Pendidikan Watak bagi Peserta Didik: Modal Vital Pembangunan SDM di Era Global Menuju Indonesia Bermartabat Dr. Khoirul Adib, M.A1 Abstrak Salah satu problem mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia selama ini adalah lemahnya moralitas kolektif sebagai refleksi kegagalan pendidikan nasional. Hal ini -antara lain- sebagai dampak sistemik pendidikan yang abai terhadap dimensi karakter (watak) sebagai modal vital daya saing SDM di kancah global. Karena itu agenda reformasi pendidikan yang komprehensif-integratif merupakan keniscayaan atas kegagalan pendidikan dalam menghasilkan SDM yang berkualitas dan bermartabat. Pendidikan karakter dalam konteks ini adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter (watak) kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Untuk itu, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan dalam ‘proyek bersama’ ini secara sinergis sehingga pendidikan karakter ini akan membawa peserta didik ke arah pengenalan nilai-nilai unggul, tidak saja secara kognisi, tetapi juga penghayatan sekaligus pengamalan nilai-nilai tersebut secara nyata menuju terciptanya generasi bermartabat. Kata Kunci: Pendidikan watak (karakter), Pembangunan SDM, Era global, Indonesia bermartabat Bangsa Indonesia dewasa ini sedang mengalami patologi sosial yang kronis. Sebagian masyarakatnya tercerabut dari peradaban ketimuran yang terkenal dengan wataknya yang santun, toleran, bermoral, dan beragama (Dimyati dkk.., 2008). Oleh karenanya, pengembangan SDM dan peningkatan kualitas SDM khususnya dalam bidang mental, moral, dan spiritual harus dilaksanakan secara sinergis dan optimal. Salah satu pengembangan mental dan moral adalah dengan memberikan pendidikan karakter atau pendidikan watak. Pendidikan karakter (character building) juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas moral SDM sehingga tercapai keseimbangan antara pendidikan intelektual dan pendidikan watak dan kepribadian atau budi pekerti. Dengan demikian diharapkan peserta didik memiliki watak atau karakter yang baik untuk menopang keberhasilan mereka dalam interaksinya dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan dunia sekitar dan dengan Sang Pencipta. 1
Dr. Khoirul Adib, M.A adalah Staf Pengajar di JSA Fakultas Sastra – Universitas Negeri Malang
1
Pembangunan suatu bangsa memerlukan aset pokok yaitu sumber daya, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA). SDM memegang peran yang lebih penting dibandingkan sumber daya alam dalam menentukan keberhasilan suatu pembangunan. Kualitas SDM juga memegang peran yang lebih penting dibandingkan kuantitas dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan suatu bangsa. Bahkan kuantitas SDM tanpa diimbangi kualitas yang baik hanya akan menjadi beban pembangunan suatu bangsa. Kualitas SDM yang dimaksud meliputi kemampuan fisik maupun non-fisik seperti intelektual, spiritual, mental dan moral. Salah satu isu besar yang selama ini sering terdengar adalah perihal ringkihnya kualitas SDM di negeri ini. Masih rendahnya mutu dan daya saing SDM Indonesia di pentas global sering dituding sebagai produk rendahnya mutu pendidikan. Oleh karenanya, reformasi pendidikan secara terus-menerus di segala jenjang mutlak dilakukan agar pendidikan ke depan mampu menghasilkan out put SDM yang jauh lebih berkualitas sesuai dengan tuntutan era global. Dominasi peran SDM di era informasi dan globalisasi ini telah lama diprediksi berbagai pihak, diantaranya sebagaimana berulangkali dinyatakan John Naisbit (1990) bahwa "In an information society, human resource is at the cutting edge. And it means that human resource professionals are becoming much more important in their organization. Hal ini dapat dipahami karena manusia merupakan instrumen kunci dalam melakukan berbagai inovasi dalam berbagai sistem organisasi maupun sistem negara-bangsa. Namun demikian, berdasarkan realitas yang teramati dan pengalaman mengajar penulis sendiri selama beberapa tahun, memberikan gambaran awal bahwa nampaknya ada something lost (sesuatu yang hilang) dari content kurikulum pendidikan kita maupun dari proses pembelajaran di kelas yang selama ini berjalan. Salah satu elemen penting yang hilang sebagai penopang terbangunnya SDM yang berdaya saing tinggi adalah pembentukan watak anak didik atau dengan istilah lain disebut sebagai pendidikan karakter. Dalam konteks keindonesiaan, gagaasan pembangunan karakter bangsa unggul sesungguhnya telah ada semenjak diproklamirkannya republik ini pada tanggal 17 Agustus 1945. Pimpinan nasional kita yang pertama yakni Bung Karno telah pernah menyatakan perlunya nation and character buildings. Walaupun pernyataan tersebut dalam konteks politik, namun secara eksplisit mengandung arti bahwa pembangunan SDM Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun fisik akan tetapi yang tak kalah pentingnya adalah termasuk membangun karakter dan budaya bangsa. Beberapa 2
tokoh nasional pendahulu bangsa ini seperti Ki Hadjar Dewantoro juga menyebutkan tentang perlunya character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Beberapa Tantangan Faktual di Era Global Zaman terus berubah. Gelombang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi membawa pengaruh perubahan yang luar biasa terhadap pola kehidupan umat manusia di berbagai belahan bumi ini. Terjadi transformasi budaya pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga perubahan demi perubahan terus terjadi dengan begitu cepat, baik pada ranah kompleks ide, kompleks kelakuan berpola, dan kompleks sistem teknologi (Sztompka, 2004). Di samping itu era globalisasi yang ditandai dengan revolusi informasiteknologi (IT) telah mengondisikan proses kehidupan di berbagai bidang berada pada arus high competition (persaingan level tinggi) yang begitu cepat dan fundamental dengan membawa beragam resiko kehidupan (Giddens, 2001). Perubahan fenomena kehidupan moderen tersebut, mau tak mau harus direspon oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan pada orientasi pembangunan nasional, dari yang semula lebih menampakkan kecenderungan pada orientasi economic resource development (pengembangan sumber daya ekonomi), bergeser ke arah yang lebih memperhatikan human resource development (pengembangan sumber daya manusia), dengan menempatkan pendidikan sebagai motor penggeraknya. Pendidikan, dengan demikian, setidaknya mulai diyakini mampu menjadi panglima bagi segala upaya perubahan fundamental menuju Indonesia lebih baik di masa mendatang. Pendidikan
merupakan
rangkaian
proses
pemberdayaan
potensi
dan
kompetensi individu untuk menjadi manusia berkualitas yang berlangsung sepanjang hayat. Proses ini dilakukan tidak sekadar untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat menggali, menemukan, dan menempa potensi yang dimiliki, tapi juga untuk mengembangkannya dengan tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing. Suatu sistem pendidikan, dapat dikatakan bermutu jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan (Soyomukti, 2008). Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan tuntutan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu unggul perlu disusun dan dilaksanakan program-program yang mampu
3
membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Untuk itu, sistem pendidikan bangsa yang berpenduduk lebih dari 237 juta jiwa (www.bps.go.id) ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkannya mampu bersaing dengan negara-negara lain di tengah kelindan dan kompetisi globalisasi. Adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang bermutu unggul. Untuk memperoleh kualitas Indonesia yang mampu bersaing di level dunia, sumber daya manusia Indonesia yang disiapkan pun harus berkualitas kelas dunia. Sejalan dengan itu, mau tak mau, bidang pendidikan yang dipersiapkan bagi para SDM harus berkualitas kelas dunia dengan karakter kuat yang mampu berkompetisi di level global. Menurut Azizy (2003) pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada anak didik. Itulah sebabnya etika, budi pekerti, atau akhlak anak didik tidak pernah menjadi perhatian atau ukuran utama dalam kehidupan baik di dalam maupun di luar sekolah. Educating for Characters (mendidik anak untuk membentuk watak/karakter) selama ini baru menjadi wacana, belum terealisir pelaksanaannya dalam sistem pendidikan nasional. Bukan saja perhatian terhadap perilaku etis bagi anak didik tidak pernah terwujud, lebih dari itu lembaga pendidikan dan perangkatnya tidak pernah menekankan pada lembaga yang etis/bermoral. Pada waktu bersamaan, pendidikan formal (khususnya sekolah negeri) biasanya lebih berorientasi pada target formalitas, sesuai dengan pedoman yang telah diberikan oleh atasannya, tanpa melihat hasil apa yang telah dicerna dan dimiliki oleh peserta didik. Praktek-praktek tidak etis atau tercela seperti kecurangan dalam ujian, tidak menepati janji, kurang respek terhadap sesama kawan, kurang saling empati, tidak disiplin, kurang toleran, egoisme, dan semacamnya tidak serius dibasmi dalam kehidupan antar sesama peserta didik. Sikap tegas dan pemberian sanksi terhadap para pelanggar etika sosial- yang dalam beberapa hal juga sudah menjadi ketentuan hukum-tersebut nyaris kurang terdengar. Seharusnya dengan adanya reformasi pendidikan yang didukung lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional, pembentukan karakter atau watak ini harus menjadi content pendidikan yang sangat menentukan dan semakin jelas dan tegas arah pendidikan kita. Beberapa analisis rasional mengapa reformasi pendidikan mutlak dilaksanakan 4
dalam menghadapi era globalisasi di abad ke-21 menurut William J. Mathis dari Vermont University, yaitu: 1). Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stake holder-nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut. Masyarakat adalah kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah negeri, karena budgeting sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang rakyat), dan mereka memiliki hak untuk dilayani. 2). Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tetapi juga kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang akan mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah juga membawa keragaman tersebut. Dengan demikian, tidak fair kalau semua siswa harus memiliki hanya satu kemampuan yang sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedi dalam masyarakat demokratis, karena masyarakat demokratis menghargai keragaman. 3). Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan kian
menggeser
posisi
manusia.
Kecanggihan
alat-alat
teknologi
semakin
menefisiensikan proses industri dan layanan jasa. Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern itu, tetapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut. 4). Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut semakin tipis dan semakin habis. Dengan demikian, akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus diberi tahu tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuanpenemuan teknologi baru, serta dengan adanya kerjasama global antarsatu bangsa dengan lainnya. Inilah intinya kehidupan demokratis dengan penguatan jaringan antar bangsa. 5). Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan ekonomi global ke depan, yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. 6). Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita sekarang tidak lagi 5
marginal. Mereka memiliki hak dan peluang sama dalam karier dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas dasar gender. 7). Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang kemajuan, tetapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan, dan 8). Peran media masa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan sosial, mengkritik berbagai kebijakan maupun maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan alternatif atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televisi, yang semuanya bisa menjadi kontributor pendidikan yang positif, dan bisa juga menjadi kendala yang negatif bagi program-program pendidikan (dalam Rosyada, 2010). Ini semua adalah perubahan sekaligus tantangan yang tidak mungkin dihindari, tetapi harus disikapi dalam merancang reformasi pendidikan, karena institusi pendidikan akan melahirkan keluaran yang tidak boleh gagal dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, dan sebaliknya harus mampu menyesuaikan diri, bahkan mampu menjadikan perubahan sebagai sebuah kekuatan untuk artikulasi diri mereka, sehingga diakui oleh publik sebagai SDM unggul, berkarakter, mampu bersaing dan memiliki berbagai keunggulan komparatif dengan lainnya.
Urgensi Pendidikan Karakter Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal
3,
yang
menyebutkan
bahwa
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003). Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu 6
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, bermartabat tinggi dalam konteks interaksi dengan masyarakat, baik di level lokal, regional maupun global. Hasil riset di Harvard University Amerika Serikat menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan (Ali Ibrahim Akbar dalam Sudrajat, 2010). Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian pendidikan karakter dalam konteks ini adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders)
harus
dilibatkan,
termasuk
komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mulai mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand 7
design tersebut (Sudrajat, 2010). Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua elemen masyarakat-bangsa, baik dari unit terkecil yaitu rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, hingga masyarakat luas secara sinergis-partisipatoris. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang belakangan ini di rasa mulai terputus dan cenderung jalan sendiri-sendiri. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar elemen pendidikan tersebut tidak menampakkan adanya kesinambungan dan keharmonisan yang produktif. Sebab rasionalnya, jika gerakan masing-masing elemen ini berada di dalam pola yang harmonis dan sinergis, maka msyarakat luas pun bergerak secara bersama-sama. Tetapi jika salah satu atau beberapa elemen mengalami ketidakharmonisan (inequilibrium), elemen-elemen yang lannya pun juga akan terpengaruh (Arfin, 2009). Dengan demikian, pertama-tama, rumah tangga dan keluarga sebagai unit lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips dalam Nurokhim, 2007) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (dalam bahasa agama disebut sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan (kognisi) semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya, terimplementasikan dalam setiap tindak praksis kehidupan sehari-hari dalam lingkup sekolah sebagai miniatur masyarakat yang sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mochtar Buchori (2007), yang menyarankan bahwa pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Sekedar contoh sederhana adalah pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, diyakini mampu menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya akan mampu mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) idealnya adalah dengan menerapkan ke dalam (include) setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter (seperti pelajaran Agama, PPKn, Sejarah, dan sebagainya). Dengan strategi ini, tanggung jawab penanaman dan 8
pendidikan watak/karakter tidak lagi menjadi kavling para pendidik agama, moral/etika saja tetapi menjadi tanggung jawab kolektif setiap elemen pendidikan yang terlibat di dalamnya sehingga menjadi 'proyek bersama' yang harus didukung, digerakkan dan dipertanggungjawabkan secara bersama pula. Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada "kini" dan "di sini", maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama. Oleh karena itu agenda reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara holistik dan komprehensif-integratif. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebab faktanya, jika dicermati secara garis obyektif, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building) anak bangsa bahkan fatalnya justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu maraknya degradasi moral di berbagai level generasi sebagai dampak atas kegagalan pendidikan nasional yang abai terhadap pentingnya sentuhan terhadap dimensi watak dan karakter anak bangsa. Meminjam ungkapan yang digunakan Moctar selama
Buchori ini
(2007), merupakan
segenap
kemelut
refleksi
di dalam masyarakat Indonesia sendiri.
9
bangsa
lemahnya
yang moralitas
kita
alami kolektif
Berguru pada Pengalaman Bangsa Lain Karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi, kemandirian dan kemerdekaannya Setiap warga bangsa, terutama generasi muda Indonesia, harus membangun kembali karakter dan kemandirian. Tanpa karakter yang kuat, bangsa Indonesia akan kehilangan semuanya (Hatta dalam Adib, 2007). Cukup banyak contoh empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam menopang tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress pembangunan suatu bangsa. Contoh pertama adalah Cina. Negeri ini bisa dikatakan tidak lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia di era ’70 an. Namun dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakkan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrasinya secara sangat signifikan. Sedangkan budaya kerja keras tampak nyata dari semangat rakyat di negeri ini untuk bersedia bekerja selama 7 hari dalam seminggu demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, akan tetapi lebih dari itu, produk ekspor Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tingkat tinggi (www.inspiratif-story.com) Contoh lain adalah India. Negara ini sekarang telah berhasil menjadi salah satu negara yang sanggup berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, maka mencapai posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi yang tergolong luar biasa. Keberhasilan ini didorong oleh karakter kuat bangsa India untuk maju dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan istilah budaya swadeshi. Prinsip inilah yang telah membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana seperti sabun mandi hingga yang lux, seperti mobil, mesin-mesin industri, kapal laut, termasuk industri perfilman "Bollywood", begitu mengakar tak tergoyahkan oleh serbuan peradaban luar. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah kalau dibandingkan dengan produk Jepang dan Barat akan tetapi semangat swadeshi telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India nyaris tidak ada (www.swadeshi.com) Karakter bangsa-bangsa besar lainnya juga hampir sama. Intinya selalu ada 10
kombinasi antara semangat juang, disiplin dan kerja keras. Karakter bangsa Jerman misalnya, adalah ’arbeit’ atau kerja keras. Artinya bagi bangsa Jerman, sukses diperoleh melalui suatu kerja keras dan tanpa lelah. ’Budaya Instan’ tidak ada dalam kamus bangsa Jerman. Dengan arbeit inilah bangsa Jerman, yang pernah kalah dalam dua kali perang dunia, masih sanggup tampil kembali sebagai salah satu mesin ekonomi
dan
teknologi
terkuat,
termaju
dan
termodern
di
dunia
(www.wikipedia.com). Bagaimana dengan kondisi karakter bangsa kita? Kiranya tak bisa dipungkiri bahwa pemandangan paradoksal begitu nampak tergambar pada karakter bangsa kita. Sebagai anak bangsa kita patut prihatin, betapa seringnya bangsa ini dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan bangsa lain. Kasus-kasus disharmoni relasi antara Indonesia dengan negara tetangga (Malaysia, misalnya) yang belakangan marak kembali seperti penangkapan petugas Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan RI oleh polisi Malaysia yang kemudian di barter dengan "5 penjarah ikan asal Malaysia”, kasus sengketa perbatasan negara, perebutan atas hak milik pulau (seperti klaim atas Ambalat oleh Malaysia) sesungguhnya merupakan indikasi kuat lemahnya diplomasi/negosiasi dengan pihak luar (Malaysia) yang ujung-ujungnya (bisa jadi) lepas dari NKRI. Kasus-kasus semacam ini sesungguhnya menegaskan Indonesia sebagai pihak yang kalah, sebagai akibat lemahnya kemampuan diplomasi dan negosiasi pemerintah Indonesia dengan pihak asing sebagai lawan. Lemahnya kemampuan diplomasi dan negosiasi ini disinyalir karena kurang cukupnya rasa percaya diri dan harga diri sebagai bangsa Indonesia dihadapan bangsa asing. Contoh lain adalah masalah seputar nasib yang menimpa TKI/TKW kita di luar negeri. Hampir setiap saat kita disuguhi berita-berita nestapa perihal TKI/TKW, sementara TKI/TKW sendiri maupun pihak pemerintah tidak bisa berbuat banyak lantaran lemahnya advokasi terhadap TKI/TKW yang tersandung masalah di negara tujuan kerja. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah warga Indonesia. Image sebagai bangsa penakut, minder dan kurang konfiden begitu kental melingkupi peristiwa kegagalan diplomasi, negosiasi dan advokasi seperti di atas, yang akhirnya menyebabkan gagalnya pemerintah melindungi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Fakta di atas, bisa jadi -sedikit banyak- juga dipengaruhi warisan falsafah hidup orang Jawa (khususnya) yang selalu mengedepankan sikap nrima ing pandun, ngalah, dan sabar. Kultur semacam ini pada dasarnya tidak selamanya jelek, akan tetapi kalau ini sudah menjadi semacam ideologi yang mendarah daging dan selalu diugemi dalam setiap 11
event (peristiwa) maka justru akan mendatangkan kerugian bagi kita sendiri. Orang lain lalu memanfaatkan situasi ini untuk mengekploitasi, menindas bahkan menginjak-injak "harga diri" kita sebagai bangsa Indonesia.
Institusi Pendidikan sebagai Medan Strategis Pembangunan Karakter Berangkat dari fakta di atas, pendidikan watak atau pendidikan "harga diri" semacam ini mendesak untuk ditanamkan pada generasi muda, anak-anak didik kita sejak dini di setiap jenjang pendidikan sebagai instrumen kunci dan modal penting meningkatkan daya saing di era global. Kiranya penting untuk disadari bahwa tujuan pendidikan bukan sekedar mendidik anak di sekolah agar menjadi pintar, namun lebih dari itu, juga untuk menghasilkan manusia berwatak/berkarakter kuat. Karena itu tugas dan tanggung jawab guru/dosen (institusi pendidikan) sebagai garda terdepan pendidikan di era global bukan semakin ringan, tetapi justru semakin berat dan komplek. Guru/dosen tidak lagi sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga harus menjadi pemicu (trigger), sumber motivasi dan inspirasi sekaligus contoh terbaik bagi anak didiknya untuk membangun karakter kuat sebagai modal penting daya saing SDM di era global. Sekolah/kampus sebagai lingkungan kedua anak dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi tempat strategis pembangunan karakter dan watak. Salah satu cara sederhana namun cukup efektif ialah dengan menciptakan kultur sekolah. Caranya, sekolah memberikan nuansa dan atmosfer yang mendukung upaya untuk menginternalisasi karakter yang hendak ditanamkan. Pola pembangunan watak bukan melalui hal-hal abstrak, melainkan harus konkret dalam perilaku kehidupan seharihari. Belajar disiplin tinggi misalnya, bukan belajar pengetahuan mengenai definisi disiplin melainkan memberikan contoh perilaku disipilin. Sebagai contoh sederhana, jika ingin menanamkan watak disiplin maka jangan sampai ada guru yang terlambat mengajar. Untuk itu memang tidak mudah karena seluruh elemen sekolah harus memiliki komitmen yang sama. Jika ada guru tidak konsisten, tentu nilai kedisiplinan itu tidak tertanam, apalagi membuahkan perilaku yang diinginkan. Pendidikan watak dapat saja dimasukkan ke dalam kurikulum namun tidak harus dikotakkan ke dalam satu atau mata pelajaran tertentu. Idealnya pendidikan watak harus terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran sehingga setiap guru mempunyai tugas, tanggung jawab moral dan visi yang sama dalam membangun watak (harga diri) siswa secara sistemik dan berkesinambungan (Wanda, 2005). Jika 12
dipisahkan secara eksplisit maka bisa jadi akan terjebak ke dalam formalitas seperti pelajaran budi pekerti (etika) yang selama ini ujung-ujungnya hanya berorientasi pada upaya mencari nilai bagus untuk rapor. Selain itu, pendidikan watak/karakter tidak terbatas kepada aktivitas formal di dalam kelas, tetapi idealnya mendapatkan ruang dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti outbond dan sebagainya. Karena itu, perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar, atau pihak yang kompeten. Dengan cara demikian, sekolah/kampus benarbenar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “pusat pendidikan watak”. Lebih dari itu, karakter yang ingin ditransfer kepada anak, harus dapat terlihat dalam visi dan misi sekolah. Namun, tentu saja hal tersebut harus diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran. Ini akan tergambar dalam kurikulum yang nyatanya menjadi pengalaman anak sehari-hari. Sesungguhnya dengan ditepakannya KTSP memungkinkan setiap sekolah mendesain kurikulum dengan mengintegrasikan karakter-karakter khas apa yang akan dibangun dan menjadi brand image unggulan lulusan sekolah tersebut. Dengan kata lain, implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang benar-benar memberikan ruang gerak kepada anak didik untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki pondasi karakter kuat seperti percaya diri, disiplin, tanggung jawab, kekokohan spiritual, rasa optimistis, leadership, harga diri (citra diri), mampu berkomunikasi dengan baik (public speaking), memilik kemampuan negosiasi, kemampuan berdiplomasi serta thinking globally tanpa harus tercerabut dari akar kearifan lokal, disamping –tentunya- penguasaan kompetensi kognitif. Sebab pendidikan yang didominasi dengan pembangunan kognitif, hanya akan menghasilkan manusia yang pragmatis (Tilaar, 2006). Terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan di sekolah juga hanya mementingkan penguasaan kognitif, kondisi itu akan menghabiskan energi dan konsentrasi anak, guru, dosen serta sekolah/kampus untuk mempersiapkan anak agar (hanya) siap mengerjakan soal-soal ujian yang tak ubahnya menjawab teka-teki silang demi mengejar target penilaian/kelulusan. Anak tidak mempunyai ruang dan waktu untuk merefleksikan dan menginternalisasi karakter, watak maupun nilai-nilai penting untuk masa depan diri, bangsa dan negaranya, atau dengan kata lain, mematikan kemampuan refleksi independen anak. Tanpa pendidikan watak tersebut, peserta didik kelak hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri. 13
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan tersebut, jelas pendidikan nasional sampai saat ini masih tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat. Sebagaimana disinggung di muka, pendidikan berperan bukan hanya sekedar sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi jauh lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi nation building menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab. Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically, demokratis dan berperadaban unggul di segala lini. Peran pendidikan nasional dengan demikian merupakan sarana paling strategis untuk menanamkan dan mengembangkan warga negara yang educated, beradab, memiliki skill dan kompetensi tinggi, memiliki etos dan motivasi untuk maju sebagai negara-bangsa yang bermartabat tinggi. Untuk itu, "tradisi-tradisi primitif" dan memalukan di kalangan mahasiswa PT, seperti sering terjadinya tawuran dan kekerasan yang belakangan terjadi di berbagai kampus di Makasar, harus ditinggalkan jauh-jauh (Kompas, 11/07/2010). Di samping itu yang belakangan marak terjadi di kalangan anak muda –berdasarkan hasil riset- ditemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme agama telah menyusup ke sekolah-sekolah umum dan PTU. Para siswa dan mahasiswa yang umumnya masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan incaran pendukung ideologi radikalisme yang wataknya cenderung intoleran, eksklusif, dan bahkan sampai pada fase pengkafiran (takfir) terhadap sesama Muslim di luar kelompoknya. Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di berbagai sekolah dan kampus, sehingga perlu dikaji dan direspons secara serius, baik oleh pihak sekolah/kampus, guru/dosen, pemerintah, maupun orang tua. Kita tentu senang anakanak itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideologi radikal yang kemudian memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brain wash) pada mereka yang masih pemula belajar agama untuk tujuan yang justru merusak agama dan menimbulkan konflik komunal berkepanjangan yang berakhir tragis. 14
Untuk itu segenap elemen yang terkait dengan masalah pendidikan ini harus bahu membahu secara sinergis untuk pelaksanaan tugas maha berat ini. Semua pihak perlu memiliki harapan yang jelas dan konsisten mengenai sikap yang kita harapkan dari anak didik kita, menghormati dan menghargai setiap pendapat dan gagasannya, membantu untuk menghargai keunikannya, serta memberi ruang dan atmosfer yang kondusif untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuan-kemampuannya dan mengelaborasi potensinya secara maksimal. Keteladanan dan atmosfer kondusif nampaknya menjadi kata kunci keberhasilan pola penanaman/pembangunan karakter (watak) anak didik kita, baik dalam penguasaan kompetensi personal maupun kompetensi sosial. Dalam hal penananam kompetensi personal, beberapa aspek perlu untuk dikembangkan pada anak didik seperti kemampuan untuk memotivasi diri, bertahan menghadapi frustasi, mengelola emosi diri, mengendalikan dorongan diri, mengatur suasana hati, dan berempati (Goleman, 2000). Sedangkan penanaman kompetensi sosial bagi peserta didik yaitu yang menyangkut proses interpersonal dan digunakan dalam berinteraksi dengan orang lain (Michelson, dalam Wisnu, 2008). Kompetensi sosial menjadi dimensi penting dalam rangka modal sosial untuk berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat diterima oleh masyarakat agar memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga. Kompetensi sosial dapat membawa peserta didik untuk lebih berani menyatakan diri, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal yang kontraproduktif bagi diri sendiri maupun orang lain. Elksnin dan Elksnin (Wisnu, 2008) mengidentifikasikan kompetensi sosial dalam beberapa ciri yang perlu dikembangkan, antara lain; 1) perilaku interpersonal, yaitu perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial, 2) perilaku berhubungan dengan diri sendiri, yaitu perilaku seseorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, 3) perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan (akademik maupun non-akademik), 4) peer acceptance (penerimaan teman sebaya), dan 5) keterampilan berkomunikasi, yaitu keterampilan yang diperlukan untuk menjalin relasi sosial yang baik. Kedua kompetensi atau keterampilan tersebut baik personal maupun sosial, idealnya harus dikembangkan di kalangan peserta didik secara proporsional sehingga akan menghadirkan sosok peserta didik yang memiliki keseimbangan hidup baik dari 15
dimensi personal maupun sosialnya. Untuk itu perlu kiranya kita segarkan kembali kesadaran kita sebagai pendidik sekaligus orang tua dengan menyimak petuah Dorothy L. Notle (Drost, 2004) yang mengingatkan bahwa: Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia belajar untuk menyalahkan. Jika seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi. Jika seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah. Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri, ia belajar mudah memafkan diri sendiri. Jika seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk merasa malu. Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan, ia belajar untuk iri hati. Jika seorang anak hidup dalam rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah. Jika seorang anak hidup dalam semangat jiwa besar, ia belajar untuk percaya diri. Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain, ia belajar setia dan sabar. Jika seorang anak hidupnya diterima apa adanya, ia belajar untuk mencintai. Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri. Jika seorang anak hidupnya dimengerti, ia belajar bahwa sangat baik untuk mempuyai cita-cita. Jika seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati. Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas, ia belajar akan kebenaran dan keadilan. Jika seorang anak hidup dalam rasa aman,ia belajar percaya pada diri sendiri dan pada orang lain. Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh persahabatan, ia belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup. Jika kita hidup dalam ketenteraman, anak-anak (didik) kita akan hidup dalam ketenangan batin. Simpulan Alhasil, kita harus meyakini bahwa pendidikan watak (karakter) merupakan instrumen dan elemen vital untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk peningkatan daya saing bangsa di era global. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana-prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Idealnya, pendidikan dan pembinaan karakter adalah melalui internalisasi dan tindakan nyata 16
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik, dan bukan sekedar menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai belaka. Oleh karena itu, keberadaannya menjadi bagian penting dari setiap proses pembelajaran dan kurikulum di berbagai institusi pendidikan. Mengabaikan pendidikan karakter (watak) sama halnya mengabaikan kualitas SDM dan masa depan bangsa yang bermartabat, sebab watak bangsa yang rapuh dan watak manusia yang mudah goyah, hanya akan menjelma menjadi SDM yang ringkih dari segi kualitas.
Daftar Pustaka
Azizy, Qodry A. 2003. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat. Jakarta: Aneka Ilmu. Arifin, Muzayyin, 2009. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Bumi Aksara) Adib, Khoirul. 2007. Mendidik Kemandirian Siswa. Majalah Suara Mahasiswa, FS Universitas Negeri Malang. Buchori, Mochtar. 2007. Pendidikan Budi Pekerti dan Masalah Regenerasi Bangsa. Forum Pembaca Kompas. Chrisina, Wanda. 2005. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus di JTI- UK Petra). Jurnal Teknik Industri, Vol 7, No 1 (2005) Dimyati, Khudzaifah, dkk. 2008. Pengantar Redaksi dalam Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1 Februari 2008. Drost, J.I.G.M. 2004. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ? Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Giddens, Antoni Giddens. 2001. Runway World . Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sri Hertinjung, Wisnu. Social Skill;s of Preschool Children Viewed from The TeacherStudent Interaction Based on Mediated-Learning Experience Model. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol.9. No. 2 Agustusi 2008.
Naisbitt, John & Aburden. 1990. Ten New Direction of The 1990's Megatrends 2000 (New York: Megatrends Ltd,)
17
Nurokhim, Bambang, 2007. Membangun Karakter dan Watak (www.cakrawala.com, diakses 21 September 2010)(On line).
Bangsa.
Purwandari, Eny, dkk. Character Building: The Influence of Values Education on The Emotional Quotient of Children. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1 Februari 2008. Rosyada, Dede. 2010. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soyomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jakarta: Indeks. Sztompka, 2004. Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Shihab, M. Qurais, 1996. Membumikan Al-Qur'an. (Bandung: Penerbit Mizan). Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. (dalam http://akhmadsudrajat.wordlpress.com/2010/08/20/diakses 15 Oktober 2010)
Tilaar, H.A.R.2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bandung: Penerbit Citra Umbara. Harian Kompas, (edisi 11/07/2010). (www.bps.go.id diakses 21 April 2011(On-line). (www.inspiratif-story.com, diakses 10 Oktober 2010 ) (www.wikipedia.com, diakses 11 Oktober 2010). (www.swadeshi.com, diakses 15 Oktober 2010)
18
19
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.