PENDEKATAN MODEL TIME SERIES UNTUK PEMODELAN INFLASI BEBERAPA KOTA DI JAWA TENGAH Tri Mulyaningsih 1), Budi Nurani R 2), Soemartini 3) 1)
Mahasiswa Program Magister Statistika Terapan Universitas Padjadjaran 2) Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran 3) Staf Pengajar Statistika Jurusan FMIPA Universitas Padjadjaran Jl.Dipati Ukur No 35 Bandung Email : 1)
[email protected], 2)
[email protected], 3)
[email protected]
Abstrak Perkembangan inflasi di Jawa Tengah dipantau melalui perkembangan perekonomian di beberapa kota, diantaranya Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal. Inflasi dapat dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat di kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, setiap kota membutuhkan kota di sekitarnya untuk menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh kota tersebut. Hal ini menimbulkan ketergantungan antar kota dalam pemenuhan kebutuhan komoditas. Dengan demikian pergerakan inflasi di Jawa Tengah selain memiliki keterkaitan dengan waktu sebelumnya, juga memiliki keterkaitan antara satu kota dengan kota lainnya yang disebut dengan hubungan spasial. Model GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregressive (STAR) yang juga merupakan spesifikasi dari model Vector Autoregressive (VAR). Perbedaan yang mendasar antara model GSTAR dan model STAR terletak pada pengasumsian parameternya. Model STAR mengasumsikan lokasilokasi yang digunakan dalam penelitian adalah homogen, sehingga model ini hanya dapat diterapkan pada lokasi yang bersifat seragam. Sedangkan pada model GSTAR terdapat asumsi yang menyatakan lokasi-lokasi penelitian yang bersifat heterogen, sehingga perbedaan antar lokasi ini ditunjukkan dalam bentuk matriks pembobot. Oleh karena itu, model ini cocok digunakan untuk data inflasi yang stasioner dengan karakteristik lokasi yang heterogen. Nilai orde VAR yang diperoleh adalah model VAR(5). Hal ini terlihat dari Nilai Akaikeβs Information Criterion terkecil yang diperoleh pada AR(5) dan MA (0). Orde yang didapatkan dari model VAR(5) digunakan sebagai orde pada model GSTAR. Sehingga model GSTAR yang terbentuk adalah GSTAR (1: 5). Kata Kunci : Generalized Space Time Autoregressive, Inflasi, Vector Autoregressive
I.
PENDAHULUAN Kehidupan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari masalah ekonomi makro,
antara lain : pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, kestabilan kegiatan ekonomi serta neraca perdagangan dan neraca pembayaran (Sukirno, 2012). Salah satu masalah ekonomi yang tidak dapat diabaikan oleh suatu negara adalah inflasi, karena dapat menimbulkan dampak bagi ketidakstabilan kegiatan perekonomian negara tersebut. Inflasi adalah salah satu indikator ekonomi makro yang sangat penting bagi pemerintah dan dunia usaha. Adanya kenaikan harga yang tercermin pada angka inflasi merupakan salah satu indikator yang menggambarkan stabilitas ekonomi secara makro di suatu wilayah (Rosidi dan Sugiharto, 2005). Tingkat inflasi yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas dunia usaha serta melemahkan daya beli masyarakat suatu daerah. Peramalan tingkat inflasi diperlukan untuk mengetahui kisaran nilai inflasi periode yang 1
2 akan datang yang akan digunakan dalam perumusan berbagai kebijakan terkait kestabilan harga di waktu yang akan datang. Selain itu, perubahan harga di suatu wilayah cenderung akan berdampak pada harga-harga di daerah di sekitar wilayah tersebut. Perkembangan
inflasi
di
Jawa
Tengah
dipantau
melalui
perkembangan
perekonomian di beberapa kota, diantaranya Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal. Inflasi dapat dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat di kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, setiap kota membutuhkan kota di sekitarnya untuk menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh kota tersebut. Hal ini menimbulkan ketergantungan antar kota dalam pemenuhan kebutuhan komoditas. Dengan demikian pergerakan inflasi di Jawa Tengah selain memiliki keterkaitan dengan waktu sebelumnya, juga memiliki keterkaitan antara satu kota dengan kota lainnya yang disebut dengan hubungan spasial. Salah satu model peramalan yang populer dan banyak diterapkan untuk peramalan data time series yang mengandung unsur waktu dan lokasi yaitu model space time. Model space time dikembangkan oleh Pfeifer dan Deutsch yang mengadopsi tahapan-tahapan yang dikembangkan oleh Box-Jenkins (1976) untuk pemodelan ARIMA, yang mencakup tentang identifikasi, estimasi, dan uji diagnostik ke dalam pemodelan STARIMA (Space Time Autoregressive Integrated Moving Average). Model Space Time Autoregressive (STAR) merupakan gabungan model Autoregressive orde p, AR(p) dari Box-Jenkins dan model spasial yang melibatkan bobot antar lokasi, sedangkan untuk penaksiran parameter model STAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat galatnya. Model STAR ini masih mempunyai kelemahan pada fleksibilitas parameter yang mengasumsikan bahwa lokasi-lokasi yang diteliti memiliki karakteristik yang seragam (homogen). Kelemahan dari metode STAR telah direvisi dan dikembangkan oleh Borovkova, Lopuhaa dan Ruchjana (2002) melalui suatu model yang dikenal dengan model GSTAR (Generalized Space Time Autoregressive). Model GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregressive (STAR) yang juga merupakan spesifikasi dari model Vector Autoregressive (VAR). Perbedaan yang mendasar antara model GSTAR dan model STAR terletak pada pengasumsian parameternya. Model STAR mengasumsikan lokasi-lokasi yang digunakan dalam penelitian adalah sama, sehingga model ini hanya dapat diterapkan pada lokasi yang bersifat seragam. Sedangkan pada model GSTAR terdapat asumsi yang menyatakan lokasi-
3 lokasi penelitian yang bersifat heterogen, sehingga perbedaan antar lokasi ini ditunjukkan dalam bentuk matriks pembobot. Oleh karena itu, model ini cocok digunakan untuk data inflasi yang stasioner dengan karakteristik lokasi yang heterogen. Tujuan penelitian ini adalah untuk memodelkan dan meramalkan inflasi beberapa kota di Jawa Tengah, yaitu Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal yang mempunyai keterkaitan dengan waktu sebelumnya dan keterkaitan dengan kota lain yang saling berdekatan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA Multivariate time series merupakan deret waktu yang terdiri dari beberapa variabel
yang pada umumnya digunakan untuk memodelkan dan menjelaskan interaksi serta pergerakan diantara sejumlah variabel time series. Pada model multivariate, peramalan data dilakukan dengan menambahkan variabel lain yang mempunyai hubungan jangka panjang untuk mendapatkan keakuratan peramalan. Sama halnya dengan univariate time series, untuk identifikasi pada model multivariate time series juga dapat dilihat dari pola atau matriks fungsi korelasi (MACF) dan matriks fungsi korelasi parsial (MPACF) setelah data stasioner (Wei, 2006).
2.1 Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Asumsi dasar yang digunakan dalam pembahasan proses time series ARIMA adalah proses yang stasioner. Walaupun demikian, banyak proses yang bersifat nonstasioner. Upaya yang dilakukan pakar ekonometrika untuk menstasionerkan proses pembentukan data yang tidak stasioner adalah dengan melakukan perbedaan tingkat pertama, kedua, dan seterusnya. Contoh perbedaan tingkat pertama (first difference) adalah :ππ‘ = ππ‘ β ππ‘β1 Hasil dari setiap perbedaan yang dilakukan seperti di atas disebut proses yang terintegrasi (integrated processed). Sedangkan orde dari proses untuk mendapatkan time series yang stasioner ditentukan oleh banyaknya perbedaan (differencing) yang dilakukan. Jika π π‘ adalah suatu runtun waktu yang sudah dibuat stasioner dengan differencing satu kali, atau lebih dari suatu runtun waktu yang asli (tidak stasioner), ππ‘ maka π π‘ bisa dipresentasikan dengan model ARMA (p, q) atau model ARIMA (p, d, q). sedangkan untuk membuat data stasioner dalam varians dapat dilakukan proses transformasi dengan metode Box-Cox. Pendekatan Box-Jenkins digunakan untuk mengobservasi orde dari proses AR (p), MA (q), dan ARIMA (p, d, q). Dengan kata lain perlu mengidentifikasi
4 masing-masing nilai p, d dan q. Untuk mengobservasi model ARIMA secara penuh diperlukan tiga tahap, yaitu: identifikasi, estimasi, dan uji diagnostik. Kemudian jika nilai p, d dan q tersebut sudah didapat, peramalan (forecasting) dapat dilakukan. Secara umum model-model ARIMA (stasioner) dapat dibagi menjadi tiga model, yaitu : 1. Model Autoregressive β AR (p) ππ‘ = π1 ππ‘β1 + π2 ππ‘β2 + β― + ππ ππ‘βπ + ππ‘ 2. Model Moving Average βMA (q) ππ‘ = ππ‘ β π1 ππ‘β1 β π2 ππ‘β2 β β― β ππ ππ‘βπ 3. Model Autoregressive Moving Average ARMA (p, q) ππ‘ = ππ‘ = π1 ππ‘β1 + π2 ππ‘β2 + β― + ππ ππ‘βπ + ππ‘ ππ‘ β π1 ππ‘β1 β π2 ππ‘β2 β β― β ππ ππ‘βπ dengan: Zt
: besarnya pengamatan (kejadian) pada waktu ke-t
π
: ππ‘ β π
ππ‘
: suatu βwhite noise processβ atau error pada waktu ke-t yang diasumsikan mempunyai
mean 0 dan varians konstan ππΌ2 . Model ARIMA (non-stasioner) jika ada orde d (misal : 1, 2), dengan bentuk umum adalah: 1 β π1 π΅ β β― β ππ π΅π 1 β π΅ π ππ‘ = 1 β π1 π΅ β β― β ππ π΅π ππ‘ Sebagai contoh, jika ππ‘ mengikuti model ARIMA (1,1,0) maka secara matematik ππ‘ mengikuti: 1 β π1 π΅ 1 β π΅ π ππ‘ = ππ‘ 1 β 1 + π1 π΅ + π1 π΅2 ππ‘ = ππ‘ ππ‘ = 1 + π1 ππ‘β1 + π1 ππ‘β2 + ππ‘
2.2 Model Vector Autoregressive (VAR) Model VAR adalah suatu pendekatan peramalan kuantitatif yang biasanya diterapkan pada data multivariate time series. Model ini menjelaskan keterkaitan antar pengamatan pada variabel tertentu pada suatu waktu dan pengamatan pada variabel itu sendiri pada waktu-waktu sebelumnya, dan juga keterkaitannya dengan pengamatan pada variabel lain pada waktu-waktu sebelumnya. Jika diberikan zi(t) dengan t ο T , T = {1, 2,β¦,T) dan i = {1,2,β¦,N} merupakan indeks parameter waktu dan variabel (misalkan berupa lokasi yang berbeda atau jenis produk yang berbeda) yang terhitung dan terbatas, maka model VARMA secara umum dapat dinyatakan sebagai berikut (Wei, 2006) :
Ξ¦ p ο¨ B ο© Z ο¨ t ο© ο½ Ξq ο¨ B ο© e ο¨ t ο©
5 dengan Z(t) adalah vektor deret waktu multivariate yang terkoreksi nilai rata-ratanya, Ξ¦p (B) dan Ξq(B) berturut-turut adalah suatu matriks autoregressive dan moving average polynomial orde p dan q.
2.3 Model Space Time Autoregressive (STAR) Model STAR merupakan suatu model yang dikategorikan berdasarkan lag yang berpengaruh secara linier baik dalam lokasi maupun waktu (Pfeifer dan Deutsch 1980a). Model STAR (1:p) dirumuskan sebagai berikut: π
ππ0 W (π) Zπ‘βπ + πππ W (π) Zπ‘βπ + eπ‘
Zπ‘ = π=1
(2.16)
dengan: Zπ‘ : vektor acak ukuran (n x 1) ada waktu t πππ : parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l W (π) : matriks bobot ukuran (n x n) pada lag spasial l (dimana l = 0,1,β¦)
2.4 Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) Menurut Pfeifer dan Deutsch (1980a), model STAR merupakan model yang dikategorikan berdasar lag yang berpengaruh secara linier baik dalam lokasi dan waktu. Model GSTAR merupakan suatu model yang cenderung lebih fleksibel dibandingkan model STAR. Secara matematis, notasi dari model GSTAR(1: p) adalah sama dengan model STAR(1: p). Perbedaan utama dari model GSTAR(1: p) ini terletak pada nilai-nilai parameter pada lag spasial yang sama diperbolehkan berlainan. Sedangkan pada model STAR pada parameter autoregresive diasumsikan sama pada seluruh lokasi. Dalam notasi matriks, model GSTAR(1: p) dapat ditulis sebagai berikut: π
ππ‘ =
π½π0 + π½π1 π ππ‘βπ + ππ‘ π=1
(2.17)
π π 1 1 dengan: π½π0 = ππππ ππ0 , β¦ , ππ0 dan : π½π1 = ππππ ππ1 , β¦ , ππ1
pembobot πππ = 0 dan
πβ π
πππ = 1
ππ‘ ~ π(0, π 2 πΌπ ) untuk i = 1,2,β¦,n Penaksir parameter model GSTAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat galat. Dalam mengidentifikasi orde model GSTAR, orde spasial pada umumnya dibatasi pada orde 1 karena orde yang lebih tinggi akan sulit untuk diinterpretasikan. Sedangkan
6 untuk orde waktu (autoregressive) dapat ditentukan dengan menggunakan AIC (Akaikeβs Information Criterion).
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif data inflasi bulanan di Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota
Semarang dan Kota Tegal dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Desember 2012 dijelaskan menggunakan statistika deskriptif dan plot time series. Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui rata-rata (mean), minimum, maksimum, standar deviasi, skewness, dan kurtosis, dari data inflasi di empat lokasi kota tersebut. Tabel 3.1 Deskriptif Data Inflasi Empat Kota di Jawa Tengah Variabel Purwokerto Surakarta Semarang Tegal
Mean 0.5280 0.4156 0.5182 0.5437
StDev Varians Minimum Maksimum Skewness Kurtosis 0.6296 0.3963 -0.5700 2.7500 1.29 2.85 0.6028 0.3634 -0.8000 2.4400 0.96 1.53 0.5258 0.2764 -0.5400 2.4000 0.84 1.46 0.6056 0.3667 -0.5200 2.3000 0.98 0.72
Tabel 3.1 menjelaskan bahwa rata-rata data inflasi yang terjadi di Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal berturut-turut adalah 0.5280, 0.4156, 0.5182 dan 0.5437. Rata-rata keempat lokasi tersebut tidak berbeda jauh dan tertinggi terjadi di Kota Tegal (0.5437). Sedangkan nilai varians tertinggi pada data inflasi Kota Purwokerto yaitu 0.3963. Nilai varians menunjukkan tingkat keragaman data inflasi di empat lokasi tersebut. Tingkat keragaman dan persebaran data juga dapat dilihat pada nilai skewness dan kurtosis dari data inflasi keempat lokasi tersebut.
Tabel 3.2 Nilai Korelasi Data Inflasi dari Keempat Lokasi
Surakarta Semarang Tegal
Purwokerto
Surakarta
Semarang
0.734 0.000 0.758 0.000 0.597 0.000
0.762 0.000 0.688 0.000
0.682 0.000
Nilai korelasi pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa keempat lokasi memiliki keterkaitan pada waktu yang sama. Keempat lokasi tersebut saling berkorelasi yang ditunjukkan dari
7 nilai signifikansi lebih kecil dari Ξ±=0.05. Nilai korelasi terbesar antara Kota Semarang dan Kota Surakarta yaitu 0.762. Sedangkan untuk plot time series untuk data inflasi empat kota di Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Time Series Plot of Purwokerto
Time Series Plot of Surakarta
1
2.5
2.5
2.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0 0.5
Tegal
Surakarta
Purwokerto
2
Time Series Plot of Tegal
Time Series Plot of Semarang
2.5
Semarang
3
1.0 0.5
1.0 0.5
0.0
0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5 -1
-1.0 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
1
80
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
1
80
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
Gambar 3.1 Plot Time Series Data Inflasi Empat Kota di Jawa Tengah Gambar 3.1 menunjukkan bahwa pergerakan data inflasi dari empat lokasi tersebut cenderung sama. Data inflasi Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal pada bulan Juli 2013 tinggi. Hal ini diakibatkan karena adanya kenaikan harga BBM yang mencapai sekitar 2.3 persen. Inflasi Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal pada bulan Juli 2013 mencapai 2.84, 3.91, 3.50 dan 2.38 persen. Setelah itu, data inflasi dari keempat lokasi cenderung stabil kembali. 3.2 Model ARIMA (Box Jenkinβs) Plot ACF dan PACF data inflasi Kota Purwokerto menunjukkan beberapa kemungkinan
orde
ARIMA
terbaik
diantaranya
ARIMA(0,0,1),
ARIMA(1,0,0),
ARIMA(2,0,0) dan ARIMA( 1,2 ,0,0). Data inflasi Kota Surakarta menunjukkan beberapa kemungkinan model ARIMA diantaranya ARIMA(0,0,1), ARIMA(1,0,0), ARIMA(2,0,0) dan ARIMA( 1,2 ,0,0). Model ARIMA yang dapat diduga menjadi model untuk inflasi Kota Semarang antara lain ARIMA(0,0,1) dan ARIMA(1,0,0). Sedangkan data inflasi Kota Tegal menunjukkan kemungkinan model ARIMA(12,0,0). Gambar 3.2 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Purwokerto Partial Autocorrelation Function for Purw
Autocorrelation Function for Purw
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12 Lag
14
16
18
20
2
4
6
8
10
12 Lag
14
16
18
20
72
80
8 Gambar 3.3. Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Surakarta Partial Autocorrelation Function for Sur
Autocorrelation Function for Sur
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
2
20
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Lag
Lag
Gambar 3. 4 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Semarang Partial Autocorrelation Function for Smg
Autocorrelation Function for Smg
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0
0.8
0.8
Partial Autocorrelation
1.0
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0
2
2
4
6
8
10
12
14
16
18
4
6
8
10
12
14
16
18
20
18
20
Lag
20
Lag
Gambar 3.5 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Tegal Partial Autocorrelation Function for Tegal
Autocorrelation Function for Tegal
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
2
20
4
6
8
10
12
14
16
Lag
Lag
3.3 Model Vector Autoregressive (VAR) Identifikasi merupakan tahapan awal dalam pemodelan VAR terhadap data inflasi dari empat lokasi, yaitu Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal. Tahap identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kestasioneran data yang digunakan melalui DF Test dan Plot MCCF. Hasil DF Test menunjukkan bahwa data telah stasioner karena nilai p-value lebih kecil dari πΆ (0,05) baik untuk empat lokasi tersebut. Sedangkan pengamatan visual melalui plot MCCF ditunjukkan sebagai berikut : Lag
0
1
y1 y2 y3 y4
++++ ++++ ++++ ++++
+.++ +++. +.+. +++.
Schematic Representation of Cross Correlations Variable/ 2 3 4 5 6 7 8 9 .... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... +... ....
+ is > 2*std error,
.... .... .+.. ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
- is < -2*std error,
.... .... .... ....
.... .... .... ....
10
11
12
.... ..-. .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ...+
. is between
Gambar 3.6 Plot MCCF Data Inflasi di Empat Lokasi
9 Gambar 3.6 menunjukkan bahwa data di empat lokasi telah stasioner karena tanda titik (.) lebih banyak daripada tanda (+) dan (-). Schematic Representation of Partial Cross Correlations Variable/ Lag 1 2 3 4 5 6 7 y1 y2 y3 y4
.... ..+. .... ....
-... .-.. .... ....
+... .... .+.. ....
..-. .... +... ....
+ is > 2*std error,
.... .... .+.. ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
- is < -2*std error,
8
9
10
11
12
.... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
..-. .... .... +...
.... .... .... ....
. is between
Gambar 3.7 Plot MPCCF Data Inflasi di Empat Lokasi Setelah data stasioner, langkah selanjutnya adalah menentukan orde VAR melalui plot MPCCF dan nilai Akaikeβs Information Criterion (AIC) dari data yang telah stasioner. Nilai AIC yang dilihat adalah nilai AIC yang terkecil. Plot MPCCF dan nilai AIC ditampilkan pada Gambar 3.7 dan Tabel 3.3. Tabel 3.3 Nilai AIC model VAR Minimum Information Criterion Lag AR AR AR AR AR AR
MA 0 0 1 2 3 4 5
-6.466759 -7.080025 -7.101651 -7.155183 -7.215531 -7.081959
MA 1 -6.117883 -6.779898 -6.919923 -6.846704 -6.73418 -6.639217
MA 2 -6.069383 -6.647798 -6.57589 -6.543945 -6.17386 -6.107487
MA 3 -5.923262 -6.615466 -6.427361 -6.178326 -5.639767 -5.412928
MA 4 -5.954477 -6.653975 -6.218947 -5.745273 -5.024096 -4.702854
MA 5 -5.829968 -6.322366 -5.927578 -5.389189 -4.53698 -3.492538
Nilai orde VAR yang diperoleh adalah model VAR(5). Hal ini terlihat dari Nilai Akaikeβs Information Criterion terkecil yang diperoleh pada AR(5) dan MA (0). Penaksiran parameter model VAR (5) menghasilkan 16 parameter seperti yang terlihat pada tabel 3.4 sebagai berikut : Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model VAR(5) Lokasi Purwokerto ππ (π)
Surakarta ππ (π)
Semarang ππ (π)
Tegal ππ (π)
Parameter π11 π12 π13 π14 π21 π22 π23 π24 π31 π32 π33 π34 π41 π42 π43 π44
Estimasi -0.04977 0.31371 0.36791 0.10230 0.01946 0.39878 -0.00364 0.15673 0.09668 0.30873 0.16954 0.14362 0.39231 -0.02059 0.16750 0.04288
Standar Error 0.17313 0.19984 0.21598 0.15321 0.16444 0.18981 0.20514 0.14552 0.15418 0.17797 0.19235 0.13644 0.19549 0.22565 0.24388 0.17300
t-value -0.29 1.57 1.70 0.67 0.12 2.10 -0.02 1.08 0.63 1.73 0.88 1.05 2.01 -0.09 0.69 0.25
p-value 0.7745 0.1205 0.0924 0.5062 0.9061 0.0388 0.9859 0.2847 0.5324 0.0867 0.3808 0.2957 0.0482 0.9275 0.4942 0.8049
variabel π1 (π‘ β 1) π2 (π‘ β 1) π3 (π‘ β 1) π4 (π‘ β 1) π1 (π‘ β 1) π2 (π‘ β 1) π3 (π‘ β 1) π4 (π‘ β 1) π1 (π‘ β 1) π2 (π‘ β 1) π3 (π‘ β 1) π4 (π‘ β 1) π1 (π‘ β 1) π2 (π‘ β 1) π3 (π‘ β 1) π4 (π‘ β 1)
10 Berdasarkan Tabel di atas, taksiran parameter model VAR dapat ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut : π1 (π‘) β0.04977 0.31371 0.36791 0.10230 π2 (π‘ 0.39878 β0.00364 0.15673 = 0.01946 0.09668 0.30873 0.16954 0,14362 π3 (π‘ 0.39231 β0.02059 0.16750 0.04288 π4 (π‘
π1 π2 π3 π4
π‘β1 π‘β1 π‘β1 π‘β1
Persamaan matriks tersebut dapat dijabarkan menjadi model VAR untuk masing-masing lokasi. Berikut persamaan model VAR(5) untuk data inflasi Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal : Purwokerto
:
π1 (π‘)
= β0.04977π1 π‘ β 1 + 0.31371π2 π‘ β 1 + 0.36791π3 π‘ β 1 β 0.10230π4 π‘ β 1
Surakarta
:
π2 π‘
= 0.01946π1 π‘ β 1 + 0.39878π2 π‘ β 1 β 0.00364π3 π‘ β 1 + 0.15673 π4 π‘ β 1
Semarang
:
π3 (π‘)
= 0.09668π1 π‘ β 1 + 0.30873π2 π‘ β 1 + 0.16954π3 π‘ β 1 + 0.14362 π4 π‘ β 1
Tegal
:
π4 π‘
= 0.39231π1 π‘ β 1 β 0.02059π2 π‘ β 1 + 0.16750π3 π‘ β 1 β 0.04288 π4 π‘ β 1
Persamaan model VAR untuk inflasi Purwokerto dipengaruhi oleh inflasi Kota Purwokerto itu sendiri, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal satu bulan sebelumnya. Begitu juga untuk inflasi Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal.
3.3.1 Uji Asumsi White Noise Residual Model VAR(5) Setelah mendapatkan parameter dan model yang signifikan, maka langkah selanjutnya adalah pengujian asumsi apakah residual memenuhi asumsi white noise. Jika letak nilai AIC terdapat pada lag AR(0) dan MA(0), maka residual dapat dikatakan sudah memenuhi asumsi white noise. Schematic Representation of Cross Correlations of Residuals Variable/ Lag
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
y1 y2 y3 y4
++++ ++++ ++++ ++++
.... .... .... ....
--.. .-.. .-.. .-..
.... -... .... -...
.... .... .... ....
.... .... .+.. ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
.... .... .... ....
+..+ .... .... ....
+ is > 2*std error,
- is < -2*std error,
. is between
Gambar 3.8 Plot Cross Correlations of Residuals Gambar 3.8 menunjukkan bahwa tanda positif lebih banyak yang muncul pada lag (0), hal ini berarti residual sudah memenuhi asumsi white noise.
11 3.4 Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) Pemodelan menggunakan GSTAR merupakan pemodelan untuk data time series yang memperhatikan faktor lokasi. Faktor lokasi ini ditunjukkan dengan adanya pemberian pembobot pada masing-masing lokasi. Pembobot yang digunakan adalah bobot seragam. Matriks pembobotnya adalah sebagai berikut : 0 1
π€ππ =
2 1
1
1
1
2
2 1
2 1
2
2 1
0 1
2 1
2 1
2
2
0 1 2
2
0
Sedangkan orde time yang digunakan dalam GSTAR sama dengan orde model VAR. Untuk orde spasialnya dibatasi hanya pada orde 1, sehingga model yang digunakan adalah model GSTAR (1;5). Model VAR(5) mempunyai 16 parameter, sedangkan model GSTAR(1:5) mempunyai 8 parameter saja, jadi model GSTAR(1:5) lebih efisien jika dibandingkan model VAR(5).
IV.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut : 1. Tingkat inflasi di suatu wilayah di suatu wilayah cenderung akan berdampak pada harga-harga di daerah di sekitar wilayah tersebut, sehingga pemodelan inflasi dengan memperhatikan dampak kedekatan lokasi memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan pemodelan dengan model ARIMA Box Jenkinβs. 2. Orde yang didapatkan dari model VAR(5) digunakan sebagai orde pada model GSTAR, sehingga model GSTAR yang terbentuk adalah GSTAR (1: 5). 3. Model GSTAR(1:5) lebih efisien dibandingkan model VAR(5) karena model VAR(5) mempunyai 16 parameter, sedangkan model GSTAR(1:5) hanya mempunyai 8 parameter saja.
DAFTAR PUSTAKA Nurani, B. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model Generalisasi STAR. Jurnal Forum Statistika dan Komputasi. IPB, Bogor. Pfeifer, P.E dan Deutsch, S.J. 1980a. A Three Stage Iterative Procedure for Space Time Modelling. Technometrics, 22 (1), 35-47.
12 , 1980b. Identification and Interpretation of First Orde Space-Time ARMA Models. Technometrics, 22 (1), 397-408. Ruchjana, B.N, Borovkova, S.A and Lopuhaa, H.P(2012). Least Squares Estimation of Generalized Space Time AutoRegressive (GSTAR) Model and Its Properties, The 5th International Conference on Research and Education in Mathematics, AIP Conf. Proc.1450, 61-64. Suhartono dan Atok, R.M. (2006). Pemilihan Bobot Lokasi yang Optimal pada Model GSTAR, Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIII, Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006, hal. 571-580. (ISBN : 979-704-457-2).
Wei, W.W.S. 2006. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods. Canada : Addison-Wesley Publishing Co.