PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA SOSIALISASI NILAI-NILAI PANCASILA Oleh: Indraningsih (Universitas Negeri Yogyakarta)
I.
PENDAHULUAN Pada dasawarsa terakhir ini banyak bermunculan kasus-kasus sosial yang melibatkan kaum remaja, baik bersifat individual maupun kolektif. Mulai dari yang ringan, sedang hingga sampai yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku menyimpang dan tindak kriminalitas. Dapat dilihat fenomena munculnya gang, tawuran antarsekolah, kebut-kebutan di jalan raya, “mbolos” sekolah secara berjama’ah, pesta miras, pesta seks bebas, main judi, pasang taruhan dalam video game dan Play Station, pengguna narkoba, sindikat curanmor dan berbagai aktivitas negatif lainnya. Kegelisahan pun muncul di kalangan para orangtua, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, apalagi para pendidik. Namun, sayangnya tidsk semua pihak mengambil sikap, peran dan kontribusi secara jelas dan nyata untuk mencari solusi dan pemecahannya. Yang biasa dilakukan adalah pengarahan, penyuluhan dan himbauan melalui spanduk, pamflet, stiker dan sejenisnya. Ironinya, masing-masing pihak saling menyalahkan, menuding dan cenderung pihak institusi pendidikan yang harus bertanggungjawab. Padahal, kalau mau jujur mesti dilakukan identifikasi persoalan, kemudian dicari faktor-faktor penyebabnya sehingga unsurunsur dan elemen terkait menjadi jelas posisi dan peran yang harus dimainkan karena setiap persoalan sosial yang melibatkan remaja, tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif “kacamata kuda” saja, melainkan harus dilihat dengan berbagai aspek tinjauan dan perspektif. Namun demikian, dari banyak aspek tinjauan dimungkinkan akan ditemukan satu faktor dominan yang menjadi titik berat bidikan untuk disoroti lebih kritis. Hal yang perlu diperhatikan dengan lebih kritis adalah pendidikan karakter di kalangan generasi muda. Munculnya fakta sosial – termasuk yang melibatkan remaja – menimbulkan kesadaran bahwa ada norma-norma yang tidak berfungsi atau bahkan hilang, yang semestinya harus diketahui dan dipahami untuk dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Di dalam realitasnya, kehidupan mengalami disfungsi nilai-nilai.(Muhammad Yusuf dalam http://ushuluddin.uin-suka.ac.id/id/article.php?a=YS9v=&l=disfungsiagama-di-kalangan-remaja-dan-hegemoni-materialisti diunduh pada tanggal 22 Desember 2010). Di tengah hiruk-pikuknya situasi seperti contoh tersebut, pemerintah Indonesia mencanangkan sebuah kebijakan nasional yaitu pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal. Hal ini tercermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar sehingga dapat disaksikan besarnya perbedaan antara yang miskin dan yang kaya, bahkan sangat kaya. Kerusakan lingkungan pun terjadi di seluruh penjuru tanah air Indonesia yang kaya raya ini. Korupsi yang terbongkar pun mengejutkan seluruh khalayak karena terbukti telah merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat. Pada saat ini, banyak
dijumpai perilaku berbahasa yang buruk dan tidak santun yang memperlihatkan ketidakpedulian terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong-royong mulai cenderung berubah menjadi hegemoni-hegemoni kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur. Semua itu menegaskan bahwa terjadi ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilainilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa, (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, (5) ancaman disintegrasi bangsa, dan (6) melemahnya kemandirian bangsa (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025, Pemerintah Republik Indonesia, 2010). Dengan mempertimbangkan beberapa muara ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa tersebut, diskursus pendidikan akhir-akhir ini terus-menerus memposisikan pendidikan karakter sebagai ”jalan keluar” dari pelbagai kebuntuan moral yang sedang melanda bangsa Indonesia. Berbagai komunitas bahkan individu mengusulkan pendidikan karakter, sebagai salah satu usaha untuk mencegah perilaku korupsi, praktik politik yang tidak bermoral, bisnis yang nakal, penegakan hukum yang tidak adil, perilaku vandalisme, dan sebagainya (Darmiyati Zuchdi, 2009:9). Pendidikan karakter mengacu pada pembangunan karakter bangsa yang merupakan kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas, baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, oleh hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilainilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan karakter adalah salah satu upaya efektif untuk menyadarkan kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama institusi pendidikan akan pentingnya sosialisasi nila-nilai Pancasila.
II.
SOSIALISASI NILAI-NILAI PANCASILA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER Dalam hal sosialisasi nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika adalah syarat utama. Semua orang Indonesia harus meyakini bahwa bangsa ini mempunyai dasar yang kokoh. Kesatuan bangsa didasarkan pada bahasa dan kebudayaan karena bahasa merupakan pembawa tradisi, pewarisan rasa, simbol-simbol, hubungan emosional, dan keyakinan (Hardono Hadi, 1994: 81). Dengan demikian, individu-individu yang menggunakan bahasa yang sama ikut ambil bagian di dalam kebudayaan yang sama. Dalam pandangan ini, masing-masing bangsa memainkan peranannya di dalam drama dan sejarah seluruh umat manusia. Pemilikan bahasa dan kebudayaan yang sama
sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Bahasa Indonesia telah jelas kedudukannya sejak pernyataan Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dan bahasa Nasional benar-benar merupakan aset besar bagi bangsa Indonesia. Permasalahannya kemudian adalah sejauh manakah bahasa Indonesia benar-benar telah digunakan dengan baik dan benar. Sebesar apakah kadar penggunaannya, mengingat kadar kesamaan bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Bila hubungan antarkebudayaan daerah masih tipis, maka kadar penggunaan bersama bahasa yang satu, yaitu bahasa Indonesia, sebenarnya juga belum benar-benar senada. Dalam bidang ini pun jelas tugas yang sangat besar menanti seluruh bangsa Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi satu dengan yang lain dengan bahasa yang sama. Sektor pendidikan pun menjadi pengemban utama tugas tersebut. Dalam pandangan Profesor Notonagoro (Sofian Effendi, 2007: 41), upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah perwujudan dari asas perikemanusiaan yang adil dan beradab, dan semua asas yang terkandung dalam Pancasila merupakan landasan ideologis kegiatan pendidikan, pengajaran dan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia. Pandangan tersebut dipertegas dalam Pasal 2 UU No.22 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan ”pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam hubungannya dengan pendidikan karakter yang diterapkan di berbagai jenjang sekolah dan pendidikan di Indonesia, pemerintah telah menyatakan berbagai prinsip-prinsip pengembangan pendidikan karakter yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi, pendidikan karakter terkait erat dengan ”habit” atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan atau dilakukan. Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter (Draft Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 11 – 13). 1. Berkelanjutan: mengandung makna bahwa proses pengembangan nilainilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dinilai dari TK/RA berlanjut ke kelas satu SD/MI atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas kelas 9 atau kelas terakhir SMP/MTs. Pendidikan karakter di SMA/MA atau SMK/MAK adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. Selanjutnya, pendidikan karakter di Perguruan Tinggi merupakan penguatan dan pemantapan pendidikan karakter yang telah di peroleh di SMA/MA, SMK/MAK.
2.
3.
4.
Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler dan kokurikuler. Pengembangan nilai-nilai dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam standar isi. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar mengandung makna bahwa materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata kuliah atau pelajaran agama, bahasa Indonesia, sejarah, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, ketrampilan, dan sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik. Oleh karena itu, pendidik tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan karakter. Pendidik tidak pula harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktifitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini nilai-nilai karakter tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri peserta didik. Peserta didik tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai tersebut. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik. Pendidik menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka pendidik menuntun peserta didik agar secara aktif (tanpa mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif tetapi pendidik merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekontruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi/proses pengembangan nilai) menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, satuan pelajaran, dan tugas-tugas di luar satuan pelajaran.
Keseluruhan prinsip pengembangan pendidikan karakter berkaitan erat dengan sosialisasi nilai-nilai Pancasila, bahkan pada tingkat internalisasi nilai. Hal tersebut, antara lain dapat diawali dengan keteladanan yang dapat ditunjukkan dalam perilaku
dan sikap pendidik dan tenaga kependidikan. Pendemonstrasian berbagai teladan merupakan langkah awal pembiasaan. Jika pendidik menghendaki peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter, maka pendidik dan tenaga kependidikan adalah orang pertama dan utama memberi contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Apabila guru menghendaki muridnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka gurulah orang pertama yang memberi contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada kegiatan sehari-harinya. Internalisasi dimulai dari keteladanan dan pengintegrasian nilai dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terusmenerus dan konsisten setiap saat. Misalnya: penggunaan bahasa Indonesia pada setiap upacara hari besar kenegaraan, upacara hari Senin, ceramah keagamaan, diskusi kelompok, ucapan salam bila bertemu antarguru, antara guru dan tenaga administrasi sekolah, antara guru dan murid, pengantar pelajaran, dan sebagainya. Selain itu, ada juga kegiatan spontan, yakni kegiatan yang dilakukan pada saat itu juga, misalnya apabila guru mengetahui ada penggunaan bahasa Indonesia yang tidak benar, guru dapat/harus memberi koreksi pada saat itu juga. Kegiatan spontan berlaku pula untuk memuji penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga murid merasa senang melakukan hal tersebut terus-menerus, hingga terjadi internalisasi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Di bidang pembelajaran, pendidikan karakter dilakukan di berbagai kegiatan di kelas dan dilaksanakan melalui proses belajar setiap materi pelejaran atau kegiatan yang dirancang khusus (Draft Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 15 -16). Namun demikian, pendidikan karakter dapat dikembangkan di semua kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor sehingga tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut. Untuk mengembangkan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta bahasa Indonesia, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan pendidik. Untuk pengembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut. Kegiatan ekstra kurikuler sangat mendukung sosialisasi nilai-nilai Pancasila, misalnya: lomba kelompok vokal dengan membawakan lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato berbahasa Indonesia, lomba olah raga, pameran foto bertema keindahan Nusantara dan kehidupan masyarakat, lomba mengarang bertema kesatuan bangsa, melakukan wawancara dengan tokoh yang berkaitan dengan karakter, mengundang nara sumber untuk berdiskusi atau berceramah yang berhubungan dengan karakter bangsa. Kegiatan lain yang jelas merupakan sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia dan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial seperti membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum/objek wisata, membantu membersihkan/mengatur barang di tempat ibadah tertentu.
Sinergi antara pendidikan karakter dengan materi pembelajaran dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila harus dirancang, dikembangkan, dan dilaksanakan secara saling melengkapi. Dalam hal ini, materi pembelajaran dipahami sebagai integrasi pesan dan alat, yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu. Misalnya, guru fisika harus sadar bahwa pembahasan materi fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan memahami bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari kuasa Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Pengembangan pendidikan karakter sebagai sosialisasi nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui bermacam-macam model dan metode pembelajaran yang dipilih pendidik secara kontekstual. Yang penting adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan sosialisasi nilai-nilai Pancasila sengaja dirancang dan dinilai hasilnya sebagai bentuk hasil belajar pendidikan karakter.
III.
PENUTUP
Berbagai permasalahan pokok negara terus-menerus muncul dan tantangan yang dihadapi untuk mengatasinya pun tak kalah sulitnya. Upaya mengembangkan masyarakat untuk memiliki perilaku dan sikap bertanggung-jawab secara etis, mengarahkan masyarakat menjadi masyarakat yang cerdas dan mandiri, menciptakan sistem kehidupan yang tertib, aman, adil dan dinamis, menciptakan sistem pendidikan nasional yang menunjang sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan menginternalisasikan ke dalam diri insan Indonesia, memerlukan wawasan ke depan yang integral, integratif, dan berkesinambungan. Salah satu jalan keluar atau upaya menghadapi tantangan adalah dilakukannya pendidikan karakter sebagai sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pemantapan kurikulum berbasis Pancasila yang terintegrasi dalam setiap kelompok mata pelajaran direncanakan secara holistik. Dengan demikian, akan terwujud peningkatan ketahanan nasional bangsa Indonesia yang mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan dan toleransi. Selanjutnya, pada tahap akhir atau tahap internalisasi nilai-nilai Pancasila yang dilakukan melalui pendidikan karakter, akan diwujudkan generasi muda Indonesia yang benar-benar memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Darmiyati Zuchdi. 2009. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilaiTarget. Yogyakarta: UNY Press. Hadi, Hardono.1994. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisius. Kaelan, dkk. 2007. Memaknai Kembali Pancasila. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Draft Desain Induk Pendidikan Karakter. Tanpa Kota dan Penerbit.