I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Populasi sapi perah yang sedikit, produktivitas dan kualitas susu sapi yang
rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2013 menyebutkan bahwa populasi sapi perah di Indonesia hanya sekitar 636.064 ekor dengan pertumbuhan 3,94 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut, sekitar 98 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini beralasan karena Industri Pengolahan Susu masih terpusat di Pulau Jawa. Menurut data Kementrian Perindustrian Tahun 2013, total kebutuhan bahan baku susu tercatat 3,2 juta ton per tahun, sedangkan pasokan dari peternak lokal hanya 690.000 ton yang dihasilkan oleh sekitar 597.135 ekor sapi perah. Artinya, hanya 21% bahan baku industri susu olahan yang bisa dipenuhi oleh peternak, sedangkan 79% masih harus diimpor. Saat ini peternak sapi perah lokal hanya bisa memenuhi sedikit kebutuhan susu dalam negeri. Angka ini terus merosot seiring dengan banyaknya peternak yang meninggalkan usahanya. Banyak diantaranya karena alasan biaya produksi yang relatif tinggi, sementara produksi dari usaha ternaknya berbanding terbalik. Usaha peternakan terdiri dari beberapa komponen biaya. Faktor pemberian pakan merupakan salah satu komponen sapta usaha yang menempati 60—70% dari seluruh biaya produksi. Tingginya biaya pakan, rendahnya produksi dan kualitas susu menjadi permasalahan yang seringkali dihadapi oleh para peternak sapi perah sehingga menyebabkan rendahnya keinginan untuk mengembangkan usaha ternaknya.
2
Pakan sapi perah umumnya dapat dikategorikan menjadi pakan hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia. Pemberian pakan hijauan dalam usaha sapi perah biasanya diimbangi dengan pemberian konsentrat sebagai pakan penguat untuk memaksilmalkan produksi susu. Ketersediaan hijauan melimpah pada saat musim penghujan, namun jumlahnya menjadi sangat terbatas pada saat musim kemarau. Hal tersebut disebabkan karena berbagai dampak lingkungan yang berpengaruh terhadap penyediaan hijauan. Akibatnya, harga pakan menjadi terus meningkat dan berpengaruh terhadap biaya produksi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, upaya untuk menekan biaya pakan akan berpengaruh besar terhadap pendapatan usaha ternak sapi perah. Salah satu upaya untuk menekan biaya produksi, dipilih bahan pakan dengan nutrien yang sesuai kebutuhan ternak dengan harga jual yang cukup rendah, salah satu diantaranya tanaman jagung. Tanaman jagung memiliki potensi sebagai sumber makanan ternak, namun tidak semua bagian dari tanaman jagung yang memiliki serat kasar, palatabilitas, dan daya cerna yang tinggi. Oleh karena itu, tanaman jagung perlu diberi perlakuan secara biologis yaitu diolah menjadi silase. Silase dapat mengawetkan tanaman jagung sehingga kadar nutriennya tidak menurun dan bisa digunakan pada saat kekurangan hijauan. Selain itu, peningkatan daya cerna silase jagung, membuat kandungan zat nutrisi yang ada di dalamnya menjadi lebih mudah tercerna dan dapat berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Banyak
penelitian
mengenai
silase
biomasa
jagung
yang telah
dilaksanakan di Indonesia. Salah satunya adalah Demo Research Silage Program
3
yang telah selesai dilaksanakan oleh Yayasan Sahabat Cipta pada Januari – Maret Tahun 2014 berlokasi di peternakan sapi perah rakyat Kecamatan Ciater Kabupaten Subang Jawa Barat. Penelitian Demo Research Silage Program bermaksud memperkenalkan silase biomasa jagung kepada peternak sapi perah rakyat untuk bisa mengatasi permasalahan langkanya hijauan pada musim kemarau. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbasis biomasa jagung dapat menahan penurunan produksi dan kualitas susu sapi Friesian Holstein pada bulan laktasi akhir. Artinya, penggunaan ransum berbasis biomasa jagung pada sapi perah terbukti berpengaruh terhadap produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Meningkatnya produksi susu yang menggunakan ransum dengan silase jagung ini dapat meningkatkan pendapatan peternak dari hasil penjualan susu tersebut, namun perlu dipertimbangkan tambahan biaya akibat peningkatan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan silase biomasa jagung tersebut. Sampai saat ini belum ada informasi yang jelas, apakah peningkatan biaya pembuatan silase biomasa jagung dapat ditutupi oleh peningkatan produksi susu. Uraian di atas menjadi dasar ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Manfaat Finansial Penggunaan Ransum Berbasis Biomasa Jagung Pada Peternakan Sapi Perah”. Penelitian akan dilaksanakan di peternakan sapi perah Ciater Jawa Barat. Penelitian ini pula bermaksud melanjutkan penelitian Demo Research Silage Program, karena seperti yang telah diutarakan dalam paragraf sebelumnya, bahwa belum ada informasi yang jelas terkait hasil dari penelitian Demo Research Silage Program mengenai penambahan biaya dan keuntungan yang diperoleh peternak akibat penggunaan silase berbasis biomasa jagung pada peternakan sapi perah rakyat.
4
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat disimpulkan beberapa
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana manfaat finansial penggunaan ransum berbasis silase biomasa jagung pada peternakan sapi perah rakyat. 2. Berapa besar manfaat finansial penggunaan ransum berbasis silase biomasa jagung pada peternakan sapi perah rakyat. 1.3
Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui manfaat finansial penggunaan ransum berbasis silase biomasa jagung pada peternakan sapi perah rakyat. 2. Mengetahui besar manfaat finansial penggunaan ransum berbasis silase biomasa jagung pada peternakan sapi perah rakyat. 1.4
Kegunaan penelitian Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan mampu memberikan
informasi kepada pembaca untuk mengetahui manfaat finansial yang dihasilkan dari penggunaan silase berbasis biomasa jagung ke dalam usaha ternak sapi perah. Secara praktis diharapkan peternak dapat mengatasi kendala yang dialami selama ini, khususnya dalam biaya produksi yang tinggi (salah satu diantaranya adalah biaya pakan) dan mengenai pakan alternatif di musim kemarau sehingga peternak menjadi optimis dan percaya diri untuk terus melanjutkan usaha ternaknya. 1.5
Kerangka Pemikiran Usaha peningkatan produksi susu dan perbaikan manajemen dalam
pemberian pakan merupakan dua aspek yang harus dilakukan untuk bisa
5
menangani permasalahan krusial yang sedang dihadapi peternak di Indonesia. Secara garis besar produksi susu yang dihasilkan dari seekor sapi perah dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Jika seekor sapi diberikan pakan yang sesuai sehingga terpenuhi nutrisinya dan dipelihara dengan manajemen yang baik, maka akan menghasilkan produksi susu yang tinggi. Metode yang umum ditempuh untuk meningkatkan produksi susu adalah melalui perbaikan manajemen dan pemberian pakan (Ernawani, 1991). Sebagaimana diketahui, bahwa keadaan peternakan sapi perah di Indonesia masih didominasi oleh peternakan sapi perah rakyat. Pada umumnya para peternak sapi perah rakyat di Indonesia menggunakan hijauan berupa rumput dan konsentrat sebagai pakan ternak. Secara logika dengan banyaknya jenis hijauan yang ada, peternak tidak akan kesulitan menyediakan pakan dalam rangka memenuhi kebutuhan nutrisi sapi miliknya. Namun kenyataan di lapangan berkata lain, banyaknya jenis hijauan tidak diiringi dengan ketersediannya terutama pada musim kemarau. Di sisi lain kualitas hijauan yang tidak berimbang dengan nutrisi yang dibutuhkan ternak mengakibatkan pula rendahnya produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Peternak sudah berupaya mengatasi hal tersebut dengan menggunakan pakan penguat berupa konsentrat. Ironisnya para peternak tidak puas, diakibatkan oleh total pendapatan yang diterima harus terpangkas oleh biaya konsentrat yang digunakan relatif mahal. Selain itu pada saat ini harga dasar yang diterima peternak untuk satu liter susu relatif rendah. Jika peternak atau koperasinya mampu meningkatkan kualitas produksi dan kandungan bakteri yang ditunjukkan oleh TPC berada dibawah 3 juta/cc, maka harga susu secara otomatis akan meningkat (Tawaf, 2004). Secara garis besar apabila peternak mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu dengan cara perbaikan
6
menajemen pemberian pakan, kemudian diiringi dengan harga susu yang meningkat akibat dari peningkatan kualitas susu, maka peternak akan menerima total pendapatan yang tinggi sehingga masalah yang sedang dialami di Indonesia dapat teratasi. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa kegiatan produksi tidak hanya memperhatikan aspek teknis produksi, tetapi juga harus memperhatikan aspek finansial. Aspek finansial mempertimbangkan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan membandingkan dengan output yang dihasilkan. Biaya memiliki peranan penting dalam proses produksi untuk menentukan strategi sehingga bisa mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Besarnya keuntungan ditentukan oleh besarnya biaya produksi dan besarnya penerimaan dari hasil produksi. Tujuan kegiatan usaha produksi ternak sapi perah dimana mendapatkan keuntungan secara optimal merupakan tujuan utama. Ada dua langkah yang bisa ditempuh untuk mencapainya, diantaranya yaitu dengan memaksimalkan output atau meminimalkan biaya input. Hijauan alternatif yang disubstitusikan dalam ransum sapi perah dengan biaya yang lebih murah diharapkan mampu menghemat biaya pakan yang merupakan salah satu komponen biaya input terbesar. Jenis hijauan alternatif dengan nutrisi sesuai yang dianggap memenuhi kriteria untuk menekan biaya pakan yang tinggi diantaranya adalah biomasa tanaman jagung. Tanaman jagung merupakan tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia. Di Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Hampir 70% dari produksinya dimanfaatkan untuk pangan manusia dan sisanya untuk berbagai keperluan, baik sebgai pakan ternak maupun industri. Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang bertekstur latosal dangan tingkat
7
kemiringan 5 – 8 %, keasaman 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 30 °C. Selain buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan biomasa dengan proporsi yang bervariasi. Proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun, tongkol dan kulit buah. Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun tongkol. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Mcctucheon dan Samples, 2002 bahwa kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai pada tongkol. Faktor penting dalam dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN. Dengan didasari komposisi nutrisi dan tingkat palatabilitas ternak yang berbeda dari bagian biomasa jagung, maka alternatif untuk meningkatkan nilai nutrisi dan palatabilitas ternak pada biomasa jagung adalah dengan pengolahan silase, sehingga semua bagian biomasa jagung dapat dicampurkan menjadi satu bagian. Penggunaan silase biomasa tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar merupakan pakan dan termurah untuk stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Biomasa jagung selain diberikan dalam bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet seperti pellet, cubes, dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al, 2006).
8
Teknologi pengolahan dan penyimpanan pakan jagung berupa silase sudah lama disosialisasikan pada peternak. Aplikasinya di tingkat peternak kurang diadopsi akibat dari tingkat kegagalannya yang relatif tinggi. Teknologi silase sangat membutuhkan keterampilan, karena prosesnya harus berlangsung dalam suasana anaerob. Di luar negeri, silase limbah perkebunan jagung telah umum digunakan sebagai sumber hijauan dan dipakai untuk menggantikan silase rumput (Keady, 2005 dalam Umiyasih. U dan Wina. E, 2008). Pengkajian berbagai bentuk silase tanaman jagung di peternakan sapi potong dan sapi perah telah dilakukan di berbagai negara (Keady, 2005 dalam Umiyasih. U dan Wina. E, 2008). Dari Sembilan studi di Irlandia Utara, silase seluruh tanaman jagung yang dipakai menggantikan silase rumput menghasilkan hasil positif yaitu meningkatnya konsumsi hijauan (1,5 Kg BK/hari), produksi susu (1,4 Kg/hari), lemak susu (0,6 g/Kg) dan konsentrasi protein susu (0,8 g/Kg) (Keady, 2005 dalam Umiyasih. U dan Wina. E, 2008). Melihat potensi tersebut, diyakini silase biomasa jagung dapat meningkatkan kualitas ransum sapi perah. Selain itu, silase biomasa jagung sebagai pakan ternak diharapkan dapat menggantikan sumber hijauan pada musim kemarau dan menghemat biaya produksi. Hal ini beralasan karena ketika biomasa jagung digunakan dalam ransum ternak sapi perah maka akan adanya penghematan penggunaan rumput dan konsentrat. Dengan demikian penggunaan silase biomasa jagung pada ransum sapi perah yang mengakibatkan peningkatan produksi dan kulitas susu, dapat menekan biaya produksi yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatkan pendapatan peternak sapi perah. Terjadinya peningkatan produksi dan kualitas susu akan berpengaruh pada total pendapatan yang diterima peternak Secara logika, meskipun harga dasar susu
9
yang tetap, peternak akan tetap mendapatkan penambahan keuntungan karena dampak peningkatan kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan. Secara skematis pengaruh pemberian biomasa jagung terhadap pendapatan peternak sapi perah, dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Silase biomasa jagung
Penghematan penggunaan rumput dan konsentrat
Ransum sapi perah
Meningkatnya nilai nutrisi & palatabilitas ternak
Peningkatan pendapatan
Peningkatan kuantitas dan kualitas susu
Penghematan biaya Ilustrasi 1. Peningkatan Pendapatan Pengolahan Silase Biomasa Jagung
Peternak
melalui
Pemanfaatan
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat ditarik suatu hipotesis bahwa penggunaan biomasa jagung dengan pengolahannya menjadi silase pada usaha ternak sapi perah dapat memberikan manfaat finansial yaitu dengan meningkatkan pendapatan peternak.
1.6
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2014 sampai dengan
tanggal 14 November 2014 di peternakan sapi perah yang tersebar di Kecamatan Ciater Kabupaten Subang Jawa Barat.