Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, 193-207
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik Abdul Syukur Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Abstract In Islamic concept, an educator is not only has a role to educate or to teach someone to be skillful, but also has to instill the Islamic values to their daily life. Educators are coming from those who have a degree or have a profession (as a teacher or a lecturer etc) and also from family and society. This article will elaborate comprehensively about the position of the educator based on Al Quran, and also their position in family and society as well as toward their students. Abstrak Pendidik dalam konsep Islam tidak hanya berperan untuk mencerdaskan atau menerampilkan seseorang, akan tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai Islami dalam tingkah laku kesehariannya. Pendidik juga tidak hanya mencakup orangorang yang nota bene menyandang gelar atau berprofesi sebagai pendidik (pendidik, dosen dsb), akan tetapi juga mencakup orang tua dan masyarakat. Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif beberapa hal yang berkenaan dengan kedudukan pendidik sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an meliputi kedudukan pendidik dalam keluarga dan masyarakat serta kedudukan pendidik terhadap subyek didik. Kata Kunci: pendidik, keluarga, masyarakat, subyek didik. PENDAHULUAN Dalam definisi yang lebih bersifat umum, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab untuk mendidik seseorang1. Sedangkan dalam terminologi pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang memiliki peranan dan tanggung jawab untuk mengembangkan segala potensi subyek didik baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik dengan sendi-sendi ajaran Islam2. Dengan 1
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hal.
37. 2
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 74-75.
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
demikian dapat dipahami bahwa pendidik dalam konsep Islam tidak hanya berperan untuk mencerdaskan atau menerampilkan seseorang, akan tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai Islami dalam tingkah laku kesehariannya. Pendidik juga tidak hanya mencakup orang-orang yang nota bene menyandang gelar atau berprofesi sebagai pendidik (pendidik, dosen dsb), akan tetapi juga mencakup orang tua dan masyarakat. Karena itu, dalam bab ini akan diuraikan secara komprehensif beberapa hal yang berkenaan dengan kedudukan pendidik sebagaimana diisyaratkan oleh alQur’an meliputi kedudukan pendidik dalam keluarga dan masyarakat serta kedudukan pendidik terhadap subyek didik.
PEMBAHASAN Kedudukan Pendidik dalam Keluarga Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah, sekurang-kurangnya terdiri dari suami isteri.3 Sedangkan secara normatif, keluarga merupakan kumpulan beberapa orang yang terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sendiri sendiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama mempertegas gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan ketenteraman semua anggota yang ada dalam keluarga tersebut.4 Hasan Langgulung berpendapat bahwa pengertian keluarga secara sempit adalah perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat kontinyu, terdapat nuansa ketenteraman di dalamnya yang sesuai dengan tuntutan agama dan masyarakat.5
Adapun definisi keluarga muslim,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat adalah keluarga yang terikat dengan norma-norma Islam dan berusaha menjalankan fungsi keluarga
3
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hal.
471. 4 Maulana Mohammad Ali, Islamologi (Din al-Islam), terj. Kaelani dan Bahrun, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1980, hal. 406. 5
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995, hal. 346.
194----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
berdasarkan norma-norma tersebut.6 Pendapat ini agaknya lebih menekankan unsur-unsur mental spiritualitas sebuah keluarga, jadi tidak hanya terhenti pada aspek ikatan darah, perkawinan serta adopsi sebagaimana yang diungkapkan oleh J.R. Eshleman.7 Menurut Hamilton, pada dasarnya keluarga dapat diklasifikasikan dalam 5 buah tipe: 1. Nuclear Family yaitu keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak mereka, menempati tempat tinggal yang terpisah dengan orang lain dan mendapatkan nafkah atas pendapatan pekerjaan orang tua. 2. Extended family yaitu keluarga yang terdiri dari tiga generasi dan tinggal pada tempat yang sama. 3. Single parent family yaitu keluarga yang terdiri dari bapak atau ibu, dengan anak mereka. 4. Expanded family yaitu keluarga yang terdiri lebih dari tiga generasi yang hidup bersama-sama. 5. Communal family yaitu keluarga yang terdiri dari kelompok orang-orang yang benar-benar dihubungkan dengan ikatan darah serta hidup bersama dengan ideologi yang sama atau kepentingan ekonomi (economic interest) yang sama.8 Keluarga itu sendiri memiliki beberapa fungsi di antaranya : 1. Fungsi Akademis: keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, tempat anggota-anggota keluarga mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya. 2. Fungsi Sosial : keluarga memberikan prestise dan status kepada anggotaanggotanya.
6
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986, hal. 121.
7
Eshleman berpendapat bahwa yang dinamakan keluarga adalah hasil perkawinan, terdiri atas orang-orang yang terikat karena perkawinan, darah atau adopsi; anggotanya memiliki tempat tinggal yang sama; anggotanya memiliki hak dan kewajiban timbal balik; dan merupakan institusi yang memiliki fungsi utama sosialisasi. Lihat : J.R. Esshleman, The Family; An Introduction, Boston: Allyn and Bacon Inc., 1978, hal. 86. 8
Persis Mary Hamilton, Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas (Basic Maternity Nursing), terj. Ni Luh Gede Yasmin Asih,Jakarta: t.p, 1995, hal. 28.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----195
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
3. Fungsi Edukatif: memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dan juga remaja. 4. Fungsi Protektif: keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis dan psiko sosial. 5. Fungsi relijius: keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya. 6. Fungsi rekreatif: keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotaanggotanya. 7. Fungsi afektif: keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan.9 Dewasa ini barangkali yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah terjadinya beberapa perubahan nilai tentang konsep sebuah keluarga yang terkait erat dengan perkembangan zaman yang semakin modern serta global. Sebagai contoh gejala baru yang mudah diamati dalam era informasi ini ialah semakin menguatnya proses demokratisasi dalam kehidupan keluarga.10 Masalah jender yang begitu kuat ditiupkan oleh Barat telah diserap sedemikian rupa oleh masyarakat modern, sehingga –kalaupun ada sisi positifnya- ternyata di satu sisi juga menimbulkan dilema tersendiri. Misalnya dengan kesibukan masing-masing suami-istri dalam aktifitas-aktifitas eksternal keluarga dan hanya menyisakan waktu sedikit untuk mendidik secara langsung anak-anaknya, membuahkan ekses merenggangnya hubungan antara orang tua dengan anak. Sehingga keluarga tersebut tidak berhasil menjalankan seluruh fungsinya dengan baik dan pada akhirnya melahirkan ketimpangan (bias). 9 Jalaluddin Rahmat, Islam..., hal. 121. Terkait dengan fungsi relijius keluarga, Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa menurut Islam, keluarga berperan penting dalam membentuk kepribadian anak meliputi: pembinaan iman dan tauhid, pembinaan akhlak, pembinaan ibadah dan agama pada umumnya. Lihat, Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: ruhama, 1994, hal. 52-62. 10
Komaruddin Hidayat, “Era Informasi dan Dampaknya Bagi Kehidupan Keluarga”, Nasehat Perkawinan dan Keluarga, No. 272, Th. XXXIII, Februari 1995, hal.13. Lebih rinci lagi Dr. H. Ichtijanto S.A., S.H. menambahkan bahwa permasalahan keluarga di alam global ini adalah juga mulai berubahnya penghayatan terhadap norma-norma agama dan sosial budaya yang biasa berlaku dalam keluarga sehingga muncul kecenderungan beralihnya sistem kekeluargaan, dari keluarga besar (extended family) kepada keluarga inti (nuclear family). Hubungan antar anggota keluarga besar menjadi retak atau renggang, sehingga fungsi keluarga tidak dapat ditunaikan. Secara faktual kebanyakan anak-anak nakal atau pelaku kejahatan berasal dari keluarga-keluarga yang berantakan (broken homes). Lihat Ichtijanto, “Keluarga Bahagia Sejahtera Dalam Era Globalisasi”, hal. 16.
196----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
Sistem kekeluargaan Islam sendiri adalah bilateral11 Norma-norma hukum Islam tentang perkawinan dan kewarisan menggambarkan bahwa garis hukumnya bertumpu pada garis hubungan dengan bapak dan ibu.12 Menurut pandangan Islam,
sebuah
keluarga
sangat
berperan
penting
dalam
segala
proses
pembangunan, baik itu individu, bangsa, negara maupun agama. Oleh karena itu agama Allah ini memandang urgen legitimasi suatu perkawinan yang nota bene merupakan batu loncatan (jumping stone) untuk merintis bahtera rumah tangga (keluarga).13 Sedangkan mengenai kedudukan anak dalam keluarga, Islam juga memandangnya sebagai suatu hal yang begitu krusial. Sebab pada hakikatnya rasa suka terhadap anak adalah kodrat azali manusia itu sendiri sebagaimana firman Allah: “Dijadikan manusia itu suka kepada wanita, anak-anak dan emas perak yang beronggok-onggok.”14
Dengan demikian dari sini dapat dimengerti bagaimana
sebenarnya Islam menempatkan keluarga dalam sebuah porsi yang cukup signifikan untuk sebuah proses transformasi nilai-nilai Islami itu sendiri. Pada prinsipnya, al-Qur’an sendiri memberikan petunjuk bahwa yang menjadi pendidik secara garis besar adalah:
1) Allah Swt.
2) Para Nabi.
3)
Orang tua. 4) Orang lain. Dan berkenaan dengan posisi orang tua sebagai pendidik anak ini, al-Qur’an menggariskan beberapa sifat dasar yang harus dimiliki oleh mereka yaitu mempunyai hikmah tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio; dapat bersyukur kepada Allah serta suka menasehati anak-anaknya agar tidak mempersekutukan-Nya; memerintahkan anak agar menjalankan shalat dan bersikap sabar dalam menghadapi segala penderitaan.15 Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orangorang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (An-Nisa’ : 9). 11
Yaitu keluarga yang dalam kaidah dan norma-norma hukum kekeluargaan menarik garis hukum dari garis bapak dan ibu sekaligus, bukan hanya menarik hukum melalui bapak (seperti masyarakat patrilineal dan masyarakat Arab) dan tidak pula hanya melalui garis hukum ibu saja (matrilineal). Lihat Ichtijanto, Ibid, hal. 17. 12
Baca al-Qur’an Surat al-Nisa’ ayat 1, 19, 22 dan 23.
13
Keith Hodkinson, Muslim Family Law, London and Canberra: Croom Helm, t.t, hal. 307.
14
Q.S. Ali Imran ayat 14-15. Baca juga Surat al-Kahf ayat 46 dan Al-Nahl ayat 72.
15
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 15.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----197
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
Kemudian Allah berfirman lagi: ”... peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ... (Q.S. At-Tahrim: 6). Dari maksud ayat di atas dapat dipahami bahwa kewajiban utama pembinaan dan pendidikan keluarga adalah terletak pada orang tua. Di dalam rumah tangga anak mulai mengenal akhlak dan budi pekerti yang baik. Disini pula anak mulai belajar mengenal Tuhan, agama dan membiasakan mereka untuk mengerjakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. al-Tahrim: 6) Bila pendidikan di rumah tangga serta di lingkungan sekitarnya baik, maka besar kemungkinan anak dikala dewasa nanti menjadi baik. Jika ditinjau dari aspek keagamaan, manusia itu adalah makhluk yang disebut “Homodivanans” (makhluk yang berketuhanan) atau disebut “Homo religius” (makhluk beragama). Selain contoh teladan yang diberikan oleh orang tua, nasehat dapat dijadikan salah satu cara penyiaran Islam terutama di dalam pendidikan rumah tangga. Nasehat yang ada dalam al-Qur’an sangat penting untuk mendidik jiwa anak kearah kebaikan. Hal ini dapat dipahami dari surat Lugman ayat 13 yang bunyinya:”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S.. Luqman: 13) Di samping cara-cara tersebut di atas dikenal pula berbagai macam teknik, seperti menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga seorang anak ta’at dan mengubah sikapnya yang menghasilkan kepatuhan kepada orang tua. Anak adalah objek dari pengawasan tersebut, yang perlu diawasi adalah moral, tingkah laku serta kepribadian. Orang tua harus mengawasi agar para anak dalam berbuat masih dalam tatanan keagamaan, sebagaimana tujuan pengawasan
198----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
itu sendiri yaitu untuk mencapai keserasian, keadaan damai sesuai dengan tuntunan agama Islam. Memang harus diakui bahwa proses pendidikan tidak hanya bertumpu pada keluarga, akan tetapi juga pada sekolah (school) dan masyarakat (society). Namun demikian, keluarga dianggap sebagai pusat pendidikan yang paling berpengaruh dibandingkan yang lain, karena seorang anak telah terikat secara emosional sejak lahir dengan lingkungan rumahnya (keluarga). Demikian pula waktu yang dihabiskan seorang anak di rumah lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di tempat lain. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa keluarga tidak saja sebagai tempat ketenteraman, cinta dan kasih sayangnya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sebuah keluarga memikul tangung jawab penting sebagai sebuah wadah pendidikan, sosialisasi, perlindungan menyeluruh dan peningkatan kualitas keagamaan seseorang. Karena itu eksistensi sebuah keluarga tidak bisa dipandang sebelah mata dalam proses pembangunan sebuah bangsa. Lalu apa yang dimaksud dengan keluarga sakinah? Dari uraian tentang beberapa fungsi keluarga di atas sebenarnya bisa ditangkap bahwa yang dinamakan dengan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah adalah keluarga yang mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut dengan baik. Dan di sinilah sebenarnya orang tua memegang peranan yang cukup krusial. Perlu digarisbawahi bahwa untuk menjalankan fungsi-fungsi keluarga di atas secara sempurna bukan pekerjaan yang mudah sebab diperlukan pemahaman dan pengejawantahan secara komprehensif makna-makna kasih sayang, toleransi, keterbukaan (transparency) dan keteladanan. Kesemua sikap ini mutlak harus diejawantahkan oleh kedua orang tua (ayah-ibu) dalam lingkungan keluarga. Adanya rasa kasih sayang dan toleransi antar sesama anggota keluarga akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap keluarga tersebut. Ayah akan dapat memahami kedudukan ibu (isterinya), juga anak-anaknya. Demikian sebaliknya. Sementara keterbukaan antar sesama anggota keluarga akan berekses pada semakin kuatnya demokratisasi dalam keluarga tersebut. Dalam konteks ini, meski orang tua merupakan pihak yang paling “berkuasa”, namun mereka tidak boleh bersikap otoriter dengan senantiasa memaksakan kehendak atau pemikiran
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----199
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
mereka pada anak-anaknya. Di antara mereka harus senantiasa dikembangkan komunikasi dua arah yang positif. Adapun berkaitan dengan persoalan keteladanan, maka hal ini juga penting untuk diingat oleh kedua orang tua selaku pendidik utama dalam sebuah keluarga. Sebab perlu dipahami bahwa masing-masing anak pada hakikatnya membutuhkan sosok idola yang pantas untuk ditiru serta diteladani dalam kehidupannya. Bila unsur keteladanan ini hilang, maka tentu anak-anak tersebut akan kebingungan memahami jati dirinya sendiri. Tentu saja hal ini tidak positif bagi pembentukan karakteristik mereka ke depan. Di sinilah sebenarnya sebuah keluarga berkorelasi erat dengan pengembangan dakwah transformatif. Sebab inti dakwah transformatif adalah bagaimana membentuk sekaligus mengarahkan manusia ke masa depannya yang baik, tidak hanya dalam aspek kognitif maupun psikomotoriknya, akan tetapi juga aspek afektif dan spiritualnya. Sehingga dengan demikian generasi masa depan tidak hanya memiliki IQ yang bagus, tapi lebih dari itu juga mempunyai EQ (emotional quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) yang sama-sama bagus kualitasnya.
Kedudukan Pendidik dalam Masyarakat Secara fitrah manusia adalah bersifat kemasyarakatan (zoon politicon)16. Di satu sisi, kepuasan, keuntungan, kebutuhan, karya dan kegiatan manusia adalah berada dalam suatu lingkar yang saling memerlukan antar satu dengan yang lainnya
di
antaranya
menyangkut
hubungan
timbal
balik
yang
saling
mempengaruhi dan juga adanya kesadaran untuk saling tolong-menolong. Di sisi lain, setiap anggota masyarakat sadar sebagai bagian dari kelompoknya yang senasib, berkepentingan, bertujuan, serta berideologi yang sama.17 Ringkasnya dapat dipahami bahwa manusia secara kodrati senantiasa membutuhkan interaksi dengan manusia lain yang kemudian selanjutnya membentuk kelompok sosial masyarakat yang berbudaya. Mereka hidup berkelompok-kelompok yang saling terikat dengan sistem, adat, upacara dan hukum-hukum dalam suatu wilayah tertentu.
16
Ibn Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah (An Arab Philosopohy of History), terj. Charles Iswawi, Jakarta: Tintamas, 1976, hal. 35. 17
Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1969, hal. 174.
200----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
Karena itu, istilah “sosial masyarakat” pada hakikatnya sangat erat keterkaitannya dan bahkan merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan. Hal ini didasarkan pada keadaan sosial itu sendiri yang
hanya ada dalam
masyarakat (mahkluk jenis manusia). “Masyarakat adalah bentuk kehidupan bersama mahkluk sejenis”.18 Atau dalam ungkapan Muthahhari, kumpulan dari manusia yang antara satu dengan lainnya saling terkait dengan sistem nilai, adat istiadat, ritus-ritus, serta hukum tertentu dan bersama-sama berada dalam suatu iklim serta bahan makanan yang sama19. Sementara itu istilah sosial dapat dipahami sebagai “masyarakat, kemasyarakatan, khalayak ramai, kehidupan orangorang dalam suatu daerah yang luas di mana antara satu dengan yang lain saling berhubungan tanpa membedakan derajat serta tingkat kekayaan, atau apapun yang berkaitan dengan masyarakat.20 Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa masyarakat merupakan suatu kumpulan manusia yang bergantung dan mengembangkan suatu kebudayaan tersendiri. Jadi, suasana saling bergantung, saling membutuhkan dan
terikat
dengan suatu sistem hubungan antara sesama manusia dalam kelompok itulah yang disebut dengan “sosial masyarakat”. Dalam
sebuah
proses
interaksi
sosial,
manusia
dapat
merealisir
kehidupannya secara individu21. Dengan demikian sosial masyarakat merupakan suatu bentuk kesatuan sistem hidup dan hubungan-hubungannya dengan individu dalam suatu kelompok manusia untuk suatu tujuan tertentu. Sistem tujuan tersebut dijalin oleh nilai-nilai atau norma-norma yang lahir atas prakarsa akal pikiran para anggota kelompok sosial itu sendiri. 18
Soerjono Soekanto, Sosiologi.. hal. 97.
19
Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah (Society and History), terj. M. Hashem, Bandung: Mizan, 1986, hal. 15. 20
Yan Pramadyapuspa, Kamus Populer, Semarang: Aneka Ilmu, 1984, hal. 317.
21
Soerjono Soekanto mensinyalir bahwa masyarakat manusia dalam proses interaksi sosialnya pasti akan mengalami perubahan-perubahan. Makna perubahan sosial itu sendiri merupakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial juga dapat dipahami sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Ringkasnya, perubahan sosial pada hakikatnya menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia, baik karena sebab-sebab internal maupun eksternal. Soerjono Sukanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 305.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----201
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
Ketika manusia sebagai mahkluk sosial saling berinteraksi dengan sesamanya, maka sudah barang tentu mereka saling menjalin komunikasi satu sama lain. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima yang bertujuan agar penerima memiliki pengertian yang sama dengan pengirim tentang isi informasi yang disampaikan itu. Istilah komunikasi berasal dari kata Latin Communicare yang berarti membuat agar menjadi umum atau Common dalam bahasa Inggris2. Dari kata dasar itu menjadi communication dan selanjutnya diterjemahkan sebagai komunikasi dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan umum (common) dalam hal ini adalah kebersamaan khususnya dalam hal pengertian3. Ketika komunikasi sudah terjalin, maka interaksi yang terjadi antar manusia tersebut tentu sesekali tidak lepas dari yang diistilahkan dengan interaksi edukatif. Interaksi edukatif yang dimaksud di sini adalah sebuah proses komunikasi yang ditendensikan untuk pendidikan.22 Dengan kata lain, interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara komunikator dengan komunikan melalui sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.23 Ditinjau dari perspektif sosiologi pendidikan, pendidikan berfungsi sebagai pemelihara
tatanan
sosial
yang
berlaku
dalam
suatu
masyarakat
dan
memajukannya. Hal ini menuntut adanya transfer pengetahuan, keterampilan dan keyakinan yang diperlukan masyarakat dari satu generasi ke generasi yang lain. Melalui fungsi sosial ini, pendidikan membekali individu dasar-dasar hidup di dalam komunitas, kewajiban terhadapnya dan hak-hak terhadapnya.24 Beberapa karakteristik sosial pendidikan, sebagaimana dipaparkan oleh Aly dan Moenzier adalah sebagai berikut: 1. Kultural-etis: pendidikan menjalin keharmonisan antara tuntutan individu dan nilai-nilai moral masyarakat.
22
Dalam penjelasan yang lain, interaksi edukatif juga dapat dipahami sebagai proses interaksi yang disengaja dan sadar tujuan, untuk mengantarkan subyek didikke tingkat kedewasaannya. Lihat Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986, hal. 18. 23 Syaiful Bahri Djamarah, Pendidik dan Subyek Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal. 11. 24
Heru Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003, hal. 193.
202----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
2. Vokasional: pendidikan bertalian erat dan langsung dengan kehidupan praktis dalam berbagai tarafnya. 3. Bebeda-beda: pendidikan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan kehidupan dan individu yang tidak mungkin berada dalam satu pola. 4. Mengarahkan: pendidikan mengarahkan individu untuk mempelajari dan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 5. Umum dan menyeluruh: pendidikan mencakup dasar-dasar pengetahuan dan budaya. 6. Sosial: pendidikan dibatasi oleh faktor waktu dan tempat serta menggali tujuan dan dasarnya dari masyarakat. Di samping itu, pendidikan tidak terpusat pada sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya, tetapi melebar ke berbagai sektor kehidupan di dalam masyarakat. Proses aplikasi sosial dan keanggotaan yang sempurna di dalam masyarakat dapat dicapai melalui berbagai sarana budaya.25 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan dan pendidik memegang peranan penting dalam sebuah proses perubahan sosial (social engineering). Allah Swt berfirman: “Kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran: 110). Ayat di atas menegaskan bahwa perubahan sosial dapat diwujudkan apabila masyarakat mementingkan unsur pendidikan dalam kehidupannya. Hal ini dapat dipahami sebab pendidikan merupakan salah satu alat yang efektif untuk merubah pola pikir dan cara pandang seseorang. Berkenaan dengan ini setidaknya terdapat empat hal yang mendeskripsikan hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, sebagaimana dipaparkan oleh Abudin Nata26. Korelasi ini sekaligus menjelaskan posisi pendidik di dalam masyarakat. Pertama, gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan. Visi pendidikan yang dimaksud adalah menjadikan pendidikan sebagai pusat keunggulan bagi
25
Heru Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan…
26
Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi), hal. 245-246.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----203
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
pembentukan masyarakat yang beradab. Misinya adalah membangun masa depan bangsa yang lebih cerah. Sedangkan tujuannya adalah menghasilkan sumber daya manusia yang siap memajukan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, gambaran masyarakat ideal harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu pendidikan yang melihat masyarakat bukan hanya sebagai sasaran atau obyek penyelenggaraan pendidikan, melainkan sebagai mitra dan subyek penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu keadaan di mana di dalamnya terdapat berbagai potensi yang
amat luas untuk diberdayakan bagi penyelenggaraan
kegiatan pendidikan. Ketiga, perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan lulusan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian tidak terjadi ketimpangan antara proses pendidikan yang dijalankan dengan kebutuhan faktual yang terjadi dalam masyarakat. Keempat, perkembangan dan kemajuan yang terjadi di dalam masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan desain pendidikan. Dengan cara demikian akan terjadi hubungan keseuaian antara dunia pendidikan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini amat penting diperhatikan, karena dunia pendidikan seringkali mendapatkan kritik dari berbagai kalangan disebabkan karena tidak mampu menghasilkan lulusan (out put) yang siap pakai. Kedudukan Pendidik terhadap Subjek Didik Subyek didik merupakan salah satu komponen utama dalam pendidikan Islam. Ia memerlukan bimbingan pendidik untuk membantu mengarahkannya dalam upaya mengembangkan potensi yang dimilikinya guna mencapai taraf kedewasaan. Karena itu pengertian yang utuh tentang subyek didik merupakan salah satu faktor krusial yang harus diketahui dan dipahami secara komprehensif oleh pendidik, sebagai pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Sesungguhnya konsep hubungan antara pendidik dengan subyek didik dalam pendidikan, adalah bersifat dwitunggal. Sehingga dapat dipahami bahwa
204----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
antara pendidik dan subyek didik tak ubahnya seperti dua sisi dari mata uang, di mana antara keduanya terdapat keterkaitan yang sangat erat dan sulit dipisahkan. Tugas pendidik dalam konsep pendidikan Islam adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan subyek didik, menciptakan situasi yang kondusif
bagi
berlangsungnya
proses
kependidikan,
menambah
dan
mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditransformasikan kepada subyek didik, serta senantiasa membuka diri terhadap seluruh kelemahan atau kekurangannya.27 Berkenaan dengan hal ini al-Nahlawi menambahkan bahwa pembersihan hati dan penyucian jiwa (tazkiyyah al-nafs) merupakan tugas paling penting yang diemban setiap pendidik muslim. Tazkiyyah al-nafs berfungsi untuk mengembangkan, membersihkan dan mengangkat jiwa subyek didik kepada Penciptanya, menjauhkannya dari perbuatan keji dan munkar serta menjaganya agar tetap pada fitrahnya yang hanif. 28 Pendidik yang memandang subyek didik sebagai pribadi yang berbeda dengan subyek didik lainnya, akan berbeda dengan pendidik yang memandang subyek didik sebagai mahkluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Sikap yang tepat sebenarnya adalah menempatkan subyek didik sebagai mahkluk
individual
dengan
segala
perbedaannya.29
Sebab,
sebagaimana
dikemukakan oleh Hug dan Wilson bahwa setiap subyek didik tersebut memiliki dimensi keunikan-keunikan tersendiri.30 Sehingga dengan demikian pendidik akan lebih mudah mengadakan pendekatan-pendekatan dalam proses interaksinya dengan mereka, sebab pendekatan-pendekatan seperti ini merupakan bagian dari pendidikan humanis.
SIMPULAN Sebuah keluarga memikul tangung jawab penting sebagai sebuah wadah pendidikan, sosialisasi, perlindungan menyeluruh dan peningkatan kualitas 27
Ahmad D. Marimba, Pengantar..., hal. 38-39.
28
‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1992, hal. 239. 29
Abd al-Rahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip.., hal. 6.
30
John W. Hug and Phllip J. Wilson. Curriculum Enrichment Outdoors, New York: Appleton Century Crafts, 1960, hal. 283
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----205
PENDIDIK: Kedudukannya dalam Keluarga, Masyarakat dan Terhadap Subyek Didik
keagamaan seseorang. Karena itu eksistensi sebuah keluarga tidak bisa dipandang sebelah mata dalam proses pembangunan sebuah bangsa. Pendidikan juga berfungsi sebagai pemelihara tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat dan memajukannya. Hal ini menuntut adanya transfer pengetahuan, keterampilan dan keyakinan yang diperlukan masyarakat dari satu generasi ke generasi yang lain. Melalui fungsi sosial ini, pendidikan membekali individu dasar-dasar hidup di dalam komunitas, kewajiban terhadapnya dan hakhak terhadapnya.31 Pendidik berkewajiban untuk menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan subyek didik dalam belajar. Untuk itu pendidik harus senantiasa berusaha menjadi pembimbing yang arif dan bijaksana sehingga dapat menciptakan komunikasi dua arah yang harmonis dengan subyek didiknya. 32 Semua kendala yang menjadi problematika dalam proses edukatif, baik yang muncul dari perilaku subyek didik maupun yang bersumber dari luar diri peserta didik, harus dihilangkan dan bukan membiarkannya. Sebab kesuksesan proses interaksi edukatif lebih banyak ditentukan oleh pendekatan yang dipergunakan oleh pendidik.33
31
Heru Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003, hal. 193. 32
Dalam bahasa Quantum Teaching hal ini diistilahkan dengan “bawalah dunia mereka (peserta didik) ke dunia kita (pendidik) dan antarkan dunia kita (pendidik) ke dunia mereka (peserta didik)”. Lihat Bobbi de Porter dkk, Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di RuangRuang Kelas, terj. Ary Nilandari, Bandung: Kaifa, 2000, hal. 6. 33
Syaiful Bahri Djamarah, Pendidik dan Peserta didik…, hal. 5.
206----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011
Abdul Syukur
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nahlawi, ‘Abd al-Rahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1992. Aly, Heru Noer dan S, Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003. Ali, Maulana Mohammad, Islamologi (Din al-Islam), terj. Kaelani dan Bahrun, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1980. A.M., Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988. Djamarah, Syaiful Bahri, Pendidik dan Subyek Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Esshleman, J.R, The Family; An Introduction, Boston: Allyn and Bacon Inc., 1978. Hamilton, Persis Mary, Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas (Basic Maternity Nursing), terj. Ni Luh Gede Yasmin Asih, Jakarta: t.p, 1995. Hidayat, Komaruddin, “Era Informasi dan Dampaknya Bagi Kehidupan Keluarga”, Nasehat Perkawinan dan Keluarga, No. 272, Th. XXXIII, Februari 1995. Hodkinson, Keith, Muslim Family Law, London and Canberra: Croom Helm, t.t. Hug, John W. and Wilson, Phllip J. Curriculum Enrichment Outdoors, New York: Appleton Century Crafts, 1960. Khaldun, Ibn, Filsafat Islam tentang Sejarah (An Arab Philosopohy of History), terj. Charles Iswawi, Jakarta: Tintamas, 1976. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995. Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989. Muthahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah (Society and History), terj. M. Hashem, Bandung: Mizan, 1986. Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. _____, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi). Porter, Bobbi de dkk, Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, terj. Ary Nilandari, Bandung: Kaifa, 2000. Pramadyapuspa, Yan, Kamus Populer, Semarang: Aneka Ilmu, 1984. Purwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986. Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1969. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----207