PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan intensitas pengelolaan lahan menyebabkan produktivitas lahan dan populasi cacing tanah menurun. aplikasi cacing endogeik merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Aplikasi cacing endogeik pada suatu lahan memberikan dampak positif terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pontoscolex corethrurus merupakan salah satu cacing tanah endogeik yang tersebar luas dan memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Marichal et al. 2012). Aplikasi P.corethrurus terbukti mampu meningkatkan hara N (Tapia-Coral et al. 2006), serta mampu mempercepat degradasi BaP (Benzo-a-Pyrene) pada tanah (Castellanos et al. 2012). Sehingga sangat tepat jika dipilih sebagai spesies yang diaplikasikan pada lahan. Selama ini, cacing tanah yang digunakan untuk diaplikasikan pada suatu lahan di koleksi secara langsung dari lapangan, yang mana cukup memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu kultur cacing tanah dapat menjadi cara praktis untuk memperoleh jumlah cacing yang banyak serta pasokan yang tetap. Dalam pengkulturan cacing P. corethrurus banyak faktor yang harus diperhitungkan seperti sumber makanan, kelembaban media, dan kerapatan populasi. Untuk sumber makanan P. corethrurus umumnya digunakan campuran tanah dan bahan organik, sehingga jenis bahan organik serta jenis tekstur tanah yang digunakan menjadi penting untuk diperhatikan. Kok et al. (2014) menggunakan
kotoran
sapi
sebagai
bahan
organik,
sedangkan
Garcia and Fragoso (2003) menggunakan daun macadamia untuk dicampurkan pada media. Belum adanya informasi yang pasti baik dalam jenis bahan organik,
Universitas Sumatera Utara
serta jenis tekstur tanah yang baik untuk digunakan dalam media, menjadi suatu masalah dalam melakukan kultur P. corethrurus. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna memperoleh jenis bahan organik, serta jenis tekstur tanah terbaik sebagai media kultur P. corethrurus. Tujuan Penelitian -
Untuk
mengetahui
jenis
tekstur
tanah
terbaik
dalam
mendukung
organik
terbaik
dalam
mendukung
perkembangan P.corethrurus. -
Untuk
mengetahui
jenis
bahan
perkembangan P.corethrurus. -
Untuk mengetahui interaksi jenis tekstur tanah dan bahan organik terbaik dalam mendukung perkembangan P.corethrurus.
Hipotesis Penelitian -
Tekstur tanah dengan kandungan pasir yang lebih tinggi merupakan jenis tekstur terbaik untuk media budidaya P. corethrurus
-
Kotoran kambing merupakan jenis bahan organik terbaik untuk media budidaya P. corethrurus
-
Interaksi antara tekstur tanah dengan kandungan pasir yang lebih tinggi kotoran kambing merupakan media terbaik untuk budidaya P. corethrurus
Kegunaan Penelitian Sebagai sumber informasi dalam melakukan kultur P.corethrurus, serta sebagai salah satu syarat untuk membuat tugas akhir skripsi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Cacing P. corethrurus P.corethrurus adalah spesies cacing yang bersifat eksotik, dengan pengertian mampu bertahan hidup akibat perubahan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Pada area hutan hujan tropis, pengrusakan hutan merusak habitat dari spesies asli, khususnnya spesies epigeic yang hidup pada lapisan serasah, dan sejumlah spesies anecic yang hidup pada tanah tetapi memperoleh makanan dari serasah, gagal beradaptasi terhadap kondisi yang tercipta akibat konversi lahan. Sebaliknya P.corethrurus diuntungkan oleh situasi tersebut dan jumlah populasi yang terbentuk terlihat proporsional terhadap kondisi tersebut (Marichal et al. 2010). P.corethrurus merupakan jenis cacing tanah endogeik, kelebihannya yaitu mampu meningkatkan proses mineralisasi nitrogen. P.corethrurus adalah spesies umum yang digunakan dalam mengelola ekosistem dengan praktis antropogenik (Tapia-coral et al. 2006). Lavelle et al. (1987) menyarankan bahwa cacing ini juga dapat digunakan sebagai sumber protein, dikarenakan spesies cacing tersebut mampu mengubah bahan organik tanah berkualitas rendah menjadi jaringan baru dengan kandungan protein 60 – 70% dengan efisiensi yang besar. Adapun ciri dari P.corethrurus adalah memiliki panjang tubuh 92 – 148 mm (dewasa). Jumlah segmen adalah 167 – 232, prostomium, dan pori dorsal tidak terlihat. Klitelum terdapat pada segmen ke 14, 15- 22,dengan panjang 3,98 – 6,73 mm dan lebar 2,93 – 4,08mm, berbentuk pelana, dan terdapat setae. Longitudinal Tubercula pubertatis terletak pada segmen 18 hingga 21. Setae hadir dari segmen 1, secara bertahap menjadi tak berbentuk dan cenderung menjadi persegi sepanjang ujung posterior. Cacing yang hidup tidak memiliki pigmen,
Universitas Sumatera Utara
berwarna coklat ke abu abuan disekitar klitelum, porsi kepala berwarna merah jambu, memiliki 3 pasang
titik kuning cerah pada dorsum lateral di depan
klitelum saat porsi kepala diperluas (Shen and Yeo, 2005). Stadia perkembangan dari cacing terdiri dari 5 tahapan, kokun, tetasan, juvenile, sub-dewasa (hanya ada tubercula pubertatis), dan dewasa (memiliki klitelum). Biasanya hanya klitelum dan sedikit stadia sub dewasa yang dapat ditentukan dengan pasti sampai tingkat spesies dengan menggunakan karakteristik morfologi cacing. Di sisi lain, stadia juvenile dapat lebih konsisten pada pertumbuhan dan aktivitas makan jika dibandingkan dengan individu dewasa yang memiliki perilaku yang lebih kompleks (Frund et al. 2009). Pontoscolex corethrurus (Oligochaeta, Glossoscolecidae) adalah cacing tanah eksotis yang tersebar secara luas (Brown et al., 2006; Gonzalez et al. 2006; Hendrix et al., 2006). Cacing endogeik ini berasal dari Amerika Selatan (Hendrix & Bohlen, 2002), dan kini telah menyebar luas ke Indonesia hingga ke pulau Sumatera. Darmawan et al. (2015) melaporkan bahwa kolonisasi P.corethrurus di kampung Bungku dapat juga dihubungkan dengan spesies tanaman di area tersebut seperti karet dan kelapa sawit. Sebagai tambahan P.corethrurus mempunyai toleransi yang lebih baik dibandingkan spesies asli. Kebanyakan cacing tanah memiliki toleransi yang sempit terhadap temperature, namun P.corethrurus dapat mentolerir suhu 13 hingga 29OC. P.corethrurus dicirikan dengan memiliki konsumsi oksigen yang konstan dan toleran terhadap ketersediaan oksigen yang rendah
Universitas Sumatera Utara
Pada media buatan dengan menggunakan tanah dari lahan tropis diketahui bahwa kisaran dari fase hidup P.corethrurus adalah ± 12 bulan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 1. Siklus hidup dari cacing P.corethrurus Fase Hidup 1. Penetasan Kokun
2. Juvenil
3. Sub Dewasa
Waktu
Keterangan
32 – 36 hari
-
0 – 32 minggu setelah menetas
32 – 38 minggu setelah menetas
4. Dewasa
>38 minggu setelah menetas
5. Mati
48 minggu setalah menetas
Pada minggu ke 24 umumnya cacing telah mencapai bobot dan panjang maksimum Pada minggu ke 38 mulai tumbuh klitelum pada tubuh cacing Setelah minggu ke 38 setelah menetas, cacing mulai menghasilkan kokun -
(Buch et al. 2011). Hasil penelitian Amirat et al. (2014) menyatakan bahwa aplikasi P.corethrurus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap total pori tanah. Rata-rata pertambahan pori makro berkisar antara 36 - 119 cm/minggu. Masingmasing individu menyebabkan pertambahan pori makro berkisar antara 4.7 - 9.5 cm/hari. P. corethrurus lebih banyak menghasilkan pori makro vertikal daripada pori makro horizontal. Adanya aplikasi P.corethrurus juga berpengaruh sangat nyata terhadap perkolasi dalam tanah. Aktivitas cacing tanah meningkatkan perkolasi dalam tanah (masing-masing 27 %, 4.5 %, dan 2.2 %) Penambahan P.corethrurus juga mampu mempercepat penghilangan senyawa BaP (Benzo-a-Pyrene) dari tanah dibandingkan dengan aplikasi
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme saja. Cacing tersebut mampu meningkatkan kontak antara mikroba tanah dan BaP sehingga mempercepat degradasi BaP. P.corethrurus dapat hidup secara aktif pada tanah yang tercampur BaP, namun tidak satupun kokun yang terbentuk. Aplikasi bahan organik sebagai sumber makanan tidak meningkatkan degradasi BaP dari tanah. Peneliti menambahkan bahwa cacing endogeik P.corethrurus dapat digunakan dalam remediasi tanah terkontaminasi minyak bumi pada wilayah tropis, tanpa penambahan sumber makanan (Castellanos et al. 2012). Aplikasi spesies P.corethrurus baik juvenile atau dewasa menunjukkkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan konsentrasi NH4+, NO3- , dan N mineral pada media dibandingkan dengan media tanpa aplikasi cacing. Konsentrasi nitrat selalu meningkat tajam pada penambahan P.corethrurus, namun sekalipun begitu terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan aplikasi juvenile dan spesies dewasa (Tapia-Coral et al. 2006). Penelitian D’Alexis et al. (2010) dalam bidang peternakan menunjukkan bahwa aplikasi P.corethrurus juga dapat menurunkan populasi secara nyata dua jenis nematode yang diuji. Penurunan ini diduga karena P.corethrurus pada saat mengkonsumsi kotoran sapi, larva nemotada juga ikut terkonsumsi. Penurunan sebanyak 34 % dinilai sebagai cara yang efektif untuk menurunkan organism parasit pada peternakan. Penurunan ini dinilai harus diuji secara in situ, tetapi penurunan sekitar 30% dinilai nyata dalam menurunkan kontaminasi pada peternakan. Teknik Kultur Cacing di Laboratorium Semua cacing tanah dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka ditemukan. Pada kultur di laboratorium, manipulasi banyak faktor dimungkinkan
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan produksi dan tingkat ketahanan cacing tanah. Kondisi temperatur dan kelembaban tanah dapat dikatakan sebagai factor lingkungan yang paling penting dalam menentukan aktivitas dan distribusi cacing. Oleh karena itu penentuan kondisi optimal yang berhubungan dengan kedua faktor tersebut menjadi kunci dalam kultur cacing secara sukses (Lowe and Butt, 2005). Penggunaan cacing tanah di laboratorium biasanya dilakukan dalam skala kecil. Pemilihan wadah dan ukurannya harus ditentukan secara tepat. Sebelum melakukan percobaan menggunakan cacing tanah dalam laboratorium terdapat dua aspek utama yang harus diuji, yaitu organisme (cacing tanah) dan tanah sebagai media kultur. Pada aspek cacing tanah hal yang harus diperhatikan adalah : identitas taksonomi (spesies), klasifikasi ekologi (epigeik, endogeik, anecic), stadia perkembangan (kokun, tetasan, juvenile, sub-dewasa, dewasa), Biomassa (pada awal dan akhir percobaan), status fisiologi, asal (pengambilan langsung dari lapangan, laboratorium, atau melalui pembelian), sumber makanan bagi cacing, serta kerapatan populasi cacing. Pada aspek tanah sebagai media kultur hal yang harus diperhatikan adalah : jenis tanah dan penggunaan lahan, horizon tanah, tekstur, kapasitas menahan air, kelembaban tanah, pH, rasio karbon organik
dan
nitrogen,
kerapatan
lindak,
kapasitas
tukar
kation
(jika
memungkinkan), perlakuan awal tanah sebelum percobaan, lama dan kondisi penyimpanan (Frund et al. 2010). Berikut adalah data umum yang digunakan dalam kultur cacing endogeik (Lowe and Butt, 2005) :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.
Persyaratan umum dalam kultur cacing endogeik Allobophora chlorotica dan Aporrectodea caliginosa). Parameter Kultur
Keterangan
1. Kedalaman Tanah
> 30 cm
2. Jenis Tanah
Lempung
3. pH
(spesies
4,5 – 7
4. Jenis Makanan 5. Penempatan makanan pada wadah 6. Suhu 7. Rezim Cahaya 8. Pematangan Klitelum (hari) 9. Produksi kokun
Tanah dan bahan organik Dicampurkan secara merata 15 – 29 oC Tidak diketahui 84 pada 15o C, dan 56 pada 20o C 9,9 pada 10o C, 17,8 pada 15oC, dan
10. Inkubasi Kokun (hari)
34 – 40 pada 20o C
11. Viabilitas Kokun (%)
60 – 90 pada suhu 20o C
12. Kelembaban (%)
25 – 30
Secara umum perhatian khusus harus diberikan untuk menjamin bahwa cacing tanah yang digunakan pada percobaan dalam kondisi sehat. Indikator dari cacing yang sehat adalah turgiditas, bentuk tubuh regular tanpa kehilangan atau luka pada bagian epidermis, serta mobilitas tinggi. Cacing yang sehat dicirikan dengan : 1) reaktif terhadap sentuhan, 2) Menjauh dari sumber cahaya, dan 3) akan berenang pada air. Jika cacing tanah diperoleh melalui senyawa kimia atau penggunaan aliran listrik, dampak dentrimental harus diperhatikan. Ekspos langsung cacing tanah terhadap sinar matahari dan temperature tinggi harus dihindari, dan senyawa kimia yang digunakan sebagai pemikat harus dicuci segera dengan air (Coja et al. 2008).
Universitas Sumatera Utara
Kerapatan Populasi Percobaan skala laboratorium menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanaha, massa cacing dewasa, dan fekunditas secara signifikan dipengaruhi oleh biomassa cacing dan kerapatan pada saat kultur. Peningkatan kerapatan memiliki dampak yang negative terhadap tingkat pertumbuhan dan massa rata rata cacing tanah. Pada L.terrestris perkembangan dari kemampuan reproduksi juga berkurang pada kerapatan yang lebih tinggi. Pada media 2 L, telah diketahui bahwa kisaran massa 15 – 25 g/L (3 – 5 cacing dewasa) adalah kerapatan yang optimal bagi L.terrestris, sementara pada wadah yang lebih kecil (0,3 L) dengan makanan yang lebih, kerapatan optimum nya adalah 20 – 40 g/L. Hal tersebut menjelaskan bahwa pengaruh kerapatan dapat dimodifikasi oleh factor lain seperti kualitas makanan (Lowe and Butt, 2005). Kerapatan populasi haruslah sejalan dengan kelimpahan cacing di lapangan. Dikarenakan cacing tanah sering secara heterogen terdistribusi pada system alam, rerata kerapatan di lapangan (individu / m2) haruslah menjadi pedoman pada percobaan di laboratorium. Pada banyak percobaan, kerapatan populasi harus berada pada kisaran kelimpahan di lapangan. Pada percobaan pada pengaruh lingkungan terhadap cacing tanah, penggunaan kerapatan yang berbeda yang mewakili kerapatan di lapangan haruslah memiiki alasan yang kuat untuk menyimpulkan efek yang terjadi sesuai pada kondisi lapangan. Dalam menampilkan data, percobaan kerapatan populasi harus diubah dalam bentuk individu / meter persegi (Frund et al. 2010) Hasil penelitian Kok et al. (2014) yang menggunakan kerapatan 1, 4, 7, dan 10 dalam kultur P. corethrurus, melaporkan bahwa biomassa dan kematangan seksual secara nyata dipengaruhi oleh kerapatan populasi. Kerapatan optimal
Universitas Sumatera Utara
untuk kultur cacing ini adalah 4 cacing per wadah (200 individu / m2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa akhir dari cacing menurun sejalan dengan peningkatan kerapatan populasi. Peningkatan kerapatan populasi dapat menciptakan kompetisi intraspesifik terhadap sumber makanan dan ruang dan akhirnya menurunkan biomasa cacing. Oleh karena itu, cacing tanah tumbuh lebih lambat pada kerapatan populasi yang tinggi. P.corethrurus
pada kerapatan
populasi yang relative lebih rendah membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mencapai kematangan seksual. Hasil penelitian Dominguez dan Edwards (1997) juga menyatakan bahwa kerapatan populasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap biomassa cacing dan kematangan seksual. Individu cacing tumbuh lebih cepat pada kerapatan populasi terendah. Produksi total biomassa maksimum ada pada perlakuan kerapatan populasi tertinggi (16 cacing). Kematangan seksual cacing lebih cepat pada kerapatan populasi yang lebih tinggi, meskipun tidak semua klitelum berkembang setalah 48 hari. Pada kerapatan yang lebih rendah, semua cacing matang secara seksual, meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Pada kerapatan 4 cacing, semua cacing matang seksual pada hari ke 36 dan 40% cacing matang seksual pada hari ke 24. Sumber Makanan (Tanah – Bahan Organik) Jenis cacing tanah epigeik dan anecic (detritivor, decomposer utama) memperoleh sumber makanannya dari permukaan tanah, namun makanan bagi cacing endogeik (geofage, decomposer sekunder) haruslah di campurkan pada tanah. Pencampuran sumber makanan ke dalam tanah diasosiasikan secara fisik dan hanya dapat dilakukan pada awal sebelum percobaan dilakukan. Dalam memonitor makanan secara visual mudah dilakukan terhadap makanan pada
Universitas Sumatera Utara
permukaan tanah, namun sangatlah tidak mungkin untuk melakukan hal serupa pada makanan yang dicampur ke tanah. Oleh karena itu, pengontrolan terhadap sumber makanan dapat menjadi masalah besar pada percobaan laboratorium dalam waktu yang lama dengan menggunakan cacing tanah jenis endogeik (Frund et al. 2010). Pemilihan kotoran hewan sebagai sumber bahan makanan yang tepat untuk kultur cacing tanah telah sejak lama diperkenalkan. Hasilnya kotoran sapi, kambing, dan kuda telah digunakan secara luas dalam kultur cacing tanah. Beberapa peneliti menggunakan kotoran segar / semi terdekomposisi sebagai sumber makanan. Untuk mendapatkan sumber makanan yang konsisten dan dapat diandalkan, kotoran hewan membutuhkan beberapa perlakuan. Meskipun kotoran hewan dikenal sebagai makanan cacing tanah yang tepat, koleksi langsung dari lapangan dapat menjadi hal yang memakan waktu. Produksi cacing tanah skala besar secara intensif membutuhkan sumber makanan yang melimpah. Kotoran hewan tidaklah satu satunya sumber makanan yang digunakan dalam kultur cacing, limbah bahan organik lain dari bidang pertanian ataupun industry juga dapat dijadikan sebagai alternative. Meskipun berbagai sumber bahan organik memiliki kandungan N yang berbeda, namun bahan organik yang mengandung sumber N tinggi tidak selalu menjamin peningkatan pertumbuhan cacing (Lowe and Butt, 2005). Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar Setiawan dan Andoko (2010). Chaudhuri et al (2003) menyatakan bahwa serasah daun karet mengandung N, 2.31%; P, 0.12 %; K, 0.83%; C,52.68%; dan C/N, 22.75. Nath dan Chaudhuri (2014) menambahkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa penambahan serasah daun karet pada media kultur cacing mampu mempercepat kematangan seksual pada cacing. Karmegam dan Daniel (2009) melaporkan bahwa kotoran sapi mengandung N, 1.5 %; P, 0.9 %; K, 1.2 %; C/N 18.0. kandungan N yang terkandung pada kotoran sapi tersebut dapat mendukung pertumbuhan cacing tanah. Kok et al.(2014) menggunakan perbandingan tanah – kotoran sapi 9:1 dalam percobaannya, dengan media tersebut percobaan yang dilakukan selama 14 minggu dengan menggunakan P. corethrurus dapat berlangsung dengan baik, dan persentase cacing hidup tinggi. Nath dan Chaudhuri (2014) melakukan kultur P. corethrurus dengan menggunakan media tanah, kotoran sapi (15 : 1). Dan diketahui bahwa rasio tanah – kotoran sapi (15 : 1) yang digunakan dalam percobaan ini mampu mendukung percobaan yang dilakukan selama 90 hari. Tekstur Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan relative butir butir fraksi utama di dalam tanah. Penamaan tekstur tanah berdasarkan kelas tekstur secara mudah didasarkan pada perbandingan massa dari ketiga fraksi yakni fraksi pasir, debu, dan liat. Tanah dengan perbandingan pasir, debu, dan liat yang berbeda ditetapkan ke dalam kelas yang berbeda berdasarkan segitiga tekstur USDA. Umumnya tanah tanah pertanian yang paling baik mengandung persen liat 10 – 20%, bahan organik 5 – 10% dan perbandingan yang sama antara pasir dan debu (Lubis, 2015). Lowe and Butt (2005) menyarankan dalam melakukan kultur cacing endogeik (Spesies Allobophora chlorotica dan Aporrectodea caliginosa) bahwa tekstur yang baik digunakan adalah lempung atau liat. Namun hasil penelitian Marichal et al. (2012) menunjukkan bahwa persentase pertumbuhan P.
Universitas Sumatera Utara
corethrurus tertinggi ada pada media dengan tanah bertekstur dominan pasir (pasir = 71%). Jenis dan tekstur tanah mempengaruhi kelembaban tanah ( potensial air tanah – pF) pada media pertumbuhan yang menentukan pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah (Lowe and Butt, 2005). Terdapat dua kemungkinan apabila P. corethrurus tidak ditemukan pada suatu lahan, yang pertama adalah tekstur tanah dan sifat kimia tidak mendukung untuk keberadaan cacing tersebut. Yang kedua adalah tekstur dan sifat kimia mendukung namun P. corethrurus tidak terintroduksi di lahan tersebut (Marichal et al. 2012). Kelembaban Media Pengaruh kelembaban tanah pada pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah diatur oleh gaya dimana air tersedia ada pada tanah ( potensial air tanah – pF) sering ditentukan oleh jenis tanah dan tekstur. Tetapi untuk kultur cacing tanah merupakan hal yang tidak praktis untuk mengukur potensial air, dan oleh karena itu peneliti sering menyatakan kandungan kelembaban tanah sebagai persentase dari massa tanah basah. Pada kondisi laboratorium, kehilangan kelembaban dari substrat kultur melalui evaporasi dapat menjadi suatu masalah. Untuk mengatasai masalah tersebut, kultur dapat diatur pada wadah tertutup dengan lubang udara kecil (< 1 mm) sebagai ventilasi. Pemberian air biasanya diaplikasikan pada permukaan tanah. Sebagai tambahan kelembaban tanah juga dapat secara nyata mempengaruhi perkembangan kokun. Tanah yang kering akan membuat kokun mengalami dehidrasi yang akhirnya akan menghambat perkembangan embrionik (Lowe and Butt, 2005). Kandungan air optimal yang digunakan untuk mikrobiologi tanah (60 – 70% dari WHC) tidak dapat digunakan untuk kultur cacing. Cacing tanah sangat
Universitas Sumatera Utara
sensitif terhadap kelembaban tanah dan beberapa spesies lebih menyukai kandungan air mendekati kapasitas lapang (Wever et al. 2001; Perreault and Whalen, 2006),. Oleh karena itu pengaturan dan pengontrolan terhadap kandungan air merupakan bagian yang penting pada percobaan menggunakan cacing. Monitoring kehilangan air pada media dapat diketahui dengan menggunakan penimbangan, TDR-probes, FD-probes atau Tensiometer, yang merupakan alat yang juga sangat berguna untuk mengontrol karakteristik kelembaban tanah pada percobaan laboratorium (Frund et al. 2010). Hasil penelitian Hamel dan Whalen (2006) dengan menggunakan kelembaban tanah dan suhu tanah sebagai factor perlakuan menyatakan bahwa kelembaban tanah, suhu, dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan cacing. Semua cacing kehilangan beratnya saat ditempatkan pada tanah dengan potensial air -54 kPa. Pertumbuhan cacing tertinggi didapat pada perlakuan potensial air -5 dan -11 kPa. Perreault dan Whalen (2006) juga melaporkan bahwa kelembaban tanah mempengaruhi produksi kasting dan aktivitas penggalian. Produksi kascing lebih banyak ditemui saat A.caliginosa dan L. terrestris ditempatkan pada tanah dengan potensial air -5 kPa. Namun aktifitas penggalian ditemukan lebih panjang pada tanah dengan potensial air -11 kPa. Ortiz-ceballoz et al. (2005) juga melaporkan bahwa kelembaban tanah
mempengaruhi pertumbuhan B. pearsei.
Pertumbuhan
B. pearsei ditemukan lebih cepat pada saat kelembaban tanah ditingkatkan. Pada kelembaban tanah 25, dan 33% tidak ditemukan satu cacingpun yang mati, tapi pada kelembaban 42 % ditemukan 1 ekor B. pearsei mati.
Universitas Sumatera Utara