SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH SINERGI ANTARA DITJEN BEA CUKAI DAN PPATK DALAM PEMBANGUNAN REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Oleh : Irjen Pol. Susno Duadji
²PENDAHULUAN²
P
usat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai focal point harus memposisikan diri secara aktif dalam upaya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia, khususnya dalam upaya mengeluarkan Indonesia dari daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs). Hal ini ditunjukkan dengan keseriusan PPATK dalam mengorganisasi, menyusun dan menyampaikan laporan-laporan perkembangan pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia kepada Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Melalui serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Tim Review FATF dengan berbagai instansi terkait di Indonesia yang diorganisasi dan dijembatani oleh PPATK, Tim Review FATF menyatakan bahwa perkembangan nyata yang signifikan telah terjadi dalam pembangunan rezim anti pencucian di Indonesia. Hasil positif tersebut selanjutnya disampaikan oleh Tim Review dalam sidang tahunan FATF di Paris pada tanggal 9-11 Februari 2005 yang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCTs.
1
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
Sesuai dengan kebijakan FATF yang berlaku dalam proses pencabutan suatu negara dari daftar NCCTs (de-listing procedure), FATF selanjutnya melakukan pemantauan (monitoring) yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai FATF-style regional body. Dalam fase monitoring tersebut, Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan perkembangan penerapan rezim anti pencucian uang secara regular, disamping juga dilakukan pertemuan bilateral dengan Tim Review FATF apabila diperlukan. Dalam kaitan ini, pada tanggal 11 Mei 2005 PPATK, atas nama pemerintah RI telah menyampaikan laporan perkembangan yang pertama pasca de-listing yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bilateral dengan Tim Review FATF di Singapura di sela-sela acara FATF/APG Joint Plenary pada tanggal 7 Juni 2005. Laporan perkembangan kedua disampaikan oleh PPATK kepada Tim Review FATF pada tanggal 13 September 2005. Selain itu, PPATK juga telah menyampaikan surat resmi FATF pada tanggal 20 Desember 2005 yang berisi tanggapan atas permintaan klarifikasi Tim Review FATF. Pada akhirnya, Indonesia pada bulan Februari 2006 benar-benar dilepaskan dari monitoring FATF karena dinilai telah melaksanakan langkah-langkah terkait dengan pemeriksaan (audit) terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dengan mekanisme yang tegas; mengundangkan RUU Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) dan memastikan penerapannya; dan memenuhi komitmen untuk menyediakan anggaran dan sumber daya manusia untuk seluruh instansi terkait, termasuk kewenangan pengangkatan pegawai tetap PPATK. Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) selaku implementing agency dalam pembangunan rezim anti pencucian uang, memiliki posisi yang cukup strategis. Hal ini bukan hanya karena satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap setiap orang yang membawa uang keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia, akan tetapi juga sekaligus menjadi penentu terhadap kepatuhan Indonesia dalam memenuhi standar internasional sebagaimana FATF Special Recommendations nomor 9 mengenai ketentuan Cross Border Cash Carrying (CBCC). Dalam rangka memperkokoh hubungan antara PPATK dengan DJBC, pada tanggal 31 Oktober 2003 telah ditandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) mengenai tukar menukar informasi, pemberian bantuan untuk pelaksanaan tugas masing-masing, penunjukan pejabat penghubung, dan sosialisasi & training. Selanjutnya, untuk efektifitasnya, pertemuan bilateral yang sifatnya koordinatif senantiasa dilakukan. Sehubungan dengan itu, makalah ini akan menguraikan berbagai hal penting dan mendasar dalam upaya peningkatan efektifitas peran PPATK dan DJBC, sesuai tugas dan kewenangan yang diberikan, untuk mewujudkan rezim anti pencucian uang Indonesia yang semakin kokoh. Di samping itu, akan disinggung
2
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
juga mengenai potensi hambatan dalam pelaksanaan pengawasan pembawaan uang tunai dengan memberikan alternatif penyelesaian, yang pada gilirannya diharapkan dapat membantu menurunkan tingkat kriminalitas yang dibarengi pula dengan terpeliharanya stabilitas sistem keuangan.
²PERANAN PPATK² Sesuai Pasal 18 UUTPPU, PPATK dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Apabila hanya mendasarkan pada pasal ini dapat ditafsirkan bahwa PPATK diberikan kewenangan oleh undangundang untuk melaksanakan fungsi pencegahan (preventif) dan pemberantasan atau penindakan (represif) terhadap tindak pidana pencucian uang. Namun sesungguhnya, pemahaman tersebut tidak sepenuhnya benar setelah memahami lebih jauh mengenai peran dari PPATK sebagai financial intelligence unit (FIU). Sebagaimana diketahui bahwa PPATK (Indonesian FIU) dalam pengertian umum adalah lembaga intelijen di bidang keuangan dan memiliki peran sebagai focal point (corong) dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Sebagai focal point, disamping mengemban tugas yang secara spesifik diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga sebagai lembaga yang diharapkan mampu melakukan upaya koordinatif terhadap semua instansi yang terkait dalam upaya pelaksanaan peranan dan fungsinya masing-masing guna meningkatkan efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Secara umum, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, akses atas informasi keuangan menjadi hal yang vital agar investigasi keuangan dapat dilakukan. Tujuan utama investigasi keuangan adalah mengindentifikasi dan melacak pergerakan dana dengan maksud mengungkapkan jejak yang ditinggalkan para pelaku kejahatan. Dalam kaitan ini, FIU memainkan peranan penting sebagai lembaga yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis informasi keuangan. Untuk menganalisis informasi keuangan tentunya dibutuhkan keahlian khusus di bidang akunting, ekonomi dan keuangan, bisnis, hukum dan penguasaan teknologi sistem informasi. Pendirian FIU yang bertugas menerima dan menganalisis informasi keuangan dari penyedia jasa keuangan harus dilihat dari latar belakang fenomena semakin meningkatnya kebutuhan akan pentingnya keahlian khusus
SUSNO DUADJI
3
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
tersebut. Untuk alasan itulah, UUTPPU mengamanatkan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus dijalankan oleh suatu FIU. Rekomendasi yang diterbitkan oleh Caribbean Drug Money Laundering Conference misalnya hanya mensyaratkan tentang perlunya suatu badan khusus yang bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan penyitaan. Sedangkan Rekomendasi FATF hanya menyebutkan perlunya competent authorities yang bertugas menerima laporan dari penyedia jasa keuangan. Sedangkan European Money Laundering Directive menyebut badan yang berwenang memerangi pencucian uang dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan. United Nations Convention Against Corruption (2003) memerintahkan agar setiap negara anggota mendirikan FIU yang secara nasional berfungsi sebagai centre for collection, analysis and dissemination informasi tentang dugaan pencucian uang. The Egmont Group (TEG), suatu kelompok kumpulan FIU1, memberikan suatu definisi umum tentang FlU yaitu:" a central national agency responsible for receiving (and as permitted, requesting), analyzing and disseminating to the competent authorities, disclosures of financial information: (i) concerning suspected proceeds from crime, or (ii) required by national legislation or regulation, in order to counter money laundering”. Definisi di atas berisikan tiga fungsi dasar yang dimiliki oleh semua jenis FlU. Fungsi pertama adalah sebagai repository artinya unit ini adalah pusat informasi tentang money laundering. FIU tidak saja menerima informasi tentang transaksi keuangan akan tetapi FlU juga dapat mengontrol informasi. Fungsi kedua adalah fungsi analisis. Dalam memproses informasi yang diterimanya FIU kemudian memberikan added value terhadap informasi tersebut. Sejauh mana kinerja fungsinya ini dapat diwujudkan tentunya tergantung pada pada sumber informasi yang dapat diakses oleh FIU. Dalam memproses informasi FIU berwenang memutuskan apakah suatu informasi bemilai untuk ditindaklanjuti kepada penyidik atau penuntut umum. Fungsi terakhir FIU adalah sebagai clearing house. Dalam kapasitas ini FIU memfasilitasi pertukaran informasi tentang transaksi keuangan tidak lazim (unusual transaction) atau transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction). Pertukaran informasi ini 1Egmont group adalah kelompok kerjasama informal internasional dalam rangka mencegah dan memberantas pencucian uang. Nama Egmont Group diambil dari nama “Egmont Arenberg Palace” di Brussel yang dipakai sebagai tempat pertemuan pada waktu grup ini didirikan tahun 1995. Sekarang Egmont beranggotakan 94 negara. Indonesia merupakan negara anggota baru Egmont Group. Egmont memfokuskan diri pada peningkatan kerjasama FIU dan peningkatan capacity building personel FIU. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hal. 248.
4
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
dapat terkait dengan informasi dalam segala bentuk (individual atau umum) dan dapat berlangsung dengan berbagai mitra kerja di dalam maupun di luar negeri. Tugas pokok FIU secara garis besar menurut identifikasi yang dilakukan oleh The Egmont Group sebagai berikut2 : a. menerima laporan suspicious transaction reports dan currency transaction reports dari pihak pelapor; b. melakukan analisis atas laporan yang diterima dari pihak pelapor. Dalam kaitan tugas ini financial intelligence unit mengeluarkan pedoman untuk mengidentifikasi transaksi yang wajib dilaporkan; dan c. meneruskan hasil analisis laporan kepada pihak yang berwenang. Sementara itu, untuk mendukung kelancaran tugas dan fungsinya financial intelligence unit setidaknya memiliki kewenangan3 : a. memperoleh dokumen dan informasi tambahan untuk mendukung analisis yang dilakukan; b. memiliki akses yang memadai terhadap setiap orang atau lembaga yang menyediakan informasi keuangan, penyelenggara administrasi yang terkait dengan transaksi keuangan dan aparat penegak hukum; c. memiliki kewenangan untuk menetapkan sanksi terhadap pihak pelapor yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan; d. memiliki kewenangan untuk menyampaikan informasi keuangan dan informasi intelijen kepada lembaga yang berwenang di dalam negeri untuk kepentingan penyelidikan dugaan tindak pidana pencucian uang; e. melakukan pertukaran informasi mengenai informasi keuangan dan informasi intelijen dengan lembaga sejenis di luar negeri; serta f. menjamin bahwa pertukaran informasi sejalan dengan hukum nasional dan prinsip-prinsip internasional mengenai data privacy dan data protection. Dari keenam wewenang yang secara ideal dapat dimiliki oleh FIU, hanya wewenang seperti yang tercantum di dalam huruf c, yaitu memberikan sanksi kepada pihak pelapor yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan saja yang tidak dimiliki oleh PPATK, sehingga dengan demikian PPATK tidak berhak 2Lihat Egmont Group, Interpretive Note Concerning the Egmont Definition of a Financial Intelligence Unit, (Appendix IV) dalam Paul Gleason and Glenn Gottselig (ed), Financial Intelligence Unit: An Overview, (Washington D.C.: IMF, Legal Dept., Monetary and Financial System Dept.: World Bank, Financial Market Integrity Div., 2004), hal. 33 dan 107-109 3 Ibid.
SUSNO DUADJI
5
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
memberikan sanksi administratif terhadap PJK yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan dimaksud. Dalam hal ini, PPATK dapat menginformasikan PJK yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan kepada regulator (Bank Indonesia), dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan indikasi seperti itu maka regulator melakukan croos-chek kepada PPATK untuk menjadi catatan.4 Sebagai lembaga yang mengelola informasi yang berkaitan dengan financial intelligence, pengelolaan data statistik dan penggunaan sistem informasi yang efisien mutlak perlu dilakukan. Dalam kaitan ini, financial intelligence unit wajib memiliki sistem informasi yang mengelola data statistik yang mencakup : a. suspicious transaction reports (STR) yang telah diterima, dianalisis dan diserahkan kepada pihak yang berwenang; b. suspicious transaction reports (STR) yang dihasilkan dari penyelidikan, penuntutan dan putusan pengadilan; c. permintaan yang diterima dari lembaga terkait di dalam dan luar negeri dan jumlah permintaan yang diberikan; d. keterangan yang dibuat oleh financial intelligence unit atau pihak berwenang lainnya kepada pihak berwenang di dalam maupun luar negeri; dan e. transaksi dalam jumlah besar. Selanjutnya, sebagai focal point dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sesuai Pasal 26 UUTPPU, PPATK mempunyai tugas antara lain : a. Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK; b. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d. Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK; e. Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; 4Perlu untuk diketahui bahwa dalam
draft amandemen UU TPPU yang akan dibahas Pemerintah dan DPR RI, PPATK telah diberi kewenangan untuk memberikan sanksi administratif terhadap PJK yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
6
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
f. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. g. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h. Membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, sesuai Pasal 27 UUTPPU, PPATK diberikan kewenangan : a. Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; b. Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; c. Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai ketentuan dalam UU TPPU dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; d. Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai; e. Mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Komite Koordinasi Nasional untuk mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; f. Melaksanakan ketentuan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka mendeteksi money laundering, UUTPPU menetapkan beberapa laporan yang disampaikan kepada PPATK, yaitu : a. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (suspicious transaction reports) yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (pasal 1 angka 6 dan pasal 13 UU TPPU); b. Laporan Transaksi Keuangan Tunai (cash transaction reports) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (pasal 13 UU TPPU); c. Laporan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah atau valas ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih atau ekuivalennya dalam mata uang asing (pasal 16).
SUSNO DUADJI
7
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
Laporan butir a dan c, terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses placement pada perbuatan pencucian uang, sementara laporan butir b terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses layering. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisis, (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporannya kepada pihak Penyidik dan Penuntut (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. PPATK telah sering melakukan komunikasi untuk meminta informasi transaksi keuangan kepada banyak otoritas money laundering di luar negeri. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain. Di dalam praktek saat ini berdasarkan kewenangan yang tertuang di dalam Keppres No. 82 Tahun 2003, PPATK dapat menerima informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak. Sesuai amanat Undang-undang bahwa PPATK dapat melakukan kerjasama dalam dan luar negeri, pembangunan rezim anti pencucian uang juga ditandai dengan mempererat kerjasama dengan instansi pemerintah terkait dan memperluas kerjasama internasional khususnya dengan sesama FIU. Secara formal hal ini ditandai dengan ditandatanganinya MOU dengan instansi dalam negeri dan FIU negara lain. PPATK telah melakukan kerja sama yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) dengan FIU negara lain, yaitu dengan FIU Italia (Ufficio Italiano dei Cambi-UIC), FIU Belgia (CTIF-CFI), FIU Polandia (General Inspector of Financial Institution), FIU Spanyol (SEPBLAC), FIU Peru, FIU Thailand (Anti Money Laundering Office), FIU Malaysia (Bank Negara Malaysia), FIU Korea Selatan (Korea Financial Intelligence Unit), FIU Australia (Australian Financial Reports & Analysis Centre), FIU Filipina (Anti Money Laundering Council), FIU Rumania (National Office for Prevention and Control Money Laundering), FIU Hongkong dan FIU China. Kerja sama dengan FIU negara lain tersebut terutama berkaitan dengan pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan. Dalam rangka pertukaran informasi intelijen keuangan, sejak beroperasinya PPATK, telah dilakukan pertukaran informasi lebih dari 100 kali dengan FIU negara lain, seperti Australia, Belgia, Filipina, Amerika Serikat, Cook Island, Uni Emirat Arab, Malaysia, Swiss, Hongkong, Singapura, Macau, Inggris, British Virgin Island, Jersey, Mauritius, Peru, dan lain-lain. Pertukaran informasi
8
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
intelijen keuangan tersebut dilakukan baik atas dasar permintaan (by request) maupun atas dasar sukarela (spontaneous). Di dalam negeri, Kepala PPATK juga sudah menandatangani MOU antara lain dengan institusi penegak hukum seperti Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK, Menteri Kehutanan, dan Dirjen Bea dan Cukai. MOU dengan regulator dilakukan dengan Bank Indonesia, Bapepam dan Ditjen Lembaga Keuangan. Sedangkan MOU dengan pihak lainnya dilakukan dengan CIFOR, Itjen Departemen keuangan, dan sebagainya.
²PERAN DITJEN BEA DAN CUKAI² Beberapa pasal dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 (UTPPU) yang terkait dengan pembawaan uang tunai yang menjadi tugas Ditjen Bea dan Cukai adalah Pasal 2, 3, 9, dan 16. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Hasil Tindak Pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana penyelundupan barang dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih. Instansi yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana penyelundupan barang (di bidang kepabeanan) dan di bidang cukai adalah Ditjen Bea dan Cukai. Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) UUTPPU dinyatakan antara lain bahwa salah satu perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana adalah melalui pembawaan uang ke luar negeri. Sudah tentu, pendeteksian pembawaan uang ke luar negeri hanya dapat dilakukan oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai khususnya petugas yang ada di entry point. Untuk mengefektifkan hal itu, Pasal 16 ayat (1) UUTPPU telah mengatur mengenai kewajiban pelaporan bagi setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp.100 juta atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan Rp 100 juta atau lebih, ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia untuk melaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai. Untuk teknis pelaksanaan kewajiban pelaporan di atas, Dirjen Bea dan Cukai telah mengeluarkan Peraturan Jenderal Bea dan Cukai Nomor 01/BC/2005 tanggal 19 Januari 2005 tentang Tata Laksana Pengeluaran dan Pemasukan Uang Tunai dan Peraturan Menteri Keuangan No.624/PMK.04/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Menteri Keuangan
SUSNO DUADJI
9
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
No.101/KMK.05/1997 tentang Pemberitahuan Pabean, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 16 UU TPPU. Hal ini penting bukan hanya untuk menciptakan pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia lebih efektif tetapi juga untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam melaksanakan Special Recommendation number 9 yang dikeluarkan oleh FATF mengenai Cross Border Cash Carrying (CBCC). Sebagaimana diketahui bahwa money laundering adalah tindak pidana yang bersifat white collar crime, extra ordinary crime bahkan transnational crime. Tindak pidana semacam ini dilakukan melalui berbagai transaksi keuangan yang kompleks dengan melibatkan pelaku-pelaku yang terorganisir bahkan melewati batas-batas negara. Oleh karena itu, dalam pendeteksiannya diperlukan informasi dari berbegai sumber termasuk aktifitas pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah negara. Masih dalam pasal 16, di samping mengatur kewajiban setiap orang untuk melaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai, juga terdapat beberapa substansi penting terkait dengan kewajiban penyampaian laporan dan koordinasi, sebagai berikut : a. Ditjen Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan kepada PPATK selama jangka waktu 5 hari kerja mengenai laporan pembawaan uang tunai yang diterimanya. Laporan yang disampaikan paling tidak memuat rincian identitas orang yang membuat laporan. b. Ditjen Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 hari kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran atas kewajiban setiap orang untuk melaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai. c. Dalam rangka koordinasi, Ditjen Bea dan Cukai dapat memberikan informasi atas permintaan PPATK mengenai laporan pembawaan uang tunai. Atas dasar laporan dan informasi tersebut, oleh PPATK akan dimasukkan ke dalam database sebagai sumber informasi. Dalam kegiatan analisis ini, PPATK akan menggabungkan berbagai informasi keuangan yang satu dengan lainnya sehingga dapat diketahui adanya indikasi tindak pidana pencucian uang untuk proses hukum lebih lanjut.
10 SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
²KOORDINASI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TPPU² Untuk menunjang efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004, pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) yang diketuai oleh Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan dengan wakil Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan Sekretaris Kepala PPATK. Komite TPPU beranggotakan Menlu, Menkeh&HAM, Menkeu, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank Indonesia. Komite TPPU bertugas : a. mengkoordinasikan upaya penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai arah dan kebijakan penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang secara nasional; c. mengevaluasi pelaksanaan penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; d. melaporkan perkembangan penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, Komite TPPU dibantu oleh Tim Kerja yang terdiri dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (sebagai Ketua), Deputi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Bidang Keamanan Nasional (sebagai Wakil Ketua), Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bidang Kerjasama Ekonomi Internasional, Direktur Jenderal Multilateral Politik Sosial Keamanan-Departemen Luar Negeri, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum-Departemen Kehakiman & HAM, Direktur Jenderal Imigrasi-Departemen Kehakiman & HAM, Direktur Jenderal Bea dan Cukai-Departemen Keuangan, Direktur Jenderal Pajak-Departemen Keuangan, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan-Departemen Keuangan, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Departemen Keuangan, Kepala Badan Reserse KriminalKepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Bidang Pengamanan, Deputi Gubernur Bidang Perbankan Bank Indonesia. Guna menindaklanjuti Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2004 di atas, Komite TPPU yang mengamanatkan untuk diadakannya pertemuan Tim Kerja Komite TPPU sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Secara reguler, rapat Tim Kerja Komite TPPU senantiasa dilaksanakan untuk
SUSNO DUADJI11
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
membahas beberapa permasalahan strategis yang sedang dihadapi Pemerintah terkait dengan upaya penanganan rezim anti pencucian uang di masing-masing instansi serta penyusunan implementation plan pasca keluar dari daftar NCCTs dan tindak lanjutnya. Dalam kaitan ini, Ditjen Bea dan Cukai senantiasa berperan aktif sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang.
²PELAKSANAAN PENGAWASAN PEMBAWAAN
UANG TUNAI KELUAR ATAU MASUK WILAYAH RI DAN PENANGANAN INFORMASI YANG DITERIMA PPATK² Dalam tahun 2006 ini pelaporan pembawaan uang tunai keluar atau masuk wilayah RI dari Ditjen Bea dan Cukai menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Selama tahun 2005, laporan yang diterima PPATK dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tercatat sebanyak 524 dan berasal dari tiga wilayah kerja Direktorat Bea dan Cukai yaitu Jakarta (Bandara Cengkareng Soekarno-Hatta), Kepulauan Riau (Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun), dan Batam (Batam City Center dan Sekupang), sedangkan pada akhir Juli 2006 menjadi 1.003 laporan dari 5 Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai yaitu Pelabuhan Batam, Bandara Sukarno Hatta, Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Pelabuhan Udara Denpasar dan Kantor Pos Bandung. Sementara itu, dari data statistik yang dikeluarkan PPATK per 31 Juli 2006, PPATK telah melakukan analisis seluruh informasi yang diterima dan menghasilkan 406 kasus telah diteruskan ke Polisi dan 5 kasus diteruskan ke Kejaksaan. Keseluruhan kasus yang telah diserahkan kepada Polisi dan Jaksa tersebut berasal dari analisis laporan transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction report) yang didukung dengan sumber informasi lainnya seperti laporan transaksi keuangan tunai (cash transaction report), laporan pembawaan uang tunai keluar atau masuk wilayah pabean (cross border cash carrying) dan sumber informasi lainnya seperti inquiry dari FIU negara lain maupun instansi dalam negeri.
12 SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH ²PENYAMAAN PERSEPSI ATAS ISU-ISU TERKINI²
Beberapa hal yang menjadi perhatian bersama berkenaan dengan ketentuan yang diatur dalam UUTPPU khususnya Pasal 3, 9 dan 16 sebagai berikut : a. Kalimat “Rp100 juta atau lebih atau dalam mata uang asing yang setara dengan itu” seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 di atas masih dapat ditafsirkan secara berbeda. Sementara pihak berpendapat bahwa jumlah Rp. 100 juta tersebut harus ditafsirkan untuk setiap valuta. Namun demikian, yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebenarnya adalah penggabungan (kombinasi) dari sejumlah uang baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing sehingga secara keseluruhan jumlahnya senilai Rp100 juta atau lebih (bersifat kumulatif). Esensi dari pengaturan di atas dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) bagi setiap orang yang membawa harta kekayaan dalam bentuk uang baik keluar maupun masuk wilayah Negara Republik Indonesia, untuk melaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai. Di samping itu, dalam anti money laundering regime, perhatian lebih ditujukan pada jumlah (nilai) pembawaan uang dari pada persoalan jenis mata uang tertentu. B. Dalam praktek, baik bagi masyarakat sebagai pelapor maupun pejabat Ditjen Bea dan Cukai pengaturan tersebut menjadi beban tambahan karena harus menghitung dengan cara mengkonversi jenis mata uang asing ke dalam mata uang rupiah sehingga diperoleh angka Rp 100 juta atau lebih yang menjadi obyek pelaporan. Di samping itu, untuk menghitung kurs mata uang asing tersebut diperlukan ketetapan nilai kurs tertentu yang dapat dijadikan pedoman standar dalam perhitungan. Dalam berbagai perhitungan kurs mata uang secara formal, beberapa sumber penetapan kurs yang selama ini sering dipakai antara lain yaitu kurs tengah Bank Indonesia untuk laporan keuangan bank dan kurs pajak. Walaupun permasalahan ini cukup sederhana, namun perlu ketegasan dalam peraturan pelaksanannya. Ketegasan ini sangat diperlukan bukan hanya untuk mempermudah baik aparat maupun pelapor, tetapi juga kejelasan dalam pengenaan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU TPPU. c. Pemidanaan kewajiban pelaporan pembawaan uang tunai, UU TPPU mengaturnya dalam Pasal 9 bahwa setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100 juta atau lebih, atau dalam mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke
SUSNO DUADJI 13
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp 300 juta. Prosedur pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 9 UU TPPU, harus melalui keputusan pengadilan, sedangkan teknis pelaksanaan di lapangan (termasuk pencegahan) dengan mendasarkan pada hukum acara yang berlaku atau sesuai kewenangan yang dimiliki pejabat Bea dan Cukai berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Mengingat proses acara pidana dalam kasus tindak pidana pencucian uang sesuai UU TPPU dilaksanakan berdasarkan KUHAP, dan yang menjadi penyidik adalah Kepolisian, maka dalam proses hukumnya perlu adanya kerjasama antara Ditjen Bea dan Cukai dengan Kepolisian. Selain itu perlu juga diperhatikan perlindungan kepada setiap orang yang melanggar. Apakah tindakan tidak melaporkan (baik kesengajaan atau kelalaian) merupakan tindak pidana? d. Apabila dikaitkan antara pemidanaan yang diatur dalam Pasal 9 dengan kewajiban pelaporan yang diatur dalam Pasal 16, terdapat pengertian yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pengertian “melaporkan kepada petugas Ditjen Bea dan Cukai” seperti yang dimaksudkan Pasal 16 UU TPPU dalam hal pelapor tidak menuliskan dengan benar isi laporannya (bahwa terdapat sejumlah uang yang dibawa namun tidak dilaporkan). Apakah hal itu termasuk tindak pidana seperti dimaksudkan oleh pasal 9. Ketentuan tersebut hanya mewajibkan setiap orang yang membawa sejumlah uang tertentu untuk melaporkan kepada petugas DJBC, dan bukan mengenai kebenaran pengisian laporan. Berkenaan dengan sejumlah uang yang tidak termasuk dalam laporan yang diwajibkan tersebut, perlu ditindaklanjuti oleh petugas Bea dan Cukai berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, pengertian dari kalimat di atas tidak termasuk perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU TPPU. e. Dari keseluruhan pengaturan pembawaan uang tunai, ketentuan mengenai pemidanaan karena pencucian uang secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f UU TPPU. Ketentuan pidana ini mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun pihak lain, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usulnya, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 milyar.
14 SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
f. Berdasarkan dua pasal pemidanaan di atas, pelaku pencuci uang melalui pembawaan uang tunai ke luar wilayah Republik Indonesia akan menerima sanksi pidana yang sangat berat, bukan hanya pidana denda yang diatur dalam pasal 3 ayat (1) karena pencucian uang tetapi juga Pasal 9 apabila pelaku tidak melaporkan pembawaan uang tunai ke luar wilayah Republik Indonesia, dan bahkan uang yang tidak dilaporkannya akan disita untuk negara.
²PENGUATAN PERAN DITJEN
BEA DAN CUKAI DALAM PEMBANGUNAN REZIM ANTI PENCUCIAN UANG²
Dalam memperkuat peranan Ditjen Bea dan Cukai dalam pembangunan rezim anti pencucian uang, PPATK telah melakukan upaya koodinatif melalui pertemuan ditingkat pimpinan maupun teknis. Beberapa kali hasil pertemuan menunjukan langkah yang bersifat konstruktif, antara lain : a. Pengawasan Ditjen Bea dan Cukai masih menemui kendala terkait dengan pengawasan orang yang membawa uang tunai senilai Rp.100 juta atau lebih keluar atau masuk wilayah pabean RI. Profil seseorang yang membawa uang sebesar tersebut sulit diidentifikasi. Selama ini, pengawasan melalui pemeriksaan hanya dilakukan secara sampling dengan prinsip kehati-hatian dan harus memperhatikan kepentingan masyarakat, yaitu tidak terganggunya jadwal perjalanan yang telah ditetapkan. m Pengawasan pembawaan uang tunai dari luar yang masuk wilayah pabean melalui Bandara Soekarno Hatta dilakukan oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai, sebaliknya untuk yang ke luar wilayah Pabean melalui Bandara Soekarno Hatta pengawasannya dilakukan oleh Satpam Bandara. m Berdasarkan kondisi di atas, Ditjen Bea dan Cukai menyadari perlunya peningkatan pengetahuan di bidang intelijen bagi petugas Bea dan Cukai melalui berbagai pelatihan. Di samping itu, koordinasi antara petuas Ditjen Bea dan Cukai, Polisi Bandara dan Satpam Bandara melalui forum-forum koordinasi di tingkat teknis dirasakan cukup mendesak untuk dilaksanakan.
SUSNO DUADJI 15
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
b. Penyampaian pelaporan oleh 3 Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (Batam; Tanjung Pinang, dan Soekarno Hatta) sebenarnya telah dilakukan oleh 4 kantor pelayanan yaitu : Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Batam dan Soekarno Hatta. Selama ini, pelaporan oleh Cantor Pelayanan Tanjung Balai Karimun (Kantor di bawah Kantor Wilayah) dilakukan melalui Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Pinang. c. Ditjen Bea dan Cukai memiliki database terkait dengan data ekspor-impor dan data mengenai penanganan penyidikan di bidang kepabeanan, sebaliknya PPATK memiliki database mengenai transaksi keuangan. Masing-masing pihak memerlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas. Berkaitan dengan hal ini, perlu dikembangkan mekanisme pertukaran informasi dengan memanfaatkan database masing-masing baik atas dasar permintaan melalui tertulis atau on line bahkan direct link. d. Menanggapi kesiapan PPATK yang telah membangun aplikasi pelaporan CBCC secara on line, petugas Ditjen Bea & Cukai dan PPATK diminta segera melakukan pertemuan untuk membahas permasalahan teknis pelaksanaannya. e. Guna meningkatkan pelaporan khususnya di Bandara Soekarno Hatta, perlu segera dilakukan sosialisasi pelaksanaan UU TPPU kepada Polisi, Satpam dan petugas Ditjen Bea dan Cukai yang langsung menangani pembawaan uang tunai. PPATK diminta sebagai focal point untuk kegiatan ini dengan terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Departemen Perhubungan, PT Angkasa Pura dan Ditjen Bea Cukai. f. Sosialisasi mengenai pelaksanaan UU TPPU ke seluruh Indonesia menjadi program Ditjen Bea Cukai, sedangkan PPATK diharapkan dapat menyelenggarakan workshop untuk petugas Ditjen Bea Cukai untuk tingkatan lanjutan (advanced). Dalam workshop ini, lebih menekankan pada identitikasi permasalahan dilapangan dan bagaimana solusi yang ditawarkan. g. PPATK meminta agar Dirjen memberikan perhatian terhadap wilayahwilayah tertentu yang paling tinggi intensitasnya untuk transaksi pembawaan uang tunai, seperti di Batam. h. Dirjen Bea Cukai tertarik untuk menempatkan pegawainya di PPATK sebagai pegawai yang dipekerjakan dalam rangka meningkatkan koordinasi antara Ditjen Bea Cukai dengan PPATK. i. Dirjen Bea dan Cukai menyambut baik terhadap draft RUU TPPU yang memberikan kewenangan penyidikan TPPU kepada Ditjen Bea dan Cukai yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana dibidang kepabeanan. Di
16 SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
samping itu, usulan pengenaan sanksi administratif secara langsung oleh pejabat Bea dan Cukai dalam hal ditemukan adanya pelanggaran pembawaan uang tunai dinilai cukup praktis dan lebih mengedepankan hak asasi manusia. Peranan Ditjen Bea dan Cukai seperti yang telah diatur dalam UUTPPU terutama menyampaikan informasi yang diterimanya dari setiap orang yang melaporkan pembawaan uang tunai keluar atau masuk wilayah pabean sebagai diatur dalam Pasal 16 ayat (2) dan peranan yang bersifat koordinatif karena menjadi anggota Tim kerja Komite TPPU sebagaimana diatur dalam Keppres No.1 Tahun 2004. Untuk lebih meningkatkan perannya, dalam usulan draft UUTPPU Ditjen Bea dan Cukai diberi kewenangan mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran kewajiban pelaporan dari setiap orang dan melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, beberapa hal lain terkait dengan ketentuan yang masih menimbulkan persepsi yang berbeda telah diusulkan perbaikan redaksinya seperti pembawaan uang tunai senilai Rp100 juta rupiah dan teknis pelaksanaan pengenaan sanksi administratif.
²PENUTUP² Berangkat dari peranan dan tugasnya, yaitu PPATK sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dan Ditjen Bea dan Cukai yang merupakan lembaga Pemerintah di bawah Departemen Keuangan RI bertugas untuk melakukan pemungutan bea masuk dan cukai berdasarkan perundang-undangan yang berlaku serta tugas lain seperti pelaksanan peraturan perundang-undangan lainnya termasuk UU TPPU, serta diberikan kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan, sudah menjadi keharusan perlunya koordinasi yang efektif dalam membangung rezim anti pencucian uang di Indonesia. Sikap koordinatif antara Ditjen Bea dan Cukai dengan PPATK telah ditunjukkan melalui ditandatanganinya Nota Kesepahaman mengenai Kerjasama Pelaksanaan Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.25 tahun 2003 pada tanggal 31 Oktober 2003. Langkah ini hanya akan efektif apabila pelaksanaan
SUSNO DUADJI 17
SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH
ketentuan yang diatur dalam UU TPPU khususnya pelaporan pembawaann uang tunai telah diimplementasikan. Pelaksanaan Peraturan mengenai tata cara pembawaan uang tunai yang saat ini telah dikeluarkan oleh Ditjen Bea dan Cukai bekerjasama dengan instansi terkait termasuk Bank Indonesia perlu didukung oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya karena UU TPPU telah mengaturnya tetapi juga sejalan dengan rekomendasi khusus FATF. Bentuk koordinasi yang terus ditingkatkan di masa mendatang antara lain dalam bidang tukar menukar informasi, pemberian bantuan pelaksanaan tugas, dan sosialisasi serta pelatihan.*
* Artikel ini bersumber dari makalah yang disampaikan oleh Irjen Pol. Susno Duadji, Wakil Kepala PPATK, dalam “Seminar Sehari Tentang Peran Dan Fungsi DJBC Dalam Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia” pada tanggal 15 Agustus 2006 di Medan.
DAFTAR BACAAN Sutan Remy Sjahdeini. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004. Egmont Group, Interpretive Note Concerning the Egmont Definition of a Financial Intelligence Unit, (Appendix IV) dalam Paul Gleason and Glenn Gottselig (ed), Financial Intelligence Unit: An Overview. Washington D.C.: IMF, Legal Dept., Monetary and Financial System Dept.: World Bank, Financial Market Integrity Div., 2004. Paul Allan Schott. Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism. Washington D.C.: The World Bank, 2003. PPATK, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Jakarta: PPATK, 2003.
18 SINERGI MEMBANGUN AML REGIME YANG KOKOH