28
.937
Dewasa
.793**
Sig. (2-tailed) N
Jantan
Jantan
.650
.650
.622
.642
.000
.000
.000
.000
28
28
28
28
28
28
28
**
**
**
**
**
1
.688**
.852
.683
.633
.622
.642
.000
.000
.000
.000
.000
28
28
28
28
28
28
28
**
**
**
*
**
**
1
.677
.794
.504
.452
.751
.000
.688
.000
.000
.006
.016
.000
.000
28
28
28
28
28
28
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
28
50 Lampiran 2 Rekapitulasi hasil uji t parameter demografi antar tipe habitat Dataran Rendah vs Sub Pegunungan Dataran Rendah
Sub Pegunungan
Nilai P
Ukuran kelompok
8.00
5.60
0.207
Jantan
1.67
1.40
0.334
Betina
4.17
2.70
0.221
Dewasa
4.33
3.00
0.225
Remaja
1.50
1.10
0.384
Anak
2.17
1.50
0.265
Bayi
0.67
0.30
0.174
Natalitas
0.14
0.07
0.307
Dataran Rendah vs Pegunungan Dataran Rendah
Pegunungan
Nilai P
Ukuran kelompok
8.00
5.00
0.091
Jantan
1.67
1.33
0.201
Betina
4.17
2.33
0.089
Dewasa
4.33
2.75
0.203
Remaja
1.50
0.92
0.168
Anak
2.17
1.33
0.222
Bayi
0.67
0.25
0.097
Natalitas
0.14
0.06
0.215
Sub Pegunungan vs Pegunungan Dataran Rendah
Pegunungan
Nilai P
Ukuran kelompok
5.60
5.00
0.632
Jantan
1.40
1.33
0.760
Betina
2.70
2.33
0.617
Dewasa
3.00
2.75
0.677
Remaja
1.10
0.92
0.612
Anak
1.50
1.33
0.742
Bayi
0.30
0.25
0.805
Natalitas
0.07
0.06
0.856
51 Lampiran 3
Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan jumlah satwa predator dan jumlah satwa pesaing Correlations
Panjang Lintasan harian (m)
Luas wil jelajah harian (Ha) .874
Jumlah Satwa predator (ind) -.132
Jumlah satwa pesaing (ind) -.769
.126
.868
.231
4
4
4
4
Pearson Correlation
.874
1
-.469
-.911
Sig. (2-tailed)
.126
.531
.089
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Luas wil jelajah harian (Ha)
N Jumlah Satwa predator (ind)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah satwa pesaing (ind)
Panjang Lintasan harian (m) 1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
4
4
4
4
-.132
-.469
1
.734
.868
.531
4
4
4
4
-.769
-.911
.734
1
.231
.089
.266
4
4
4
.266
4
52 Lampiran 4
Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan ketinggian tempat dan kelas lereng Correlations Luas wil jelajah Panjang Lintasan harian (Ha)
ketinggian
kelas lereng
harian (m) .425
.982*
.982*
.575
.018
.018
4
4
4
4
Panjang Lintasan harian Pearson Correlation
.425
1
.477
.319
(m)
.575
.523
.681
Luas wil jelajah harian (Ha)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Sig. (2-tailed) N
ketinggian
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kelas lereng
1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
4
4
4
4
.982*
.477
1
.985*
.018
.523
4
4
4
4
.982*
.319
.985*
1
.018
.681
.015
4
4
4
.015
4
Lampiran 5 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan faktor vegetasi dan pakan Correlations
Panjang Lintasan harian (m)
.190
.415
.217
4
4
4
4
4
.093
.066
.846
.422
.907
.934
.154
4
4
Pearson Correlation
.874
1
Sig. (2-tailed)
.126
Jumla h Jenis Poho n -.902
Jumla h Jenis pakan panca ng -.707
Jumlah Jenis pakan Tiang -.929
Jumlah Jenis pakan Pohon -.828
.133
Jum lah Jeni s Tian g .897 .103
.098
.293
.071
.172
4
4
4
4
4
4
4
.487
.883
-.946
.996
-.673
-.816
-.843
-.962
.578
.513
.117
.054
.004
.327
.184
.157
.038
*
**
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Pearson Correlation
.555
.093
1
.418
-.232
.929
.197
.009
-.234
-.616
-.184
-.387
-.008
Sig. (2-tailed)
.445
.907
.582
.768
.071
.803
.991
.766
.131 .869
.384
.816
.613
.992
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Pearson Correlation
.347
.066
.418
1
.320
.535
.876
.450
.140
-.717
.416
-.582
-.265
Sig. (2-tailed)
.653
.934
.582
.680
.465
.124
.550
.860
.159 .841
.283
.584
.418
.735
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
.144
.736
*
.970
-.629
-.607
-.411
-.806
-.952
.856
.264
.030
.371
.867 .133
.393
.589
.194
.048
4
1
*
Pearson Correlation
.634
.846
-.232
.320
Sig. (2-tailed)
.366
.154
.768
.680
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Pearson Correlation
.810
.422
.929
.535
.144
1
.472
.378
-.487
-.855
-.356
-.700
-.372
Sig. (2-tailed)
.190
.578
.071
.465
.856
.528
.622
.513
.468 .532
.145
.644
.300
.628
N Kerapatan pakan pancang (ind/ha)
.366
.445
N Kerapatan pohon (ind/ha)
.653
.126
Sig. (2-tailed)
N Kerapatan tiang (ind/ha)
Jumla h Jenis Panc ang -.867
Kerap atan tiang (ind/h a) .347
N Kerapatan pancang (ind/ha)
Kerapat an pakan tiang (ind/ha) .585
Kerap atan pakan poho n (ind/h a) .783
Luas wil jelajah harian (Ha) .874
N Luas wil jelajah harian (Ha)
Kerapat an pohon (ind/ha) .634
Kerap atan pakan panca ng (ind/h a) .810
Kera patan panc ang (ind/h a) .555
Pearson Correlation
Panja ng Lintas an haria n (m) 1
53
N Kerapatan pakan tiang (ind/ha)
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Pearson Correlation
.585
.487
.197
.876
.736
.472
1
.818
-.234
-.831
.074
-.835
-.679
Sig. (2-tailed)
.415
.513
.803
.124
.264
.528
.182
.766
.563 .437
.169
.926
.165
.321
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
*
1
-.690
-.780
-.449
-.925
-.976
.310
.915 .085
.220
.551
.075
.024
4
4
4
4
4
4
.923
.577
*
.952
.716
.823
.077
.423
.048
.284
.177
N Pearson Correlation
.783
.883
.009
.450
.970
.378
.818
Sig. (2-tailed)
.217
.117
.991
.550
.030
.622
.182
4
4
4
4
4
4
4
N Jumlah Jenis Pancang
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Jenis Tiang
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Jenis Pohon
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Jenis pakan pancang
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Jenis pakan Tiang
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Jenis pakan Pohon
Pearson Correlation
54
Sig. (2-tailed)
4
-.867
-.946
-.234
.140
-.629
-.487
-.234
-.690
.133
.054
.766
.860
.371
.513
.766
.310
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
-.897
**
-.131
-.159
-.867
-.468
-.563
-.915
.923
1
.733
.769
.889
.977
.103
.004
.869
.841
.133
.532
.437
.085
.077
.267
.231
.111
.023
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
.334
*
.954
.729
.666
.046
.271
-.996
1
*
53
Kerapatan pakan pohon (ind/ha)
4
1
*
-.902
-.673
-.616
-.717
-.607
-.855
-.831
-.780
.577
.733
.098
.327
.384
.283
.393
.145
.169
.220
.423
.267
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
*
1
.474
.630
.526
.370
-.707
-.816
-.184
.416
-.411
-.356
.074
-.449
.952
.769
.334
.293
.184
.816
.584
.589
.644
.926
.551
.048
.231
.666
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
*
1
.900
-.929
-.843
-.387
-.582
-.806
-.700
-.835
-.925
.716
.889
.954
.474
.071
.157
.613
.418
.194
.300
.165
.075
.284
.111
.046
.526
.100
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
-.828
-.962
*
-.008
-.265
-.952
*
-.372
-.679
-.976
*
.823
.977
.729
.630
.900
1
.172
.038
.992
.735
.048
.628
.321
.024
.177
.023
.271
.370
.100
*
55 Lampiran 6 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pancang di Habitat Hutan Dataran Rendah No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Alpuket
Nama Lokal
Persea americana Mill
Nama Ilmiah
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
2
Bencoy
Baccaurea racemosa
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
3
Benda
Artocarpus sp
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
4
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
11
73.33
0.04
-3.23
-0.13
5
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
9
60.00
0.03
-3.43
-0.11
6
Hamberang
Ficus padana Bl
7
46.67
0.03
-3.68
-0.09
7
Hantap
Sterculia cordata Bl
5
33.33
0.02
-4.01
-0.07
8
Huru
Litsea sp
17
113.33
0.06
-2.79
-0.17
9
Huru buah
Elaeocarpus oxpyren
6
40.00
0.02
-3.83
-0.08
10
Ipis Kulit
Decaspermum fruticosum Forst
6
40.00
0.02
-3.83
-0.08
11
Jalatrang
Laplacea sp
13
86.67
0.05
-3.06
-0.14
12
Jati
Tectona grandis
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
13
Kaliandra
Calliandra callothyrsus Benth
30
200.00
0.11
-2.22
-0.24
14
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
18
120.00
0.06
-2.73
-0.18
15
Kedoya
Dysoxylum amooroides Miq
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
16
Kiamis
Cinnamomum burmanii
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
17
Kiara
Ficus globosa Bl
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
18
Kicangkudu
Fagraea racemosa Jack
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
19
Kihampelas
Ficus ampelas Burm
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
20
Kijago
Macropanax dispermum O.Ktze
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
21
Kijeruk
Laplacea integrima
6
40.00
0.02
-3.83
-0.08
22
Kikopi
Hypbathrum frutescens Bl
5
33.33
0.02
-4.01
-0.07
23
Kilampeni
Ardisia javanica
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
24
Kipait
Radermachera glandulosa Miq
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
25
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
20
133.33
0.07
-2.63
-0.19
26
Kitaleus
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
11
73.33
0.04
-3.23
-0.13
27
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
11
73.33
0.04
-3.23
-0.13
28
Kopi
Coffea robusta
12
80.00
0.04
-3.14
-0.14
29
Kuray
Mallotus panuculatus
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
30
Mara
Macaranga rhicinoides
6
40.00
0.02
-3.83
-0.08
31
Peutag
Syzygium densiflorum
5
33.33
0.02
-4.01
-0.07
32
Picung
Pangium edule
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
33
Pingku
Dysoxylum ramiflorum Miq
9
60.00
0.03
-3.43
-0.11
34
Salam
Syzygium polyanthum
6
40.00
0.02
-3.83
-0.08
35
Nangka
Artocarpus heterophyllus
4
26.67
0.01
-4.24
-0.06
36
Muncang
Aleuritus molucana
3
20.00
0.01
-4.53
-0.05
56 Lampiran 6 Lanjutan 37
Pala
Myristica fragrans
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
38
Sengon
Paraserianthes falcataria Back
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
39
Angsana
Pterocarpus indicus
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
40
Bintinu
Melochia umbellata
1
6.67
0.00
-5.62
-0.02
41
Cebreng
Gliricidia sepium
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
42
Kilandak
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
43
Kimpur
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
44
Simperem
2
13.33
0.01
-4.93
-0.04
277
1846.67
1.00
200.50
-3.46
Jumlah
57 Lampiran 7 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Tiang di Habitat Hutan Dataran Rendah No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Afrika
Nama Lokal
Maesopsis eminii Engl
Nama Ilmiah
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
2
Bencoy
Baccaurea racemosa
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
3
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
4
Calodas
Ficus microcarpa
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
5
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
9
15.00
0.05
-3.07
-0.14
6
Caruy
Pterospermum javanicum
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
7
Gompong
Schefflera armoatica
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
8
Hamberang
Ficus padana Bl
6
10.00
0.03
-3.48
-0.11
9
Hambirung
Vernonia arborea
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
10
Huru
Litsea sp
6
10.00
0.03
-3.48
-0.11
11
Huru dapung
Actinodaphne glomerata Nees
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
12
Huru kiamis
Syzygium sp
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
13
Huru langseb
Aglaia sp
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
14
Jati
Tectona grandis
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
15
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
10
16.67
0.05
-2.97
-0.15
16
Kedoya
Dysoxylum amooroides Miq
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
17
Kiamis
Cinnamomum burmanii
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
18
Kiara
Ficus globosa Bl
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
19
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
5
8.33
0.03
-3.66
-0.09
20
Kicangkudu
Fagraea racemosa Jack
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
21
Kiceuhay
Turpinia sphaerocarpa
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
22
Kijeruk
Laplacea integrima
5
8.33
0.03
-3.66
-0.09
23
Kileho
Saurauia pendula Bl
9
15.00
0.05
-3.07
-0.14
24
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
25
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
26
Kitales
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
27
Kitambagan
Syzygium antisepticum M.et.P
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
28
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
6
10.00
0.03
-3.48
-0.11
29
Kopi
Coffea robusta
1
1.67
0.01
-5.27
-0.03
30
Kuray
Mallotus panuculatus
5
8.33
0.03
-3.66
-0.09
31
Mara
Macaranga rhicinoides
6
10.00
0.03
-3.48
-0.11
32
Melinjo
Gnetum gnemon
7
8.33
0.03
-3.66
-0.09
33
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
34
Peutag
Syzygium densiflorum
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
35
Picung
Pangium edule
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
36
Lame
Alstonia scholaris R.Br
5
8.33
0.03
-3.66
-0.09
58
Lampiran 7 Lanjutan 37
Manglid
Magnolia blumei
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
38
Pingku
Dysoxylum ramiflorum Miq
4
6.67
0.02
-3.88
-0.08
39
Salam
Syzygium polyanthum
13
21.67
0.07
-2.70
-0.18
40
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
8
13.33
0.04
-3.19
-0.13
41
Simpur
Dillenia excelsa Gilg
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
42
Tereup
Artocarpus elasticus Reinw
5
8.33
0.03
-3.66
-0.09
43
Tisuk
Hibiscus macrophyllus Roxb
4
6.67
0.02
-3.88
-0.08
44
Bintinu
Melochia umbellata
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
45
Cengkeh
Syzygium aromaticum
3
5.00
0.02
-4.17
-0.06
46
Cebreng
Gliricidia sepium
6
10.00
0.03
-3.48
-0.11
47
Kilandak
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
48
Kimpur
2
3.33
0.01
-4.57
-0.05
50
Walen
7
11.67
0.04
-3.32
-0.12
194
323.33
1.00
-205.71
-3.72
Jumlah
Ficus ribes Reinw
59 Lampiran 8 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Habitat Hutan Dataran Rendah No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Afrika
Nama Jenis
Maesopsis eminii Engl
Nama Ilmiah
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
2
Albisia
Albizia sp
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
3
Alpuket
Persea americana Mill
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
4
Benda
Artocarpus sp
4
1.67
0.01
-4.29
-0.06
5
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
6
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
9
3.75
0.03
-3.48
-0.11
7
Caruy
Pterospermum javanicum
6
2.50
0.02
-3.88
-0.08
8
Cengkeh
Syzygium aromaticum
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
9
Hambirung
Vernonia arborea
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
10
Hantap
Sterculia cordata Bl
4
1.67
0.01
-4.29
-0.06
11
Huru
Litsea sp
14
5.83
0.05
-3.03
-0.15
12
Huru dapung
Actinodaphne glomerata Nees
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
13
Jalatrang
Laplacea sp.
6
2.50
0.02
-3.88
-0.08
14
Kapundung
Baccaurea racemosa
6
2.50
0.02
-3.88
-0.08
15
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
8
3.33
0.03
-3.59
-0.10
16
Kedoya
Dysoxylum amooroides Miq
12
5.00
0.04
-3.19
-0.13
17
Kiara
Ficus globosa Bl
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
18
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
19
Kicangkudu
Fagraea racemosa Jack
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
20
Kihampelas
Ficus ampelas Burm
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
21
Kijeruk
Laplacea integrima
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
22
Kimeong
Timonius sp
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
23
Kipiit
Maesa ramentacea Wall
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
24
Kiseeur
Antidesma tetrandrum Bl
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
25
Kitaleus
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
26
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
9
3.75
0.03
-3.48
-0.11
27
Kuray
Mallotus panuculatus
5
2.08
0.02
-4.06
-0.07
28
Lame
Alstonia scholaris R.Br
8
3.33
0.03
-3.59
-0.10
29
Limus
Mangifera foetida
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
30
Mahoni
Swietenia macrophylla
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
31
Salam
Syzygium polyanthum
8
3.33
0.03
-3.59
-0.10
32
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
14
5.83
0.05
-3.03
-0.15
33
Manglid
Magnolia blumei
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
34
Muncang
Aleuritus molucana
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
35
Pangsor
Alangium chinense
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
36
Pasang
Lithocarpus ewyckii
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
60 Lampiran 8 lanjutan 37
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
4
1.67
0.01
-4.29
-0.06
38
Pasang sapu
Lithocarpus sp.
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
39
Angsana
Pterocarpus indicus
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
40
Peuteuy
Parkia speciosa
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
41
Pingku
Dysoxylum ramiflorum Miq
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
42
Pinus
Pinus merkusii
91
37.92
0.31
-1.16
-0.36
43
Puspa
Schima wallichii
6
2.50
0.02
-3.88
-0.08
44
Rukem
Flacourtia rukam
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
45
Sengon
Paraserianthes falcataria Back
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
46
Simpur
Dillenia excelsa Gilg
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
47
Tangkil
Gnetum gnemon
1
0.42
0.00
-5.67
-0.02
48
Tisuk
Hibiscus macrophyllus Roxb
3
1.25
0.01
-4.57
-0.05
49
Haringhing
Cassia timorensis
2
0.83
0.01
-4.98
-0.03
291
121.25
1.00
-219.08
-3.09
Jumlah
61 Lampiran 9 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pancang di Habitat Hutan Sub Pegunungan No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Bayur
Nama Lokal
Pterospermum javanicum
Nama Latin
2
8
0.00
-5.42
-0.02
2
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
38
152
0.08
-2.47
-0.21
3
Biangbia
Ficus virens
1
4
0.00
-6.11
-0.01
4
Bintinu
Melochia umbellata
1
4
0.00
-6.11
-0.01
5
Calodas
Ficus microcarpa
1
4
0.00
-6.11
-0.01
6
Caluncung
Astronia spectabilis
2
8
0.00
-5.42
-0.02
7
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
1
4
0.00
-6.11
-0.01
8
Cangkuduan
Fagraea racemosa Jack
1
4
0.00
-6.11
-0.01
9
Dadap
Erythrina subumbrans Merr P
1
4
0.00
-6.11
-0.01
10
Darandang
Ficus sinuata
4
16
0.01
-4.72
-0.04
11
Hambirung
Vernonia arborea
2
8
0.00
-5.42
-0.02
12
Hamberang
Ficus padana Bl
5
20
0.01
-4.50
-0.05
13
Hampru badak
Sterculia javanica
6
24
0.01
-4.32
-0.06
14
Hantap
Sterculia cordata Bl
1
4
0.00
-6.11
-0.01
15
Harendong
Astronia spectabilis
1
4
0.00
-6.11
-0.01
16
Huru
Litsea sp
19
76
0.04
-3.16
-0.13
17
Huru nangka
Persea rimosa
3
12
0.01
-5.01
-0.03
18
Huru mungkal
Actinodaphne procera
2
8
0.00
-5.42
-0.02
19
Ipis kulit
Decaspermum fruticosum Forst
1
4
0.00
-6.11
-0.01
20
Jarupat
Trevesia sundaica
3
12
0.01
-5.01
-0.03
21
Kaliandra
Calliandra callothyrsus Benth
60
240
0.13
-2.01
-0.27
22
Kalimorot
Quercus sp
1
4
0.00
-6.11
-0.01
23
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
10
40
0.02
-3.81
-0.08
24
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
2
8
0.00
-5.42
-0.02
25
Kedoya
Dysoxylum amooroides Miq
3
12
0.01
-5.01
-0.03
26
Kendal
Helicia robusta
1
4
0.00
-6.11
-0.01
27
Kendung
Helicia javanica Bl
3
12
0.01
-5.01
-0.03
28
Kiamis
Cinnamomum burmanii
1
4
0.00
-6.11
-0.01
29
Kiampet
Cratoxylon clandestinum Bl
4
16
0.01
-4.72
-0.04
30
Kiara
Ficus globosa Bl
2
8
0.00
-5.42
-0.02
31
Kibeteli
Kibatalia arborea (Bl) G.Don
1
4
0.00
-6.11
-0.01
32
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
9
36
0.02
-3.91
-0.08
33
Kijagong
Santiria tomentosa
14
56
0.03
-3.47
-0.11
34
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
6
24
0.01
-4.32
-0.06
35
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
1
4
0.00
-6.11
-0.01
36
Kihaji
Dysoxylum macrocarpum
4
16
0.01
-4.72
-0.04
62
Lampiran 9 lanjutan 37
Kihampelas
Ficus ampelas Burm
2
8
0.00
-5.42
-0.02
38
Kiharupat
Trevesia sundaica
8
32
0.02
-4.03
-0.07
39
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
4
16
0.01
-4.72
-0.04
40
Kihoek
Michocarpus sundaicus Bl
1
4
0.00
-6.11
-0.01
41
Kijangkar
Eugenia fastigiata Miq
4
16
0.01
-4.72
-0.04
42
Kijeruk
Laplacea integrima
2
8
0.00
-5.42
-0.02
43
Kikacapi
Sondaricum koetjape Merr.
2
8
0.00
-5.42
-0.02
44
Kileat
Croton apetala Blume
1
4
0.00
-6.11
-0.01
45
Kileho
Saurauia pendula Bl
35
140
0.08
-2.55
-0.20
46
Kimeri
Engelhardia serrata
1
4
0.00
-6.11
-0.01
47
Kipait
Radermachera glandulosa Miq
2
8
0.00
-5.42
-0.02
48
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
15
60
0.03
-3.40
-0.11
49
Kisawohen
Palaquium rostratum Burk
2
8
0.00
-5.42
-0.02
50
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
6
24
0.01
-4.32
-0.06
51
Kitaleus
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
8
32
0.02
-4.03
-0.07
52
Kitambagan
Syzygium antisepticum M.et.P
1
4
0.00
-6.11
-0.01
53
Kitamiang
Syzygium sp
2
8
0.00
-5.42
-0.02
54
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
12
48
0.03
-3.62
-0.10
55
Kondang
Ficus variegata Bl
3
12
0.01
-5.01
-0.03
56
Kopi
Coffea robusta
2
8
0.00
-5.42
-0.02
57
kreteuw
Alangium rotundifolium
2
8
0.00
-5.42
-0.02
58
Kuray
Mallotus panuculatus
11
44
0.02
-3.71
-0.09
59
Lingsir
Guioa pleuroptesis
3
12
0.01
-5.01
-0.03
60
Manglid
Magnolia blumei
1
4
0.00
-6.11
-0.01
61
Mara
Macaranga rhicinoides
4
16
0.01
-4.72
-0.04
62
Masawa
Anisoptera sp
10
40
0.02
-3.81
-0.08
63
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
4
16
0.01
-4.72
-0.04
64
Pasang
Lithocarpus ewyckii
18
72
0.04
-3.22
-0.13
65
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
1
4
0.00
-6.11
-0.01
66
Pasang sapu
Lithocarpus sp.
1
4
0.00
-6.11
-0.01
67
Pingku
Dysoxylum ramiflorum Miq
1
4
0.00
-6.11
-0.01
68
Pinus
Pinus merkusii
1
4
0.00
-6.11
-0.01
69
Pulus
Laportea ardens Bl
6
24
0.01
-4.32
-0.06
70
Puspa
Schima wallichii
1
4
0.00
-6.11
-0.01
71
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
10
40
0.02
-3.81
-0.08
72
Sinugra
Cinchonia calysaya
3
12
0.01
-5.01
-0.03
63 Lampiran 9 lanjutan 73
Renghas
Gluta renghas L
3
12
0.01
-5.01
-0.03
74
Talingkup
Claoxylon polot Merr
6
24
0.01
-4.32
-0.06
75
Suren
Palaquium impressinervium
1
4
0.00
-6.11
-0.01
76
Tariti
Albizia lebbeck
1
4
0.00
-6.11
-0.01
77
Walen
Ficus ribes Reinw
24
96
0.05
-2.93
-0.16
78
Kesemek
Diospyros lotus
2
8
0.00
-5.42
-0.02
79
Plending
2
8
0.00
-5.42
-0.02
80
Pon Hutan
3
12
0.01
-5.01
-0.03
81
Robista
1
4
0.00
-0.01
Jumlah
450
1800.00
1.00
-6.11 409.80
-3.66
64 Lampiran 10 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Tiang di Habitat Hutan Sub Pegunungan No
Nama Lokal
Nama Latin
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Darangdan
Erythrina subumbrans Merr
2
2
0.00
-5.32
-0.03
2
Bayur
Pterospermum javanicum
1
1
0.00
-6.01
-0.01
3
Benda
Artocarpus sp
1
1
0.00
-6.01
-0.01
4
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
30
30
0.07
-2.61
-0.19
5
Caluncung
Astronia spectabilis
4
4
0.01
-4.62
-0.05
6
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
15
15
0.04
-3.30
-0.12
7
Cangkuduan
Fagraea racemosa Jack
1
1
0.00
-6.01
-0.01
8
Caringin
Ficus benjamina
1
1
0.00
-6.01
-0.01
9
Carirang
Dysoxylum alliaceum
1
1
0.00
-6.01
-0.01
10
Dadap
Erythrina subumbrans Merr P
2
2
0.00
-5.32
-0.03
11
Hamberang
Ficus padana Bl
9
9
0.02
-3.81
-0.08
12
Hambirung
Vernonia arborea
5
5
0.01
-4.40
-0.05
13
Hampru badak
Sterculia javanica
4
4
0.01
-4.62
-0.05
14
Huru
Litsea sp
16
16
0.04
-3.24
-0.13
15
Huru kiamis
Syzygium sp
1
1
0.00
-6.01
-0.01
16
Huru nangka
Persea rimosa
3
3
0.01
-4.91
-0.04
17
Ipis kulit
Decaspermum fruticosum Forst
1
1
0.00
-6.01
-0.01
18
Kaliandra
Calliandra callothyrsus Benth
6
6
0.01
-4.22
-0.06
19
Kalimorot
Quercus sp
1
1
0.00
-6.01
-0.01
20
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
8
8
0.02
-3.93
-0.08
21
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
1
1
0.00
-6.01
-0.01
22
Kiamis
Cinnamomum burmanii
1
1
0.00
-6.01
-0.01
23
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
8
8
0.02
-3.93
-0.08
24
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
12
12
0.03
-3.53
-0.10
25
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
4
4
0.01
-4.62
-0.05
26
Kihiris
Eurya japonica
2
2
0.00
-5.32
-0.03
27
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
4
4
0.01
-4.62
-0.05
28
Kihonje
Pittospormum ferrugineum
1
1
0.00
-6.01
-0.01
29
Kijagong
Santiria tomentosa
18
18
0.04
-3.12
-0.14
30
Kijamuju
Syzygium sp
2
2
0.00
-5.32
-0.03
31
Kijangkar
Eugenia fastigiata Miq
6
6
0.01
-4.22
-0.06
32
Kijangkung
Ardisia zollingeri
1
1
0.00
-6.01
-0.01
33
Kileho
Saurauia pendula Bl
27
27
0.07
-2.72
-0.18
34
Kileat
Croton apetala Blume
1
1
0.00
-6.01
-0.01
35
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
12
12
0.03
-3.53
-0.10
36
Kijeruk
Laplacea integrima
1
1
0.00
-6.01
-0.01
65 Lampiran 10 lanjutan 37
Kikacapi
Sondaricum koetjape Merr.
3
3
0.01
-4.91
-0.04
38
Kisawahen
Palaquium rostratum Burk
4
4
0.01
-4.62
-0.05
39
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
3
3
0.01
-4.91
-0.04
40
Kitales
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
9
9
0.02
-3.81
-0.08
41
Kitambagan
Syzygium antisepticum M.et.P
3
3
0.01
-4.91
-0.04
42
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
4
4
0.01
-4.62
-0.05
43
Kondang
Ficus variegata Bl
6
6
0.01
-4.22
-0.06
44
Kopo
Eugenia densiflora Duthie
1
1
0.00
-6.01
-0.01
45
Kuray
Mallotus panuculatus
5
5
0.01
-4.40
-0.05
46
Manglid
Magnolia blumei
4
4
0.01
-4.62
-0.05
47
Mara
Macaranga rhicinoides
5
5
0.01
-4.40
-0.05
48
Masawa
Anisoptera sp
13
13
0.03
-3.45
-0.11
49
Nangka
Artocarpus heterophyllus
1
1
0.00
-6.01
-0.01
50
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
18
18
0.04
-3.12
-0.14
51
pasang
Lithocarpus ewyckii
18
18
0.04
-3.12
-0.14
52
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
2
2
0.00
-5.32
-0.03
53
Pasang sapu
Lithocarpus sp.
3
3
0.01
-4.91
-0.04
54
Pinus
Pinus merkusii
6
6
0.01
-4.22
-0.06
55
Pulus
Laportea ardens Bl
13
13
0.03
-3.45
-0.11
56
Puspa
Schima wallichii
4
4
0.01
-4.62
-0.05
57
Reungrang
Wienmannia blumei
1
1
0.00
-6.01
-0.01
58
Sampang
Evodia latifolia
1
1
0.00
-6.01
-0.01
59
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
11
11
0.03
-3.61
-0.10
60
Sinugra
Cinchonia calysaya
8
8
0.02
-3.93
-0.08
61
Suren
Palaquium impressinervium
1
1
0.00
-6.01
-0.01
62
Surian
Palaquium impressinervium
1
1
0.00
-6.01
-0.01
63
Talingkup
Claoxylon polot Merr
7
7
0.02
-4.07
-0.07
64
Walen
Ficus ribes Reinw
33
33
0.08
-2.51
-0.20
65
Cerem
1
1
0.00
-6.01
-0.01
66
Huru badak
3
3
0.01
-4.91
-0.04
67
Kihanten
1
1
0.00
-6.01
-0.01
68
Meces
1
1
0.00
-6.01
-0.01
69
Robista
1
1
0.00
-6.01
-0.01
Jumlah
408
408
1.00
-332.21
-3.70
66 Lampiran 11 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Habitat Hutan Sub Pegunungan No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Alpukat
Nama Lokal
Persea americana Mill
Nama Latin
4
1
0.00
-5.37
-0.03
2
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
4
1
0.00
-5.37
-0.03
3
Bintinu
Melochia umbellata
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
4
Caluncung
Astronia spectabilis
6
1.5
0.01
-4.96
-0.03
5
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
6
1.5
0.01
-4.96
-0.03
6
Caringin
Ficus benjamina
4
1
0.00
-5.37
-0.03
7
Caruy
Pterospermum javanicum
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
8
Gintung
Bisschoffia javanica
7
1.75
0.01
-4.81
-0.04
9
Hamberang
Ficus padana Bl
17
4.25
0.02
-3.92
-0.08
10
Hambirung
Vernonia arborea
7
1.75
0.01
-4.81
-0.04
11
Hantap
Sterculia cordata Bl
4
1
0.00
-5.37
-0.03
12
Huru
Litsea sp
39
9.75
0.05
-3.09
-0.14
13
Huru mungkal
Actinodaphne procera
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
14
Huru nangka
Persea rimosa
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
15
Huru terong
Persea exalsa
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
16
Ipis kulit
Decaspermum fruticosum Forst
22
5.5
0.03
-3.66
-0.09
17
Kalimorot
Quercus sp
4
1
0.00
-5.37
-0.03
18
Kapundung
Baccaurea racemosa
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
19
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
24
6
0.03
-3.57
-0.10
20
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
9
2.25
0.01
-4.56
-0.05
21
Kedoya
Dysoxylum amooroides Miq
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
22
Kreteuw
Alangium rotundifolium
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
23
Kiampet
Cratoxylon clandestinum Bl
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
24
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
11
2.75
0.01
-4.35
-0.06
25
Kibima
Podocarpus neriifolius D.Don
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
26
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
8
2
0.01
-4.67
-0.04
27
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
28
Kihampelas
Ficus ampelas Burm
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
29
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
7
1.75
0.01
-4.81
-0.04
30
Kihonje
Pittospormum ferrugineum
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
31
Kijanitri
Elaeocarpus sphaericus
2
0.5
0.00
-6.06
32
Kijeruk
Laplacea integrima
2
0.5
0.00
-6.06
33
Buah pari
Mangifera laurina
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
34
Haringhing
Cassia timorensis
4
1
0.00
-5.37
-0.03
35
Kayu Kerto
Morus australis pour
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
36
Kijagong
Santiria tomentosa
9
2.25
0.01
-4.56
-0.05
-0.01 -0.01
67 Lampiran 11 lanjutan 37
Kijangkar
Eugenia fastigiata Miq
4
1
0.00
-5.37
-0.03
38
Jamuju
Podocarpus imbricatus Blume
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
39
Kikacapi
Sondaricum koetjape Merr.
4
1
0.00
-5.37
-0.03
40
Kileho
Saurauia pendula Bl
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
41
Kimeong
Timonius sp.
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
42
Kipait
Radermachera glandulosa Miq
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
43
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
28
7
0.03
-3.42
-0.11
44
Kisawohen
Palaquium rostratum Burk
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
45
Kiseueuer
Antidesma tetrandrum Bl
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
46
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
7
1.75
0.01
-4.81
-0.04
47
Kondang
Ficus variegata Bl
31
7.75
0.04
-3.32
-0.12
48
Kruyung
Turpinia montana Kurz
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
49
Kurai
Mallotus panuculatus
37
9.25
0.04
-3.14
-0.14
50
Lingsir
Guioa pleuroptesis
6
1.5
0.01
-4.96
-0.03
51
Mara
Macaranga rhicinoides
13
3.25
0.02
-4.19
-0.06
52
Mareme
Glochidion cyrtostylum Miq
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
53
Masawa
Anisoptera sp
55
13.75
0.06
-2.74
-0.18
54
Nangka
Artocarpus heterophyllus
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
55
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
20
5
0.02
-3.76
-0.09
56
Paruyung
Alangium chinense
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
57
Pasang
Lithocarpus ewyckii
23
5.75
0.03
-3.62
-0.10
58
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
4
1
0.00
-5.37
-0.03
59
Pasang sapu
Lithocarpus sp
9
2.25
0.01
-4.56
-0.05
60
Peutag
Syzygium densiflorum
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
61
Pingku
Dysoxylum ramiflorum Miq
8
2
0.01
-4.67
-0.04
62
Pinus
Pinus merkusii
241
60.25
0.28
-1.27
-0.36
63
Suwangkung
Caryota mitis
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
64
Pulai
Alstonia scholaris
8
2
0.01
-4.67
-0.04
65
Puspa
Schima wallichii
12
3
0.01
-4.27
-0.06
66
Reunghas
Gluta renghas L
8
2
0.01
-4.67
-0.04
67
Reungrang
Wienmannia blumei
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
68
Songgom
Barringtonia gigantostachya
10
2.5
0.01
-4.45
-0.05
69
Kihanten
4
1
70
Poh Hutan
4
1
0.00 0.00
-5.37 -5.37
-0.03
-0.03
71
Robista
5
1.25
0.01
-5.14
-0.03
68 Lampiran 11 lanjutan 72
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
36
9
0.04
-3.17
-0.13
73
Talingkup
Claoxylon polot Merr
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
74
Walen
Ficus ribes Reinw
9
2.25
0.01
-4.56
-0.05
75
Kopi gunung
Foffea malayana
3
0.75
0.00
-5.65
-0.02
76
Meces
6
1.5
0.01
-4.96
-0.03
77
Kesemek
78
Pasang gula Jumlah
Diospyros lotus
2
0.5
0.00
-6.06
-0.01
1
0.25
0.00
-6.75
-0.01
856
214
1.00
-404.11
-3.31
69 Lampiran 12 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pancang di Habitat Hutan Pegunungan No
Nama Lokal
Nama Latin
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Beunying
Ficus fistulosa Reinw
74
246.67
0.10
-2.26
-0.24
2
Calodas
Ficus microcarpa
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
3
Caluncung
Astronia spectabilis
6
20.00
0.01
-4.78
-0.04
4
Dadap
Erythrina subumbrans Merr P
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
5
Hambirung
Vernonia arborea
12
40.00
0.02
-4.08
-0.07
6
Hamberang
Ficus padana Bl
6
20.00
0.01
-4.78
-0.04
7
Hampru badak
Sterculia javanica
5
16.67
0.01
-4.96
-0.03
8
Huru
Litsea sp
6
20.00
0.01
-4.78
-0.04
9
Huru mungkal
Actinodaphne procera
4
13.33
0.01
-5.18
-0.03
10
Huru nangka
Persea rimosa
5
16.67
0.01
-4.96
-0.03
11
Ipis Kulit
Decaspermum fruticosum Forst
11
36.67
0.02
-4.17
-0.06
12
Jarupat
Trevesia sundaica
9
30.00
0.01
-4.37
-0.06
13
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
17
56.67
0.02
-3.73
-0.09
14
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
15
Kendung
Helicia javanica Bl
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
16
Kiamis
Cinnamomum burmanii
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
17
Kiampet
Cratoxylon clandestinum Bl
4
13.33
0.01
-5.18
-0.03
18
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
39
130.00
0.05
-2.90
-0.16
19
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
24
80.00
0.03
-3.39
-0.11
20
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
7
23.33
0.01
-4.62
-0.05
21
Kihampelas
Ficus ampelas Burm
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
22
Kiharupat
Trevesia sundaica
24
80.00
0.03
-3.39
-0.11
23
Kihiris
Eurya japonica
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
24
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
14
46.67
0.02
-3.93
-0.08
25
Kihoe
Michocarpus sundaicus Bl
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
26
Kihuut
Symplocos cocinchinensis
4
13.33
0.01
-5.18
-0.03
27
Kijagong
Santiria tomentosa
75
250.00
0.11
-2.25
-0.24
28
Kijangkung
Ardisia zollingeri
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
29
Kijeruk
Laplacea integrima
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
30
Kileat
Croton apetala Blume
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
31
Kileho
Saurauia pendula Bl
97
323.33
0.14
-1.99
-0.27
32
Kimeri
Engelhardia serrata
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
33
Kipait
Radermachera glandulosa Miq
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
34
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
19
63.33
0.03
-3.62
-0.10
35
Tariti
Albizia lebbeck
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
36
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
13
43.33
0.02
-4.00
-0.07
70
Lampiran 12 lanjutan 37
Kitales
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
38
Kitambagan
Syzygium antisepticum M.et.P
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
39
Kitamiang
Syzygium sp
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
40
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
32
106.67
0.04
-3.10
-0.14
41
Kopo
Eugenia densiflora Duthie
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
42
Kowoyang
Pygeum latifolium Miq
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
43
Kuray
Mallotus panuculatus
8
26.67
0.01
-4.49
-0.05
44
Lingsir
Guioa pleuroptesis
4
13.33
0.01
-5.18
-0.03
45
Mara
Macaranga rhicinoides
3
10.00
0.00
-5.47
-0.02
46
Masawa
Anisoptera sp.
10
33.33
0.01
-4.27
-0.06
47
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
33
110.00
0.05
-3.07
-0.14
48
Pasang
Lithocarpus ewyckii
44
146.67
0.06
-2.78
-0.17
49
Pasang sapu
Lithocarpus sp.
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
50
Reunghas
Gluta renghas L
2
6.67
0.00
-5.87
-0.02
51
Sampang
Evodia latifolia
1
3.33
0.00
-6.57
-0.01
52
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
22
73.33
0.03
-3.48
-0.11
53
Surian
Palaquium impressinervium
9
30.00
0.01
-4.37
-0.06
54
Talingkup
Claoxylon polot Merr
13
43.33
0.02
-4.00
-0.07
55
Walen
Ficus ribes Reinw
12
40.00
0.02
-4.08
-0.07
56
Kipadali
6
20.00
0.01
-4.78
-0.04
Jumlah
712
2373.33
1.00
-270.65
-3.28
71 Lampiran 13 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Tiang di Habitat Hutan Pegunungan No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Beunying
Nama Lokal
Ficus fistulosa Reinw
Nama Latin
110
91.67
0.15
-1.93
-0.28
2
Caluncung
Astronia spectabilis
12
10.00
0.02
-4.14
-0.07
3
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
5
4.17
0.01
-5.02
-0.03
4
Carirang
Dysoxylum alliaceum
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
5
Gelam
Phoebe excelsa Nees
3
2.50
0.00
-5.53
-0.02
6
Hambirung
Vernonia arborea
4
3.33
0.01
-5.24
-0.03
7
Hamberang
Ficus padana Bl
6
5.00
0.01
-4.84
-0.04
8
Hampru Badak
Sterculia javanica
13
10.83
0.02
-4.06
-0.07
9
Huru
Litsea sp
2
1.67
0.00
-5.93
-0.02
10
Huru mungkal
Actinodaphne procera
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
11
Huru nangka
Persea rimosa
5
4.17
0.01
-5.02
-0.03
12
Ipis Kuilit
Decaspermum fruticosum Forst
32
26.67
0.04
-3.16
-0.13
13
Jamuju
Podocarpus imbricatus Blume
4
3.33
0.01
-5.24
-0.03
14
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
24
20.00
0.03
-3.45
-0.11
15
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
8
6.67
0.01
-4.55
-0.05
16
Kendung
Helicia javanica Bl
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
17
Kiamis
Cinnamomum burmanii
5
4.17
0.01
-5.02
-0.03
18
Kiampet
Cratoxylon clandestinum Bl
3
2.50
0.00
-5.53
-0.02
19
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
24
20.00
0.03
-3.45
-0.11
20
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
20
16.67
0.03
-3.63
-0.10
21
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
23
19.17
0.03
-3.49
-0.11
22
Kiharupat
Trevesia sundaica
3
2.50
0.00
-5.53
-0.02
23
Kihiris
Eurya japonica
4
3.33
0.01
-5.24
-0.03
24
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
11
9.17
0.01
-4.23
-0.06
25
Kijagong
Santiria tomentosa
83
69.17
0.11
-2.21
-0.24
26
Kijamuju
Syzygium sp
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
27
Kijeruk
Laplacea integrima
2
1.67
0.00
-5.93
-0.02
28
Kileat
Croton apetala Blume
3
2.50
0.00
-5.53
-0.02
29
Kileho
Saurauia pendula Bl
87
72.50
0.12
-2.16
-0.25
30
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
37
30.83
0.05
-3.02
-0.15
31
Kiseueur
Antidesma tetrandrum Bl
12
10.00
0.02
-4.14
-0.07
32
Kitales
Alseodaphne umbelliflora Hk.f
2
1.67
0.00
-5.93
-0.02
33
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
19
15.83
0.03
-3.68
-0.09
34
Kondang
Ficus variegata Bl
2
1.67
0.00
-5.93
-0.02
35
Talingkup
Claoxylon polot Merr
10
8.33
0.01
-4.33
-0.06
36
Kopo
Eugenia densiflora Duthie
3
2.50
0.00
-5.53
-0.02
72
Lampiran 13 lanjutan 37
Kuray
Mallotus panuculatus
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
38
Mara
Macaranga rhicinoides
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
39
Masawa
Anisoptera sp.
26
21.67
0.03
-3.37
-0.12
40
Nangsi
Villebrunea rubescens Bl
18
15.00
0.02
-3.74
-0.09
41
Pasang
Lithocarpus ewyckii
55
45.83
0.07
-2.62
-0.19
42
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
43
Pasang sapu
Lithocarpus sp.
9
7.50
0.01
-4.43
-0.05
44
Pulus
Laportea ardens Bl
1
0.83
0.00
-6.63
-0.01
45
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
36
30.00
0.05
-3.04
-0.14
46
Surian
Palaquium impressinervium
5
4.17
0.01
-5.02
-0.03
47
Walen
Ficus ribes Reinw
12
10.00
0.02
-4.14
-0.07
48
Huru badak
6
5.00
0.01
-4.84
-0.04
756
630
1.00
-226.87
-3.13
Jumlah
73 Lampiran 14 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Habitat Hutan Pegunungan
No
Jumlah Individu
Kerapatan
Pi
LnPi
PiLnPi
1
Beunying
Nama Lokal
Ficus fistulosa Reinw
Nama Latin
9
1.88
0.01
-4.71
-0.04
2
Caluncung
Astronia spectabilis
14
2.92
0.01
-4.26
-0.06
3
Cangcaratan
Neonauclea obtusa Merr
10
2.08
0.01
-4.60
-0.05
4
Dadap
Erythrina subumbrans Merr P
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
5
Ekaliptus
Eucalyptus deglupta
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
6
Gintung
Bisschoffia javanica
6
1.25
0.01
-5.11
-0.03
7
Hambirung
Vernonia arborea
11
2.29
0.01
-4.51
-0.05
8
Hamberang
Ficus padana Bl
45
9.38
0.05
-3.10
-0.14
9
Huru
Litsea sp.
4
0.83
0.00
-5.52
-0.02
10
Huru mungkal
Actinodaphne procera
3
0.63
0.00
-5.81
-0.02
11
Huru nangka
Persea rimosa
2
0.42
0.00
-6.21
-0.01
12
Huru terong
Persea exalsa
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
13
Ipis Kuilit
Decaspermum fruticosum Forst
81
16.88
0.08
-2.51
-0.20
14
Jamuju
Podocarpus imbricatus Blume
6
1.25
0.01
-5.11
-0.03
15
Kareumbi
Homalanthus populneus Pax
17
3.54
0.02
-4.07
-0.07
16
Kawoyang
Pygeum latifolium Miq
21
4.38
0.02
-3.86
-0.08
17
Kendung
Helicia javanica Bl
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
18
Kiampet
Cratoxylon clandestinum Bl
4
0.83
0.00
-5.52
-0.02
19
Kibeusi
Rhodamnia cinerea
39
8.13
0.04
-3.24
-0.13
20
Kiceuhai
Turpinia sphaerocarpa
18
3.75
0.02
-4.01
-0.07
21
Kicirung
Dysoxylum alliaceum
8
1.67
0.01
-4.82
-0.04
22
Kihiur
Castanopsis acuminatissima
31
6.46
0.03
-3.47
-0.11
23
Kijagong
Santiria tomentosa
22
4.58
0.02
-3.81
-0.08
24
Kijeruk
Laplacea integrima
3
0.63
0.00
-5.81
-0.02
25
Kileho
Saurauia pendula Bl
8
1.67
0.01
-4.82
-0.04
26
Kimareme
Glochidion cyrtostylum Miq
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
27
Kipait
Radermachera glandulosa Miq
3
0.63
0.00
-5.81
-0.02
28
Kipare
Glochidion macrocarpus Bl
52
10.83
0.05
-2.95
-0.15
29
Kiteja
Cinnamomum iners Reinw
26
5.42
0.03
-3.65
-0.10
30
Kondang
Ficus variegata Bl
4
0.83
0.00
-5.52
-0.02
31
Kopo
Eugenia densiflora Duthie
4
0.83
0.00
-5.52
-0.02
32
Kreteuw
Alangium rotundifolium
3
0.63
0.00
-5.81
-0.02
33
Kurai
Mallotus panuculatus
37
7.71
0.04
-3.29
-0.12
34
Lingsir
Guioa pleuroptesis
35
Masawa
Anisoptera sp.
36
Manglid
Magnolia blumei
6
1.25
0.01
-5.11
-0.03
169
35.21
0.17
-1.77
-0.30
1
0.21
0.00
-6.90
-0.01
74 Lampiran 14 lanjutan 37
Mara
Macaranga rhicinoides
39
Nyatoh
Palaquium spp
40
Pasang
Lithocarpus ewyckii
41
Pasang dadap
Lithocarpus sundaicus
42
Pasang sapu
43
2.71
0.01
-4.34
-0.06
8
1.67
0.01
-4.82
-0.04
96
20.00
0.10
-2.34
-0.23
11
2.29
0.01
-4.51
-0.05
Lithocarpus sp.
18
3.75
0.02
-4.01
-0.07
Peutag
Syzygium densiflorum
6
1.25
0.01
-5.11
-0.03
44
Pinus
Pinus merkusii
47
9.79
0.05
-3.05
-0.14
45
Reungrang
Wienmannia blumei
14
2.92
0.01
-4.26
-0.06
46
Saninten
Castanopsis argentea A.DC
47
9.79
0.05
-3.05
-0.14
47
Songgom
Barringtonia gigantostachya
32
6.67
0.03
-3.44
-0.11
48
Surian
Palaquium impressinervium
3
0.63
0.00
-5.81
-0.02
49
Talingkup
Claoxylon polot Merr
19
3.96
0.02
-3.96
-0.08
50
Walen
Ficus ribes Reinw
8
1.67
0.01
-4.82
-0.04
50
Buah pari
Mangifera laurina
2
0.42
0.00
-0.01
996
207.5
1.00
-6.21 235.47
Jumlah
13
-3.22
75 Lampiran 15 Daftar jenis pakan surili yang ditemukan pada lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Nama Lokal Alpuket Bencoy Benda Beunying Calodas Caluncung Cangcaratan Carirang Cerem Dadap Hamberang Hambirung Huru Huru buah Huru langseb Huru mungkal Huru nangka Huru terong Jamuju Kaliandra Kalimorot Kapundung Kareumbi Kawoyang Kedoya Kiamis Kiara Kicangkudu Kicirung Kihampelas Kihiris Kihiur Kijagong Kijamuju Kijeruk Kikopi Kileho Kimeri Kipare Kretew Kiseueur Kitaleus Kitambagan Kitamiang Kiteja Kopi Kondang Kopo Kuray Lame Mara
Nama Ilmiah Persea americana Mill Baccaurea racemosa Artocarpus sp. Ficus fistulosa Reinw Ficus microcarpa Astronia spectabilis Neonauclea obtusa Merr Dysoxylum alliaceum Syzygium sp Erythrina subumbrans Merr P Ficus padana Bl Vernonia arborea Litsea sp. Elaeocarpus oxpyren Aglaia sp Actinodaphne procera Persea rimosa Persea exalsa Podocarpus imbricatus Blume Calliandra callothyrsus Benth Quercus sp Baccaurea racemosa Homalanthus populneus Pax Pygeum latifolium Miq Dysoxylum amooroides Miq Cinnamomum burmanii Ficus globosa Bl Fagraea racemosa Jack Dysoxylum alliaceum Ficus ampelas Burm Eurya japonica Castanopsis acuminatissima Santiria tomentosa Syzygium sp Laplacea integrima Hypbathrum frutescens Bl Saurauia pendula Bl Engelhardia serrata Glochidion macrocarpus Bl Alangium rotundifolium Antidesma tetrandrum Bl Alseodaphne umbelliflora Hk.f Syzygium antisepticum M.et.P Syzygium sp. Cinnamomum iners Reinw Coffea robusta Ficus variegata Bl Eugenia densiflora Duthie Mallotus panuculatus Alstonia scholaris R.Br Macaranga rhicinoides
Habitat dr, sp, dr dr, sp dr, sp, p dr, sp, p sp, p, dr, sp, sp, p sp, sp, p dr, sp, p dr, sp, p dr, sp, p dr dr p sp, p, p p dr, sp, sp, dr sp, p dr, sp, p dr, sp dr, sp, p dr, sp, dr p dr, sp, p sp, sp, p sp, p, sp, p dr, sp dr dr, sp, p sp, p dr, sp, p sp dr, sp, p dr, sp, p dr, sp, p p dr, sp, p dr sp, p sp, p dr, sp, p dr dr, sp, p
76
Lampiran 15 Lanjutan 52 Masawa Anisoptera sp. 53 Melinjo Gnetum gnemon 54 Nangka Artocarpus heterophyllus 55 Nangsi Villebrunea rubescens Bl 56 Pangsor Alangium chinense 57 Peutag Syzygium densiflorum 58 Peuteuy Parkia speciosa 59 pingku Dysoxylum ramiflorum Miq 60 Pinus Pinus merkusii 61 Puspa Scima walichii 62 Rukem Flacourtia rukam 63 Salam Syzygium polyanthum 64 Saninten Castanopsis argentea A.DC 65 Sengon Parasarianthes falcataria 66 simpur Dillenia excelsa Gilg. 67 Songgom Barringtonia gigantostachya 68 Walen Ficus ribes Reinw 69 Teureup Artocarpus elasticus Reinw 70 Kesemek Diospyros lotus 71 Kopi Gunung Foffea malayana Ket : dr = dataran rendah, sp = sub pegunungan, p = pegunungan
sp, p dr dr, sp, dr, sp, p dr dr, sp dr dr, sp, dr, sp, dr, sp, dr dr dr, sp, p dr dr sp, p dr, sp, p dr sp sp
77 Lampiran 16 Hasil uji regresi partial least square
Regresi Partial Least Square PLS Regression: Y versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; ... Number of components specified: 8
Analysis of Variance for Y Source DF SS MS F P Regression 8 229,737 28,7171 8,31 0,000 Residual Error 19 65,691 3,4574 Total 27 295,429
Model Selection and Validation for Y Components X Variance Error SS R-Sq 1 0,178730 209,924 0,289427 2 0,398019 184,842 0,374325 3 0,516116 150,683 0,489952 4 0,614887 124,431 0,578811 5 0,664213 100,979 0,658193 6 0,697486 80,612 0,727136 7 0,752001 70,847 0,760187 8 0,798856 65,691 0,777640
Regression Coefficients Y Y standardized Constant 6,32513 0,000000 X1 -0,00215 -0,406466 X2 -0,00147 -0,088673 X3 0,03801 0,890573 X4 0,00316 0,518776 X5 0,00449 0,198934 X6 -0,01208 -0,232022 X7 -0,11275 -0,185892 X8 -0,05967 -0,089661 X9 -0,07414 -0,135841 X10 0,83591 0,817722 X11 -0,34497 -0,361189 X12 -0,49888 -0,554090 X13 0,00949 0,316711 X14 -0,00157 -0,135018 X15 0,00423 0,909168 X16 0,00037 0,228328
78 X17 X18 X19 X20 X21
-0,00121 2,40052 3,92059 0,63279 -0,00571
-0,646202 0,368568 0,578338 0,247652 -0,606798
Interpretasi Hasil uji simultan dengan uji F menunjukkan bahwa model regresi layak karena nilai p lebih kecil dari taraf nyata 10%. Model regresi ini memiliki nilai R2 sebesar 77,76% artinya sebesar 77,76% keragaman ukuran kelompok mampu dijelaskan oleh peubah penjelas sedangkan sisanya sebesar 22,24% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam model. Persamaan Regresi Y =632513-0,00215X1-0,00147X2+ 0,03801X3+0,00316X4+0,00449X5-0,01208X6-0,11275X7-0,05967X80,07414X9+ 0,83591X10-0,34497X11-0,49888X12+ 0,00949X13-0,00157X14+ 0,00423X15+ 0,00037X160,00121X17+2,40052X18+3,92059X19+0,63279X20-0,00571X21
PLS Coefficient Plot (response is Y) 8 components
4
Coefficients
3
2
1
0
2
4
6
8
10 12 Predictors
14
16
18
20
Berdasarkan plot koefisien di atas, maka peubah bebas yang memiliki pengaruh terbesar adalah X19 yaitu keberadaan satwa pesaing dan hubungannya positif dengan ukuran kelompok. Artinya dimana terdapat suruli maka di tempat tersebut juga terdapat satwa pesaing.
79 Lampiran 17 Jumlah satwa predator, pesaing dan kelas lereng pada titik pengamatan surili
Kelompok Surili
Jumlah Satwa predator (ind)
Jumlah satwa pesaing (ind) Kelas Lereng
Elang
Macan
lutung
Kera Ekor panjang
Cipariuk
1
1
7
0
5
Haur cucuk*
1
0
0
15
2
Awi lega
0
0
0
0
5
Gunung Larang
0
0
4
0
5
Pasir ipis
0
0
0
0
5
Parahu II. Sub Pegunungan
1
0
0
0
2
Kondang amis
0
0
0
0
3
Manduraga
0
0
0
0
4
Lembah Cilengkrang
1
1
4
0
5
Kopigewok
0
0
4
0
5
Cigowong Hilir
1
0
0
0
3
Kalawija*
1
0
0
10
3
Sayana
0
1
3
0
4
Arpesi
0
0
0
0
3
Cibunian
0
0
5
0
5
Saninten* III. Pegunungan
1
1
0
12
4
Loji 1
0
1
0
6
5
Mongor buntu
0
1
0
0
5
Gunung Pucuk 1
0
1
0
0
4
Gunung Pucuk 2
0
1
4
0
2
Gn pucuk 3
0
1
0
0
5
Dilem
0
0
0
9
5
gorogol 1
0
0
0
0
3
gorogol 2
0
0
0
0
5
grogol 3
0
0
0
0
3
Cigowong*
0
0
0
0
3
Kuta
0
0
0
0
4
0
0
3
I. Dataran Rendah
Pangguyangan badak 0 0 Ket * Titik pengamatan pola penggunaan ruang
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaparna Tasikmalaya pada tanggal 11 Mei 1978 dari ayah Maman Faturohman dan ibu Nonih Hasanah. Pendidikan formal dimulai di SD Negeri IPK Mochamad Toha dari tahun 1986 sampai 1991. Kemudian SMP Negeri 1 Singaparna hingga tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Singaparna dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai CPNS di Kementrian Kehutanan. Tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan jenjang S2 di IPB pada Program Pascasarjana Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Penulis pernah bekerja di Balai Taman Nasional Wakatobi Sulawesi Tenggara (2003 – 2008) dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Kuningan Jawa Barat (2008 – 2011).