PENDAHULUAN L a t a r Belakang Peinbangunan adalah upaya lnelakukan perubahan ke arah perbaikan yang bertujuan
untuk
memperbaiki taraf hidup, meningkatkan
kesejahteraan dan
meningkatkan kualitas surnber daya manusia (SDM). Upaya ini direncanakan dan dilaksanakan
oleh pemerintah dan masyarakat, dan hasilnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini membawa implikasi, bahwa perubahan yang diupayakan melalui pembangunan bukan hanya menjangkau segi-segi material, tetapi juga menjangkau seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, agar masyarakat merasa memiliki, bertanggung jawab dan bisa menikmati hasil-hasil yang dicapai mereka perlu didorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat penting agar mereka bukan hanya menjadi obyek, tetapi juga sebagai subyek. Dengan demikian, segala yang dilaksanakan dan dihasilkan bisa mereka rasakan manfaatnya. Di samping itu, pembangunan tidak akan rnencapai hasil optimal dan keberhasilannya tidak bisa dirasakan semua lapisan tanpa partisipasi aktif masyarakat, meskipun ha1 ini seringkali
sulit
diwujudkan.
Menurut
Slamet (1992),
di
antara tantangan
peinbangunan adalah cara meningkatkan partisipasi rakyat agar dapat meraih dan menikinati kualitas hidup lebih baik dari waktu ke waktu.
Proses pembangunan pada dasamya adalah proses sosial dalam menjadikan manusia lebih kompetens untuk hidup dalam dunia yang terus berubah. Dalam proses pembangunan, penyuluhan merupakan salah satu upaya rekayasa sosial untuk menjadikan masyarakat mempunyai kemampuan membentuk pola prilaku tertentu dalam rangka mernperbaiki kualitas hidupnya (Slamet, 1992). Melalui penyuluhan pembangunan dilakukan upaya-upaya mengkomunikasikan informasi untuk membantu subyek yang menjadi sasaran membentuk pendapat atau opini yang berguna, dan membantu membuat keputusan yang baik bagi dirir~ya (Mardikanto, 1993; dan Rolling, 1988). Prosesnya bukan semata-mata menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi oleh setiap orang yang menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pembangunan dan peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan dan peningkatan kualitas SDM (Slamet, 1996; dan van den Ban dan Hawkins, 1995). Penekanan kegiatan penyuluhan pembangunan adalah proses belajar tentang program
pembangunan.
Melalui
kegiatan
ini
masyarakat
diharapkan
bisa
mengetahui kesempatan-kesempatan yang ada, mau melatih diri untuk meraih kesempatan, termotivasi untuk mengadopsi inovasi, dan ditindak lanjuti oleh tindakannya mengadopsi inovasi itu (Slamet, 1992). Agar terjadi proses belajar pada masyarakat tentang program pembangunan, proses menyampaikan informasi tentang program-program pembangunan sehamsnya memperhatikan kebutuhankebutuhan individu. Kebutuhan-kebutuhan itu terkait dengan potensi yang dimiliki
dan bisa dikembangkan. Oleh karena itu, penyuluhan dilaksanakan melalui proses mendidik, tidak memaksa, bersifat demokratis, dan dilaksanakan dengan cara bekerjasama dan secara terus menerus (Asngari, 1996). Pelaksanaan penyuluhan pembangunan memerlukan dukungan utama berbagai bentuk pelatihan. Hal ini sejalan dengan pandangan SIamet (1 9 9 2 3 8 ) : "Tujuan utama penyuluhan pembangunan adalah menimbulkan perbuatan kongkrit rakyat seperti dimaksud oleh pembangunan. Untuk itu, diperlukan dukungan pelatihan-pelatihan yang mencakup berbagai keterampilan, pemberian contoh-contoh nyata, dun penyediaan berbagai sarana yang diperlukan unruk dapat memunculkan perbuatan kongkrit masyarakat".
Dalarn perspektif konsep penyuluhan sebagai proses mengubah prilaku orang dewasa atau rnereka yang berada di luar jalur pendidikan sekolah, pelatihan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan penyuluhan pembangunan. Adapun dalam konteks sistem pendidikan nasional, pelatihan adalah salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (Departemen Penerangan, 1989; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Pendidikan luar sekolah, yang juga
disebut
dengan
pendidikan
non-formal,
ada yang
dilaksanakan
oleh
pemerintah, seperti yang diselenggarakan oleh Balai Latihan Kejuruan (BLK) yang berada di bawah Departemen Tenaga Kerja, dan ada pula yang diselengarakan oleh swasta namun di bawah koordinasi Bidang Pendidikan Masyarakat. Pada sidang urnurn yang dilaksanakan bulan Oktober 1985, salah satu badan dunia yang menangani pendidikan dan ilmu pengetahuan, UNESCO, merekomendasikan pentingnya pendidikan bagi semua atau Education for A l l (Soediyarto, 1992; dan
UNESCO,
1985). Di
antara
implementasi pendidikan
bagi
semua adalah
penyediaan kesempatan pendidikan lanjutan di luar sekolah atau Continuing Education bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal di sekolah (Soedijarto, 1996; dan UNESCO, 1993). Merujuk kepada konsep yang diajukan oleh UNESCO, sebagaimana dikutip oleh Soedijarto (1992 :36): "Continuing education is a teaching and learning process for literate adults who have got some basic general knowledge and wish to obtain some special skills needed within a relatively short period of time in order to fulfill the needs of life within the community". Salah satu tujuannya adalah menyediakan kesempatan memperoleh bekal-bekal kemampuan yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Di antara bentuk pelaksanaannya adalah pelatihan kejuruan yang banyak diikuti oleh lulusan sekolah menengah sebelum bekerja. Pelatihan
kejuruan
melatihkan tertentu,
adalah pelatihan
yang
programnya
dilaksanakan
untuk
berbagai kemampuan yang berkaitan dengan suatu jenis kejuruan
seperti
pelatihan
kejuruan
kesekretarisan,
manajemen
informasi
(ko~nputer),atau perawatan kecantikan. Kebanyakan masukan mentah lembagalembaga pelatihan kejuruan adalah luiusan Sekolah Menengah Umum ( S W ) , termasuk Madrasah Aliyah. Dalam perspektif konsep pembangunan mereka adalah SDM yang potensial, meskipun dalam pemanfaataannya cenderung kurang optimal. Ini mengingat:
(1) Kurikulum inti yang digunakan pada jenis sekolah ini berkaitan dengan mata-
mata pelajaran akademik-skolastik yang hanya fungsional untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Materi pelajaran yang berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk mampu bekerja atau benvirausaha tidak diberikan secara memadai, sehingga lulusannya tidak siap untuk memasuki dunia kerja. Kekurangsiapan ini bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga
dialami bila yang bersangkutan ingin
benvirausaha dengan mengandalkan kemampuan kejuman. Untuk mengatasi kekurangan dalam
kemampuan
ini
sebagian
lulusan
SMU yang tidak
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mengikuti pelatihan kejuruan, yang dirnaksudkan agar setelah selesai bisa memanfaatkan kemampuan yang diperoleh untuk memperoleh pendapatan melalui bekerja atau berwirausaha. (2) Meningkatnya
angka
partisipasi
pada
satuan
pendidikan
SMU
telah
lnenimbulkan ekses penawaran tenaga kerja. Di antara dampaknya adalah terjadinya persaingan yang lebih ketat dalam merebut kesempatan untuk bekerja (Cobbe dan Boediono, 1992). Dalam kaitan dengan bekerja, seleksi tenaga kerja bukan hanya didasarkan atas jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan, tetapi juga kemampuan kejuruan yang dimiliki. Jadi, meskipun ada permintaan tenaga kerja, namun pasar lebih memilih mereka yang memiliki keinainpuan kejuruan tertentu.
(3) Meningkatnya pemanfaatan teknologi produksi dan persaingan dalam usaha
juga mendorong lulusan SMU yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk mengikuti PKSB. Ini disebabkan oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan kejuruan mengalami kesulitan untuk bekerja atau berwirausaha. Dengan merniliki kemampuan yang terkait dengan suatu jenis kejuruan tertentu peluang bekerja atau berwirausaha lebih besar. Karena pelatihan kejuruan bertujuan memberi bekal-bekal kemampuan yang kelak bisa dimanfaatkan untuk bekerja atau wirausaha, idealnya lembaga-lembaga penyelenggara
pelatihan
kejuruan
menyesuaikan
program
yang
ditawarkan
pelatihannya dengan yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan yang terkait, baik yang diminta oleh perusahaan yang akan menerima keluaran pelatihan sebagai tenaga kerja lnaupun dalam menjalankan wirausaha. Kesesuaian antara penawaran dan permintaan ini akan berdampak pada keoptimalan pemanfaatan kemampuan yang
diperoleh
melalui
pelatihan
yang
diikuti,
baik
untuk
bekerja
atau
berwirausaha, dalam rangka memperoleh pendapatan. Dala~nperspektif penyuluhan pembangunan, keputusan lulusan SMU mengikuti pelatihan kejur~lansebelum bekerja (PKSB) adalah keputusan mengadopsi inovasi. Ini berarti individu yang mengambil keputusan tersebut telah mengadopsi suatu inovasi. Pengertian inovasi dalam konteks ini adalah sesuatu yang bagi individu yang bersangkutan termasuk baru (Lionberger dan Gwin, 1991). Dalam kaitan
dengan ini, secara teoritis banyak faktor yang mendorong terjadinya adopsi, baik faktor yang ada dalam diri (endogen) dan faktor yang datang dari luar diri (eksogen). Di antara faktor-faktor penting yang datang dari dalam diri adalah: (1) persepsi terhadap manfaat dan pentingnya pelatihan, dan (2) motivasi mengikuti pelatihan. Adapun faktor-faktor yang datang dari luar meliputi: (1) dorongan orang tua, dan (2) dukungan biaya. Kep~~tusan mengadopsi inovasi yang diwujudkan dalam keputusan mengikuti PKSB, sebagaimana halnya bentuk-bentuk prilaku sejenis lainnya, berimplikasi dan berdampak
ekonomik.
Pengkajiannya
juga
bisa
menggunakan
pendekatan
ekonornik. Menurut Becker ( 1 976:8):
"Indeed, I have come to the position that the economic approach is a comprehensive one that is applicable to all human behavior, be it behavior involving money prices or imputed shadow prices, repeated or infrequent decisions, large or minor decisions, emotion or mechanical ends, rich or poor persons, men or women, adults or children, brilliant or stupid persons, patients or therapists, businessmen or politicians, teachers or students. The applications of the economic approach so conceived are as extensive as the scope of economics in the deJinifion given earlier that emphasizes scarce means and competing ends". Sejalan dengan konsep di atas, keputusan semacam itu melibatkan penggunaan biaya.
Biaya-biaya itu bukan hanya biaya yang secara langsung digunakan sebagai
ongkos rnengikuti pelatihan, tetapi juga biaya tak langsung, yakni ongkos keseinpatan, yaitu tingkat penghasilan yang seharusnya diperoleh apabila orang yang bersangkutan bekerja atau benvirausaha selama mengikuti pelatihan. Oleh karena itu, keputusan tersebut bisa dikategorikan ke dalam keputusan rnelakukan
investasi pribadi, sehingga pengkajiannya bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomik. Keputusan melakukan investasi pribadi pada PKSB dipandang iayak apabila faktorfaktor yang ada di dalam dan di luar diri itu kondusif, dan investasi pribadi yang dilaksanakannya bisa memperoleh pengembalian. Faktor-faktor yang ada dalarn diri, yaitu persepsi dan motivasi, akan besar dampaknya terhadap keberhasilan individu rnenlpelajari kemampuan kejuruan melalui pelatihan. Demikian pula faktor-faktor yang datang dari luar diri, yang rneliputi dorongan orang tua atau keluarga dan ketersediaan biaya untuk mengkuti pelatihan tersebut. Dengan keberhasilan menguasai kemampuan yang terkait dengan kejuruan tertentu, peluang mernenangkan persaingan dalam bekerja akan lebih besar, yang berarti besar pula peluang
mendapat penghasilan. Meskipun dernikian,
sernakin
banyak
lulusan
SMU
yang
mengikuti
adanya
PKSB
bisa
kecenderungan menyebabkan
meningkatnya penawaran tenaga kerja trarnpil. Ini berdampak terhadap terjadinya ekses penawaran, yang juga bisa berdampak pada naiknya tingkat pengangguran tenaga kerja trampil, termasuk pengangguran terselubung, yang diakibatkan oleh adanya tenaga kerja melakukan pekerjaan di luar kemampuan kejuruan yang dimiliki. Situasi ini menjadikan keputusan melakukan investasi pribadi pada PKSB menghadapi resiko ketidakmenentuan, yakni apakah orang yang bersangkutan akan bisa lnernanfaatkan kemampuan yang diperoleh melalui pelatihan
untuk bekerja
(Bellante dan Jackson, 1990). Mengingat besamya peran PKSB bagi lulusan SMU,
sedangkan untuk mengikutinya mereka perlu melakukan investasi pribadi, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengkaji kelayakan melakukan investasi pribadi pada PKSB guna meningkatkan mutu SDM fulusan SMU.
Masalah Penelitian Masalah utama yang menjadi fokus pengkajian rnelalui penelitian ini terkait dengan: "kelayakan melakukan investasi pribadi pada PKSB guna meningkatkan mutu SDM lulusan SMU. " Kelayakan melakukan investasi pribadi pada PKSB ini di dasarkan atas pengkajian terhadap indikator-indikatomya, yaitu: ( I ) Dukungan faktor-faktor yang ada di dalam diri individu (faktor endogenus). (2) Dukungan faktor-faktor yang ada di luar diri (faktor eksogenus). (3) Diperolehnya keuntungan dari investasi pribadi itu, baik berdasarkan tingkat
pengembalian maupun peningkatan satuan efisiensi individu yang bersangkutan. Pengkajian terhadap masalah ini dilakukan dengan mengantisipasi kecenderungan, bahwa lulusan SMU dihadapkan pada pilihan-pilihan aktivitas, yaitu melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, melakukan aktivitas ekonomi (bekerja atau berwirausaha), mengikuti PKSB, atau aktivitas lain di luar ketiga pilihan itu. Pada dasarnya, setiap lulusan SMU telah melakukan investasi pribadi. ApabiIa mereka tidak
melanjutkan pendidikan, dan kemampuan hasil
belajar pada jenjang
pendidikan tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan, mereka cenderung langsung melakukan aktivitas ekonomi, sehingga pengembalian investasi
pribadi akan lebih cepat diperoleh. Hasil pemantauan kesempatan kerja sektoral tahun 1996/1997 menunjukkan bahwa masalah utama tenaga kerja dari sisi penawaran adalah masalah kualitas, yakni kemampuan yang dirniliki tidak sesuai dengan permintaan. Angka pengangguran lulusan SMU, yaitu 0.18, lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu 0.12 (Departernen Tenaga Kerja, 1997). Ini berarti, lulusan S M U yang tidak rnelanjutkan pendidikan banyak yang tidak bisa langsung melakukan aktivitas ekonomi, dan hasil belajar rnereka diasumsikan kurang terkait dengan kemampuan-kemampuan fimgsional untuk bekerja. Apabila mereka akan memasuki pasar kerja, diperlukan bekal-bekal kemampuan kejuruan, yang di antaranya diperoleh dengan mengi~uti pelatihan. Meskipun demikian, ha1 ini selain berdampak pada penambahan investasi pribadi juga masih perlu dipertanyakan tentang relevansi dan keefektifan biaya dari program-program pelatihan itu sendiri, sehingga kernanfaatan yang diharapkan diperoleh bisa benar-benar tercapai. DaIam perspektif penyuluhan pembangunan, keputusan lulusan SMU melakukan investasi pribadi pada PKSB dapat dipandang sebagai suatu proses adopsi yang bersifat individual. Dalam proses adopsi ini, peranan informasi sangat penting (Mardikanto, 1993; dan Rolling, 1988). Informasi yang diasumsikan memberi pengaruh kepada individu dala~nproses adopsi adaIah: (1) informasi sekitar pelatihan itu sendiri, (2) informasi tentang berbagai jenis pekerjaan dan peluang wirausaha yang memerlukan kernampuan kejuruan tertentu, dan (3) infornasi
tentang keberhasilan orang-orang yang telah memanfaatkan kemarnpuan hasil pelatihan dalam aktivitas ekonomi. Secara teoritis, informasi-informasi itu akan memberi datnpak yang berarti pada perubahan prilaku, yakni kemauan mengadopsi, apabila didukung oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Di antara faktor endogen adalah: (1) Persepsi tentang manfaat dan pentingnya PKSB, dan (2) motivasi untuk mengikuti pelatihan. Adapun di antara faktor eksogen adalah: (1) dorongan orang tua untuk lnengikuti pelatihan, dan (2) dukungan biaya, yaitu kemampuan ~nembiayaiatau adanya peluang memperoleh biaya untuk mengikuti PKSB. Biaya yang dikeluarkan untuk PKSB ~neliputi biaya langsung dan biaya taklangsung. Biaya langsung adalah ongkos-ongkos yang secara langsung dikeluarkan selan~an~engikutipelatihan. Ini meliputi ongkos-ongkos yang dibayarkan kepada lembaga pelatihan (uang sumbangan pendidikan), biaya pembelian buku dan alat, ongkos transportasi, dan biaya hidup (akornodasi dan konsumsi). Adapun biaya taklangsung
adalah
nilai
~nemperoleh pendapatan
waktu yang
atau ongkos kesempatan, hilang
karena
mengikuti
yakni
kesempatan
pelatihan,
seperti
kesempatan bekerja yang hilang selalna mengikuti pelatihan. Lama waktu pelaksanaan pelatihan kejuruan berbeda-beda tergantung pada luas dadatau dalamnya lnateri yang dilatihkan. Pada umumnya pelatihan kejuruan berlangsung antara enam bulan sampai kurang dari satu tahun intensif. Pelatihan yang kurang dari enam bulan biasanya hanya melatih suatu jenis keterampilan
tertentu saja, jadi bukan pelatihan kejuruan. Pelatihan yang diikuti selama satu tahun atau lebih biasanya termasuk ke dalam jalur pendidikan tinggi. Selain itu, mutu lembaga pelatihan juga beragam. Mutu lembaga-lembaga ini biasanya ditentukan oleh "konsumen". Meskipun keragaman itu memberi pengaruh kepada perbedaan substansi stok kapital manusia lulusannya, namun dalam penelitian ini pengaruh tersebut tidak menjadi fokus perhatian. Kecenderungan lain menunjukkan, bahwa lama waktu selang antara selesainya mengikuti
pelatihan
dan diperolehnya
pendapatan,
baik
dari
bekerja
atau
benvirausaha, juga berragam. Ada keluaran pelatihan yang langsung melakukan aktivitas ekonomi setelah selesai mengikuti pelatihan (memperoleh pendapatan) dan ada yang harus menunggu dalam jangka waktu tertentu, bahkan ada pula yang tidak bisa mendapat pekerjaan atau mendapat pekerjaan namun tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini berdampak pada perbedaan pengembalian investasi, karena pada
tingkat
pendapatan
yang
sama, makin
cepat seseorang memperoleh
pendapatan, maka nilai netto kini (net present value atau NPV) dari pendapatannya akan lebih tinggi. Pengembalian investasi pribadi yang dilakukan oleh lulusan SMU pada PKSB secara teoritis dapat dianalisis berdasarkan atas pendapatan, meskipun masih perlu dipel-tanyakan apakah pendapatan tersebut berhubungan secara langsung dengan pelatihan itu sendiri atau dengan jenjang pendidikan sebelum mengikuti pelatihan.
Mengacu kepada model pendapatan yang diajukan oleh Schultz (1988), yang secara umum menggambarkan, bahwa pendapatan adalah fingsi dari tahun sekolah dan karakteristik produktif lain, peningkatan kemampuan individu yang mengikuti pelatihan sebelum bekerja dapat dimasukkan ke dalam kategori karakteristik produktif. Faktor-faktor yang diasumsi tercakup dalam karakteristik produktif meliputi faktor-faktor
yang ada dalam diri dan yang ada di fuar diri individu.
Faktor-faktor yang ada dalam diri individu meliputi kemampuan dan sikap. Dalam perspektif ekonomi, kemampuan dan sikap dipandang sebagai stok kapital manusia, yang merupakan fungsi dari pelatihan dan pengalaman. Keragaman pengaruh faktor-faktor itu terhadap pendapatan bergantung pada aktivitas yang dilakukan, yakni bekerja di prusahaan atau benvirausaha. Keragaman pendapatan ini dikaji dalam tiga kategori sumber, yaitu: (1) bekerja di perusahaan besar, (2) bekerja di perusahaan menengah, dan (3) berwirausaha. Pendapatan yang diperoleh seseorang (revenue). yang menjadi dasar dalam analisis pengembalian investasi pendidikan, secara teoritis dapat digunakan dalam mengkaji satuan efisiensi. Satuan efisiensi merupakan satuan baku stok kapital manusia yang
dimiliki seseorang (Borjas, 1996). Satuan efisiensi bisa dikenali setelah dia menyewakan atau memanfaatkan kemampuan yang diperoleh dari pelatihan dalam aktivitas ekonomi hingga menghasilkan revenue, baik dalam bentuk pendapatan dari upah kerja maupun dari wirausaha.
Atas dasar uraian di atas, pengkajian terhadap masalah utama penelitian ini, yaitu tentang "Kclayakan melakukan investasi pribadi pada pelatihun kejuruan sebelum bekerja (PKSB) guna meningkatkan mutu SDM lulusan SMLr" dilakukan dengan
terlebih melakukan kajian terhadap rincian masalahnya, yaitu: (1)
Faktor-faktor yang secara nyata memberi pengaruh terhadap keputusan luiusan SMU untuk mengikuti PKSB.
(2) Biaya investasi pribadi pada PKSB. (3) Faktor-faktor secara nyata memberi pengaruh kepada tingkat pendapatan tenaga
kerja lulusan SMU yang mengikuti PKSB. (4) Pengembalian investasi pribadi d m satuan efisiensi tenaga kerja Lulusan SMU
yang mengikuti PKSB.
Tujuan d a n Msnfaat Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mengkaji kelayakan investasi pribadi pada PKSB guna meningkatkarl mutu SDM lulusan SMU, melalui pengkajian terhadap: (1) Berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan lulusan SMU mengikuti PKSB, yang terkait dengan: (a)
Persepsi lulusan SMU terhadap manfaat dan pentingnya PKSB.
(b)
Motivasi lulusan SMU mengikuti PKSB.
(c)
Dorongan orang tua/keluarga untuk mengikuti PKSB.
(d)
Ketersediaan biaya untuk mengikuti PKSB.
(2) Tingkat
biaya
untuk
investasi
pribadi
pada
PKSB
dan
komponen-
komponennya, meliputi biaya tangsung dan biaya kesempatan. (3) Faktor-faktor yang secara nyata memberi p e n g a d kepada tingkat pendapatan
tenaga kerja lulusan SMU yang mengikuti PKSB. Ini terkait dengan identifikasi tentang: (a)
Pengaruh kemampuan terhadap tingkat pendapatan.
(b)
Pengaruh pengalaman kerja terhadap tingkat pendapatan.
(c)
Pengaruh sikap kerja terhadap tingkat pendapatan.
(d)
Ragam tingkat pendapatan tenaga kerja yang bekerja di pemsahaan (menengah dan besar) dan yang benviarausaha.
(4) Mengkaji pengembalian investasi pribadi pada PKSB dan satuan efisiensi tenaga kerja Iulusan SMU yang mengikuti PKSB. Ini terkait dengan identifikasi tentang: (a)
Keuntungan investasi pada PKSB.
(b)
Ragam satuan efisiensi tenaga kerja lulusan SMU yang mengikuti PKSB.
Manfaat Hasil Penelitian Penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan
sekolah
dan jalur
pendidikan
luar
sekolah. Ciri
utama
yang
lnenlbedakan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan luar sekolah adalah adanya penjenjangan dan kesinambungan. Ini berarti, satuan pendidikan pada jalur Iiiar sekolah bisa berdiri sendiri, dalam arti tidak merupakan lanjutan atau sambungan dari satuan lain; meskipun program yang diselenggarakan berkaitan dengan satuan-satuan pendidikan pada jalur sekolah maupun luar sekolah. Jadi, pendidikan luar sekolah bisa merupakan alternatif penyelenggaraan pendidikan, baik dalam kerangka pelaksanaan wajib belajar, maupun pendidikan lanjutan. Sebagaimana pendidikan jalur sekolah, jalur pendidikan luar sekolah bisa diseIenggarakan oleh pernerintah maupun masyarakat. Terbukanya kese~npatanluas bagi nlasyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan luar sekolah, telah menjadikan pendidikan luar sekolah, khususnya yang menawarkan program-program pelatikan kejuruan, cenderung sebagai komoditas. Ini berarti,
lembaga penyelenggara
pelatihan kejuruan, khususnya swasta, banyak yang bukan lagi menjadi lembaga nir-laba. Dampak dari kecenderungan itu dialami oleh peserta pelatihan dan/atau orang tuanya. Mereka yang setelah lulus dari pendidikan sekolah berkeinginan mengikuti pelatihan kejuruan harus rnengeluarkan biaya tambahan terhadap biaya pendidikan yang sudah dikeluarkan.
hidup, bisa dicapai secara efektif. Strategi yang tepat ini diperlukan dalam rangkit menjadikan target populasi penyuluhan mengadopsi suatu inovasi dan untuk mel~jadikanlnereka yang telah mengadopsi inovasi itu dapat memanfaatkan hasil belajar yang diperoleh melalui penyuluhan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Pelatihan kejuruan bisa dipandang sebagai suatu media penyuluhan. Untuk merumuskan strategi yang tepat, diperlukan temuan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mendorong seseorang mengikuti pelatihan dan faktor-faktor yang mengoptimalkan kemanfaatan hasil belajar yang diperoleh melalui pelatihan. Hasil pei~elitianini bisa dimanfaatkan sebagai inasukan untuk kepentingan tersebut. Temuan penelitian juga akan dijadikan dasar merumuskan model satuan efisiensi tenaga kerja lulusan ShfU yang mengikuti PKSB. Model ini bisa digunakan untuk ineiliiai
apakah
suatu
program
pelatihan
kejuruan
dan
penyuluhan
bisa
ineningkatkan stok kapital manusia pesertanya.
Selain itu, keikutsertaan lulusan SMU pada PKSB mengimplikasikan investasi pribadi. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pribadi pada pelatihan rnaupun pengembaliannya telah dilakukan oleh beberapa pakar, terutama di Amerika Serikat. Temuan penelitian tentang model-model pengembalian investasi pribadi di antaranya adalah model Becker (1962), Schultz (1968), dan Mincer (1974). Model-model tersebut lebih menekankan pada aspek keuangan, meskipun antara model Becker, di satu pihak, dan model Schultz dan Mincer, di
laill pihak, ada perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada peubah yang menentukan keputusan seseorang untuk melakukan investasi. Pada model Becker, investasi didasarkan atas pertimbangan pribadi, sedangkan pada model Schultz dan Mincer selain pertimbangan pribadi juga keluarga. Model-model pengembalian investasi pribadi pada pelatihan lebih menekankan pada pelatihan dalam jabatan (OM-thejob training), bukan pelatihan pra-jabatan seperti PKSB. Mengingat kondisi
tempat ketiga pakar itu melakukan studi berbeda dengan kondisi di Indonesia, baik secara sosial-psikologis maupun ekonomis, studi untuk menemukan model yang lebih sesuai perlu dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan untuk menilai kelayakan investasi pribadi pada PKSB, juga secara akademis bisa digunakan untuk memperluas aplikasi model-model yang telah dirumuskan oleh para pakar itu, khususnya dalam penyuluhan pembangunan.