I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah
menghasilkan karkas dengan bobot yang tinggi (kuantitas), kualitas karkas yang bagus dan daging yang maksimal, baik bagi produsen, konsumen dan pihak-pihak lain yang berkaitan dalam industri daging. Daging merupakan salah satu protein hewani dan bahan makanan yang bergizi tinggi, sehingga permintaan akan daging sapi terus meningkat, disamping itu daging sapi memiliki tingkat kesukaan konsumen yang tinggi dibandingkan dengan daging dari bermacam-macam hewan lainnya. Kegiatan produksi karkas dan daging sapi tidak terlepas dari peran Rumah Potong Hewan (RPH) sebagai tempat dan penyedia jasa pemotongan ternak. RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan untuk menghasilkan daging bagi konsumsi masyarakat umum. Jumlah pemotongan sapi di RPH juga bisa mengindikasikan jumlah permintaan konsumen akan daging sapi. Kegiatan pemotongan sapi tidak terlepas dari peran jagal sebagai konsumen sapi dan salah satu sub sistem kegiatan agribisnis dalam usaha sapi potong. Usaha pemotongan dan penjualan daging yang dilakukan oleh jagal sapi merupakan subsistem kegiatan agribisnis (Suryadi, 2006). Peran jagal dalam agribisnis usaha pemotongan sapi cukup vital karena sebagai konsumen sapi hidup dan pemasok daging ke pasar-pasar yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir yaitu Rumah Tangga dan HOREKA (Hotel, Restoran, dan Katering). Kegiatan para jagal sapi dimulai dari
2 pembelian sapi hidup, proses pemotongan sampai menjadi potongan komersial daging dan hasil ikutannya yang dipasarkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Secara tradisional jagal harus mempunyai pengalaman dalam menaksir persentase karkas yang akan dihasilkan setelah ternak dipotong. Kriteria penaksiran persentase karkas pada umumnya berdasarkan umur, bobot badan, bangsa sapi, dan berat karkas setelah sapi dipotong (Siregar, 2003). Dalam situasi krisis ekonomi saat ini yang dicerminkan dengan tidak stabilnya kurs dollar menyebabkan harga pasar ternak hidup melonjak pesat. Bahkan pada saat momen “munggahan” dan Idul Fitri harga jual daging sapi mengalami kenaikan yang cukup tinggi sehingga memberatkan masyarakat umum sebagai konsumen daging sapi. Bagi jagal naiknya harga jual daging sapi karena harga pembelian sapi juga meningkat dan langkanya sapi hidup di pasaran akibat adanya isu penimbunan sapi oleh oknum perusahaan feedlot. Akibat dari krisi tersebut, beberapa jagal sapi dalam usahanya tidak berkembang bahkan ada yang sementara menutup usahanya. Jumlah pemotongan sapi di RPH Kota Bandung pada Tahun 2014 sebanyak 26.176 ekor dengan perbandingan 94,8% sapi impor dan 5,2% sapi lokal (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, 2015). Berdasarkan pengamatan pendahuluan, bahwa pemotongan ternak di RPH lebih banyak sapi impor dibandingkan pemotongan sapi lokal, hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jumlah pemotongan sapi di RPH yang dilakukan para jagal dipengaruhi oleh harga sapi, berat badan sapi, dan jenis kelamin. Faktor itulah yang lebih dominan mempengaruhi jagal untuk melakukan pemotongan sapi di RPH. Akhirnya dengan meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi di tingkat
3 konsumen, tanpa diimbangi dengan penyediaan yang mencukupi maka harga sapi hidup dan daging akan terus melonjak naik. Faktor tersebut penting untuk dikaji agar dapat menganalisis faktor mana yang paling berpengaruh terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH Kota Bandung. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemotongan Sapi Impor di Rumah Potong Hewan (RPH) Pemerintah Kota Bandung”. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut: 1.
Seberapa besar faktor-faktor berat badan sapi, harga sapi impor, harga sapi lokal, dan jenis kelamin secara bersama-sama mempengaruhi pemotongan sapi impor di Rumah Potong Hewan (RPH) Pemerintah Kota Bandung.
2.
Faktor manakah yang paling berpengaruh tehadap pemotongan sapi impor di Rumah Potong Hewan (RPH) Pemerintah Kota Bandung.
1.3
Maksud dan Tujuan Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dirumuskan, maka maksud
dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui faktor berat badan sapi, harga sapi impor, harga sapi lokal, dan jenis kelamin secara bersama-sama mempengaruhi pemotongan sapi impor di Rumah Potong Hewan (RPH) Pemerintah Kota Bandung.
2.
Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH Pemerintah Kota Bandung.
4 1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah dan dinas terkait dalam hal permintaan sapi impor di RPH Pemerintah Kota Bandung.
3.
Memberi manfaat baik bagi peneliti khususnya dan dapat pula di jadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.5
Kerangka Pemikiran Rumah Potong Hewan (RPH) Pemerintah Kota Bandung adalah Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang pengelolaan rumah potong hewan dan jasa pemotongan ternak. Fungsi RPH adalah sebagai sarana strategis tata niaga ternak ruminansia dengan alur berawal dari peternak atau feedlot, pasar hewan, bandar sapi, jagal, dan RPH merupakan alur terakhir tata niaga ternak hidup, sedangkan pasar tradisional/swalayan merupakan alur awal tata niaga hasil ternak (Lestari, 1994). Hasil akhir dari kegiatan pemotongan di RPH adalah menghasilkan karkas dan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) guna memenuhi permintaan masyarakat sebagai konsumen akhir. Jumlah pemotongan sapi di RPH dapat mengindikasikan jumlah permintaan karkas dan daging sapi para konsumen. Tahun 2014, jumlah pemotongan sapi di RPH Pemerintah Kota Bandung sebanyak 26.176 ekor dengan rincian RPH Ciroyom memotong 15.207 ekor dan RPH Cirangrang memotong 10.969 ekor (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, 2015).
5 Hasil pemotongan seekor ternak dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu karkas dan nonkarkas. Karkas menurut Badan Standardisasi Nasional (1995) didefinisikan sebagai tubuh sapi sehat yang telah disembelih, dikuliti, isi rongga perut dan rongga dada telah dikeluarkan, tanpa kepala, tanpa kaki bagian bawah, dan alat kelamin pada sapi jantan atau ambing pada sapi betina yang telah melahirkan
dipisahkan
kemudian
dibelah
membujur
sepanjang
tulang
belakangnya. Komponen utama dari karkas adalah tulang, daging, dan lemak. Komponen nonkarkas antara lain kulit, kepala, ekor dan viscera (hati, jantung, paru-paru dan saluran pencernaan). Non karkas juga bernilai ekonomi tinggi karena digunakan sebagai bahan pangan yang banyak disukai masyarakat, seperti soto, gulai, sate, dan lain-lain. Para jagal biasanya membawa karkas dan non karkas ke pasar guna memenuhi permintaan konsumen. Hasil karkas umumnya dinyatakan dalam bentuk persentase karkas, yaitu perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong. Persentase karkas sapi yang diterima pejagal dari pemotongan berkisar antara 50% sampai 60% (Forrest, dkk., 1975). Permintaan jagal akan karkas dan daging sapi tidak terlepas dari ketersediaan sapi di RPH, sapi yang tersedia antara lain sapi impor dan sapi lokal. Sapi impor biasanya didatangkan dari perusahaan feedlot yang telah bekerjasama dengan para bandar sapi dan pihak RPH sebagai penyedia kandang penampungan. Sapi lokal didatangkan dari daerah sentra produksi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jagal merupakan konsumen sapi siap potong di RPH dan salah satu mata rantai distribusi daging sapi. Saluran pemasaran sapi siap potong dimulai dari ketersediaan sapi impor di perusahaan feedlot, lalu supplier membeli sapi dengan jumlah banyak atau minimal 50 ekor, selanjutnya dikirim ke para bandar sapi secara bertahap yakni 1 truk (14 ekor) per hari, kemudian jagal sapi membeli sapi
6 hidup ke bandar dengan cara dikecer, setelah itu jagal menjual secara karkas kepada pedagang kecil di pasar. Harga daging sapi impor dan lokal di tingkat pasar tidak ada bedanya, namun yang membedakan adalah harga karkas hasil pemotongan di tingkat RPH yang dibeli oleh jagal. Rata-rata jumlah pemotongan sapi di RPH Kota Bandung Tahun 2014 sebanyak 73 ekor/hari (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, 2015). Jumlah pemotongan sapi atau permintaan daging sapi yang dilakukan oleh para jagal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya harga sapi, berat badan, dan jenis kelamin. Faktor berat badan sapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jagal dalam pembelian sapi karena berat badan akan berhubungan dengan karkas dan keuntungan yang akan diterima jagal setelah ternak dipotong, yakni dari perhitungan persentase karkas. Karkas kategori baik memiliki proporsi tulang yang kecil, proporsi daging yang tinggi, dan proporsi lemak yang sedikit atau dalam jumlah yang optimal sesuai permintaan pasar (Field dan Taylor, 2008). Peningkatan bobot badan sapi akan sejalan dengan peningkatan daging yang dihasilkan. Namun, peningkatan bobot badan lebih baik pada saat sapi berumur muda atau masa pertumbuhan, yakni 1,5-2,5 tahun karena setelah melewati masa pubertas proporsi daging mulai mengalami penurunan dan menghasilkan banyak lemak. Hal itu tentu akan merugikan para jagal saat sapi dipotong. Lemak subcutan atau di bawah kulit cenderung dibuang atau dipisahkan karena konsumen relatif tidak menyukainya. Saat sapi berusia muda proporsi lemaknya relatif lebih sedikit. Menurut Cunningham, dkk. (2005) proporsi lemak mengalami peningkatan setelah sapi mencapai fase pubertas, karena setelah masa pubertas, sapi yang telah dewasa tubuh umumnya memiliki proporsi lemak yang tinggi,
7 sedangkan proporsi otot dan tulang mengalami penurunan secara proporsional, sehingga karkas dengan lemak sedikit dan daging yang maksimal tentu akan menguntungkan bagi jagal sapi. Faktor jenis kelamin juga bisa mempengaruhi jagal dalam melakukan pemotongan. Jenis kelamin bisa mempengaruhi berat karkas yang akan dihasilkan setelah pemotongan. Karkas dengan proporsi tulang, daging, dan lemak yang optimal akan dipengaruhi oleh umur, bangsa, berat badan sapi, pakan, dan jenis kelamin (Preston dan Wilis, 1974). Produksi karkas dan non karkas antara sapi jantan dan betina relatif sama, namun yang membedakan adalah proporsi non karkas sapi betina lebih banyak dibanding sapi jantan. Hal itu sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan relatif komponen non karkas. Non karkas merupakan bonus bagi jagal karena tidak dihitung dalam pembelian saat di RPH. Oleh karena itu, produksi non karkas pada sapi betina yang lebih banyak daripada sapi jantan tentu akan berpengaruh terhadap pendapatan para jagal karena mendapatkan bonus dari penjualan non karkas atau jeroan sapi. Faktor harga sapi menjadi faktor yang mempengaruhi jagal dalam transaksi pembelian ternak untuk dipotong. Sapi yang tersedia di RPH cenderung lebih banyak sapi impor dibandingkan sapi lokal. Hal itu diakibatkan adanya perbedaan harga yang cukup jauh dan mempengaruhi keuntungan yang akan diterima jagal. Harga berat hidup sapi lokal lebih mahal dibandingkan sapi impor. Harga sapi lokal siap potong berkisar Rp. 44.500 per kg bobot hidup, sedangkan sapi impor siap potong relatif lebih murah, yaitu berkisar Rp. 39.500 per kg bobot hidup. Walaupun harga hidup berbeda, tapi harga dagingnya di tingkat pasar tetap sama. Hal yang membedakan adalah harga karkas di RPH karena jagal membayar
8 berdasarkan persentase karkas. Persentase karkas yang dihasilkan oleh sapi lokal sebesar 51,1%, sedangkan sapi impor lebih tinggi yaitu 53% (Suryadi, 2006). Akhirnya jagal memilih sapi impor, walaupun kualitas daging sapi lokal lebih bagus tapi jagal memilih sapi impor karena harga karkasnya lebih murah dan kualitas dagingnya tidak jauh berbeda dengan sapi lokal. Oleh karena itu, besarnya biaya dan keuntungan jagal sangat menentukan harga jual daging di tingkat eceran, yakni pedagang kecil di pasar. Faktor yang mempengaruhi harga eceran komoditas suatu barang adalah besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi, salah satunya adalah jagal sapi (Prastowo, dkk, 2008). Berdasarkan hal tersebut, faktor berat badan sapi, harga sapi, dan jenis kelamin akan mempengaruhi jagal dalam melakukan pembelian dan pemotongan sapi di RPH. Hal itu berkaitan dengan keuntungan dan kerugian jagal dalam bisinis pemotongan sapi. Sehingga, jumlah pemotongan di RPH akan berdampak pada pemenuhan permintaan daging sapi oleh konsumen akhir. Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor berat badan sapi, harga sapi impor, harga sapi lokal, dan jenis
kelamin
sapi
secara
bersama-sama
mempengaruhi
jumlah
pemotongan permintaan sapi para jagal di RPH Pemerintah Kota Bandung 2.
Dari keseluruhan faktor yang dianalisis, faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah pemotongan sapi impor di RPH Pemerintah Kota Bandung adalah faktor harga sapi impor.
Adapun kerangka pemikiran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemotongan sapi impor di RPH secara skematis dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
9
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bandung
Sapi Impor
Sapi Lokal
Faktor-Faktor : 1. Berat Badan Sapi 2. Harga Sapi Impor 3. Harga Sapi Lokal 4. Jenis Kelamin
Y Jumlah Pemotongan Sapi Impor di RPH
Karkas Sapi
Daging Sapi
Ilustrasi 1. Skema kerangka pemikiran
10 1.6
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama 2 bulan atau 61 hari, yaitu bulan Juni sampai
Juli 2015 bertepatan dengan kondisi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Lokasi penelitiannya di RPH milik Pemerintah Kota Bandung yaitu RPH Ciroyom dan RPH Cirangrang.