Pendidikan HAM Dan Transformasi Masyarakat Indonesia*) Oleh: Mochtar Buchori**)
Pengantar Saya bukan ahli hukum. Saya juga bukan ahli politik. Pekerjaan saya ialah memikirkan masalah-masalah pendidikan. Dalam melakukan pekerjaan ini saya selalu berusaha untuk menempatkan setiap persoalan dalam suatu konteks sosio-kultural tertentu. Artinya, saya selalu berusaha mengacu kepada suasana kemasyarakatan yang terdapat pada saat suatu persoalan pendidikan muncul atau “me-manifest” dalam masyarakat. Di samping itu saya juga berusaha mengenali dorongan-dorongan kultural (cutural impulses) yang ada dalam masyarakat pada saat munculnya suatu persoalan pendidikan. Dengan cara ini saya berusaha memahami, apa yang membuat suatu kondisi pendidikan menonjol sebagai suatu persoalan pendidikan dalam masyarakat, dan kriteria apa yang dijadikan pegangan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan pendidikan tadi dengan cara yang mereka anggap “baik”. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang saya peroleh dari kegiatan-kegiatan ini, Pendidikan HAM dalam pandangan saya merupakan suatu mata rantai dalam proses transformasi masyarakat Indonesia.1 Transformasi ini merupakan sutu proses yang sangat panjang, dan di samping Pendidikan HAM ini masih terdapat berbagai mata rantai lainnya. Segenap mata rantai ini bersifat saling terkait. Kuat-lemahnya suatu mata rantai dan sifat keterkaitan antara berbagai mata rantai ini akan menentukan, apakah proses transformasi yang sedang kita jalani sakarang ini akan berlangsung cepat atau lambat. Dan intervensi-intervensi yang kita lakukan terhadap berbagai mata rantai tadi pada
*)
Makalah disampaikan dalam Semiloka tentang Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan NCHR University of Oslo Norway, Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2005 di Yogyakarta.
**)
Ketua Dewan Pengurus Yayasan PARAS, Jakarta, Columnist The Jakarta Post. Mantan Anggota DPR/MPR – RI, Masa Bakti 1999 – 2004.
1
‘Transformasi’ ialah perubahan yang bersifat mendasar. Transformasi saya bedakan dari ‘reformasi’ yang berarti penataan ulang format masyarakat, tanpa menyentuh sendi-sendi dari tatanan masyarakat yang sudah ada. Menurut saya yang harus kita kejar ialah “transformasi”, bukan “reformasi”.
1
akhirnya akan membuat proses transformasi yang sedang kita jalani sekarang ini menjadi berjalan lebih cepat, tetapi dapat juga membuatnya menjadi berjalan lebih lambat. Cara yang akan kita tempuh untuk menyelenggarakan Pendidikan HAM di Perguruan Tinggi Indonesia merupakan salah satu langkah intervensi ini. Kalau Pendidikan HAM ini kita selenggarakan dengan tepat, maka akan lahirlah generasi baru Indonesia dengan rasa kemanusiaan yang lebih tinggi, dan pada gilirannya kehadiran generasi seperti ini akan melahirkan budaya pemerintahan (culture of governance) yang lebih bertanggungjawab, dan mudah-mudahan juga kehidupan ekonomi yang lebih manusiawi. Tetapi kalau Pendidikan HAM ini kita selenggarakan dengan cara-cara yang kurang tepat, maka tidak mustahil, bahwa hasilnya akan berupa suatu generasi baru yang canggih dalam argumen-argumen tentang proteksi dan promosi HAM, tetapi tidak cukup memiliki keberanian moral untuk melawan berbagai bentuk palanggaran HAM. Generasi seperti ini tidak dapat diharapkan mempercepat jalannya transformasi menuju ke masyarakat yang lebih sesuai dengan aspirasi rakyat.
Transformasi Sistem Nilai Sebagai Inti Transformasi Masyarakat Transformasi masyarakat Indonesia adalah suatu proses yang sangat panjang. Proses ini telah dimulai sebelum Republik Indonesia diproklamasikan. Gerakan nasionalisme yang melahirkan Republik Indonesia adalah bagian dari proses transformasi ini. Dan sejak Republik Indonesia diproklamasikan, berbagai perubahan yang bersifat mendasar telah terjadi di negara kita. Proses transformasi ini belum selesai, dan masih akan berjalan terus. Selama bangsa Indonesia masih merasakan adanya kekurangankekurangan dalam cara kita menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, dan selama kita masih berusaha memperbaikinya, selama itu pula proses transformasi ini akan terus berjalan. Segenap jenis perubahan yang telah kita rasakan bersama selama ini --dari perubahan dalam kehidupan politik, terus ke perubahan dalam kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial, dan juga perubahan-perubahan dalam kehidupan kultural-- dalam pandangan saya berinti pada perubahan sistem nilai, perubahan value system. Secara berangsur-angsur sistem nilai kita berubah: dari sistem nilai yang terbentuk dalam tatanan masyarakat kolonial-feodal dahulu ke sistem nilai yang bersifat lebih egaliter. Dan titik sentral dalam perubahan sistem nilai kita ini adalah perubahan pandangan bangsa terhadap manusia. Kemerdekaan kita lahir karena pemimpin-pemimpin kita tidak rela 2
melihat manusia Indonesia mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, dipaksa hidup dengan martabat yang rendah. Gagasan, agar manusia Indonesia dapat hidup dalam masyarakat Indonesia dengan martabat yang sama tingginya dengan manusia-manusia lainnya telah berhasil diwariskan kepada generasi-generasi muda. Dan hasilnya ialah bahwa pada bangsa Indonesia pandangan tentang manusia dan perlakuan terhadap manusia pada umumnya secara berangsur-angsur menjadi makin baik. Ini tidak berarti, bahwa pandangan kita terhadap manusia dan perlakuan kita terhadap manusia Indonesia sekarang ini sudah cukup baik, tanpa cela. Masih banyak kekurangan kita dalam memperlakukan sesama manusia Indonesia secara manusiawi. Pendidikan HAM merupakan suatu sarana untuk terus-menerus menyempurnakan pandangan kita tentang manusia dan perlakuan kita terhadap sesama manusia. Sekarang ini perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang bermartabat memasuki fase baru. Sekarang ini perjuangan kita untuk melahirkan kehidupan bangsa yang lebih bermartabat bukan lagi berupa usaha-usaha untuk memperoleh kebebasan politik, untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang lebih adil, dan untuk menata kembali kehidupan sosial, melainkan berupa upaya-upaya untuk mengisi berbagai jenis kebebasan yang telah berhasil kita miiki. Kehidupan politik kita masih banyak cacatnya. Kehidupan ekonomi kita masih ditandai oleh hal-hal yang terasa kurang adil. Dan dalam kehidupan sosial kita masih banyak terlihat sisa-sisa feodalisme yang menimbulkan berbagai ketimpangan. Semua kekurangan ini harus kita perbaiki. Dan salah satu patokan dalam mencari perbaikan-perbaikan ini ialah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Uniiversal Declaration of Human Rights, yang disahkan PBB pada tahun 1948.
HAM dalam Konteks Budaya Bangsa Pelaksanaan HAM di Indonesia mau-tidak-mau akan besentuhan dengan nilainilai yang terdapat dalam budaya bangsa. Ada hal-hal dalam budaya kita yang akan berbenturan dengan asas-asas HAM, tetapi ada
pula hal-hal yang akan membantu
pelaksanaan HAM. Ketika gerakan masyarakat warga (civil society movement) diluncurkan untuk pertama kalinya di Indonesia, banyak rakyat yang tidak memahami, mengapa rakyat harus turut mengatur kehidupan dalam masyarakat dan negara. Dalam
3
pikiran mereka, rakyat selalu diperintah. Mengapa sekarang rakyat harus turut memerintah?2 Hal lain yang juga dapat menghambat pelaksanaan HAM dalam masyarakat kita ialah kecenderungan untuk bersikap sopan dan berperilaku sopan. Dengan kecenderungan ini orang yang terbelenggu oleh kesopanan tradisional akan merasa terkekang (constrained) untuk menyatakan pendapat-pendapat pribadinya yang kebetulan berbeda dengan pendapat orang yang diseganinya atau dianggapnya ada dalam stratum sosial yang lebih tinggi.3 Tindakan membantah akan dirasakannya sebagai suatu perilaku yang tidak sopan. Di sementara kalangan dalam masyarakat kita masih ada pandangan, bahwa menyatakan pandangan yang berbeda (to disagree) dan mempertanyakan kebijaksanaan yang ada merupakan suatu tindak indisipliner atau tindak subversif.4 Di sementara kalangan yang lain lagi ada pandangan yang menganggap setiap pesaing sebagai “musuh”. Pandangan-pandangan seperti ini jelas bertentangan dengan beberapa ketentuan dalam HAM. Tetapi banyak pula hal-hal dalam budaya kita yang akan mendukung disseminasi nilai-nilai HAM dalam masyarakat kita. Tradisi gotong-royong, anjuran untuk bersikap “tepa-slira”, untuk memperlihatkan empati terhadap orang lain, dan sikap masyarakat yang memandang perbuatan sewenang-wenang sebagai sesuatu yang tercela –tradisitradisi seperti ini saya kira akan sangat mendukung pelaksanaan HAM dalam masyarakat kita. Yang ingin saya katakan dengan contoh-contoh di atas ialah bahwa Pendidikan HAM tidak hanya bertujuan agar para mahasiswa memahami konsep hak-hak asasi manusia, tetapi agar pemahaman mereka terhadap pinsip-prinsip HAM pada akhirnya mewarnai perilaku mereka dalam masyarakat. Lebih lanjut ialah agar mereka merasa tergugah dalam hati mereka setiap kali mereka melihat terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap seorang manusia, dan agar mereka menyadari, bahwa peristiwa
2
Salah satu keluhan yang sering terdengar dalam masyarakat Jawa pada waktu itu tentang hal ini ialah ungkapan berikut: “Wong rakyat kok disuruh memerintah! Rakyat ya harus diperintah, bukan memerintah!” 3
Sopan merupakan sifat yang baik. Yang tidak baik ialah sikap “terlalu sopan”, yaitu sikap merendahkan diri secara berlebih-lebihan”. Orang Belanda menyebutnya sebagai sifat kruiperig, yaitu sikap selalu merunduk-runduk. 4
Kata ‘subversif’ tidak selalu harus berarti “memberontak” atau “membangkang”. Kata kerja Inggris to subvert bisa juga berarti “melumpuhkan”, “menjegal” atau “mengalihkan arah”.
4
seperti itu merupakan suatu tanda dari masih adanya pandangan yang kurang beradab di sementara kalangan dalam masyarakat kita.
Strategi Pendidikan HAM Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Pendidikan HAM hanya akan dapat meningkatkan martabat manusia dalam masyarakat kita kalau dilaksanakan dengan strategi tertentu. “Strategi pendidikan” ialah langkah-langkah dasar yang akan dilaksanakan dalam pelaksanaan suatu tugas pendidikan untuk meraih tujuan-tujuan yang telah dicanangkan. Pendidikan HAM yang dilaksanakan tanpa strategi atau dengan strategi yang kurang tepat akan memberikan hasil-hasil yang kurang sesuai dengan apa yang ingin kita raih. Sebaliknya, Pendidikan HAM yang dilaksanakan dengan strategi yang tepat, akan dapat turut memperbaiki keadaan kita yang penuh kemelut sekarang ini, dan akan dapat mempercepat jalannya proses transformasi. Bagaimana “strategi yang tepat” untuk pendidikan HAM pada tingkat Perguruan Tinggi di Indonesia pada saat ini? Ada 3 (tiga) unsur utama yang menurut pendapat saya harus diperhatikan untuk menyusun strategi pendidikan yang tepat ini. Ketiga faktor utama itu ialah (1) tujuan Pendidikan HAM; (2) watak sosio-kultural dari lingkungan; dan (3) type intelektualita mahasiswa. Tujuan Pendidikan HAM. Setiap orang dapat menyusun tujuan pendidikan HAM menurut seleranya sendiri. Tetapi kebebasan pedagogis ini ada batasnya. Dan batas itu ialah kepentingan bersama bangsa Indonesia. Dalam hal ini kepentingan bersama kita ialah bahwa pendidikan HAM ini akan dapat turut memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yang pada saat ini masih jauh dari sempurna. Kalau pandangan ini dapat disetujui, maka tujuan pendidikan HAM untuk masa sekarang ini barangkali dapat dirumuskan sebagai berikut:
“mempersiapkan generasi baru yang mampu menilai (meng-evaluasi) sistem dan praktek-praktek manajemen masyarakat dan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Deklarasi HAM, dan selanjutnya mampu menemukan cara-cara untuk memperbaiki kelemahan-kelmehan yang ada sekarang ini.”
5
Pilihan saya mengenai rumusan tujuan Pendidikan HAM ini saya lakukan berdasarkan pemahaman, bahwa Universal Declaration of Human Rights yang disahkan PBB pada tahun 1948 adalah suatu dokumen politik. Dan dokumen politik selalu menyentuh masalah pengelolaan negara dan masyarakat.5 Dokumen ini disusun setelah sejumlah negara anggota PBB yang baru saja memenangkan perang melawan Naziisme dan Fascisme menyadari, betapa kejinya Perang Dunia II tadi. Dokumen ini juga disusun untuk mengingatkan kembali seluruh umat manusia, bahwa perang bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertentangan kepentingan. Dokumen HAM juga dimaksudkan menegaskan kembali suatu prinsip yang sebelumnya telah dikumandangkan oleh dokumen Perancis Declaration of the Rights of Man and Citizen (1789), dokumen Amerika Serikat Declaration of Independence (1779), dan dokumen Inggris Magna Carta (1215). Magna Carta –kadang-kadang juga ditulis Magna Charta— adalah suatu dokumen yang sangat penting dalam sejarah konstitusi Inggris. Dokumen ini disusun oleh para baron (para Pangeran) dan dimaksudkan untuk melindungi rakyat Inggris dari kesewenang-wenangan King John atau Raja John Lackland (1167 – 1216), yang memerintah Kerajaan Inggris dari 1199 – 1216. Dokumen The Declaration of Independence merupakan pernyataan tentang tekad rakyat Amerika untuk memisahkan diri dari Kerajaan Inggris. Dalam bagian pembukaannya, dokumen ini memuat uraian mengenai Pemerintah Amerika yang ideal, yang disusun atas dasar kerangka teoretik tentang hak-hak alami manusia. Secara cukup rinci dokumen ini juga menyebutkan jenis-jenis kesewenang-wenangan dan ke-tidakadilan yang tidak boleh dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dokumen ini hampir seluruhnya ditulis oleh Thoman Jefferson (1743 – 1826), yang pada tahun 1776, ketika dokumen disahkan oleh para utusan dari The thirteen Colonies menjabat sebagai anggota dari The Continental Congress yang ke-II. Dokumen The Declaration of the Rights of Man and Citizen adalah sebuah dokumen politik Perancis yang pada tahun 1789 dirancang oleh Emmanuel Sieyes, dan pada tahun 1791 diterima sebagai Mukadimah (Preambule) dari UUD Perancis. Dokumen ini menekankan tiga prinsip, yaitu (1) kesamaan dan persamaan dari semua manusia; (2) 5
Definisi dasar dari kata Inggris ‘politics’ ialah “the art of governing a political entity, a community or a state, or a country.” Dan ungkapan “. . . the art of governing . . . ” ini oleh James Coleman dipandang sebagai “ . . . potentialities possessed by man for the management of his environment (human and nonhuman . . . “ Lihat James S. Coleman (ed.), Education and Political Development, Princeton University Press, 1965, hlm. 15.
6
bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat; dan (3) bahwa setiap orang memiliki hak yang tidak bisa dicabut akan kebebasam (liberty), kekayaan (property), dan keamaanan (security). Keempat dokumen ini –dari Magna Charta sampai ke Universal Declaration of Human Rights—pada dasarnya menegaskan hak setiap manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan pemerintah atau penguasa. Dalam HAM hak ini diperluas dan mencakup hak setiap manusia untuk menikmati kebebesan berbudaya (rights for cultural freedom). Dalam hubungan ini perlu rasanya diketahui, bahwa setelah dokumen Declarataion of Human Rights disahkan oleh PBB pada tahun 1948 tadi, lahir lagi suatu dokumen penting tentang HAM. Dokumen ini ialah The Declaration of Human Rights and Human Rights in Islam, disusun pada tahun 1981 dan dilaporkan oleh Majid Al Khan dalam buku Tahir Mahmood (ed.), Human Right in Islamic Law (New Delhi, Genuine Publications).6 Dokumen ini menjelaskan, bahwa dalam Islam landasan HAM tidak hanya meliputi keadilan dan kesetaraan, tetapi mencakup pula kebebasan berpikir dan berpendapat (termasuk kebebasan beragama), non-diskriminasi (termasuk yang didasarkan atas ras dan gender), serta pergerakan bebas. Berdasarkan segenap urian di atas maka tujuan Pendidikan HAM menurut pendapat saya, mau-tidak-mau, harus bernuansa politik. Watak Sosio-Kutural Lingkungan. HAM adalah suatu dokumen yang disusun untuk diterapkan di seluruh dunia. Rumusan-rumusan dalam HAM bersifat universal, dan oleh karenanya terasa bersifat abstrak-filosofis. Dengan format seperti ini dokumen HAM ketika dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan politik setempat sering terasa “mati”, tidak mampu memberikan petunjuk yang cukup jelas. Untuk mengatasi kesukaran ini saya kira akan sangat menolong kalau ketentuanketentuan yang terdapat dalam dokumen HAM diterangkan dalam konteks sosio-kultural dari lingkungan setempat, baik lingkungan lokal, lingkungan daerah, maupun lingkungan nasional. Dengan mempergunakan kasus-kasus setempat, prinsip-prisip yang tercantum dalam HAM akan dapat difahami secara cukup jelas. Berdasarkan pandangan ini pendidikan HAM dapat dilaksanakan dengan dua modus, yaitu modus filosofis dan modus empiris. Modus empiris dapat dilakukan dengan 6
Lihat Atilla Yayla (ed.), Islam, Masyarakat Sipil, dan Ekonomi Pasar (Jakarta, Friedrich Nauman Stiftung, Desember, 2004.
7
mendiskusikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tempat lain dan pada waktu lain, dan juga kasus-kasus lokal, baik dari masa kini, maupun dari masa lampau. Saya kira kasus penembakan demonstran di Uzbekistan oleh tentara Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Ibrahim Karamov akan merupakan suatu kasus yang sangat menarik untuk membahas, betapa besarnya tragedi manusia yang bisa terjadi, apabila suatu pemerintahan atau suatu rezim tidak mengindahkan sama sekali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam HAM.7 Dan Uzbekistan tidak merupakan satu-satunya contoh. Dari Sudan, Nigeria, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan juga dari Thailand, Malaysia, dan Indonesia, juga dapat dicukil kasus-kasus pelanggaran HAM. Pembicaraan komparatif seperti ini saya kira akan memupuk rasa kritis yang sehat terhadap keadaan yang terdapat di Indonesia. Type Intelektualita Mahasiswa. Type intelektualita mahasiswa juga harus diperhitungkan dalam pelaksanaan pendidikan HAM. Mahasiswa dengan kemampuan intelektual yang tinggi biasanya cenderung untuk mendiskusikan sesuatu pada taraf abstrak-filosofis, sedangkan mahasiswa dengan kecenderungan berpikir secara terapan (applied) dan pragmatis akan lebih senang mengikuti pembahasan-pembahasan kasus (case studies) yang bersifat empirik-analitis. Di setiap Perguruan Tinggi selalu terdapat dua jenis mahasiswa ini. Kedua kelompok ini perlu mendapatkan pelayanan yang sama baiknya. Sebabnya ialah karena dalam kehidupan nyata kita selalu membutuhkan dua jenis manusia ini, yaitu kaum theoretici dan kaum practici. Kaum theoretici kita butuhkan untuk mengembangkan pikiran-pikiran baru tentang peningkatan martabat manusia Indonesia di kemudian hari, sedangkan kaum practici kita butuhkan untuk menjaga, agar ketentuan-ketentuan yang sudah ada untuk melindungi manusia Indonesia dari segenap bentuk kesewenangwenangan betul-betul dilaksanakan. Kalau suatu masyarakat tidak memiliki kelompok theoretici maka masyarakat tadi akan mengalami kemandegan (stagnasi) dalam kehidupannya. Dan sedikit demi sedikit tadi masyarakat seperti ini akan menjadi ketinggalan zaman. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki kelompok pratici akan 7
Menurut laporan berbagai media massa, korban yang tewas dalam kerusuhan ini lebih dari 700 orang. Menurut seorang pemimpin opposisi, Nigara Khidoyatova, ketua Partai Petani Bebas, korban seluruhnya berjumlah 745 orang, 542 di antaranya adalah demonstran yang ditembak oleh Tentanra Uzbekistan di kota Andijon, dan 203 orang lainnya ditembak di kota Pakhtaabad. Lihat, antara lain International Herald Tribune, edisi Selasa, 17 Mei, 2005 s.d. edisi Jum’at, 20 Mei, 2005.
.
8
tidak pernah mampu melaksanakan gagasan-gagasan indah yang telah diciptakan para theoretici. Yang akan dimilikinya ialah onggokan dokumen dengan pikiran-pikiran yang cemerlang, yang tidak pernah dapat dilaksanakan. Pada saat ini kita sedang bergerak dari masyarakat yang serba pragmatis menuju ke masyarakat yang lebih idealistik. Untuk ini sangat dibutuhkan kehadiran manusiamanusia Indonesia yang mampu menterjemahkan berbagai gagasan idealistik menjadi kerangka-kerangka teoretik yang dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Pendidikan HAM yang dilaksanakan dengan memperhatikan aspek teoretik dan aspek implementatif akan membantu lahirnya dua jenis manusia ini di kalangan generasi muda.
Prospek Transformasi Bagaimanakah prospek proses transformasi yang sedang kita jalani ini? Apakah kita akan mampu mewujudkan masyarakat yang demokratis, bersih dari korupsi, dan menjunjung tinggi martabat manusia pada waktu yang tepat (timely)? Ataukah kita akan terus larut dalam retorika yang kosong tentang masyarakat yang jujur, adil, dan manusiawi seperti yang diimpikan oleh para founding fathers kita? Saya kira pada saat ini tidak ada manusia Indonesia yang dapat menjawab pertanyaan ini dengan baik. Dalam ke-tidak-tahuan kita ini ada satu hal yang menurut penglihatan saya bersifat penting dan perlu kita perhatikan bersama, yaitu bahwa perlu terjadi perubahan-perubahan menuju perbaikan secara tepat waktu atau perubahan menuju perbaikan yang tidak terlambat. Perlu kita sadari dalam hubungan ini, bahwa dalam masyarakat kita ada perubahan-perubahan yang menuju perbaikan, tetapi ada pula perubahan-perubahan yang menuju ke kondisi yang lebih parah. Ada semacam perpacuan (balapan atau race) antara kedua jenis perubahan ini. Dalam keadaan seperti ini persoalannya ialah perubahan jenis mana yang lebih cepat berpacu? Perubahan menuju perbaikan atau perubahan menuju kondisi yang lebih parah? Kalau rangkaian perubahan menuju perbaikan lebih cepat jalannya daripada rangkaian perubahan menuju kehancuran, maka kita akan selamat. Tetapi kalau sebaliknya yang terjadi, yaitu bahwa proses berlangsungnya perubahan-perubahan menuju kehancuran lebih cepat jalannya daripada proses berlangsungnya perubahan-perubahan menuju perbaikan, maka pada akhirnya apa yang akan kita hadapi ialah suatu negara dan masyarakat yang hancur. Berdasarkan analisis ini maka merupakan suatu keharusan, suatu imperatif politik, bahwa segenap usaha menuju perbaikan kita laksanakan sebaik mungkin, agar
9
perbaikan-perbaikan yang kita harapkan terjadi secara tepat waktu. Kesungguhan dalam melaksanakan setiap usaha memperbaiki keadaan masyarakat dan negara kita ini adalah fungsi tekad moral, fungsi moral commitment. Pendidikan HAM yang berhasil akan menimbulkan dalam diri para mahasiswa moral commitment ini, yaitu tekad yang bulat untuk menghadapi segala situasi dan persoalan yang timbul dengan sikap dasar menjunjung tinggi martabat setiap manusia, menghargai hak-hak asasinya, dan melindunginya setiap kali ada manusia yang hak-hak asasinya diinjak-injak oleh manusia lain atau oleh suatu peraturan.
Pendidikan HAM Sebagai Pendidikan Nilai Dilihat dari sudut ilmu pendidikan, Pendidikan HAM adalah suatu kegiatan pendidikan yang termasuk ke dalam wilayah pendidikan nilai (value education). Dalam wilayah ini terdapat tiga jenis kegiatan pendidikan, yaitu (1) pendidikan nilai estetika; (2) pendidikan nilai synnoetika; da (3) pendidikan nilai etika.8 Secara umum pendidikan nilai bertujuan membimbing peserta didik untuk mengenal (knowing), mamahami (comprehending), menghayati (appreciating), dan melaksanakan
(implementing) nilai-nilai yang dalam kehidupan masyarakat muncul
dalam bentuk norma-norma (patokan perilaku). Ketaatan terhadap nilai atau norma hidup yang lahir dari pendidikan nilai ini harus bersifat sukarela dan pribadi (personal voluntary commimtment to values). Jadi dilihat dari sudut ini, pendidikan HAM hendaknya membimbing mahasiswa untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mentaati nilainilai yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam HAM. Pada umumnya orang awam berpendapat, bahwa apabila kita mengenal atau mengetahui suatu nilai atau norma maka dengan sendirinya kita akan mentaati norma tadi. Mengetahui (gnosis) akan membuat kita mengamalkan apa yang kita ketahui (praxis). Dalam kehidupan sebenarnya, proses yang berlangsung dalam diri setiap orang dari langkah mengetahi suatu norma (gnosis) sampai ke pengamalan norma tadi (praxis) merupakan suatu perjalanan mental yang cukup panjang. Dan antara gnosis dan praxis ini terdapat 4 (empat) titik henti (check points) yang harus dilalui untuk melangsungkan perjalanan mental tadi. Keempat titik henti ialah (1) affectio (penghayatan); (2) volitio (keinginan untuk melaksanakan); (3) conatio (tekad untuk mlaksanakan); dan (4) 8
Pendidikan nilai synnoetika adalah pendidikan yang membimbing peserta didik untuk mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah hubungan antar-pribadi. Nilai-nilai ini mendasari rasa empati yang ada pada diri kita terhadap orang lain.
10
motivum (dorongan untuk melaksanakan). Jadi seluruh proses mengenal sampai ke mengamalkan nilai atau norma dapat digambarkan seperti yang tertera pada Gambar I. Proses mental yang berlangsung dari gnosis ke praxis dalam diri seserorang dapat terhenti atau kandas pada setiap titik henti di atas. Misalnya, mengapa kebanyakan pemilik SIM (Surat Izin Mengemudi) tidak mentaati ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Peraturan tentang lalu-lintas? Karena commitment mereka terhadap norma-norma kandas pada titik gnosis (sekedar tahu) tadi. Para pemilik SIM seperti ini hanya takut kepada polisi, bukan taat kepada norma.
Gnosis
Praxis
= Affectio
Motivum
=
= Volitio
Conatio
⏐⏐
Gambar I Skema Proses Mental yang Terjadi Pada Manusia Untuk Mengenali, Memahami, dan Melaksanakan Nilai atau Norma
Dalam Pendidikan HAM membangun ketaatan sukarela kepada norma ini menjadi soal yang sangat penting, karena tidak ada alat birokrasi yang dapat mengawasi pelanggaran terhadap HAM ini. Yang mengawasi ialah kita sendiri, yaitu masyarakat warga. Di Malaysia baru-baru ini diterbitkan laporan sebuah komisi independen yang menyatakan, bahwa Polisi Malaysia banyak sekali melakukan pelanggaran terhadap HAM. Siapa yang dapat mengawasi polisi, kalau bukan masyarakat sendiri? Komisi ini dibentuk oleh PM Abdullah Badawi kira-kira setahun yang lalu, dan setelah melakukan penelitian lapangan selama satu tahun komisi menyampaikan laporannya kepada PM.9 9
Dalam laporan komisi ini, kepolisan Malaysia adalah suatu lembaga Pemerintah Malaysia yang paling korup, dan secara konsisten terus-menerus melanggar hak-hak asasi manusia. Komisi juga mendesak
11
Malaysia sangat beruntung, bahwa PM Badawi mengizinkan diumumkannya temuantemuan komisi independen tadi. Andai kata laporan ini langsung dimasukkan “lemari es” dengan alasan “demi keamanan negara”, maka tidak akan banyak orang yang tahu, betapa menyedihkan sebenarnya kondisi aparat kepolisian di Malaysia pada saat ini. Untuk mendorong para mahasiswa dari titik yang satu ke titik yang lain dalam meng-internalisasi-kan nilai-nilai yang terdapat dalam HAM dibutuhkan dorongan dan bimbingan yang cukup sistematis. Ini tidak dapat dilakukan lewat ceramah-ceramah saja. Internalisasi nilai-nilai HAM akan lebih mungkin terjadi melalui diskusi-diskusi, analisa kasus, dan exhibisi (“pameran’) tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang bersifat dramatis. Jadi di samping penyusunan kurikulum dan sillabus, yang juga perlu dilakukan ialah inventarisasi metode-metode pendidikan dan alat-alat pembelajaran.
Penutup Demikianlah sekedar sumbangan yang dapat saya sampaikan kepada para hadirin sebagai seseorang yang betul-betul buta huruf tentang substansi HAM. Semoga ada gunanya, dan semoga Tuhan meridhoi usaha kita untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya rasa kemanusiaan dan kemanusiawian bagi lahirnya masyarakat Indonesia yang lebih sesuai dengan harapan kita bersama.
Jakarta, 22 Mei, 2005
dilakukannya penyidikan tentang meninggalnya 80 orang tahanan polisi, yang terjadi antara 2001 – 2004. Lihat International Herald Tribune, edisi 17 Mei, 2005, hlm. 1.
12