PENDEKATAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PADA ANAK DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN DENGAN FASILITAS TERBATAS
Bakhtiar Abstrak. Tuberkulosis pada anak masih merupakan penyakit dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan kesulitan dalam menegakkan diagnosis, terutama diagnosis pasti, yaitu ditemukannya M. Tuberculosis dari spesimen penderita. Kemajuan teknologi diagnostik memang telah berkembang pesat, namum hanya bisa dilakukan di pusat pelayanan kesehatan yang lengkap. Untuk mengatasi permasalahan ini, terutama di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat diterapkan suatu sistem skoring. Dalam penerapannya, sistem skoring ini terdiri dari 8 parameter, yaitu: adanya kontak dengan penderita TB dewasa, uji tuberkulin, keadaan gizi, demam ≥ 2 minggu, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar linfe, pembengkakan tulang/sendi, dan foto toraks. Nilai skor masing-masing berkisar 0-3. Dengan sistem skoring ini, diagnois TB pada anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6. Sistim skoring merupakan pendekatan diagnosis TB pada anak secara umum. Untuk diagnosis spesifik berdasarkan organ yang terlibat dibutuhkan analisis gambaran klinis yang spesifik dari organ tersebut dan pemeriksaan penunjang yang spesifik (JKS 2016; 2: 122-128) Kata Kunci: Tuberkulosis, sistem skoring, pendekatan diagnosis. Abstract. Tuberculosis in children is still a disease with high morbidity and mortality rate. It is estimated that relates to the difficulty in establishing the diagnosis, especially a definite diagnosis, namely the discovery of M. tuberculosis from the patient specimen. Advances in technology diagnostic indeed been growing rapidly, but can only be done at the center complete health. To solve this problem, especially for services in health facilities with limited facilities, can be applied to a scoring system. In practice, the system of scoring is comprised of eight parameters: their contact with adult patients, tuberculin test, nutritional state, fever more than two weeks, the cough of more than three weeks, enlarged lymph nodes, swelling of bones and joints, and chest x-ray. The score of the eight parameters ranging from 0-3. With this scoring system, the diagnosis of TB in children is established when the total score is more than 6. Scoring System is an approach to diagnosing TB in children generally. For specific diagnosis based on the organs involved in the analysis required specific clinical features of these organs and specific investigations. (JKS 2016; 2: 122-128) Keywords: Tuberculosis, scoring system , diagnosis approach.
Pendahuluan1 Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), Tuberkulosis (TB) masih merupakan salah satu penyakit pada anak dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Diperkirakan, TB masih merupakan salah satu dari tiga penyakit infeksi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas terbanyak di seluruh dunia dan merupakan peringkat Bakhtiar adalah Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Syiahkuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
kedua penyebab kematian karena infeksi setelah HIV/AIDS.1 Meningkatnya kasus TB pada anak diperkirakan berkaiatan dengan kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Salah satu diantaranya adalah, kesulitan mendapatkan M. Tuberculosis sebagai kuman penyebab.1,2 Berbagai kemajuan teknologi telah memberi dukungan sebagai penunjang diagnosis. Namun, pada sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, penerapan teknologi sebagai penunjang diagnosis TB pada anak tidak mungkin dilakukan. Karena itu, sistem skoring sebagai alternatif untuk
122
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 16Nomor 2 Agusus 2016
menegakkan diagnosis sangat mungkin untuk diterapkan. 2,3 Etiologi Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M. Tuberculosis. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penamaan ini didasarkan pada kemampuan M. tuberculosis untuk mempertahankan ikatan dengan fuschin yang disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel. Pewarnaan dengan carbol fushin ini dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk pewarnaan preparat apus M. tuberculosis.4,5 Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh secara lambat di dalam sel (intraselular). Karakteristik utama Mycobacterium yang membedakan dengan bakteri lain adalah kemampuannya mempertahankan warna merah fuchsin saat dilakukan dekolorisasi dengan asam dan alkohol pada pewarnaan preparat apus.4,6 Struktur dinding Mycobacterium tuberculosis bersifat kompleks dan antigenik. Dinding sel M. tuberculosis ini mempunyai peranan penting untuk interaksi dengan sel-sel imun pejamu.4 Substansi antigenik yang terdapat pada dinding sel tersebut antara lain lipoarabinomanan (LAM), sulfolipid, asam mikolat yang mengandung glikolipid., dan lipoprotein 19 kDa. Protein yang terdapat pada dinding M. tuberculosis yang terikat pada lemak dapat membangkitkan reaksi tuberkulin. Sebagian besar antigen pada dinding sel tersebut menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat.4,6 Diagnosis Pasti Diagnosis pasti tuberkulosis pada anak ditegakkan dengan ditemukan M. Tuberculosis sebagai kuman penyebab. Namun, penemuan M. Tuberculosis dari sputum, misalnya, sangat sulit didapatkan. Hal ini berkaitan dengan kesulitan pada pemeriksaan BTA dari bahan sputum pada anak. Karena itu, tidak terdapatnya BTA pada pemeriksaan mikrobiologis dengan
preparat apus, belum tentu tidak ada BTA sama sekali karena untuk mendapatkan hasil positif diperlukan sekitar 5.000−10.000 bakteri per mL sputum. Baku emas pemeriksaan M. Tuberculosis adalah dengan biakan. Hal tersebut disebabkan karena hanya dengan 10−100 BTA hidup per mL sputum, masih dapat diperiksa secara mikrobiologis dengan metode biakan kuman.7,8 Pendekatan Diagnosis Berbeda dengan orang dewasa, diagnosis penyakit TB anak merupakan hal yang sulit karena TB anak merupakan TB primer yang seringkali tidak menunjukkan gejala yang khas. Upaya pemeriksaan bakteriologis sebagai diagnosis pasti TB pada anak sulit untuk dilakukan.7,8 Tuberkulosis paru pada anak jarang memproduksi sputum. Umumnya anak belum mampu untuk mengekspektorasi sputum. Upaya untuk mendapatkan sputum pada anak dilakukan dengan menggunakan metode bilas lambung, namun demikian hasil BTA (+) tetap rendah, yaitu berkisar 20−40%. WHO melaporkan BTA (+) pada anak usia 0−14 tahun di Indonesia tahun 2003 hanya 2/100.000 populasi.2,8 Karena sulitnya menemukan M. Tuberculosis sebagai etiologi dari penyakit tuberculosis pada anak, maka salah satu yang diterapkan di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas adalah dengan 2,7 menggunakan sistim skoring. Parameter yang digunakan dalam sistem skoring ini adalah: rirayat kontak dengan penderita dewasa, keadaan gizi, demam yang tidak diketahui penyebabnya, batuk kronik. Parameter lainnnya, dari aspek pemeriksaan fisik adalah: pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan sendi panggul, lutut, falang. Parameter dari aspek pemeriksaan pemeriksaan penunjang berupa: uji tuberkulin dan foto thoraks.2,5,8 Pada kriteria UKK Respirologi IDAI tahun 2007, adanya kontak dengan penderita TB paru dewasa dibedakan menjadi tiga
123
Bakhtiar, Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis pada Anak di Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas
golongan, yaitu: (1) kontak tidak jelas, (2) laporan keluarga dengan BTA (-) atau tidak jelas, (3) kontak dengan penderita dewasa BTA (+). Uji tuberkulin dibedakan menjadi “positif” bila ukuran diameter >10 mm atau >5 mm pada keadaan imunosupresi dan disebut “negatif” bila tidak memenuhi kriteria “positif” tersebut.2,3,8 Status gizi pada sisten skoring PP IDAI ditentukan secara antropometris meliputi berat badan dan tinggi badan. Hasil pengukuran tersebut kemudian dikelompokkan menjadi kelompok dengan BB/TB 70−<90% atau BB/U 60−<80% dan kelompok gizi buruk dengan manifestasi klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60%, masing-masing mendapat skor 1 dan 2. Kelompok BB/U ≥80% atau BB/TB≥90% tidak mendapat skor. 2,3, Demam tanpa sebab jelas adalah demam yang tidak disertai gejala klinis lain dan telah berlangsung >2 minggu. Batuk pada kriteria ini telah berlangsung >3 minggu dan tidak disebabkan oleh asma atau infeksi saluran napas akut. Pembesaran kelenjar limfe adalah pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, dan/atau inguinal dengan diameter >1 cm, jumlah >1, dan tidak nyeri.2 Pembengkakan tulang/sendi pada kriteria ini adalah adanya pembengkakan pada tulang/sendi panggul, lutut, atau falang.2,3,7 Gambaran foto toraks dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok pertama adalah foto toraks normal, (2) kelompok kedua adalah gambaran sugestif TB meliputi adanya pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, atelektasis, kavitas, dan efusi pleura. 2,7 Gejala sistemik yang sering timbul salah satunya adalah demam. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama.3,9 Manifestasi lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan yang tidak naik (turun, tetap, atau naik namun tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, dan lelah). Pada sebagian besar TB paru
pada anak tidak menunjukkan gejala batuk kronik, kecuali bila terjadi limfadenitis regional yang menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk.2,3,9 Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai terutama pada regio koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal. Biasanya kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat (konfluens). Manifestasi spesifik lain dapat melibatkan susunan saraf pusat (berupa meningitis TB), tulang, kulit, mata, ginjal, peritoneum, dan lain-lain.2,4,10 Uji tuberkulin masih memungkinkan dilakuan di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas. Uji tuberkulin dapat digunakan sebagai penunjang diagnostik bekerja berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.4,6 Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini mencapai puncaknya dalam 48−72 jam, sehingga indurasi yang terbentuk pada uji tuberkulin tersebut dapat berfungsi sebagai alat uji diagnostik bila diukur dalam kurun waktu tersebut.3,6,8,11 Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT 23 2 TU buatan Staten Serum Institut Denmark dan Biofarma. Komposisi dari PPD RT 23 2 TU tersebut dalam tiap mL terdiri atas tuberkulin PPD 0,4 µg, natrium fosfat dihidrat 7,6 µg, kalium dihidrogen fosfat 1,5 µg, natrium klorid 4,8 µg, kalium hidroksikinolin sulfat 100 µg, polisorben 80 50 µg, dan air 1 mL. Penambahan polisorben 80 (Twen 80) dalam PPD RT 23 berfungsi untuk mencegah absorbsi tuberkulin oleh dinding gelas atau plastik. Dosis PPD RT 23 2 TU setara dengan 0,1 mL larutan.4,6 Penggunaan PPD RT 23 ini telah direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1963 sebagai alat uji kulit tuberkulin standar dengan akurasi dan stabilitas yang tinggi. 2,6,11
Pada uji tuberkulin, yang diukur adalah indurasi yang terbentuk. Pengukuran
124
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 16Nomor 2 Agusus 2016
indurasi ini dilakukan dengan cara mengukur indurasi pada diameter transversal, baik secara langsung maupun dengan cara sokal. Untuk mengurangi bias dalam pengukuran indurasi, Sokal menggunakan bolpoin untuk menentukan tepi indurasi pada diameter tranversal, kemudian dilakukan pengukuran pada bekas tanda bolpoin tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dengan metode bolpoin memiliki reliabilitas yang lebih baik dan bias antar pengamat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan metode pengukuran secara langsung.2,8 Hasil pengukuran indurasi uji tuberkulin dinyatakan dalam satuan milimeter. Secara umum, indurasi >10 mm dinyatakan positif. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan bahwa uji tuberkulin negatif. Diameter 5−9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis, keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cutoff point hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm.2,8,10 Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, dan pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Tedapat sejumlah faktor dapat menyebabkan hasil uji tuberkulin negatif. Karena itu, hasil uji tuberkulin negatif tidak menyingkirkan diagnosis TB. Faktor-faktor tersebut antara lain dalam masa inkubasi, setelah mendapat vaksin hidup, campak, pertusis, keganasan, dan malnutrisi berat. Di samping itu, hasil negatif juga terjadi pada kesalahan penyuntikan dan faktor keakuratan pembacaan. 3,7,9
infeksi lain.5,11 Bacillus Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan bakteri M. bovis yang dilemahkan sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif walaupun tidak sekuat infeksi alamiah. Adanya hematoma atau abses kecil pada daerah injeksi dapat diinterpretasi sebagai indurasi jika ada trauma atau infeksi lainya pada daerah injeksi.6,11 Tabel 1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Hasil Uji Tuberkulin Negatif Palsu Pejamu Infeksi: virus (campak, HIV, mumps), bakteri (tifoid, pertusis, bruselosis), fungi Vaksinasi virus hidup Gagal ginjal kronik Status protein yang rendah (KEP berat, afibrinogenemia) Penyakit organ limfoid (penyakit hodgkin, limfoma, leukemia, sarkoidosis) Obat-obatan (steroid dan obat imunosupresan) Usia (bayi baru lahir, usia lanjut) Tuberkulin: penyimpanan yang tidak benar, denaturasi zat kimia, absopsi Penyuntikan: terlalu sedikit, suntikan subkutan, terlalu lama dalam semprit, berdekatan dengan uji kulit lain Pembacaan: salah pembacaan dan pencatatan Sumber: Mandalakas dan Starke6
Tuberkulin mempunyai sensivitas cukup tinggi, yaitu 80−96%. Negatif palsu dapat terjadi pada keadaan imunosupresi atau sakit kritis. Spesifisitas tuberkulin di wilayah yang mempunyai paparan tinggi terhadap berbagai jenis mikobakteri adalah 95%, sedangkan di wilayah dengan paparan berbagai jenis mikobakteri yang rendah, spesifisitas tuberkulin dapat mencapai 99−99,5%. Orang yang kontak erat dengan penderita TB paru dapat memiliki likelihood ratio untuk terinfeksi TB sebesar 25−50%. 3,6,9
Hasil positif palsu pada uji tuberkulin terjadi pada beberapa keadaan meliputi riwayat pemberian Bacille Calmette Guerin (BCG) sebelumnya, infeksi M. atypic lainnya, dan pembacaan yang salah karena ada trau atau
125
Bakhtiar, Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis pada Anak di Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas
Strategi Sistem Skoring Sistem skoring untuk diagnosis Tuberkulosis pada anak ditetetapkan oleh UKK Respirologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sistem skoring ini dianggap mudah diterapkan di negara berkembang atau di fasilitas kesehatan dengan fasilitas terbatas. Sistem skoring yang diterapkan oleh UKK Respirologi IDAI telah sepakat untuk menggunakan sistem skor yang terdiri atas delapan kriteria, yaitu adanya kontak dengan TB dewasa, uji kulit tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam >2 minggu, batuk >3 minggu, pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan tulang/sendi, dan foto toraks dengan nilai skor masing-masing 0−3. Diagnosis TB ditegakkan bila jumlah skor >6, kecuali bila terdapat skrofuloderma langsung didiagnosis sebagai TB. Sistem skoring untuk diagnosis TB pada anak pertama kali diterapkan tahun 2005 oleh UKK Respirologi Anak PP IDAI. Sejak tahap awal penerapannya, sistem skoring ini terus dievaluasi untuk menilai sensitivitas diagnosis TB anak. Sejumlah penelitian dilakukan untuk melihat keandalan sistem skoring rekomendasi tahun 2005 tersebut. Salah satu di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Melinda12 di Bandung tentang keandalan sistem skoring untuk menegakkan diagnosis TB anak terhadap uji 99mTc-etambutol SPET/CT. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa lima dari delapan variabel indikator sistem skoring UKK Respirologi IDAI tahun 2005, yaitu riwayat kontak, uji tuberkulin, foto toraks, demam ≥2 minggu, dan staus gizi memiliki kinerja baik dalam mendiagnosis TB dengan nilai p
berturut-turut adalah 0,0019; 0,0006; 0,0026 dan 0,0003.12,13
0,0050;
Dengan adanya pembuktian dari sejumlah penelitian, kemudian sistem skoring IDAI 2005 disempurnakan kembali hingga yang terakhir digunakan adalah rekomendasi tahun 2007. Sistem skoring UKK Respirologi PP IDAI tahun 2007 yang digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak tersebut sudah dilakukan penelitian di empat rumah sakit Jakarta. Dari penelitian tersebut ditunjukkan bahwa angka sensitivitas sitem skoring PP IDAI adalah 88%, sedangkan spesifisitasnya hanya 58%. Pada penelitian lapangan yang dilakukan di tiga provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta Raya, angka sensitivitasnya adalah 88−89% dan spesifitanya adalah 93% dengan positive predictive value (PVP) 88−91% dan negative predictive value (NPV) 85−90%.13 Kesimpulan Terdapat banyak kesulitan dapat membuat diagnosis pasti tuberkulosis pada anak. Hal ini karena sulitnya menemukan M. Tuberkulosis sebagai kuman penyebab. Kemajuan teknologi diagnostik memang telah berkembang pesat, namum hanya bisa dilakukan di pusat pelayanan kesehatan yang lengkap. Untuk mengatasi permasalahan ini, terutama untuk palayanan di sarana kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat diterapkan suatu sistem skoring. Dalam penerapannya, sistem skoring ini terdiri dari 8 parameter, yaitu: adanya kontak dengan penderita TB dewasa, uji tuberkulin, keadaan gizi, demam ≥ 2 minggu, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar linfe, pembengkakan tulang/sendi, dan foto torak.
126
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 16Nomor 2 Agusus 2016
Tabel 2. Sistem Skoring Diagnosis TB Anak UKK Respirologi PP IDAI Parameter
0
1
2
3
Kontak TB
Tidak jelas
-
Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas)
BTA (+)
Uji tuberkulin
negatif
-
-
Positif (≥10 mm atau ≥5 mm pada keadaan imunosupresi
Berat badan/ keadaan gizi
-
BB/TB <90% atau BB/U <80%
Klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60%
-
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
-
≥ 2 minggu
-
-
Batuk kronik
-
≥ 3 minggu
-
-
Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal
-
>1 cm, jumlah >1, tidak nyeri
-
-
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang
-
Ada pembengkakan
-
-
Normal/ kelainan tidak jelas
Gambaran sugestif TB
-
-
Foto toraks
Catatan: - Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. - Diagnosis TB dibuat jika skor ≥ 6 (skor maksimal 13). - Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis TB. - Berat badan dinilai pada saat pasien datang (moment opname). - Demam dan batuk tidak memiliki respon terhadap terapi baku. - Foto toraks bukan merupakan alat diagnosti utama pada TB Anak.
Sumber: UKK Respirologi IDAI, 2008
127
Bakhtiar, Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis pada Anak di Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas
Nilai skor masing-masing berkisar 0-3. Dengan sistem skoring ini, diagnois TB pada anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6. Namun sistim skoring ini merupakan pendekan diagnosis penyakit TB pada anak secara umum. Diagnosis spesifik sesuai dengan organ yang terlibat tetap membutuhkan penunjang diagnostik yang lebih spesifik. Daftar Pustaka
11.Marais BJ. Tuberculosis in children. Pediatr Pulmonul 2008;43:322-9. 12.Melinda H. Keandalan sistem skor untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis anak terhadap uji 99mTeknesium-etambutol dengan pencitraan singgle photon emission tomography/computed tomografi (SPECT/CT) (disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pdjadjaran; 2008. 13.Pediatric TB Working Group. Field experiences in implementation of chilhood TB prevention and management policies. Cape Town, South Africa; 2007.
1. WHO. WHO report 2009: global tuberculosis control, epidemiology, strategi, financing. Geneva: World health Organization;2009. 2. Rahajoe NR, Supriyatno R, Setyanto DB. Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi ke-2. Jakarta:Badan Penerbit IDAI, 2008. 3. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam: Nastiti NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010; 194-213. 4. Zumla A, Raviglione M, Hafner R, von Rayen CF. Tuberculosis. N. Engl J Med. 2013;368:745. 5. Marten G. Tuberculosis. Lancet 2007;370:2030-42. 6. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculosis mycobacterial diasease. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmot R, Bush A, penyunting. Kendig’s disorder of the respiratory tract in the children. Edisi ke7. Philadelphia: Saunders; 2006. Hlm 50729. 7. Setyanto DB. Tantangan diagnosis TB pada anak. Dalam:Trihono PP, Djer MM. Indawati W, penyunting. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak pada tingkat pelayanan primer. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2013.hlm.16-7. 8. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmer on the management of tuberculosis in children, 2006. 9. Marais BJ. Obihara OC, Gie RP, Hesseling AC, Schaff HS. Lombard C, dkk. The prevalence of symptoms associated with pulmonary tuberculosis in randomly selected children frm high burden community. Arch Dis Child 2005;90:1166-1170. 10.Mayers MM, Adam HM. Tuberculosis. Pediatr Rev 2008;29:140-2.
128