“ PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN ” (STUDI ATAS PENAFIRAN HAMKA)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh: Maysaroh 107034001710
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis tersanjung hanya kepada Allah Swt, yang dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “ Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an (Studi atas Penafsiran HAMKA) ” ini, dapat diselesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterebatasan penuli didalam melakukan penelitian ini. Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik moril maupun materil. Maka pada
kesempatan ini, izinkanlah
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada: 1.
Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua
i
Jurusan Tafsir Hadits), dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits). 2.
Bapak Dr. Mafri Amir, MA, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan keikhlasannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.
3.
Dr.Bustamin, Msi yang banyak memberikan masukan, arahan dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Is the best dweh pokok’y.
4.
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
5.
Yang tercinta Ayahanda Sukarna dan Ibunda Romlah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang selalu mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan dimasa depan, semoga penulis selalu ridho kepada mereka dan dapat berbakti kepadanya. Kaka-kaka ku (Rohaeni dan Kartini) dan abang-abang ku (Arya dan Roni) serta keponakan ku yg tersayang Ahmad Nurul Fauzi, yang selalu memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6.
Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, khususnya temanteman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2007/2011, khususnya kelas TH-B: Eva, Nimah azizah, Nimah Diana, Khorunnisa, Risti dan Fitri Th-A yang ii
dengan ikhlas turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman KKN dan juga buat K’Fauzan yang dah minjemin tafsir al-Azhar thanx atas pinjeman’y dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini. 7.
Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabat terbaikku ( Zahro, Ajenk, Nuril dan Ana Fauziah) dan juga baby-baby kecil ku yang imut Rafa dan Zaati yang selalu memberi Support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga persahabatan qta abadi slamanya. Amiiin
8.
Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, belajar bersama saya, tinggal bersama saya, pernah mendengar mendengar suara dan
ocehan
saya,
semua
orang yang mau
menerima
dan
memperkenankan saya untuk mengambil hikmah darinya, dan semua orang yang hidup semasa dengan saya. Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa’ul kepada nabi agar semua orang yang tersebut diatas menjadi orang yang beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman ra’ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra’â man ra’ânî (bifadlih)”. Atas semua kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa;
iii
semoga amal kebaikan kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ, Âmîn…..! Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 21 Juni 2011 Ttd,
Maysaroh Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………..1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8 D. Signifikansi Penelitian .................................................................. 8 E. Tinjauan Kepustakaan .................................................................... 9 D. Metodologi Penelitian ................................................................... 10 G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II
SEKILAS TENTANG HAMKA A. Biografi Hamka ............................................................................... 12 B. Karya Hamka ................................................................................... 15 C. Sekilas tentang Tafsir al-Azhar ....................................................... 17 1. Metode Tafsir ............................................................................ 19 2. Sistematika Penafsiran .............................................................. 22 3. Corak Tafsir ............................................................................ 24
v
BAB III
LANDASAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK A. Pengertian Pendidikan Akhlak ....................................................... 26 B. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ................................................ 31 C. Dasar Pendidikan Akhlak ............................................................... 33 D. Tujuan Pendidikan Akhlak ............................................................. 35
BAB IV
PENAFSIRAN HAMKA TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN A. Inventarisasi Ayat-ayat ................................................................... 38 B. Penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat pendidikan akhlak dalam al-Qur’an ............................................................................... 39 1. Ayat akhlak kepada Allah………………………………………39 2. Ayat akhlak kepada Nabi……………………………………....46 3. Ayat akhlak kepada Orang Tua…………………………………60 4. Ayat akhlak kepada Sesama Manusia…………………………...67
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………..77 B. Saran-saran…………………………………………...……………78
DAFTAR PUSTAKA……..……………………………………………………...80
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an al-karim adalah mukjizat Nabi Muhammad Saw yang kekal dan
mukjizatnya selalu terbukti oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.1 Pengertian al-Qur‟an secara lebih lengkap dan luas adalah seperti yang dikemukakan oleh Abd Wahab Khallaf. Menurut beliau, Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril ke kalbu Rasulullah SAW dengan menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam pengakuannya sebagai Rasulullah dan agar dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah jika membacanya. Al-Qur‟an itu dikompilasikan di antara dua ujung yang dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas yang sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan pergantian.2 Dalam al-Qur‟an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tidak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur‟an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya baik yang tersurat maupun yang
1
Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), Cet. III, h. 1. 2 Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, terj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), Cet. IX, h. 40.
1
2
tersirat tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur‟an dan al-Hadis berlaku secara universal untuk semua waktu, tempat dan tak bisa berubah, karena memang tak ada yang mampu merubahnya. Al-Qur‟an sebagai ajaran suci umat Islam, di dalamnya berisi petunjuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya. Menanggalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya berarti menanti datangnya masa kehancuran. Sebaliknya kembali kepada alQur‟an berarti mendambakan ketenangan lahir dan bathin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an berisi kedamaian. Ketika umat Islam menjauhi alQur‟an atau sekedar menjadikan al-Qur‟an hanya sebagai bacaan keagamaan maka sudah pasti al-Qur‟an akan kehilangan relevansinya terhadap realitasrealitas alam semesta. Kenyataannya orang-orang di luar Islamlah yang giat mengkaji realitas alam semesta sehingga mereka dengan mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa lain, padahal umat Islamlah yang seharusnya memegang semangat al-Qur‟an.3 Islam sebagai agama yang universal meliputi semua aspek kehidupan manusia mempunyai sistem nilai yang mengatur hal-hal yang baik, yang dinamakan dengan akhlak Islami. Sebagai tolok ukur perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, karena Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia akhlaknya. Pendidikan akhlak merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun sebuah rumah tangga
3
IV, h. 21.
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), Cet.
3
yang sakinah. Suatu keluarga yang tidak dibangun dengan tonggak akhlak mulia tidak akan dapat hidup bahagia sekalipun kekayaan materialnya melimpah ruah. Sebaliknya terkadang suatu keluarga yang serba kekurangan dalam masalah ekonominya, dapat bahagia berkat pembinaan akhlak keluarganya. Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anakanak.4 Di dalam al-Qur‟an terdapat perilaku (akhlak) terpuji yang hendaknya di aplikasikan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya. Penyair besar Syauqi pernah menulis: خالَ ُقهُ ْم ذَ َه ُبىْا ْ َفَنْ هُ ُم ْى ذَ َهبَتْ ا ِالقُ مَا بَ ِقيَتْ إ َخ ْ ِاوَمَا اْألَمَمُ األ “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini”5. Syair tersebut menunjukkan bahwa akhlak dapat dijadikan tolok ukur tinggi rendahnya suatu bangsa. Seseorang akan dinilai bukan karena jumlah
44
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II, h. 60. 5 Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), Juz II, h. 2.
4
materinya yang melimpah, ketampanan wajahnya dan bukan pula karena jabatannya yang tinggi. Allah SWT akan menilai hamba-Nya berdasarkan tingkat ketakwaan dan amal (akhlak baik) yang dilakukannya. Seseorang yang memiliki akhlak mulia akan dihormati masyarakat akibatnya setiap orang di sekitarnya merasa tentram dengan keberadaannya dan orang tersebut menjadi mulia di lingkungannya Melihat fenomena yang terjadi seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an tersebut nampaknya akhlak mulia adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh. Hal ini seperti telah penulis kemukakan terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai akhlak yang terdapat dalam al-Qur‟an serta besarnya pengaruh lingkungan. Manusia hanya mengikuti dorongan nafsu dan amarah saja untuk mengejar kedudukan dan harta benda dengan caranya sendiri, sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai hamba Allah SWT. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemerosotan akhlak terjadi akibat adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang teknologi yang tidak diimbangi dengan keimanan dan telah menggiring manusia kepada sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai al-Qur‟an. Namun, hal ini tidak menafikan bahwa manfaat dari kemajuan teknologi itu jauh lebih besar daripada madharatnya. Masalah di atas sudah tentu memerlukan solusi yang diharapkan mampu mengantisipasi perilaku yang mulai dilanda krisis moral itu, tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan manusia kepada terjaminnya moral generasi bangsa yang dapat menjadi tumpuan dan harapan bangsa serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketentraman dan kebahagiaan di
5
masyarakat. Untuk dapat memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan alQur‟an mestilah berpedoman pada Rasulallah SAW karena beliau memiliki sifatsifat terpuji yang harus dicontoh dan menjadi panduan bagi umatnya. Nabi SAW adalah orang yang kuat imannya, berani, sabar dan tabah dalam menerima cobaan. Beliau memiliki akhlak yang mulia, oleh karenanya beliau patut ditiru dan dicontoh dalam segala perbuatannya. Allah SWT memuji akhlak Nabi dan mengabadikannya dalam ayat al-Qur‟an yang berbunyi sebagai berikut:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS alQalam [68]: 4)
Dalam sebuah hadits Nabi SAW, juga dijelaskan sebagai berikut: ِعهْ مُحَ َم ْد به َ ع ْبدُ الْعَزِي ْز بهِ مُحَ َم ْد َ ح َد َثىَا َ َح َد َثىَا سَعِي ْد بهِ مَىصُىرْ قَال َ ح َد َثىِي َأبِي َ ع ْبدُ اهلل َ ح َد َثىَا َ ِإوَمَا: َعهْ َأبِي هُ َريْ َرةَ قَالَ قَالَ رَسُىلَ اهلل صَلَى اهلل عَلَي ِه وَ سَلَم َ ح ْ ِعهْ َأبِي صَال َ ع بهِ حَكِي ْم ْ عهْ القَعْقَا َ ن ْ ال َج ْ ِع ْالق َخ ْ َبُ ِعثْتُ لُِأتَمِ َم صَالِحُ األ “Diriwayatkan dari Abdullah dari Said bin Mansur dari Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin „Ijlan dari Qa‟qa bin Hakim dari Abi Shalih dari Abu Hurairah berkata: Bersabda Rasulallah SAW: .Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR Ahmad).6 Akhlak al-karimah merupakan sarana untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat, dengan akhlak pula seseorang akan diridhai oleh Allah SWT, dicintai oleh keluarga dan manusia pada umumnya. Ketentraman dan kerukunan akan
6
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid II, h. 381
6
diraih manakala setiap individu memiliki akhlak seperti yang dicontohkan Rasulallah SAW. Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa arab sebelum Islam datang maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai akhlak yang terkandung dalam alQur‟an. Selain al-Qur‟an, hadis Nabi dapat dijadikan rujukan mengingat salah satu fungsi hadis adalah menjelaskan kandungan ayat yang terdapat di dalamnya. Penulis melihat, bahwa ayat-ayat pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an memiliki kandungan (makna) tentang pendidikan akhlak yang sangat dalam. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi umat muslim dalam rangka pembelajaran, pembentukan serta pembinaan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menggali, membahas dan mendalami lebih jauh tentang ayat tersebut sebagai judul penulisan skripsi. Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkannya dalam skripsi dengan judul: PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN (Studi atas penafsiran Hamka). Adapun alasan pemilihan judul oleh penulis, berdasarkan kepada:
7
1. Mempelajari dan memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia agar ajaran-ajarannya dapat direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. 2. Menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan hasilnya dijadikan salah satu cara dalam meningkatkan kualitas dan keimanan kepada Allah SWT. 3. Untuk melihat kemukjizatan al-Qur‟an serta keagungannya dilihat dari tuntunan ajarannya. 4. Ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an tersebut adalah masalah yang banyak terjadi dan tetap aktual di dalam masyarakat dan kehidupan bermasyarakat.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengingat luasnya bidang garapan, maka untuk lebih memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam penulisan skripsi ini, perlu adanya pembatasan masalah dalam pembahasannya. Maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini mengenai tentang ayat-ayat pendidikan akhlak 1.Ayat akhlak pada Allah, Rasul, Orang Tua dan Masyarakat 2. Pendapat Hamka tentang pendidikan akhlak yang terkandung dalam alQur‟an Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah
8
Bagaimana penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Penulis ingin menjelaskan kandungan al-Qur‟an tentang pendidikan akhlak. 2. Penulis ingin mengetahui pandangan serta pendapat Hamka mengenai pendidikan akhlak. 3. Penulis ingin menjelaskan aplikasi pendidikan akhlak di dalam Pendidikan Islam. 4. Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk dipersembahkan kepada para pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri.
D. Signifikansi Penelitian 1. Agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan akhlak . 2. Agar masyarakat umum khususnya generasi muda memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan Hadis. 3. Hasil Penelitian ini akan bermanfaat bagi pembaca yang concern dalam menggali nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam alQur‟an.
9
4. Minimal hasil penelitian ini akan merupakan inventarisasi tekait dengan nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an
E. Tinjauan Kepustakaan Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada dua karya yang membahas permasalahan tentang pendidikan akhlak. 1. Skripsi oleh Neneng Damayanti dengan judul “ Komponen-Komponen Pendidikan Dalam Pembinaan Akhlak Karimah”. Fakultas Tarbiyah. UIN Syarief Hidayatullah, tahun 2005, no.3210 PAI t. Skripsi tersebut membahas tentang
pendidikan dan pembinaan
akhlak karimah 2. Skripsi oleh Siti Mukaromah dengan judul “ Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-Isra Ayat 23-24”. Fakultas Tarbiyah. UIN Syarief Hidayatullah, tahun 2007, no 4610 PAI t Skripsi tersebut membahas tentang kandungan dalam surat al-Isra ayat 23-24 tentang nilai-nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua.
10
F.
Metodologi Penelitian 1. Sumber Bahan Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengambil data, dari pendapat para ahli yang diformulasikan dalam buku-buku, istilah ini lazim disebut library research yaitu pengambilan data yang berasal dari bukubuku atau karya ilmiah di bidang tafsir dan pendidikan, yang terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir al-Qur‟an yaitu Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi. 2. Pengolahan Data Pengolahan data yang penulis lakukan adalah dengan cara membandingkan, menghubungkan dan kemudian diselaraskan serta diambil kesimpulan dari data yang terkumpul. 3. Analisa Data Dalam
menganalisa
data
yang
telah
terkumpul
penulis
menggunakan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat alQur‟an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan ma‟na lafazh yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian dikaitkan dengan education approuch.
11
G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut : Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan Bab kedua, pada bagian ini akan dibahas tentang sekilas biografi tentang Hamka (karya, sekilas tentang tafsir al-Azhar, metode penafsiran, sistematika penafsiran dan corak tafsir) Bab ketiga, pada bagian ini akan dibahas tentang pengertian pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak dan metode pembinaan akhlak Bab keempat, akan menjelaskan tentang inventarisasi ayat-ayat, dan penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat tentang pendidikan akhlak Bab kelima, sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut.
BAB II SEKILAS TENTANG HAMKA
A. Biografi Hamka Hamka merupakan kependekan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dia lahir tahun 1908, di desa Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di jakarta 24 juli 1981. Dia adalah seorang putera yang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Dia adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan politikus. Dia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa arab, yaitu berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yaitu merupakan pelopor gerakan pembaharu dalam Islam di Minangkabau, yang waktu itu disebut kaum muda.1 Hamka pernah diasingkan oleh Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwanya yang dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum.2 Pendidikan yang dia terima dimulai di rumah, sekolah, diniyah dan surau. Dalam hal ini hasrat orang tuanya, yaitu Abdul Malik Karim Amrullah berpengaruh dalam proses pendidikannya. Keinginan ayahnya menjadikan Hamka seorang ulama nantinya, bisa dilihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap keinginan belajar ngajinya.3 Kecenderungan keulamaan Hamka yang walau pada waktu kecil malah tidak tampak, sebagai buktinya ia sering merasa tertekan oleh
1
Nasir Tamara, “Hamka di Mata Hati Umat,” (Jakarta: Sinar Harapan, 1983) h. 51 Nasir Tamara, “Hamka di Mata Hati Umat,” (Jakarta: Sinar Harapan, 1983) h. 51 3 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2003), Cet. II, h. 39. Lihat juga, Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Jilid 1, h. 9 2
12
13
cita-cita ayahnya itu,4 tertunjang oleh dasar-dasar ilmu yang didapatkan waktu kecil. Ilmu-ilmu yang dimaksud berupa ilmu alat yaitu gramatika (nahwu) dan morfologi (sarf), fiqih dan tafsir al-Qur‟an. Ilmu-ilmu tersebut diperoleh Hamka ketika dia belajar di Thawalib School.5 Buku tafsir al-Qur‟an yang dipelajari di tingkat pemula di setiap pesantren atau madrasah atau surau ialah Tafsir alJalalain. Demikian juga yang diperoleh Hamka ketika masa-masa awal mempelajari tafsir al-Qur‟an kemudian tambahan untuk tafsir al-Qur‟an diperoleh Hamka ketika dia bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, seorang tokoh yang pernah mondok di salah satu pesantren di Yogyakarta. Pertemuan Hamka dengan guru di bidang tafsirnya yang disebut akhir ini, terjadi pada tahun antara 19241925. Jadi usia Hamka waktu itu 17 tahun sedangkan gurunya berusia 34 tahun, karena Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan pada tanggal 24 November 1890. Oleh karenanya pelajaran tafsir yang diterima Hamka dari Ki Bagus Hadikusumo, bukan dalam tingkatan pemula lagi, tetapi pada tingkatan lanjutan, masuk pada segi-segi materi sebab pelajaran tafsir untuk pemulanya sudah didapatinya ketika dia belajar dikampungnya, dari ayahnya. Dari segi kualifikasi keilmuan dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang dimiliki Hamka tidak banyak didapati data. Apakah dia belajar ilmu-ilmu al-Qur‟an, Ilmu Ma‟any, Ilmu al-Bayan, Ilmu Usul al-Fiqh, Ilmu Musthalahat al-Hadis, dan sebagainya, yang sebagai dipersyaratkan oleh para pakar tafsir al-Qur‟an ? Hanya saja menurut Hamka, pada dasarnya semua ilmu tersebut ala kadarnya telah
4 5
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 39 Hamka, Kenang-kenangan, h.9
14
dimilikinya, sebagaimana diutarakannya di dalam Tafsir al-Azhar Juz 1 pada pendahuluannya.6 Dari segi kecenderungan pribadi Hamka sebagai salah seorang tokoh intelektual Islam di Indonesia, dapat dilihat dari kesan atau pandangan para pemerhati masalah intelektual dan agama, atau aktivitasnya. Salah satu kesan mengenai Hamka ialah bahwa Hamka dari satu sisi telah berhasil dalam mendidik masa depan kecenderungannya, yaitu Tasawuf Modern yang dicetak berulang kali dan tersebar bukan saja di Indonesia tetapi di Semenanjung Melayu, adalah indikasi keberhasilan Hamka dalam mengkomunikasikan ide-idenya di bidang ini. Kemampuan lainnya adalah di bidang sastra. Bidang sastra ini telah menjadi minatnya ketika ia masih kecil, yang kemudian menjadi ciri penting dari pribadinya di masa lanjut usia.7 Pada peta pemikiran Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Deliar Noer, Hamka menempati posisi penting. Pada peta tersebut Hamka berada pada periode masa jajahan yaitu tahun 1900-1945 dan masa merdeka II tahun 19661985. Dalam kaitannya dengan Tafsir al-Azhar maka aktivitas Hamka yang berpengaruh pada tafsirnya, diperkirakan yang berasal dari penghayatan terhadap perjalanan hidupnya. Sejak menerima pelajaran tafsir al-Qur‟an dari Ki Bagus Hadikusumo di Yogyakarta pada tahun antara 1924-1925. Sejak pertemuannya dengan gurunya di Yogyakarta itu, maka tahun-tahun berikutnya Hamka tampil sebagai figure penganjur Islam, baik melalui Muhammadiyah maupun dakwahnya
6
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz 1, h. 3 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), Cet.1, h. 104 7
15
dan tulisan-tulisannya. Untuk bidang yang disebut di akhir ini, kesempatannya terbuka lebar ketika Hamka tiba di Jakarta pada tahun 1949 dengan diterimanya sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Kemudian bidang politik praktis dimasukinya melalui pemilihan umum pada tahun 1955 dan Hamka terpilih sebagai anggota konstituante dari Partai Masyumi. Dalam lembaga ini, Hamka sesuai dengan kebijakan Masyumi, maju dengan usul mendirikan Negara yang berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah.8 Kondisinya yang semakin tua dan kepadatan aktifitasnya memaksa Hamka untuk dirawat dirumah sakit secara serius. Setelah sembuh dari sakitnya Hamka lebih memutuskan untuk mengurangi kegiatannya di luar rumah dan lebih suka menerima masyarakat untuk berkonsultasi mengenai masalah-masalah keagamaan di kediamannya. Hamka meninggal pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di Negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
B. Karya Hamka Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Dibawah Lindungan Ka‟bah dan Merantau ke Deli. Tapi semasa
8
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h.51 Lihat juga Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi, h. 197
16
dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Buku-buku Hamka yang pernah menjadi barang terlarang. Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang bernaung dibawah partai Komunis Indonseia, sekitar tahun 1960an pernah menuduhkan plagiat atas karya Manfaluthi, pengarang dan ulama Mesir. Atas tuduhan ini, kemudian Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) mengadakan penelitian, dan menyimpulkan bahwa karya Hamka bukan plagiat. Menurut penulis, karya-karya Hamka bisa dipetakan secara sederhana menjadi karya fiksi dan nonfiksi. Diantara karya-karya nonfiksi adalah; Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf arab, Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq), 1929. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929), Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929), Kepentingan Melakukan Tabligh (1929), Hikmat Isra‟ dan Mi‟raj, Arkanul Islam (1932) di Makassar, Tasawuf Modern (1939). Sejarah Ummat Islam Jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950, Sejarah Ummat Islam Jilid 2, Sejarah Ummat Islam Jilid 3, Sejarah Ummat Islam Jilid 4, Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1 1937; Cetakan ke 2 tahun 1950, agama dan perempuan, 1939, Muhammadiyah melalui 3 zaman, 1946, di Padang Panjang, 1001 soal Hidup (Kumpulan karangan dari Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). Pelajaran agama Islam, 1956. P[erkembangan Tasawuf dari abad kea bad, 1952 Karya-karyanya yang fiksi adalah : Laila Majnun (1932), di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), di Dalam
17
Lembah Kehidupan (1939), Merantau ke Deli (1940), dan lain-lain. Diantara karya Hamka Tafsir al-Azhar merupakan karya utama dan terbesar Hamka diantara kerya-karyanya yang lain. Tafsir ini mulai ditulis sejak tahun 1958 dengan nama Tafsir al-Azhar.9 Nama ini diberikan oleh syeikh jami‟ah al-Azhar sendiri yang saat itu dijabat oleh Mahmud Syaltut. Pada mulanya, tafsir ini adalah sekumpulan kuliah subuh dari aktifitas Hamka di surat al-Kahfi juz XV.10 Kemudian sejak tahun 1962, kegiatan rutin dalam kuliah subuh di masjid al-Azhar tersebut dimuat secara bersinambung di majalah Gema Islam.11 Pemuatan ini dilakukan dari bulan Januari 1962 sampai Januari 1964, tetapi baru dapat dimuat satu setengah juz saja, dari juz delapan belas sampai juz Sembilan belas.12
C. Sekilas Tentang Tafsir Al-Azhar Hal pertamaa yang kita ketahui dan menarik perhatian kita dari sebuah karya tafsir adalah namanya. Terdapat landasan filosofis atau paling tidak alasan tertentu di balik penematan nama dari sebuah karya tafsir. Sebagaimana kita ketahui nama lebih dari sebagai alat pengenal lebih dari itu nama merupakan identitas yang mempresentasikan isi. Mengenai asal-asul nama dari Tafsir alAzhar. Ada dua alasan yang saling berkaitan mengenai pemakaian nama al-Azhar untuk tafsirnya. Pertama, nama ini diambil dari tempat dimana tafsir ini diperkenalkan dan diajarkan pertama kali. Yaitu di masjid al-Azhar. Sekembalinya dari Mesir dan Negara-negara Arab Hamka mengajar tafsir di
9
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 43 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 41 11 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 43 12 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 50 10
18
masjid Agung Kebayoran Baru yang kemudian berganti nama menjadi Masjid Agung al-Azhar setelah kedatangan Muhammad Syaltut selaku pimpinan al-Azhar dan ulama terkemuka. Kedua, motif lain dibalik pemakaian nama al-Azhar pada tafsirnya adalah sebagai bentuk “balas budi” atas gelar kehormatan yang diberikan Universitas al-Azhar. Gelar ini bisa dikatakan gelar ilmiah tertinggi dari al-Azhar yaitu Ustzadziah Fakhriyah atau sama dengan Doctor Honoris Causa. Lebih istimewanya Hamka merupakan orang pertama di dunia yang mendapatkan gelar itu dari Universitas al-Azhar.13 Secara keseluruhan, motivasi penulisan al-Azhar, menurut penulisnya, Hamka didorong oleh dua hal. Pertama, bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan daerah-daerah yang berbahasa Melayu yang hendak mengetahui isi al-Qur‟an di zaman sekarang padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Kedua, medan dakwah para mubaligh yang memerlukan keterangan agama dengan sumber yang kuat dari al-Qur‟an, sehingga diharapkan tafsir ini bisa menjadi penolong bagi para mubaligh dalam menghadapi bangsa yang mulai cerdas.14 Kemudian dari semangat penulisan al-Azhar, tersirat adanya tujuan yang hendak dicapai oleh Hamka. Pada bagian „Haluan Tafsir‟ juz pertama, dapat ditangkap tujuan penulisannya yaitu untuk membimbing mereka yang hendak mengetahui rahasia-rahasia al-Qur‟an karena haus akan bimbingan agama.15 Siapakah mereka ? Mereka adalah jamaah besar muslimin Indonesia, walau dia
13
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 44 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 4 15 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 40 14
19
mengambil sampel jamaah Masjid al-Azhar dari berbagai kalangan dan profesi.16 Sebagai konsekuensi dari tujuan ini, Hamka dalam haluan atau orientasi penafsirannya berpijak di atas kepentingan pembangunan umat dan kerenanya menghindar dari pertikaian mazhab dan ta‟assub.17 1. Metode Tafsir Merujuk pada pemetaan Islah Gusmian mengenai metode penafsiran. Maka terdapat paling tidak tiga metode yang dipakai para penafsir dalam menyajikan karya tafsirnya. Pertama, klasifikasi metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran, kedua klasifikasi metode berdasarkan cara penyajian, dan ketiga klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan kekhususan tema. Mengenai sumber tafsir terlebih dahulu harus didefinisikan kendati tidak terlalu definitive makna sumber tafsir itu. Sumber tafsir bisa dikatakan sebagai dari mana seorang penafsir mendapatkan idea tau gagasan yang dia tuangkan dalam tafsirnya. Sebagian ulama menyebutkan sumber tafsir itu adalah riwayat (ma‟tsur) dan pemikiran (ra‟yi), dan ulama lainnya menambahkan pengalaman spiritual atau yang dikenal dengan tafsir isyari. Dengan demikian paling tidak ada tiga sumber tafsir, ma‟tsur, ra‟yi dan isyari. Dalam pemetaan al-Farmawi, ketiganya diletakkan berdampingan dengan kategori falsafi, fiqhi, ilmi dan lain sebagainya dalam bingkai corak tafsir. Padahal antara corak dan sumber sangat jauh berbeda terutama dari segi ontologism. Hal inilah yang dikatakan Islah kalau
16 17
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 40-42 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 40-42
20
al-Farmawi tidak memberikan batasan yang tegas antara wilayah metode dan pendekatan tafsir.18 Berdasarkan pemikiran tersebut, kemudian melihat dari isi Tafsir al-Azhar maka Tafsir al-Azhar jelas menggabungkan antara riwayah dan dirayah. Dalam menafsirkan al-Qur‟an Hamka pertama-tama mengutip beberapa pendapat para ulama mengenai maksud kata (etimologis) atau pendapat ulama mengenai permasalahan yang akan dibahas kemudian beliau menjelaskan pemikirannya berdasarkan pemikiran ulama tersebut. Akan tetapi tidak jarang dia mengutip sebuah pendapat yang dia sendiri tidak setuju dengannya, tujuannya sebagai alat pembanding. Seperti ketika menafsirkan surat al-Mustaqim dalam surat alFatihah: “Hanya seorang ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh. Menurut beliau Shiratal Mustaqim ialah jalan pergi naik haji. Memang dapat menunaikan haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsyafan dan kesadaran, sehingga mencapai haji yang Mabrur, sudah sebagian daripada Shiratal Mustaqim juga. Apalah bagi orang semacam Fudhail bin Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu naik haji itu menjadi Shiratal Mustaqim, terutama kalau dikerjakan karena riya‟, mempertontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh”19 Dalam hal memilih sumber referensi Hamka bersifat moderat, tidak fanatik terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu madzhab pemikiran.
18
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermenetika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 115 19 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 80
21
Hamka mengutip dari berbagai kitab bukan saja kitab tafsir melainkan kitab hadis dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya. Bukan saja dari segi pemikiran akan tetapi haluan serta coraknya. Pertama Tafsir al-Manar karya sayid Rasyid Ridho yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsir gurunya Syeikh Muhammad Abduh. Selain itu ada Tafsir alMaraghi, Tafsir al-Qasimi, dan Tafsir Fi Dzilalil Qur‟an karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsir ini Hamka juga mengutip dari berbagai kitab tafsir lainnya. Kedua, klasifikasi metode berdasarkan cara penyajian. Memperhatikan hal ini maka sebenarnya metode penyajian tafsir itu hanya ada dua yaitu apakah si penafsir menafsirkan ayat secara panjang lebar (tahlili) atau dengan cara singkat atau global (ijmali). Metode komparatif dan tematis dalam pemetaan al-Farmawi yang disejajarkan dengan metode tahlili dan ijmali sebenarnya kurang sesuai. Karena metode komparatif penjelasannya bisa mengambil bentuk ringkas ataupun analitis. Karenanya mestinya kedua metode terakhir tidak disejajarkan dengan metode komparatif maupun tematis. Berdasarkan pemetaan ini maka dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Azhar mengambil bentuk tahlili. Bentuk penyajian rinci atau tahlili menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam, dan komprehensif. Terma-terma kunci setiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang
22
ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbab an-nuzul dengan kerangka analisis yang beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis dan yang lain.20 Ketiga, klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan kekhususan tema. Dilihat dari klasifikasi terakhir ini maka seluruh karya tafsir bisa dibagi kedalam dua bagian yaitu tafsir umum dan tafsir tematis. Tafsir umum ialah karya tafsir yang tidak mengambil satu tema sebagai acuan penafsiran, sebaliknya dalam tafsir tematis seorang penafsir berangkat dari sebuah tema untuk memulai penafsiran. Menggunakan sistem penulisan runtut. Berdasarkan pemetaan ini dapat kita katakan bahwa Tafsir al-Azhar masuk dalam kategori tafsir dengan tema umum. 2. Sistematika Penafsiran a. Menuliskan muqaddimah pada setiap awal juz Pada setiap juz baru sebelum beranjak penafsiran Hamka secara konsisten menyajikan muqaddimah. Yang isinya bisa dikatakan merupakan resensi juz yang akan dibahasnya. Di samping itu Hamka juga mencari korelasi (munasabah) antara juz yang sebelumnya dengan juz yang akan dibahasnya. Metode seperti ini rupanya memberi kesan kepada Howard M. Federspiel seorang islamolog sehingga menurutnya metode tersebut menjadi bagian integral dari sebuah generasi ketiga karya tafsir di Indonesia. “Bagian ringkasan merupakan bagian penting dari generasi ketiga. Biasanya ringkasan tersebut ditempatkan sebelum dimulainya teks gabi suatu surat. Ringkasan tersebut menjelaskan tentang tema-tema, hukum-hukum dan poin-poin penting yang terdapat dalam surat tertentu. Ringkasan menyajikan suatu
20
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 152
23
sinopsis dari teks, dan merupakan petunjuk bagi pembaca untuk memahami bagian-bagian yang penting dari surat tersebut.”21 b. Menyajikan beberapa ayat di awal pembahasan secara tematik Kendati Hamka menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur‟an akan tetapi Hamka tidak menafsirkan ayat perayat seperti yang kita lihat dalam beberapa tafsir klasik. Akan tetapi ia membentuk sebuah kelompok ayat yang dianggap memiliki kesesuaian tema, sekaligus memahami kandungannya. Seperti hal ini memang sesuai dengan tujuannya menyusun Tafsir al-Azhar yang diperuntukkannya bagi masyarakat Indonesia agar lebih dekat dengan al-Qur‟an. Metode yang sama digunakan oleh Mahmud Syaltut dalam menuliskan Tafsirnya. Tafsir al-Qur‟an al-Azim. c. Mencantumkan terjemahan dari kelompok ayat Untuk memudahkan pnafsiran, terlebih dahulu Hamka menerjemahkan ayat tersebut kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami d. Menjauhi pengertian kata Dalam penafsirannya, Hamka menjauhkan diri dari berlarut-larut dalam uraian mengenai pengertian kata, selain hal tersebut dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat Indonesia yang notabene banyak yang tidak memahami bahasa Arab, Hamka menilai pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemhan. Kendati demikian bukan berarti Hamka sama sekali tidak pernah menjelaskan pengertian sebuah kata dalam al-Qur‟an. Sesekali jika dirasa sangat perlu maka penafsiran
21
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 141
24
atas sebuah kata akan disajikan dalam tafsirannya. Contoh ketika ia menafsirkan surat at-Taubah ayat 97 mengenai perbedaan antara „Arab dan A‟rab.22 e. Memberikan uraian terperinci Setelah menerjemahkan ayat, Hamka memulai penafsirannya terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman sepanjang masa. 3. Corak Tafsir Menurut Howard M Federspiel, keunggulan tafsir Hamka adalah dalam menyingkap tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer.23 Atas dasar ini pula Tafsir al-Azhar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adab alijtima‟i. dinamakan adabi dengan hipotesa bahwa Hamka adalah seorang pujangga yang menggeluti sastra sehingga setiap karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra, sedangkan ijtima‟i karena dalam tafsirnya Hamka tidak hanya menyajikan potret kehidupan bangsa arab abad ke-6. Akan tetapi lebih dari itu Hamka membawa permasalahan kontemporer kedalam tafsirnya. Penggarapan Tafsir al-Azhar dimulai sejak tahun 1958 yang berbentuk uraian dalam kuliah subuh Hamka bagi jamaah Masjid Agung al-Azhar. Kemudian diangkat dalam majalah Gema Islam sejak tahun 1960. Kemudian penulisan berjalan terus hingga juz XXX diselesaikan pada 11 agustus 1964 di rumah tahanan polisi Mega Mendung. Keseluruhan dari tafsir ini disempurnakan dengan tambahan-tambahan di rumah tinggal Hamka di Kebayoran Baru pada 22 23
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XI, h. 12 Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 142
25
bulan Agustus 1975.24 Penerbitan-penerbitan Tafsir al-Azhar dilakukan oleh penerbit Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud, cetakan pertama untuk juz 1 sampai juz IV, juz XXX dan juz XV sampai dengan juz XXIX oleh Pustaka Islam Surabaya, juz V sampai juz XIV diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta. 25
24
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 137 Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur‟an, Perkenalan dengan Metode Tafsir (Bandung: Pustaka, 1407 H), h. 249 25
BAB III LANDASAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian Pendidikan Akhlak Istilah pendidikan berasal dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran kan, mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.2 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Ibrahim Amini dalam bukunya agar tak salah mendidik mengatakan bahwa, pendidikan adalah memilih tindakan dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang diperlukan dan membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya dan secara perlahan-lahan bergerak maju menuju
1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. III, h. 1. Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), edisi kedua, h. 232. 2
26
27
tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.3 Menurut Athiyah al-Abrasyi seperti dikutip Ramayulis, pendidikan (Islam) ialah adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.4 Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang digunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonformal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya.5 Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa baik sadar dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan menuju terciptanya kehidupan yang lebih baik. Dalam masyarakat Islam sekurangkurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah )
3
(, ta’lim
)
(dan
ta’dib )
(. Istilah tarbiyah
Ibrahim Amini, Agar tak Salah Mendidik, (Jakarta: al-Huda, 2006), Cet. I, h. 5. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam... , h. 3. 5 Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosda Karya, 2004), Cet. IX, h. 11. 4
28
menurut para pendukungnya berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba yarbu ( ) yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba (
) berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba yurabbi ) يربي, (رباyang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara. Kata al-Rabb (
), juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan sesuatu kepada
kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur angsur.6 Firman Allah yang mendukung penggunaan istilah ini adalah:
24. ….dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(Q.S al-Isra: 24) Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan dalam Islam ialah ta’lim. Ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi. Sedangkan kata ta’dib seperti yang ditawarkan al-Attas ialah pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tentang
6
4.
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
29
tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan pengertian ini mencakup pengertian ‘ilm dan ‘amal.7 Selanjutnya definisi akhlak. Kata akhlak, berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat.8 Tabiat atau watak dilahirkan karena hasil perbuatan yang diulangulang sehingga menjadi biasa. Perkataan ahklak sering disebut kesusilaan, sopan santun dalam bahasa Indonesia, moral, ethnic dalam bahasa Inggris, dan ethos,ethios dalam bahasa Yunani. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannyadengan khaliq yang berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan. Adapun definisi akhlak menurut istilah ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Senada dengan hal ini Abd Hamid Yunus mengatakan bahwa akhlak ialah
Sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.9 Menurut Imam Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumuddin, mengatakan akhlak:
7
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam., h. 9. A Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), Cet. III, h. 11. 9 Abd. Hamid Yunus, Da’irah al-Ma’arif, II, (Cairo: Asy’syab, t.t), h. 436. 8
30
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah dengan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan.10 Ibrahim Anis dalam al-Mu’jam al-Wasith, bahwa akhlak adalah: ُاَلخُلُْق
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.11 Selanjutnya Abuddin Nata dalam bukunya pendidikan dalam persfektif hadits mengatakan bahwa ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak. Pertama perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthouhgt). Ketiga, perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan. Keempat, perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, perbuatan dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.12 Dengan demikian dari definisi pendidikan dan akhlak di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara kontinue dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
10
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Darur Riyan, 1987), Jilid. III, h. 58. Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Darul Ma’arif, 1972), h. 202. 12 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam..., h. 274. 11
31
B. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Jika ilmu akhlak atau pendidikan akhlak tersebut diperhatikan dengan seksama akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak juga dapat disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong kepada perbuatan baik atau buruk. Adapun perbuatan manusia yang dimasukkan perbuatan akhlak yaitu: 1. Perbuatan yang timbul dari seseorang yang melakukannya dengan sengaja, dan dia sadar di waktu dia melakukannya. Inilah yang disebut perbuatan perbuatan yang dikehendaki atau perbuatan yang disadari. 2. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari seseorang yang tiada dengan kehendak dan tidak sadar di waktu dia berbuat. Tetapi dapat diikhtiarkan perjuangannya, untuk berbuat atau tidak berbuat di waktu dia sadar. Inilah yang disebut perbuatan-perbuatan samar yang ikhtiari.13 Dalam menempatkan suatu perbuatan bahwa ia lahir dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
13
I,
Rahmat Djatnika, Sitem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka, 1987), Cet.
32
1. Situasi yang memungkinkan adanya pilihan (bukan karena adanya paksaan), adanya kemauan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja. 2. Tahu apa yang dilakukan, yaitu mengenai nilai-nilai baik-buruknya. Suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk manakala memenuhi syaratsyarat di atas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam menetapkan nilai tingkah laku atau tindakan seseorang. Seseorang mungkin tak berdosa karena ia melanggar syari’at, jika ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah menurut ajaran Islam, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriteria apakah baik atau buruk. Dengan demikian ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika perbuatan tersebut dikatakan baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normatif. Selanjutnya jika dikatakan sesuatu itu benar atau salah maka yang demikian itu termasuk masalah hitungan atau fikiran. Melihat keterangan di atas, bahwa ruang lingkup pendidikan akhlak ialah segala
33
perbuatan manusia yang timbul dari orang yang melaksanakan dengan sadar dan disengaja serta ia mengetahui waktu melakukannya akan akibat dari yang diperbuatnya. Demikian pula perbuatan yang tidak dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagajaannya pada waktu sadar.
C. Dasar Pendidikan Akhlak Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan akhlak. Adapun yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadis, dengan kata lain dasar-dasar yang lain senantiasa dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadis. Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah, seperti ayat di bawah ini:
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Mengingat kebenaran al-Qur’an dan al-Hadis adalah mutlak, maka setiap ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis harus dilaksanakan dan apabila bertentangan maka harus ditinggalkan. Dengan demikian berpegang teguh kepada
34
al-Qur’an dan sunnah Nabi akan menjamin seseorang terhindar dari kesesatan. Sebagaimana hadis Rasul yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Dikabarkan dari Abu Bakar bin Ishak al-Fakih diceritakan dari Muhammad bin Isa bin Sakr al-Washiti diceritakan dari Umar dan Dhabi diceritakan dari shalih bin Musa ath-Thalahi dari Abdul Aziz bin Rafi dari putra Shalih dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulallah SAW bersabda: Aku tinggalkan pada kalian dua (pusaka), kamu tidak akan tersesat setelah (berpegang) pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahKu dan tidak akan tertolak oleh haudh. (HR Hakim)14 Sebagaimana telah disebutkan bahwa selain al-Qur’an, yang menjadi sumber pendidikan akhlak adalah hadis. Hadis adalah segala sesuatu yang yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya. Ibn Taimiyah memberikan batasan, bahwa yang dimaksud hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulallah SAW sesudah beliau diangkat menjadi Rasul, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan taqrir. Dengan demikian, maka sesuatu yang disandarkan kepada beliau sebelum beliau menjadi Rasul, bukanlah hadis. Hadis memiliki nilai yang tinggi setelah alQur’an, banyak ayat al-Qur’an yang mengemukakan tentang kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu, mengikuti jejak Rasulallah SAW sangatlah besar pengaruhnya dalam pembentukan pribadi dan watak sebagai
14
h.93
Imam Hakim, Mustadrak alash Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutb ak-Arabi, tt), Juz. I,
35
seorang muslim sejati. Dari ayat serta hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan akhlak mulia yang harus diteladani agar menjadi manusia yang hidup sesuai dengan tuntutan syari’at, yang bertujuan untuk kemashlahatan serta kebahagiaan umat manusia. Sesungguhnya Rasulallah SAW adalah contoh serta teladan bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak yang sangat mulia kepada umatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang paling mulia akhlaknya dan manusia yang paling sempurna adalah yang memiliki akhlak al-karimah. Karena akhlak al-karimah merupakan cerminan dari iman yang sempurna.
D. Tujuan Pendidikan Akhlak Mengenai tujuan pendidikan akhlak: Secara umum ada dua pandangan teoritis
mengenai
keragamannya
tujuan
tersendiri.
pendidikan, Pandangan
masing-masing
teoritis
yang
dengan
pertama
tingkat
beorientasi
kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.15 Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat (social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina dia atas dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, mereka yang berpendapat kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan bisa menyesuaikan diri dalam masyarakatnya
15
Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Islam Seyd Naquib a-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. I, h. 163.
36
masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan target pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan berekonomi. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka, meskipun memiliki persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetapm memiliki keunikan dalam pelbagai segi.16 Terlepas dari dua pandangan di atas maka tujuan sebenarnya dari pendidikan akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai suatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.17Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad Athiyah al-Abrasi, beliau mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orangorang yang bermoral
16
Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam., h. 165. Said Agil Husin al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 15. 17
37
baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab.18 Dengan kata lain maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak; pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. Kedua supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, harus memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. Agar seseorang memiliki budi pekerti yang baik, maka upaya yang dilakukan adalah dengan cara pembiasaan sehari-hari. Dengan upaya seperti ini seseorang akan nampak dalam perilakunya sikap yang mulia dan timbul atas faktor kesadaran, bukan karena adanya paksaan dari pihak manapun. Jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia saat ini, maka akhlak yang baik akan mampu menciptakan bangsa ini memiliki martabat yang tinggi di mata Indonesia sendiri maupun tingkat internasional.
18
Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, terj, Bustami Abdul Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. III, h. 103.
BAB IV PENAFSIRAN HAMKA TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
A. Inventarisasi Ayat-ayat Pendidikan Akhlak Banyak ayat yang menjelaskan tentang pendidikan akhlak, di sini penulis hanya menafsirkan beberapa ayat saja diantaranya: 1. Ayat tentang akhlak kepada Allah, yaitu surat al-A‟raf ayat 143, surat Thahaa ayat 12 dan 84, surat an-Naml ayat 19, surat Huud ayat 45 dan 47, surat al-Kahfi ayat 24. 2. Ayat tentang akhlak kepada Nabi, yaitu surat al-Baqarah ayat 104, surat AnNuur ayat 62 dan 63, surat al-Mujaadilah ayat 12 dan 13, surat al-Hujurat ayat 1-5. 3. Ayat tentang akhlak kepada orang tua, yaitu surat al-Isra ayat 23, surat alAhqaf ayat 17, surat al-Ankabut ayat 8. 4. Ayat tentang akhlak kepada orang lain, yaitu surat al-„Araf ayat 199, surat al-Furqan ayat 63, Surat Luqman ayat 18-19, surat al-Anfal ayat 27, surat Ali-Imran ayat 134, surat al-Hujurat ayat 9-10.
38
39
B. Penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat tentang Pendidikan Akhlak 1. Akhlak terhadap Allah A. Surat al-‘Araf ayat 143
143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu1, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". a. Penafsiran Hamka “Dan
tatkala Musa telah datang di waktu yang telah Kami
tentukan itu, dan telah bercakap Tuhannya kepadanya, berkatalah dia: “Ya Tuhanku! Tunjukkanlah diriMu, aku ingin melihat Engkau” (pangkal ayat 143). Dia telah diberi kemuliaan yang demikian tinggi oleh Allah. Allah telah berkenan bercakap dengan dia demikian tidak
1
Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
40
perantaraan Malaikat lagi, akan menurunkan titah perintah Wahyu kepadanya, yaitu kitab Taurat yang akan jadi pimpinan bagi bangsanya. Tetapi Musa yang seluruh jiwanya yang suci itu telah dipenuhi oleh Al-hubb al-Ilahi. Cinta kepada Allah yang tiada taranya, memohon diberi kemuliaan yang lebih tinggi lagi. Sesudah Allah berkenan mengajaknya bercakap di belakang hijab, Musa meminta melihat rupaNya, supaya tabir dinding itu dihindarkan saja. Allah hanya memperlihatkan zatnya saja. Musa diperintahkan untuk Melihat ke atas puncak gunung itu, yaitu pertalian gunung Thursinna. Jika kelak engkau lihat gunung itu tetap pada tempatnya, di waktu itu engkau akan melihat Daku. “Maka tatkala Tuhannya telah menunjukkan diri pada gunung itu, maka menjadi hancurlah dia, dan tersungkurlah Musa, pingsan” “(Syahdan) setelah dia sadar, berkatalah dia: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau, dan aku adalah orang yang pertama sekali beriman” (ujung ayat 143). Musa yakin Allah ada. Dia telah menjadi ilmul yaqin, dan dia tidak ada keraguan lagi. b. Analisa Surat al-„Araf ayat 143 ini menjelaskan tentang Nabi Musa yang ingin berjumpa dengan Allah, karena beliau rindu ingin berjumpa dengan Allah. Tetapi Allah tidak menunjukkan dirinya hanya zatnya saja dan Nabi Musa pun tidak sanggup melihat zat Allah tersebut.
41
B. Surat Thahaa ayat 12 dan 84
12. Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. 84. Berkata, Musa: "Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" a. Penafsiran Hamka Musa diperintahkan menanggalkan terompah, sesampai di lereng bukit itu. Setengah tafsir mengatakan kerena pada terompah yang dipakainya itu terdapat najis atau kotoran. Sebab itu disuruh membuka. Tetapi Sa‟id bin Jubair menafsirkan, bahwasanya menanggalkan terompah karena akan menginjak bumi yang dimuliakan itu adalah menambah rasa hormat dan merendahkan diri. Sekesan dalam bagaimana masuk Ka‟bah pun orang seharusnya jangan beralas kaki. Dalam ayat ini pun tersimpuhlah suatu teladan dari seorang Nabi, bagaimana dia menyediakan diri, bergegas, terburu-buru, tiada perduli kesukaran yang akan merintang di tengah jalan, bagaimanapun tingginya bukit, akan senantiasa didakinya, karena ingin menemui wajah Tuhan, karena ingin akan beroleh ridha-Nya.2 b. Analisa Surat Thaha ayat 12 dan 84 ini menjelaskan tentang Nabi Musa yang diperintahkan untuk menanggalkan terompahnya karena akan
2
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h. 62-65
42
menginjak bumi yang dimuliakan, untuk menambah rasa hormat dan merendahkan diri. Dalam ayat ini pun tersimpuhlah suatu teladan dari seorang Nabi, bagaimana dia menyediakan diri, bergegas, terburu-buru, tiada perduli kesukaran yang akan merintang di tengah jalan, bagaimanapun tingginya bukit, akan senantiasa didakinya, karena ingin menemui wajah Tuhan, karena ingin akan beroleh ridha-Nya. C. Surat an-Naml ayat 19
19. Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) Perkataan semut itu. dan Dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". a. Penafsiran Hamka “Maka tertawalah dia tergelak-gelak dari sebab mendengarkan perkataan semut itu” (pangkal ayat 19). Tersenyum dan tertawalah baginda Nabi Sulaiman mendengar perkataan semut itu kepada kawan sejenisnya. Mungkin beliau tertawa memikirkan bahwa binatang atau serangga kecil itu bersiap-siap hendak menangkis bahaya yang akan menimpa, padahal tidaklah mereka akan dapat mengelak kalau manusia berniat hendak menghancurkan.Yang beliau sangat syukuri di waktu itu ialah karena ilmu yang dianugerahkan Tuhan kepadanya dapat dia
43
mengetahui perkataan semut. Atau dapat dia mengetahui perikehidupan semut. “Dan masukkanlah kiranya akan daku, dengan Rahmat Engkau ke dalam golongan hamba-hamba Engkau yang shalih” (ujung ayat 19). Dengan itulah Nabi Sulaiman menyatakan syukur kepada Allah atas nikmat berlipat ganda yang dia terima. Sedang Tuhan akan sangatlah gembira bilamana hambaNya mensyukuri nikmat yang telah dia berikan, dan bila nikmat yang telah diberikan itu disyukuri, Tuhan pun berjanji akan melipat gandakannya lagi.3 b. Analisa Surat An-Naml ayat 19 ini menjelaskan tentang Nabi Sulaiman yang mensyukuri atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sehingga ia bisa memahami dan mengerti tentang kehidupan semut atau binatang. Dari kisah Nabi Sulaiman tersebut terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat diambil, bahwa semut dapat berdoa dan beribadah dengan sangat khusyu. D.
Surat Huud ayat 45 dan 47
3
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas) cet.2 h.197-198
44
45. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadiladilnya." 47. Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaKu, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaKu, niscaya aku akan Termasuk orang-orang yang merugi." a. Penafsiran Hamka Dengan ayat ini Nabi Nuh meminta penjelasan dari Tuhan sendiri, untuk menghilangkan musykil hatinya. Nyata Nuh bersedih hati karena anak kandungnya hilang ke dasar laut. Tetapi kepercayaan Nuh akan kebijaksanaan Tuhan tidak sedikit pun goncang dan kurang lantaran itu. Sebab itulah ia bertanya. Nabi Allah Nuh menyerukan amalan yang shalih, sebagai hasil dari akidah yang benar, yaitu akidah Tauhid. Tetapi puteranya sendiri tidak menuruti garis yang digariskan ayahnya itu. Dengan demikian tentu hubungan batin telah putus, meskipun hubungan darah masih ada. Seorang Nabi janganlah termasuk golongan orang bodoh. Hanya orang bodoh yang lebih mementingkan kekeluargaan, walaupun keluarga itu tidak mau menerima iman. Orang yang mempunyai tujuan hidup untuk menegakkan jalan Allah tidaklah demikian halnya. Tetapi dapatlah pertanyaan Nuh dan seruannya kepada Tuhan itu patutlah kita fahami dalam
keadaan
beliau
sebagai
manusia.
Betapa
pun
keras
mempertahankan pendirian, namun hati seorang manusia akan tergetar
45
juga melihat anak kandung harus tenggelam ke dalam gulungan ombak besar, walaupun anak itu tidak beramal yang shalih. Begitulah sikap permohonan seorang Rasul kepada Tuhannya. Dalam kekhilafan yang sedikit pun, mereka tetap memohon ampun. Karena betapa pun kebajikan yang diperbuat, belum jugalah sepadan rasanya dengan nikmat yang dilimpahkan Tuhan. Sebab itulah maka orang yang shalih dan berbuat baik terus-menerus, terus-menerus pula mereka memohon ampun.4 b. Analisa Surat Huud ayat 45 dan 47 ini menjelaskan tentang anak Nabi Nuh yang bernama Kana‟an yang tidak patuh terhadap ajaran Nabi Nuh, dan anak Nabi Nuh pun tenggelam karena tidak menuruti perintah Nuh. Tetapi Nabi Nuh tetap taat kepada Allah walaupun anak kesayangannya tenggelam bersama orang-orang kafir. E. Surat al-Kahfi ayat 24
24. Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"5. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku
4
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h. 62-65 Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian. 5
46
akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". a. Penafsiran Hamka Dengan ayat ini dan beberapa ayat yang lain kita mendapat pelajaran bahwa kekhilafan atau kealpaan yang tidak disengaja terjadi juga pada diri Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Sebab itu maka ulama-ulama ahli sunnah sependapat bahwa kealpaan yang terkecil itu tiada mustahil bagi seorang Nabi. Yang mustahil ialah jika seorang Nabi atau Rasul berbuat dosa besar! Namun demikan kealpaan yang kecil itu pun ditegur dengan halus oleh Tuhan. Kealpaan mengucapkan insya Allah saja buat peneguh janji sudah ditegur. Namun bagi Rasul-rasul dan Nabi kealpaan kecil itu sangat besar artinya.6 b. Analisa Surat al-Kahfi ayat 24 ini menjelaskan tentang kekhilafan atau kealpaan seorang Nabi dalam melakukan sesuatu. Jika ingin berjanji atau merencanakan sesuatu hendaklah ucapkan Insya Allah. 2. Akhlak terhadap Nabi A. Surat an-Nuur ayat 62 dan 63
6
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.
47
62. Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsurangsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. a. Asbab An-Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika orang-orang Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan menuju ke Madinah dalam peperangan Ahzab, mereka bermarkas di dataran rendah pinggiran kota Madinah, sedang pasukan dari Ghathafan bermarkas di Na‟ma, disamping gunung Uhud. Berita ini sampai kepada Rasulullah saw beliau memerintahkan membuat khandaq (parit) sekeliling Madinah, bahkan beliau sendiri menyingsingkan lengan bajunya bekerja bersama kaum muslim. Akan
48
tetapi kaum munafik memperlambat pekerjaan tersebut dengan memilih pekerjaan
yang
enteng-enteng.
Mereka
sering
meninggalkan
pekerjaannya dengan diam-diam tanpa sepengetahuan dan izin Rasulullah saw, untuk menengok keluarganya. Sedang kaum Muslimin apabila terpaksa harus meninggalkan pekerjaan itu karena keperluan yang tidak ditangguhkan lagi, mereka berterus-terang meminta izin kepada Rasulullah saw, dan beliau pun mengizinkannya. Apabila telah selesai kepentingannya, mereka segera kembali melanjutkan tugasnya tadi. Berkenaan dengan peristiwa ini, turunlah ayat tersebut (Q.S 24 annuur: 62) yang menegaskan perbedaan antara kaum Mukminin dan kaum Munafikin.7 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada waktu itu, apabila orang-orang mamanggil Rasulullah, mereka suka mengucapkan: “Ya Muhammad! Ya Abal Qasim!” maka turunlah ayat ini (Q.S an-Nuur: 63) yang melarang kaum Muslimin memanggil nama pada Nabi Muhammad saw. Setelah ayat ini, kaum Muslimin pun memanggil Nabi dengan panggilan, Ya nabiyyallah, ya rasulullah.8 b. Penafsiran Hamka Diterangkan bahwasanya tanda iman kepada Allah dan Rasul, ialah jika kaum muslimin bersama Rasulullah sedang berkumpul menghadapi suatu urusan besar ataupun kecil, sekali-kali tidak seorang juga boleh
7
Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h.389-390 8 Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h.390-391
49
meninggalkan majlis sebelum memohon izin kepada beliau. Orang yang memohonkan izin kepada beliau, dan baru pergi setelah beroleh izin, dalam ayat ini ditegaskan, itulah orang yang sebenarnya beriman, kepada Allah dan Rasul. Kemudian datanglah ayat 63, menerangkan bahwa menyeru nama Rasul tidaklah serupa dengan menyerukan nama diantara kita sama kita. Sedangkan Tuhan Allah sendiri belum pernah menyebut namanya “Ya Muhammad”, hanya dengan memanggil pangkat tugasnya: “Ya Nabiyu”, Wahai Nabi. “Ya Ayyuhar Rasulu”, Wahai Utusan Tuhan. Atau kata sindiran “Wahai yang berselimut” (Ya Ayyuhal Muzammil). Atau “Ya Ayyuhal Muddatsir” (Wahai orang yang berselubung). Salah seorang pelopor Tafsir Modern Sayyid Rasyid Ridho kurang senang atas kebiasaan penafsir-penafsir lama yang selalu menafsirkan ayat-ayat yang dimulai dengan Qul, ditafsirkan “Katakan olehmu hai Muhammad” karena Tuhan tidak berkata begitu. Dalam rangka ini timbullah “khilafiyyah” dikalangan ulama tentang shalawat terhadap Nabi. Seketika seorang bertanya kepada Rasulullah saw, bagaimanakah mestinya kami mengucapkan shalawat kepada Engkau ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Ucapkanlah Allahumma Shalli „ala Muhammadin wa „ala ali Muhammad” (tidak memakai sayyidina). Setengah ulama berfaham bahwa tidaklah akan mungkin Nabi menyuruhkan orang ber “sayyidina” kepada dirinya. Oleh sebab itu tidaklah akan terhitung bid‟ah
50
jika menambahkan sayyidina, dari sebab ijtihad kita bersandar kepada ayat-ayat yang memerintahkan menghormatinya.9 c. Analisa Surat An-Nuur ayat 62 dan 63 ini menjelaskan tentang orang munafik yang meremehkan Rasulullah, dan juga kebiasaan orang-orang munafik yang memanggil Rasulullah dengan panggilan Ya Muhammad bukan dengan Ya Rasulullah. Allah saja memanggil nabi dengan sebutan Ya Nabiyullah. B. Surat al-Mujaadilah ayat 12 dan 13
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
9
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.233-239
51
a. Penafsiran Hamka Barang siapa yang ingin hendak berurusan istimewa dengan Rasul, hendak meminta pertemuan berdua saja, mestilah terlebih dahulu mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin. “ Demikian itulah yang baik bagi kamu dan lebih bersih”. Sebabnya ialah dengan adanya pembayaran sedekah kepada fakir miskin terlebih dahulu sebelum berjumpa dengan beliau, maka menemui beliau itu tidak dipermudah-mudahkan lagi. “Tetapi jika tidak kamu dapati”. Karena kamu miskin, tidak ada harta yang akan diberikan kepada fakir miskin itu sebab kamu sendiri pun terhitung orang miskin: “Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang” Ujung ayat ini adalah keringanan yang diberikan bagi yang sama sekali tidak mampu. Mereka dikecualikan. Menurut hadis lagi, bahwa Nabi
saw
pernah
memanggil
Ali
bin
Abi
Thalib
meminta
pertimbangannya berapa patutnya seseorang mengeluarkan sedekah untuk fakir miskin itu jika hendak berjumpa khusus dengan Nabi. Sabda Beliau: “Bagaimana pendapatmu klau sedekah itusatu dinar?” Ali menjawab: “Mereka tidak kuat!” Beliau bertanya lagi: “Berapa patutnya?” Ali menjawab: “Sebesar buah biji gandum!‟‟Yaitu (emas). Lalu kata Beliau: “Sungguh Engkau terlalu penghiba”10 Pangkal ayat 13 apakah kamu takut mendahulukan sedekah sebelum pertemuan dengan Nabi itu? “Maka jika tidak kamu kerjakan,
10
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.31-32
52
dan Allah pun memberi taubat kepada kamu, maka dirikanlah sembahyang dan keluarkanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya”. Dengan tambahan sabda Tuhan yang demikian dijelaskan lagi bahwa memberikan sdekah kepada fakir miskin sebelum menemui Rasul bersendirian tidaklah termasuk sedekah wajib, melainkan anjuran saja. Tidak kamu bayar pun tidak apa! Asal kamu tetap mengerjakan sembahyang, terutama sembahyang berjamaah lima waktu itu kamu akan dapat beramai-ramai selalu menemui Nabi dan mengerumuni beliau. Dan dengan membayar zakat keluarlah harta benda yang kaya untuk yang miskin dan itulah sedekah yang wajib. Tiang utama dalam ibadah itu ialah taat kepada Allah dan Rasul, sebab itu maka ujung ayat berbunyi: “Dan Allah Maha Tahu dengan apa yang kemu kerjakan”.11 b. Analisa Surat al-Mujadallah ayat 12 dan 13 ini menjelaskan tentang seorang sahabat yang ingin bertemu hanya berdua dengan Nabi untuk menanyakan urusan mereka dan terkadang urusannya itu hanya hal sepele. Karena kejadian ini akhirnya para sahabat membuat peraturan bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Nabi harus membayar sedekah terlebih dahulu.
11
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.32-33
53
C.
Surat al-Hujurat ayat 1-5
1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya12 dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu13, sedangkan kamu tidak menyadari. 3. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. 4. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. 5. dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
12
Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. 13 Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau bicara keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi. karena itu terlarang melakukannya dan menyebabkan hapusnya amal perbuatan.
54
a. Asbab An-Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kafilah Bani Tamim datang kepada Rasulullah saw. pada waktu itu Abu Bakr berbeda pendapat dengan „Umar tentang siapa yang seharusnya mengurus kafilah itu. Abu Bakr menghendaki agar al-qa‟a bin Ma‟bad yang mengurusnya, sedang „Umar menghendaki al-aqra‟ bin Habis. Abu bakr menegur „Umar: “Engkau hanya ingin selalu berbeda pendapat denganku”, dan „Umar pun membantahnya. Perbedaan pendapat ini berlangsung hingga suara kedua terdengar keras. Maka turunlah ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat: 1-5) sebagai petunjuk agar meminta ketetapan Allah dan Rasul-Nya, dan jangan mendahului ketetapan-Nya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang-orang menyembelih qurban sebelum waktu yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. maka Rasulullah memerintahkan berkurban sekali lagi. Ayat ini (Q.S 49 alHujurat: 1) turun sebagai larangan kepada kaum Mukminin untuk mendahului ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang-orang mendahului shaum sebelum masuk bulan Ramadhan yang ditetapkan oleh Nabi saw. Ayat ini (Q.S al-Hujurat:1) turun sebagai teguran kepada mereka Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa pada waktu itu ada orangorang yang menghendaki turunnya ayat tentang sesuatu. Maka turunlah ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat:1) yang melarang mendahului ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
55
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang berbicara keras dan nyaring ketika berbicara dengan Nabi saw. maka turunlah ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat:2) sebagai larangan atas perbuatan seperti itu. Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika turun ayat,…la tarfa u ashwatakum fauqa shautin nabiy…(..janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi…) (Q.S 49 al-Hujurat:2), terhempaslah Tsabit bin Qais di jalan sambil menangis. Ketika itu lewatlah „Ashim bin „Adi bin al-„Ajlan seraya bertanya: “Mengapa engkau menangis ?” Ia menjawab: “Aku takut ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat:2) turun berkenaan dengan diriku, karena aku ini orang yang bersuara keras.” Hal ini diajukan oleh „Ashim kepada Rasulullah saw, kemudian Tsabit pun dipanggil. Rasul berkata: “Apakah engkau tidak ridha jika engkau hidup terpuji, mati syahid, dan masuk surga?” Tsabit menjawab: “Aku ridha dan aku tidak akan mengeraskan suaraku selama-lamanya di hadapan Rasulullah saw”. maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S 49 al-Hujurat:3) yang melukiskan janji Allah kepada orang-orang yang taat kepada ketetapan-Nya. Dalam suatu riwayat dikemukakan, apabila orang-orang arab berkujung ke rumah Rasulullah saw, mereka suka berteriak memanggil beliau dari luar dengan ucapan: “ Hai Muhammad! Hai Muhammad!” Maka Allah menurunkan ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat: 4-5) yang melukiskan perbuatan seperti itu bukan akhlak islam.
56
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw sambil berteriak memanggil beliau dari luar: “ Hai Muhammad! Pujianku sangat baik, tapi cacianku juga sangat tajam.” Rasulullah bersabda: “Celakalah engkau, yang bersifat demikian iyu adalah Allah.” Ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat:4) turun sebagai larangan kepada orang-orang yang suka berteriak-teriak dari luar rumah. Dalam riwayat lain dikemukakn bahwa al-Aqra‟ bin Habis memanggilmanggil Rasulullah saw dari luar rumah, akan tetapi beliau tidak menjawabnya. Ia pun berteriak: “Hai Muhammad! Sesungguhnya pujianku baik, dan cacianku sangat tajam.” Bersabdalah Rasulullah: “yang bersifat demikian itu adalah Allah.” Ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat: 4-5) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Aqra‟ datang kepada Nabi saw dan berteriak-teriak dari luar rumah: “Hai Muhammad, keluarlah!” ayat ini (Q. S 49 al-Hujurat:4-5) turun sebagai teguran berkenaan dengan kekurang sopanan dalam bertamu.14 b. Penafsiran Hamka “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya”. (pangkal ayat 1). Artinya ialah bahwasanya orang yang telah mengaku bahwa dirinya beriman kepada Allah dan Rasul, tidaklah ia akan mendahului Allah dan Rasul.
14
Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h.509-512
57
“Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (ujung ayat 1). Inilah ujung ayat, yaitu sesudah di pangkal ayat diberi peringatan kembali supaya takwa kepada Allah, artinya supaya menjaga perhubungan yang baik dengan Allah. Karena orang yang beriman lagi bertakwa sangatlah berhati-hati di dalam segala gerak langkahnya. Tidaklah mereka itu terburu-buru atau kesusu memutuskan suatu hukum. Seumpama imam-imam yang besar, sebagai Imam Malik, atau Syafi‟i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Abu Hanifah, tidaklah beliau-beliau segera saja mengambil keputusan sesuatu haram, melainkan kalau dia merasa sesuatu perbuatan menurut pertimbangan ijtihadnya tidak baik, cukuplah beliau berkata saja: “Ukrihu hadzaa” artinya: “Saya benci atau saya kurang senang perbuatan demikian”. Maka orang yang merenungkan fatwa beliau-beliau itu dapatlah mengmbil kesimpulan bahwa bagi beliau hal itu berat kepada haram. Sebabnya ialah karena masalah ijtihadiyah yang menghendaki kepada renungan fikiran, kesimpulannya tidaklah qath‟i atau pasti, melainkan lebih berat kepada zhanni, sehingga dilain waktu dapat ditinjau kembali. Dan apabila mereka telah bertemu dengan nash yang sharih, atau alasan yang jelas nyata, ijtihad terhenti dengan sendirinya dan mereka berlomba menganjurkan berbuat menurut yang dianjurkan. “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu mengatasi suara Nabi, dan janganlah kamu berkeras kepadanya dengan kata-kata, sebagaimana berkerasnya setengah kamu dengan yang
58
setengah” (pangkal ayat 2). Ini pun sopan santun yang kedua jika sedang berhadapan dengan Nabi. Baik seketika berbicara sesama sendiri, di dekat Rasulullah, apa lagi berbicara dengan Rasulullah saw sendiri, janganlah bersuara yang keras, karena bersuara yang keras itu pun adalah sikap yang tidak hormat juga terhadap kepada diri beliau sendiri. “Bahwa menjadi hapus amalan kamu, sedang kmu tidklah menyadari” (ujung ayat 2). Mengingat itu maka Qais tidak berani keluar dari rumahnya. Pada satu waktu Rasulullah menanyakan kepada anak perempuan Qais mengapa ayahnya tidk kelihatan, lalu anak perempuan itu menjawab bahwa ayahnya takut bertemu dengan Rasulullah, sebab suaranya lantang keras, sehingga dapat melebihi suara Rasulullah, lantaran itu ia berdosa, amalannya menjadi hapus percuma dengan tidak disadari. Maka dengan senyum Rasulullah mengatakan bahwa ayahnya Qais bin Syammas itu akan masuk syurga, dia tidak bersalah dalam suara yang keras itu. Mendengar jawab Rasulullah yang demikian, barulah Qais muncul kehadapan umum, namun sejak itu dia berusaha sangat melembutkan suaranya jika berhadapan dengan Rasulullah sebagaimana juga Sayidina Umar bin al-Khathab sejak masa itu pula bercakap dengan lunak lembutnya jika berhadapan dengan Nabi. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, itulah orang-orang yang diuji Allah hati mereka untuk bertakwa” (pangkal ayat 3). Perkataan ini amat penting diperhatikan. Karena ada setengah manusia yang sangat bernafsu buat turut berbicara,
59
baik di zaman Nabi ataupun sampai sekarang. Ada orang yang belum selesai Nabi berbicara, dia sudah bernafsu untuk berbicara, untuk menyambut. Sampai kepada zaman kita sekarang ini pun demikian pula. Misalnya sehabis pembicara memberikan ceramah diberi kesempatan bertanya. Ada orang yang sangat mendesak supaya dia terlebih dahulu diberi kesempatan berbicara, lebih dipentingkan dari yang lain. Padahal yang akan ditanyakannya itu tidaklah begitu penting. “Bagi mereka adalah ampunan dan pahala yang besar” (ujung ayat 3). Yaitu bagi orang yang dapat membatasi diri sehingga sikapnya yang tadinya terburu atau terlanjur hendak bertanya, setelah dibawa berfikir tenang, tidak jadi dia bertanya. Bagi mereka disediakan Tuhan ampunan dan pahala yang besar. “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggil engkau dari belakang bilik-bilik kebanyakan mereka itu tidklah mempergunakan akalnya” (ayat 4). Sebagaiman dimaklumi seketika mulai perjuangan dan perkembangan Islam memang ada pengikut Rasulullah itu dari berbagai golongan, ada orang kota dan ada orang dusun atau Badwi. “Dan kalaulah merka itu bersabar, sehingga engkau keluar kepada mereka, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi mereka” (pangkal ayat 5). Di dalam surat an-Nur yang diturunkan di Madinah juga sudah dinyatakan bahwasanya sebelum subuh, setelah menanggalkan kain di waktu zuhur dan sesudah sembahyang isya‟, adalah waktu istirahat, waktu yang tidak boleh diganggu, sesudah itu barulah boleh berhubungan dengan
60
beliau, atau lebih baik lagi sabar menunggu. “Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang” (ujung ayat 5).15 c. Analisa Surat al-Hujurat ayat 1-5 ini menjelaskan tentang sopan santun terhadap nabi diantaranya adalah, berbicara yang lemah lembut ketika berhadapan dengan Nabi, tidak tergesa-gesa ketika ingin bertemu dengan Nabi dan bersikap sabar jika ingin bertemu dengan Nabi. 3. Akhlak terhadap orang tua A. Surat al-Isra ayat 23
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia16 c. Penafsiran Hamka “Dan telah menentukan Tuhanmu, bahwa jangan engkau sembah, kecuali Dia” (pangkal ayat 23) bahwasanya Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah dan memutuskan bahwasanya Dialah yang mesti disembah, dipuji dan dipuja. Dan tidak boleh, dilarang keras
15
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.183-189 Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu. 16
61
menyembah yang selain Dia. Oleh sebab itu maka cara beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadat kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus RasulrasulNya. Menyembah, beribadat dan memuji kepada Allah Yang Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Lanjutan ayat ialah: “Dan hendaklah kepada kedua ibu-bapak, engkau berbuat baik”. Dalam lanjutan ayat ini terang sekali bahwasanya berkhidmat kepada ibu-bapak menghormati kedua orang tua yang telah menjadi sebab bagi kita dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban yang kedua sesudah beribadah kepada Allah. “Jika kiranya salah seorang mereka, atau keduanya telah tua dalam pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata uff kepada keduanya”. Artinya, jika usia keduanya, atau salah seorang diantara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meningkat tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup sendiri, sudah sangat bergantung kepada belas-kasihan puteranya, hendaklah sabar berlapang hati memelihara orang tua itu. Bertambah tua, kadang-kadang bertambah dia seperti anak-anak dia minta dibujuk, dia minta belas kasihan anaknya. Mungkin ada bawaan orang yang telah tua itu yang membosankan anak, maka janganlah terlanjur dari mulutmu satu kalimat pun yang mengandung rasa bosan atau jengkel memelihara orang tuamu.
62
Lanjutan ayat: “Dan janganlah dibentak mereka, dan katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia” (ujung ayat 23). Sesudah dilarang mendecaskan mulut, mengeluh mengerutkan kening, walaupun suara tidaak kedengaran, dijelaskan lagi, jangan keduanya dibentak, jangan keduanya dihardik, dibelalaki mata. Di sinilah berlaku perumpamaan qiyas aulawy yang dipakai oleh ahli-ahli Ushul Fiqh, yakni: Sedangkan mengeluh Uffin yang tak kedengaran saja, lagi tak boleh, apalagi membentak-bentak, menghardik-hardik.17 d. Analisa Surat al-Isra ayat 23 ini menjelaskan tentang menghormati orang tua, menyayangi dan membahagiakan keduanya. Dan hendaklah katakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang pantas, perkataan yang mulia, perkataan yang beradab dan bersopan santun. B. Surat al-Ahqaaf ayat 17
17. Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka".
17
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.38-41
63
a. Asbab an-Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini ( Q.S 46 al-ahqaf : 17) turun berkenaan dengan „Abdurahman bin abi Bakr ash-Shiddiq yang mengucapkan „cis‟ kepada ibu bapaknya yang telah masuk islam. Ucapan ini ia kemukakan ketika ibu-bapaknya menyuruhnya masuk islam. Ia membantah dan mendustakannya, dengan mengatakan bahwa tokoh-tokoh utama kaum Quraisy yang sudah mati pun tidak ada yang mau masuk Islam. Lama setelah kejadian ini, Abdurrahman pun tergolong tokoh islam. Maka turunlah ayat berikutnya (Q.S 46 al-ahqaf: 19) yang menegaskan bahwa taubatnya diterima oleh Allah swt. Dalam
riwayat
lain
dikemukakan
bahwa
Marwan
berkata:
“ Abdurrahman bin Abi Bakr inilah yang telah menyebut „cis‟ yang disebut dalam ayat ini (Q.S al-ahqaf: 17)”. Berkatalah „Aisyah dari belakang hijab: “Allah tidak menurunkan al-Qur‟an sedikit pun berkenaan dengan kami, kecuali tentang peristiwa-peristiwa yang menyangkut uzurku.” Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa „Aisyah menolak keterangan yang menyatakan bahwa ayat ini (Q.S 46 al-ahqaf: 17) turun berkenaan dengan „ Abdurrahman bin Abi Bakr, dengan berkata: “ayat ini turun berkenaan dengan si fulan”, seraya menyebut nama orang itu.18
18
Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h. 495-496
64
b. Penafsiran Hamka “Dan ada yang berkata kepada kedua orang ibu-bapaknya: “Akh, kamu keduanya!” (pangkal ayat 17). Dalam kata-kata demikian ternyata si anak menghinakan kepada kedua orang ibu-bapaknya. Biasa juga dikatakan orang dalam susunan bahasa yang lain: “Cis bagi kamu keduanya!” kita artikan “Akh” atau diartikan “Cis” sebagai arti dari bahasa arab: “Uffin!” yaitu kata mengejek, memandang rendah dan menghina kepada orang tua yang didalam ayat al-Qur‟an sendiri, dengan sabdaNya:
23 “Dan janganlah berkata kepada keduanya: Cis!” atau janganlah berkata kepada
keduanya:
“Akh”,
menunjukkan
bosan,
merendahkan,
memandang ayah-bunda di bawah derajat dari anak.19 e. Analisa Surat al-Ahqaf ayat 17 ini menjelaskan tentang larangan berkata kasar terhadap orang tua dan larangan untuk berkata akh terhadap orang tua.
19
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.32
65
C. Surat al-Ankabut ayat 8
8. Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibubapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. a. Asbab An-Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ummu Sa‟d berkata kepada anaknya: “Bukankan Allah menyuruh engkau berbuat baik kepada ibu-bapakmu ? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, atau engkau kufur (kepada Muhammad)”. Maka turunlah ayat ini (Q.S 29 al-Ankabut: 8) yang memerintahkan taat kepada ibu-bapak, kecuali kalau ibu-bapak itu menyuruh melanggar aturan Allah.20 b. Penafsiran Hamka “Kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada kedua orang tuanya bersikap baik” (pangkal ayat 8). Kalau dari Tuhan datang wasiat, artinya ialah perintah. Tuhan mewajibkan dan memerintahkan kepada manusia supaya kepada ayah-bunda hendaklah bersikap yang baik. Karena kedua orang tua itulah asal-usul kejadian manusia. “Dan jika keduanya berkeras mengajak engkau mempersekutukan dengan daku sesuatu yang
20
Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h.406-407
66
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau turuti keduanya”. Sebagai orang yang telah beriman kepada Allah, seorang mu‟min tidak mengenal lagi ada Tuhan selain Allah. Kalau diajak pula menyembah Tuhan yang lain, orang mu‟min tidak dapat mengikutinya, sebab Tuhan yang lain itu tidak ada dalam akidah kita. Bagaimana kerasnya kehendak ayah atau ibu, mengajak supaya menyembah Tuhan yang lain itu, mu‟min tidak boleh menuruti. “Kepadakulah
akan
kembali
kamu”.
Demikan
sabda
Tuhan
selanjutnya. “Maka akan Aku beritakan kepada kamu dari hal apa yang telah kamu kerjakan” (ujung ayat 8). Di hadapan hadirat Allah itulah kelak dipisahkan diantara Iman dan kufur sejelas-jelasnya. Meskipun ayah kandung dan Ibu kandung, kalau mereka tidak mempercayai Keesaan Tuhan, beliau akan dikandangkan ditempat orang musyrikin, jauh terpisah dari anaknya yang telah beriman21 c. Analisa Surat al-Ankabut ayat 8 ini menjelaskan tentang jika kedua orang tua memerintahkan
untuk
mempersekutukan
Allah
hendaklah
tidak
mengikutinya, sebab Tuhan yang lain tidak ada dalam akidah. Orang tua wajib dihormati tetapi mereka tidak boleh dipatuhi dalam hal yang mengenai akidah.
21
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.152
67
4. Akhlak terhadap orang lain A. Surat al-A’raf ayat 199
199. Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh
a. Penafsiran Hamka “Ambillah cara memaafkan, dan suruhlah berbuat yang ma‟ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (ayat 199). Ini suatu pedoman perjuangan yang diperintahkan Allah kepada RasulNya. Tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh di dalam menghadapi pekerjaan besar menegakkan da‟wah kepada ummat manusia. Pertama: Ambillah cara memaafkan. Dari berbagai macam tafsir, satu kita pilih, yaitu tafsir dari Hisyam bin Urwah bin Zubair, yang diterimanya dari pamannya Abdullah bin Zubair, bahwa arti „afwa disini ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Tafsir seperti ini terdapat juga dari Ummul Mu‟minin Siti Aisyah. Tegasnya, menurut penafsiran ini, diakuilah bahwa tiap-tiap manusia itu betapa pun baik hatinya dan shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan. Kemudian laksanakanlah yang kedua: Dan suruhlah berbuat yang ma‟ruf. Di dalam ayat ini ditulis „Urfi, yang satu artinya dengan ma‟ruf, yaitu pekerjaan yang diakui oleh orang banyak atau pendapat umum, bahwa pekerjaan itu adalah baik. Berkali-kali telah kita tafsirkan bahwa
68
kalimat ma‟ruf artinya ialah yang dikenal baik, demikian juga kalimat „uruf. Dikenal baik oleh manusia, dipuji, disetujui dan tidak mendapat bantahan. Kemudian datanglah perintah yang ketiga: Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Maksud berpaling dari orang-orang bodoh ialah karena ukuran yang dipakai oleh orang yang bodoh itu adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal-usul yang hanya timbul dari fikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Mereka hanya memperturutkan perasaan hati, bukan pertimbangan akal.22 b. Analisa Surat al-„Araf ayat 199 ini menjelaskan tentang memaafkan atas kesalahan orang lain dan juga berbuat yang ma‟ruf (baik), dan menghindari
orang-orang
yang
bodoh
karena
mereka
hanya
mengemukakan asal-usul yang hanya timbul dari fikiran yang singkat dan pandangan yang picik. B. Surat al-Furqan ayat 63
63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orangorang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orangorang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan
22
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.221-223
69
a. Penafsiran Hamka Dijelaskan pada ayat 63: Orang yang berhak disebut „Ibadur Rahman (Hamba-hamba daripada Tuhan Yang Maha Murah), ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi Allah dengan sikap sopan-santun, lemah-lembut, tidak sombong dan tidak pongah. Sikapnya tenang. Bagaimana dia akan mengangkat muka dengan sombong, padahal alam dikelilinginya menjadi saksi atasnya bahwa dia mesti menundukkan diri. Dia dalah laksana padi yang telah berisi, sebab itu dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesama manusia, karena dia pun insaf bahwa dia tidak akan sanggup hidup sendiri, di dalam dunia ini. Dan bila dia berhadapan, bertegur sapa dengan orang yang bodoh dan dangkal fikiran, sehingga kebodohannya banyaklah katanya yang tidak keluar daripada cara berfikir yang teratur, tidaklah dia lepas marah, tetapi disambutnya dengan baik
dan
diselenggarakannya.
Pertanyaan
dijawabnya
dengan
memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang benar. Orang semacam itu pandai besar menahan hati.23 b. Analisa Surat al-Furqan ayat 63 ini menjelaskan tentang bersikap rendah hati terhadap orang lain atau bisa disebut dengan Ibadur Rahman yaitu orang-orang yang berjalan di atas bumi Allah dengan sikap sopan santun, lemah lembut, tidak sombong dan tidak pongah.
23
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.42-44
70
C. Surat Luqman ayat 18-19
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. a. Penafsiran Hamka “Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia” (pangkal ayat 18). Ini adalah termasuk budi pekerti, sopan santun dan akhlak yang tertinggi. Yaitu kalau sedang bercakap berhadap-hadapan dengan seseorang, hadapkanlah muka engkau kepadanya. Menghadapkan muka adalah alamat dari menghadapkan hati. Dengarkanlah dia bercakap, simakkan baik-baik. Kalau engkau bercakap dengan seseorang, padahal mukamu engkau hadapkan ke jurusan lain, akan tersinggunglah perasaannya. “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak”. Mengangkat diri, sombong, mentang-mentang kaya, mentang-mentang gagah, mentang-mentang dianggap orang jago, mentang-mentang berpangkat dan sebagainya. “sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri”. (ujung ayat 18). Congkak, sombong, takabbur, membanggakan diri, semuanya itu menurut
71
penyelidikan ilmu jiwa, terbitnya ialah dari sebab ada perasaan bahwa diri itu sebenarnya tidak begitu tinggi harganya. “Dan sederhanakanlah dalam berjalan” (pangkal ayat 19). Jangan cepat mendorong-dorong, takut kalau-kalau lekas payah. Jangan lambat tertegun-tegun, sebab itu membawa malas dan membuang waktu di jalan, bersikaplah sederhana. “Dan lunakkanlah suara”. Jangan bersuara keras tidak sepadan dengan yang hadir. Apalagi jika kita bergaul dengan orang ramai di tempat umum. Orang yang tidak tahu sopan-santun lupa bahwa di tempat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk. Lalu dia bersuara keras-keras. “Sesungguhnya yang seburuk-buruk suara, ialah suara keledai” (ujung ayat 19). Mujahid berkata: “Memang suara keledai itu jelek sekali. Maka orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah. Sebab itu tidak ada salahnya jika orang bercakap yang lemah lembut, dikeraskan hanyalah ketika dipakai hendak mengerahkan orang banyak kepada suatu pekerjaan besar. Atau seumpama
seorang
komandan
peperangan
ketika
mengerahkan
perajuritnya tampil ke medan perang.24 b. Analisa Surat Luqman ayat 18-19 ini menjelaskan tentang adab jika berbicara dengan orang lain yaitu menghadap wajah orang yang
24
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.134-137
72
berbicara, karena menunjukkan rasa menghargai. Dan janganlah bersikap sombong atau takabur terhadap orang lain. D.
Surat al-Hujurat ayat 9-10
9. Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang Berlaku adil. 10. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. a. Asbab An-Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi saw, naik keledai pergi ke rumah „Abdullah bin Ubay (seorang munafik). Berkatalah „Abdullah bin Ubay: “Enyahlah engkau dariku! Demi allah, aku telah aku telah terganggu karena bau busuk keledaimu ini”. Seorang Anshor berkata: “Demi Allah, keledainya lebih harum baunya daripada engkau”. Marahlah anak buah „Abdullah bin Ubay kepadanya, sehingga timbullah kemarahan pada kedua belah pihak, dan terjadilah perkelahian dengan menggunakan pelepah kurma, tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini
73
(Q.S 49 al-Hujurat: 9) berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang memerintahkan agar menghentikan peperangan dan menciptakan perdamaian. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ada dua orang dari kaum muslimin yang bertengkar satu sama lain. Kemudian marahlah para pengikut kedua kaum itu dan berkelahi dengan menggunakan tangan dan sandal. Ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat: 9) turun sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan perdamaian. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang laki-laki Anshor yang bernama „Imran, beristerikan Ummu Zaid. Ummu Zaid bermaksud ziarah kerumah keluarganya, akan tetapi dilarang oleh suaminya, bahkan dikurung di atas loteng. Ummu Zaid mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa kerumah keluarganya. Suaminya „Imran meminta tolong kepada keluarganya. Maka datanglah anak-anak pamannya mengambil kembali isterinya dari keluarganya. Dengan demikian terjadilah perkelahian, pukul memukul dengan menggunakan sandal untuk memperebutkan Ummu Zaid. Maka turunlah ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat: 9) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Rasulullah saw mengirimkan utusan kepada mereka untuk mendamaikan perselisihan mereka. Akhirnya mereka pun tunduk kepada perintah Allah. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa perkelahian yang disebut dalam riwayat si atas, terjadi antara dua suku. Mereka dipanggil ke
74
pengadilan, akan tetapi mereka membangkang. Maka Allah menurunkan Ayat ini (Q.S 49 al-Hujurat:9) sebagai peringatan kepada orang-orang yang bertengkar agar segera berdamai. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S 49 alHujurat:9) turun berkenaan dengan dua orang anshar yang tawar menawar dalam memperoleh haknya. Salah seorang dari mereka berkata: “aku akan mengambilnya dengan kekerasan, karena aku mempunyai banyak kawan. Sedangkan yang satunya lagi mengajak untuk menyerahkan keputusannya kepada Rasulullah saw. Orang itu menolak, sehingga terjadilah pukul-memukul dengan sandal dan tangan, akan tetapi tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Ayat ini (Q.S 49 alHujurat: 9) memerintahkan supaya melawan orang yang menolak perdamaian.25 b. Penafsiran Hamka “Dan jika dua golongan dari orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Maka jika menganiaya salah satu golongan itu kepada yang lain, perangilah yang menganiaya itu sehingga dia kembali kepada perintah Allah” (pangkal ayat 9). Dalam ayat ini jelas sekali perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggungjawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat diartikan berperang, hendaklah orang 25
Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat alQur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II, h.514-515
75
beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongan yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan samasama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya maka dia hendak terus berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang tidak mau berdamai. “Sesungguhnya Allah adalah amat suka kepada orang-orang yang berlaku adil” (ujung ayat 9). Apabila orang yang mengetahui dan mendamaikan perkara dua orang atau dua golongan yang berselisih itu benar-benar adil, kedua golongan itu niscaya akan menerima dan merasa puas menerima keadilan itu. Dari ayat ini pula kita dapat mendapat kesimpulan bahwasanya kedua orang Islam yang telah berkelahi sampai menumpahkan darah, sampai berperang itu, masih dipanggilkan oleh Tuhan kepada orng lain bahwa mereka kedua belah pihak adalah orang-orang yang beriman, maka hendaklah orang-orang lain yang merasa dirinya bertanggungjawab karena beriman pula agar berusaha mendamaikan mereka. “Hanyasanya orang-orang yang beriman itu seyogyanya adalah bersaudara, karena itu maka damaikanlah diantara kedua saudaramu”
76
(pangkal ayat 10). Ayat 10 ini masih ada kaitannya yang erat dengan ayat 9. Diperingatkan disini pangkal dan pokok hidup orang yang beriman, yaitu bersaudara. Maka ayat 10 surat ini menjelaskan yang lebih positif lagi, bahwasanya kalau orang sudah sama-sama tumbuh iman dalam hatinya, tidak mungkin mereka akan bermusuhan. Jika tumbuh permasalahan lain tidak adalah karena sebab yang lain saja, misalnya karena salah faham, salah terima. “Supaya kamu mendapat rahmat” (ujung ayat 10).26 c. Analisa Surat al-Hujurat ayat 9-10 ini menjelaskan bahwa sesama muslim adalah saudara jadi jika diantara sesama muslim ada suatu perselisihan atau pertikaian hendaklah kita mendamaikan keduanya, jangan sampai pertikaian itu berlanjut hingga menimbulkan permusuhan sesama muslim.
26
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: PT Pustaka Panjimas ) cet. 2 h.195-200
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Akhlak merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berperilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena didalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika al-Qur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman batin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan. Berdasarkan uraian dan penjelasan pada bab-bab sebelumnya tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur’an, penulis menyimpulkan bahwa banyak ayat-ayat tentang pendidikan akhlak, tetapi di sini penulis hanya mengambil beberapa ayat yang dijelaskan oleh Hamka diantaranya berkaitan dengan akhlak terhadap Allah, (surat al-‘Araf ayat 143, surat Thaha ayat 12 dan 84, surat An-naml ayat 19, surat Huud ayat 45 dan 47, surat al-Kahfi ayat 24). Semuanya membahas tentang kewajiban taat kepada Allah, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dan menjalankan segala perintah Allah. Akhlak terhadap Nabi, (surat An-Nuur ayat 62 dan 63, surat al-Mujadallah ayat 12 dan 13, surat al-Hujurat ayat 1-5). Dalam ayat ini membahas tentang etika ketika berbicara dengan Nabi, memanggil nama Nabi dengan nama yang baik seperti Ya Rasulallah, bersikap sabar jika ingin bertemu dengan Nabi. Akhlak terhadap orang tua (surat al-Isra
77
78
ayat 23, surat al-Ahqaf ayat 17, surat al-Ankabut ayat 8). Dalam ayat tersebut membahas tentang menghormati orang tua, menyayangi dan membahagiakan orang tua jangan berkata kasar terhadap orang tua. Dan yang terakhir akhlak terhadap sesama manusia (surat al-‘Araf ayat 199, surat Furqan ayat 63, surat Luqman ayat 18 dan 19, surat al-Hujurat ayat 9 dan 10). Dalam ayat tersebut membahas tentang berbuat baik terhadap sesama manusia, bersikap rendah hati dan tidak sombong. Dalam penafsiran penulis menggunakan tafsir al-Azhar karya dari seorang ulama yang populer yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hamka. Dalam menafsirkan al-Qur’an Hamka pertama-tama mengutip beberapa pendapat para ulama mengenai maksud kata (etimologis) atau pendapat ulama mengenai permasalahan yang
akan
dibahas
kemudian
beliau
menjelaskan
pemikirannya
berdasarkan pemikiran ulama tersebut. B. Saran-saran Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada ayat-ayat akhlak dalam al-Qur’an yang ditafsirkan al-Azhar dalam tafsirnya. Maka dari
itu
penulis
berharap
dikemudian
hari
ada
penulis
yang
menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan penafsiran yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.
79
Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif, terhadap ayat-ayat akhlak dalam al-Qur’an dan tidak hanya menggunakan tafsir al-Azhar saja. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada umumnya. Amin
DAFTAR PUSTAKA Anis, Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Darul Ma’arif, 1972) Athiyyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, terj, Bustami Abdul Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. III. Baraja, Umar Bin Ahmad, Akhlak lil Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), Juz II. Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II. Djatnika, Rahmat, Sitem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka, 1987), Cet. I, Faudah, Basuni Muhammad, Tafsir-tafsir al-Qur’an, Perkenalan dengan Metode Tafsir (Bandung: Pustaka, 1407 H). Federspiel, M Howard, Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996). Al-Ghazali, Muhammad, Berdialog dengan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. IV. Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, (Darur Riyan, 1987), Jilid. III. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermenetika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003). Hakim, Imam, Mustadrak alash Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutb ak-Arabi, tt), Juz. 1 Hambal, Ahmad, Bin, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid II. Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Jilid 1. Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz 1. Khallaf, Wahab Abd, Ilmu Ushul Al Fiqh, terj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), Cet. IX Al-Khattan, Khalil Manna, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), Cet. III.
80
81
Ma’arif, Ahmad Syafi’i , Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), Cet.1 al-Munawwar, Husin Said Agil, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II. Mustafa, Ahmad Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), Cet. III. An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), Cet. II. Nata, Abuddin dan Fauzan, Pendidikan Dalam Persfektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005 Noer Aly, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. III Shaleh dan Dahlan dkk,Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), Cet. II Sulaiman, Hasan Fathiyah , Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung: alMa’arif, 1986), Cet. I. Syah, Muhibin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosda Karya, 2004), Cet. IX Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta: CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I Tamara, Nasir, “Hamka di Mata Hati Umat,” (Jakarta: Sinar Harapan, 1983) Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), edisi kedua Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Islam Seyd Naquib a-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. I Yunus, Hamid Abd, Da’irah al-Ma’arif, II, (Cairo: Asy’syab, t.t.) Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2003), Cet. II