PENDAHULUAN Latar Belakanp Pengembangan areal padi gogo adalah salah satu upaya yang sangat penting dalam menghadapi krisis pangan dan impor beras secara besar-besaran pada satu tahun terakhir ini dan bahkan untuk selanjutnya dapat mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara swasembada beras (Solahudin, 1998). Padi gogo adalah jenis padi yang ditanam di lahan kering yang mengandalkan sumber airnya dari air hujan dan merupakan salah satu budidaya padi di Indonesia yang memiliki prospek cerah dalam pengembangannya. Hal ini sebagai akibat dari semakin menyempitnya lahan sawah yang menjadi lahan pertanian utama dalam budidaya padi. Sumbangan padi gogo terhadap produk padi nasional masih sangat rendah. Namun demikian padi gogo ternyata ditanam hampir di selumh propinsi di Indonesia. Banyak daerah yang kebutuhan pangannya tergantung pada padi gogo, seperti pada daerah-daerah transmigrasi lahan kering dan daerahdaerah datar maupun bergelombang yang tidak mungkin memperoleh air irigasi. Propinsi yang mempunyai luas areal padi gogo melebihi 50% total areal panen padi adalah Kalimantan Timur dan Maluku. Riau, Jambi, Lampung, Dl Yogyakarta, NlT, dan Kalimantan Barat, sedangkan Kalimantan Tengah mempunyai luas areal padi gogo 25
-
49 %, dan
propinsi lainnya mempunyai areal panen padi gogo kurang dari 25% (Basyir, Punarto, Suyamto dan Supriyatin, 1995). Potensi lahan kering yang selama ini belum diusahakan seluas 7.40 juta hektar yang tersebar di 26 propinsi.
Berdasarkan data dari Diektorat Jenderal
Tanaman Pangan dan Hortikultura, rencana pengembangan padi gogo sampai pada tahun 1998 akan mencapai 400.000 hektar dan akan bertambah dengan adanya program
transmigrasi (Kahar, 1995). Menurut
Solahuddin (1 998),
rata-rata
produktivitas padi gogo lahan kering hanya sekitar 2 07 ton ha", masih di bawah padi sawah sebesar 4.28 ton ha-' dan berdasarkan Angka Ramalan III maka luas areal panen padi gogo akan mencapai 1.2 juta ha dengan hasil rata - rata 2.17 ton ha-'. Pengembangan areal padi gogo sebagai upaya alternatif untuk swasembada beras, menghadapi banyak kendala. Pennasalahan yang jauh lebih komplek pada pengusahaan padi gogo di banding padi sawah menyebabkan produktivitas padi gogo lebih rendah dibanding padi sawah. Kendala utama budidaya padi gogo yang diusahakan di lahan kering yang marjinal adalah ketersediaan air yang tergantung pada curah hujan, kondisi fisik tanah dan tingkat kesuburan yang kurang menguntungkan. Kendala tersebut menyebabkan kebutuhan benih padi gogo lebih besar dibanding padi sawah. Selain dibutuhkan benih dalam jumlah yang lebih banyak, maka untuk menghadapi kondisi yang suboptimum tersebut juga dibutuhkan benih
dari varietas unggul yang bermutu tinggi baik mutu genetik, fisiologi maupun mutu fisik. Untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jumlah dan mutu yang terjamin maka dibutuhkan industri b e ~ h yang berorientasi pada mum produk secara ketat. Dalam ha1 ini benih telah menjadi suatu produk teknologi yang dalam proses produksinya memerlukan teknologi maju. Pemban-
sektor pertanian tanaman pangan di Indonesia tidak terlepas
dari peran penting benih sebagai sarana dalam usaha peningkatan produksi. Oleh
sebab itu pada awal Pelita I yaitu pada tahun 1971 banyak usaha pemerintah untuk membangun perbenihan khususnya padi. Selain mengeluarkan berbagai bentuk Peraturan Pemerintah, pemerintah membangun Perusahaan Umum Sang Hyang Sen dan BPSB. Pengadaan benih merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari persiapan penanaman benih sarnpai benih dihasilkan dan siap untuk disalurkan kepada konsumen. Untuk memenuhi kebutuhan benih yang bermutu baku yang baik dan tejamin, diperlukan suatu program kegiatan yang sistematis dan terorganisir mulai dari tingkat pemulia tanaman yang menghasilkan Benih Penjenis sampai pada benih tersebut dapat dimanfaatkan oleh petani yang dikenal sebagai Benih Sebar. Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Anonim, 1992 b), pemuliaan merupakan rangkaian pekerjaan yang meliputi mempertahankan keunggulan mutu varietas yang telah didapat dan dapat menciptakan varietas baru yang lebih unggul. Atas dasar pengertian ini, pemulia tanaman harus mempunyai orientasi agar varietas unggul yang dihasilkan dapat menjadi varietas yang dapat dikomersialkan. Benih varietas komersial berarti bahwa varietas yang dihasilkan harus secara terus menerus dapat ditingkatkan keunggulannya sehingga dapat memberi nilai tambah bagi industri benih maupun konsumen benih. Benih varietas komersial diharapkan mampu menyediakan produk yang memiliki daya saing tinggi sehingga dapat memanfaatkan peluang pasar yang culcup luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri. Hal tersebut selanjutnya akan menjadi peluang dan pendorong bagi petani untuk meningkatkan produksinya.
Benih unggul yang dihasilkan oleh pemulia tanaman adalah Benih Penjenis. Benih Penjenis bukan obyek komersial. Untuk menjadikannya sebagai produk komersial, upaya komersialisasi hams ditunjang oleh dua program yaitu Program Sertifikasi Benih (PSB) dan Program Benih Dasar (PBD) yang saat ini belum berkembang (Sadjad, 1997). Di Indonesia, program sertifikasi sudah ada dan ditunjang oleh perundangan dan aparat yang sudah siap. Benih yang telah disertifikasi berarti benih yang diedarkan ke masyarakat sudah berada pada tingkatan komersial. Namun demikian, pengadaan benih padi yang sistem pengadaannya sudah cukup mantap, masih belum mampu memuaskan konsumen benih. Hal ini disebabkan oleh adanya peredaran benih yang mungkin kurang terawasi dengan baik atau mungkin juga karena proses produksinya memang kurang memadai. Agar tujuan komersialisasi tersebut dapat tercapai maka PSB yang telah ada harus ditunjang oleh PBD. PBD merupakan program kerjasama antara pemulia tanaman yang menghasitkan Benih Penjenis dengan teknolog benih yang mengupayakan perbanyakan tanpa mengurangi nilai mutu genetik yang telah diupayakan menepati prinsip
Distinghushed, Unijormity clan Stability (DUS) dan menghasilkan mutu benih yang baik dan benar. Dengan demikian, PBD merupakan jembatan komersialisasi antara Benih Penjenis yang produksinya di tangan pemulia tanaman, dengan Benih Dasar yang produksinya di tangan produsen benih. Konsepsi PBD dalam pengadaan benih sangat perlu untuk menghindari kegagalan yang umumnya mengalibikan benih (Sadjad, 1993).
Pada kasus padi gogo khususnya, menghadapi areal lahan kering yang serba marjinal, mutu benih harus menjadi perhatian sehingga pengadaannya harus diprogramkan dengan m a t . PBD seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan suatu program yang penting guna menghasilkan benih dalam jumlah yang cukup dengan mutu baku yang memenuhi kriteria DUS dan senantiasa berupaya meningkatkan nilai komersialnya. Peningkatan nilai komersial berarti bahwa varietas baru yang dihasilkan oleh pemulia tanaman idealnya berbeda dan lebih unggul dibanding varietas yang telah ada. Peningkatan nilai komersial berdasarkan kriteria DUS dapat ditentukan secara kuantitatif dalam PBD dengan mengembangkan tolok ukur yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Selain kriteria DUS, pada kasus padi gogo kemarnpuan daya saing dan toleransi terhadap d&siensi
0 2
dapat menjadi kriteria komersial yang akan
memberi nilai tambah bagi suatu varietas baru. Kemampuan daya saing tanaman sangat dibutuhkan pada pertanaman padi di lahan kering. Hal tersebut berkaitan dengan digalakkamya budidaya padi gogo tanpa olah tanah (TOT) dan sistem tebar langsung (Tabela) maka persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan gulma menjadi kendala yang penting dalam budidaya padi gogo ( h i s , 1995). Menurut Sadjad (1995 a), dalam PBD perlu pula dicermati pengembangan metodologi analisis benih. Sampai saat ini metode pengujian benih yang dikembangkan hanya sebatas viabilitas potensial yang dicerminkan oleh persentase kecambah n o d dalam sistem pengujian yang medianya serba optimum. Menghadapi kondisi lahan kering yang marjinal, perlu pengembangan metode analisis benih yang dapat
memberi informasi lebih akurat yang lebih dapat mendekati kineja tanaman di lapang. Sadjad (1994) telah mengembangkan metode pengujian viabilitas simulatif. Informasi mum yang diperoleh dari pengujian viabilitas secara simulatif, diharapkan dapat menjadi nilai tambah dan menjadi salah satu indikator komersial bagi benih unggul yang dihasilkan oleh pemulia tanaman dan dapat menjadi pembeda antara varietas yang dihasilkan. Penggunaan uap etanol untuk pengujian vigor b e ~ hsecara simulatif dikembangkan untuk tujuan pengujian tingkat ketahanan benih terhadap masalah oksigen. Diasumsikan bahwa makin tahan benih tersebut terhadap penderaan etanol, maka benih tersebut akan makin tahan terhadap kondisi pertanaman yang kekurangan oksigen. Diketahui bahwa kendala utama pengembangan padi gogo adalah keter-
gantungan pada curah hujan. Hal ini berarti b e ~ padi h gogo harus disimpan dalam waktu yang cukup lama untuk menunggu musim tanam berikutnya.
Menurut
informasi dari Balai Penelitian Tanaman Pangan Muara Bogor, beberapa varietas padi gogo yang dikembangkan di Indonesia diantaranya Gajah Mungkur, Way Rarem, Jatiluhur dan Kalimutu mempunyai daya simpan yang rendah. Hal ini menjadi kendala pada ketersedian benih padi gogo dalam ha1 jumlah, waktu dan mutu yang tepat pada saat dibutuhkan dan akan sangat merugikan produsen benih dan konsumen. Untuk mempertahankan mutu benih tetap baik selama priode simpan, diperlukan: 1) kondisi penyimpanan yang optimum dengan suhu dan RH terkontrOl atau 2) dapat menciptakan suatu sistem sehingga tidak tercipta proses penyimpanan benih sebelum penanaman.
Untuk menyiapkan kondisi optimum penyimpanan benih dalam junllah besar dibutuhkan sarana teknologi maju yang membutuhkan investasi yang cukup besar. Kenyataan bahwa kondisi penyimpanan benih di daerah tropik umumnya masih sangat jauh dari kondisi penyimpanan yang diharapkan Benih padi gogo yang dihasilkan disimpan pada suhu dan RH yang tidak terkontrol. Kondisi penyimpanan suboptimum tersebut berpengaruh negatif terhadap kualitas benih. Realisasi cara kedua bisa dilakukan dengan menciptakan suatu sistem pengadaan benih antar lapang yang dikenal sebagai Jalinan Arus Benih Antar Lapang (JABAL). Sistem JABAL merupakan suatu sistem untuk mendapatkan benih, dimana dalam sistem tersebut benih tidak mengalami masa penyimpanan lebih dari tiga bulan (Sadjad, 1981). Sistem pengadaan benih tersebut dapat dilakukan pada padi gogo yang mempunyai daya simpan benih yang rendah yaitu dengan pengadaan benihnya dilakukan di lahan sawah sebagai penanaman padi gadu di musim kemarau sambil menunggu saat tanam padi gogo pada musim berikutnya. Pengadaan benih demikian didasarkan pada pemikiran bahwa benih yang belum lama dipanen akan memiliki vigor yang cukup tinggi dan bisa dijadikan benih untuk ditanam. Pengujian benih padi gogo dengan penderaan etanol didasarkan pada pemikiran bahwa produksi benih padi gogo yang dilakukan pada lahan sawah kemungkinan dapat menimbulkan defisiensi oksigen . Letak benih yang terlalu dalam yang mungkin disebabkan oleh terpaan hujan juga dapat menimbulkan defisiensi oksigen. Padi gogo yang genetik bersifat adaptif untuk dibudidayakan pada lahan kering dengan ketersedian oksigen yang tidak memasalah, mungkin pengusahaan di lahan sawah dapat menimbulkan masalah karena kondisinya yang sangat berbeda
dengan kondisi lahan kering. Perbedaan tersebut terutama pada penggenangan yang menimbulkan lingkungan yang anaerob. Oleh karma itu dibutuhkan metode pengujian yang dapat memberikan informasi mengenai ketahanannya terhadap defisiensi oksigen dan ha1 itu dapat menjadi salah satu indikator komersial benih unggul yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka diperlukan penelitian untuk melihat penerapan DUS dalam upaya komersialisasi benih dan pengembangannya dalam PBD. Selain itu dilakukan penelitian kemampuan daya saing dan penggunaan pengujian viabilitas simutatif
untuk mengetahui tingkat toleransi benih terhadap
defisiensi 0 2 dan kemungkinannya sebagai pembeda tingkat komersial suatu varietas unggul dengan varietas unggul lainnya.
Tuiuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk menemukan tolok ukur yang spesifik dapat digunakan untuk mengukur nilai komersial benih
- kasus b e ~ hgogo Var. Gajah
Mungkur, Var. Kalimutu, Var. Jatiluhur d m Var. Way Rarem. Dengan demikian
maka prinsip DUS dapat diterapkan bagi peningkatan komersialisasi benih dan tingkat komersialnya dapat dinilai secara kuantitatif dalam PBD.
Hipotesis Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini: 1. Varietas yang komersial memiliki karakter berbeda (distinguished) yang dapat
dideteksi melalui tolok ukur I&,
I&,
jumlah anakan, jumlah anakan produktif,
jumlah butir per malai, berat 1000 butir dan produksi 2. Tingkat keseragaman (U~ri)ormity) masing-masing varietas dapat dideteksi
melalui totok ulcur tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan panjang malai 3. Tingkat stabilitas (Stability)masing-masing varietas dapat dideteksi melalui uji
beda antar kelas benih masing-masing varietas dengan menggunakan tolok ukur Vos, DT, KSP, KCT,jumlah anakan, jumlah anakan produktif, jumlah butir per malai dan produksi 4. Tingkat komersial antar varietas dapat dibedakan dengan daya saing varietas yang
dapat dideteksi melalui kepekaan masing-masing varietas terhadap jarak tanam dan jumlah benih per lubang yang ditanam dengan tolok ukur tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif dan produksi 5. Tingkat komersial antar varietas dapat dibedakan melalui toleransi terhadap
defisiensi 0 2 yang dideteksi dengan tolok ukur Nilai Delta